k. Kecelakaan.
l. Hapusnya perjanjian dalam perdagangan.
E. Hukum Perusahaan
1. Perbuatan Perniagaan
Pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaannya sehari-hari. Kemudian oleh
Pasal 3 KUHD (lama) disebutkan lagi bahwa perbuatan perniagaan pada umumnya adalah perbuatan pembelian barang-
barang untuk dijual kembali. Dari ketentuan Pasal 3 KHUD (sudah dicabut) tersebut, H.M.N. Purwosutjipto mencatat:
1. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya
karena penjualan merupakan tujuan pembelian itu; dan
2. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak. Jadi, tidak termasuk barang tetap.
Pasal 4 KUHD (sudah dicabut) kemudian lebih merinci lagi beberapa kegiatan termasuk dalam kategori perbuatan
perniagaan, yaitu: a) perusahaan komisi;
b) perniagaan wesel;
c) pedagang, bankir, kasir, makelar, dan yang sejenis;
d) pembangunan, perbaikan, dan perlengkapan kapal untuk pelayaran di laut;
e) ekspedisi dan pengangkutan barang;
f) jual-beli perlengkapan dan keperluan kapal;
g) rederij, carter kapal, bordemerij, dan perjanjian lain tentang perniagaan laut;
h) mempekerjakan nahkoda dan anak buah kapal untuk keperluan kapal niaga;
i) perantara (makelar) laut, cargadoor, convoilopers, pembantu-pembantu pengusaha perniagaan, dan lain-lain;
j) perusahaan asuransi.
Pasal 5 KUHD (sudah dicabut) menambahkan lagi kegiatan yang termasuk dalam kategori perbuatan perniagaan,
yaitu perbuatan-perbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-
kewajiban mengenai tubrukan kapal, tolong-menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari kapal
karam atau terdampar, begitu pula penemuan barang-barang di laut, pembuangan barang-barang di laut ketika terjadi
avarai (avarij).
Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 tersebut telah dicabut oleh Stb.1938276 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Juli 1936.
Ketentuan ini juga mengganti istilah perbuatan perniagaan istilah perusahaan.
3. Organisasi Perusahaan
Perusahaan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan terusmenerus dengan tujuan untuk mencari
keuntungan. Kegiatan tersebut memerlukan suatu wadah untuk dalam mengelola bisnis tersebut. Wadah tersebut adalah
badan usaha atau organisasi perusahaan (business organization). Ada beberapa macam badan usaha yang diuraikan di
bawah ini.
a. Perusahaan Perseorangan
Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha. Di dalam perusahaan
perseorangan ini yang menjadi pengusaha hanya satu orang. Dengan demikian modal perusahaan tersebut hanya dimiliki
satu orang pula. Jika di dalam perusahaan tersebut banyak orang bekerja, mereka hanyalah pembantu pengusaha dalam
perusahaan berdasarkan perjanjian kerja atau pemberian kuasa.
Di dalam KUHD maupun peraturan perundang-undangan lainnya tidak dijumpai adanya pengaturan khusus
mengenai perusahaan perseorangan sebagaimana halnya bentuk usaha lainnya seperti Perseroan Terbatas (PT),
Persekutuan Komanditer (CV), atau juga Koperasi. Menurut H.M.N. Purwosutjipto, bentuk perusahaan perseorangan
secara resmi tidak ada.
Di dalam dunia bisnis, masyarakat telah mengenal dan menerima bentuk perusahaan perseorangan yang disebut
Perusahaan Dagang (PD) atau Usaha Dagang (UD).
4. Persekutuan Perdata
Persekutuan perdata adalah padanan dan terjemahan dari burgerlijk maatschap. Di dalam common law system dikenal
dengan istilah partnership. Kemudian di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah sharikah atau shirkah. Persekutuan
adalah suatu bentuk dasar bisnis atau organisasi bisnis. Persekutuan perdata menurut Pasal 1618 KUHPerdata ada
perjanjian antara dua orang atau lebih mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbrengen) ke dalam persekutuan dengan
maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya.
