Anda di halaman 1dari 6

Program Studi Magister Sains Kebumian

UAS – Manajemen Bencana Kebumian


Kelompok Keahlian - Seismologi

Analisis Risiko, Kerentanan dan Bahaya Karhutla (Kebakaran


Hutan dan Lahan)
Buha Mujur Mandela Simamora
NIM: 22422306
Email: buhasimamora089@gmail.com
Program Studi Magister Sains Kebumian
UAS - Interaksi Atmosfer Laut
Extended Abstract
1. Pendahuluan masih berdiri di hutan merupakan bahan bakar yang
mudah terbakar, dan ketika terbakar, api dapat dengan
Kebakaran hutan dan lahan adalah salah satu bencana
cepat berkobar tinggi. Sisa-sisa dari penebangan hutan,
yang yang sering terjadi di Indonesia terutama terjadi
seperti kayu, ranting, dan daun, juga dapat menjadi
setiap musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus,
bahan bakar dalam kebakaran (Sahardjo, 2003).
September, dan Oktober, atau pada masa peralihan
(transisi). Wilayah hutan dan lahan di Indonesia yang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
sangat berpotensi terbakar adalah wilayah gambut
sebagai lembaga yang berwenang mengenai bencana
seperti di Pulau Sumatera (Riau, Sumut, Jambi dan
di Indonesia, telah menghasilkan standar untuk proses
Sumsel) dan Pulau Kalimantan (Kalimantan Barat,
analisis risiko kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan)
dengan mengeluarkan Peraturan Kepala BNPB Nomor
(Kumalawati dkk., 2016).
2 Tahun 2012. Metode analisis risiko Karhutla yang
Pengertian hutan menurut Undang-Undang No. 41 disajikan dalam peraturan tersebut memberikan
Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa pendekatan yang seragam dan dapat dengan mudah
hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati diaplikasikan di seluruh wilayah Indonesia.
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan (Republik Indonesia, 1999). 2. Metode
Sementara pengertian lahan menurut Peraturan
Analisis risiko merupakan suatu pendekatan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32
metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi
Tahun 2016 adalah suatu hamparan ekosistem daratan
karakteristik dan rentang risiko. Hal ini mencakup
di luar kawasan hutan yang peruntukannya untuk
penilaian potensi bahaya, evaluasi kondisi kerentanan
usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi
yang ada, dan kemampuan untuk menimbulkan
masyarakat (KLHK, 2016).
ancaman atau dampak negatif terhadap penduduk,
Kebakaran Hutan dan Lahan, yang selanjutnya aset, mata pencaharian, serta lingkungan di suatu
disebut Karhutla, didefinisikan sebagai suatu wilayah tempat tinggal. Ada berbagai macam
peristiwa terbakarnya hutan dan/atau lahan, baik pendekatan yang dapat diambil dalam melakukan
secara alami maupun oleh perbuatan manusia, analisis risiko Karhutla. Misalnya pendekatan
sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang pemodelan spasial (Sugiarto dkk., 2013; Widodo,
menimbukan kerugian ekologi, ekonomi, sosial 2014; Andini dkk., 2016) maupun identifikasi faktor
budaya dan politik. Kebakaran hutan juga diartikan kerentanan yang paling berpengaruh dalam analisis
sebagai api yang terjadi pada hutan secara risiko Karhutla (Latifah dan Pamungkas, 2013).
keseluruhan ataupun sebagian, semak, atau juga Hubungan antara risiko, hazard, kerentanan dan
vegetasi mudah terbakar lainnya (Hussin, 2008) kapasitas dapat dirumuskan melalui persamaan sebagai
berikut:
Pengkajian risiko bencana adalah metode yang
digunakan untuk mengantisipasi potensi konsekuensi
yang merugikan yang dapat muncul akibat
kemungkinan terjadinya bencana tertentu (BNPB,
2012). Kebakaran hutan dan lahan memberikan
Risk=Hazard ( Vulnerability
Capacity )
dampak yang cukup besar bagi kerugian manusia
baik material maupun imaterial. Pemerintah telah
berupaya keras menyelesaikan permasalahan ini baik
melalui dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, 2.1 Kerentanan
maupun dukungan pendanaan. Namun realitanya
kejadian ini masih berulang sepanjang tahun
(Supriyanto dkk., 2018) Tingkat kerentanan sistem di masyarakat yang berada
di wilayah yang rentan terhadap bencana akan
Jenis vegetasi atau penutup lahan berfungsi sebagai memengaruhi keputusan individu untuk melakukan
bahan bakar ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan. migrasi atau tetap tinggal (Macchi, 2010). Kerentanan
Kemungkinan terbakarnya vegetasi atau penutup dipengaruhi oleh kondisi fisik, sosial, ekonomi, serta
lahan ini tergantung pada sejauh mana jenis vegetasi lingkungan, dan juga oleh proses yang dapat
atau penutup lahan tersebut tahan terhadap meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap
kebakaran. Ketika dalam keadaan hidup dan sehat, dampak bahaya (UN-ISDR, 2009 dalam Lisditya,
tumbuhan cenderung sulit terbakar, tetapi jika sudah 2012). Menurut Van Wasten, 2005, kerentanan dibagi
mati, mereka menjadi rentan terbakar. Serasah dan menjadi 4 jenis yaitu sebagai berikut:
lapisan humus yang masih utuh adalah sumber bahan
organik yang sudah mati, seperti daun-daun dan 1. Kerentanan Fisik
ranting pohon yang sudah mati. Serasah mudah Mengacu pada kemungkinan dampak fisik
mengering dan oleh karena itu lebih rentan terbakar. terhadap lingkungan dan penduduk,
Ranting pohon yang sudah mati dan pohon yang termasuk kondisi dan usia bangunan,
Program Studi Magister Sains Kebumian
UAS - Interaksi Atmosfer Laut
Extended Abstract
struktur infrastruktur jalan, serta fasilitas c) Vegetasi kayu, Tanaman berjenis kayu
umum. Analisis kerentanan dilakukan berkontribusi pada peningkatan kerentanan
untuk setiap jenis struktur yang mengalami terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sifat
tingkat kerusakan yang serupa.\ mudah terbakar dari vegetasi kayu dapat
memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
2. Kerentanan Ekonomi
d) Ketersediaan pasokan air, kanal dan parit yang
Merupakan konsekuensi yang mungkin dibuat di lahan gambut menyebabkan gambut
terjadi akibat ancaman terhadap aset mengalami dehidrasi berlebihan saat musim
ekonomi dan aktivitas ekonomi, termasuk kemarau, sehingga meningkatkan
gangguan pada bisnis, peningkatan tingkat kerentanannya terhadap kebakaran.
kemiskinan, serta kehilangan lapangan e) Hasil hutan, ketidakadanya insentif dan
kerja. adanya hambatan bagi perusahaan perhutani
telah mengakibatkan kurangnya fokus pada
3. Kerentanan Sosial
pengelolaan kebakaran, yang pada akhirnya
Konsekuensi yang muncul akibat peristiwa meningkatkan kerentanan terhadap bencana
tertentu terhadap sekelompok individu, kebakaran hutan dan lahan.
seperti rumah tangga, orang tua tunggal, f) Hasil pertanian, pembakaran sengaja untuk
wanita hamil atau yang sedang menyusui, keperluan pertanian juga merupakan penyebab
penyandang cacat, anak-anak, dan lansia. utama dari kebakaran hutan dan lahan.
Hal ini juga mempertimbangkan tingkat
kesadaran masyarakat dalam upaya 2. Faktor Manusia
mengurangi risiko.
a) Kegiatan penduduk, persiapan lahan untuk
4. Kerentanan Lingkungan berbagai jenis usaha pertanian dan kehutanan
dapat menimbulkan risiko kebakaran.
Dampak potensial yang mungkin muncul Aktivitas penduduk seperti membakar lahan,
akibat peristiwa terhadap ekosistem, membuang puntung rokok, atau membuat api
termasuk air, tanah, udara, flora, dan fauna. unggun saat berkemah seringkali menjadi
Faktor-faktor yang mendasari kerentanan penyebab kebakaran.
ini meliputi kemiskinan, ketidakmerataan
pembangunan, pertumbuhan populasi, b) Mata pencaharian, individu yang bergantung
urbanisasi, kepemilikan lahan yang tidak pada hutan sebagai sumber penghidupan
seimbang, tingkat pendidikan rendah, tanah seringkali mengabaikan konsekuensi
yang tidak produktif, lokasi pemukiman membakar vegetasi.
yang tidak optimal, bangunan yang kurang
c) Jaringan jalan, ketersediaan infrastruktur
tahan bencana, deforestasi, masalah gizi,
jalan yang memadai mempermudah
pengangguran, dan tingkat buta huruf yang
mobilisasi peralatan dan tenaga
tinggi. Masalah-masalah ini menjadi dasar
penanggulangan kebakaran, sementara
untuk menilai tingkat kerentanan.
ketidakmemadaiannya jaringan jalan menuju
daerah-daerah yang rentan terhadap
kebakaran seringkali menghambat upaya
pemadaman cepat.

2.1.1 Faktor-faktor Kerentanan Terhadap


Kebakaran Hutan dan Lahan

Faktor kerentanan terhadap kebakaran hutan dan


lahan yaitu faktor alami dan manusia (Latifah dan
Pamungkas, 2013) diantaranya sebagai berikut:
d) Pengadaan prasarana pemadam kebakaran,
1. Faktor Alami
diperlukan pengelolaan optimal dari fasilitas
a) Iklim yang sangat ekstrem, seperti musim
dan infrastruktur yang sudah ada melalui
kemarau yang berkepanjangan,
identifikasi peralatan yang dibutuhkan
meningkatkan kerentanan terhadap bencana
berdasarkan tingkat kepentingannya.
kebakaran.
Keterbatasan sarana pemadaman yang ada
b) Vegetasi gambut, penyebab meningkatnya
mendorong masyarakat untuk memulai
intensitas kebakaran hutan dan lahan adalah
inisiatif dengan menggunakan dana swadaya
adanya lahan gambut yang menyimpan
guna mendapatkan peralatan pemadam
panas.
Program Studi Magister Sains Kebumian
UAS - Interaksi Atmosfer Laut
Extended Abstract
kebakaran. Parameter-parameter yang membentuk risiko
Karhutla melibatkan jenis lahan dan hutan, kondisi
e) Kenaikan jumlah penduduk memengaruhi
cuaca (curah hujan), dan jenis tanah. Setiap parameter
pembukaan hutan dan lahan, yang sering
tersebut dievaluasi berdasarkan derajat pengaruh atau
melibatkan penggunaan api sebagai metode
signifikansinya dalam masing-masing kelas
persiapan lahan.
menggunakan teknik penilaian. Hasil penilaian
tersebut kemudian dibagi menjadi tiga tingkatan
2.2 Risiko risiko, yaitu risiko Karhutla rendah, sedang, dan
tinggi.
Risiko bencana merupakan potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah
dalam kurun waktu tertentu (Isa dkk., 2014).
Definisi risiko kebakaran merupakan potensi
kerugian yang dapat mengacam keselamatan jiwa
manusia dan menimbulkan kerugian harta benda
akibat oleh nyala api tidak terkendali. Sebagian
besar studi risiko kebakaran fokus pada risiko
kebakaran hutan, seperti yang dilakukan di daerah
hutan tropis di Brasil, Afrika Tengah, dan Asia
Tenggara (Chuvieco dkk., 2014). Untuk mengetahui
analisis risiko karhutla, diperlukan data pemukiman
di wilayah tersebut. Adapun beberapa risiko terkait 3. Gagasan dan Solusi
dengan kebakaran hutan ialah:
a) Kerugian ekonomi: Kebakaran hutan dapat Kebakaran hutan dan lahan adalah masalah yang
menghancurkan tanaman, hutan, dan kompleks dan sangat penting, terutama di era
sumber daya alam lainnya yang memiliki perubahan iklim saat ini. Gagasan pribadi saya adalah
nilai ekonomi, seperti hasil hutan, tanaman bahwa upaya penanggulangan dan pencegahan
pertanian, dan ternak. kebakaran hutan dan lahan harus menjadi prioritas
global, dan solusi harus mencakup berbagai aspek,
b) Kerugian lingkungan: Kebakaran hutan termasuk pendidikan masyarakat, manajemen hutan
dapat merusak ekosistem dan yang bijak, dan tindakan mitigasi perubahan iklim.
keanekaragaman hayati, mengakibatkan Beberapa gagasan pribadi dan solusi yang saya
hilangnya habitat alami dan spesies hewan anggap penting dalam menghadapi masalah ini
serta tumbuhan. adalah:
c) Kesehatan manusia: Kualitas udara dapat 1. Pendidikan Masyarakat
memburuk karena asap dan partikel yang Masyarakat perlu diberi pemahaman yang lebih
dihasilkan oleh kebakaran hutan, yang baik tentang risiko kebakaran hutan dan lahan,
dapat berdampak negatif pada kesehatan termasuk cara-cara pencegahan. Pendidikan ini
manusia, terutama pada penyakit harus mencakup perilaku aman dalam
pernapasan. menggunakan api, pencegahan pembakaran
hutan ilegal, dan kesadaran akan kontribusi kita
d) Emisi karbon: Kebakaran hutan terhadap perubahan iklim.
mengeluarkan gas rumah kaca dan karbon 2. Manajemen Hutan yang Berkelanjutan
dioksida ke atmosfer, berkontribusi pada Praktik-praktik hutan yang bijak, termasuk
perubahan iklim global. pemeliharaan dan pengelolaan hutan yang
e) Gangguan sosial: Kebakaran hutan dapat berkelanjutan, dapat membantu mengurangi
mengganggu komunitas yang tinggal di risiko kebakaran. Ini melibatkan pemantauan
sekitar hutan, mengakibatkan evakuasi, vegetasi, pemadaman kebakaran dini, dan
kerugian harta benda, dan bahkan korban praktik konservasi alam.
jiwa. 3. Penggunaan Teknologi
Teknologi modern, seperti sistem pemantauan
f) Kerentanan terhadap bencana berulang: kebakaran berbasis satelit, dapat membantu
Kebakaran hutan yang terjadi secara mendeteksi dan merespons kebakaran dengan
berulang di wilayah tertentu dapat lebih cepat. Dengan teknologi ini, kita dapat
meningkatkan risiko bencana dan mengidentifikasi kebakaran lebih awal, sehingga
kerentanan masyarakat. tindakan pemadaman dapat dilakukan secepat
mungkin.
2.3 Bahaya 4. Restorasi Hutan dan Lahan
Melakukan upaya restorasi untuk memulihkan
Analisis risiko kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ekosistem yang rusak akibat kebakaran.
mengikuti metode yang telah ditentukan dalam Penanaman kembali vegetasi yang sehat dapat
Peraturan Kepala BNPB Nomor 2 Tahun 2012. membantu mencegah kebakaran dan menjaga
Program Studi Magister Sains Kebumian
UAS - Interaksi Atmosfer Laut
Extended Abstract
keberlanjutan hutan.
5. Pengurangan Emisi Karbon
Kebakaran hutan dan lahan adalah penyumbang
utama emisi karbon dioksida ke atmosfer. Oleh
karena itu, solusi jangka panjang harus
mencakup upaya untuk mengurangi emisi
karbon secara global, seperti transisi ke energi
terbarukan dan perlindungan hutan hujan.
6. Penegakan Hukum yang Ketat: Memperkuat
penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal
yang dapat menyebabkan kebakaran, seperti
pembukaan lahan dengan membakar secara
ilegal.
7. Kerja Sama Internasional
Kebakaran hutan dan lahan adalah masalah
lintas batas, dan kerja sama internasional sangat
penting. Negara-negara harus bersatu untuk
mengatasi masalah ini dan berbagi pengetahuan
serta sumber daya untuk melawan kebakaran
hutan dan lahan secara efektif.

Referensi
[1] Hobday, Alexander, L.V, Perkins, S.E., Smale,
D.A., Straub, S.C., Oliver, E.C.J., Benthuysen, J.A.,
Burrows, M.T., Donat, M.G., Feng, M., Holbrook,
N.J., Moore, P.J., Scannell, H.A., Sen Gupta, A., &
Wernberg, T. (2016). A hierarchical approach to
defining marine heatwaves. Progress in
Oceanography, 141, 227–238.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.pocean.2015.
1 2.014
[2] Oliver, E.C.J., Donat, M.G., Burrows, M.T., Moore,
P.J., Smale, D.A., Alexander, L.V, Benthuysen, J.A.,
Feng, M., Sen Gupta, A., Hobday, A.J., Holbrook,
N.J., Perkins-Kirkpatrick, S.E., Scannell, H.A.,
Straub, S.C., & Wernberg, T. (2018). Longer and
more frequent marine heatwaves over the past
century. Nature Communications,
9(1), 1324.
https://doi.org/10.1038/s41467-018-03732-9
[3] Iskandar, M.R., Ismail, M.F.A., Arifin, T., & Chandra,
H. (2021). Marine heatwaves of sea surface
temperature off south Java. Heliyon, 7(12),
e08618.
Program Studi Magister Sains Kebumian
UAS - Interaksi Atmosfer Laut
Extended Abstract
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e Australia: The role of stratification and local winds,
08618 Geophysical Research Letters, 44(10), 5025–5033.
[4] Habibullah, A.D., Tarya, A., Ningsih, N.S., Putri, https://doi.org/https://doi.org/10.1002/2017GL073714
M.R. Marine Heatwaves in the Indonesian Fisheries [15] Lee, S., Park, M.-S., Kwon, M., Kim, Y. H., dan Park,
Management Areas. J. Mar. Sci. Eng. 2023, 11, 161. Y.-G. (2020): Two major modes of East Asian marine
https://doi.org/10.3390/jmse11010161 heatwaves, 15(7), 74008. https://doi.org/10.1088/1748-
[5] England, M. H., dan Huang, F. (2005): On the 9326/ab8527
Interannual Variability of the Indonesian Throughflow
and Its Linkage with ENSO, Journal of Climate, 18(9),
1435–1444. https://doi.org/10.1175/JCLI3322.1
[6] Liu, Q.-Y., Feng, M., Wang, D., dan Wijffels, S.
(2015): Interannual variability of the Indonesian
Throughflow transport: A revisit based on 30 year
expendable bathythermograph data, Journal of
Geophysical Research: Oceans, 120(12), 8270–8282.
https://doi.org/https://doi.org/10.1002/2015JC011351
[7] Azuga, N. A., dan Radjawane, I. (2022). Subsurface
Marine Heatwaves of South Java Sea: Trend,
Frequency, Duration, and Cumulative Intensity Based
on Assimilation Model (1993-2019).
10.31258/jpk.27.3.394-406.
[8] Gupta, A. Sen, Thomsen, M., Benthuysen, J. A.,
Hobday, A. J., Oliver, E., Alexander, L. V., Burrows,
M. T., Donat, M. G., Feng, M., Holbrook, N. J.,
Perkins-Kirkpatrick, S., Moore, P. J., Rodrigues, R. R.,
Scannell, H. A., Taschetto, A. S., Ummenhofer, C. C.,
Wernberg, T., & Smale, D. A. (2020). Drivers and
impacts of the most extreme marine heatwaves events.
Scientific Reports, 10(1), 1–15.
https://doi.org/10.1038/s41598-020-75445-3
[9] Li, M., Gordon, A.L., Gruenburg, L.K., Wei, J., &
Yang, S. (2020). Interannual to Decadal Response of
the Indonesian Throughflow Vertical Profile to Indo-
Pacific Forcing. Geophysical Research Letters, 47(11),
e2020GL087679.
https://doi.org/https://doi.org/10.1029/2020GL087679
[10] Benthuysen, J., Feng, M., dan Zhong, L. (2014):
Spatial patterns of warming off Western Australia
during the 2011 Ningaloo Niño: Quantifying impacts
of remote and local forcing, Continental Shelf
Research, 91, 232– 246.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.csr.2014.09.01
4
[11] Di Lorenzo, E., dan Mantua, N. (2016): Multi-year
persistence of the 2014/15 North Pacific marine
heatwave, Nature Climate Change, 6(11), 1042– 1047.
https://doi.org/10.1038/nclimate3082
[12] Kataoka, T., Tozuka, T., Behera, S., dan Yamagata, T.
(2014): On the Ningaloo Niño/Niña, Climate
Dynamics, 43(5), 1463–1482.
https://doi.org/10.1007/s00382-013-1961-z
[13] Oliver, E. C. J., Benthuysen, J. A., Bindoff, N. L.,
Hobday, A. J., Holbrook, N. J., Mundy, C. N., dan
Perkins-Kirkpatrick, S. E. (2017): The unprecedented
2015/16 Tasman Sea marine heatwave, Nature
Communications, 8(1), 16101.
https://doi.org/10.1038/ncomms16101
[14] Schaeffer, A., dan Roughan, M. (2017): Subsurface
intensification of marine heatwaves off southeastern

Anda mungkin juga menyukai