Anda di halaman 1dari 14

DIKTAT MANAJEMEN BENCANA

2.1  Pengertian Kebakaran 


Kebakaran hutan merupakan kebakaran permukaan tanah dimana api membakar
material yang ada di atas permukaan (seperti pohon, semak, rumput, dll), kemudian api
menyebar secara tidak merata secara perlahan di bawah permukaan dengan membakar
bahan organic gambut. Menurut SK. Menhut. No. 195/Kpts-II/1996 kebakaran hutan
merupakan suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan
hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya.
Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Gellert, 1998;
Stolee et al, 2003) yang menjadi perhatian local dan global (Herawati dan Santoso, 2011)
(Cahyono et al., 2015).  Di Indonesia kebakaran hutan dipandang sebagai peristiwa
bencana regional dan global. Hal ini disebabkan karena dampak dari kebakaran hutan
menjalar sampai ke negara – negara tetangga dan gas – gas dari hasil kebakaran
berpotensi menimbulkan pemanasan global. Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya
terjadi di lahan kering tetapi juga terjadi di lahan basah sepert lahan gambut, ketika
terjadi musim kemarau panjang lahan gambut tersebut mengering dan dapat berpotensi
menyebabkan kebakaran. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut secara lamban akan
menggrogoti material organi yang ada di dalamnya dan gas – gas yang diemisikan dari
hasil pembakaran dapat memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim global
(Adinugroho, 2005). 
2.2 Penyebaran Potensi Kebakaran di Indonesia
Sumber: Kompas.com

Ada 11 provinsi di Indonesia yang rawan bencana kebakaran hutan, seperti Provinsi
Aceh, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jambi, Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat,
Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Papua. Menurut laporan
BMKG wilayah tersebut merupakan wilayah persebaran titik api/ titik kebakaran (hotspot) yang
paling banyak sehingga sering terjadi bencana kerbakaran di wilayah tersebut. Data yang
diperoleh dari BMKG pada tahun 2018 bahwa di wilayah tersebut mempunyai jumlah titik panas
yang berbeda, seperti pada Provinsi Aceh memiliki 124 titik, Provinsi Riau memiliki 1.154 titik,
Provinsi Jambi memiliki 154 titik, Provinsi Sumatera Selatan memiliki 348 titik, Provinsi
Sumatera Utara memiliki 218 titik, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki 273 titik,
Provinsi Kalimantan Barat memiliki 5.252 titik, Provinsi Kalimantan Timur memiliki 326 titik,
Provinsi Kalimantan Tengah 894 titik, Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 281 titik, dan
Provinsi Papuan memiliki 517 titik. Jumlah titik panas tahun 2018 tersebut dapat bertambah jika
musim kemarau masih berlanjut (Kompas.com).
Sumber: globalforestwatch.org

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak hutan tropis, sehingga tidak
jarang jika setiap tahunnya terjadi kebakaran hutan. Hampir setiap tahunnya Indonesia
selalu mengalami bencana kebakaran hutan, sehingga dipastikan Indonesia merupakan
penyumbang emisi karbon terbesar, karena akibat dari kebakaran hutan. Dilihat dari
diagram tersebut bahwa wilayah hutan yang terbakar setiap tahunnya mengalami
fluktuatif. Kebakaran hutan yang paling parah terjadi di tahun 2019, ada 0,9 hektar
wilayah hutan yang terbakar. Hal tersebut dapat berdampak pada kerugian ekonomi.
Sehingga perlu menjadi perhatian khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Indonesia dalam upaya pemantauan dan pencegahan kebakaran. Pemerintah
disarankan untuk sementara waktu menghentikan perizinan baru untuk perkebunan
kelapa sawit dan memberlakukan konversi hutan primer dan lahan gambut. 

2.3 Faktor - Faktor Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan banyak terjadi di kawasan hutan tropis termasuk di Indonesia.