Dari ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik beberapa unsur yang terdapat di dalam persekutuan perdata,
yaitu:
a. adanya suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih;
b. masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng);
c. bermaksud membagi keuntungan bersama.
Di Inggris, menurut Pasal 1 Partnership Act 1890 persekutuan perdata adalah hubungan antara orang yang menjalankan
kegiatan bisnis dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (partnership is relation which subsists between persons carrying a
business in common with a view to profit).
Dengan demikian, bahwa persekutuan perdata baik dalam sistem hukum Indonesia maupun dalam sistem common
law memiliki kesamaan. Kesamaan itu terletak pada hubungan para sekutu didasarkan perjanjian. Dengan perkataan lain,
persekutuan perdata tunduk ada hukum perjanjian. Orang (person) yang melakukan kerja sama di dalam persekutuan
tersebut dapat berupa perorangan, persekutuan perdata, perusahaan yang berbadan hukum, atau bentuk persekutuan
lainnya. Makna bisnis (business) di dalam definisi persekutuan di atas mencakup setiap aktivitas atau kegiatan dalam
bidang perdagangan dan pekerjaan (occupation) atau profesi (profession). Dengan demikian, persekutuan perdata dapat
merupakan suatu wadah untuk menjalankan kegiatan yang bersifat komersial dan profesi seperti pengacara (advokat) dan
akuntan.
5. Hubungan Persekutuan Perdata dengan Firma dan Persekutuan Komanditer
Persekutuan perdata adalah genus dari bentuk kerja sama dalam bentuk persekutuan. Bentuk khusus (species)
perjanjian persekutuan perdata ini adalah firma dan persekutuan komanditer. Genusnya diatur dalam Buku III
KUHPerdata sebagai perjanjian bernama, sedangkan species-nya diatur dalam KUHD. Pengaturan tentang firma dan
persekutuan komanditer di dalam KUHD sangat singkat. Ini berlainan dengan persekutuan perdata yang diatur secara rinci
di dalam KUHPerdata. Pengaturan yang demikian dapat dipahami. Ketentuan persekutuan perdata di dalam KUHPerdata
menjadi ketentuan umum yang dapat berlaku baik bagi persekutuan perdata sendiri maupun firma dan persekutuan
komanditer yang merupakan persekutuan perdata. Ketentuan yang berkaitan dengan firma dan persekutuan komanditer
dalam KUHD adalah aturan yang bersifat khusus. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan khusus, maka ketentuan
umum persekutuan perdata berlaku juga bagi firma dan persekutuan komanditer. Dalam hubungan antara firma dan
persekutuan komanditer, firma dikatakan sebagai bentuk umum (genus) dan persekutuan komanditer adalah khusus
(species) dari firma.
6. Perantara dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen
dalam hal pembelian dan penjualan. Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam
pekerjaan, misalnya sebagai berikut.
a. Pekerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.
b. Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara.
c. Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup risiko pengangkutan
dengan asuransi.
a. Makelar (Broker)
Menurut undang-undang, makelar adalah perantara dagang yang disumpah, yang mengadakan perjanjian-perjanjian
atas perintah dan atas nama orang lain dan untuk mendapat upah yang disebut provisi atau courtage. Menurut Pasal 62
KUHD Makelar adalah seorang pedagang perantara yang diangkat oleh gubernur jendral (sekarang Presiden) atau oleh
pembesar yang oleh gubernur jenderal yang dinyatakan berwenang untuk itu. Dengan demikian, makelar adalah orang
yang menjalankan perusahan yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga. Pengaturan tentang makelar dalap
dilihat pada KUHD, Buku I, Pasal 62 sampai dengan Pasal 73.
Ciri-Ciri seorang Makelar:
1) Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari pemerintah (C.Q. Menteri kehakiman) (Pasal 62 (ayat 2).
2) Sebelum menjalankan tugas, makelar harus disumpah di muka Ketua Pengadilan bahwa dia akan menjalankan kewajiban
dengan baik (Pasal 62 ayat 2).
