Anda di halaman 1dari 21

RESUME PBL

Skenario 3

Nama : FEDIKA KUSUMA DEWI

Npm : 118170062

Kel : 4B

Blok : 6.1

Tutor : dr. Erma Permata

Angakatan : 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GUNUNG JATI
CIREBON
SKENARIO 3
KELUAR DARAH MERAH KEHITAMAN
Seorang perempuan berusia 32 tahun P3A0 diantar bidan Puskesmas ke IGD RS
karena keluar darah dari jalan lahir hingga harus mengganti pembalut setiap 2 jam. Keluhan
disertai keluar bekuan darah, lemas, pandangan berkunang-kunang. Pasien baru melahirkan 2
hari yang lalu pervaginam. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 100/70, Nadi 98
x/menit, RR 20 x/menit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis,
lochia tidak berbau, darah merah kehitaman (+). Dokter melakukan penatalaksanaan untuk
mengatasi perdarahan.

KLARIFIKASI ISTILAH (STEP 1)


1. Pervaginam : proses melahirkan secara alamiah melalui jalan lahir bayi.
2. Lochia : keluarnya sekret (discharge) dari vagina setelah melahirkan
yang mengandung darah, lendir, dan jaringan (desidua
basalis pars superficialis dan sel-sel epitel) saat masa nifas.
Biasanya sekret berasal dari kavum uteri.
3. Konjungtiva anemis : suatu kondisi dimana konjungtiva (selaput lendiri
yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
permukaan luar bola mata) berwarna putih dan
kelihatan pucat.

RUMUSAN DAFTAR MASALAH (STEP 2)


1. Bagaimana terjadinya nifas dan fisiologinya?
2. Mengapa keluhan disertai keluar bekuan darah, lemas, pandangan berkunang-kunang?
3. Apakah penyebab-penyebab keluar darah dari jalan lahir?
4. Mengapa pada PF didapatkan konjungtiva anemis, lochia tidak berbau, darah merah
kehitaman (+)?
5. Bagaimana penatalaksanaan untuk mengatasi perdarahan tersebut?

ANALISIS MASALAH (STEP 3)


1. Bagaimana terjadinya nifas dan fisiologinya?
 Nifas dimulai setelah kelahiran plasenta sampai alat kandungan kembali seperti
sebelum kehamilan. Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya
plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.
 Masa nifas dibagi menjadi 3: 1) Periode immediate postpartum, 2) Periode early
postpartum (24 jam – 1 minggu) 3) Periode late postpartum (1 minggu – 5 minggu)

2. Mengapa keluhan disertai keluar bekuan darah, lemas, pandangan berkunang-kunang?


 Uterus setelah melahirkan > lapisan superficial desidua akan nekrotik > akan luruh >
lochia > terbentuk endometrium baru
 Bekuan darah: terjadi karena proses koagulasi karena pembuluh darah yang robek
setelah plasenta dilahirkan
 Lemas dan berkunang-kunang: pembuluh darah yang robek setelah plasenta
dilahirkan akan mengeluarkan sekitar 500 ml

3. Apakah penyebab-penyebab keluar darah dari jalan lahir?


 Antepartum: lebih dari 20 minggu
 Postpartum: perdarahan postpartum primer dan sekunder. Primer: karena adanya
atonia uteri, luka robek pada rahim, retensio plasenta, gangguan pembekuan darah.
Sekunder: robekan jalan lahir dan sisa placenta
 Normalnya perdarahan mengeluarkan <500 ml darah.

4. Mengapa pada PF didapatkan konjungtiva anemis, lochia tidak berbau, darah merah
kehitaman (+)?
 Lochia tidak berbau: normalnya memiliki bau seperti cairan menstruasi, tidak berbau
mengindikasikan adanya infeksi dari clamidia.
 Lochia terjadi 2 hari setelah melahirkan dengan darah yang berwarna kehitaman
adalah normal.
 Jenis-jenis lochia:
Lochia rubra (1-3 hari): berwarna merah (darah)
Lochia sanguino lenta: berwarna merah kekuningan, sisa darah bercampur lendir
Lochia Serosa (8-14 hari): kekuningan–kecoklatan
Lochia parulenta: keluar cairan berbau busuk
 Konjungtiva anemis: karena adanya perdarahan > penurunan cairan intravaskular >
Hb turun > suplasi oksigen menurun > metabolisme jaringan menurun > konjungtiva
anemis, lemas
 Kompensasi: vasokontriksi > penurunan aliran darah > konjungtiva anemis
 Terjadi sistem koagulasi yang menyebabkan , darah merah kehitaman (+)

