Skenario 3
Npm : 118170062
Kel : 4B
Blok : 6.1
Angakatan : 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GUNUNG JATI
CIREBON
SKENARIO 3
KELUAR DARAH MERAH KEHITAMAN
Seorang perempuan berusia 32 tahun P3A0 diantar bidan Puskesmas ke IGD RS
karena keluar darah dari jalan lahir hingga harus mengganti pembalut setiap 2 jam. Keluhan
disertai keluar bekuan darah, lemas, pandangan berkunang-kunang. Pasien baru melahirkan 2
hari yang lalu pervaginam. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD 100/70, Nadi 98
x/menit, RR 20 x/menit, suhu 37,6 C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis,
lochia tidak berbau, darah merah kehitaman (+). Dokter melakukan penatalaksanaan untuk
mengatasi perdarahan.
4. Mengapa pada PF didapatkan konjungtiva anemis, lochia tidak berbau, darah merah
kehitaman (+)?
Lochia tidak berbau: normalnya memiliki bau seperti cairan menstruasi, tidak berbau
mengindikasikan adanya infeksi dari clamidia.
Lochia terjadi 2 hari setelah melahirkan dengan darah yang berwarna kehitaman
adalah normal.
Jenis-jenis lochia:
Lochia rubra (1-3 hari): berwarna merah (darah)
Lochia sanguino lenta: berwarna merah kekuningan, sisa darah bercampur lendir
Lochia Serosa (8-14 hari): kekuningan–kecoklatan
Lochia parulenta: keluar cairan berbau busuk
Konjungtiva anemis: karena adanya perdarahan > penurunan cairan intravaskular >
Hb turun > suplasi oksigen menurun > metabolisme jaringan menurun > konjungtiva
anemis, lemas
Kompensasi: vasokontriksi > penurunan aliran darah > konjungtiva anemis
Terjadi sistem koagulasi yang menyebabkan , darah merah kehitaman (+)
4. Mengapa pada PF didapatkan konjungtiva anemis, lochia tidak berbau, darah merah
kehitaman (+)?
Infeksi postpartum yang ditemukan pada PF:
Suhu tubuh 37,5 lebih akibat adanya infeksi Streptococcus anaerob (yang masuk
secara eksogen, autogen, dan endogen) biasanya dari urinary tract. Infeksi terjadi
akibat partus yang lama atau macet, persalinan traumatik, kurang baiknya proses
pencegahan infeksi. Gejala: lemah, skait berat, KU buruk, kesadaran menurun,
suhu tubuh naik, nadi naik, sesak napas, lochia berbau dan bernanah, involusi uteri
buruk, PP leukositosis dan ditemukan patogen penyebab.
Infeksi di mammae: mastitis (akibat perubahan hormon)
Infeksi genital: vaginitis, servisitis, ovaritis
MIND MAP
Komplikasi Post-
Partum
Penegakan
Etiologi Faktor Resiko Klasifikasi Tatalaksana Pencegahan
Diagnosis
Primer Sekunder
REFLEKSI DIRI
Alhamdulillah PBL SK 3 pertemuan 1 berjalan dengan lancar. Saya mendapatkan
pemahaman materi mengenai “Komplikasi Post-Partum”. Masih banyak yang perlu saya
pahami kembali dan masih banyak yang perlu saya pelajari. Terima kasih kepada dokter yang
sudah membimbing kami. Semoga ilmu yang didapatkan bermanfaat, aamiin.
3) Involusi uterus
a. Setelah keluarnya plasenta, fundus uteri terletak sedikit dibawah umbilikus
dan terdiri dari miometrium yang ditutupi serosa dan dilapisi desidua basalis.
Pascapartum, segera berat uterus kira-kira 1.000 gram dengan uterus tampak
seperti iskemik.
b. Dua hari pascapartum, uterus mulai berinvolusi dan pada minggu pertama
beratnya sekita 500 gram.
c. Pada minggu ke-2, berat uterus sudah menapai 300 gram dan telah turun
masuk ke pelvis sejati.
d. 4 minggu pascapartum, berat uterus kembali berkurang sehingga beratnya
menjadi 100 gram, uterus sebelum kehamilan.
4) Lokia
Saat awal mas nifas, akan timbul duh vagina yang disebabkan oleh peluruhan
jaringan desidua dengan jumlah duh yang beragam. Duh tersebut dinamakan
lokia yang terdiri dari eritrosit, jaringan desidua, sel epitel, dan bakteri. Lokia
akan ada selama 4-8 minggu pascapersalinan.
Awalnya berwarna merah, lokia rubra karena mengandung cukup banyak
darah. Setelah 3 atau 4 hari lokia menjadi berawarna pucat, lokia serosa. Pada
hari ke-10, lokia tercampur dengan eritrosit sehingga berwarna putih atau putih
kekuningan, lokia alba.
5) Regenerasi Endometrium
Dalam 2 atau 3 hari pasca melahirkan, sisa desidua berdiferensiasi menjadi 2
lapisan, lapiran superficial menjadi nekrotik lalu meluruh dan masuk ke dalam
lokia sedangkan lapisan basal yang berada dekat miometrium tetap utuh menjadi
sumber endometrium baru.
6) Subinvolusi
Subinvolusi adah berhentinya proses involusi. Diikuti dengan memanjangnya
pengeluaran lokia dan perdarahan uterus yang berebihan.
7) Involusi tempat Perlekatan Plasenta
Diperlukan wantu sampai 6 minggu untuk mengeluarkan tempat perlekatan
plasenta. Segera setelah pelahiran, ukuran perlekatan plasenta kira-kira seukuran
telapak kaki tangan lalu akan mengecil sesuai dengan seharusnya.
D. Saluran Kemih
Pascapartum, kandung kemih mengalami peningkatan kapasitas dan relatif tidak
sensitif terhadapt tekanan intravesika sehingga terjadi overdistensi, pengosongan tidak
sempura dan residu urin yang berlebihan. Dalam 2-8 minggu pascapartum, ureter
yang berdilatasi dan pelvis renal kembali ke keadaan sebelum hamil.
E. Peritoneum dan Dinding Abdomen
Ligamentum latum dan rotundum yang mengalami peregangan dan pelonggaran,
memerlukan waktu yang lama untuk pulih. Pada uterus hamil, terjadi ruptur pada serat
elastik kulit dan distensi yang lama, sehingga dinding abdomen akan tetap lunakdan
flaksid dan membutuhkan beberapa minggu untuk dapat kembali normal
F. Komposisi Darah dan Cairan
Selama dan setelah persalinan dapat terjadi leukositosis dan trombositosis yang
bermakna. Hitung sel darah putih didapatkan 30.000/µL, terdapat limfopenia relatif
dan eosinopenia absolut. Normanya, selama beberapa hari pascapartum konsentrasi
hemoglobin dan hematokrit berfluktuasi sedang.
Curah jantung biasanya tetap naik dalam 24-48 jam pascapartum dan akan
menurun sampai ke nilai sebelum hamil dalam 10 hari, frekuensi jantung juga akan
berubah seiring dengan perubahan curah jantung. Sedangkan resistensi vaskular
sistemik tetap dikisaran terendah nilai pada masa kahamilan selama 2 hari
pascapartum dan mulai terus meningkat ke nilai normal.
Perubahan faktor pembekuan darah saat kehamilan akan menetap dalam waktu yg
bervariasi. Fibrinogen plasma dan laju endap darah yang meningkat dipertahankan
minimal melewati 1 minggu pertama.
2) Patofisiologi
Kelemahan miometrium (ditambah dengan penarikan tali pusat tidak
terkendali) menyebabkan fundus melekuk dengan atau tanpa adanya plasenta
yang masih melekat. Hal ini menyebabkan terjadinya inversio uteri.
Uterus harus terus berkontraksi pada saat yang sama untuk mendorong fudus
yang terinversi sebelumnya atau massa fundus-plasenta ke arah bawah, sehingga
makin masuk ke arah segmen bawah uterus. Jika serviks terbuka dan kontraksi
cukup kuat, massa myometrium plasenta dapat terperas ke dalam serviks,
menyebabkan terjadinya inversio komplit (inversio uteri derajat III).
Pada keadaan yang lebih ringan, dinding fundus uteri yang melekuk kedalam
terperangkap secara spontan ke dalam kavum uteri, menyebabkan terjadinya
inversio inkomplit. Pada inversio komplit, setelah fundus melewati serviks,
jaringan serviks berfungsi sebagai lingkaran konstriksi dan segera terjadi edema.
Massa prolaps kemudian membesar secara progresif dan menyumbat vena dan
akhirnya aliran darah arteri, menyebabkan terjadinya edema. Sehingga reposisi
uterus menjadi lebih sulit bila inversio terjadi makin lama. Pada kasus kronis,
dapat terjadi nekrosis dan bahkan dapat meninggalkan jaringan parut.
3) Tatalaksana
a. Melakukan perbaikan keadaan umum pasien
b. Melakukan rujuk ke dokter spesialis obgyn ataupun dokter spesialis bedah
karena diperlukan adanya tindakan reposisi.
Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal
dilanjutkan metode operatif.
Pada kasus yang subakut dan kronis biasanya dilakukan reposisi dengan
metode operatif. Secara manual cara johnson, jones, O-Sullivan secara operatif
dengan cara transabdominal cara huntinton, haultain, transvaginal cars
spinelli, kutsner, subtotal histerektomi.
B. Retensio Plasenta
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Retensio plasenta merupakan salah satu penyebab resiko perdarahan yang
terjadi segera setelah terjadinya persalinan. Berdasarkan penyebabnya retensio
plasenta dapat dibagi menjadi secara fungsional dan patologi anatomi. Secara
fungsional dapat dibagi menjadi 2 yaitu disebabkan karena his yang kurang kuat
atau plasenta yang sukar terlepas dari tempatnya (insersi di sudut tuba) bentuknya
(plasenta membranasea, plasenta anularis) dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta
adhesive.
Secara patologi anatomi dapat dibagi menjadi plasenta akreta, plasenta inkreta,
plasenta perkreta. Sebab-sebab plasenta belum lahir bisa oleh karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan.
Apabila plasenta belum lahir sama sekali, tidak terjadi perdarahan. Jika lepas
sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
2) Patofisiologi
Terdapat 3 mekanisme utama penyebab dari retensio plasenta, yaitu:
a. Invasive Plasenta, perlekatan plasenta yang tidak normal yang disebabkan
karena trauma pada endometrium karena prosedure operasi sebelumnya. Hal
ini menyebabkan kelainan pada perlekatan plasenta mulai dari plasenta
adherent, akreta hingga perkreta. Proses ini menghambat pelepasan plasenta
yang mengarah ke retensio plasenta. Mekanisme ini terdapat pada karakteristik
pasien dan riwayat obstetrik.
b. Hipoperfusi Plasenta, hubungan antara hipoperfusi plasenta dengan retensio
plasenta adalah adanya oxidative stress, yang diakibatkan oleh remodelling
arteri spiral yang tidak lengkap dan plasentasi yang dangkal, hal ini umum
pada hipoperfusi plasenta dengan retensio plasenta. Pada model kedua ini
terdapat pada hipoperfusi plasenta, berkaitan dengan komplikasi kehamilan
terkait plasenta.
c. Kontraktilitas yang tidak Adekuat, tidak adekuatnya kontraksi pada retro-
placental myometrium adalah mekanisme ke tiga yang menyebabkan retensio
plasenta. Pada model ketiga berkaitan dengan persalinan itu sendiri.
3) Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan kasus perdarahan postpartum
yaitu segera meminta pertolongan, kemudian cegah terjadinya syok hemoragik
dengan mencari sumber perdarahan dan segera lakukan tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan sumber perdarahan tersebut.
Teori tatalaksana yang dilakukan untuk perdarahan postpartum adalah ask for
HELP. Segera memninta pertolongan, atau pasien dirujuk ke rumah sakit. Kedua,
Assess and resuscitate dengan melakukan penilaian derajat darah yang keluar
pada pasien lalu lakukan resusitasi cairan menggunakan ringer laktat dengan
tetesan 30 tetes/menit. Sambil melakukan resusitasi juga dilakukan upaya
menentukan etiologi dan penilaian kontraksi uterus. Keempat, massage the uterus
untuk merangsang agar uterus berkontraksi dengan baik. Kelima, oxytocin
infusion/Prostaglandin, dapat diberikan oksitosin 20unit dalam 500 cc ringer
laktat dan transfusi PRC 3 kolf. Keenam, Shift to theatre. Tindakan ini dilakukan
jika perdarahan pada pasien tidak dapat dihentikan dengan terapi yang telah
diberikan. Kemudian, tamponade or uterine packing jika perdarahan masih
berlanjut dan lakukan persiapan tindakan operatif yang dilakukan oleh dokter
spesialis.
C. Atonia Uteri
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Atonia uteri disebabkan karena serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta tidak
berkontraksi.
2) Patofisiologi
Myometrium terdiri dari tiga lapis dan lapisan tengah merupakan bagian yang
terpenting dalam kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum. Lapisan
tengah ini tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-
masing serabut mempunyai 2 buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut
kira-kira membentuk angka delapan. Setelah partus, jika otot berkontraksi maka
akan menjepit pembuluh darah. Ketika terjadi ketidak mampuan myometrium
untuk kontraksi maka pembuluh darah uterus kurang mendapat bentuan untuk
melakukan penghentian perdarahan, sehingga terjadi perdarahan postpartum. Hal
ini dapat terjadi Ketika adanya disfungsi uterus, ataupun partus lama yang
menyebabkan tubuh mulai kelelahan.
3) Tatalaksana
a. Sikap Trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen
b. Menstimulasi kontraksi uterus dengan cara masase fundus uteri, oksitosin,
misoprostol, kompresi bimanual, kompresi aorta abdominalis, ataupun
pemasangan tampon kondom
c. Jika tindakan diatas gagal maka lakukan ligase arteri uterine, operasi ransel B
lynch, serta histerektomi.
E. Tromboemboli
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Emboli paru dan DVT merupakan manifestasi klinis dari tromboemboli yang
dapat mengancam jiwa, terjadinya trombus disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu
stasis vena, injury endotel, dan keadaan hiperkoagulasi.
2) Patofisiologi
Stasis Vena mulai muncul pada trimester pertama kehamilan dan mencapai
puncak pada usia kehamilan 36 minggu. Penurunan kecepatan aliran darah vena
hingga 50 % di tungkai muncul pada usia kehamilan 25-29 minggu dan kembali
normal saat 6 minggu postpartum. Kondisi ini disebabkan oleh hormon
progesteron yang memicu venodilatasi, Selain itu, stasis vena juga disebabkan
oleh kompresi vena cava inferior oleh uterus gravid dan kompresi vena iliaca kiri
oleh arteri illiaca kanan.
Injuri Endotel, persalinan menyebabkan kerusakan vaskuler dan perubahan
pada permukaan uteroplasenta yang memungkinkan peningkatan terjadinya
tromboemboli vena pada periode postpartum. Tindakan forceps, vakum ekstraksi
atau operasi dapat menyebabkan kerusakan intima dan memperbesar fenomena
ini.
Setelah persalinan, kadar C-reactive protein, fibrinogen, platelet dan anti
thrombin meningkat dalam minggu pertama postpartum. Jika curiga adanya
kelainan hemostasis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan minimal 3 bulan
postpartum untuk menghindari pengaruh hemostasis karena kehamilan. PAI-1
dan PAI2 menurun secara cepat pada saat terlepasnya plasenta tetapi PAI-2 masih
dapat ditemukan di sirkulasi tubuh sampai 8 minggu postpartum.
3) Tatalaksana
Wanita dengan riwayat tromboemboli memiliki beberapa resiko tinggi
terjadinya tromboemboli berulang. Resiko tromboemboli vena meningkat pada
saat melahirkan. Kompresi stoking bertahap direkomendasikan selama dan
setelah persalinan pada semua wanita yang memiliki riwayat tromboemboli
sebelumnya. Dan juga, farmakologis tromboprofilaksis postpartum minimal 6
minggu (LMWH atau heparin) direkomendasikan pada semua wanita yang
memiliki riwayat tromboemboli sebelumnya. Sedangkan aspirin tidak
direkomendasikan sebagai tromboprofilaksis.
Pemberian LMWH dan UFH direkomendasikan sebagai terapi awal sampai
diagnosis tromboemboli disingkirkan. tromboprofilaksis pada kehamilan sendiri
juga masih kontroversial karena harus dilihat keuntungan dan kerugiannya.
3) Tatalaksana
Episiotomi yang terinfeksi ditatalaksana seperti luka operasi yang terinfeksi
lainnya. Dilakukan drainase, dan pada sebagian besar kasus, jahitan dibuka dan
luka yang terinfeksi dilakukan debridemen. Pada pasien tertentu yang selulitisnya
jelas namun tidak bernanah, dapat diberikan terapi antibiotic spektrum luas
dengan observasi ketat. Dengan terjadinya peregangan, perawatan luka local
diteruskan bersamaan dengan pemberian antibiotik intravena.
Jika metritis ringan terjadi setelah ibu melahirkan pervagina maka rawat jalan
dengan antibiotic oral biasanya cukup. Tetapi untuk infeksi sedang hingga berat
terapi intravena dengan regimen spektrum luas diindikasikan. Imepenem adalah
sebuah carbapenem berspektrum luas yang mencakup Sebagian besar organisme
yang menyebabkan metritis.
H. Mastitis
1) Etiologi dan Faktor Resiko
Mastitis laktasi merupakan peradangan payudara yang terjadi pada masa
laktasi. Faktor penyebab mastitis:
a. Daya tahan tubuh yang lemah dan kurangnya menjaga kebersihan puting
payudara saat menyusui.
b. Infeksi bakteri staphylococcus auereus yang masuk melalui celah atau retakan
putting payudara.
c. Saluran ASI tersumbat tidaksegera diatasi sehingga menjadi mastitis.
d. Puting pada payudara retak/lecet. Hal ini dapat terjadi akibat posisi menyusui
yang tidak benar. Akibatnya puting robek dan retak. Bakteri menjadi lebih
mudah untuk memasuki payudara. Bakteri akan berkembang biak di dalam
payudara dan hal inilah yang menyebabkan infeksi.
e. Payudara tersentuh oleh kulit yang memang mengandung bakteri atau dari
mulut bayi. Bakteri tersebut dapat masuk ke dalam payudara melalui lubang
saluran susu.
2) Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus
(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi
tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan
ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan
kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi.(15)
Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke
lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus
(periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme
yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan
Streptococcus.
3) Tatalaksana
a. Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu yang
merasa ASInya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada
peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti
atau lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu.
b. Edukasi kelanjutan menyusui (termasuk mengosongkan payudara yang
terkena, menyusui lebih sering, dan mengubah posisi makan sering)
c. Kompres hangat (32-36°C air hangat) 15 mnt setiap 2 jam; suhu kamar
dipertahankan pada ~20° C minum air), pada payudara untuk membantu
meringankan pembengkakan payudara dan rasa sakit
d. Mengendalikan peradangan dengan antibiotik salep atau intramuscular atau
injeksi antibiotik intravena, seperti streptomisin, ampisilin
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo.S. Ilmu Kebidanan. 4th ed. Abdul Saifuddin TR, editor. Jakarta: Bina
Pustaka Sarwono; 2016. 67–75, 157–174
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia. 8th ed. Vol. 1. Jakarta: EGC; 2014. 790–810
3. Setiawan SD, Puspitasari RD. Perdarahan Pasca Persalinan ec Inversio Uteri dan Syok
Hipovolemik dengan Histerektomi. J Medula Unila. 2017;7(2):128–30.
5. Budiman. Mayasari D. Perdarahan Post Partum Dini e.c Retensio Plasenta. J Medula
Unila. 2017;7(3):6–9.
8. Prawirohardjo.S. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono; 2014. 264–
279
9. Airlangga MP. Diagnosis dan Tata Laksana Tromboemboli Pada Kehamilan. Qanun
Med. 2017;Vol 1(2):2–9.
10. Tulas V, Kundre R, Bataha Y. Hubungan Perawatan Luka Perineum Dengan Perilaku
Personal Hygiene Ibu Post Partum. J Keperawatan UNSRAT. 2017;5(1):1–2.
11. Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah de Jong. 4th ed. J: EGC; 2017. 54–55
12. Burks TF, Shearer S a, Fulton JP, Sobolik CJ. Mastitis (Literature Review). J Ilmu
Keperawatan dan Kebidanan. 2019;210(2):331–6.