Pasal 65 KUHD ayat (1) pengangkat seorang makelar ada dua macam yaitu:
a. Pengangkatan yang bersifat umum yaitu untuk segala jenis lapangan/ cabang perniagaan.
b. Pengangkatan yang bersifat terbatas yakni bahwa dalam aktanya ditentukan untuk jenis atau jenis-jenis lapangan/cabang
perniagaan apa mereka diperbolehkan menyelengarakan pemakelaran mereka, misalnya untuk wesel, efek-efek, asuransi,
pembuatan kapal, dan lain-lain.
Apabila pengangkatan bersifat terbatas, maka menurut Pasal 65 ayat 2 KUHD, makelar tidak boleh/dilarang
berdagang untuk kepentingan sendiri dalam cabang atau cabang-cabang perniagaan yang dikerjakan, baik secara bekerja
sendiri atau bersama-sama dengan orang lain ataupun menjadi Penanggung (orang) bagi perbuatan-perbuatan yang ditutup
dengan perantaraannya.
2) Komisioner
Komisioner adalah perantara yang berbuat atas perintah dan atas tanggungan orang lain dan juga mendapatkan upah, namun
bedanya dengan makelar ia bertindak atas namanya sendiri. Suatu perjanjian yang dibuat oleh komisioner mengikat dirinya
sendiri terhadap pihak ketiga. ???? Dalam Pasal 76 KUHD disebutkan Komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan
perusahannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama atau firma dia sendiri, tetapi a) Ciri-ciri
Komisioner
(1) Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana makelar.
(2) Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas nama sendiri (Pasal 76).
(3) Komisioner tidak berkewajiban untuk menyebutkan nama komiten (Pasal 77 ayat 1). Dalam hal ini komisioner
menjadi pihak dalam perjanjian (Pasal 77 ayat 2).
(4) Tetapi komisioner juga dapat bertindak atas nama pemberi kuasa (Pasal 1979 KUHPer) dalam hal ini maka ia
tunduk pada Buku III KUHPer tentang pemberi kuasa.
b) Hak-hak Khusus Komisioner
1) Hak retensi yaitu hak komisioner untuk menahan barang-barang komiten, bila provisi dan biaya-biaya lain belum
dibayar (Pasal 85 KUHD dan 1812 KHUPer) ini adalah juga hal pemegang kuasa yang diberikan pada Pasal 1812
KUHPer. Hak ini mengenai semua barang-barang komiten yang ada ditangan komisioner.,
2) Hak istimewa (hak Privilege) yang diatur dalam Pasal 80 KUHD sedangkan pelaksanan diatur dalam Pasal 81,82.83
KUHD. Dalam Pasal 80 KUHD dinyatakan bahwa semua penagihan komisioner mengenai provisi, uang yang telah
dikeluarkan untuk memberi voorschot, biaya-biaya dan bunga, biaya-biaya untuk perikatan yang sedang berjalan,
maka komisioner mempunyai hak istimewa pada barang komiten yang ada di tangan komisioner:
a) untuk dijualkan. b) untuk ditahan bagi kepentingan lain yang akan datang. c) yang dibeli dan diterimanya
untuk kepentingan komiten.
3) Ekspeditur
Ekspeditur adalah barang siapa yang menyuruh menyelenggarakan pengangkutan barang dagangan, melalui daratan
atau perairan (Pasal 86 KUHD). Kewajibannya diatur dalam Pasal 87, 88, dan 89 KUHD, oleh karena seorang ekspeditur
menyuruh menyelenggarakan pengangkutan kepada orang lain, maka ia bertanggung jawab terhadap perbuatanperbuatan
orang lain itu. Biasanya orang lain itu adalah pengangkut dan mengenai pengangkutan ini terdapat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 466 KUHD dan seterusnya. Ekspeditur bertanggung jawab terhadap pengiriman dari saat penerimaan barang-
barang hingga penyerahannya pada yang berhak menerimanya. Pengangkut bertanggung jawab juga dari saat penerimaan
barang-barang hingga penyerahannya terhadap ekspeditur.
4) Agency
Jenis ini sama dengan Makelar dan Komisioner, namun pengaturannya tidak ada dalam KUHD maupun KUHPerdata,
akan tetapi agency saat ini sangat banyak berdiri dan diakui oleh masyarakat. Sehingga dalam praktiknya memakai aturan
dalam Pasal 1338 KUH Perdata, Pemberian Kuasa (Pasal 1792–1819 KUHPerdata), Pasal 62–64 KUHD, dan Kebiasaan
Dagang, serta Keputusan Menteri Perdagangan tentang Agen Tunggal.
F. Surat Berharga
Surat berharga adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu prestasi berupa
pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat bayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut, baik
pihak yang diberikan surat berharga oleh penerbitnya ataupun pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut dialihkan.
Berdasarkan refrensi yang ada, surat berharga dapat didefinisikan sebagai surat yang: (a) memiliki nilai, (b) negotiable,
dan (c) mudah dialihkan, yang oleh penerbitnya sengaja diterbitkan sebagai pelaksanaan pemenuhan suatu prestasi berupa
pembayaran sejumlah uang.
Dalam bab 6 dan 7 KUHD, fungsi surat berharga secara umum dibedakan dalam:
1. Surat sanggup membayar atau janji untuk membayar. Dalam surat ini penandatanganan berjanji untuk menyanggupi
membayar sejumlah uang kepada pemegang atau orang yang menggantikannya. Termasuk bentuk ini adalah surat
sanggup.
2. Surat perintah membayar. Dalam surat ini penerbit memerintahkan kepada penarik untuk membayar sejumlah uang
kepada pemegang atau penggantinya. Termasuk dalam bentuk surat ini adalah surat wesel dan cek.
3. Surat pembebasan utang. Dalam surat ini penerbit memberi perintah kepada pihak ketiga untuk membayar sejumlah
uang kepada pemegang yang menunjukkan dan menyerahkan surat ini. Termasuk dalam bentuk ini adalah kwitansi
atas unjuk.
Khusus bagi surat berharga yang berfungsi sebagai surat sanggup membayar atau janji untuk membayar, kemudian
dikelompokkan berdasarkan jangka waktu utangnya yaitu:
1. Surat utang jangka pendek (+ 1 tahun). Contoh: certificate of deposit, SBI, promissory notes, dan commercial paper.
2. Surat untuk jangka menengah (1 – 5 tahun). Contoh: medium term notes dan floating rate notes.
3. Surat untuk jangka panjang (> 5 tahun). Contoh: obligasi atau bonds, moergage backed securities (MBS), dan asset backed
securities (ABS).
Penerbitan surat berharga didasarkan pada fungsi surat berharga itu sendiri, apakah untuk alat pembayaran atau untuk
keperluan investasi, yang mana secara umum diterbitkan oleh:
1. Pihak yang berutang, seperti dalam cek dan promes;
2. Pihak yang berpiutang, seperti dalam wesel dagang (merchant’s draf/ bill of exchange);
3. Pihak lainnya yang ditunjuk, seperti dalam wesel (bank draf).
Pihak-pihak yang terkait dengan surat berharga adalah
1. Penarik (drawee), merupakan pihak pemilik dana pada rekening yang memerintahkan tertarik, yaitu bank untuk membayar
kepada pemegang;
2. Penerbit (issuer, penandatangan, debitur), merupakan pihak yang menerbitkan surat berharga;
3. Pemegang (kreditur, holder, investor, beneficiary), adalah pemegang surat berharga yang memiliki hak tagih;
4. Tertarik (payee), merupakan pihak lain yang disebutkan dalam surat berharga sebagai pihak yang akan melakukan
pembayaran;
5. Endosant (indorser), adalah pemegang surat berharga sebelumnya, yang memindahkan haknya atas surat berrharga tersebut
kepada pihak yang menerima pengalihan;
6. Akseptan (acceptor), adalah pihak yang melakukan akseptasi menerima, yaitu mengakui setiap tagihan yang ternyata dalam
warkat surat berharga yang diaksep serta berjanji melakukan pembayaran pada waktu yang ditentukan;
7. Avalist (guarantor) adalah penjamin dari penerbit.
Sedangkan fungsi dari surat berharga itu sendiri yaitu:
1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang);
2. Sebagai alat untuk memindahkan hal tagih (diperjualbelikan dengan mudah dan sederhana);
3. Sebagai surat bukti hak tagih.
Surat berharga terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Surat berharga (warde papier/ negonable instrument)
a. Merupakan alat pembayaran (Surat Berharga);
b. Alat pemindahan hak tagih, dalam surat berharga ada cara pemindahannya atau pembawa hak;
c. Surat bukti hak tagih (dengan memperlihatkan hak tersebut orang dapat menerima haknya).
Fungsi ini disebut juga legitimasi, artinya pemegang surat tersebut diberi pengakuan oleh surat tersebut sebagai yang berhak.
2. Surat yang berharga (papier van warda/letter of velue)
a. Bukan alat pembayaran karena alat tersebut tidak berpindah;
b. Bukan alat atau surat bukti hak tagih;
c. Surat bukti diri.
G. Hukum Pengangkutan
Hukum Pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik pengangkutan di laut, udara, darat, dan
perairan pedalaman.
2. Ketentuan Umum
Ketentuan-ketentuan umum mengenai pengangkutan dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang dapat ditemukan di dalam
beberapa pasal, yaitu sebagai berikut.
a. Buku 1 Bab V bagian 2 dan 3, mulai dari Pasal 90 sampai dengan Pasal
98 tentang Pengangkutan darat dan Pengangkutan Perairan Darat;
b. Buku II Bab V Pasal 453 sampai dengan Pasal 465 tentang Pencarteran Kapal, Buku II Bab V A Pasal 466 sampai dengan
Pasal 520 tentang Pengangkutan Barang, dan Buku II Bab V B Pasal 521 sampai Pasal
544a tentang Pengangkutan Orang;
c. Buku I Bab V Bagian II Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 mengenai Kedudukan Para Ekspeditur sebagai Pengusaha Perantara;
d. Buku I Bab XIII Pasal 748 sampai dengan Pasal 754 mengenai KapalKapal yang melalui perairan darat.
3. Ketentuan Khusus
Sedangkan ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan di luar KUHDagang terdapat dalam sumber-sumber khusus, yaitu
antara lain: a. Konvensi-konvensi internasional;
b. Perjanjian bilateral atau perjanjian multilateral;
c. Peraturan perundang-undangan nasional;
d. Yurisprudensi;
e. Perjanjian-perjanjian antara:
1) Pemerintah-Perusahaan Angkutan
2) Perusahaan Angkutan–Perusahaan Angkutan
3) Perusahaan Angkutan–Pribadi/Swasta
Sedangkan peraturan-peraturan khusus untuk tiap-tiap jenis pengangkutan tersebut, yaitu diatur di dalam: a. Pengangkutan
Darat, diatur di dalam:
1) Pasal 91 sampai dengan Pasal 98 tentang Surat Angkutan dan tentang Pengangkut dan Juragan Perahu Melalui Sungai
dan Perairan Darat.
2) Ketentuan di luar KUHDagang/KUHPerdata, terdapat di dalam:
a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
b) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian.
c) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
b. Pengangkutan Laut, diatur di dalam:
1) KUHDagang yaitu pada:
a) Buku II Bab V tentang perjanjian Carter Kapal;
b) Buku II Bab VA Tentang Pengangkutan Barang-barang;
c) Buku II Bab V B tentang Pengangkutan Orang.
2) Ketentuan lainnya dapat ditemukan pada:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
b) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang
Perkapalan;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang kepelabuhan;
d) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Angkutan Laut.
c. Pengangkutan Udara; ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang angkutan udara, antara lain:
1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
2) Ordonansi Pengangkutan Udara 1939 (luchtervoerordonanntie) tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara;
3) Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Beberapa sumber hukum angkutan udara yang bersifat internasional, (konvensi-konvensi internasional dalam bidang angkutan
udara) yaitu sebagai berikut.
a. Konvensi Warsawa (Warsaw Convention) 1929;
b. Konvensi Geneva;
c. Konvensi Roma 1952;
d. Protokol Hague 1955;
e. Konvensi Guadalajara 1961;
f. Protokol Guatemala.
Dalam pengangkut terdapat tiga prinsip atau ajaran dalam menentukan tanggung jawab pengangkut, yaitu sebagai berikut:
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
a. Prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (the based on fault atau liability based on fault printciple).
b. Prinsip tanggung jawab atas dasar praduga bersalah (rebuttable presumption of liability principle).
c. Prinsip tanggung jawab mutlak (no fault, atau strict liabilty, absolute liability principle).
Hukum pengangkutan di Indonesia menerapkan prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah. Tetapi
prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian,
artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika
pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang Prinsip Tanggung Jawab Praduga
Bersalah adalah:
a. Pasal 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
b. Pasal 28 ayat 1, 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
c. Pasal 43 ayat 1b dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Bagi usaha pengangkutan diwajibkan memiliki izin usaha dengan syarat-syarat sebagai berikut.
1) Memiliki NPWP;
2) Memiliki akta pendirian perusahaan/akta pendirian koperasi;
3) Memiliki keterangan domisili perusahaan;
4) Memiliki surat izin temapt usaha;
5) Pernyataan kesanggupan untuk menyelenggarakan usahanya secara berkala baik itu dalam hal penyediaan maupun perawatan
dari alat angkut-angkut tersebut, serta kesanggupan menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Pernyataan kesanggupan
untuk memiliki alat angkut tersebut.
Izin usaha dapat dikeluarkan oleh bupati, walikota madya dan gubernur. Sedangkan bagi badan usaha yang berbentuk koperasi
diberikan oleh Dirjen Perhubungan Darat.
I. Hukum Pertanggungan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi
Konsep pengalihan risiko (risk transfering) dan pembagian risiko (risk sharing) inilah yang melahirkan lembaga
pertanggungan, atau yang lebih dikenal dengan asuransi. Dalam konteks Indonesia, mengenai lembaga pertanggungan (asuransi)
sudah diatur sejak sebelum kemerdekaan, yaitu dalam Burgerlijke Wetboek (BW) atau lebih kita kenal dengan Kitab Undangundang
Hukum Perdata (KUH Perdata). Kemudian secara khusus mengenai pertanggungan, diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD). Asuransi dalam bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dalam bahasa
inggris disebut inssurance. Asuransi berasal dari bahasa inggris “assure” yang berarti menanggung dan “assurance” yang berarti
tanggungan.
Dalam hukum asuransi kita mengenal berbagai macam istilah, ada yang mempergunakan istilah hukum pertanggungan, dalam
bahasa Belanda disebut Verzekering Recht, dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Insurance Law, sedangkan dalam praktik-
praktik sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi (Asurantie). Ada dua pihak yang
terlibat dalam asuransi, yaitu Penanggung sebagai pihak yang sanggup menjamin serta menanggung pihak lain yang akan mendapat
suatu penggantian kerugian yang mungkin akan dideritanya sebagai suatu akibat dari suatu perististiwa yang belum tentu terjadi
dan pihak Tertanggung akan menerima ganti kerugian, yang mana pihak Tertanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada
pihak Penanggung.
Dalam perjanjian asuransi terdapat dua pihak yang mana pihak pertama sanggup menanggung atau menjamin bahwa pihak
kedua atau pihak lainnya akan mendapat penggantian suatu kerugian yang bisa saja akan diderita akibat adanya suatu peristiwa
yang semula belum tentu terjadi atau belum dapat ditentukan kapan terjadinya. Pihak kedua atau pihak yang ditanggung tersebut
wajib membayar sejumlah uang kepada pihak pertama. Uang akan tetap menjadi milik Penanggung apabila dikemudian hari
ternyata kejadian yang dimaksud itu terjadi.
Menurut Subekti, dalam bukunya memberikan definisi mengenai asuransi yaitu, asuransi atau pertanggungan sebagai suatu
perjanjian yang termasuk dalam golongan perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Suatu perjanjian untung-untungan ialah
suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu terjadi, kejadian mana akan menentukan
untung-ruginya salah satu pihak.
Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena
dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan
untung-untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian
ada juga sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini Perjanjian asuransi diatur dalam Pasal 1774
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Di dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suatu persetujuan untunguntungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu
mengenai untungruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
Yaitu persetujuan pertanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dan pertaruhan.
Jika kita kembali memerhatikan bunyi Pasal 1774 Kitab Undangundang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian asuransi ini dikategorikan sebagai perjanjian untung-untungan (kansovereenkomst). Menurut Pasal
1774 tersebut selain perjanjian asuransi yang termasuk dalam perjanjian untung-untungan, juga adalah bunga cagak hidup
(liferente) dan perjudian serta pertaruhan (spel en weddingschap).
Akan tetapi pengaturan yang memasukkan asuransi ke dalam kategori perjanjian untung-untungan dirasa kurang tepat, karena
dalam suatu perjanjian untung-untungan pihak-pihak secara sadar dan sengaja melakukan atau menjalani suatu kesempatan untung-
untungan di mana prestasi timbal balik tidak seimbang, sedangkan dalam asuransi hal tersebut tidak ada. Namun demikian ada juga
sarjana yang mengatakan bahwa pengaturan tersebut sudah sesuai. Hal ini dikarenakan pembayaran uang asuransi selalu
digantungkan kepada peristiwa yang tidak pasti (onzekker voorval), dengan terjadinya hal tersebut itu maka dibayar uang asuransi.
Hanya saja dengan perkembangan asuransi saat ini walaupun tidak terjadi onzekker voorval, pihak Penanggung wajib
membayar uang asuransi sesuai dengan persetujuan atau kesepakatan mereka yang telah dituangkan ke dalam perjanjian. Hal
tersebut dimungkinkan dengan adanya kebebasan berkontrak para pihak yang dianut dalam hukum perdata, maka dari itu asuransi
tersebut sudah mengandung unsur menabung (saving) di mana Tertanggung memperoleh kembali premi yang sudah dibayarnya
dengan persetujuan yang mereka lakukan baik sebagai Penanggung maupun sebagai Tertanggung.
Pengaturan asuransi yang umum dan luas terdapat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 246 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel dijumpai suatu pengertian atau definisi resmi dari asuransi, Pasal
tersebut menyatakan bahwa “asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan di mana Penanggung dengan menikmati suatu premi
mengikat dirinya terhadap Tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan
keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat diterima olehnya karena kejadian yang tidak pasti”.
Berdasaarkan pengertian Pasal 246 KUHD dapat disimpulkan ada tiga unsur dalam asuransi, yaitu:
a. Pihak Tertanggung, yakni yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak Penanggung baik sekaligus atau
berangsurangsur;
b. Pihak Penanggung, mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak Tertanggung, sekaligus atau
berangsur-angsur apabila unsur ketiga berhasil;
c. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan yaitu sebagai berikut. a. Pihak-pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu Penanggung dan Tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.
Pemegang wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan
Tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang
diasuransikan.
b. Status pihak-pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan
(Persero) atau Koperasi. Sedangkan Tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan atau badan hukum dan
harus pihak yang berkepentingan atas objek yang diasuransikan.
c. Objek asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat kepada benda dan sejumlah uang yang disebut premi
atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan
memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko, sedangkan Tertanggung bertujuan bebas dari
risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.
d. Peristiwa asuransi
Peristiwa asuransi adalah merupakan perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara Penanggung
dengan Tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenement) yang mengancam objek asuransi, dan syarat-
syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta
yang disebut polis, polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
e. Hubungan Asuransi
Hubungan asuransi yang terjadi antara Penanggung dengan Tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena
adanya persetujuan atau kesepakatan bebas untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Apabila terjadi kondisi
yang menimbulkan kerugian atas benda asuransi, Penanggung wajib membayar ganti kerugian sesuai dengan polis asuransi
sedangkan apabila tidak terjadi, maka premi yang sudah dibayar oleh Tertanggung tetap menjadi milik Penanggung.
Dasar hukum asuransi banyak tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai asuransi ini sangat
penting karena menjadi suatu dasar pelaksanaan usaha asuransi di Indonesia. Berikut beberapa pengaturan mengenai asuransi: