Anda di halaman 1dari 32

ABSTRAK

Keanekaragaman budaya, suku bangsa, dan agama di Indonesia telah menjadi ciri khas yang unik dan
menjadi sumber kekuatan sosial bagi bangsa ini. Dalam konteks ini, penting untuk menghargai
keanekaragaman sebagai aset yang berharga dan memanfaatkannya sebagai daya tarik yang
mempersatukan masyarakat.

Dalam upaya menjaga keberagaman ini, sikap saling menghormati, toleransi, dan kesadaran akan
persatuan menjadi kunci utama. Dengan memahami dan menghargai perbedaan, masyarakat
Indonesia dapat membangun hubungan yang harmonis antara kelompok etnis, agama, dan budaya
yang berbeda.

Menghargai keanekaragaman juga memberikan kontribusi positif dalam menciptakan lingkungan


sosial yang inklusif. Dengan menerima perbedaan sebagai bagian integral dari kehidupan bangsa,
masyarakat Indonesia dapat memperkaya perspektif, pengetahuan, dan pengalaman mereka.

Selain itu, keanekaragaman juga menjadi sumber kekuatan ekonomi dan pariwisata. Budaya yang
beragam, tradisi yang unik, dan keindahan alam Indonesia menjadi daya tarik bagi wisatawan baik
domestik maupun internasional. Pengembangan industri kreatif, seni, dan kerajinan tradisional juga
dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Untuk memanfaatkan keanekaragaman sebagai sumber kekuatan sosial, diperlukan upaya yang
berkelanjutan dalam pendidikan, promosi budaya, dan kesetaraan hak bagi semua warga negara.
Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan harus bekerja sama
untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan membangun pemahaman yang kuat tentang
pentingnya keberagaman sebagai kekuatan sosial.

Dengan menghargai keanekaragaman bangsa Indonesia, kita dapat memperkuat persatuan dan
kesatuan, memperluas wawasan, dan menciptakan masyarakat yang adil, harmonis, dan maju.
Keberagaman adalah harta yang berharga bagi bangsa ini, dan dengan memanfaatkannya dengan
bijak, kita dapat mewujudkan potensi yang besar bagi kemajuan Indonesia.

BAHASA INGGRIS

The diversity of culture, ethnic groups, and religions in Indonesia has been a unique characteristic
and a source of social strength for the nation. In this context, it is important to appreciate diversity as
a valuable asset and harness it as a unifying force for the society.

In order to preserve this diversity, attitudes of mutual respect, tolerance, and awareness of unity are
crucial. By understanding and appreciating differences, the Indonesian people can build harmonious
relationships among different ethnic, religious, and cultural groups.

Appreciating diversity also contributes positively to creating an inclusive social environment. By


embracing differences as an integral part of the nation's life, the Indonesian society can enrich
perspectives, knowledge, and experiences.

Furthermore, diversity serves as a source of economic and tourism strength. The diverse culture,
unique traditions, and natural beauty of Indonesia attract both domestic and international tourists.
The development of creative industries, arts, and traditional crafts also provides economic benefits
for the community.
To harness diversity as a source of social strength, continuous efforts in education, cultural
promotion, and equal rights for all citizens are necessary. The government, non-governmental
organizations, and society as a whole must work together to create an inclusive environment and
foster a strong understanding of the importance of diversity as a social strength.

By appreciating the diversity of the Indonesian nation, we can strengthen unity, broaden
perspectives, and create a just, harmonious, and progressive society. Diversity is a precious treasure
for this nation, and by wisely harnessing it, we can unlock great potential for the progress of
Indonesia.

PENDAHULUAN

Setiap manusia lahir di dunia selalu mempunyai perbedaan, tidak ada dua orang yang sama persis di
dunia ini, meskipun mereka kembar identik sekalipun. Perbedaan ini meliputi beberapa aspek, baik
secara fisik, agama. suku, golongan sosial ekonomi, ataupun perbedaan lain yang menyangkut
gagasan, selera, keinginan dan sebagainya. Negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari banyak
pulau dan lautan yang sangat luas. Terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, bahasa daerah, adat
istiadat, agama dan kepercayan, ras, warna kulit, dan peradaban yang berbeda. Hal tersebut
menunjukkan bahwa negara kita banyak perbedaan dan keragaman. Adanya. perbedaan dan
keragaman bangsa Indonesia akan menjadi modal dasar pembangunan bangsa kita sendiri, apabila
masyarakat dapat saling menghormati perbedaan dan keragaman tersebut. Sebaliknya jika
masyarakat Indonesia tidak mau saling menghargai dan menghormati adanya perbedaan dan
keragaman tersebut, maka akan menimbulkan berbagai macam masalah. Misalnya: perkelahian antar
suku, kekerasan. pelecehan, penghinaan dan sebagainya.

Mengatur masyarakat yang kesemuanya mempunyai perbedaan tersendiri dalam berbagai hal tentu
saja menjadi hal yang lebih sulit jika dibandingkan dengan mengatur atau mengurus masyarakat
memiliki kehendak, ciri, adat istiadat yang sama. Maka pemahaman tentang sosial budaya ini
menjadi sangat penting dalam konteks 1) Proses pembangunan yang sedang berlangsung terus
menerus menimbulkan dampak positif dan dampak negatif berupa terjadinya pergeseran nilai
budaya sehingga dengan sendirinya mental manusia terkena pengaruhnya. 2). Akibat lebih jauh dari
pembenturan nilai budaya ini ialah timbulnya konflik dalam kehidupan. 3). Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan manusia, menimbulkan
konflik dengan tata nilai budayanya. Ilmu-ilmu sosial social scince, bertujuan untuk mengkaji
keteraturan- keteraturan yang terdapat dalam hubungan antara manusia. Sedangkan Pengetahuan
budaya the humanities bertujuan untuk memahami dan mencari arti kenyataan-kenyataan yang
bersifat manusiawi. Adapun istilah humanities itu sendiri berasal dari bahasa latin humanus yang
artinya manusia, berbudaya dan halus. Dengan mempelajari the humanities diandaikan seseorang
akan bisa menjadi lebih manusiawi, lebih berbudaya dan lebih halus.

Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan dalam kehidupan di


masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan
kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu mendatang sebagai fakta, keragaman sering
disikapi secara berbeda. Di satu sisi diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan
bersama, tetapi di sisi lain dianggap sebagai faktor penghambat. Kemajemukan bisa mendatangkan
manfaat yang besar, namun bisa juga menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat
sendiri jika tidak dikelola dengan baik.

Kondisi semacam memunculkan pertanyaan. apakah keanekaragaman di Indonesia ini akan


menimbulkan masalah yang mengancam disintegrasi bangsa? Sebuah pendapat menyebutkan bahwa
keanekaragaman sebuah masyarakat pada suatu saat akan menimbulkan dua hal yaitu 1)
berkembangnya perilaku konflik di antara berbagai kelompok etnik, dan 2) kecenderungan hadirnya
kekuatan kekuasaan sebagai kekuatan pemersatu utama yang mengintegrasikan masyarakat. Dengan
struktur sosial yang sedemikian kompleks. sangat rasional sekali Indonesia selalu menghadapi
permasalahan konflik antar etnik, kesenjangan sosial, dan sulit terjadinya integrasi secara permanen.
Setujulah dengan hal ini?

Syarat terwujudnya masyarakat multikultural adalah apabila warganya dapat hidup berdampingan,
tolerans dan saling menghargai. Nilai-nilai tersebut harus dijadikan pedoman untuk bertindak, baik
dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun tindakan individual. Di antara prinsip mendasar dari
demokrasi yang patut dikembangkan di Indonesia adalah kesetaraan derajat individu, kebebasan,
toleransi terhadap perbedaan, konflik dan konsensus, hukum yang adil dan beradab serta
perikemanusiaan. Kebudayaan Indonesia secara sempit dapat didefinisikan sebagai seluruh
kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Bangsa Indonesia pada tahun 1945.
Kebudayaan Indonesia juga terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti
kebudayaan bangsa besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan Eropa, kebudayaan
India dan kebudayaan Arab. Selain itu juga dipengaruhi oleh globalisasi dan perkembangan teknologi
yang sangat pesat saat ini. Toleransi merupakan kemampuan dan kerelaan untuk menerima segala
bentuk perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Jika setiap anggota masyarakat memiliki sikap
toleransi yang tinggi maka diharapkan akan terwujud kerukunan dalam masyarakat tersebut.
Kerukunan dalam kehidupan dapat mencakup 4 hal, yaitu: kerukunan dalam rumah tangga
kerukunan dalam beragama: kerulaman dalam masyarakat; dan kerukunan dalam berbudaya.
Bentuk-bentuk kerukunan tersebut mustahil akan terwujud di negara yang sangat luas dengan
berbagai macam suku, ras bahasa, dan agama seperti NKRI tanpa adanya peran serta dan kontribusi
dari seluruh elemen dan lapisan masyarakat.

