KEL 3 - Kajian Barat - Ignaz Goldziher

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

IGNAZ GOLDZIHER

1850–1921 DAN STUDI


AL-QUR’AN
01
Biografi Ignaz
Goldziher
Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di
sebuah kota di Hongaria, ia berasal dari
keluarga Yahudi yang terpandang dan
memiliki pengaruh luas. Ia memulai
pendidikannya di Budaphes, kemudian pada
tahun 1869 ia melanjutkan pendidikannya ke
Berlin, setelah itu ia pindah ke Universitas
Leipzig. Pada tahun 1870 Goldziher
memperoleh gelar doktoral tingkat pertama
dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang
Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”.
Perjalanan karir ilmiah Goldziher dimulai
sejak ia berumur 16 tahun ketika dia mulai
tertarik pada kajian ketimuran. Pada saat itu ia
telah menerjekahkan dua kisah berbahasa
Turki ke dalam bahasa Hongaria, Buku klasik
pertama yang menjadi sasaran kajiannya
adalah Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa
Tarikhuhum, yang dikerjakan pada tahun
1884.
Buku-buku lain yang dihasilkan
Goldziher ialah al-Mu’ammarin-nya
Abi Hatim as-Sijistani pada tahun
1899, ia juga menulis pendahuluan
pada buku at-Tauhid-nya
Muhammad Ibn Tumart Mahdi al-
Muwahhidun, Akan tetapi karangan
Goldziher yang paling monumental
adalah Muhadharat fi al-Islam
(Heidelberg,1910) dan Ittijahat
Tafsir Al-Qur’an inda al-Muslimin
(Leiden, 1920).
Pemikiran
Ignaz Goldziher
02 tentang Qira’at
Al-Qur’an
menurut pandangan Ignaz Goldziher bahwasanya
lahirnya sebagian besar penyebab qira’at itu di
kembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri
yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan
suara (vokal) pembacaan yang berbeda, tergantung
pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas
bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik
tersebut. Pemahaman Goldziher yang salah terhadap
pengertian qira’at berimplikasi pada kesalahan dalam
memandang perbedaan varian bacaan. Ia menganggap,
bahwa perbedaan varian bacaan, adalah celah yang
strategis untuk kembali mempermasalahkan otentisitas
Mushaf Utsmani.
Pemahaman Goldziher terhadap qiraat

perbedaan qira’at muncul karena Mushaf Utsmani tidak memiliki titik dan
tanda baca,

perbedaan varian bacaan, adalah celah yang strategis untuk kembali


mempermasalahkan otentisitas Mushaf Utsmani,

hilangnya ortografi di dalam tulisan Arab memungkinkan untuk menjadi


satu kata menjadi keadaan yang beragam dari sisi letaknya dalam I’rab,

Goldziher yakin bahwa perbedaan bacaan dalam al-Qur’an adalah akibat kekeliruan
dalam penulisan bahasa arab (paleografi) zaman dulu, tidak ada titik dan tanda
diakritikal. Oleh karena itu, bentuk kata “fi’il” saat dibuang tanda titiknya mungkin
lahirnya ragam bacaan seperti ( ‫ ِقْيَل‬, ‫ َقَتَل‬, ‫ َقْبَل‬,‫)ِفْيٌل‬, dan lain sebagainya.
Dengan demikian jelaslah, bahwa ia telah keliru
dalam memahami al-Qur’an. dari statement di atas,
seolah-olah al-Qur’an dalam manuskrip, dan qira’ah
harus tunduk pada manuskrip tersebut. Seolah-olah
manuskrip ada terlebih dahulu daripada qira’at.
Goldziher juga berpendapat bahwa seorang pembaca
ketika membaca huruf yang mati, akan membaca
sesuai dengan selera. Di sinilah dia memasukkan
teori hermeneutika dalam studi al-Qur’an. ia
kemudian memberikan sebuah contoh dengan
mengutip pernyataan Qatadah (w 117 H) dalam tafsir
Ibnu Katsir.
Contoh bacaan
Pada ayat 48 surat al-A’raf:

‫َو اَن َدى َأَحْصاُب اَأْلْع َر اِف ِرَج ااًل َيْع ِرُفوُهَنْم ِبِس َمياْمُه َقاُلوا َم ا َأْغىَن َعْنْمُك ْمَج ُع ْمُك َو َم ا ُكْنْمُت َتْس َتْك ُرِب وَن‬

“Dan orang-orang yang di atas A’raf memanggil beberapa orang


(pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-
tandanya dengan mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa
yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat
kepadamu.”
Sebagian sarjana (Ulama’) qira’at membaca lafazh (‫ )تستكبرون‬yang
tertulis dengan huruf ba’ (dengan satu titik) dengan bacaan (‫)تستكثرون‬,
yaitu dengan huruf tsa’ (bertitik tiga). Qira’ah ini sama sekali tidak bisa
dijadikan pedoman, baik dalam qira’at sab’ah atau empatbelas. Dia
adalah qira’at yang munkar dan tidak diketahui secara definitive siapa
yang membacanya. Ignaz Goldziher,
(Perbedaan karena ketiadaan titik pada bentuk huruf tertulis)
03
Dampak pemahaman
Goldziher terhadap
Qira'at
Dampak dari pemahaman Goldziher terhadap
qirâ'ât al-Qur'an adalah, munculnya keraguan di
kalangan "awam" terhadap al-Qur'an yang selama
ini diyakini otentisitasnya. Argumentasi
Goldziher yang logis, dengan menggunakan
hadits-hadits syadz sebagai alat untuk mengecoh
pemikiran umat muslim yang buta dalam ilmu
qiraat. Hal itu sesuai dengan target utama kaum
misionaris-orientalis dalam banyak aksinya, yaitu
membangun wacana keraguan sehingga tumbuh
generasi yang memusuhi agamanya.
• Sebagaimana ditegaskan oleh Samuel Zwemmer pada konfrensi missionaris di
Yerussalem 1935, bahwa misi utama kaum missionaris orientalis bukan
menghancurkan Muslimin, namun mengeluarkan seorang muslim dari islam,
Selain itu, Zwemmwe menjelaskan, bahwa di dalam mata rantai kebudayaan
Barat, gerakan misi mereka mempunyai dua tugas yaitu,menghancurkan
peradaban lawan dan membina kembali dalam bentuk peradaban Barat,
sehingga muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat dan pada akhirnya
muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri. Sedangkan
dikalangan intelek, kajian Goldziher tersebut berdampak pada percampuran
faham barat dengan islam dan kebingunngan intelektual. Adopsi metodik bible
dalam studi al-Qur'an khususnya dalam qirâ'ât yang dilakukan oleh Goldziher
berujung pada rekonstruksi al-Qur'an dengan bentuk yang baru dan sudah tentu
akan berimplikasi pada runtuhnya bangunan Islam.
Kesimpulan
Semua argumentasi Ignaz Goldziher tentang keragaman qirâ'ât dan
implikasinya terhadap otentisitas al-Qur’an hanyalah sebuah pembenaran
atas asumsi negatif terhadap al-Qur’an itu sendiri. Kesalahan mendasar dari
pemahaman Goldziher terhadap al-Qur’an dan qirâ'ât adalah, Pertama
bahwasannya al-Qur’an dan qirâ'ât lahir dari teks. Padahal teks-lah yang
lahir dari al-Qur’an. Kedua, ia tidak memiliki konsep isnad, sehingga
menyamakan qirâ'ât yang mutawattir dengan yang syadz. Hal tersebut jelas
bersebrangan dengan pendapat para Ulama yang menjadikan riwayat
mutawattir sebagai syarat mutlak diterimanya qirâ'ât.
Upaya pembenaran asumsi tersebut kemudian diaplikasikan dengan
tuduhan-tuduhan yang tidak berdasarkan pada bukti yang benar. Bahkan
disertai dengan penafsiran atau reduksi hadits serta riwayat yang tidak jelas
untuk membangun tuduhan, bahwa al-Qur’an tidak otentik lagi. Dan tidak
diragukan lagi, upaya tersebut kemudian gagal dan tidak membuahkan
hasil. Sesuai dengan janji Allah swt, “Inna Nahnu nazzalna al-dzikra wa
inna lahu lahâfidzûn.”
04
TERIMA
KASIH ^ ^

Anda mungkin juga menyukai