Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM


PADA ANAK USIA DINI

Dosen Pengampu:
Dr. Drs. Nur’l Yakin Mch, SH., M.Hum, MH

Disusun Oleh:
Saida Kusnul Khotimah
30902100206

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 4

C. Tujuan ................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 5

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Dini ............................................. 5

B. Pola Penerapan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Anak Usia Dini 7

C. Langkah-Langkah Dalam Pembelajaran Berbasis Quantum Learning ............ 11

D. Pembentukan dan Metodelogi Pendidikan Akhlak. ......................................... 15

A. Pembentukan Akhlak ...................................................................................... 15

B. Akhlak Sebagai Tujuan Pendidikan Islam ...................................................... 18

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 21

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 21

B. Saran................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah tentang “Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini
” ini dapat tersusun hingga selesai.

Makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas mata kuliah Peradaban Islam serta
menjelaskan tentang Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Islam Pada Anak Usia
Dini. Makalah yang telah saya susun ini terambil dari beberapa sumber yaitu
merupakan sumber tertulis seperti buku-buku yang sesuai dengan tema.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari bahwa Makalah ini masih ada banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik agar dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang “Peran Orang Tua Terhadap
Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini”, ini dapat memberikan manfaat maupun
pengetahuan terhadap pembaca.

Semarang, 29 Oktober 2023

Penyusun

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan agama selayaknya diajarkan sejak anak usia dini. Anak usia dini
adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan, baik intelegensi, sosial emosi, bahasa maupun komunikasi,
yang khusus sesuai tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kegiatan
pendidikan tersebut dimulai dalam keluarga, sejak anak dalam kandungan
(prenatal) sampai setelah kelahiran (postnatal). Keluarga merupakan
lingkungan pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan agama karena
orang tua merupakan guru pertama dan utama bagi anak usia dini. Selain
keluarga pendidikan agama juga didapatkan dalam masyarakat dan sekolah.
Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu kegiatan yang tidak bisa
terpisahkan dengan pendidikan. Dimana ada pendidikan disitulah ada
pembelajaran. Pendidikan dan pembelajaran adalah satu kesatuan yang tidak
bisa terpisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan
pendidikan akan tercapai apabila kegiatan pembelajaran dapat berlangsung
dengan baik dan maksimal.
Menurut Imam Al-Ghazali metode melatih anak merupakan perkara yang
terpenting dan paling utama. Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya.
Hatinya yang suci merupakan perhiasan yang sangat berharga. Bila ia dilatih
untuk mengerjakan kebaikan, ia akan tumbuh menjadi orang baik dan bahagia
di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bila ia dibiarkan mengerjakan keburukan dan
dibiarkan begitu saja bagaikan hewan, ia akan hidup sengsara dan binasa.
Cara orang tua menjaga anaknya adalah dengan mendidik dan mengajarkan
anaknya yang baik serta menjaganya dari teman-teman yang buruk. Saat orang

1
tua melihat tanda-tanda bahwa anaknya telah mampu membedakan antara yang
baik dan yang buruk, ia harus meningkatkan pengawasan terhadapnya. Hal ini
diawali dengan munculnya rasa malu pada anak. Bila anak mulai memiliki rasa
segan dan malu, serta tidak mau melakukan beberapa hal tertentu, itu semua
karena ia mulai bisa berpikir dengan baik sehingga mengetahui perkara yang
tidak baik. Ia mulai malu untuk melakukan hal-hal yang tidak baik tersebut.
Manusia hidup membutuhkan Pendidikan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidupnya. Pendidikan berlangsung pada setiap pertumbuhan
dan siklus perkembangan manusia. Pendidikan saat ini tengah menghadapi
permasalahan yang cukup berat dan kompleks. Kategorisasi permasalahan
mendasar antara lain peserta didik (jumlah, perkembangan, profesi), pendidik
(guru dan dosen), tenaga kependidikan, sarana & prasarana pendidikan,
kurikulum, kebijakan (administrasi dan manajemen), dan pembiayaan
pendidikan. 1
Kesadaran akan pentingnya pendidikan anak usia dini bagi masyarakat
maupun orang tua bisa dikatakan sejalur dengan kebijakan pemerintah,
pasalnya pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan perihal pentingnya
perlindungan serta pendidikan bagi anak usia dini dengan melahirkan Undang-
Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan pasal 28
tentang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan
Nasional dan lahirnya Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (Istiqomah,
2016). Tidak sampai disitu perhatian pemerintah kepada pendidikan anak usia
dini begitu peduli. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan untuk memajukan pendidikan anak usia dini (PAUD) di Indonesia.
Sebagai wujud nyata pemerintah atas keperhatiannya terhadap pendidikan anak
usia dini dapat dilihat dari komitmen pemerintah ataupun kebijakan yang
termuat dalam PNBAI (Program Nasional Bagi Anak Indonesia) yang isinya

1
Opan Arifudin, Konsep Paud, 2016.

2
antara lain: mewujudkan anak yang sehat, tumbuh dan berkembang secara
optimal melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kerjasama lintas
sektoral, perbaikan lingkungan, peningkatan kualitas serta jangkauan upaya
kesehatan, peningkatan sumber daya, pembiayaan dan menajmen kesehatan,
serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, 2) mewujudkan
perlindungan dan pertisipasi aktif anak melalui perbaikan mutu pranata sosial
dan hukum, pemerataan dan perluasan jangkauan pelayanan terutama bagi anak
yang berada dalam keadaan darurat dalam jaringan kerja nasional dan
internasional.2
Anak dilahirkan dengan keunikan masing-masing, sehingga satu dengan
yang lainnya berbeda, karena berbeda ini sehingga pemberian stimulus dan
kemampuan dalam menangkap serta menerima segala pembelajaran akan
berbeda setiap anaknya, segala hal yang telah ada dalam dirinya untuk dapat
melakukan proses berpikir kreatif dan produktif, mandiri. Dalam hal ini, anak
memerlukan program dan kegiatan pendidikan yang dapat membuka kapasitas
tersembunyi tersebut melalui kegiatan pembelajaran yang bermakna sejak dini.
Ketika sebuah potensi pada diri anak tidak pernah direalisasikan dan tidak
diberikan respon yang benar, anak akan kehilangan kesempatan dan momentum
penting dalam hidupnya masa ini lebih dikenal dengan masa keemasan atau
Golden Age. Ketika anak berusia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak,
dimana anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya dan stimulus dalam
mendukung perkembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa ketika
terjadinya pematangan fungsi-fungsi dalam hal fisik dan psikis yang mampu
merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan.

2
Ahmad Sanusi and Siti Khaerunnisa, “Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini DSanusi, A., & Khaerunnisa,
S. (2022). Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Kebijakan Pendidikan Nasional. Jurnal Al-Ilm,
4(20), 33–48. Https://Stisharsyi.Ac.Id/Ojs/Index.Php/AlIlm/Article/View/91alam Kebijakan Pendidi,”
Jurnal Al-Ilm 4, no. 20 (2022): 33–48, https://stisharsyi.ac.id/ojs/index.php/AlIlm/article/view/91.

3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak Pada Usia Dini?
2. Bagaimana Peran Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama Islam Bagi
Anaknya?
3. Upaya Apa Sajakah Yang Dilakukan Orang Tua Untuk Menanamkan
Pendidikan Islam Pada Anak Nya?

C. Tujuan
1. Tujuan Utama
Untuk mengetahui pentingnya Pendidikan Islam pada Anak Usia Dini,
guna untuk mewujudkan generasi yang Qur,ani.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan pada anak usia
dini.
b. Untuk mengetahui proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada
anak usia dini.
c. Konsep Pembelajaran anak usia dini berbasis Quantum Learning
d. Cara Pembentukan dan metodelogi pendidikan akhlak.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Dini


Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam
kehidupan manusia, dimulai sejak dalam kandungan sampai akhir hayat.
Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada perubahan fisik yang bersifat
kuantitatif, sedangkan perkembangan yang bersifat kualitatif berarti
serangkaian perubahan progresif sebagai akibat dari proses kematangan dan
pengalaman.
Manusia tidak pernah statis, semenjak pembuahan hingga ajal selalu terjadi
perubahan, baik kemampuan fisik maupun kemampuan psikologis. Piaget yang
dikutip oleh Ellizabeth menjelaskan bahwa struktur itu tidak pernah statis dan
sudah ada semenjak awal.3 Dengan kata lain, organisme yang matang selalu
mengalami perubahan progresif sebagai tanggapan terhadap kondisi yang
bersifat pengalaman dan perubahan-perubahan itu mengakibatkan jaringan
interaksi yang majemuk. Pertumbuhan dan perkembangan itu dapat
dipengaruhi oleh faktor sebelum lahir (parental), saat kelahiran (perinatal) dan
setelah kelahiran (postnatal). Berkaitan dengan hal itu setiap anak bersifat unik,
artinya tidak ada dua anak yang sama persis walaupun mereka kembar identik
dari satu sel telur.
Sejalan dengan aspek perkembangan anak, menurut Peraturan Pemerintah RI
Nomor 27 Tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah, bahwa program kegiatan
belajar anak usia dini meliputi aspek-aspek sebagai berikut: moral, agama,
disiplin, kemampuan berbahasa, daya piker, daya cipta, emosi, kemampuan
bermasyarakat, social, keterampilan, jasmani. Kesepuluh aspek perkembangan

3
Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak (jakarta: erlangga, 1996). hlm. 12.

5
diatas dalam implementasinya dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok
pengembangan dasar dan kelompok pengembangan kebiasaan.
Kelompok pengembangan kemampuan dasar meliputi: daya cipta, bahasa,
daya pikir, keterampilan, dan jasmani. Daya cipta bertujuan untuk membentuk
anak kreatif. Pembentukan daya cipta harus terintegritas dalam pengembangan
bahasa, daya pikir, keterampilan dan jasmani. Artinya, anak-anak harus
dirangsang agar kreatif dalam bahasa, daya pikir, keterampilan, dan jasmani.
Pengembangan bahasa bertujuan agar anak mampu berkomunikasi secara lisan
dengan lingkungan sosialnya. Daya pikir bertujuan agar anak mampu
menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan pengetahuan yang
diperolehnya. Pengembangan aspek keterampilan bertujuan agar anak trampil
mengembangkan kemampuan motoric halus yang berguna bagi perkembangan
motorik anka. Pengembangan jasmani bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan fisik jasmani anak demi kesehatan anak.
Kelompok pengembangan pembiasaan diimplementasikan secara terus-
menerus dalam aktivitas sehari-hari. Pengembangan pembiasaan ini meliputi
aspek sebagai berikut: moral, agama, disiplin, emosi, dan kemampuan
bermasyarakat atau bersosial. Dalam implementasinya pembiasaan ini dapat
dilakukan dengan membiasakan anak berdoa sebelum melakukan kegiatan,
berterimakasih bila diberi atau bersyukur kepada Allah, berterimakasih bila
diberi atau ditolong, meminta maaf jika melakukan kesalahan, mengucapkan
salam bila bertemu dengan orang lain, tolong-menolong sesame teman,
berdisiplin dengan cara bergantian masuk atau pulang sekolah, rapi dalam
berpakaian, taat pada peraturan,tenggang rasa terhadap keadaan orang lain,
sopan-santun, mengendalikan emosi, bertanggung jawab, berani dan tidak malu
untuk sesuatu yang benar.
Kedua aspek pengembangan anak usia dini baik aspek pengembangan
kemampuan dasar maupun aspek pengembangan pembiasaan, diintegrasikan
secara komprehensip dalam rencana program pembelajaran anak usia dini. Di

6
samping itu juga diimplementasikan dalam aktivitas dirumah, karena itu peran
orang tua dan anggota keluarga anak usia dini menjadi penting dalam
membantu mengondisikan perkembangan anak usia dini. Hal ini sejalan dengan
pendapat Goleman yang menyatakan bahwa pembelajaran moral dan emosi
terjadi pada usia awal, melalui pola-pola interaksi antara orang tua atau orang
dewasa dengan anak.4
Pemerintah telah berupaya mengembangkan berbagai potensi anak sejak
usia dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Untuk mengembangkan berbagai kemampuan atau potensi
anak, maka dikembangkan aspek-aspek pengembangan, yakni: pengembangan
moral dan nilai-nilai agama, pengembangan fisik, pengembangan bahasa,
pengembangan kognitif, pengembangan sosio-emosional, pengembangan seni
dan kreativitas.5
Sesuai dengan tujuan pendidikan anak usia dini, yaitu menyiapkan anak
untuk berkembang secara komprehensif dan menyeluruh, tentu orientasi
pendidikan pada anak usia dini tidak hanya terbatas pada aspek perkembangan
semata, tetapi juga mencakup aspek-aspek perkembangan yang lebih luas.
Untuk memahami aspek-aspek perkembangan yang terjadi pada anak usia dini.

B. Pola Penerapan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Anak Usia


Dini
Untuk terlaksananya seluruh kegiatan pendidikan di sekolah, proses
pengajaran, bimbingan dan latihan mengharuskan adanya perancangan pola
belajar yang dibuat guru. Pola ini amat menentukan keberhasilan pendidikan.
Ia harus dirancang dengan memperhatikan perkembangan anak didik,

4
daniel goleman, Kecerdasan Emosional (jakarta: dr. mansur, M.A., 1999). hlm. 255.
5
depdiknas, Acara Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Usia Dini (Pembelajaran Generik),
(jakarta: depdiknas, 2002). hlm. 13.

7
khususnya bagi anak di lembaga pendidikan usia dini, agar proses pembelajaran
berdampak positif terhadap mereka. “Pola belajar adalah gambaran belajar atau
pedoman belajar yang digunakan oleh seseorang dalam menentukan kegiatan
belajarnya.”6 Ia merupakan teknik yang digunakan guru untuk meningkatkan
kecakapan anak dan memperkuat karakternya baik dalam aktivitas belajar di
sekolah maupun di luar sekolah.
Robert M. Gagne membedakan delapan pola belajar yang saling berkaitan
satu sama lain. Kedelapan tipe tersebut adalah signal learning (belajar isyarat),
stimulus-response learning (belajar stimulus respon), chaining (rantai atau
rangkaian), verbal association (asosiasi verbal), discrimination learning (belajar
membedakan), concept learning (belajar konsep), rule learning (belajar aturan)
dan problem solving (pemecahan masalah).7 Kesemua pola belajar ini lazim
digunakan dalam proses belajar mengajar baik di PAUD maupun di jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Berbagai tipe belajar ini dapat juga dipakai dalam
mengajar Pendidikan Agama Islam.
1. Signal Learning (Belajar Isyarat)
Signal Learning merupakan pola awal dan tipe dasar dalam proses
pembelajaran sehingga tidak ada persyaratan dan jenjang yang harus
dilalui seperti tipe belajar lain. Saiful Bahri Djamarah menyebutkan
bahwa "Signal learning adalah proses penguasaan pola dasar perilaku
yang bersifat tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya."8 Pola belajar
tahap awal ini merupakan dasar dari pola belajar yang lain, karena tahap
pertama ini tidak memiliki tuntutan apapun sebagai persyaratan dan
anak-anak dapat belajar apa saja dengan bebas. Belajar isyarat lebih
melibatkan aspek reaksi emosional peserta didik yang terjadi secara
spontan akibat ransangan yang diberikan. Contohnya adalah anak

6
dimyati dan Mudjiono, Belajar Dan Pembelajaran (jakarta: rineka cipta, 2002). hlm. 52
7
syaiful bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar (jakarta: rineka cipta, 2000). hlm. 14.
8
Ibid.