PLAGIASI

Setiap individu yang dilahirkan di dunia memiliki perbedaan yang unik, bahkan bagi mereka yang
kembar identik. Perbedaan ini meliputi berbagai aspek, termasuk fisik, agama, suku, golongan sosial
ekonomi, serta perbedaan dalam gagasan, selera, dan keinginan. Negara Indonesia merupakan
negara yang terdiri dari banyak pulau dan lautan yang luas, dengan beragam suku bangsa, bahasa
daerah, adat istiadat, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, dan peradaban yang berbeda.
Keragaman ini menunjukkan bahwa negara kita kaya akan perbedaan dan keragaman. Adanya
perbedaan dan keragaman bangsa Indonesia dapat menjadi modal dasar pembangunan bangsa,
asalkan masyarakat saling menghormati perbedaan dan keragaman tersebut. Namun, jika
masyarakat tidak menghargai perbedaan dan keragaman tersebut, maka berbagai masalah seperti
konflik antar suku, kekerasan, pelecehan, dan penghinaan dapat timbul.
Mengatur masyarakat yang memiliki perbedaan dalam berbagai hal menjadi lebih sulit dibandingkan
dengan mengatur masyarakat yang memiliki kesamaan. Oleh karena itu, pemahaman tentang sosial
budaya sangat penting dalam konteks pembangunan yang terus berlangsung. Proses pembangunan
dapat menimbulkan dampak positif dan negatif, termasuk pergeseran nilai budaya yang
mempengaruhi mental manusia. Konflik dapat timbul akibat pertentangan nilai budaya ini, dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat menyebabkan konflik dengan nilai budaya
yang ada. Ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk memahami hubungan antarmanusia, sedangkan
pengetahuan budaya bertujuan untuk memahami kenyataan manusiawi. Dengan mempelajari
bidang humaniora, seseorang dapat menjadi lebih manusiawi, berbudaya, dan halus.

Keragaman atau kemajemukan adalah kenyataan yang tak terhindarkan dalam kehidupan
masyarakat. Keragaman ini dapat menjadi sumber berbagai manfaat, namun juga dapat menjadi
pemicu konflik jika tidak dikelola dengan baik. Keanekaragaman di Indonesia menimbulkan
pertanyaan apakah hal tersebut dapat mengancam disintegrasi bangsa. Beberapa pendapat
menyebutkan bahwa keanekaragaman masyarakat pada akhirnya dapat menghasilkan perilaku
konflik antar kelompok etnis dan kekuasaan yang berperan sebagai pemersatu utama dalam
masyarakat. Indonesia, dengan struktur sosial yang kompleks, sering menghadapi konflik antar etnis,
kesenjangan sosial, dan kesulitan dalam mencapai integrasi yang permanen. Apakah Anda setuju
dengan pandangan ini?

Untuk mewujudkan masyarakat multikultural, penting bagi warganya untuk hidup berdampingan,
toleran, dan saling menghargai. Prinsip demokrasi seperti kesetaraan individu, kebebasan, toleransi
terhadap perbedaan, penyelesaian konflik, hukum yang adil, dan perikemanusiaan harus dijadikan
pedoman dalam bertindak, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, maupun individual.
Kebudayaan Indonesia mencakup kebudayaan lokal sebelum terbentuknya Bangsa Indonesia, serta
pengaruh dari kebudayaan besar lainnya seperti Tionghoa, Eropa, India, dan Arab. Toleransi adalah
kemampuan dan kesediaan untuk menerima perbedaan identitas pihak lain secara penuh. Dengan
tingginya tingkat toleransi dalam masyarakat, diharapkan kerukunan dapat terwujud dalam rumah
tangga, kehidupan beragama, masyarakat, dan berbudaya. Untuk mewujudkan kerukunan dalam
negara yang luas dengan berbagai suku, ras, bahasa, dan agama seperti Indonesia, partisipasi dan
kontribusi dari seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, karena penelitian kualitatif dapat
menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan yang terdiri dari perilaku yang
dapat diamati (Moleong, 2013, hlm. 57). Pendekatan living lab yang berfokus pada masyarakat
umum diidentifikasi sebagai strategi terbaik. Dalam living lab, para ahli dan akademisi bertindak
sebagai perancang sistem, pemangku kepentingan dan masyarakat lokal bertindak sebagai regulator
dan pelaksana, dan masyarakat atau netizen bertindak sebagai evaluator. Dalam mengumpulkan data
yang mendukung penelitian ini, metode yang dipilih oleh peneliti adalah observasi mendalam selama
lima bulan di lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang valid. Peneliti juga menggunakan
pengumpulan data menggunakan penelitian sebelumnya yang relevan dengan objek penelitian,
dengan menggunakan penelitian ini akan dapat mencapai hasil yang valid. Fase analisis data
mengacu pada prosedur Milles dan Habermas, termasuk pengumpulan data, reduksi data, tampilan
data, dan verifikasi data.

KONSEP KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA

Indonesia dengan keanekaragaman budaya,

agama, suku, bahasa yang dimilikinya menunjuk-

kan sebagai salah satu bangsa yang memiliki

masyarakat multikultural. Keanekaragaman

menjadi rahmat tersendiri jika dikelola dengan

baik, menjadi keunikan dan kekuatan, namun

pluralitas demikian dapat menjadi tantangan jika

tidak disikapi dengan bijak dan arif, dapat menjadi

ancaman perpecahan dan perseteruan yang

dapat mengoyak keamanan sosial.

Keragaman budaya merupakan peristiwa

alami karena bertemunya berbagai perbedaan

budaya di suatu tempat, setiap individu dan

kelompok suku bertemu dengan membawa

perilaku budaya masing-masing, memiliki cara

yang khas dalam hidupnya. Konsep multibudaya

berbeda dengan konsep lintas budaya sebagai-

mana pengalaman bangsa Amerika yang beragam

budaya karena hadirnya beragam budaya dan

berkumpul dalam suatu negara. Dalam konsep

multibudaya perbedaan individu meliputi cakupan

makna yang luas, sementara dalam konsep

lintas budaya perbedaan etnis yang menjadi

fokus perhatian.

Multikulturalisme secara kebahasaan dapat

dipahami dengan paham banyak kebudayaan.


Kebudayaan dalam pengertian sebagai idiologi

dan sekaligus sebagai alat menuju derajat

kemanusiaan tertinggi. Maka untuk itu penting

melihat kebudayaan secara fungsional dan

secara operasional dalam pranata-pranata sosial.

Secara istilah dikenal multikulturalisme

deskriptif dan multikulturalisme normatif. Multi-

kulturalisme deskriptif adalah kenyataan sosial

yang mencerminkan adanya kemajemukan

(pluralistik). Sedangkan multikulturalisme

normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral,

yaitu adanya ikatan moral dari para warga dalam

lingkup negara/ bangsa untuk melakukan sesuatu

yang menjadi kesepakatan bersama (Nugraha,

2008), dan multikulturalisme normatif itulah

tampaknya yang kini dikembangkan di Indonesia.

Muzhar dalam Darlis, 2017, memandang multikulturalisme mencakup gagasan, cara

pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan,

oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk

dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya,

namun mempunyai cita-cita untuk mengembang-

kan semangat kebangsaan yang sama dan

mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan

kemajemukan tersebut.

PLAGIASI

Indonesia, dengan keberagaman budaya, agama, suku, dan bahasa yang dimilikinya, dianggap
sebagai salah satu negara dengan masyarakat multikultural. Keanekaragaman bisa menjadi berkah
jika dikelola dengan baik, karena menjadi keunikan dan kekuatan. Namun, pluralitas seperti itu juga
dapat menimbulkan tantangan jika tidak dihadapi dengan bijak dan hati-hati, yang berpotensi
menyebabkan perpecahan dan konflik yang mengancam keharmonisan sosial.
Keragaman budaya adalah peristiwa alami yang terjadi akibat pertemuan berbagai perbedaan
budaya di suatu tempat. Setiap individu dan kelompok etnis membawa perilaku budaya mereka
masing-masing dan memiliki cara hidup yang khas. Konsep multikulturalisme berbeda dengan konsep
lintas budaya, seperti yang terlihat dalam beragam pengalaman budaya di Amerika, di mana berbagai
budaya hidup berdampingan dalam satu negara. Dalam konsep multikulturalisme, perbedaan
individu mencakup makna yang lebih luas, sedangkan dalam konsep lintas budaya, perhatian utama
adalah perbedaan etnis.

Multikulturalisme, secara bahasa, dapat dipahami sebagai kepercayaan terhadap banyak


kebudayaan. Kebudayaan dipahami sebagai ideologi dan alat untuk mencapai derajat kemanusiaan
tertinggi. Oleh karena itu, penting untuk melihat kebudayaan secara fungsional dan operasional
dalam lembaga sosial. Multikulturalisme deskriptif mengacu pada realitas sosial yang mencerminkan
keberagaman (pluralistik). Sementara itu, multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar
moral, seperti adanya ikatan moral di antara warga negara dalam lingkup negara/bangsa untuk
bersama-sama mencapai tujuan yang disepakati. tampaknya multikulturalisme normatif sedang
dikembangkan di Indonesia.

