Anda di halaman 1dari 18

f.

Teori Sad Praja


Teori sad praja ini di kemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro , bahwa kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi 6 kekuasaan yaitu :
1. Kekuasaan Pemerintah
2. Kekuasaan perundangan
3. Kekuasaan pengadilan
4. Kekuasaan Keuangan
5. kekuasaan Hubungan luar negeri
6. Kekuasaan Pertahanan dan Keamanan umum
5. Keputusan Tata Usaha Negara dan Perbuatan Pemerintah Lainnya
a. Keputusan Tata Usaha Negara
Keputusan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh Otton Meyer, seorang sarjana asal Jerman dengan istilah verwaltungsakt
dan kemudian di Belanda dikenal dengan istilah beschikking oleh Van Vollenhoven dan C.W. van der Pot. Di Indonesia, para pakar banyak
yang mengartikan istilah beschikking dengan dua asal kata terjemahan, yaitu “keputusan” serta “ketetapan”. Menurut Pasal 1 Angka (3)
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986, yang berisi kompetensi absolut peradilan tata usaha negara, menyatakan pengertian dari keputusan
tata usaha negara, yaitu “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Berdasarkan pengertian keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986, jika diuraikan apa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut.
1) Penetapan tertulis.
2) Dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
3) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4) Bersifat konkret, individual dan final.
5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan definisi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Konkret
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
2) Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau
yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.
3) Final
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan
instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang
bersangkutan.
Pasal 2 UU PTUN, menetapkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk sebagai Keputusan Tata usaha Negara,
yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan hukum perdata/merupakan perbuatan hukum perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum/berlaku umum.
3. Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan KUHP atau perundangan yang bersifat pidana (KUHAP).
4. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan pihak lainnya.
5. Keputusan Tata Usaha Negara berdasar hasil pemeriksaan badan peradilan.
6. Keputusan Tata Usaha Negara Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (sekarang TNI)
7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat pusat maupun daerah tentang hasil pemilihan umum.

b. Perbuatan Pemerintah Lainnya


Di samping ketetapan atau keputusan tata usaha negara di atas dijumpai pula beberapa perbuatan pemerintahan lainnya sebagai berikut.
1) Dispensasi
adalah suatu ketetapan yang menghapuskan akibat daya mengikatkan suatu peraturan perundang-undangan, Prajudi Atmosudirdjo
mengatakan: “Dispensasi merupakan suatu pernyataan alat pemerintahan yang berwenang bahwa kekuatan undang-undang tertentu
tidak berlaku terhadap masalah/kasus yang diajukan oleh seseorang”.
Van Der Pot mengatakan: “Dispensasi adalah keputusan alat pemerintah yang membebaskan suatu perbuatan dari cengkraman dari suatu
peraturan yang melarang perbuatan itu.
2) Izin/Vergunning
Izin adalah ketetapan yang menguntungkan, misalnya memberi izin untuk menjalankan perusahaan. Ada dasarnya izin diberikan karena
ada peraturan perundang-undangan.
3) Lisensi
Merupakan izin untuk menjalankan suatu perusahaan, lisensi untuk impor barang-barang atau ekspor hasil bumi.
4) Konsensi
Merupakan suatu perjanjian bersyarat antara pemerintah dengan seorang/swasta untuk melakukan suatu tugas pemerintah. Van
Vollen Hoven mengatakan: Bilamana pihak swasta atas izin pemerintah melakukan suatu usaha besar yang menyangkut kepentingan
masyarakat, misalnya: konsensi pertambangan, kehutanan.
5) Perintah
Prins mengatakan: “Perintah ialah pernyataan kehendak pemerintah yang tugasnya disebutkan siapa-siapa dan bagi orang-orang itu
melahirkan kewajiban tertentu yang sebelumnya bukan kewajiban. Misalnya, perintah untuk membubarkan orang-orang tertentu yang
berkumpul dengan bermaksud jahat berdasarkan Pasal 218 KUHPidana, perintah pengosongan rumah, pembokaran bangunan.
6) Panggilan
Menurut Prins mengatakan: “Panggilan memberikan kesan adanya atau timbulnya kewajiban, hal ini berarti bahwa apabila panggilan itu
tidak dipenuhi akan dikenakan sanksi. Misalnya, panggilan jaksa kepada seseorang tertentu untuk didengar keterangannya atau
panggilan polisi bagi seseorang untuk dimintai keterangannya.
7) Undangan
Menurut Prins: “Undangan dapat dan/atau tidak menimbulkan kewajiban dan tidak mempunyai akibat hukum, hanya mempuyai kewajiban
moral
HUKUM DAGANG
A. Pendahuluan
Hukum dagang sebagai suatu rangkaian norma yang diberlakukan khusus dalam dunia usaha atau kegiatan-kegiatan
perniagaan. Sejarah berlakunya hukum dagang di Indonesia tidak terlepas dari masuknya kolonial Belanda ke Indonesia
yang menerapkan aturan hukum dagang negeri Belanda berdasarkan asas konkordansi. Terdapat berbagai pengertian
hukum dagang baik oleh para ahli maupun dari peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sumber berlakunya hukum dagang terdiri atas sumber hukum yang bersifat tertulis dan tidak terkodifikasi serta
sumber hukum yang bersifat tertulis dan terkodifikasi. Pembahasan mengenai hukum dagang terdiri atas hukum
perusahaan, jenis-jenis surat berharga menurut KUHD maupun di luar KUHD, hukum pengangkutan, berbagai ketentuan
umum tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), pengertian dan dasar hukum asuransi, serta tujuan dilaksanakannya
asuransi.

B. Sejarah Hukum Dagang


Pada abad pertengahan ketika bangsa Romawi sedang mengalami masa kejayaan, hukum Romawi pada waktu itu
dianggap paling sempurna, dan banyak digunakan di berbagai Negara. Dalam perniagaan yang semakin ramai timbullah
hal-hal yang tidak dapat lagi diselesaikan dengan hukum Romawi, persoalan dagang dan perselisihan antara para
pedagang terpaksa harus diselesaikan oleh mereka sendiri.
Oleh karena itu, mereka membentuk badan-badan yang harus mengadili sengketa antara para pedagang. Badan-badan
tersebut juga bertugas membuat berbagai ketentuan yang mengatur hubungan antar pedagang. Lambat laun lahirlah
peraturan-peraturan khusus mengenai dagang.
Hukum yang berlaku bagi pedagang berdasarkan perintah Napoleon dibukukan dalam sebuah buku Code de
Commerce (tahun 1807). Selanjutnya disusunlah kitab-kitab lainnya, yakni:
1. Code Civil adalah yang mengatur hukum sipil/hukum perdata.
2. Code Penal ialah yang menentukan hukum pidana.
Kedua buku tersebut dibawa serta berlaku di negeri Belanda dan akhirnya diterapkan di Indonesia. Pada tanggal 1
Januari 1809 Code de Commerce (Hukum Dagang) berlaku di negeri Belanda yang pada waktu itu menjadi jajahannya.
Kitab Undang-undang Hukum Dagang dibagi dalam 2 (dua) buku, yaitu buku pertama tentang dagang pada umumnya
dan buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran. Jika dicermati secara seksama, dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang tidak ada definisi apa yang dimaksud dengan hukum dagang.
Pembentuk undang-undang pada masa itu merumuskan definisi hukum dagang yang mengacu pada pendapat doktrin
dari para sarjana. Untuk memahami makna hukum dagang, berikut dikutip rumusan Hukum Dagang yang dikemukakan
oleh para sarjana, yaitu sebagai berikut (Hasyim, 2013: 7).
1. Hukum Dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah
laku manusia dalam perdagangan.
2. Hukum Dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan
perikatan-perikatan yang diatur dalam Buku III BW. Dengan kata lain, Hukum Dagang adalah himpunan peraturan-
peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam
kodifikasi Kitab Undang-undang Hukum Dagang Dan Kitab Undangundang Hukum Perdata.
Hukum Dagang dapat pula dirumuskan sebagai serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan
dalam lalu lintas perdagangan.
3. Hukum Dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas
perdagangan, sejauh mana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan beberapa undang-undang
tambahan. Di Belanda Hukum Dagang dan Hukum Perdata dijadikan dalam 1 (satu) buku, yaitu Buku II dalam BW
baru Belanda.
4. Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.
5. Hukum Dagang adalah hukum bagi para pedagang untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-sebesarnya.
Setelah mereka kembali pada tanggal 1 Oktober 1938, Belanda berhasil mengubah Code de Commerce menjadi
Wetbook van Koophandel (WvK). Pada tahun 1847 berlaku pula di Indonesia atas dasar concordantie (persamaan) yang
disebut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

C. Pengertian Hukum Dagang


Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk
memperoleh keuntungan, atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama
lainnya dalam lapangan perdagangan. Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2: tertulis dan tidak tertulis tentang
aturan perdagangan. Adapun hubungan antara hukum dagang dan hukum perdata tercantum dalam KUHD (Pasal 1
KUHD). Prof. Subeki berpendapat bahwa terdapatnya KUHD di samping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada
tempatnya. Hal ini dikarenakan hukum dagang relatif sama dengan hukum perdata.
Selain itu, pengertian “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian.
Pembagian Hukum Sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum Romawi belum
terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalam KUHD, sebab perdagangan antar negara baru
berkembang dalam abad pertengahan. Pada beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat dan Swiss, tidak terdapat suatu
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang terpisah dari KUHS. Dahulu memang peraturan-peraturan yang termuat
dalam KUHD dimaksudkan hanya berlaku bagi kalangan pedagang saja. Akan tetapi sekarang ini KUHD berlaku bagi
setiap orang, termasuk yang bukan pedagang.
Dapat dikatakan bahwa sumber yang terpenting dari Hukum Dagang adalah KUHS. Hal ini memang dinyatakan
dalam Pasal 1 KUHS yang berbunyi “KUHS dapat juga berlaku dalam hal-hal yang diatur dalam KUHD sekadar KUHD
itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”. Hal ini berarti bahwa untuk hal-hal yang diatur dalam KUHD, sepanjang tidak
terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturanperaturan dalam KUHS. Dengan demikian
sudahlah diakui bahwa kedudukan KUHD terhadap KUHS adalah sebagai hukum khusus terhadap Hukum umum.
Menurut Prof. Sudiman Kartohadiprojo, KUHD merupakan suatu Lex Specialis terhadap KUHS yang sebagai Lex
Generalis. Maka sebagai Lex Specialis apabila dalam KUHD terdapat ketentuan mengenai soal yang terdapat pula pada
KUHS, maka ketentuan dalam KUHD itulah yang berlaku. Beberapa pendapat sarjana hukum lainnya tentang hubungan
kedua hukum ini di antaranya:
1. Van Kan beranggapan bahwa “Hukum Dagang adalah suatu tambahan Hukum Perdata”. Dengan kata lain hukum
dagang merupakan suatu tambahan yang mengatur hal-hal yang khusus. KUHS menurut hukum perdata dalam arti
sempit, sedangkan KUHD memuat penambahan yang mengatur hal-hal khusus hukum perdata dalam arti sempit itu.
2. Van Apeldoorn menganggap “Hukum Dagang adalah suatu bagian istimewa dari lapangan Hukum Perikatan yang
tidak dapat ditetapkan dalam Kitab III KUHS”.
3. Sukzardono mengatakan bahwa Pasal 1 KUHD “memelihara kesatuan antara Hukum Perdata Umum dengan Hukum
Dagang sekadar KUHD itu tidak khusus menyimpang dari KUHS”.
4. Tirtamijaya menyatakan bahwa “Hukum Dagang adalah suatu Hukum Sipil yang istimewa”. Dalam hubungan hukum
dagang dan hukum perdata ini dapat pula dibandingkan dengan sistem hukum negara di Swiss.
Seperti juga Indonesia, negara Swiss juga berlaku dua buah kodifikasi yang juga mengatur bersama hukum perdata,
yaitu: a. Schweizeriches Zivil Gesetzbuch dari tanggal 10 Desember 1907 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1912.
b. Schweizeriches Obligationrecht dari tanggal 30 Maret 1911, yang mulai berlaku juga pada 1 Januari 1912. Kodifikasi
yang kedua ini mengatur seluruh hukum perikatan yang di Indonesia diatur dalam KUHS (Buku III)

D. Sumber-sumber Hukum Dagang


Hukum dagang Indonesia terutama bersumber atau diatur dalam:
1. Hukum Tertulis yang dikodifikasikan
a. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau wetbook van Koophandel (WvK).
b. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgelijk Wetbook (BW).
2. Hukum Tertulis yang belum dikodifikasikan
Yakni peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.

1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang


Kitab Undang-undang Hukum dagang (KUHD) merupakan sumber hukum tertulis yang mengatur masalah
perdagangan/perniagaan. KUHD terdiri atas dua buku, yaitu:
Buku Pertama, yang terbagi dalam 9 tittle, yaitu sebagai berikut.
a. Tentang pembukuan.
b. Tentang beberapa macam persekutuan dagang.
c. Tentang bursa, makelar.
d. Tentang komisioner, ekspeditur, dan pengangkutan melalui sungai dan perairan di darat.

k. Kecelakaan.
l. Hapusnya perjanjian dalam perdagangan.

2. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS)/BW


Kitab Undang-undang Hukum Sipil/BW terbagi menjadi empat bagian yaitu sebagai berikut.
a. Hukum Perorang (Personenrecht).
b. Hukum Kebendaan (Zakenrecht).
c. Hukum Perikatan (Verbintenissenrecht).
d. Pembuktian dan Daluwarsa.
Di dalam hukum perikatan, masalah perdagangan atau perniagaan diatur lebih rinci. Hukum Perikatan adalah hukum
yang mengatur akibat hukum, yakni suatu hubungan hukum, yang terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antara
dua pihak yang masing-masing berdiri sendiri (Zelfstandige rechtssubjecten).
c. Di luar KUHD dan KUHS
Sumber dari hukum dagang atau hukum perdata di luar KUHD dan KUHS, yaitu sebagai berikut.
1) Kebiasaan, berdasarkan Pasal 1339 dan 1347 BW yang berbunyi: Untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan (Asumsi) dan
hal yang sudah lazimnya harus dianggap sebagai termasuk juga dalam suatu perjanjian.
2) Peraturan Kepailitan (S. 1905-No. 217).
3) Undang-Undang Hak Cipta (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 –LN. 1982 No. 15).
4) Peraturan Oktroi (S. 1911-No. 136, S. 1922-No.25).
5) Peraturan tentang Pabrik dan Merk Dagang (S. 1912 No. 545).
6) Peraturan tentang Hasil Bumi (oogstverband) (S. 1886-No. 57).
7) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
8) Ordonansi Balik Nama (staatsblad 1834-No. 27).

E. Hukum Perusahaan
1. Perbuatan Perniagaan
Pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaannya sehari-hari. Kemudian oleh
Pasal 3 KUHD (lama) disebutkan lagi bahwa perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang-
barang untuk dijual kembali. Dari ketentuan Pasal 3 KHUD (sudah dicabut) tersebut, H.M.N. Purwosutjipto mencatat:
1. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya
karena penjualan merupakan tujuan pembelian itu; dan
2. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Jadi, tidak termasuk barang tetap.
Pasal 4 KUHD (sudah dicabut) kemudian lebih merinci lagi beberapa kegiatan termasuk dalam kategori perbuatan
perniagaan, yaitu: a) perusahaan komisi;
b) perniagaan wesel;
c) pedagang, bankir, kasir, makelar, dan yang sejenis;
d) pembangunan, perbaikan, dan perlengkapan kapal untuk pelayaran di laut;
e) ekspedisi dan pengangkutan barang;
f) jual-beli perlengkapan dan keperluan kapal;
g) rederij, carter kapal, bordemerij, dan perjanjian lain tentang perniagaan laut;
h) mempekerjakan nahkoda dan anak buah kapal untuk keperluan kapal niaga;
i) perantara (makelar) laut, cargadoor, convoilopers, pembantu-pembantu pengusaha perniagaan, dan lain-lain;
j) perusahaan asuransi.
Pasal 5 KUHD (sudah dicabut) menambahkan lagi kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan,
yaitu perbuatan-perbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-
kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari kapal
karam atau terdampar, begitu pula penemuan barang-barang di laut, pembuangan barang-barang di laut ketika terjadi
avarai (avarij).
Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 tersebut telah dicabut oleh Stb.1938276 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 1936.
Ketentuan ini juga mengganti istilah perbuatan perniagaan istilah perusahaan.