Banyak wilayah di Indonesia yang memiliki hutan yang lebat seperti di Kalimantan,
Sumatera, Aceh, Bangka Belitung, Jambi, Riau, dan Papua. Wilayah tersebut berpotensi
besar untuk dapat terjadi kebakaran hutan. Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya
beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti faktor alam maupun faktor buatan. Faktor
alam biasanya berupa faktor iklim seperti suhu, kelembaban, angin, dan curah hujan (Rasyid,
2014). Selain itu, dapat terjadi akibat kemarau yang berkepanjangan atau biasa disebut El
Nino sehingga mengakibatkan ranting pohon menjadi kering, ketika ranting tersebut
bergesekan dengan ranting pohon yang lainnya dan terkena sinar matahari yang panas, lama
kelamaan ranting tersebut memunculkan percikan api dan jika terus menerus akan berakibat
kebakaran (Hidyat, 2015). Faktor lainnya yaitu faktor buatan yang terjadi karena perbuatan
manusia. Di Indonesia kebakaran hutan banyak terjadi akibat perbuatan manusia, entah
sengaja dibakar atau karena terjadi api lompat akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.
Terdapat 99,9% kebakaran hutan terjadi karena ulah manusia sedangkan sisanya yaitu 0,1%
karena alam (Adinugroho, 2005). Kebakaran hutan yang disebabkan oleh manusia antara
lain:

 Membuang bekas puntung rokok di kawasan hutan dapat mengakibatkan kebakaran


hutan. Hal ini terjadi karena puntung rokok yang dibuang masih meninggalkan sedikit
percikan api sehingga jika menyentuh daun kering atau ranting kering yang jatuh dan
bergesekan maka akan menyebabkan api membesar dan terjadi kebakaran.
 Perambahan hutan atau alih fungsi hutan. Perambahan hutan biasanya dilakukan karena
adanya migrasi penduduk di kawasan hutan. Di Indonesia biasanya perambahan hutan
dilakukan untuk faktor ekonomi seperti kawasan hutan dibakar lalu diganti menjadi
kawasan perkebunan kelapa sawit atau pertanian. Selain itu juga digunakan untuk
pembuatan jembatan, dan jalan. Perambahan hutan atau alih fungsi hutan  yang dilakukan
dengan cara dibakar akan lebih menghemat biaya, cepat, dan lebih mudah dalam proses
tersebut (Rasyid, 2014).
 Kegiatan pembalakan liar atau illegal logging dapat mengakibatkan kebakaran hutan,
karena ketika melakukan kegiatan tersebut meninggalkan banyak sisa seperti daun,
ranting, maupun batang sehingga jika semakin lama dibiarkan maka semakin menumpuk
di kawasan hutan. dan jika musim kemarau panjang, sisa penebangan tersebut akan
mengering dan dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran (Rasyid, 2014).
 Adanya konflik sosial. Sering kali muncul konflik sosial yang terjadi kepada masyarakat
yang tinggal di kawasan sekitar hutan karena adanya ketidakpuasan masyarakat dengan
pengelolaan hutan sehingga mengakibatkan masyarakat bertindak anarkis. Tindakan
tersebut biasanya dilakukan dengan membakar kawasan hutan yang dipergunakan secara
ilegal (Rasyid, 2014).
 Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam. Kebakaran terjadi karena adanya
pembakaran semak belukar yang menghalangi akses dalam pemanfaatan sumber daya
alam dan pembuatan api digunakan untuk memasak oleh para penebang liar. Jika terjadi
keteledoran dalam memadamkan api maka akan terjadi kebakaran (Adinugroho, 2005)

2.4 Upaya Penanggulangan Bencana Kebakaran di Indonesia berdasarkan Undang-


Undangan Nomor 24 Tahun 2007 ((24 2007)