Muzhar, seperti yang dikutip dalam Darlis (2017), melihat multikulturalisme sebagai gagasan,
pandangan, kebijakan, pendekatan, dan tindakan yang diambil oleh masyarakat yang majemuk dari
segi etnis, budaya, agama, dan aspek lainnya dalam sebuah negara. Namun, penting juga untuk
memiliki aspirasi untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan kebanggaan dalam
mempertahankan keragaman tersebut.

Indonesia, with its cultural diversity, religions, ethnicities, and languages, is considered one of the
nations with a multicultural society. Diversity can be a blessing if well-managed, as it becomes a
uniqueness and strength. However, such plurality can also pose challenges if not approached wisely
and thoughtfully, potentially leading to division and conflicts that undermine social harmony.

Cultural diversity is a natural occurrence resulting from the encounter of various cultural differences
in one place. Each individual and ethnic group brings their own cultural behaviors and distinctive
ways of life. The concept of multiculturalism differs from the concept of cross-cultural experiences, as
seen in the diverse cultural experiences in America, where various cultures coexist within one nation.
In the concept of multiculturalism, individual differences encompass a broad range of meanings,
whereas in the concept of cross-culturalism, ethnic differences become the focal point of attention.

Multiculturalism, linguistically speaking, can be understood as the belief in many cultures. Culture is
understood as an ideology and a means to achieve the highest degree of humanity. Therefore, it is
important to view culture functionally and operationally within social institutions. Descriptive
multiculturalism refers to the social reality reflecting pluralism, while normative multiculturalism
relates to moral foundations, such as the moral bond among citizens within a nation or country to
collectively pursue agreed-upon goals. It appears that normative multiculturalism is now being
developed in Indonesia.

Muzhar, as cited in Darlis (2017), views multiculturalism as encompassing ideas, perspectives,


policies, approaches, and actions taken by a nation's diverse society in terms of ethnicity, culture,
religion, and other aspects. However, it also emphasizes the aspiration to cultivate a shared national
spirit and pride in preserving such diversity.

AKAR KERAGAMAN BERDASARKAN DIMENSI SOSIAL

Namun begitu, keterbatasan panca indera, akal dan bahasa yang

mendasari keragaman tidak berarti memusnahkan persamaan. Sebab

keragaman hanya mungkin manakala di sana ada persamaan. Apa yang

disebut berbeda lantaran ada bagian-bagain tertentu pada kesunyian

manusia yang sama. Persamaan dan perbedaan pada diri manusia dengan

melihatnya pada dimensi sosial. Interaksi antar manusia di lingkungan

sosial melahirkan sejumlah persamaan dan perbedaan.

Interaksi yang melahirkan perbedaan dan persamaan pada

gilirannya membentuk kelompok-kelompok mulai dari sekala kecil

(keluarga) hingga terbesar (bangsa). Persamaan-persamaan yang

teridentifikasi dalam kelompok inilah yang kini dikenal dengan identitas.

Identifikasi ini pada saat yang bersamaan berlangsung setelah

mengeliminasi perbedaan-perbedaan yang ada. Misalkan, saya menemukan

diri saya Sunda setelah saya mengeliminasi perbedaan saya yang berasal

dari Garut dengan orang Sunda lain yang berasal dari wilayah Tasikmalaya.

Dan begitu seterusnya hingga identitas transnasional, yaitu agama. Saya

merasakan satu identitas dengan warga muslim Palestina lantaran

teridentifikasi sama-sama mengacu pada kitab suci yang sama, al-Quran.

Proses identifikasi diri tersebut seringkali muncul begitu saja. Tidak

perlu merenung terlalu panjang untuk sampai pada kesimpulan yang

menyatakan bahwa saya orang Sunda. Identifikasi berlangsung di alam


bawah sadar. Karena itulah muncul perdebatan dari asal mula identitas.

Sebagian pemikir meyakini bahwa identitas yang beragam ini adalah

anugerah Ilahi. Identitas tercipta seiring Tuhan menciptakan manusia. Oleh

karenanya, bagi mereka identitas memiliki karakter yang tetap dan tidak

akan berubah seiring ruang dan waktu. Identitas Sunda sudah ada sejak

zaman azali dan tidak akan berubah hingga dunia ini kiamat.

Pandangan bahwa identitas sebagai given tidak bisa menjelaskan

mengapa ada orang yang dengan mudah berganti identitas. Lebih dari itu,

kadang satu identitas menghilang sementara identitas lainnya muncul.

Michel Foucault mengajukan pandangan bahwa identitas pada dasarnya

cair dan dapat berubah seiring ruang dan waktu (Foucault, 1970). Sebab

identitas merupakan bentukan manusia melalui interaksinya sepanjang

sejarah. Saya seorang Sunda, tetapi dengan mudah saya bisa menghilangkan

kesundaan saya dan beralih menjadi identitas Indonesia. Hari ini saya bisa

mengidentifikasi diri sebagai NU dan lain waktu saya bermetamorfosa

menjadi Muhammadiyah.

Keragaman identitas di ruang publik tidak tumbuh berkembang

dengan mulus. Selalu saja ada gesekan antara satu identitas dengan identitas

lainnya. Gesekan tersebut didorong oleh faktor kekuasaan. Kehendak

berkuasa tak terelakan pada diri manusia manakala ia tampil di ruang

publik. Terlebih dia tampail mewakili identitas tertentu. Dia akan merasa

paling berhak menentukan aturan main ketimbang identitas lainnya.

Sehingga identitas tertentu bisa menghakimi atau meminggirkan identitas

lainnya. Dari segi inilah dikenal istilah politik identitas.

Politik identitas, menurut A. Syafi’i Ma’arif, mulanya adalah gerakan

mahasiswa di Amerika tahun 60-an atas dasar penindasan ekonomi

maupun rasial (Ma’arif, 2010). Gerakan mahasiswa memperjuangkan hak-

hak kelompok ekonomi dan ras tertentu yang tersingkirkan, khususnya

warga Afro-Amerika. Tujuan mereka adalah bagaimana warga kelas kedua

bisa tampil di ruang publik secara setara dengan kelompok lainnya.

Belakangan politik identitas tidak hanya menjadi basis gerakan


marxis, tetapi identitas atas dasar sosial, budaya dan keagamaan juga mulai memperlihatkan gejala
yang sama. Pertumbuhan penduduk muslim di

Eropa dan Amerika yang makin membesar melatarbelakangi politik

identitas tumbuh berkembang di sana. Di antara penduduk muslim

tersebut, menurut Buya Syafi’i, umumnya sulit beradaptasi dengan

budaya setempat. Mereka yang kurang terdidik gagap menghadapi

perbedaan identitas yang ada. Mereka meyakini kelompok lain harus

musnah demi tegaknya kelompok mereka di ruang publik. Akibat paling

nyata menurutnya adalah bom bunuh diri yang menewaskan banyak

orang di Madrid, Inggris dan Amerika.

Oleh karena itu, dari sudut dimensi sosial, akar keragaman terletak

pada bagaimana identitas tampil di ruang publik yang tidak jarang

menimbulkan gesekan. Di sinilah jarak antara pengetahuan akan

keragaman artifisial tidak berbanding lurus dengan harmoni di lingkungan

sosial. Alih-alih harmoni, perbedaan identitas lebih sering tampil dengan

berbagai konflik dan bahkan berakhir menjadi aksi kekerasan.

PLAGIASI

Namun, meskipun ada keterbatasan dalam panca indera, akal, dan bahasa yang menjadi dasar dari
keragaman, itu tidak berarti menghapus persamaan. Karena keragaman hanya mungkin terjadi ketika
ada persamaan. Apa yang dianggap berbeda hanya terjadi karena adanya bagian-bagian tertentu dari
kesamaan dalam keheningan manusia yang sama. Persamaan dan perbedaan pada manusia terlihat
dalam dimensi sosial. Interaksi antar manusia dalam lingkungan sosial melahirkan berbagai
persamaan dan perbedaan.

Interaksi yang menghasilkan perbedaan dan persamaan pada akhirnya membentuk kelompok-
kelompok mulai dari yang kecil (keluarga) hingga yang terbesar (bangsa). Persamaan-persamaan yang
teridentifikasi dalam kelompok ini dikenal sebagai identitas. Proses identifikasi ini terjadi setelah
mengeliminasi perbedaan-perbedaan yang ada. Misalnya, setelah mengeliminasi perbedaan antara
saya yang berasal dari Garut dengan orang Sunda lain yang berasal dari wilayah Tasikmalaya, saya
mengidentifikasi diri saya sebagai orang Sunda. Dan begitu seterusnya, hingga mencapai identitas
transnasional, seperti agama. Saya merasakan identitas yang sama dengan warga Muslim Palestina
karena kita teridentifikasi dengan merujuk pada kitab suci yang sama, yaitu Al-Quran.

