Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KONSEP ITTIHAD DAN HULUL

Disusun dan diajukan sebagai tugas mata kuliah Tasawuf


Dosen Pengampu : Drs., Taufiqul Muin M.Ag.

Disusun Oleh :
1. Nur Muhammad Husain Musthofa (53010220133)

2. Reyhan Bambang maulana fi’amrilah (53010220093)

3. Nasrulllah Alfatih (53010220067)

4. Dzukha Ibnu Aqil (53010220130)

SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT


kami panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “Konsep Tentang Ittihad
dan Hulul” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf dengan dibimbing
oleh dosen pengampu yaitu Bapak Mujiburrohman penulis berharap semoga dengan
tersusunnya makalah ini dapat berguna bagi pembaca dan semoga segala yang tertuang dalam
Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para pembaca dalam rangka
membangun khasanah keilmuan. Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu
pengetahuan, oleh karenanya kritik, saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat
diharapkan sebagai bahan perbaikan makalah ini, Jazakumullahu Khairan Katsiran.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………...…...........………………..………......................…. ii

DAFTAR ISI……………………...………….............…………..............................……….iii

BAB I PENDAHULUAN…………………...……..........................………………………. 1

Latar Belakang…….…………………………………..………................................1

Rumusan Masalah…………...………….......................…………..………………..1

BAB II PEMBAHASAN…………………....………...........................…………………….2

Pengertian, Tokoh, dan Ajaran Ittihad……………………...………………………2

Pengertian, Tokoh, dan Ajaran Hulul…………………......………….…………….7

Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul ……………..….....………………. 10

Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam ….…….……….......………… 10

BAB III PENUTUP…………….…………............…………...........................………….. 13

Kesimpulan …………..……………….…………..........................……………… 13

DARTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

 LATAR BELAKANG

Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi dikalangan
para ahli sufi, karena didalamnya mengandung berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi
tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf
yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memahami pemahaman mendalam. Pada
perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf
akhlaqi. Ada yang disebut sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf.
Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini
banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai
sufi. Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa tahap. Pertama, yaitu fase
asketis ( zuhud ) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah, sikap asketis ini
dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
individu dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya
berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak pasti dan pasti. Tasawuf falsafi adalah tasawuf
yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih
dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi
adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan
dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.Tasawuf falsafi oleh
sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunni yakni tasawuf yang ajarannya
diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya.

 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Pengertian Ittihad dan Hulul ?

2. Siapa Sajakah Tokoh Pembawa Paham Ittihad dan Hulul ?

3. Apa Sajakah Persamaan dan Perbedaan dari Ittihad dan Hulul ?

4. Bagaimanakah Perspektif Islam Terkait Konsep Ittihad dan Hulul ?

iv
BAB II

PEMBAHASAN

 ITTIHAD

A.Pengertian Ittihad

Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti kebersatuan.
Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti
integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”.
Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur
dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu
dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi
yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah
satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan
ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka
dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”. Dalam pemahaman ini,
seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa’.
Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini,
manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya
hanya Allah (baqa’). Inilah inti ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”. Tokoh pembawa paham
ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh
karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah
menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu
dengan Tuhan.

B. Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami Abu Yazid

memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan AlBustami. Dia
dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur
Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan,
kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di
Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana.
Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun
pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan juga minum. Sebagaimana anak dan remaja
muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni

v
fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat
begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa di masa
mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luar biasa. Abu Yazid al-Bustami
adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau
bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat
ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud
terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia
berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah,
yang ada hanyalah Allah belaka. Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang
berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran
yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia
keluar masuk penjara. Dia memiliki banyak pengikut yang percaya dengan ajaran-ajaran yang
diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya taifur. Sayang sekali bahwa al-
Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman kesufian, tidak
meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat diketahui melalui catatan-
catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya yang pernah
berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak akan
mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa
anekdotanekdot sufi belaka. Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya
masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak
pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri,
Nasir Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah
oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh
Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.

C. Ajaran Ittihad

Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin
karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktikkan. Ittihad
adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan
baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan mengutip A. R.
AlBaidhawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu
wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, identitas
telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu

vi
wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai. Orang
yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding
baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu
yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering
keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat. Ittihad itu
akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak
mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu
sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya kesadaran adalah permulaan
untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap
dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah
kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran
(fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan
kepada seorang sufi. Sekarang kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat untuk
mencapai ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya
setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha
memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas. Paham ittihad ini dalam istilah Abu
Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan
Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya
berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan
kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku
Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu,
maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendakMu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata ‘Telah kami lihat Engkau.
Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.’ Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini
merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam
ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat
dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam
ungkapannya, Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Atau pun
berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution,
1973: 85). Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada
Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku” Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid
di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya.
Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid
sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan.

vii
Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat
lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan
‘Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedangkan aku sendiri dalam keadaan fana’.
8Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata
serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata
itu diucapkan dalam keadaan ittihad. Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau
menyatu dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap
kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu
lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai
menyaksikan keindahan wajah Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap
sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah
lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah, kemudian akhirnya lenyap
kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur atau menyatu dalam
wujud Allah. Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi
harus melalui tiga tahapan, Yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya
lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam
penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai
menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat AlHaqq (Tuhan). Itulah
penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’. Pada
tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya
kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan
Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab
tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut: “Maka tatkala
wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu dan
disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka
sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) : “Keluarlah
(nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka
kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha
sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia”. (Surat Yusuf/12: 31). Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini
baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’.
Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan
keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan
akan makhluk sejenisnya (AlQusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf

viii
yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak
merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya
yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Untuk memahami pengalaman mistis seperti
yang diuraikan di atas patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The
Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis,
dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari
perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan. a. Empat karakter tersebut ialah sebagai
berikut :

1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman


itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa
mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus
dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini,
orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan
dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup
lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang
bias dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar
setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4. Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan
pikiran,gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam
pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada
pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya
menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih
tinggi. Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid
harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai
pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan
unik.

ix
 HULUL

A. PENGERTIAN HULUL

Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau
berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan
dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata
halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul
secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’.
Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun
Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh
itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi : “Sesungguhnya Allah
memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah)
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan ”Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap
Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan
kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya
bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya.

Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-


gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa
cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan
berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (An-nasut-Nya) yang sedang
mengambil tempat dalam diri manusia.

Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah paham yang
dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam
keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah
bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan

x
An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan
memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.

B. Biografi singkat mansur al-hallaj

Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin
Muhammad AlBaidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baidhah, sebuah kota
kecil di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu
Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan
berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke
kota Baghdad dan belajar kepada Al Junaid. Melalui pengembaraannya ke berbagai
wilayah Islam, Al Hallaj mendapatkan banyak pengikut. Ia kembali lagi ke Baghdad
pada tahun 909 M. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga istana.
Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan
dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
“pemerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat itu.
Apalagi, di sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan subur.
Pemerintah menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang ditunjukkan
padanya serta khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur politik. Maka, Al Hallaj
pun dipenjarakan. Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap sebagai sebuah
kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.
Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4 tahun
kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al Hallaj
dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap
berkembang. Pengikutnya menamakan dirinya “Hallajiyah” Setelah 1 abad
kematiannya pengikutnya di Baghdad mencapai 4000 orang.

C. Ajaran hulul

Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat Ketuhanan
atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat
ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang

xi
telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat
Ilahiyatnya melalui fana’, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan
terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. Teori
lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia.
AlHallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai
copy dari diri-Nya shurah minn nafsih dengan segenap sifat dan kebesarannya,
sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.yang berbunyi : Maha suci dzat yang
menampakkan nasut-nya, Seiring cemerlang bersama lahut-Nya, Demikian padu
makhluk-Nya pun terlihat nyata, Seperti manusia yang makan dan minum layaknya. Al
Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang
didasarkan pada Q.S. Al Baqarah:34 yang artinya :“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman
kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia
menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.” Menurut
pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah
karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana
meyembah Allah.Al hallaj memperlihatkan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat
ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat
seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia,
kecuali dengan menempati tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadi
pada diri Isa. Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk
hulul. Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah
kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah tuhan dapat
mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu dalam
tubuh manusia. Menurut Al Hallaj, hulul mengandung kefanaan total. Kehendak manusia
dalam kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak tuhan. Demikian
juga tindakannya.Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj
berikut ini: Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu, Bagai anggur dan air bening
berpadu, Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku, Karena ketika itu, Kau dalam segala
hal adalah aku. Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku jua, Kami dua jiwa padu jadi
satu raga, Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu, Jika kau lihat Dia,
kami dalam penglihatanmu tampak nyata. Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud
manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya
paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis
dalam kondisi fana’ dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-