5. Bagaimana penatalaksanaan untuk mengatasi perdarahan tersebut?


 Rekomendasi WHO: pijatan uterus, balon intrauterin, kompresi aorta eksternal, dll
 Pilihan merujuk ke RS sudah tepat karena dalam keadaan emergensi > lakukan
penilaian > resusitasi cairan > observasi perdarahan, diukur jumlah darah > TTV >
pemeriksaan penunjang darah lengkap (Hb)
Hb jika <8 bisa indikasi tranfusi darah
Jika plasenta belum lahir utuh > dilakukan manual plasenta
 Awal: menilai ABC > tanda syok: tata laksana syok

SISTEMATIKA MASALAH (STEP 4)


1. Bagaimana terjadinya nifas dan fisiologinya?
 Perubahan pasca persalinan:
TTV → suhu dapat naik akibat kelelahan dan kehilangan cairan. Nadi lebih cepat,
TD tidak berubah, TD kurang karena perdarahan, TD tinggi karena preeklamsia
Uterus → terjadi perubahan pada ukuran uterus seperti pragestasi
Serviks → lubang serviks yang melebar akan mulai berkurang ukuran lubangnya
Perineum → terjadi robekan perineum
Vagina → pintu luarnya tidak berubah ke dimensi sebelumnya
Dinding abdomen → tetap lentur
Berat Badan → terjadi penurunan BB sekitar 5-6 kg
Endokrin → terjadi penurunan estrogen dan progesteron. Peningkatan prolaktin.
Hematologi → terjadi penurunan plasma
 Masa nifas dibagi menjadi 3:
1) Periode immediate postpartum: terjadi setelah plasenta lahir, terjadi masalah
perdarahan postpartum > periksa adanya lochia, ttv
2) Periode early postpartum (24 jam–1 minggu): harus memastikan involusi uterus
normal
3) Periode late postpartum (1 minggu–5 minggu): pada periode ini bidan tetap
melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB.
 Masa nifas: yang harus dilakukan tenaga kesehatan yaitu pencegahan infeksi,
mencegah komplikasi, asuhan menyusui ibu, dll.
2. Mengapa keluhan disertai keluar bekuan darah, lemas, pandangan berkunang-kunang?
 Involusi uterus: proses kembalinya uterus seperti sebelum kehamilan. Akibat
kontraksi uterus yang terus menerus > uterus akan anemi > atrofi (akibat
penghentian eskresi hormon estrogen) > autolisis > fagositosis
 Kontraksi uterus yang terus menerus akan menekan pembuluh darah yang robek >
normalnya darah yang keluar <500 ml. Jika darah yang keluar >500 ml akan
menyebabkan anemia (keluhan: lemas, berkunang-kunang, konjungtiva anemis)
akibat terjadinya penurunan Hb dan suplasi oksigen berkurang.
 Pasien pada kasus mengalami derajat syok yang sedang.

3. Apakah penyebab-penyebab keluar darah dari jalan lahir?


 Antepartum:
 Perdarahan postpartum primer dan sekunder:
PPP Primer: karena adanya atonia uteri, luka robek pada jalan lahir, retensio
plasenta, gangguan pembekuan darah.
PPP Sekunder (terjadi pana masa nifas): robekan jalan lahir, sisa placenta,
endometritis, multiparitas, pre-eklamsia dan eklamsia, dll
 Usia 30-35 tahun bisa menjadi faktor risiko terjadinya perdarahan postpartum. Ibu
dengan multigravida lebih berisiko dari pada primigravida. Paritas yang 2-3 masi
dalam batas aman, sedangkan paritas lebih dari 3 akan lebih berisiko.
 4T (Tone: atonia uteri, Tissue: retensio plasenta, Trauma: luka robek pada jalan
lahir, Thrombin: gangguan pembekuan darah)

4. Mengapa pada PF didapatkan konjungtiva anemis, lochia tidak berbau, darah merah
kehitaman (+)?
 Infeksi postpartum yang ditemukan pada PF:
Suhu tubuh 37,5 lebih akibat adanya infeksi Streptococcus anaerob (yang masuk
secara eksogen, autogen, dan endogen) biasanya dari urinary tract. Infeksi terjadi
akibat partus yang lama atau macet, persalinan traumatik, kurang baiknya proses
pencegahan infeksi. Gejala: lemah, skait berat, KU buruk, kesadaran menurun,
suhu tubuh naik, nadi naik, sesak napas, lochia berbau dan bernanah, involusi uteri
buruk, PP leukositosis dan ditemukan patogen penyebab.
Infeksi di mammae: mastitis (akibat perubahan hormon)
Infeksi genital: vaginitis, servisitis, ovaritis

5. Bagaimana penatalaksanaan untuk mengatasi perdarahan tersebut?


 Harus mencari penyebab perdarahan
 Rujuk karena keadaan emergensi > dinilai perdarahan > resusitasi cairan >
observasi perdarahan > TTV > PP (terutama Hb) > beri cairan IV > beri oksitosin >
jika demam, beri seftriakson > jika Hb kurang dari 8, lakukan transfusi darah >
observasi secara berkala

MIND MAP

Komplikasi Post-
Partum

Penegakan
Etiologi Faktor Resiko Klasifikasi Tatalaksana Pencegahan
Diagnosis

Primer Sekunder

Gambar 1. Mind Map.

SASARAN BELAJAR (STEP 5)


1. Perubahan yang terjadi pada masa nifas secara fisiologi (hormon, organ)
2. Komplikasi postpartum
a. Macam-macam komplikasi
b. Patofisiologi terjadinya komplikasi postpartum dihubungkan dengan etiologi dan faktor
resiko
c. Penatalaksanaan komplikasi postpartum

REFLEKSI DIRI
Alhamdulillah PBL SK 3 pertemuan 1 berjalan dengan lancar. Saya mendapatkan
pemahaman materi mengenai “Komplikasi Post-Partum”. Masih banyak yang perlu saya
pahami kembali dan masih banyak yang perlu saya pelajari. Terima kasih kepada dokter yang
sudah membimbing kami. Semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat, aamiin.

BELAJAR MANDIRI (STEP 6)


PENJELASAN (STEP 7)
1. Perubahan yang Terjadi pada Masa Nifas
A. Hormone

Gambar 1. Refleks pengisapan


Untuk persiapan payudara bagi nutrisi janin, ukuran kelenjar hipofisis selama
kehamilan meningkat dua atau tiga kali lipat akibat peningkatan jumlah sel penyekresi
prolaktin yang diinduksi oleh estrogen. Selain mempersiapkan kelenjar mamaria bagi
laktasi, prolactin dan hCS juga memicu perkembangan janin dengan merangsang
produksi faktor-faktor pertumbuhan serupa insulin (insulin-like growth factors), IGF-
1 dan IGF II.
Penurunan mendadak estrogen dan progesteron yang terjadi
dengan keluarnya plasenta saat persalinan memicu laktasi. Dua hormon berperan
penting untuk mempertahankan laktasi:
1) Prolaktin, yang meningkatkan sekresi susu
2) Oksitosin, yang menyebabkan ejeksi susu. Ejeksi susu, atau milk letdown, merujuk
duktus.
Pelepasan kedua hormon ini dirangsang oleh refleks neuroendokrin yang dipicu
oleh pengisapan.
1) Pelepasan oksitosin dan ejeksi susu. Pengisapan
payudara oleh bayi merangsang ujung saraf sensorik di puting,
menimbulkan potensial aksi yang merambat naik melalui
korda spinalis ke hipotalamus. Hipotalamus, setelah diaktifkan, memicu
pengeluaran oksitosin dari hipofisis posterior. Oksitosin kemudian merangsang
kontraksi sel mioepitel di payudara untuk menyebabkan ejeksi susu. Ejeksi susu
ini hanya berlanjut selama bayi menyusu.
2) Pelepasan prolaktin dan sekresi susu. Pengisapan tidak saja
memicu pelepasan oksitosin, tetapi juga merangsang produksi
prolaktin. Pengeluaran prolaktin oleh hipofisis anterior
dikontrol oleh dua sekresi hipotalamus: prolactin-inhibiting
hormone (PIH) dan prolactin-releasing hormone (PRI-1).

B. Vagina dan Ostium Vagina


1) Pada masa awal nifas, terbentuklah saluran dengan dinding halus dan lebar yang
berasal dari vagina dan ostium vagina, ukuran saluran tersebut akan mengecil
dengan perlahan tetapi jarang kembali seperti saat nulipara.
2) Pada minggu ke-3
a. Rugae kembali muncul tetapi tidak terlalu menonjol
b. Terbentuk jaringan parut carunculae myrtiformes, himen yang hanya berupa
potongan-potongan sisa jaringan ikat.
3) Pada minggu ke-4 sampai 6, epitel vagina mulai berproliferasi seiring dengan
kembalinya ovarium memproduksi estrogen.
C. Uterus
1) Pembuluh Darah
Pembuluh darah pada saat kehamilan diameternya bertambah besar, tetapi
pada saat nifas terjadi perubahan menjadi seperti sebelum kehamilan, pembuluh
darah tertutup oleh perubahan hialin dan absorpsi kembali lalu digantikan oleh
yang lebih kecil.

2) Segmen Serviks dan Uterus bagian bawah


a. Beberapa hari setelah persalinan, pembukaan serviks masih sebesar 2 jari
b. Akhir minggu pertama, mulai menyempit, serviks menebal, kanalis
endoservikalis terbentuk lagi, ostium externum agak lebar dan laserasi yang
timbul pada kedua sisi akan permanen. Selain itu, segmen uterus bagian bawah
yang menipis akan mengalami kontraksi dan retraksi.
c. Beberapa minggu berikutnya, segmen bawah uterus yang cukup besar untuk
memfasilitasi lahirnya bayi berubah menjadi isthmus uteri, berada diantara
corpus dan ostium internum, hampir tidak terihat.

3) Involusi uterus
a. Setelah keluarnya plasenta, fundus uteri terletak sedikit dibawah umbilikus
dan terdiri dari miometrium yang ditutupi serosa dan dilapisi desidua basalis.
Pascapartum, segera berat uterus kira-kira 1.000 gram dengan uterus tampak
seperti iskemik.
b. Dua hari pascapartum, uterus mulai berinvolusi dan pada minggu pertama
beratnya sekita 500 gram.
c. Pada minggu ke-2, berat uterus sudah menapai 300 gram dan telah turun
masuk ke pelvis sejati.
d. 4 minggu pascapartum, berat uterus kembali berkurang sehingga beratnya
menjadi 100 gram, uterus sebelum kehamilan.
4) Lokia
Saat awal mas nifas, akan timbul duh vagina yang disebabkan oleh peluruhan
jaringan desidua dengan jumlah duh yang beragam. Duh tersebut dinamakan
lokia yang terdiri dari eritrosit, jaringan desidua, sel epitel, dan bakteri. Lokia
akan ada selama 4-8 minggu pascapersalinan.
Awalnya berwarna merah, lokia rubra karena mengandung cukup banyak
darah. Setelah 3 atau 4 hari lokia menjadi berawarna pucat, lokia serosa. Pada
hari ke-10, lokia tercampur dengan eritrosit sehingga berwarna putih atau putih
kekuningan, lokia alba.
5) Regenerasi Endometrium
Dalam 2 atau 3 hari pasca melahirkan, sisa desidua berdiferensiasi menjadi 2
lapisan, lapiran superficial menjadi nekrotik lalu meluruh dan masuk ke dalam
lokia sedangkan lapisan basal yang berada dekat miometrium tetap utuh menjadi
sumber endometrium baru.
6) Subinvolusi
Subinvolusi adah berhentinya proses involusi. Diikuti dengan memanjangnya
pengeluaran lokia dan perdarahan uterus yang berebihan.
7) Involusi tempat Perlekatan Plasenta
Diperlukan wantu sampai 6 minggu untuk mengeluarkan tempat perlekatan
plasenta. Segera setelah pelahiran, ukuran perlekatan plasenta kira-kira seukuran
telapak kaki tangan lalu akan mengecil sesuai dengan seharusnya.

D. Saluran Kemih
Pascapartum, kandung kemih mengalami peningkatan kapasitas dan relatif tidak
sensitif terhadapt tekanan intravesika sehingga terjadi overdistensi, pengosongan tidak
sempura dan residu urin yang berlebihan. Dalam 2-8 minggu pascapartum, ureter
yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaan sebelum hamil.
E. Peritoneum dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan rotundum yang mengalami peregangan dan pelonggaran,
memerlukan waktu yang lama untuk pulih. Pada uterus hamil, terjadi ruptur pada serat
elastik kulit dan distensi yang lama, sehingga dinding abdomen akan tetap lunakdan
flaksid dan membutuhkan beberapa minggu untuk dapat kembali normal
F. Komposisi Darah dan Cairan
Selama dan setelah persalinan dapat terjadi leukositosis dan trombositosis yang
bermakna. Hitung sel darah putih didapatkan 30.000/µL, terdapat limfopenia relatif
dan eosinopenia absolut. Normanya, selama beberapa hari pascapartum konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit berfluktuasi sedang.
Curah jantung biasanya tetap naik dalam 24-48 jam pascapartum dan akan
menurun sampai ke nilai sebelum hamil dalam 10 hari, frekuensi jantung juga akan
berubah seiring dengan perubahan curah jantung. Sedangkan resistensi vaskular
sistemik tetap dikisaran terendah nilai pada masa kahamilan selama 2 hari
pascapartum dan mulai terus meningkat ke nilai normal.
Perubahan faktor pembekuan darah saat kehamilan akan menetap dalam waktu yg
bervariasi. Fibrinogen plasma dan laju endap darah yang meningkat dipertahankan
minimal melewati 1 minggu pertama.

G. Penurunan Berat Badan


Pascapartum, terjadi kehilangan berat badan sebesar 5-6 kg karena pengeluaran
bayi dan kehilangan darah normal, dan biasanya penurunan 2-3 kg lebih lanjut karena
diuresis. Dalam 6 bulan pascapartum, berat badan turun mendekati berat badan
sebelum hamil meskipun tetap ada penambahan 1,4 kg.
H. Payudara dan Laktasi
Pengaruh hormonal yang terdapat selama kehamilan, kelenjar mamaria
mengembangkan struktur dan fungsi kelenjar internal yang diperlukan untuk
menghasilkan susu. Payudara yang mampu menghasilkan susu memiliki anyaman
duktus yang semakin kecil, bercabang dari puting payudara dan berakhir di lobules.
Susu dibentuk oleh sel epitel dan kemudian disekresikan ke dalam lumen alveolus,
lalu dialirkan oleh duktus pengumpul susu yang membawa susu ke permukaan puting
payudara.
Selama kehamilan, estrogen kadar tinggi mendorong
perkembangan ekstensif duktus, sementara progesteron kadar
tinggi merangsang pembentukan alveolus-lobulus. Peningkatan konsentrasi prolactin
dan human chorionic somatomammotropin (hCS) juga ikut berperan dalam
perkembangan kelenjar mammaria dengan menginduksi sintesis enzim yang
dibutuhkan untuk memproduksi susu.
Perubahan di payudara terjadi selama paruh pertama kehamilan
sehingga pada pertengahan kehamilan kelenjar mamaria telah
mampu penuh menghasilkan susu. Namun, sekresi susu tidak
terjadi hingga persalinan.
Konsentrasi estrogen dan progesterone yang tinggi selama paruh terakhir
kehamilan mencegah laktasi dengan menghambat efek stimulatorik prolaktin pada
sekresi susu. Prolaktin adalah perangsang utama sekresi susu. Karena itu, meskipun
steroid-steroid plasenta berkadar tinggi tersebut merangsang perkembangan perangkat
penghasil susu di payudara, hormon-hormon ini juga mencegah kelenjar mamaria
beroperasi hingga bayi lahir dan susu dibutuhkan.

2. Komplikasi Pasca Persalinan


A. Inversio Uteri
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Inversio uteri merupaan keadaan dimana fundus uteri terputar balik keluar,
baik sebagian atau seluruhnya ke dalam uterus atau ke dalam vagina, bahkan
dapat juga keluar vagina.
Penyebab inversio uteri tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III,
yaitu menekan fundus uteri terlalu kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang
belum terlepas dari inersinya. Inversio uteri menjadi salah satu penyebab
terjadinya perdarahan postpartum.

2) Patofisiologi
Kelemahan miometrium (ditambah dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali) menyebabkan fundus melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta
yang masih melekat. Hal ini menyebabkan terjadinya inversio uteri.
Uterus harus terus berkontraksi pada saat yang sama untuk mendorong fudus
yang terinversi sebelumnya atau massa fundus-plasenta ke arah bawah, sehingga
makin masuk ke arah segmen bawah uterus. Jika serviks terbuka dan kontraksi
cukup kuat, massa myometrium plasenta dapat terperas ke dalam serviks,
menyebabkan terjadinya inversio komplit (inversio uteri derajat III).
Pada keadaan yang lebih ringan, dinding fundus uteri yang melekuk kedalam
terperangkap secara spontan ke dalam kavum uteri, menyebabkan terjadinya
inversio inkomplit. Pada inversio komplit, setelah fundus melewati serviks,
jaringan serviks berfungsi sebagai lingkaran konstriksi dan segera terjadi edema.
Massa prolaps kemudian membesar secara progresif dan menyumbat vena dan
akhirnya aliran darah arteri, menyebabkan terjadinya edema. Sehingga reposisi
uterus menjadi lebih sulit bila inversio terjadi makin lama. Pada kasus kronis,
dapat terjadi nekrosis dan bahkan dapat meninggalkan jaringan parut.
3) Tatalaksana
a. Melakukan perbaikan keadaan umum pasien
b. Melakukan rujuk ke dokter spesialis obgyn ataupun dokter spesialis bedah
karena diperlukan adanya tindakan reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal
dilanjutkan metode operatif.
Pada kasus yang subakut dan kronis biasanya dilakukan reposisi dengan
metode operatif. Secara manual cara johnson, jones, O-Sullivan secara operatif
dengan cara transabdominal cara huntinton, haultain, transvaginal cars
spinelli, kutsner, subtotal histerektomi.

B. Retensio Plasenta
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Retensio plasenta merupakan salah satu penyebab resiko perdarahan yang
terjadi segera setelah terjadinya persalinan. Berdasarkan penyebabnya retensio
plasenta dapat dibagi menjadi secara fungsional dan patologi anatomi. Secara
fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu disebabkan karena his yang kurang kuat
atau plasenta yang sukar terlepas dari tempatnya (insersi di sudut tuba) bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis) dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta
adhesive.
Secara patologi anatomi dapat dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta inkreta,
plasenta perkreta. Sebab-sebab plasenta belum lahir bisa oleh karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika lepas
sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
2) Patofisiologi
Terdapat 3 mekanisme utama penyebab dari retensio plasenta, yaitu:
a. Invasive Plasenta, perlekatan plasenta yang tidak normal yang disebabkan
karena trauma pada endometrium karena prosedure operasi sebelumnya. Hal
ini menyebabkan kelainan pada perlekatan plasenta mulai dari plasenta
adherent, akreta hingga perkreta. Proses ini menghambat pelepasan plasenta
yang mengarah ke retensio plasenta. Mekanisme ini terdapat pada karakteristik
pasien dan riwayat obstetrik.
b. Hipoperfusi Plasenta, hubungan antara hipoperfusi plasenta dengan retensio
plasenta adalah adanya oxidative stress, yang diakibatkan oleh remodelling
arteri spiral yang tidak lengkap dan plasentasi yang dangkal, hal ini umum
pada hipoperfusi plasenta dengan retensio plasenta. Pada model kedua ini
terdapat pada hipoperfusi plasenta, berkaitan dengan komplikasi kehamilan
terkait plasenta.
c. Kontraktilitas yang tidak Adekuat, tidak adekuatnya kontraksi pada retro-
placental myometrium adalah mekanisme ke tiga yang menyebabkan retensio
plasenta. Pada model ketiga berkaitan dengan persalinan itu sendiri.

3) Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan kasus perdarahan postpartum
yaitu segera meminta pertolongan, kemudian cegah terjadinya syok hemoragik
dengan mencari sumber perdarahan dan segera lakukan tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan sumber perdarahan tersebut.
Teori tatalaksana yang dilakukan untuk perdarahan postpartum adalah ask for
HELP. Segera memninta pertolongan, atau pasien dirujuk ke rumah sakit. Kedua,
Assess and resuscitate dengan melakukan penilaian derajat darah yang keluar
pada pasien lalu lakukan resusitasi cairan menggunakan ringer laktat dengan
tetesan 30 tetes/menit. Sambil melakukan resusitasi juga dilakukan upaya
menentukan etiologi dan penilaian kontraksi uterus. Keempat, massage the uterus
untuk merangsang agar uterus berkontraksi dengan baik. Kelima, oxytocin
infusion/Prostaglandin, dapat diberikan oksitosin 20unit dalam 500 cc ringer
laktat dan transfusi PRC 3 kolf. Keenam, Shift to theatre. Tindakan ini dilakukan
jika perdarahan pada pasien tidak dapat dihentikan dengan terapi yang telah
diberikan. Kemudian, tamponade or uterine packing jika perdarahan masih
berlanjut dan lakukan persiapan tindakan operatif yang dilakukan oleh dokter
spesialis.

C. Atonia Uteri
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Atonia uteri disebabkan karena serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta tidak
berkontraksi.

2) Patofisiologi
Myometrium terdiri dari tiga lapis dan lapisan tengah merupakan bagian yang
terpenting dalam kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum. Lapisan
tengah ini tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-
masing serabut mempunyai 2 buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut
kira-kira membentuk angka delapan. Setelah partus, jika otot berkontraksi maka
akan menjepit pembuluh darah. Ketika terjadi ketidak mampuan myometrium
untuk kontraksi maka pembuluh darah uterus kurang mendapat bentuan untuk
melakukan penghentian perdarahan, sehingga terjadi perdarahan postpartum. Hal
ini dapat terjadi Ketika adanya disfungsi uterus, ataupun partus lama yang
menyebabkan tubuh mulai kelelahan.
3) Tatalaksana
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen
b. Menstimulasi kontraksi uterus dengan cara masase fundus uteri, oksitosin,
misoprostol, kompresi bimanual, kompresi aorta abdominalis, ataupun
pemasangan tampon kondom
c. Jika tindakan diatas gagal maka lakukan ligase arteri uterine, operasi ransel B
lynch, serta histerektomi.

D. Robekan Jalan lahir


1) Etiologi dan Faktor Resiko
Robekan jalan lahir dapat dimulai dari uterus, serviks, vagina, dan robekan
pada perineum. Hal ini dapat terjadi akibat adanya robekan spontan ataupun
robekan ruda paksa
2) Patofisiologi
Robekan pada uterus biasanya terjadi pada bagian dinding uterus yang lemah,
seperti pada jaringan parut (bekas seksio, miomektomi, maupun histerorafi).
Robekan spontan dapat terjadi pada dinding uterus utuh maupun pada jaringan
parut, hal ini bisa terjadi karena pada kala II segmen bawah uterus sangat
teregang sehingga menjadi sangat tipis ditambah adanya kontraksi fisiologis
yang muncul saat persalinan meningkatkan resiko robek pada uterus. Robekan
ruda paksa biasanya terjadi pada persalinan buatan pervagina (foceps, dan
vacum), sehingga adanya tekanan paksa dari eksternal menyebabkan terjadinya
robekan.
3) Tatalaksana
a. Perbaiki keadaan umum pasien
b. Atasi syok dengan pemberian 2 jalur dan usahakan transfus segera.
c. Rujuk ke dokter spesialis obgyn atau dokter spesialis bedah untuk dilakukan
tindakan operatif seperti laparotomi, histerektomi, untuk menghentikan
perdarahan.

E. Tromboemboli
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Emboli paru dan DVT merupakan manifestasi klinis dari tromboemboli yang
dapat mengancam jiwa, terjadinya trombus disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu
stasis vena, injury endotel, dan keadaan hiperkoagulasi.

2) Patofisiologi
Stasis Vena mulai muncul pada trimester pertama kehamilan dan mencapai
puncak pada usia kehamilan 36 minggu. Penurunan kecepatan aliran darah vena
hingga 50 % di tungkai muncul pada usia kehamilan 25-29 minggu dan kembali
normal saat 6 minggu postpartum. Kondisi ini disebabkan oleh hormon
progesteron yang memicu venodilatasi, Selain itu, stasis vena juga disebabkan
oleh kompresi vena cava inferior oleh uterus gravid dan kompresi vena iliaca kiri
oleh arteri illiaca kanan.
Injuri Endotel, persalinan menyebabkan kerusakan vaskuler dan perubahan
pada permukaan uteroplasenta yang memungkinkan peningkatan terjadinya
tromboemboli vena pada periode postpartum. Tindakan forceps, vakum ekstraksi
atau operasi dapat menyebabkan kerusakan intima dan memperbesar fenomena
ini.
Setelah persalinan, kadar C-reactive protein, fibrinogen, platelet dan anti
thrombin meningkat dalam minggu pertama postpartum. Jika curiga adanya
kelainan hemostasis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan minimal 3 bulan
postpartum untuk menghindari pengaruh hemostasis karena kehamilan. PAI-1
dan PAI2 menurun secara cepat pada saat terlepasnya plasenta tetapi PAI-2 masih
dapat ditemukan di sirkulasi tubuh sampai 8 minggu postpartum.

3) Tatalaksana
Wanita dengan riwayat tromboemboli memiliki beberapa resiko tinggi
terjadinya tromboemboli berulang. Resiko tromboemboli vena meningkat pada
saat melahirkan. Kompresi stoking bertahap direkomendasikan selama dan
setelah persalinan pada semua wanita yang memiliki riwayat tromboemboli
sebelumnya. Dan juga, farmakologis tromboprofilaksis postpartum minimal 6
minggu (LMWH atau heparin) direkomendasikan pada semua wanita yang
memiliki riwayat tromboemboli sebelumnya. Sedangkan aspirin tidak
direkomendasikan sebagai tromboprofilaksis.
Pemberian LMWH dan UFH direkomendasikan sebagai terapi awal sampai
diagnosis tromboemboli disingkirkan. tromboprofilaksis pada kehamilan sendiri
juga masih kontroversial karena harus dilihat keuntungan dan kerugiannya.

F. Infeksi jalan lahir


1) Etiologi dan Faktor Resiko
Agen infeksi masuk dalam tubuh pada saat berlangsungnya proses persalinan.
Diantaranya, saat ketuban pecah sebelum maupun saat persalinan berlangsung
sehingga menjadi jembatan masuknya agn infeksi dalam tubuh lewat rahim. Jalan
masuk lainnya adalah dari penolong persalinan sendiri, seperti alat-alat yang
tidak steril digunakan pada saat proses persalinan. Selain itu infeksi dapat terjadi
ketika tidak melaksanakan perilaku personal hygiene yang benar pada luka di
perineum, laserasi pada saluran genital termasuk pada perineum, dinding vagina
dan serviks.
2) Patofisiologi
Reaksi tubuh dapat berupa reaksi lokal dan dapat pula terjadi reaksi umum.
Pada infeksi dengan reaksi umum akan melibatkan syaraf dan metabolik pada
saat itu terjadi reaksi ringan limporetikularis diseluruh tubuh, berupa proliferasi
sel fagosit dan sel pembuat antibodi (limfosit B). Kemudian reaksi lokal yang
disebut inflamasi akut, reaksi ini terus berlangsung selama menjadi proses
pengrusakan jaringan oleh trauma. Bila penyebab pengrusakan jaringan bisa
diberantas, maka sisa jaringan yang rusak disebut debris akan difagositosis dan
dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma
berlebihan, reksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan
terkumpul dalam suatu rongga membentuk abses atau bekumpul dijaringan tubuh
yang lain membentuk flegman (peradangan yang luas dijaringan ikat). Jika
infeksi kritis, terutama yang disebabkan oleh bakteri yang melepaskan
endotoksin, bisa mempresipitasi syok bakteremia (sepsis).

3) Tatalaksana
Episiotomi yang terinfeksi ditatalaksana seperti luka operasi yang terinfeksi
lainnya. Dilakukan drainase, dan pada sebagian besar kasus, jahitan dibuka dan
luka yang terinfeksi dilakukan debridemen. Pada pasien tertentu yang selulitisnya
jelas namun tidak bernanah, dapat diberikan terapi antibiotic spektrum luas
dengan observasi ketat. Dengan terjadinya peregangan, perawatan luka local
diteruskan bersamaan dengan pemberian antibiotik intravena.
Jika metritis ringan terjadi setelah ibu melahirkan pervagina maka rawat jalan
dengan antibiotic oral biasanya cukup. Tetapi untuk infeksi sedang hingga berat
terapi intravena dengan regimen spektrum luas diindikasikan. Imepenem adalah
sebuah carbapenem berspektrum luas yang mencakup Sebagian besar organisme
yang menyebabkan metritis.

G. Infeksi Saluran Kemih


1) Etiologi dan Faktor Resiko
Agen infeksi paling sering adalah Eschercia coli dan Staphylococcus
saprophyticus.
2) Tatalaksana
a. Terapi dosis tunggal sulfametoksasol dan trimethoprim kekuatan ganda 160
mg/800 mg
b. Terapi 3 hari, sulfametoksasol dan trimethoprim kekuatan ganda 160 mg/800
mg 2 kali sehari, nitrofurantoin 100 mg tiap 6 jam, siprofloksasin 250 mg 2
kali sehari.

H. Mastitis
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Mastitis laktasi merupakan peradangan payudara yang terjadi pada masa
laktasi. Faktor penyebab mastitis:
a. Daya tahan tubuh yang lemah dan kurangnya menjaga kebersihan puting
payudara saat menyusui.
b. Infeksi bakteri staphylococcus auereus yang masuk melalui celah atau retakan
putting payudara.
c. Saluran ASI tersumbat tidaksegera diatasi sehingga menjadi mastitis.
d. Puting pada payudara retak/lecet. Hal ini dapat terjadi akibat posisi menyusui
yang tidak benar. Akibatnya puting robek dan retak. Bakteri menjadi lebih
mudah untuk memasuki payudara. Bakteri akan berkembang biak di dalam
payudara dan hal inilah yang menyebabkan infeksi.
e. Payudara tersentuh oleh kulit yang memang mengandung bakteri atau dari
mulut bayi. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam payudara melalui lubang
saluran susu.

2) Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus
(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi
tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan
ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan
kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi.(15)
Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke
lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus
(periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme
yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan
Streptococcus.

3) Tatalaksana
a. Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu yang
merasa ASInya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada
peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti
atau lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu.
b. Edukasi kelanjutan menyusui (termasuk mengosongkan payudara yang
terkena, menyusui lebih sering, dan mengubah posisi makan sering)
c. Kompres hangat (32-36°C air hangat) 15 mnt setiap 2 jam; suhu kamar
dipertahankan pada ~20° C minum air), pada payudara untuk membantu
meringankan pembengkakan payudara dan rasa sakit
d. Mengendalikan peradangan dengan antibiotik salep atau intramuscular atau
injeksi antibiotik intravena, seperti streptomisin, ampisilin
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo.S. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Abdul Saifuddin TR, editor. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono; 2016. 67–75, 157–174

2. Sherwood L. Fisiologi Manusia. 8th ed. Vol. 1. Jakarta: EGC; 2014. 790–810

3. Setiawan SD, Puspitasari RD. Perdarahan Pasca Persalinan ec Inversio Uteri dan Syok
Hipovolemik dengan Histerektomi. J Medula Unila. 2017;7(2):128–30.

4. Fakultas G, Universitas K. Post Partum Hemorrhagic Et Causa Inversio Uteri, Syok


Hemoragik dan Anemia Berat. J Agromed Unila. 2017;4(1):97–102.

5. Budiman. Mayasari D. Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta. J Medula
Unila. 2017;7(3):6–9.

7. Ilmiah J, Kesehatan I. Analisis Faktor Resiko Atonia Uteri. 2019;8487(3):108–10.

8. Prawirohardjo.S. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono; 2014. 264–
279

9. Airlangga MP. Diagnosis dan Tata Laksana Tromboemboli Pada Kehamilan. Qanun
Med. 2017;Vol 1(2):2–9.

10. Tulas V, Kundre R, Bataha Y. Hubungan Perawatan Luka Perineum Dengan Perilaku
Personal Hygiene Ibu Post Partum. J Keperawatan UNSRAT. 2017;5(1):1–2.

11. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah de Jong. 4th ed. J: EGC; 2017. 54–55

12. Burks TF, Shearer S a, Fulton JP, Sobolik CJ. Mastitis (Literature Review). J Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan. 2019;210(2):331–6.

13. Greenbaum, Shirley, Tamar, etc. Underlying Mechanisms of Retained Placenta:


Evidence from a population based cohort study. European Journal of Obstetrics and
Gynecology and Reproductive Biology. 2017; 216(50): 12-17

Anda mungkin juga menyukai