Proses identifikasi diri ini sering kali terjadi dengan sendirinya. Tidak perlu merenung terlalu lama
untuk menyimpulkan bahwa saya adalah orang Sunda. Identifikasi ini terjadi di bawah sadar. Oleh
karena itu, timbul perdebatan tentang asal-usul identitas. Beberapa pemikir meyakini bahwa
keragaman identitas ini adalah anugerah Ilahi. Identitas terbentuk seiring Tuhan menciptakan
manusia. Oleh karena itu, bagi mereka, identitas memiliki karakteristik yang tetap dan tidak akan
berubah seiring waktu dan tempat. Identitas Sunda sudah ada sejak zaman azali dan tidak akan
berubah hingga akhir dunia.

Pandangan bahwa identitas sebagai suatu pemberian tidak dapat menjelaskan mengapa ada orang
yang dengan mudah mengubah identitas. Lebih dari itu, terkadang satu identitas menghilang
sementara identitas lain muncul. Michel Foucault berpendapat bahwa identitas pada dasarnya
adalah cair dan dapat berubah seiring waktu dan tempat. Identitas merupakan hasil pembentukan
manusia melalui interaksi sepanjang sejarah. Saya bisa saja seorang Sunda, tetapi dengan mudah
saya dapat menghilangkan identitas Sunda dan beralih menjadi identitas Indonesia. Hari ini saya bisa
mengidentifikasi diri saya sebagai anggota NU, dan lain waktu saya bisa berubah menjadi anggota
Muhammadiyah.

Namun, keragaman identitas di ruang publik tidak berkembang dengan lancar. Selalu ada konflik
antara satu identitas dengan identitas lainnya. Konflik ini dipicu oleh faktor kekuasaan. Ketika
seseorang mewakili identitas tertentu di ruang publik, keinginan untuk berkuasa tidak dapat
dihindari. Dia akan merasa berhak lebih menentukan aturan main daripada identitas lainnya.
Akibatnya, identitas tertentu dapat mengekang atau mengabaikan identitas lainnya. Dalam konteks
ini, muncul istilah politik identitas.

Awalnya, politik identitas adalah gerakan mahasiswa di Amerika pada tahun 1960-an yang bertujuan
untuk melawan penindasan ekonomi dan rasial (Ma'arif, 2010). Gerakan mahasiswa berjuang untuk
hak-hak kelompok ekonomi dan ras tertentu yang terpinggirkan, terutama warga Afro-Amerika.
Tujuan mereka adalah bagaimana kelompok kedua dapat tampil setara dengan kelompok lain di
ruang publik.

Kemudian, politik identitas tidak hanya menjadi dasar gerakan Marxis, tetapi juga muncul identitas
berdasarkan faktor sosial, budaya, dan agama. Pertumbuhan populasi Muslim di Eropa dan Amerika
mendorong perkembangan politik identitas di sana. Menurut Buya Syafi'i, sebagian besar penduduk
Muslim sulit beradaptasi dengan budaya setempat. Mereka yang kurang terdidik kesulitan
menghadapi perbedaan identitas yang ada. Mereka meyakini bahwa kelompok lain harus dihapus
demi keberadaan kelompok mereka di ruang publik. Dampak yang paling nyata adalah tindakan bom
bunuh diri yang menewaskan banyak orang di Madrid, Inggris, dan Amerika.

Oleh karena itu, dari perspektif dimensi sosial, akar dari keragaman terletak pada bagaimana
identitas tampil di ruang publik yang sering kali menimbulkan konflik. Inilah mengapa pengetahuan
tentang keragaman secara artifisial tidak selalu sejalan dengan harmoni dalam lingkungan sosial.
Sebaliknya, perbedaan identitas lebih sering muncul dengan konflik dan bahkan kekerasan.
INDONESIA SEBAGAI NEGARA MULTIKULTURAL

Indonesia adalah suatu negara multikultural

yang memiliki keragaman budaya, ras, suku, agama

dan golongan yang kesemuanya merupakan

kekayaan tak ternilai yang dimiliki bangsa Indo-

nesia. Selo Soemardjan (Alfian, 1991: 173)

mengemukakan bahwa pada waktu disiapkannya

Republik Indonesia yang didasarkan atas Pancasila

tampaknya para pemimpin kita menyadari realitas

bahwa ditanah air kita ada aneka ragam

kebudayaan yang masing-masing terwadahkan di

dalam suatu suku. Realitas ini tidak dapat

diabaikan dan secara rasional harus diakui adanya.

Founding Father bangsa menyadari bahwa

keragaman yang dimiliki bangsa merupakan realitas

yang harus dijaga eksistensinya dalam persatuan dan

kesatuan bangsa. Keragaman merupakan suatu

kewajaran sejauh disadari dan dihayati

keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi

dengan toleransi. Kemajemukan ini tumbuh dan

berkembang ratusan tahun lamanya sebagai warisan

dari nenek moyang bangsa Indonesia. Hefner (dalam

Mahfud, 2009: 83) memaparkan bahwa:Pluralisme

kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia,

Malaysia, dan Singapura sangatlah mencolok, terdapat

hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki

pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam

teori politik Barat dasawarsa 1930-an dan 1940-an,

wilayah ini, khususnya Indonesia dipandang sebagai

“lokus klasik” bagi konsep masyarakat majemuk/


plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia

Barat oleh JS Furnivall.

Pandangan Hefner yang mengatakan bahwa

Indonesia merupakan “lokus klasik” (tempat

terbaik/ rujukan) bagi konsep masyarakat

majemuk bukan sesuatu yang berlebihan. Hal ini

terlihat dari keberagaman yang dimiliki Indonesia

sebagai bangsa yang unik dimana hanya beberapa

wilayah saja di dunia yang dianugrahi keistime-

waan ini. Telaah mengenai keberagaman sebuah

bangsa kemudian dikenal dengan konsep

multikultural. Banyak ahli mengemukakan bahwa

konsep multikultural pada dasarnya merupakan

konsepharmoni dalam keragaman budaya yang

tumbuh seiring dengan kesederajatan diatara

budaya yang berbeda.Harmoni ini menuntut setiap

individu untuk memiliki penghargaan terhadap

kebudayaan individu lain yang hidup dalam

komunitasnya. Dalam masyarakat multikultur,

setiap individu maupun masyarakat memiliki

kebutuhan untuk diakui (politics of recognition)

yang menuntut terciptanya penghargaan tertentu

secara sosial. Multikultural dapat diartikan sebagai

keragaman atau perbedaan terhadap suatu

kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Menurut Bhiku Parekh (dalam Azra 2006: 62)

mengatakan bahwa Masyarakat multikultural

adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa

macam komunitas budaya dengan segala

kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi

mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk


organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan.

Sejalan dengan pandangan tersebut, Musa

Asy’arie (dalam Mahfud, 2005: 103) mengatakan bahwa “multikulturalisme adalah kearifan untuk

melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas

fundamental dalam kehidupan bermasyarakat”.

Kearifan akan tumbuh jika seseorang membuka

diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan

melihat realitas plural sebagai kepastian hidup yang

kodrati.Kearifan dapat tumbuh baik dalam

kehidupan diri sebagai individu yang multidimen-

sional maupun dalam kehidupan masyarakat yang

lebih kompleks. Dengan demikian, muncul suatu

kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas

dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang

tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan.

“Multikulturalisme adalah landasan budaya

yang terkait dengan pencapaian civility (keadaban),

yang amat esensial bagi terwujudnya demokrasi

yang berkeadaban, dan keadaban yang demokratis

(Azra, 2004)”. Kedalam atau civility yang

dikemukakan oleh Azra sejalan dengan pendapat

yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (Tilaar,

2007: 33) yang menyatakan bahwa “kebudayaan

Indonesia merupakan puncak-puncak budaya dari

masing-masing suku bangsa. Puncak-puncak

kebudayaan dari suatu suku bangsa merupakan

unsur-unsur budaya lokal yang dapat memperkuat

solidaritas nasional”. Solidaritas nasional terbentuk

dari keadaban yang tumbuh dan berkembang dalam

kehidupan masyarakat.

Dengan pencapaian civility (keadaban) di


masyarakat, maka akan terbentuk suatu kekuatan

solidaritas nasional. Pengembangan wawasan

multikultural sebagaimana telah dipaparkan di atas

mutlak harus dibentuk dan ditanamkan dalam suatu

kehidupan masyarakat yang majemuk. Jika hal

tersebut tidak ditanamkan dalam suatu masyarakat

yang majemuk, maka kemajemukan akan

membawa pada perpecahan dan konflik. Indone-

sia sebagai bangsa yang multikultural harus

mengembangkan wawasan multikultural tersebut

dalam semua tatanan kehidupan yang harmonis.

Menurut Djaka Soetapa (Sopates dkk, 1998: 108)

“...kemajemukan itu juga dapat menjadi bencana

bagi bangsa Indonesia, karena kemajemukan dapat

menjadi sumber dan potensi konflik yang dapat

mengganggu dan bahkan mengancam kesatuan dan

persatuan bangsa”.

PLAGIASI

Indonesia adalah negara yang multikultural dengan beragam budaya, ras, suku, agama, dan golongan
yang menjadi kekayaan tak ternilai bagi bangsa Indonesia. Selo Soemardjan menyatakan bahwa saat
Republik Indonesia didirikan berdasarkan Pancasila, para pemimpin kita menyadari bahwa di tanah
air kita terdapat beragam kebudayaan yang masing-masing terwadahi dalam suku-suku tertentu.
Realitas ini tidak bisa diabaikan dan harus diakui secara rasional.

Para pendiri bangsa menyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa merupakan realitas yang
harus dijaga keberadaannya dalam persatuan dan kesatuan. Keragaman adalah sesuatu yang wajar
jika disadari dan dihayati, dan harus dihadapi dengan toleransi. Keragaman ini tumbuh dan
berkembang selama ratusan tahun sebagai warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Hefner
menjelaskan bahwa pluralisme budaya di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan
Singapura sangat mencolok dan hanya beberapa wilayah di dunia yang memiliki pluralisme budaya
seperti itu. Oleh karena itu, wilayah ini, terutama Indonesia, dianggap sebagai "lokus klasik" bagi
konsep masyarakat majemuk yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnivall.

Pandangan Hefner bahwa Indonesia merupakan "lokus klasik" bagi konsep masyarakat majemuk
bukanlah sesuatu yang berlebihan. Ini terlihat dari keberagaman yang dimiliki Indonesia sebagai
bangsa yang unik, di mana hanya beberapa wilayah di dunia yang diberkahi dengan keistimewaan ini.
Konsep multikulturalisme adalah telaah tentang keberagaman suatu bangsa. Banyak ahli
berpendapat bahwa konsep multikulturalisme pada dasarnya adalah konsep harmoni dalam
keragaman budaya yang tumbuh seiring dengan kesetaraan di antara budaya yang berbeda. Harmoni
ini menuntut setiap individu untuk menghargai budaya individu lain yang hidup dalam komunitasnya.
Dalam masyarakat multikultural, setiap individu dan masyarakat memiliki kebutuhan untuk diakui
secara sosial, yang melibatkan politik pengakuan tertentu. Multikulturalisme dapat diartikan sebagai
keberagaman atau perbedaan dalam kebudayaan antara satu dengan yang lain.

Menurut Bhiku Parekh, masyarakat multikultural adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai
komunitas budaya dengan perbedaan konsepsi dunia, sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial,
sejarah, adat, dan kebiasaan mereka. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Musa Asy'arie yang
menyatakan bahwa multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keberagaman budaya sebagai
realitas fundamental dalam kehidupan berkomunitas. Kebijaksanaan akan tumbuh jika seseorang
membuka diri untuk hidup bersama dengan menganggap keragaman plural sebagai bagian alami dari
kehidupan. Kebijaksanaan dapat berkembang baik dalam kehidupan individu yang multidimensional
maupun dalam masyarakat yang lebih kompleks. Oleh karena itu, ada kesadaran bahwa
keberagaman dalam dinamika kehidupan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak, diingkari, atau
dimusnahkan.

Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait dengan pencapaian keadaban, yang sangat
penting bagi terwujudnya demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis. Dalam
konteks ini, kebudayaan Indonesia merupakan puncak dari masing-masing suku bangsa yang
memperkuat solidaritas nasional. Solidaritas nasional terbentuk melalui keadaban yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Dengan mencapai keadaban dalam masyarakat, solidaritas nasional akan terbentuk. Pengembangan
wawasan multikultural sebagaimana telah dijelaskan di atas harus ditanamkan dalam kehidupan
masyarakat yang majemuk. Jika tidak, kemajemukan akan menyebabkan perpecahan dan konflik.
Sebagai bangsa yang multikultural, Indonesia harus mengembangkan wawasan multikultural ini
dalam semua aspek kehidupan yang harmonis. Kemajemukan juga dapat menjadi bencana bagi
bangsa Indonesia jika tidak diatasi, karena dapat menyebabkan konflik yang mengganggu dan
mengancam persatuan bangsa.

DILEMA KEANEKARAGAMAN BANGSA INDONESIA

Keadaan Indonesia yang multikultur akan

sangat bergantung pada bagaimana masyarakat

Indonesia membawanya. Keadaan ini bisa dibawa

pada jalur yang menjadikannya suatu kekayaan

dan kekuatan bangsa, namun bisa pula dibawa

pada jalur yang akan menjadi pemecah belah dan

penyulut konflik di masyarakat. Banyak para pakar

yang tertarik untuk mengamati kemajemukan


bangsa Indonesia, sehingga muncul berbagai

pandangan yang beragam dalam menyikapi

identitas Indonesia dan keadaannya yang

multikultur. Penulis mencoba memaparkan

berbagai pandangan para ahli yang membahas

tentang konsep Indonesia sebagai bangsa yang

multikultur. Berkaitan dengan hal tersebut,

Amirsyah (2012: 51) memandang bahwa

kemajemukan masyarakat sebagaimana yang ada

di Indonesia adalah suatu keniscayaan yang tidak

mungkin disangkal. Tidak ada cara lain bagi bangsa

ini kecuali dengan berkomitmen kuat merawat

keragaman menjadi sebuah kemungkin dan tidak

mentolelir segala bentuk tindakan yang dapat

menghancurkan tatanan masyarakat majemuk.

Kemungkinan munculnya benih-benih

percekcokan pada masyarakat multikultur sangat

rawan terjadi jika masyarakat multikultur

menyikapi perbedaan sebagai suatu pemisah dan

menimbulkan sifat ke-kita-an (yang lain bukan

bagian dari kita). Masyarakat yang hidup ribuan

tahun dalam keadaan yang multikultur tidak berarti

telah immune terhadap kemungkinan-kemung-

kinan gesekan konflik etnis, budaya, agama, sosial,

politik dan ekonomi. Pengalaman lama hidup

dalam perbedaan ternyata tidak cukup untuk

menanamkan rasa bangga akan perbedaan dan

memandangnya sebagai suatu kekayaan bangsa.

Menyikapi hal tersebut, Azyumardi Azra (dalam

Budimansyah dan Suryadi, 2008: 31) memandang

bahwa pembentukan masyarakat multikultural


Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for

granted atau trial and error. Harus diupayakan

secara sistematis, programatis, integrated dan

berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu

adalah pendidikan multikultural yang dapat

berlangsung dalam setting pendidikan formal atau

informal, langsung atau tidak langsung.

Keragaman sebagai rahmat dari Tuhan tidak

lepas dari tantangan yang sering kali muncul di

tengah kehidupan masyarakat. Menyikapi

perbedaan dengan intoleransi, memperdebatkan

perbedaan-berbedaan, mempertentangkan orang

lain yang tidak sama dengan dia, dan bahkan

melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang

memicu konflik masal. Hal ini sangat rentan terjadi pada masyarakat Indonesia yang dihadapkan
pada

perubahan dan kebebasan era globalisasi. Will

Kymlicka (2002:289) memandang bahwa “suatu

masyarakat yang dilandasi keragaman yang sangat

luas sulit untuk tetap bersatu kecuali apabila

anggota masyarakat itu menghargai keragaman

itu sendiri, dan ingin hidup di sebuah negeri dengan

beragam bentuk keanggotan budaya dan politik”.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Wingarta

(2012:28) memaparkan bahwa munculnya konflik

horisontal yang diwarnai SARA sebagaimana

terjadi di Ambon, Poso, Sampit merupakan cermin

dari bopeng-bopengnya pemaknaan dari Sasanti

Bhineka Tunggal Ika. Para pendiri bangsa

(founding fathers) saat itu sadar betul, bahwa

kemerdekaan Indonesia dibangun di atas


beragamnya suku bangsa, agama, adat-istiadat,

sosial budaya, bahasa serta kebiasaan yang sangat

multikultur.

Konflik bernuansa SARA akhir-akhir ini

banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Kebanyakan kasus yang terjadi dipicu oleh

tindakan seorang atau kelompok tertentu yang

intoleran yang kemudian dibawa pada kelom-

poknya yang lebih luas dengan mengatasnamakan

latar belakang ras, suku, agama, dan budaya. Haris

(2012:52) mengatakan bahwa “akibat lebih jauh

terjadinya konflik horisontal yang dipicu oleh

kecemburuan sosial, ego daerah, ego suku, ego

agama, dan lainnya. Kesadaran untuk hidup

bersama secara damai sesuai makna Bhineka

Tunggal Ika mulai luntur”. Akibat ego seorang

atau segelintir orang kemudian dibawa menjadi ego

kelompok dan golongan tertentu muncul konflik

besar yang membawa bencana bagi semua pihak

termasuk pihak yang tidak terlibat. Namun

demikian, tantangan keragaman yang dimiliki

bangsa Indonesia memiliki optimisme tersendiri

untuk menjadi sebuah potensi bukan bibit konflik.

Sejalan dengan hal tersebut, Sujanto (2009: 4)

memandang bahwa tentang keragaman dan

keberbedaan (kemajemukan) ini. Tuhan pun telah

menggambarkan pada diri manusia dengan lima

jari tangan yang saling berbeda, yang kalau boleh

saya sebut ‘sebagai falsafah lima jari’. Fitrah

keragaman jari itupun diciptakan dengan masing-

masing ciri, fungsi dan peran dari tiap-tiap jari.


Apabila kelima jari itu disatukan (bersatu) akan

terbangun suatu kekuatan yang sangat luar biasa

yang dapat menyelesaikan semua pekerjaan

seberat apapun yang ada di muka bumi ini.

Falsafah lima jari merupakan contoh

sederhana optimisme perbedaan yang bisa menjadi

potensi besar untuk melakukan pekerjaan seberat

apapun. Bahkan diharapkan bisa merubah suatu

tantangan menjadi sebuah peluang. Untuk

mewujudkan hal tersebut, masyarakat harus

memiliki pandangan yang kuat tentang persatuan

dan kesatuan-Raya. Kaelan (dalam Bestari,

2012:71) mengemukakan bahwa “pandangan hidup

Pancasila bagi bangsa Indonesia yang Bhineka

Tunggal Ika harus merupakan asas bangsa

sehingga tidak boleh mematikan keanekara-

gaman”.Sejalan dengan hal tersebut, Winataputra

(2012: 6) mengemukakan bahwa “Pilar-pilar

kehidupan berbangsa dan bernegara kebangsaan

Indonesia, yaitu Pancasila, UUD NRI Tahun 1945,

Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (Kemko Kesra:

2010) perlu ditransformasikan secara fungsional

dalam berbagai ranah kehidupan bermasyarakat

dan bernegara”. Untuk mentransformasikan

Empat pilar kebangsaan tersebut, dibutuhkan

kesadaran dari masyarakat dan didukung oleh

kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya

Bhineka Tunggal Ika. Aeni (2012: 87)

memaparkan bahwa kebijakan yang ditempuh

adalah menbangun kesejahteraan berbangsa dan

bernegara di atas ke-Bhinneka Tunggal Ika-an


dalam rangka mewujudkan kehidupan rakyat yang

sejahtera, rukun, aman, damai, saling menghormati,

demokrasi dalam menghadapi globalisasi yang

mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa

demi terwujudnya stabilitas nasional yang mantap

dan tangguh.

Peran kebijakan harus didukung dengan

kesadaran sehingga kesejahteraan berbangsa dan

bernegara dapat terwujud. Jika hal ini sudah

disadari bersama, maka gesekan-gesekan konflik

yang bernuansa SARA di masyarakat akan bisa

diatasi dan bahkan mengubah kemungkinan konflik

tersebut menjadi suatu peluang untuk hidup saling

melindungi dalam kerukunan. Dalam modul

Konsep Wasantara Lemhannas RI (Winataputra,

2012:2) dikemukakan bahwa Persinggungan

unsur-unsur SARA secara positif diharapkan juga

dapat meningkatkan mutu kehidupan masing-

masing unsur, bermanfaat bagi masing-masing

pihak baik secara individu maupun kelompok.

Selain itu, masing-masing pihak memiliki

keunggulan dalam hal tertentu dari pihak yang lain,

sehingga dengan berinteraksi akan terjadi hubungan

yang saling menguntungkan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan

kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan

berbangsa dan bernegara, mewarnai perilaku dan kegiatan kita. Berbagai

kebudayaan itu berseiringan, saling melengkapi dan saling mengisi, tidak

berdiri sendiri-sendiri, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan

(fleksibel) dalam percaturan hidup sehari-hari.5


Dalam konteks itu pula maka ratusan suku-sukubangsa yang

terdapat di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara berkat

pemahaman akan lingkungan alamnya, tradisinya, serta potensi-potensi

budaya yang dimilikinya, yang keseluruhannya perlu dapat

didayagunakan bagi pembangunan nasional. Di pihak lain, setiap

sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-masing, yang

berbeda antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Maka

menjadi tugas negaralah untuk memahami, selanjutnya mengatasi

hambatan-hambatan budaya masing-masing sukubangsa, dan secara aktif

memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya

baru sebagai kekuatan bangsa.6.

Banyak wacana mengenai bangsa Indonesia mengacu kepada ciri

pluralistik bangsa kita, serta mengenai pentingnya pemahaman tentang

masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang multikultural. Intinya

adalah menekankan pada pentingnya memberikan kesempatan bagi

berkembangnya masyarakat multikultural itu, yang masing-masing harus

diakui haknya untuk mengembangkan dirinya melalui kebudayaan

mereka di tanah asal leluhur mereka.7.

Kelangsungan dan berkembangnya kebudayaan lokal perlu dijaga

dan dihindarkan dari hambatan. Unsur-unsur budaya lokal yang

bermanfaat bagi diri sendiri bahkan perlu dikembangkan lebih lanjut agar

dapat menjadi bagian dari kebudayaan bangsa, memperkaya unsur-unsur

kebudayaan nasional. Meskipun demikian, sebagai kaum profesional

Indonesia, misi utama kita adalah mentransformasikan kenyataan

multikultural sebagai aset dan sumber kekuatan bangsa, menjadikannya

suatu sinergi nasional, memperkukuh gerak konvergensi,

keanekaragaman.8.

Oleh karena itu, walaupun masyarakat multikultural harus dihargai

potensi dan haknya untuk mengembangkan diri sebagai pendukung

kebudayaannya di atas tanah kelahiran leluhurnya, namun pada saat yang

sama, mereka juga harus tetap diberi ruang dan kesempatan untuk
mampu melihat dirinya, serta dilihat oleh masyarakat lainnya yang sama-

sama merupakan warganegara Indonesia. Dengan demikian, membangun dirinya, membangun tanah
leluhurnya, berarti juga membangun bangsa

dan tanah air tanpa merasakannya sebagai beban, namun karena ikatan

kebersamaan dan saling bekerjasama.

PLAGIASI

1.

Keadaan multikultural Indonesia sangat tergantung pada cara masyarakat Indonesia menghadapinya.
Keadaan ini dapat diarahkan menjadi kekayaan dan kekuatan bangsa, tetapi juga dapat menjadi
penyebab perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Banyak pakar yang tertarik mengamati
kemajemukan bangsa Indonesia, dan berbagai pandangan muncul dalam menyikapi identitas
Indonesia dan keadaannya yang multikultur. Kemajemukan masyarakat Indonesia adalah suatu
kenyataan yang tidak bisa disangkal, dan satu-satunya cara bagi bangsa ini adalah dengan komitmen
yang kuat untuk merawat keragaman sebagai suatu potensi dan tidak mentolerir tindakan yang dapat
menghancurkan masyarakat majemuk.

Potensi konflik dalam masyarakat multikultur sangat mungkin terjadi jika perbedaan dilihat sebagai
pemisah dan menimbulkan perasaan "kita vs mereka". Masyarakat yang hidup dalam keadaan
multikultur selama ribuan tahun tidak kebal terhadap kemungkinan gesekan konflik etnis, budaya,
agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pengalaman hidup dalam perbedaan yang lama ternyata tidak
cukup untuk menumbuhkan kebanggaan akan perbedaan dan melihatnya sebagai kekayaan bangsa.

Dalam menghadapi hal tersebut, pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak
dapat dianggap enteng atau dicoba-coba. Hal ini harus dilakukan secara sistematis, programatis,
terintegrasi, dan berkelanjutan. Salah satu strategi penting adalah pendidikan multikultural, baik
dalam setting pendidikan formal maupun informal.

Keragaman sebagai anugerah Tuhan tidak terlepas dari tantangan yang sering muncul dalam
kehidupan masyarakat. Menghadapi perbedaan dengan intoleransi, memperdebatkan perbedaan,
mempertentangkan orang lain yang berbeda dengan kita, dan bahkan melakukan tindakan kekerasan
yang memicu konflik massa, merupakan masalah yang rentan terjadi di masyarakat Indonesia yang
dihadapkan pada perubahan dan kebebasan era globalisasi. Suatu masyarakat yang didasarkan pada
keragaman yang luas sulit untuk tetap bersatu kecuali jika anggota masyarakat itu menghargai
keragaman itu sendiri dan ingin hidup dalam sebuah negara dengan berbagai bentuk keanggotaan
budaya dan politik.

Konflik bernuansa SARA yang terjadi belakangan ini banyak dipicu oleh tindakan intoleran
sekelompok orang yang kemudian diperluas ke kelompok yang lebih luas dengan menggunakan latar
belakang ras, suku, agama, dan budaya sebagai dalihnya. Kesadaran untuk hidup secara damai sesuai
dengan makna Bhineka Tunggal Ika mulai memudar. Egoisme individu atau sekelompok orang
kemudian berkembang menjadi ego kelompok dan memicu konflik besar yang membawa bencana
bagi semua pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat.