xii
Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang
ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena
itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan
sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Ia tidak sekalipun menyerupai makhluk-
Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupainya. Interpretasi ini sesuai pula dengan
pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut: Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, Aku
bukanlah Yang Maha Benar, Aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara Kami. Lagi
pula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan
dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan

 Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang
persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan
syatahat Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu
kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun dan
masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

 Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam

Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-
Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan
oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan
lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan
penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari
Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang
melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi
altauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku. Dalam Islam
pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana Intuisi yang dipahami tidak
terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam,
manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri
dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut
keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai
sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’

xiii
mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang
dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui
keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai
melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia
keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memperoleh visi tentang
kesatuan segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh
seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the world of
multiplicity in separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada
keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang. Keterpisahan disini memiliki dua
konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan
dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq alawwal) juga menyiratkan
bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia
menjadi manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran : “Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan
Tuhan)” Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada, kecuali
sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa dilekatkan
pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat ini Allah swt.
Mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam
pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas
dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan
manusia, mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai
Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan pembedaan
antara mereka sebagai hamba dan Tuhan. Makna kedua dari konotasi terkait dengan
kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat
dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang
saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu
dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun
pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui
bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni

xiv
inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang
dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman
mereka dan secara teologis disebut Tuhan Menurut perspektif metafisika Islam yang
didasarkan pada hikmah al-Quran, Tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi
dalam realitas eksternal (extra-mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran.
Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-
esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan
(determinations) dan pembatasan-pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang
mencakup semua (all-embracing and pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk
partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua
(all-encompassing reality of Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan
berbeda (Its multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan
penyusutan (qabdl) nerkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada
tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. Dalam
memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata,
untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan
intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi
Sufi.

xv
BAB III
PENUTUP

 KESIMPULAN

Setelah Menyelesaikan Penyususan Makalah Ini, Penulis Dapat Mengambil Kesimpulan


Bahwa Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti kebersatuan.
Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti
integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”.
Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam
diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke
dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang berarti
menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah
menempati suatu tempat. Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul :

A. Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang
persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi
mengeluarkan syatahat
B. Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu
kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun
dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).

Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional
semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan
kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah
menjadi Sufi

 SARAN

xvi
Dengan disusunnya makalah akhlak tasawuf dengan judul “Konsep Tentang Ittihad dan
Hulul” ini, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui lebih jauh, lebih banyak, dan
lebih lengkap tentang Pembahasan konsep ittihad dan hulul, Pembaca dapat membaca dan
mempelajari konsep ittihad dan hulul dari berbagai sumber, baik dari intenet maupun media
informasi lainnya, Karena penulis hanya membahas secara garis besarnya saja. Disini penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, Sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan, Agar dalam penyusunan makalah pada kesempatan
selanjutnya lebih baik lagi

DAFTAR PUSTAKA

http://kumal11.blogspot.com/2018/04/akhlak-tasawuf-ittihad-dan-hulul.html?m=1
http://enengsusanti.blogspot.com/2014/04/ittihad-hulul-makalah-akhlaq
tassawuf.html?m=1 Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. Nata,
Abuddin. 1996. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nasirudin. Pendidikan
Tasawuf.2009.
Van-Hoeve,Ensiklopedia Islam,penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 77-78.
Dr. Mustafa Zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT BINA ILMU, 1998, H 232.
Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy,jilid II, (bairud: dar alkitab, 1979), hlm 167.

xvii

Anda mungkin juga menyukai