2. Perusahaan dan Menjalankan Perusahaan


Berbeda dengan istilah perbuatan perniagaan yang terdapat dalam Pasal 2 sampai 5 KUHD (sudah dicabut) yang
secara rinci menjelaskan makna perbuatan perniagaan tersebut, istilah perusahaan dan menjalankan perusahaan yang
dianut KUHD sekarang tidak ada penjelasan atau perinciannya. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, hal tersebut rupanya
memang disengaja oleh pembentuk undang-undang, agar pengertian perusahaan berkembang baik dengan gerak langkah
dalam lalu lintas perusahaan sendiri. Pengembangan makna tersebut diserahkan kepada dunia ilmiah dan yurisprudensi.
Dalam perkembangannya, definisi otentik perusahaan dapat pula ditemukan di dalam beberapa undang-undang.
Menurut Pemerintah Belanda ketika membacakan Memorie van Toelichting (Penjelasan) Rencana Undang-Undang
Wetboek van Koophandel di muka parlemen menyebutkan, bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan secara terus-menerus, dengan terang-terangan dalam kedudukan tertentu, dan untuk mencari laba bagi dirinya
sendiri. Menurut Molengraaf, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak
ke luar untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang atau mengadakan perjanjian
perdagangan. Polak berpendapat bahwa “baru ada perusahaan jika diperlukan adanya perhitungan laba-rugi yang dapat
diperkirakan dan segala sesuatu dicatat dalam pembukuan”.
Perkembangan pengertian perusahaan dapat dijumpai dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Wajib
Daftar Perusahaan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Menurut Pasal 1 Huruf b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat tetap dan terusmenerus dan
didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.
Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 mendefinisikan perusahaan sebagai bentuk usaha yang
melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba baik yang
diselenggarakan oleh orang perseorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum,
yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai perusahaan jika memenuhi unsur-unsur
di bawah ini:
a. Bentuk usaha, baik yang dijalankan secara orang perseorangan atau badan usaha;
b. Melakukan kegiatan secara tetap dan terus-menerus; dan
c. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan atau laba.

3. Organisasi Perusahaan
Perusahaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan terusmenerus dengan tujuan untuk mencari
keuntungan. Kegiatan tersebut memerlukan suatu wadah untuk dalam mengelola bisnis tersebut. Wadah tersebut adalah
badan usaha atau organisasi perusahaan (business organization). Ada beberapa macam badan usaha yang diuraikan di
bawah ini.

a. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Di dalam perusahaan
perseorangan ini yang menjadi pengusaha hanya satu orang. Dengan demikian modal perusahaan tersebut hanya dimiliki
satu orang pula. Jika di dalam perusahaan tersebut banyak orang bekerja, mereka hanyalah pembantu pengusaha dalam
perusahaan berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa.
Di dalam KUHD maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai adanya pengaturan khusus
mengenai perusahaan perseorangan sebagaimana halnya bentuk usaha lainnya seperti Perseroan Terbatas (PT),
Persekutuan Komanditer (CV), atau juga Koperasi. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, bentuk perusahaan perseorangan
secara resmi tidak ada.
Di dalam dunia bisnis, masyarakat telah mengenal dan menerima bentuk perusahaan perseorangan yang disebut
Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).

b. Badan Usaha yang Berbentuk Persekutuan


1) Persekutuan Perdata (Burgerlijk Maatschap, Partnership);
2) Persekutuan dengan Firma (Firm);
3) Persekutuan Komanditer (Limited Partnership).

c. Badan Usaha Berbadan Hukum (Korporasi)


1) Perseroan Terbatas (PT), termasuk Perusahaan Perseroan (Persero);
2) Koperasi;
3) Perusahaan Umum (Perum); dan 4) Perusahaan Daerah.

4. Persekutuan Perdata
Persekutuan perdata adalah padanan dan terjemahan dari burgerlijk maatschap. Di dalam common law system dikenal
dengan istilah partnership. Kemudian di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah sharikah atau shirkah. Persekutuan
adalah suatu bentuk dasar bisnis atau organisasi bisnis. Persekutuan perdata menurut Pasal 1618 KUHPerdata ada
perjanjian antara dua orang atau lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbrengen) ke dalam persekutuan dengan
maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.
Dari ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan perdata,
yaitu:
a. adanya suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih;
b. masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng);
c. bermaksud membagi keuntungan bersama.
Di Inggris, menurut Pasal 1 Partnership Act 1890 persekutuan perdata adalah hubungan antara orang yang menjalankan
kegiatan bisnis dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (partnership is relation which subsists between persons carrying a
business in common with a view to profit).
Dengan demikian, bahwa persekutuan perdata baik dalam sistem hukum Indonesia maupun dalam sistem common
law memiliki kesamaan. Kesamaan itu terletak pada hubungan para sekutu didasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain,
persekutuan perdata tunduk ada hukum perjanjian. Orang (person) yang melakukan kerja sama di dalam persekutuan
tersebut dapat berupa perorangan, persekutuan perdata, perusahaan yang berbadan hukum, atau bentuk persekutuan
lainnya. Makna bisnis (business) di dalam definisi persekutuan di atas mencakup setiap aktivitas atau kegiatan dalam
bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation) atau profesi (profession). Dengan demikian, persekutuan perdata dapat
merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan
akuntan.
5. Hubungan Persekutuan Perdata dengan Firma dan Persekutuan Komanditer
Persekutuan perdata adalah genus dari bentuk kerja sama dalam bentuk persekutuan. Bentuk khusus (species)
perjanjian persekutuan perdata ini adalah firma dan persekutuan komanditer. Genusnya diatur dalam Buku III
KUHPerdata sebagai perjanjian bernama, sedangkan species-nya diatur dalam KUHD. Pengaturan tentang firma dan
persekutuan komanditer di dalam KUHD sangat singkat. Ini berlainan dengan persekutuan perdata yang diatur secara rinci
di dalam KUHPerdata. Pengaturan yang demikian dapat dipahami. Ketentuan persekutuan perdata di dalam KUHPerdata
menjadi ketentuan umum yang dapat berlaku baik bagi persekutuan perdata sendiri maupun firma dan persekutuan
komanditer yang merupakan persekutuan perdata. Ketentuan yang berkaitan dengan firma dan persekutuan komanditer
dalam KUHD adalah aturan yang bersifat khusus. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan khusus, maka ketentuan
umum persekutuan perdata berlaku juga bagi firma dan persekutuan komanditer. Dalam hubungan antara firma dan
persekutuan komanditer, firma dikatakan sebagai bentuk umum (genus) dan persekutuan komanditer adalah khusus
(species) dari firma.
6. Perantara dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen
dalam hal pembelian dan penjualan. Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam
pekerjaan, misalnya sebagai berikut.
a. Pekerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.
b. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara.
c. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup risiko pengangkutan
dengan asuransi.

a. Makelar (Broker)
Menurut undang-undang, makelar adalah perantara dagang yang disumpah, yang mengadakan perjanjian-perjanjian
atas perintah dan atas nama orang lain dan untuk mendapat upah yang disebut provisi atau courtage. Menurut Pasal 62
KUHD Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh gubernur jendral (sekarang Presiden) atau oleh
pembesar yang oleh gubernur jenderal yang dinyatakan berwenang untuk itu. Dengan demikian, makelar adalah orang
yang menjalankan perusahan yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga. Pengaturan tentang makelar dalap
dilihat pada KUHD, Buku I, Pasal 62 sampai dengan Pasal 73.
Ciri-Ciri seorang Makelar:
1) Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari pemerintah (C.Q. Menteri kehakiman) (Pasal 62 (ayat 2).
2) Sebelum menjalankan tugas, makelar harus disumpah di muka Ketua Pengadilan bahwa dia akan menjalankan kewajiban
dengan baik (Pasal 62 ayat 2).
Pasal 65 KUHD ayat (1) pengangkat seorang makelar ada dua macam yaitu:
a. Pengangkatan yang bersifat umum yaitu untuk segala jenis lapangan/ cabang perniagaan.
b. Pengangkatan yang bersifat terbatas yakni bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis atau jenis-jenis lapangan/cabang
perniagaan apa mereka diperbolehkan menyelengarakan pemakelaran mereka, misalnya untuk wesel, efek-efek, asuransi,
pembuatan kapal, dan lain-lain.
Apabila pengangkatan bersifat terbatas, maka menurut Pasal 65 ayat 2 KUHD, makelar tidak boleh/dilarang
berdagang untuk kepentingan sendiri dalam cabang atau cabang-cabang perniagaan yang dikerjakan, baik secara bekerja
sendiri atau bersama-sama dengan orang lain ataupun menjadi Penanggung (orang) bagi perbuatan-perbuatan yang ditutup
dengan perantaraannya.

2) Komisioner
Komisioner adalah perantara yang berbuat atas perintah dan atas tanggungan orang lain dan juga mendapatkan upah, namun
bedanya dengan makelar ia bertindak atas namanya sendiri. Suatu perjanjian yang dibuat oleh komisioner mengikat dirinya
sendiri terhadap pihak ketiga. ???? Dalam Pasal 76 KUHD disebutkan Komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan
perusahannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi a) Ciri-ciri
Komisioner
(1) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana makelar.
(2) Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas nama sendiri (Pasal 76).
(3) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebutkan nama komiten (Pasal 77 ayat 1). Dalam hal ini komisioner
menjadi pihak dalam perjanjian (Pasal 77 ayat 2).
(4) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasa (Pasal 1979 KUHPer) dalam hal ini maka ia
tunduk pada Buku III KUHPer tentang pemberi kuasa.
b) Hak-hak Khusus Komisioner
1) Hak retensi yaitu hak komisioner untuk menahan barang-barang komiten, bila provisi dan biaya-biaya lain belum
dibayar (Pasal 85 KUHD dan 1812 KHUPer) ini adalah juga hal pemegang kuasa yang diberikan pada Pasal 1812
KUHPer. Hak ini mengenai semua barang-barang komiten yang ada ditangan komisioner.,
2) Hak istimewa (hak Privilege) yang diatur dalam Pasal 80 KUHD sedangkan pelaksanan diatur dalam Pasal 81,82.83
KUHD. Dalam Pasal 80 KUHD dinyatakan bahwa semua penagihan komisioner mengenai provisi, uang yang telah
dikeluarkan untuk memberi voorschot, biaya-biaya dan bunga, biaya-biaya untuk perikatan yang sedang berjalan,
maka komisioner mempunyai hak istimewa pada barang komiten yang ada di tangan komisioner:
a) untuk dijualkan. b) untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang. c) yang dibeli dan diterimanya
untuk kepentingan komiten.

3) Ekspeditur
Ekspeditur adalah barang siapa yang menyuruh menyelenggarakan pengangkutan barang dagangan, melalui daratan
atau perairan (Pasal 86 KUHD). Kewajibannya diatur dalam Pasal 87, 88, dan 89 KUHD, oleh karena seorang ekspeditur
menyuruh menyelenggarakan pengangkutan kepada orang lain, maka ia bertanggung jawab terhadap perbuatanperbuatan
orang lain itu. Biasanya orang lain itu adalah pengangkut dan mengenai pengangkutan ini terdapat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 466 KUHD dan seterusnya. Ekspeditur bertanggung jawab terhadap pengiriman dari saat penerimaan barang-
barang hingga penyerahannya pada yang berhak menerimanya. Pengangkut bertanggung jawab juga dari saat penerimaan
barang-barang hingga penyerahannya terhadap ekspeditur.

4) Agency
Jenis ini sama dengan Makelar dan Komisioner, namun pengaturannya tidak ada dalam KUHD maupun KUHPerdata,
akan tetapi agency saat ini sangat banyak berdiri dan diakui oleh masyarakat. Sehingga dalam praktiknya memakai aturan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata, Pemberian Kuasa (Pasal 1792–1819 KUHPerdata), Pasal 62–64 KUHD, dan Kebiasaan
Dagang, serta Keputusan Menteri Perdagangan tentang Agen Tunggal.
F. Surat Berharga
Surat berharga adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa
pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat bayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik
pihak yang diberikan surat berharga oleh penerbitnya ataupun pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut dialihkan.
Berdasarkan refrensi yang ada, surat berharga dapat didefinisikan sebagai surat yang: (a) memiliki nilai, (b) negotiable,
dan (c) mudah dialihkan, yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi berupa
pembayaran sejumlah uang.
Dalam bab 6 dan 7 KUHD, fungsi surat berharga secara umum dibedakan dalam:
1. Surat sanggup membayar atau janji untuk membayar. Dalam surat ini penandatanganan berjanji untuk menyanggupi
membayar sejumlah uang kepada pemegang atau orang yang menggantikannya. Termasuk bentuk ini adalah surat
sanggup.
2. Surat perintah membayar. Dalam surat ini penerbit memerintahkan kepada penarik untuk membayar sejumlah uang
kepada pemegang atau penggantinya. Termasuk dalam bentuk surat ini adalah surat wesel dan cek.
3. Surat pembebasan utang. Dalam surat ini penerbit memberi perintah kepada pihak ketiga untuk membayar sejumlah
uang kepada pemegang yang menunjukkan dan menyerahkan surat ini. Termasuk dalam bentuk ini adalah kwitansi
atas unjuk.
Khusus bagi surat berharga yang berfungsi sebagai surat sanggup membayar atau janji untuk membayar, kemudian
dikelompokkan berdasarkan jangka waktu utangnya yaitu:
1. Surat utang jangka pendek (+ 1 tahun). Contoh: certificate of deposit, SBI, promissory notes, dan commercial paper.
2. Surat untuk jangka menengah (1 – 5 tahun). Contoh: medium term notes dan floating rate notes.
3. Surat untuk jangka panjang (> 5 tahun). Contoh: obligasi atau bonds, moergage backed securities (MBS), dan asset backed
securities (ABS).
Penerbitan surat berharga didasarkan pada fungsi surat berharga itu sendiri, apakah untuk alat pembayaran atau untuk
keperluan investasi, yang mana secara umum diterbitkan oleh:
1. Pihak yang berutang, seperti dalam cek dan promes;
2. Pihak yang berpiutang, seperti dalam wesel dagang (merchant’s draf/ bill of exchange);
3. Pihak lainnya yang ditunjuk, seperti dalam wesel (bank draf).
Pihak-pihak yang terkait dengan surat berharga adalah
1. Penarik (drawee), merupakan pihak pemilik dana pada rekening yang memerintahkan tertarik, yaitu bank untuk membayar
kepada pemegang;
2. Penerbit (issuer, penandatangan, debitur), merupakan pihak yang menerbitkan surat berharga;
3. Pemegang (kreditur, holder, investor, beneficiary), adalah pemegang surat berharga yang memiliki hak tagih;
4. Tertarik (payee), merupakan pihak lain yang disebutkan dalam surat berharga sebagai pihak yang akan melakukan
pembayaran;
5. Endosant (indorser), adalah pemegang surat berharga sebelumnya, yang memindahkan haknya atas surat berrharga tersebut
kepada pihak yang menerima pengalihan;
6. Akseptan (acceptor), adalah pihak yang melakukan akseptasi menerima, yaitu mengakui setiap tagihan yang ternyata dalam
warkat surat berharga yang diaksep serta berjanji melakukan pembayaran pada waktu yang ditentukan;
7. Avalist (guarantor) adalah penjamin dari penerbit.
Sedangkan fungsi dari surat berharga itu sendiri yaitu:
1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang);
2. Sebagai alat untuk memindahkan hal tagih (diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana);
3. Sebagai surat bukti hak tagih.
Surat berharga terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Surat berharga (warde papier/ negonable instrument)
a. Merupakan alat pembayaran (Surat Berharga);
b. Alat pemindahan hak tagih, dalam surat berharga ada cara pemindahannya atau pembawa hak;
c. Surat bukti hak tagih (dengan memperlihatkan hak tersebut orang dapat menerima haknya).
Fungsi ini disebut juga legitimasi, artinya pemegang surat tersebut diberi pengakuan oleh surat tersebut sebagai yang berhak.
2. Surat yang berharga (papier van warda/letter of velue)
a. Bukan alat pembayaran karena alat tersebut tidak berpindah;
b. Bukan alat atau surat bukti hak tagih;
c. Surat bukti diri.

1. Jenis-Jenis Surat Berharga Menurut KUHD


Ketentuan-ketentuan mengenai surat berharga diatur dalam Buku I titel 6 dan titel 7 KUHD yang berisi tentang: a. Wesel:
surat berharga yang memuat kata wesel di dalamnya, diberikan tanggal dan ditandatangi di suatu tempat, dalam mana si penerbit
memberi perintah tanpa syarat kepada pengangkut untuk pada hari bayarmembayar sejumlah uang kepada orang (penerima)
yang ditunjuk oleh penerbit atau penggantinya di suatu tempat tertentu.
b. Surat sanggup:
surat berharga yang memuat kata “aksep”atau promes dalam mana penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah uang kepada
orang yang disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya pada hari bayar. Ada dua macam surat
sanggup, yaitu surat sanggup kepada pengganti dan surat sanggup kepada pembawa atau untuk memudahkan menyebutkan
surat sanggup kepada pengganti dengan “surat sanggup” saja, sedangkan surat sanggup kepada pembawa disebutnya “surat
promes”.
c. Cek:
surat berharga yang memuat kata cek/cheque dalam mana penerbitannya memerintahkan kepada bank tertentu untuk membayar
sejumlah uang kepada orang yang namanya disebut dalam cek, penggantinya, pembawanya pada saat dijatunjukkan. Dalam
Pasal 178 KUHD ditentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu cek dan kalau salah satu syarat dalam pasal, tersebut
tidak dipenuhi maka kertas itu tidak dapat diperlakukan sebagai cek.
d. Kwitansi-kwitansi:
surat yang ditanggali, diterbitkan oleh penandatanganannya terhadap orang lain untuk suatu pembayaran sejumlah uang yang
ditentukan di dalamnya kepada penunjuk (atas tunjuk) pada waktu diperlihatkan. Dalam kwitansi atas tunjuk tersebut tidak
diisyaratkan tentang selalu adanya klausula atas tunjuk.
e. Saham:
Saham diatur dalam Pasal 40 KUHD dengan kata-kata bahwa modal perseroan dibagi atas saham-saham atau sero-sero atas nama
atau blanko. Pemegang saham atau sero tidak bertanggung jawab lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu. Saham dapat
didefinisikan tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas.
Wujud saham adalah selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang
menerbitkan surat berharga tersebut.
f. Konosemen/Bill of Lading:
Berdasarkan Pasal 506 KUHD, konosemen adalah surat yang bertanggal yang dibuat oleh pengangkut (dalam hal ini perusahaan
pelayaran), yang menerangkan bahwa ia telah menerima barang-barang (dari pengirim) untuk diangkut ke suatu tenpat
tertentu yang selanjutnya menyerahkan kepada orang tertentu (penerima), surat mana di dalamnya menerangkan mengenai
penyerahan barang-barang yang dimaksud.
g. Delivery Order (DO):
Pasal 510 KUHD menentukan bahwa pemegang yang sah berhak menuntut penyerahan barang di tempat tujuan sesuai dengan
konosemennya, kecuali bila ia menjadi pemegang tidak sah menurut hukum.

2. Surat Berharga di Luar KUHD


Ada beberapa jenis surat berharga yang dikenal dan diatur di luar KUHD itu antara lain: a. Bilyet Giro:
Bilyet Giro adalah surat perintah tak bersyarat dari nasabah yang telah dibakukan bentuknya kepada bank penyimpan dana untuk
memindahkan sejumlah dana dari rekening giro yang bersangkutan kepada pihak penerima yang disebutkan namanya, kepada
bank yang sama atau kepada bank yang lainnya.
b. Travels Cheque:
Travels Cheque atau cek perjalanan adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh bank, yang mengandung nilai di mana bank
penerbit sanggup membayar sejumlah uang sebesar nilai nominalnya kepada orang yang tanda tangannya tertera ada cek
perjalanan itu.
c. Credit Card:
Credit Card atau kartu kredit adalah kartu plastik yang dikeluarkan oleh issuer yaitu bank atau lembaga atau keuangan lainnya,
yang fungsinya adalah sebagai pengganti uang. Perjanjian kartu kredit adalah salah satu bentuk perjanjian yang tunduk
kepada ketentuan Buku III KUHPerdata. Sumber hukum utama kartu kredit adalah perjanjian pinjam-pakai habis dan
perjanjian jual-beli bersyarat yang diatur dalam Buku III KUHPerdata.
d. Miscellaneous Charges Order (MCO):
MCO adalah satu dokumen yang dikeluarkan oleh masing- masing maskapai penerbangan yang beroperasi secara internasional,
sebagai alat perintah membayar, untuk mengisi kembali ticket balance pembayaran, dan lain-lain. Tujuan mengeluarkan
MCO tersebut adalah untuk penukaran, pemberian service kepada orang yang memanfaatkan pesawat udara dan merupakan
pengamanan keuangan orang perorangan/group yang menggunakan fasilitas angkatan udara itu.
e. Letter of Credit:
L/C merupakan janji membayar dari Issuing Bank kepada Beneficiary/ Eksportir/penjual yang mana pembayarannya hanya dapat
dilakukan oleh Issuing Bank jika Beneficiary menyerahkan kepada Issuing Bank dokumen-dokumen yang sesuai dengan
persyaratan L/C.
f. Sertifikat Deposito atau CoD: Berdasarkan UU Perbankan sertifikat deposito adalah deposito berjangka yang bukti
simpanannya dapat diperdagangkan. Sedangkan menurut Blacks Law Dictionary yaitu: pengakuan tertulis dari bank kepada
penyimpan (deposan) dengan janji untuk membayar kepada penyimpan, atau penggantinya.
g. Sertifikat Bank Indonesia (SBI):
SBI adalah sertifikat yang diterbitkan BI dengan sistem true discount, yang dibeli melalui lelang (primary market) atau melalui
pasar uang (secondary market).
h. Sertifikat Reksadana:
Sertifikat Reksadana atau juga lazim disebut Unit Penyertaan yang dibuat atas unjuk, adalah bukti yang menjelaskan jumlah dana
yang berhasil dikumpulkan oleh perusahaan reksa dana untuk kemudian akan dikelola dalam bentuk pembelian surat berharga
seperti saham, obligasi, atau disimpan dalam bentuk deposito berjangka.
i. Commercial Paper (CP):
Dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan bahwa CP merupakan negotiable instrument untuk pembayaran uang, seperti cek,
wesel, promissory notes. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa CP adalah short term, unsecured promissory notes, yang lazim
diterbitkan oleh large, well-known corporations dan finance companies.
j. Obligasi (Bonds):
Dalam Black’s Law Dictionary obligasi didefinsikan sebagai: a) suatu sertifikat bukti utang, yang mana perusahaan penerbit atau
badan pemerintah berjanji untuk membayar sejumlah bunga untuk satu jangka waktu panjang tertentu kepada pemegang, dan
untuk membayar kembali utangnya pada saat jatuh tempo; b) instrumen utang jangka panjang yang berisikan janji untuk
membayar kepada kreditur sejumlah bunga secara periodik dan membayar utang pokok pada saat jatuh tempo.
k. Floating Rate Note (FRN)/Medium Term Note (“MTN”):
Pada dasarnya FRN dan MTN merupakan obligasi dengan jangka menengah. FRN adalah notes dengan bunga floated, yang lazim
diterbitkan dan dipasarkan di luar negeri, sedangkan atas MTN berlaku tingkat suku bunga fixed yang lazim dipasarkan di
Indonesia.
l. Warrant:
Warrant atau stocks warrant dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai Sertifikat yang membuktikan kepemilikan hak
untuk membeli saham dalam jumlah, waktu, dan pada harga tertentu.

G. Hukum Pengangkutan
Hukum Pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik pengangkutan di laut, udara, darat, dan
perairan pedalaman.

1. Sumber Hukum Pengangkutan


Secara umum sumber hukum diartikan sebagai tempat dapat menemukan hukum atau tempat mengenali hukum. Sumber
hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum material (a material sources of law) dan sumber hukum dalam arti formal (a
formal sources of law).
Sedangkan jenis-jenis pengangkutan yang ada sekarang ini ada beberapa macam, yaitu pengangkutan darat, pengangkutan
laut, dan pengangkutan udara.

2. Ketentuan Umum
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam
beberapa pasal, yaitu sebagai berikut.
a. Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal
98 tentang Pengangkutan darat dan Pengangkutan Perairan Darat;
b. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 tentang Pencarteran Kapal, Buku II Bab V A Pasal 466 sampai dengan
Pasal 520 tentang Pengangkutan Barang, dan Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal
544a tentang Pengangkutan Orang;
c. Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan Para Ekspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai KapalKapal yang melalui perairan darat.
3. Ketentuan Khusus
Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUHDagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu
antara lain: a. Konvensi-konvensi internasional;
b. Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
c. Peraturan perundang-undangan nasional;
d. Yurisprudensi;
e. Perjanjian-perjanjian antara:
1) Pemerintah-Perusahaan Angkutan
2) Perusahaan Angkutan–Perusahaan Angkutan
3) Perusahaan Angkutan–Pribadi/Swasta
Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam: a. Pengangkutan
Darat, diatur di dalam:
1) Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang Surat Angkutan dan tentang Pengangkut dan Juragan Perahu Melalui Sungai
dan Perairan Darat.
2) Ketentuan di luar KUHDagang/KUHPerdata, terdapat di dalam:
a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian.
c) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1) KUHDagang yaitu pada:
a) Buku II Bab V tentang perjanjian Carter Kapal;
b) Buku II Bab VA Tentang Pengangkutan Barang-barang;
c) Buku II Bab V B tentang Pengangkutan Orang.
2) Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan;
d) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.
c. Pengangkutan Udara; ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
2) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara;
3) Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat internasional, (konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan
udara) yaitu sebagai berikut.
a. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929;
b. Konvensi Geneva;
c. Konvensi Roma 1952;
d. Protokol Hague 1955;
e. Konvensi Guadalajara 1961;
f. Protokol Guatemala.

Dalam pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut:
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based on fault printciple).
b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah (rebuttable presumption of liability principle).
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict liabilty, absolute liability principle).
Hukum pengangkutan di Indonesia menerapkan prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah. Tetapi
prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian,
artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika
pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang Prinsip Tanggung Jawab Praduga
Bersalah adalah:
a. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
b. Pasal 28 ayat 1, 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
c. Pasal 43 ayat 1b dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Bagi usaha pengangkutan diwajibkan memiliki izin usaha dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1) Memiliki NPWP;
2) Memiliki akta pendirian perusahaan/akta pendirian koperasi;
3) Memiliki keterangan domisili perusahaan;
4) Memiliki surat izin temapt usaha;
5) Pernyataan kesanggupan untuk menyelenggarakan usahanya secara berkala baik itu dalam hal penyediaan maupun perawatan
dari alat angkut-angkut tersebut, serta kesanggupan menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Pernyataan kesanggupan
untuk memiliki alat angkut tersebut.
Izin usaha dapat dikeluarkan oleh bupati, walikota madya dan gubernur. Sedangkan bagi badan usaha yang berbentuk koperasi
diberikan oleh Dirjen Perhubungan Darat.

H. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)


Hak Kekayaan Intelektual, disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk
Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang
berguna untuk manusia pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.
Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau juga dikenal dengan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan padanan atas
istilah Intellectual Property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan
merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas
segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan
seterusnya. Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan
intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.
World Trade Organization (WTO) mendefinisikan hak kekayaan intelektual adalah hak yang diberikan kepada seseorang
sebagai hasil kreasi dari pikirannya atau hasil dari intelektualnya. Hak tersebut memberikan kepada kreatornya penggunaan hak
eksklusif yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu tertentu.
Hak kekayaan intelektual pertama kali diperkenalkan di dalam dua konvensi internasional, yaitu Paris Convention for the
Protection of Industrial Property di tahun 1883 dan the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works di tahun
1886. Kedua konvensi tersebut kemudian diadministrasikan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization).
Sejak tahun 1886, di kalangan negara-negara di kawasan barat Eropa telah diberlakukan Konvensi Bern, yang ditujukan bagi
perlindungan ciptaan-ciptaan di bidang sastra dan seni. Kecenderungan negara-negara Eropa Barat untuk menjadi peserta pada
konvensi ini, hal ini yang mendorong kerajaan Belanda untuk memperbaharui undang-undang hak ciptanya yang sudah berlaku
sejak 1881.
Secara yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya
Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September 1912. Dengan suatu
undang-undang hak cipta baru pada tanggal 1 November Tahun 1912, yang dikenal dengan Auteurswet 1912. Tidak lama setelah
pemeberlakuan undang-undang ini, kerajaan Belanda mengikatkan diri pada Konvensi Bern 1886.
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini kemudian masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan
peralihan yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat dan Pasal 142 UndangUndang Dasar Sementara 1950. Pemberlakuan Auteurswet 1912 ini sudah barang tentu
bersifat sementara. Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern dan menyatakan
semua ketentuan hukum tentang hak cipta tidak berlaku lagi, agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta,
dan karya asing tanpa harus membayar royalti. Dengan pertimbangan agar tidak menyulitkan Indonesia dalam pergaulan
masyarakat internasional, sikap itu ditinjau kembali setelah Orde Baru berkuasa. Ketentuan lama zaman Belanda tentang hak cipta,
yakni Auteurswet 1912 berlaku lagi.
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama
dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas
dan sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan merugikan kreativitas untuk mencipta, yang dalam pengertian yang lebih
luas juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluas-luasnya. Setelah 37 tahun Indonesia merdeka, Indonesia sebagai
negara berdaulat mengundangkan suatu Undang-Undang Nasional tentang Hak Cipta, tepatnya tanggal 12 April 1982, pemerintah
Indonesia memutuskan untuk mencabut Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus mengundangkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15. Undang-
undang ini pada prinsipnya peraturannya sama dengan Auteurswet 1912 namun disesuaikan dengan keadaan Indonesia pada saat
itu.
Dalam pelaksanaannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran terutama
dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telah berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas
dan sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan merugikan kreatifitas untuk mencipta, yang dalam pengertian yang lebih luas
juga akan membahayakan sendi kehidupan dalam arti seluas-luasnya.
Perkembangan kegiatan pelanggaran hak cipta tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebab-sebab timbulnya keadaan
tersebut bersumber kepada:
1. Masih belum memasyarakatnya etika untuk menghargai karya cipta seseorang;
2. Kurangnya pemahaman terhadap arti dan fungsi hak cipta, serta ketentuan undang-undang hak cipta pada umumnya, yang
disebabkan karena masih kurangnya penyuluhan mengenai hal tersebut;
3. Terlalu ringannya ancaman yang ditentukan dalam undang-undang hak cipta terhadap pembajakan hak cipta.
Namun di luar faktor di atas, pengamatan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 itu sendiri ternyata juga
menunjukkan masih perlunya dilakukan beberapa penyempurnaan sehingga mampu menangkal pelanggaran tersebut. Dalam
memenuhi tuntutan penyempurnaan atas Undang-Undang Hak Cipta 1982 tersebut, maka pada tanggal 23 September 1987
Pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, diundangkanlah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Di dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 skala perlindungan pun diperluas, di antara perubahan mendasar yang
terjadi di dalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta diperpanjang menjadi 50 tahun setelah meninggalnya si
pencipta. Karya-karya seperti rekaman dan video dikategorikan sebagai karya-karya yang dilindungi. Selain itu salah satu
kelemahan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 dalam menanggulangi pelanggaran hak cipta karena peraturan pidananya
sebagai delik aduan. Penyidik baru dapat melakukan penangkapan terhadap pelakunya setelah adanya pengaduan dari pihak
korban. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 peraturan pidananya diubah menjadi delik biasa. Warga
masyarakat dapat melaporkan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta tanpa perlu ada pengaduan dari korban, penyidik dapat
melakukan penangkapan terhadap pelakunya.
Kemudian setelah berjalan selama 10 Tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1987 diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang telah diubah UndangUndang Nomor 7 Tahun 1987. Perubahan undang-
undang ini dikarenakan negara kita ikut serta dalam Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual
(Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights, Including Trade Counterfeit Goods/ TRIPs) yang
merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade
Organization). Dengan keterkaitan tersebut negara kita telah meratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan
melanjutkan dengan menerapkan dalam undang-undang yang salah satunya adalah Undang-Undang Hak Cipta. Selain itu,
Indonesia juga meratifikasi Berne Convention for the Protection of Arstistic and Literary Works (Konvensi Berne tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO) dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Walaupun perubahan pengaturan Hak Cipta melalui UUHC 1997 telah memuat beberapa penyesuaian pasal yang sesuai
dengan Perjanjian TRIPs, masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-karya
intelektual di bidang hak cipta, termasuk upaya umtuk memajukan perkembangan karya intelektual yang berasal dari
keanekaragaman seni dan budaya bangsa Indonesia. Dengan memerhatikan hal tersebut dipandang perlu untuk mengganti
UUHC dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Lalu disadari karena kekayaan seni dan budaya,
serta pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar
terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka dibentuklah
UUHC yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta agar sesuai dengan perkembangan hukum
dan kebutuhan masyarakat.
Hak cipta secara harfiah berasal dari dua kata yaitu hak dan cipta. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “hak”
berarti suatu kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Sedangkan kata
“cipta” atau “ciptaan” tertuju pada hasil karya manusia dengan menggunakan akal pikiran, perasaan, pengetahuan, imajinasi
dan pengalaman. Sehingga dapat diartikan bahwa hak cipta berkaitan erat dengan intelektual manusia.
Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh Sultan Mohammad Syah, SH pada Kongres Kebudayaan di Bandung pada
tahun 1951 (yang kemudian di terima di kongres itu) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas
cakupan pengertiannya, karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan “penyempitan” arti, seolah-olah yang dicakup oleh
pengarang itu hanyalah hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut-pautnya dengan karang-mengarang saja, padahal tidak
demikian. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Rechts.
Hak cipta adalah hak eksklusif atau yang hanya dimiliki si Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan
hasil karya atau hasil olah gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu
ciptaan” atau hak untuk menikmati suatu karya. Hak cipta juga sekaligus memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi pemanfaatan, dan mencegah pemanfaatan secara tidak sah atas suatu ciptaan. Mengingat hak eksklusif itu
mengandung nilai ekonomis yang tidak semua orang bisa membayarnya, maka untuk adilnya hak eksklusif dalam hak cipta
memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas. Secara yuridis, istilah Hak Cipta telah dipergunakan dalam Undang- Undang
Nomor 6 Tahun 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, berbunyi: “Hak cipta adalah hak eksklusif
pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pada dasarnya, hak cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang berupa perwujudan dari suatu ide
pencipta di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Ketika Anda membeli sebuah buku, Anda hanya membeli hak untuk
meminjamkan dan menyimpan buku tersebut sesuai keinginan Anda. Buku tersebut adalah milik Anda pribadi dalam bentuknya
yang nyata atau dalam wujud benda berupa buku. Namun, ketika Anda membeli buku ini, Anda tidak membeli Hak Cipta karya
tulis yang ada dalam buku yang dimiliki oleh si pengarang ciptaan karya tulis yang diterbitkan sebagai buku. Dengan kerangka
berpikir tentang sifat dasar hak cipta yang demikian, Anda tidak memperoleh hak untuk mengkopi ataupun memperbanyak buku
tanpa seizin dari pengarang. Apalagi menjual secara komersial hasil perbanyakan buku yang dibeli tanpa seizin dari pengarang.
Hak memperbanyak karya tulis adalah hak eksklusif pengarang atau seseorang kepada siapa pengarang mengalihkan hak
perbanyak dengan cara memberikan lisensi.
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah memberikan beberapa kriteria mengenai
hasil ciptaan yang diberikan perlindungan oleh hak cipta sebagai berikut.
1. Dalam undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang
mencakup:
a. Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks
e. Drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. Karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, kolase;
g. Karya seni terapan;
h. Karya arsitektur;
i. Peta;
j. Karya seni batik atau seni motif lain
k. Karya fotografi;
l. Potret;
m. Karya sinematografi;
n. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil
transformasi;
o. Terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional;
p. Kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnyA
q. Kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli;
r. Program komputer.
2. Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas
Ciptaan asli.
3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2, termasuk perlindungan terhadap ciptaan yang tidak atau belum
dilakukan pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk nyata yang memungkinkan penggandaan ciptaan tersebut.
Hal-hal yang tidak termasuk hak cipta adalah hasil rapat terbuka lembaga negara, peraturan perundang-undangan,
pidato kenegaraan atau pidato pejabat pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, dan kitab suci atau simbol
keagamaan.
1. hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata;
2. setiap ide, prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data walaupun telah diungkapkan, dinyatakan,
digambarkan, dijelaskan, atau digabungkan dalam sebuah ciptaan; dan
3. alat, benda, atau produk yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau yang bentuknya hanya
ditujukan untuk kebutuhan fungsional.
Hal-hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai ciptaan adalah:
1. Ciptaan di luar bidang ilmu pengetahuan, seni, dan satra;
2. Ciptaan yang tidak orisinil;
3. Ciptaan yang bersifat abstrak;
4. Ciptaan yang sudah merupakan milik umum;
5. Ciptaan yang tidak sesuai dengan ketentuan pada undang-undang hak cipta.
Masa berlaku suatu hak cipta bergantung pada jenis ciptaan atau “objek” hak ciptanya, serta apakah objek itu
diterbitkan atau tidak diterbitkan. Hak cipta berlaku dalam jangka waktu terbatas, dan lamanya berbeda-beda tiap negara.
Sebagai suatu hak yang mempunyai fungsi sosial, maka hak cipta mempunyai masa berlaku tertentu. Hal ini untuk
menghindarkan adanya monopoli secara berlebihan dari si Pencipta.
Mengenai pemindahtanganan hak cipta bahwa benda ini dapat beralih atau dialihkan oleh pemegangnya. Berdasarkan
Pasal 16 ayat (2) UndangUndang Hak Cipta 2014 telah diatur tentang hal tersebut, bahwa hak cipta dapat beralih atau
dialihkan baik sebagian atau seluruhnya karena: pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang
dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dapat beralih atau dialihkan hanya hak ekonomi saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada diri penciptanya.
Pengalihan hak cipta ini harus dilakukan secara jelas dan tertulis baik dengan atau tanpa akta notaris.

I. Hukum Pertanggungan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi
Konsep pengalihan risiko (risk transfering) dan pembagian risiko (risk sharing) inilah yang melahirkan lembaga
pertanggungan, atau yang lebih dikenal dengan asuransi. Dalam konteks Indonesia, mengenai lembaga pertanggungan (asuransi)
sudah diatur sejak sebelum kemerdekaan, yaitu dalam Burgerlijke Wetboek (BW) atau lebih kita kenal dengan Kitab Undangundang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Kemudian secara khusus mengenai pertanggungan, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD). Asuransi dalam bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dalam bahasa
inggris disebut inssurance. Asuransi berasal dari bahasa inggris “assure” yang berarti menanggung dan “assurance” yang berarti
tanggungan.
Dalam hukum asuransi kita mengenal berbagai macam istilah, ada yang mempergunakan istilah hukum pertanggungan, dalam
bahasa Belanda disebut Verzekering Recht, dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Insurance Law, sedangkan dalam praktik-
praktik sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi (Asurantie). Ada dua pihak yang
terlibat dalam asuransi, yaitu Penanggung sebagai pihak yang sanggup menjamin serta menanggung pihak lain yang akan mendapat
suatu penggantian kerugian yang mungkin akan dideritanya sebagai suatu akibat dari suatu perististiwa yang belum tentu terjadi
dan pihak Tertanggung akan menerima ganti kerugian, yang mana pihak Tertanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada
pihak Penanggung.
Dalam perjanjian asuransi terdapat dua pihak yang mana pihak pertama sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak
kedua atau pihak lainnya akan mendapat penggantian suatu kerugian yang bisa saja akan diderita akibat adanya suatu peristiwa
yang semula belum tentu terjadi atau belum dapat ditentukan kapan terjadinya. Pihak kedua atau pihak yang ditanggung tersebut
wajib membayar sejumlah uang kepada pihak pertama. Uang akan tetap menjadi milik Penanggung apabila dikemudian hari
ternyata kejadian yang dimaksud itu terjadi.
Menurut Subekti, dalam bukunya memberikan definisi mengenai asuransi yaitu, asuransi atau pertanggungan sebagai suatu
perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Suatu perjanjian untung-untungan ialah
suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu terjadi, kejadian mana akan menentukan
untung-ruginya salah satu pihak.
Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena
dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan
untung-untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian
ada juga sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini Perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suatu persetujuan untunguntungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu
mengenai untungruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
Yaitu persetujuan pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.
Jika kita kembali memerhatikan bunyi Pasal 1774 Kitab Undangundang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian asuransi ini dikategorikan sebagai perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Menurut Pasal
1774 tersebut selain perjanjian asuransi yang termasuk dalam perjanjian untung-untungan, juga adalah bunga cagak hidup
(liferente) dan perjudian serta pertaruhan (spel en weddingschap).
Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena
dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan untung-
untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian ada juga
sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini dikarenakan pembayaran uang asuransi selalu
digantungkan kepada peristiwa yang tidak pasti (onzekker voorval), dengan terjadinya hal tersebut itu maka dibayar uang asuransi.
Hanya saja dengan perkembangan asuransi saat ini walaupun tidak terjadi onzekker voorval, pihak Penanggung wajib
membayar uang asuransi sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan mereka yang telah dituangkan ke dalam perjanjian. Hal
tersebut dimungkinkan dengan adanya kebebasan berkontrak para pihak yang dianut dalam hukum perdata, maka dari itu asuransi
tersebut sudah mengandung unsur menabung (saving) di mana Tertanggung memperoleh kembali premi yang sudah dibayarnya
dengan persetujuan yang mereka lakukan baik sebagai Penanggung maupun sebagai Tertanggung.
Pengaturan asuransi yang umum dan luas terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 246 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel dijumpai suatu pengertian atau definisi resmi dari asuransi, Pasal
tersebut menyatakan bahwa “asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan di mana Penanggung dengan menikmati suatu premi
mengikat dirinya terhadap Tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan
keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diterima olehnya karena kejadian yang tidak pasti”.
Berdasaarkan pengertian Pasal 246 KUHD dapat disimpulkan ada tiga unsur dalam asuransi, yaitu:
a. Pihak Tertanggung, yakni yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak Penanggung baik sekaligus atau
berangsurangsur;
b. Pihak Penanggung, mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak Tertanggung, sekaligus atau
berangsur-angsur apabila unsur ketiga berhasil;
c. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan yaitu sebagai berikut. a. Pihak-pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu Penanggung dan Tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.
Pemegang wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan
Tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang
diasuransikan.
b. Status pihak-pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan
(Persero) atau Koperasi. Sedangkan Tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan atau badan hukum dan
harus pihak yang berkepentingan atas objek yang diasuransikan.
c. Objek asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat kepada benda dan sejumlah uang yang disebut premi
atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan
memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko, sedangkan Tertanggung bertujuan bebas dari
risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.
d. Peristiwa asuransi
Peristiwa asuransi adalah merupakan perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara Penanggung
dengan Tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenement) yang mengancam objek asuransi, dan syarat-
syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta
yang disebut polis, polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
e. Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara Penanggung dengan Tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena
adanya persetujuan atau kesepakatan bebas untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Apabila terjadi kondisi
yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, Penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan polis asuransi
sedangkan apabila tidak terjadi, maka premi yang sudah dibayar oleh Tertanggung tetap menjadi milik Penanggung.
Dasar hukum asuransi banyak tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai asuransi ini sangat
penting karena menjadi suatu dasar pelaksanaan usaha asuransi di Indonesia. Berikut beberapa pengaturan mengenai asuransi:

a. Pengaturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang


Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) terdapat dua cara pengaturan mengenai Hukum Pertanggungan,
yaitu pengaturan yang bersifat umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I Bab IX
dan pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab X, Buku II Bab IX dan X. Rincian isi bab-bab tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Buku I titel IX (sembilan): mengatur tentang asuransi pada umumnya, 2) Buku I titel X (sepuluh) ini dibagi dalam bebearapa
bagian, yaitu:
a) Bagian pertama: mengatur asuransi terhadap bahaya kebakaran diatur dalam Pasal 287-298 KUHD;
b) Bagian kedua: mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian di sawah di atur dalam
Pasal
299-301 KUHD;
c) Bagian ketiga: mengatur asuransi jiwa diatur dalam Pasal 302-308
KUHD.
3) Buku II titel IX (sembilan): mengatur asuransi terhadap bahaya-bahaya laut dan bahaya-bahaya perbudakan. Diatur dalam
Pasal 592-685 KUHD,
4) Buku II titel IX (sembilan) ini dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a) Bagian pertama: mengatur tentang bentuk dan isi asuransi;
b) Bagian kedua: mengatur tentang anggaran dari barang-barang yang diasuransikan;
c) Bagian ketiga: mengatur tentang awal dan akhir bahaya;
d) Bagian keempat: mengatur tentang hak dan kewajiban-kewajiban
Penanggung dan Tertanggung;
e) Bagian kelima: mengatur tentang abandonnemen;
f) Bagian keenam: mengatur tentang kewajiban-kewajiban dan hakhak makelar di dalam asuransi laut.
5) Buku II titel X (sepuluh): mengatur tentang asuransi terhadap bahayabahaya pengangkutan di darat dan sungai-sungai serta
perairan pedalaman diatur dalam Pasal 689-695 KUHD.
6) Buku I titel X (sepuluh) dan buku II titel X (sepuluh) pengaturannya bersifat secara ringkas saja, tidak seperti yang diatur
dalam buku I titel IX (sembilan) yang pengaturannya cukup luas. Pengaturan asuransi dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD) meliputi substansi sebagai berikut:
Jika KUHD mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 Tanggal
11 Februari 1992,
a) Asas-asas asuransi;
b) Perjanjian asuransi;
c) Unsur-unsur asuransi;
d) Syarat-syarat (klausula) asuransi;
e) Jenis-jenis asuransi.

b. Pengaturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun


1992 tentang Usaha Perasuransian
Jika KUHD mengutamakan pengaturan asuransi dari segi keperdataan maka Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1992 Tanggal 11 Februari 1992, mengutamakan pengaturan
asuransi dari segi bisnis dan publik administratif yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi pidana dan administratif. Pengaturan
dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan aturan hukum perasuransian dan perusahaan yang
berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar,
maka pelanggaran tersebut diancam dengan sanksi pidana dan sanksi administratif menurut undang-undang perasuransian.
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalam Lembaran Negara Nomor 120 Tahun 1992.
2. Tujuan Dilaksanakannya Asuransi
a) Pengalihan Risiko
Tertanggung menyadari bahwa ada ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya dan terhadap jiwanya. Jika bahaya
tersebut menimpa harta kekayaan atau jiwanya, dia akan menderita kerugian material atau korban jiwa atau cacat raganya. Secara
ekonomi kerugian material atau korban jiwa atau cacat raganya akan memengaruhi perjalanan hidup seseorang atau ahli warisnya.
Tertanggung sebagai pihak yang terancam bahaya merasa berat memikul beban risiko yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Asuransi sebagai alat pengalihan risiko artinya asuransi dapat dipakai sebagai salah satu wahana unik mengadakan pengalihan
risiko, di mana risiko pihak yang satu (Tertanggung) dialihkan kepada pihak lain (Penanggung) yang peralihannya dilakukan
dengan suatu perjanjian.
Untuk mengurangi atau menghilangkan beban risiko tersebut, pihak Tertanggung berupaya mencari jalan kalau ada pihak lain
yang bersedia mengambil-alih beban risiko (ancaman bahaya) dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut premi.
Dalam dunia bisnis perusahaan asuransi selalu siap menerima tawaran dari pihak Tertanggung untuk mengambil risiko dengan
imbalan pembayaran premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta
kekayaannya atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (Penanggung) sejak itu pula risiko
beralih kepada Penanggung. Apabila sampai berakhirnya jangka waktu asuransi tidak terjadi peristiwa yang merugikan Penanggung
beruntung memiliki dan menikmati premi yang telah diterimanya dari Tertanggung. Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh Penanggung. Dalam praktiknya tidak
senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh.
b) Pembayaran Ganti Kerugian
Dalam hal tidak terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalah terhadap risiko yang ditanggung oleh
Penanggung. Dalam praktiknya tidak senantiasa bahaya yang mengancam itu sungguh-sungguh terjadi. Ini merupakan kesempatan
baik bagi Penanggung mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa Tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika pada
suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada
Tertanggung yang bersangkutan akan dibayarkan ganti kerugian.
c) Pembayaran Santunan
Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara Penanggung dan Tertanggung
(voluntary insurance), tetapi undang-undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya Tertanggung
terikat dengan Penanggung karena perintah undang-undang bukan karena perjanjian, asuransi ini disebut asuransi sosial (social
security insurance). Asuransi ini bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian
atau cacat tubuh, dengan membayar sejumlah kontribusi (semacam premi), Tertanggung berhak memperoleh perlindungan dari
ancaman bahaya.
Tertanggung yang membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hukum tertentu yang ditetapkan
undang-undang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam
pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung. Mereka (ahli warisnya) akan memperoleh pembayaran santunan dari Penanggung
(BUMN) yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang-undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka
yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang.
d) Kesejahteraan Anggota
Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka
perkumpulan itu berkedudukan sebagai Penanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi
anggota (Tertanggung), perkumpulan akan membayar sejumlah uang kepada anggota (Tertanggung) yang bersangkutan.
Wirjono Projodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan (perkumpulan koperasi). Asuransi ini merupakan asuransi
saling menanggung (omderlinge verzekering) atau asuransi usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan anggota.
Asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, melainkan hanya mempunyai unsur-unsur
yang mirip dengan asuransi kerugian atau asuransi jumlah. Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (semacam premi oleh
Tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya
misalnya bantuan upacara bagi anggotanya yang mengadakan selamatan, bantuan biaya penguburan bagi anggota yang meninggal
dunia dan biaya perawatan bagi anggota yang mengalami kecelakaan atau sakit, serta cacat tetap.
Pada dasarnya setiap perjanjian pasti membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum mempunyai arti
yang sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak
saja, tetapi juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan perjanjian yang bersangkutan.
Undang-undang menentukan bahwa perjanjian asuransi harus ditutup dengan suatu akta yang disebut (Pasal 255 KUHD). Menurut
Pasal 255 “Suatu tanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”. Sesuai dengan uraian di atas
bahwa perjanijian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 bahwa “polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apa pun, berikut
lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata atau kalimat yang dapat menimbulkan
penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban Tertanggung, atau mempersulit Tertanggung
mengurus haknya”.
Berdasarkan ketentuan 2 (dua) pasal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis
yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara Tertanggung dan Penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang
tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat-kalimat yang memungkinkan perbedaan
interpretasi, sehingga mempersulit Tertanggung dan Penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan
asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar
pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi. Sedang syarat-syarat formal polis diatur lebih lanjut pada Pasal
256 KUHD. Agar suatu akta dapat disebut sebagai suatu polis. Pasal 257, selanjutnya mengatur tentang saat kapan perjanjian
asuransi itu mulai dianggap ada, yaitu sejak adanya kata sepakat/sejak saat ditutup, bahkan sebelum polis ditandatangani. Pada
umumnya syarat-syarat tambahan/khusus itu dibagi dalam dua jenis, adalah sebagai berikut.
a. Syarat-syarat yang bersifat larangan merupakan syarat-syarat di mana dinyatakan bahwa pihak Tertanggung dilarang
melakukan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman bila mana larangan tersebut dilanggar oleh Tertanggung, maka perjanjian
pertanggungan menjadi batal.
b. Syarat-syarat lain adalah semua syarat-syarat yang tidak mengandung ancaman-ancaman batalnya perjanjian pertanggungan
syarat untuk melanjutkan pertanggungan dan sebagainya. Misalnya ada ketentuan sebagai berikut: “Selesainya jangka waktu
yang tersebut dalam polis ini, dan sehabisnya tiap-tiap jangka waktu yang berikut, maka perjanjian pertanggungan ini dianggap
menurut hukum telah diperpanjang untuk jangka waktu yang sama, bilamana sekurang-kurangnya satu bulan di muka tidak
menyatakan penghentian pertanggungan ini oleh salah satu pihak yang bersangkutan kepada pihak lain dengan surat tercatat”.
Dengan syarat ini diberi kesempatan kepada pihak Tertanggung atau Penanggung untuk melanjutkan pertanggungan secara
otomatis dengan memberi kelonggaran membatalkan pertanggungan itu pada tanggal tersebut dalam polis di mana harus
diberitahukan maksud itu oleh pihak yang menghendaki kepada pihak yang lain.

Anda mungkin juga menyukai