Namun, tantangan keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia juga memiliki potensi untuk menjadi
sumber daya yang baik, bukan bibit konflik. Falsafah lima jari adalah contoh sederhana optimisme
terhadap perbedaan yang dapat menjadi potensi besar untuk menyelesaikan tugas apa pun. Untuk
mewujudkan hal ini, masyarakat harus memiliki pandangan yang kuat tentang persatuan dan
kesatuan. Pilar-pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan
NKRI, perlu diimplementasikan secara fungsional dalam semua aspek kehidupan berkomunitas dan
bernegara. Kebijakan dan kesadaran masyarakat adalah kunci untuk menciptakan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sejahtera, harmonis, damai, saling menghormati, dan demokratis
dalam menghadapi globalisasi yang mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa untuk
mencapai stabilitas nasional yang kuat.

Peran kebijakan harus didukung oleh kesadaran masyarakat agar kesejahteraan berbangsa dan
bernegara dapat terwujud. Jika ini sudah disadari bersama, konflik yang bernuansa SARA dalam
masyarakat dapat diatasi dan bahkan diubah menjadi peluang untuk hidup saling melindungi dalam
keharmonisan. Persinggungan unsur-unsur SARA secara positif diharapkan dapat meningkatkan
kualitas hidup masing-masing unsur dan bermanfaat bagi individu maupun kelompok.

2.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan sukubangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama


dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mempengaruhi perilaku dan aktivitas kita.
Berbagai kebudayaan tersebut saling melengkapi dan saling mengisi, tidak berdiri sendiri, bahkan
mampu menyesuaikan diri secara fleksibel dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks ini, ratusan suku bangsa di Indonesia perlu dilihat sebagai aset negara karena
pemahaman mereka terhadap lingkungan alam, tradisi, dan potensi budaya yang dimiliki. Semua ini
perlu dimanfaatkan untuk pembangunan nasional. Namun, setiap suku bangsa juga memiliki
hambatan budayanya sendiri, yang berbeda antara satu suku bangsa dengan yang lain. Oleh karena
itu, tugas negara adalah memahami dan mengatasi hambatan budaya masing-masing suku bangsa,
serta memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi budaya baru sebagai kekuatan bangsa.

Banyak pembahasan tentang bangsa Indonesia menekankan ciri pluralistik kita dan pentingnya
pemahaman tentang masyarakat Indonesia sebagai masyarakat multikultural. Hal ini menekankan
pentingnya memberikan kesempatan bagi perkembangan masyarakat multikultural tersebut, di mana
setiap kelompok harus diakui haknya untuk mengembangkan diri melalui kebudayaan mereka di
daerah asal nenek moyang mereka.
Pertahankan dan kembangkan kebudayaan lokal agar terhindar dari hambatan. Unsur-unsur budaya
lokal yang bermanfaat perlu dikembangkan lebih lanjut agar menjadi bagian dari kebudayaan
nasional dan memperkaya unsur-unsur kebudayaan bangsa. Namun, sebagai kaum profesional
Indonesia, tugas utama kita adalah mentransformasikan keragaman multikultural menjadi aset dan
sumber kekuatan bangsa, menciptakan sinergi nasional, dan memperkuat gerak konvergensi.

Oleh karena itu, meskipun masyarakat multikultural harus dihargai dalam potensi dan hak mereka
untuk mengembangkan diri melalui kebudayaan mereka di tanah kelahiran mereka, mereka juga
harus diberikan ruang dan kesempatan untuk melihat diri mereka sendiri, serta dilihat oleh
masyarakat lain yang juga merupakan warga negara Indonesia. Dengan demikian, membangun diri
mereka sendiri dan membangun tanah kelahiran mereka juga berarti membangun bangsa dan negara
tanpa merasakannya sebagai beban, melainkan sebagai ikatan kebersamaan dan kerjasama.

BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI PEMERSATU KERAGAMAN BANGSA

Keberagaman budaya Indonesia dilengkapi

oleh keragaman lain yang ada pada tatanan hidup

masyarakat baik perbedaan ras, agama, bahasa,

dan golongan politik yang terhimpun dalam suatu

ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhineka

Tunggal Ika. Kansil dan C. Kansil (2006: 25)

mengemukakan bahwa “persatuan dikembangkan

atas dasar Bhinneka Tunggal Ika, dengan

memajukan pergaulan demi kesatuan dan

persatuan bangsa”. Sehingga Sasanti Bhineka

Tunggal Ika bukan hanya suatu selogan tetapi

merupakan pemersatu bangsa Indonesia.

Keberagaman bangsa berlangsung selama

berabad-abad lamanya, sehingga Indonesia

tumbuh dalam suatu keragaman yang komplek.

Mahfud (2009:10) berpandangan bahwa pada

hakikatnya sejak awal para founding fathers

bangsa Indonesia telah menyadari akan


keragaman bahasa, budaya, agama, suku dan etnis

kita. Singkatnya bangsa Indonesia adalah bangsa

multikultural, maka bangsa Indonesia menganut

semangat Bhinneka Tunggal Ika, hal ini

dimaksudkan untuk mewujudkan persatuan yang

menjadi obsesi rakyat kebanyakan. Kunci yang

sekaligus menjadi mediasi untuk mewujudkan cita-

cita itu adalah toleransi.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan

pemersatu keragaman bangsa Indonesia

merupakan ciri persatuan bangsa Indonesia

sebagai negara multikultur. Sujanto (2009:28)

memaparkan bahwa “lahirnya Sesanti Bhineka

Tunggal Ika, berangkat dari kesadaran adanya

kemajemukan tersebut. Bahkan kesadaran perlu

adanya persatuan dari keragaman itu terkristalisasi

kedalam ‘Soempah Pemoeda’ tahun 1928 dengan

keIndonesiaannya yang sangat kokoh”. Untuk

memahami konsep Bhinneka Tunggal Ika yang

tercetus pada Kongres Sumpah Pemuda, penting

kiranya penulis memaparkan konsep Bhinneka

Tunggal Ika terlebih dahulu. Sujanto (2009: 9)

memaparkan bahwa Sesanti Bhineka Tunggal

Ika, Sesanti artinya kelimat bijak (wise-word)

yang dipelihara dan digunakan sebagai pedoman

atau sumber kajian di masyarakat. Bhinneka

Tunggal Ika adalah kalimat (sesanti) yang tertulis

dipita lambang negara Garuda Pancasila, yang

berarti berbagai keragaman etnis, agama, adat-

istiadat, bahasa daerah, budaya dan lainya yang

mewujud menjadi satu kesatuan tanah air, satu


bangsa dan satu bahasa Indonesia.

Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal

Ika memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan

perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh

kesadaran kita sebagai masyarakat Indonesia yang

mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut dalam

bingkai kesatuan tanah air dalam pangkuan Ibu

Pertiwi. Dibagian pertama modul Wasantara

Lemhannas RI 2007 (Sujanto, 2009:1)

menjelaskan bahwa: “Bhinneka Tunggal Ika

adalah semboyan pada lembaga negara Republik

Indoneisa yang ditetapkan berdasarkan PP No.

66 Tahun 1951 yang mengandung arti walaupun

berbeda-beda tetap satu”. Berkaitan dengan hal

tersebut, Sujanto (2009:9) memandang bahwa

“bangunan wawasan ke-Indonesia-an adalah

perwujudan dari keinginan bersama untuk dapat

mewujudkan kesatuan/ keesaan, manunggalnya

keberagaman menjadi satu-kesatuan yang

disepakati yaitu Indonesia”. Sumber asal Sesanti

Bhinneka Tunggal Ika sebagai kalimat bijak

diambil dari Kitab Sutasoma yang ditulis oleh

Empu Tantular pada abad keempat belas.

Analisis historis di atas menggambarkan

bahwa masyarakat Indonesia telah menyadari

kemajemukan, multietnik dan multi-agamanya

sejak dulu. Kesadaran akan kebhinekaan ini

kemudian dibangkitkan kembali pada masa

perjuangan kemerdekaan untuk menggali

semangat persatuan bangsa Indonesia yang ketika

itu sedang menanggung penjajahan kolonial.


Penjajahan kolonial memberikan rasa senasib

sepenanggungan akan keadaan bangsa yang

penuh dengan keterbelakangan.Muncul gagasan

dan gerakan-gerakan perlawanan hingga kongres

Sumpah Pemuda pun terlaksana sebagai inisiatif

pemuda Indonesia ketika itu. “Sasanti Bhinneka

Tunggal Ika yang tertulis pada lambang negara

Garuda Pancasila, harus teraktualisasi ke dalam

kehidupan nyata di masyarakat Indonesia dengan

lebih baik”.