8
melihat harimau maka akan menimbulkan rasa takut, dan melihat
harimau merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan atau
pengalaman tertentu. Dalam konteks pembelajaran PAI nilai yang
terbangun saat menemukan barang milik orang lain adalah
mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya. Menemukan
barang orang lain merupakan signal yang menimbulkan perasaan untuk
tidak mengambil barang tersebut karena ia bukan hak penemu, karena
mengambil hak orang lain merupakan prilaku tidak terpuji dan
hukumnya berdosa.
2. Stimulus- Respon Learning (Belajar Stimulus- Respon)
Belajar stimulus-respon merupakan suatu pola belajar dengan
mengandalkan rangsangan sehingga menimbulkan respon. Belajar tipe
ini lebih banyak menggunakan “trial and error (mencoba-coba).”
Kondisi belajar yang diperlukan untuk berlangsungnya stimulus- respon
adalah rangsangan (stimulus) guru yang melahirkan reaksi anak untuk
belajar.
Contohnya, guru membiasakan peserta didik untuk membaca doa
sebelum makan, ungkapan guru “berdoa” setiap anak akan makan
melatih mereka untuk merespon dengan berdoa setiap menghadapi
makanan. Lebih maju lagi jika nantinya anak makan sendiri, maka ia
akan secara otomatis membaca doa makan. Jadi makan merupakan
stimulus untuk melahirkan respon untuk membaca doa. Intinya
stimulus-respon berupaya membangun karakter anak agar terbiasa
dengan prilaku positif.
3. Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Belajar melalui “tipe chaining (rantai atau rangkaian) adalah pola
belajar yang menghubungkan satuan ikatan stimulus-respon yang satu
dengan lainnya." Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya pola
belajar ini adalah bahwa anak didik sudah memiliki dalam dirinya

9
pemahaman tentang satuan pola stimulus-respon baik berupa
pengetahuan maupun ketrampilan. Contoh chaining dalam bahasa
Indonesia adalah ibu bapak, siang malam, selamat tinggal, dan lain
sebagainya. Pola belajar chaining ini dapat diterapkan dalam
Pendidikan Agama Islam, seperti timbulnya pemahaman untuk
berwudhu sebelum salat dan berdoa sebelum makan, wudhuk dan salat
berada dalam satu rangkaian dan begitu pula makan dan doa.
4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Pola belajar “asosiasi verbal identik dengan pola belajar chaining
yaitu pola belajar yang menghubungkan satuan ikatan stimulus respon
yang satu dengan yang lain." 24 Tipe asosiasi verbal yang paling
sederhana adalah bila anak mengatakan “itu bola”, saat ia melihat bola,
dan menyebutkan “sekolah” jika ia melihat bangunan madrasah.
Sementara dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam asosiasi
verbal terjadi saat anak dapat membedakan antara orang berwudhuk
dengan orang shalat, atau gambar Ka'bah dengan gambar mesjid.
Intinya, asosiasi verbal dapat menjadi pola belajar, khususnya bagi anak
usia dini, jika mereka sudah memiliki dalam dirinya pemahaman dan
pengetahuan tentang objek yang diperoleh melalui pembiasaan dan
latihan dalam waktu yang lama.
5. Discrimination Learning (Belajar Membedakan)
Belajar diskriminasi merupakan pola belajar yang menguji
kemampuan siswa dalam membedakan sesuatu. Anak didik
mengadakan seleksi dan pengujian terhadap berbagai rangsangan atau
stimulus yang diterimanya, dan kemudian memilih pola respon yang
dianggap paling sesuai. Jelasnya, pola belajar diskriminasi menekankan
pada kecakapan anak dalam membedakan antara satu hal dengan yang
lain. Pembedaan antara halal dan haram, baik dan buruk serta salat dan

10
azan merupakan contoh pola belajar diskriminasi dalam Pendidikan
Agama Islam.
6. Concept Learning (Belajar Konsep)
Belajar konsep merupakan pola belajar yang menampakkan
kesanggupan siswa mengadakan representasi internal berupa pengertian
dan pemahaman tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa.
Ngalim Poerwanto menyebutkan bahwa "Belajar konsep adalah pola
belajar berpikir tentang konsep dan belajar pengertian tentang sesuatu."
9
Ia merupakan tipe belajar untuk mengadakan abstraksi tentang objek-
objek yang meliputi benda, kejadian dan orang.

C. Langkah-Langkah Dalam Pembelajaran Berbasis Quantum Learning

1. Pemberian Sikap Positif dalam Pembelajaran Anak Usia Dini

Sikap Positif adalah perilaku yang ditumbuhkan atau ditimbulkan oleh


sugesti positif yang diberikan guru kepada anak. Pemberian sikap positif
inilah yang melahirkan pembelajaran yang efektif. Karena berangkat dari
sikap yang positif anak akan merasa dihargai keberadaannya dan merasa
dianggap penting oleh lingkungan sosialnya. Seperti yang diungkapkan
oleh DePorter dan Hernacki bahwa kehormatan diri yang tinggi adalah
material penting dalam membentuk pelajar yang sangat bahagia. 10
Yang dapat dilakukan diantaranya dengan cara mengatur lingkungan
fisik, misalnya dengan memperindah lingkungan belajar dengan tenaman,
seni, musik. Selain itu, diupayakan pengelolaan lingkungan emosional anak

9
m. ngalim poerwanto, Ilmu Pndidikan Teoritis Dan Praktis (bandung: remaja rosdakarya, 1994). hlm.
117.
10
bobby DePorter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan
Menyenangkan Terj.Alawiyah Abdurrahman (bandung: kaifa, 2002). hlm. 8.

11
sebaik mungkin. Hal ini, dilakukan dengan membentuk jalinan pengertian
antara siswa dengan guru sehingga diperoleh daerah yang nyaman secara
emosional. 11
Setelah itu anak diberi tantangan fisik sebagai terbosan pembelajaran
untuk mematahkan mitos “aku tidak mampu”. Seperti dengan pelajaran tali-
temali yang digunakan oleh anak untuk memanjat pohon tinggi, berjalan
diatas tali, melompat dari papan kecil ke atas galah untuk meraih palang,
dan menjatuhkan diri dari ujung tangga ke dalam rengkuhan tangan-tangan
anggota tim yang sudah menunggu dibawah, pelajaran kekuatan berjalan.
Kegiatan ini adalah untuk membangun kepercayaan diri mereka bahwa
mereka mampu untuk berhasil dan juga untuk mematahkan mitos “aku tidak
bisa” yang membuat orang mundur dalam kehidupannya. 12
Kegiatan-kegiatan tersebut juga diterapkan dalam pembelajaran anak
usia dini. Karena dalam pembelajaran anak usia dini pada hakikatnya adalah
kegiatan bermain.13 Kegiatan yang melibatkan fisik sebagai terobosan
pembelajaran untuk memberikan sugesti positif kepada anak selaras dengan
sifat aktivitas bermain. Oleh karenanya konsep belajar dalam quantum
learning yang memberikan sikap positif melalui tantangan fisik yang
diberikan kepada anak sama sekali tidak bertentangan dengan pembelajaran
anak usia dini, bahkan hal itu diperlukan untuk memberi sugesti positif
kepada anak. Tentu dengan sesuai tahap-tahap perkembangan anak.

11
Ibid.
12
Bobby DePorter & mike hernacki bobby DePorter, Quantum Learning (bandung: kaifa, 2002).
13
direktorat pembinaan TK dan SD Tim pengembang, pusat kurikulum, direktorat pendidikan anak
usia dini, Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini (Universitas Negri Jakarta:
departemen pendidikan nasional, 2007). hlm. 14-15

12
2. Pemaksimalan Kekuatan Pikiran dalam Pembelajaran Anak Usia
Dini
Otak anak hingga usia 6 tahun seperti spons, menyerap berbagai fakta,
sifat-sifat baik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan cara yang
menyenangkan dan bebas stress, oleh karena itu untuk mempelajari semua
itu supaya efektif adalah dengan belajar menyeluruh (global learning).
Menurut teori quantum learning, keberhasilan belajar dimasa awal anak
untuk berbagai macam hal dimulai dari keterampilan motoric seperti
berjalan, melompat, berjinjit, berputar hingga keterampilan berbahasa
seperti berbicara dan membaca adalah karena anak tidak mengenal konsep
gagal. Untuk mendukung hal tersebut orang tua meyakinkan bahwa anak
bisa melakukannya jika terus berusaha. Setiap keberhasilan diakhiri dengan
keberhasilan dan tepukan, yang memompa diri anak untuk lebih berhasil
lagi. Dan semua keberhasilan besar terwujud karena kehebatan otak. 14
Dalam teori quntum learning, kedua belah otak sangat penting.
Maksudnya, orang yang memanfaatkan kedua belahan itu akan cenderung
seimbang dalam aspek kehidupan mereka. Untuk menyeimbangkan
kecerendungan terhadap otak kiri, perlu dimasukkan musik dan estetika
dalam pengalaman belajar seseorang, dan memberikan umpan balik positif
15
bagi seseorang. Semua itu menimbulkan emosi positif yang membuat
seseorang lebih efektif.
Menurut De Porter dan Hernacki, supaya mendapatkan ingatan yang
tinggi, baik pada anak maupun orang dewasa, seorang harus mendalami
secara total suatu pelajaran.16 Hal ini, sama dengan prinsip pembelajaran
yaitu pebelajaran dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang,

14
bobby DePorter, Quantum Learning.
15
bobby DePorter & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman Dan
Menyenangkan Terj.Alawiyah Abdurrahman.
16
bobby DePorter, Quantum Learning.

13
pembelajaran bagi anak hendaknya dilakukan secara bertahap, dimulai dari
konsep sederhana dan dekat dengan anak.

3. Lingkungan Belajar untuk Pembelajaran Anak Usia Dini


Lingkungan sama dengan penataan, cara seseorang menata perabotan,
musik yang akan dipasang, penataan cahaya, dan bantuan visual didinding
dan papan iklan, semua merupakan kunci-kunci yang menciptakan
lingkungan belajar yang optimal.17 Jika ditata dengan baik, lingkungan
dapat menjadi sarana yang bernilai dalam membangun dan
mempertahankan sikap positif.18
Mode quantum learning khususnya pada bidang pengaturan lingkungan
memiliki keselarasan dengan aktualisasi kegiatan pembelajaran anak usia
dini. Kegiatan pelaksanaan pendidikan anak usia dini meliputi tiga frasa
yaitu perencanaan, pembelajaran, penilaian. Perencanaan adalah bagian
dari pelakasanaan kegiatan pendidikan anak usia dini. Perencanaan terbagi
dua kegiatan yaitu kegiatan perencanaan yang diarahkan upaya pencapaian
hasil belajar dan pengaturan yang diatur dalam pedoman penyusunan
rencana kegiatan.19
De Porter menyebutkan bahwa pembelajaran yang berhasil bisa
diciptakan jika lingkungan fisik maupun nonfisik dibuat dengan optimal.20
Hubungannya dengan pembelajaran anak usia dini adalah perlu
diciptakannya lingkungan pembelajaran yang optimal bagi anak usia dini
yaitu dengan memasukkan unsur tanaman, music atau menyesuaikan
temperature dan memperbaiki pencahayaan diruang kelas. Setelah

17
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovati Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional
(jakarta: Bumi aksara, 2009). hlm. 163.
18
bobby DePorter, Quantum Learning. hlm.66.
19
Tim Penyusun, Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Dini Usia (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional, 2002). hlm. 16.
20
bobby DePorter, Quantum Learning. hlm. 66

14
keseluruhan lingkungan mampu disediakan dan diciptakan dilingkungan
kelas makan pembelajaran akan berjalan efektif.

D. Pembentukan dan Metodelogi Pendidikan Akhlak.


A. Pembentukan Akhlak
Membahas tentang pembentukan dan pembinaan akhlak ini, ada dua
aliran yang menyatakan, sebagai berikut.
1. Akhlak Tidak Perlu Dibentuk
Dengan alasan, karena akhlak adalah instinct yang dibawa manusia
sejak terlahir.21 Aliran ini berpendapat, bahwa akhlak adalah
pembawaan dari manusia sendiri, yaitu kecenderungan kepada kebaikan
yang ada dalam diri manusia dan dapat juga berupa kata hati atau intuisi
yang selalu cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Pandangan
seperti ini, maka akhlak akan tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya, meskipun tanpa di bentuk oleh siapapun. Argument yang
disampaikan yang menyatakan akhlak tidak perlu dibentuk ini,
didasarkan bahwa banyak manusia yang tidak dibentuk akhlaknya.
Namun, akhlaknya ada yang baik dan ada pula yang buruk. Sebab,
akhlak sudah dimilikinya sejak terlahir yang didasarkan fithrah yang
melekat pada dirinya. Dengan modal fithrah yang dibawanya itulah,
manusia akan cenderung kepada kebaikan dan cnderung pula kepada
keburukan, lagi pula banyak manusia yang di didik akhlaknya. Namun,
hasilnya tidak sesuai dengan hasil didikan itu. Diajarkan akhlak baik,
malah menghasilkan akhlak buruk atau sebaliknya.

21
Manshur Ali Rajab, Ta’ammulat Fi Falsafah Al-Akhlaq (Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyah,
1970). hlm. 92.

15
Perspektif Ibnu Thufail, jika manusia terlahir tanpa dipengaruhi
oleh lingkungannya, manusia itu akan pasti bertuhan kepada Allah, dan
akan cenderung kepada kebaikan dan kebenaran. Penjelasan ini, dapat
diperoleh dalam buku Ibnu Thufail yang berjudul “Hay bin Yaqzhan”.
Dapat diuraikan secara singkat tentang Hay bin Yaqzhan ini. Ada
seorang anak manusia yang dinamakan dengan Hay bin Yaqzhan, yang
lahir terdampar disebuah pulau yang tidak ada manusia satu orang pun
di pulau tersebut. Hay bin Yaqzhan dibesarkan oleh seekor rusa, dikala
umurnya kira-kira tujuh tahun, Hay bin Yaqzhan memiliki ilmu
pengetahuan tentang yang baik dan tentang yang buruk yang
diperolehnya melalui potensi akal yang diberikan Tuhan kepadanya.
Dalam kehidupannya sehari-hari, akal dan pikirannya berkembang
secara dinamis. Setelah ia dewasa, akhirnya ia bertemu dengan seorang
ulama yang banyak belajar tentang wahyu dan ilmu pengetahuan.
Singkat kata, akhirnya terjadi diskusi dan perdebatan tentang Tuhan dan
mana yang dipandang baik dan mana yang di pandang buruk. Akhirnya,
diskusi itu bersesuai dan terjadi kesepakatan, bahwa tuhan itu adalah
Allah SWT. Akal mampu mengenal Tuhan dan akal mampu mengetahui
mana yang baik dan mana yang buruk, sebagaimana yang di
informasikan wahyu. Jadi, akal tidak akan pernah menyalahi wahyu,
dan wahyu tidak akan berbenturan dengan akal, apabila akal itu tidak
dirusak oleh lingkungannya.22
2. Akhlak Perlu Dibentuk
Alasannya, adalah bahwa misi Nabi dan Rasul membentuk akhlak
manusia, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, misi mereka
adalah membina dan membentuk akhlak umat manusia. Perilaku Nabi
dan Rasul, manusia diperintahkan untuk dijadikan sebagai model (al-

22
M.Ag. Dr. H. Nasharuddin, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna) (Jakarta: PT RAJA, 2015). hlm.
289-290.

16
Qudwah) dalam semua aspek kehidupan, sebagaimana yang
disampaikan al-Qur’an (QS 33: 21). Bahwa, orang-orang yang
menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah itu adalah orang-orang
yang selalu berharap rahmat Allah, dan selalu berharap pada hari
pembalasan serta mereka banyak mengingat Allah. Sebaliknya orang-
orang yang tidak berharap rahmat Allah, tidak menyakini hari kiamat,
sedikit mengingat Allah. Maka, seseorang itu, tidak akan menjadikan
Rasulullah sebagai uswah hasanah. Pentingnya Nabi dan Rasul untuk
mendidik manusia kepada akhlak yang baik disebabkan manusia tidak
akan mengetahui secara keseluruhan mana yang baik dan mana yang
buruk. Jika Tuhan tidak mengutus Rasul-Nya, tentulah umat manusia
tidak akan mengetahui mana yang baik mana yang buruk. Karena
persoalan yang baik dan yang buruk ditentukan wahyu yang
disampaikan kepada Rasul. Akal manusia akan terbentuk mengetahui
Tuhan, dan akan lemah mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk. Akhlak Rasulullah itu, sudah terjamin kebenarannya, sebab
beliau sudah mendapat pujian dan kebenaran dari Allah, Sebagaimana
yang dimaktubkan oleh al-Qur’an, Yang artinya: “Dan sesungguhnya
kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS al-
Qalam [68]: 4).
Adapun yang membentuk dan membina akhlak seseorang adalah
orang tua dan lingkungannya, tanpa binaan dan akhlak dari orang tua
dan lingkungan seseorang anak, perilaku anak tersebut akan tidak
terarah kepada yang baik. Demikian pula lingkungannya, jika
lingkungan anak tersebut tidak baik, maka anak akan cenderung pula
kepada hal-hal yang buruk atau sebaliknya. Mucul pertanyaan,
Kapankah seseorang itu akan menjadikan Nabi Muhammad sebagai
model dalam kehidupannya? Jawabannya, mesti melalui pendidikan,
sebab perilaku anak akan bisa dibentuk melalui pendidikan, dari tidak

17
tau akan menjadi tau. Akhlak dari pendidikan, latihan, pembinaan dan
perjuangan yang sungguh akan dapat dimiliki oleh semua orang.
Meskipun, rekrutmennya buruk, akan tetapi bila di proses secara baik,
akan melahirkan output yang baik pula. Kelompok yang mendukung
pendapat kedua ini, umumnya datang dari para ulama Muslim.
Misalnya, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, al-Ghazali dan lain-lain
termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah
hasil usaha manusia. Sebagian dari usaha itu adalah pendidikan yang
memproses perkembangan jiwa anak untuk diarahkan kepada hal-hal
yang positif.
Gagasan tentang akhlak mesti dibina dan dibentuk, termaktub dalam
definisi ilmu akhlak yang dirumuskan oleh para pakar akhlak. Al-
Tahawani, (w.abad II H), penulis buku “Kasysyaf Isthilahat al-Funun”
mendefinisikan, bahwa ilmu akhlak yang diistilahkan dengan ilmu-ilmu
perilaku (ulum al-suluk) sebagai pengetahuan tentang apa yang baik dan
yang tidak baik.23 Perbuatan baik mesti dikerjakkan dan yang buruk
mesti dihindarkan, karena yang baik pasti mendatangkan kemanfaatan,
sedangkan yang buruk pasti berimplikasi kepada kemudharatan dan
kemufsadatan.24

B. Akhlak Sebagai Tujuan Pendidikan Islam


Agama islam yang kaffah itu, menempatkan akhlak sebagai tujuan
pendidikannya, tidak akan ada pendidikan bila akhlak tidak dijadikan
sebagai tujuan. Sebab, para Nabi dan Rasul diutus hanya untuk
memperbaiki budi pekerti manusia. Dari al-qur’an dan al-Sunnah inilah
akhlak dijadikan sebagai tujuan pendidikan islam. Karena urgennya

23
Al-Tahawani, “Kasysyaf Isthilahat Al-Funun” (Mesir: Dar al-Qalam, t.th, 1982). hlm. 44.
24
Dr. H. Nasharuddin, AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna). (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO
PERSADA, 2015) hlm. 293.

18
banyak, maka semua tokoh pendidikan Islam menempatkan akhlak sebagai
tujuan Pendidikan Islam, Sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Miskawaih


Pendidikan bertujuan, untuk terwujudnya sikap batin yang mampu
mendorong untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik,
sehingga dapat mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan
sejati.25 Sikap batin yang dimaksud Ibnu Miskawaih adalah sikap
bawaan manusia (fithrah) yang dapat membimbing ke arah perbuatan
akhlak mulia, sehingga menghasilkan kebahagiaan dunia dan akhirat,
lahir dan batin. Jadi, Tujuan pendidikan islam perspektif Miskawaih
adalah mencapai kebahagiaan lahir dan batin dunia akhirat.
2. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Sina
Tujuan pendidikan islam harus diarahkan pada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangan yang
sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti.26
Semua potensi yang dimaksud Ibnu Sina adalah potensi fithrah,
bertuhan kepada Allah, potensi jasad, akal, budi pekerti dan hati nurani.
Gagasan Ibnu Sina tentang tujuan pendidikan islam secara umum ini
memperlihatkan, bahwa semua potensi yang dimiliki peserta didik
mesti diarahkan pada perkembangan jasmani. Hal ini, terlihat dilator
belakangi oleh pemikirannya tentang pendidikan kesehatan dan
kedokteran. Sebab, pada jasad yang sehat terdapat pikiran yang sehat
yang dapat diarahkan pada pembentukan intelektual dan budi pekerti
atau akhlak mulia.
3. Tujuan Pendidikan Menurut al-Ghazali

25
Ibnu Miskawaih, “Kitab Al-Sa’adah” (Beirut: Dar al-Maktabat al-Hayat, 1398 H.). hlm. 34-35
26
Ibnu Sina, Al-Syiyasah Fi Al-Tarbiyah (Mesir: Al-Masyriq, 1960). hlm. 176.

19
Pendidikan Islam bertujuan mempersiapakan peserta didik untuk
menjadi manusia berakhlak al-karimah yang dapat membentuk pribadi
secara utuh dalam rangka taat kepada Allah SWT, dan mencapai
kebahagiaan dunia dan kebahagiaan di akhirat, untuk itu diperlukan
ilmu pengetahuan agar peserta didik menjadi “Abdullah dan
khalifatullah fi al-ardh”.27 Al-Ghazali dalam merumuskan tujuan
pendidikan islam, lebih mengarahkan pendidikan untuk terbentuknya
Abdullah yang menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya serta
dapat menjadi khalifah Allah di muka bumi, sehingga peran ganda
manusia itu dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

27
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, t.t., n.d.).

20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peran dan tanggung
jawab orang tua terhadap anak-anak mereka memiliki dampak yang signifikan
dan mendasar terhadap perkembangan dan pertumbuhan mereka, baik
pertumbuhan dalam bidang keagamaan, kepribadian, social dan budayanya.
Oleh karena itu, orang tua bertanggung jawab atas tumbuh kembang anaknya,
yang dimulai sejak anak masih dalam kandungan dan berlanjut hingga anak
lahir ke dunia. Setelah kelahiran seorang anak ke dunia, tanggung jawab orang
tua terhadap anaknya menjadi semakin besar, termasuk kebutuhan jasmani dan
rohani. Secara fisik, orang tua bertanggung jawab untuk memberikan makanan,
minuman, susu, vitamin, dan jaminan gizi lainnya kepada anak-anaknya untuk
menjaga perkembangan tubuh dan pikiran mereka.
Sedangkan orang tua secara rohani wajib membekali anaknya dengan
pendidikan agama Islam sejak usia dini. Hal ini dimulai sejak anak lahir, orang
tua wajib membacakan azan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Setelah
itu, orang tua memberi anak-anaknya nama yang baik, dan mendidik mereka
baik iman maupun ilmu sebagai bekal bagi anak-anaknya ketika mereka
dewasa. Dasar-dasar iman dan akidah diajarkan sejak kecil. Anak-anak
kemudian diajari moralitas; Hal ini penting karena moralitas (moral) memiliki
pengaruh yang kuat terhadap perilaku anak, dan pendidikan ini menitikberatkan
pada landasan moralitas, serta keutamaan sikap dan karakter yang harus
dimiliki dan ditransformasikan dalam diri seorang anak. Sejak lahir hingga
dewasa, ia memiliki kebiasaan (mukallaf).
Peran dan tanggung jawab orang tua tidak dapat dihindari oleh orang tua
karena anak merupakan tanggung jawab yang harus diemban dengan penuh
kesadaran. Islam menempatkan beban tanggung jawab di pundaknya, yang
darinya akan dimintai pertangung jawaban baik di dunia maupun di akhirat.

21
Orang tua tidak boleh begitu saja menyerahkan pendidikan anaknya kepada
orang lain tanpa ikut bertanggung jawab.

B. Saran
1. Untuk Lembaga
Pengelola pendidikan harus mengikutsertakan peran orang tua dan
masyarakat untuk mencapai tujuan lembaga yang ingin dicapai.
2. Untuk Orang Tua
Memotivasi anak agar memiliki rasa ingin belajar yang tinggi, agar ada
rasa kebanggaan bagi orang tua sendiri, lembaga ataupun masyarakat
umunya.
3. Untuk Masyarakat
Mendorong dan mendukung segala tujuan pembelajaran yang hendak
dicapai oleh lembaga, agar senantiasa beriringan dan tujuan pendidikan bisa
dijalankan secara maksimal.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. Ihya’ Ulum Al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., n.d.

Al-Tahawani. “Kasysyaf Isthilahat Al-Funun.” Mesir: Dar al-qalam, t.th, 1982.

Arifudin, Opan. Konsep Paud, 2016.

bobby DePorter, & mike hernacki. Quantum Learning. bandung: kaifa, 2002.

bobby DePorter & Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan Belajar


Nyaman Dan Menyenangkan Terj.Alawiyah Abdurrahman. bandung: kaifa,
2002.

daniel goleman. Kecerdasan Emosional. jakarta: dr. mansur, M.A., 1999.

depdiknas. Acara Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Usia Dini. jakarta:
depdiknas, 2002.

Djamarah, syaiful bahri. Strategi Belajar Mengajar. jakarta: rineka cipta, 2000.

Dr. H. Nasharuddin, M.Ag. AKHLAK (Ciri Manusia Paripurna). Jakarta: PT RAJA,


2015.

Elizabeth Hurlock. Perkembangan Anak. jakarta: erlangga, 1996.

Ibnu Miskawaih. “Kitab Al-Sa’adah.” Beirut: Dar al-Maktabat al-Hayat, n.d.

m. ngalim poerwanto. Ilmu Pndidikan Teoritis Dan Praktis. bandung: remaja


rosdakarya, 1994.

Made Wena. Strategi Pembelajaran Inovati Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual


Operasional. jakarta: Bumi aksara, 2009.

Manshur Ali Rajab. Ta’ammulat Fi Falsafah Al-Akhlaq. Mesir: Maktabah al-Anjlu


al-Mishriyah, 1970.

Mudjiono, dimyati dan. Belajar Dan Pembelajaran. jakarta: rineka cipta, 2002.

23
Penyusun, Tim. Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Dini Usia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen
Pendidikan Nasional, 2002.

Sanusi, Ahmad, and Siti Khaerunnisa. “Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini DSanusi,
A., & Khaerunnisa, S. (2022). Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Dalam
Kebijakan Pendidikan Nasional. Jurnal Al-Ilm, 4(20), 33–48.
Https://Stisharsyi.Ac.Id/Ojs/Index.Php/AlIlm/Article/View/91alam Kebijakan
Pendidi.” Jurnal Al-Ilm 4, no. 20 (2022): 33–48.
https://stisharsyi.ac.id/ojs/index.php/AlIlm/article/view/91.

Sina, Ibnu. Al-Syiyasah Fi Al-Tarbiyah. Mesir: Al-Masyriq, 1960.

Tim pengembang, pusat kurikulum, direktorat pendidikan anak usia dini, direktorat
pembinaan TK dan SD. Kerangka Dasar Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini.
Universitas Negri Jakarta: departemen pendidikan nasiona, 2007.

24

Anda mungkin juga menyukai