1. Kesiapan Penanggulangan 
a. Pasal 27 ayat (1) mengenai Pengurangan risiko bencana yang dilakukan
dengan tujuan mengurangi dampak yang timbul dari bencana kebakaran,
terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana
pengenalan dan pemantauan risiko bencana; perencanaan partisipatif
penanggulangan bencana; pengembangan budaya sadar bencana;
peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana;
dan penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan
bencana
b. Pasal 44 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi
terdapat potensi terjadi bencana.
c. Kesiapsiagaan, meliputi :
Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan
bencana; pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem
peringatan dini; penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan
kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi
tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi
evakuasi; penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran
prosedur tetap tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan
bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan
sarana.
2. Peringatan dini
a. pengamatan gejala bencana; 
b. analisis hasil pengamatan gejala bencana; 
c. pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang; 
d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana pengambilan
tindakan oleh masyarakat. 
3. Mitigasi bencana.
Pada Pra Bencana
Pelaksanaan penataan tata ruang; pengaturan pembangunan,
pembangunan infrastruktur, tata bangunan penyelenggaraan pendidikan,
penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
Pada saat terjadinya bencana kebakaran 
Pasal 48 mengenai Pengkajian secara cepat dan tepat saat terjadinya
bencana kebakaran
 pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan
sumber daya
 Penentuan status keadaan darurat bencana
 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; 
 Pemenuhan kebutuhan dasar; 
 Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 
 Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
dilakukan untuk mengidentifikasi: 
a. cakupan lokasi bencana; 
b. jumlah korban; 
c. kerusakan prasarana dan sarana; 
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan 
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
4. Pemeriksaan Penyebab Kebakaran Pascabencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pascabencana 
a. Rehabilitasi
Pasal 58 (1) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 
 Perbaikan lingkungan daerah bencana; 
 Perbaikan prasarana dan sarana umum; 
 Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; 
 Pemulihan sosial psikologis; 
 Pelayanan kesehatan; 
 rekonsiliasi dan resolusi konflik; 
 pemulihan sosial ekonomi budaya; 
 pemulihan keamanan dan ketertiban;
 pemulihan fungsi pemerintahan; dan
 pemulihan fungsi pelayanan publik.
5. Rekonstruksi
Rekonstruksi sebagaimana dimaksud dilakukan melalui kegiatan
pembangunan yang lebih baik, meliputi: 
a. Pembangunan kembali prasarana dan sarana; 
b. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; 
c. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; 
d. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang
lebih baik dan tahan bencana; 
e. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha, dan masyarakat; 
f. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya; 
g. Peningkatan fungsi pelayanan public
h. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat
Upaya yang dapat dilakukan masyarakat yaitu dengan tidak melakukan
pembakaran dalam penyiapan lahan maupun kepentingan pribadi lainnya, menjaga,
mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran di lingkungan masing-masing dan
sekitarnya, melaporkan setiap kejadian kebakaran kepada pemerintah daerah
setempat. 
2.5 Hubungan Pencegahan terhadap Severitas Bencana Kebakaran 
Apabila masyarakat melakukan  upaya-upaya tersebut, dapat memabantu dalam
pencegahan  severitas yang terjadi saat bencana kebakaran melanda. Kemampuan
masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran khususnya pada kondisi pra-
bencana, merupakan salah satu potensi yang dapat dikembangkan menjadi hal yang dapat
menekan angka kejadian kebakaran, pada akhirnya kemampuan masyarakat dalam
memitigasi kebakaran diharapkan dapat menjadi salah satu perangkat Kajian Mitigas
Bencana Kebakaran di Permukiman Padat dalam proses pencegahan dan
penanggulangan, dimana selama ini kontribusi terbesar masih dilakukan oleh Dinas
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran (Nurwulandari 2017).
Contohnya ketika masyarakat diberikan edukasi mengenai cara-cara
menyelamatkan diri saat kebakaran dan terjebak didalam bangunan. Apabila hal
demikian terjadi seketika, masyarakat dapat mawas diri dan hal tersebut dapat
mengurangi keparahan akibat dari bencana kebakaran. Pada prinsipnya mitigasi memuat
beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai berikut : 
1. mengurangi resiko atau dampak yang ditimbulkan dari bencana khusunya
bagi penduduk. 
2. sebagai landasan untuk perencanaan pembangunan
3. untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat (public awareness) dalam
menghadapi situasi bencana. 
Dalam kasus ini, tujuan-tujuan tersebut memiliki hubungan timbal balik
dengan tingkat keparahan bencana yang akan terjadi. Apabila masyarakat
mengetahui mengenai mitigasi pada bencana, dalam kasus ini adalah bencana
kebakaran. Maka, akan menurunkan angka kematian atau kerugian yang
disebabkan oleh bencana tersebut. 
2.6 Klasifikasi Tingkat Potensi Bahaya Kebakaran
Menurut Permenaker No. Kep. 186/MEN/1999 ada 5 pengklasifikasian tingkat potensi
bahaya kebakaran, antara lain :
1. Bahaya kebakaran ringan.
Merupakan tempat yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar
rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah maka api
menjalar lambat. Tempat yang diklasifikasikan sebagai bahaya kebakaran
ringan yaitu tempat ibadah, gedung atau ruang perkantoran, restoran, hotel,
rumah sakit, lembaga, museum, sekolahan, penjara.Bahaya kebakaran
sedang I. Merupakan tempat yang mempunyai jumlah dan kemudahan
terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2.5 meter
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang sehingga api
menjalar dengan sedang. Tempat yang diklasifikasikan sebagai bahaya
kebakaran sedang I yaitu tempat parkir, pabrik elektronik, pabrik roti, pabrik
barang bekas, pabrik minuman, pabrik permata, pabrik pengalengan
2. Bahaya kebakaran sedang II
Merupakan tempat yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar
sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila
terjadi kebakaran melepaskan panas sedang sehingga api menjalar dengan
sedang  Tempat yang diklasifikasikan sebagai bahaya kebakaran sedang II
yaitu pabrik tembakau, pabrik keramik, perakitan kendaraan bermotor,
pabrik tekstil, pertokoan dengan pramuniaga kurang dari 50 orang. 
3. Bahaya kebakaran sedang III 
Merupakan tempat yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi
dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga api
menjalar dengan cepat. Tempat yang klasifikasi bahaya kebakaran sedang III
yaitu studio dan pemancar, pabrik lilin, pabrik barang plastik, pengolahan
kayu, pabrik barang plastik, pabrik pakaian, pertokoan dengan pramuniaga
lebih dar 50 orang.
4. Bahaya kebakaran berat
Merupakan tempat yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi,
menyimpan bahan cair, serat dan bahan lain dan apabila terjadi kebakaran
apinya cepat membesar. Tempat yang klasifikasi bahaya kebakarannya tinggi
yaitu pabrik bahan peledak, pabrik kembang api, pabrik cat, penyulingan
minyak bumi, pabrik karet busa dan plastik busa. 
Klasifikasi kebakaran di Indonesia ditetapkan melalui peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi No: 04/Men/1980 tanggal 14 April 1980 tentang syarat-syarat
pemasangan dan pemeliharaan APAR. Klasifikasi kebakaran di Indonesia pada dasarnya
berafiliasi ke klasifikasi NFPA (National Fire Protection Association) yang didirikan
pada tahun 1896 di Amerika, yaitu :
 Kelas A : Adalah kebakaran dari bahan benda padat yang mudah terbakar,
misalnya kayu, kertas, plastic, tekstil, busa dan lain-lainnya. Media pemadaman
kebakaran untuk kelas ini berupa: air, pasir, karung goni yang dibasahi dan Alat
Pemadam Api Ringan (APAR) atau racun api tepung kimia kering.
 Kelas B : Adalah kebakaran dari bahan cair atau gas yang mudah terbakar,
misalnya: bensin, solar, minyak tanah, bensol, oli, spiritus, dll. Media pemadaman
kebakaran untuk kelas ini berupa : pasir dan Alat Api Ringan (APAR) atau racun
api tepung kimia kering. Dilarang memakai air untuk jenis ini karena berat jenis
air lebih berat dari pada berat jenis bahan diatas sehingga bila kita menggunakan
air maka kebakaran akan melebar kemana-mana.
 Kelas C : Adalah kebakaran yang disebabkan karena arus listrik pada peralatan-
peralatan, misalnya: mesin, generator, panel listrik, dan lain-lainnya. Media
pemadaman kebakaran untuk kelas ini berupa: Alat Pemadam Kebakaraan
(APAR) atau racun api tepung kimia. Matikan dulu sumber listrik agar kita aman
dalam memadamkan kebakaran.
 Kelas D : Adalah kebakaran dari bahan logam, misalnya : Titanium, Magnesium,
Kalsium, Litium, Uranium, dan lain-lainnya.
2.7 Jenis-jenis media pemadam kebakaran
Dewasa ini pemadam jenis halon sudah dilarang karena mempunyai efek terhadap
kesehatan manusia. Pada dasarnya semua media pemadam kebakaran harus mempunyai
kinerja tinggi dan cepat terhadap usaha pemadaman kebakaran. Jenis media yang lazim
digunakan, antara lain; busa, bubuk kimia kering, air, gas CO2
Sistem Proteksi Kebakaran menurut (Widyana and Agusta 2018).
1. Konsep system proteksi kebakaran :
- Sarana proteksi aktif
- Sarana proteksi pasif
- Fire safety manajemen
2. Sistem deteksi dan alarm kebakaran dapat berupa detector dan alarm
3. Alat pemadam api ringan (APAR) : Direncanakan untuk memadamkan api pada
awal terjadinya kebakaran. Syarat jenis media pemadam, penempatan dan kelas
kebakaran maupun berat minimum harus mengikuti peraturan yang telah
ditentukan.
4. Hidrant Adalah instalasi pemadam kebakaran yang dipasang permanent berupa
jaringan pipa berisi air bertekanan terus menerus dan siap digunakan.
Komponen utamanya adalah;
- Persediaan air yang cukup
- Sistem pompa yang handal
- Sambungan untuk mensuplai air dari mobil kebakaran
- Jaringan pipa yang cukup
- Slang dan noozle yang cukup
- Perencanaan instalasi hydrant harus memenuhi ketentuan-ketentuan standar
yang berlaku.
5. Springkler
Adalah instalasi pemadam kebakaran yang dipasang secara permanent untuk
melindungi bangunan dari bahaya kebakaran yang bekerja secara otomatis
memancarkan air melalui kepala sprinkler yang akan pecah gelas kacanya pada
suhu tertentu. Komponen utama sprinkler adalah;
- Persediaan air
- Pompa
- Siamese connection
- Jaringan pipa
- Kepala sprinkler
6. Sarana Evakuasi
Evakuasi adalah usaha menyelamatkan diri sendiri dari tempat berbahaya menuju
tempat aman. Sarana evakuasi adalah sarana dalam bentuk konstruksi untuk
digunakan untuk evakuasi.
7. Kompartemensi, melakukan pengendalian kebakaran melalui tata ruang suatu
bangunan
8. Sistem pengendalian asap dan panas
Asap dan panas pada saat kebakaran adalah merupakan produk yang sangat
membahayakan bagi manusia, oleh karena itu perlu diperhitungkan pengendalian
asap dan panas dengan pembuatan jalur atau cerobong tegak.
9. Pressurized fan
Digunakan untuk meemcah konsentrasi gas dan uap yang terbakar berada dibawah
flammable range, sehingga terhindar dari resiko penyalaan
10. Tempat penimbunan bahan cair atau gas mudah terbakar.(Kementerian Kesehatan
RI 2012)
Tempat penimbunan harus diletakkan diluar bangunan dengan jarak tertentu dari
bangunan lainnya. Persediaan bahan bakar cadangan dalam ruangan harus dibatasi
maksimal 20 liter dengan tempat yang tidak mudah terbakar. (Rahman 2019)

2.2 Manajemen Penanggulangan Keadaan Darurat Kebakaran


Tanggap darurat adalah suatu sikap untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, yang akan menimbulkan kerugian baik
fisik-material maupun mental spiritual (Subagyo 2018).
Ditinjau dari sudut pandang ilmu manajemen, tanggap darurat (emergency
response) dalam setiap organisasi, khususnya di perusahaan/ industri (termasuk
rumah sakit), merupakan bagian dari salah satu fungsi manajemen yaitu perencaan
(planning) atau rancangan. Oleh karena itu, setiap organisasi – perusahaan/industri
harus mempersiapkan rencana/ rancangan untuk menghadapi keadaan
daruratberikut prosedur-prosedurnya, dan semua ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan organisasi secara menyeluruh (Mustika, Wardani, and
Prasetio 2018).
Manajemen penanggulangan kebakaran bangunan gedung merupakan bagian
dari “Manajemen Bangunan” untuk mengupayakan kesiapan pengelola, penghuni
dan regu pemadam kebakaran terhadap kegiatan pemadaman yang terjadi pada
suatu bangunan gedung. Besar kecilnya organisasi manajemen penanggulangan
kebakaran ditentukan oleh risiko bangunan terhadap bahaya (Mustika, dkk 2018)
10.1 Organisasi Tanggap Darurat

Menurut Kepmen No. KEP.186/MEN/1999, organisasi tanggap


darurat kebakaran adalah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus
fungsional di bidang kebakaran. Petugas peran penanggulangan kebakaran
adalah petugas yang ditunjuk dan diserahi tugas tambahan untuk
mengidentifikasi sumber bahaya dan melaksanakan upaya penanggulangan
kebakaran unit kerjanya.
Bentuk struktur organisasi tim penanggulangan kebakaran tergantung
pada klasifikasi risiko terhadap bahaya kebakarannya. Jumlah minimal
anggota tim penanggulangan kebakaran didasarkan atas jumlah
penghuni/penyewa dan jenis bahan berbahaya atau mudah
terbakar/meledak yang disimpan dalam gedung tersebut (Mustika,
2018). Struktur organisasi tim penanggulangan kebakaran terdiri dari
penanggung jawab tim penanggulangan kebakaran, kepala bagian teknik
pemeliharaan, dan kepala bagian keamanan (Faktor et al. 2014).
10.2 Prosedur Tanggap Darurat
Prosedur tanggap darurat merupakan tata cara dalam mengantisipasi
keadaan darurat yang meliputi rencana/rancangan dalam menghadapi
keadaan darurat, pendidikan dan latihan, penanggulangan keadaan darurat,
pemindahan dan penutupan. Prosedur operasional standar (POS) adalah tata
laksana minimal yang harus diikuti dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan kebakaran. Dengan mengikuti ketentuan tersebut
diharapkan tidak terjadi kebakaran atau kebakaran dapat diminimalkan.
Setiap bangunan gedung harus memiliki kelengkapan POS, antara lain
mengenai: pemberitahuan awal, pemadam kebakaran manual, pelaksanaan
evakuasi, pemeriksaan dan pemeliharaan peralatan proteksi kebakaran, dan
sebagainya (Rahardjo, Hafizh, and Prihanton 2019)
Dalam buku Bahan Training Keselamatan Kerja Penanggulangan
Kebakaran, dijelaskan bila terjadi kebakaran langkah-langkah yang harus
diambil bila terjadi kebakaran adalah sebagai berikut (Rahardjo, Hafizh, and
Prihanton 2019):
1. Membunyikan alarm.
2. Memanggil regu pemadam.
3. Pengungsian (meninggalkan tempat kerja).
4. Memadamkan api.
Teknik pemadaman (Ismara 2019)

Faktor, Analisis, Yang Berhubungan, Dengan Kekambuhan, and T B Paru. 2014. “Unnes Journal
of Public Health” 3 (1): 1–10.
Ismara, K Ima. 2019. “Pedoman K3 Kebakaran.” Universitas Negeri Yogyakarta, 29–31.
http://mat.fmipa.uny.ac.id/sites/mat.fmipa.uny.ac.id/files/download/Pedoman K3
Kebakaran.pdf (diakses pada 20 Mei 2020).
Kementerian Kesehatan RI. 2012. “Pedoman Teknis Prasarana Rumah Sakit Sistem Proteksi
Kebakaran Aktif,” 1–61. https://p2k.pemkomedan.go.id/img_perundangan/9314.-Pedoman-
Sistem-Proteksi-Kebakaran-Aktif-Pada-Bangunan-RS.pdf.
Mustika, Sika Widya, Ratih Sari Wardani, and Diki Bima Prasetio. 2018. “Fire Risk Assessment
High Rise Building.” J. Kesehat. Masy. Indones. 13 (1): 18–25.
Nurwulandari, Furi Sari. 2017. “Kajian Mitigasi Bencana Kebakaran Di Permukiman Padat.”
Infomatek 18 (1): 27. https://doi.org/10.23969/infomatek.v18i1.506.
Rahardjo, Hary Agus, Nurrul Hafizh, and Morry Prihanton. 2019. “Manajemen Resiko
Kebakaran Untuk Keberlangsungan Fungsi Bangunan.” Seminar Nasional Sains Dan
Teknologi 2019 Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1–10.
Rahman, N Vinky. 2019. “Kebakaran, Bahaya,” 1–18.
Subagyo, Amir. 2018. “Manajemen Resiko Kebakaran Listrik.” Docplayer.Info 12 (1): 16.
Widyana, Riasasi., and Rivga. Agusta. 2018. “Media Informasi Pembelajaran Mitigasi Bencana
Kebakaran Untuk Usia Sekolah Dasar.” Seminar Hasil Pengabdian Masyarakat ISSN
2615- (April): 49–54.

Anda mungkin juga menyukai