Peristilahan Bhinneka Tunggl Ika dalam

bahasa Jawa dapat dimaknai bahwa walaupun kita

berbeda-beda, memiliki latar belakang budaya

yang berbeda, berbeda ras, etnis, agama, budaya

namun kita adalah saudara yang diikat oleh

kedekatan persaudaraan dengan rasa saling

memiliki, menghargai, dan saling menjaga. Dalam

Bhinneka Tunggal Ika tersurat petuah bijak untuk

bersatu dalam keberagaman tanpa mempermasa-

lahkan keberagaman, karena dalam keberagaman

ditemukan suatu nilai persatuan yang menyatukan

semua perbedaan. Tarmizi Taher (Syaefullah,

2007: 193)berpandangan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, memberikan pelajaran

agar semua penduduk Indonesia menghayati diri

mereka sebagai suatu bangsa, satu tanah air, satu

bahasa dan satu tujuan nasional yaitu terciptanya

sebuah masyarakat adil dan makmur berdasarkan

Pancasila sebagai satu-satunya asas dan pedoman

utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesadaran akan perbedaan harus disikapi

seperti tubuh manusia yang ketika salah satu


bagiannya sakit yang lainnya akan ikut merasakan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Falk

(dalam Kymlicka, 2002:183) yang memandang

bahwa “keragaman masyarakat meningkatkan

mutu hidup, dengan memperkaya pengalaman kita,

memperluas sumber daya budaya”. Sejalan

dengan hal tersebut, “Bagi Bung Karno

keragaman etnis masyarakat Indonesia adalah

suatu given. Hal ini bisa dimengerti karena ia

sangat dipengaruhi oleh semangat Sumpah

Pemuda, yang dengan ikrar itu menyatakan

persatuan masyarakat Indonesia” (G. Tan,

2008:44). Keragaman sebagai given (pemberian)

yang dapat bermakna bahwa keragaman

merupakan rahmat yang diberikan Tuhan kepada

bangsa Indonesia untuk dijadikan sebagai modal

yang oleh Falk dianggap sebagai sarana untuk

meningkatkan mutu hidup. Sujanto (2009:90)

berpandangan bahwa Sasanti Bhinneka Tunggal

Ika yang bermakna persaudaraan atau

perseduluran harus disosialisasikan kepada

seluruh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang

sudah ada seperti lembaga pemerintah, swasta,

lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga

keagamaan, lembaga kepemudaan, agar terbangun

hidup yang rukun, damai, aman, toleran, saling

menghormati, bekerjasama dan bergotong-royong

dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa.

PLAGIASI
Keberagaman budaya di Indonesia, termasuk perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan politik,
mengiringi kehidupan masyarakat dan saling melengkapi satu sama lain. Semua keberagaman ini
diwujudkan dalam ideologi bersama, yaitu Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Persatuan bangsa
Indonesia dikembangkan berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika dengan memajukan pergaulan demi
kesatuan dan persatuan. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya sebuah slogan, tetapi juga menjadi
pemersatu bangsa Indonesia.

Keberagaman bangsa Indonesia telah berlangsung selama berabad-abad, sehingga Indonesia


tumbuh dalam keragaman yang kompleks. Para pendiri bangsa Indonesia sejak awal telah menyadari
keberagaman bahasa, budaya, agama, suku, dan etnis kita. Singkatnya, bangsa Indonesia adalah
bangsa multikultural, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika menjadi obsesi mayoritas rakyat. Toleransi
menjadi kunci untuk mewujudkan cita-cita persatuan ini.

Bhinneka Tunggal Ika sebagai kunci dan pemersatu keragaman bangsa Indonesia adalah ciri
persatuan bangsa dalam negara multikultur. Kesadaran akan keragaman ini terwujud dalam Soempah
Pemoeda tahun 1928 yang berkeindonesiaan yang kuat. Bhinneka Tunggal Ika adalah kalimat bijak
yang dipegang dan dijadikan pedoman dalam masyarakat. Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam
lambang negara Garuda Pancasila dan berarti berbagai keragaman etnis, agama, adat-istiadat,
bahasa daerah, dan budaya yang menyatu menjadi satu kesatuan tanah air, satu bangsa, dan satu
bahasa Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan perbedaan. Namun, hal ini
harus didukung oleh kesadaran masyarakat Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan nyata dalam kerangka persatuan tanah air. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dalam
lembaga negara Republik Indonesia yang berarti "meskipun berbeda-beda, tetap satu". Bangunan
wawasan ke-Indonesia-an adalah upaya bersama untuk menciptakan kesatuan dari keragaman yang
disepakati, yaitu Indonesia.

Peristilahan Bhinneka Tunggal Ika dalam bahasa Jawa mengandung makna bahwa meskipun
berbeda-beda, kita adalah saudara yang saling memiliki, menghargai, dan menjaga satu sama lain.
Bhinneka Tunggal Ika memberikan pelajaran agar penduduk Indonesia menyadari diri mereka sebagai
satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa, dan satu tujuan nasional untuk menciptakan masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila sebagai asas dan pedoman utama.

Kesadaran akan perbedaan harus dihadapi seperti tubuh manusia yang ketika satu bagian sakit,
bagian lainnya ikut merasakan. Keragaman masyarakat meningkatkan mutu hidup, memperkaya
pengalaman, dan memperluas sumber daya budaya. Bhinneka Tunggal Ika adalah hasil kesadaran
akan keragaman tersebut. Bangsa Indonesia telah menyadari keragaman etnis, multietnis, dan
multiagama sejak lama. Sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis dalam lambang negara Garuda
Pancasila harus diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan lebih baik.

Bhinneka Tunggal Ika memiliki makna persaudaraan atau perseduluran dan perlu disosialisasikan
kepada seluruh rakyat melalui berbagai lembaga, baik pemerintah, swasta, sosial kemasyarakatan,
keagamaan, maupun kepemudaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang rukun,
damai, aman, toleran, saling menghormati, bekerjasama, dan bergotong-royong dalam rangka
persatuan dan kesatuan bangsa.

PEMBAHASAN
Menghargai keanekaragaman bangsa Indonesia sebagai sumber kekuatan sosial adalah prinsip
penting yang mengakui bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, budaya, bahasa, dan
tradisi yang berbeda. Keanekaragaman ini menjadi aset berharga yang dapat memperkaya
masyarakat Indonesia dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan sosial, politik, dan
ekonomi negara.

Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai menghargai keanekaragaman bangsa Indonesia sebagai
sumber kekuatan sosial:

1. Identitas Bangsa yang Kaya: Keanekaragaman budaya di Indonesia mencerminkan kekayaan


identitas bangsa. Setiap suku, agama, dan budaya memiliki warisan sejarah, nilai-nilai, dan tradisi
yang unik. Menghargai keanekaragaman ini berarti mengakui dan menghormati keberagaman
tersebut sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas nasional Indonesia.

2. Penerimaan dan Penghormatan: Menghargai keanekaragaman berarti menerima dan


menghormati perbedaan dalam masyarakat. Hal ini melibatkan sikap terbuka, adil, dan tanpa
diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam menghadapi perbedaan, penting
untuk menghindari prasangka, stereotip, dan sikap diskriminatif.

3. Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai keanekaragaman


bangsa Indonesia perlu dilakukan melalui pendidikan dan promosi budaya. Pendidikan multikultural
dapat membantu mengembangkan penghargaan terhadap keberagaman dan mempromosikan rasa
saling menghormati di antara individu-individu yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

4. Kerja sama dan Toleransi: Keanekaragaman bangsa Indonesia dapat menjadi sumber kekuatan
sosial melalui kerja sama dan toleransi antar kelompok. Kolaborasi dan pengertian antar kelompok
yang berbeda membantu membangun hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan. Ini juga
menciptakan iklim yang kondusif untuk perdamaian, stabilitas, dan pembangunan yang
berkelanjutan.

5. Daya Saing dan Inovasi: Keanekaragaman budaya dan etnis juga dapat memberikan kontribusi
dalam bidang ekonomi dan inovasi. Adanya perspektif yang beragam dapat memicu kreativitas,
menghasilkan ide-ide baru, dan memperkaya gagasan dalam berbagai sektor. Ketika orang-orang dari
berbagai latar belakang berkumpul dan berkolaborasi, mereka dapat menciptakan solusi yang lebih
baik dan menghadapi tantangan dengan cara yang inovatif.

6. Penguatan Persatuan Nasional: Menghargai keanekaragaman bangsa Indonesia juga membantu


memperkuat persatuan nasional. Dalam menghadapi tantangan dan konflik, menghormati
perbedaan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama adalah landasan penting untuk
membangun solidaritas dan persatuan di antara masyarakat.

Menghargai keanekaragaman bangsa Indonesia sebagai sumber kekuatan sosial bukan hanya sebuah
tugas individual, tetapi juga tanggung jawab bersama sebagai masyarakat. Dengan saling
menghormati, bekerja sama, dan memanfaatkan keberagaman sebagai aset positif, Indonesia dapat
membangun masyarakat yang inklusif, harmonis, dan berdaya saing.

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai