Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam konteks komunikasi antar manusia biasanya banyak sekali ungkapan yang bisa

dimunculkan. Perbedaan bentuk ekspresi tersebut ada dan digunakan oleh bahasa apapun di

dunia. Untuk mengekspresikan perasaan atau pikirannya, seseorang dapat mengungkapkannya

dengan uslub yang bervariasi. Penggunaan suatu uslub dalam komunikasi biasanya berkaitan

dengan kondisi mukhathab, pesan yang akan disampaikan, dan aspek-aspek kebahasaan lainnya

baik yang bersifat linguistik maupun non-linguistik.

Dalam kesempatan kali ini, penulis akan menyajikan kajian Ilmu Badi’ khususnya

tentang “Ta’kid al-Madh bima Yusybih al-Dzamm dan Ta’kid adz-Dzam bima Yusybih al-

Madh”. Salah satu tujuan uslub badi’ yaitu untuk memperindah makna. Secara leksikal uslub ini

bermakna menguatkan pujian dengan menyerupai celaan. Maka dari itulah kita sebagai penulis

membahas tentang Ta’kid al-Madh bima Yusybih al-Dzamm dan Ta’kīd adz-Dzam bimā Yusybih

al-Madh pada makalah ini, agar mahasiswa khususnya dan umumnya bagi para pembaca mampu

mengetahui dan mempunyai pengetahuan tentang uslub tersebut serta mampu menerjemahkan,

menulis dan mengucapkan ungkapan Bahasa Arab dengan indah.


B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang :

1. Apakah pengertian Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam ?

2. Bagaimanakah bentuk Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam ?

3. Apakah pengertian Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh ?

4. Bagaimanakah bentuk Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh ?

5. Bagaimanakah analisis contoh Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam dan

Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam

2. Untuk mengetahui bentuk Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam

3. Untuk mengetahui pengertian Ta’kīd adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh

4. Untuk mengetahui bentuk Ta’kīd adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh

5. Untuk mengetahui analisis contoh Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam dan

Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’kid Almadh Bima Yusybihu Adz-Dzam

Dalam konteks komunikasi antar manusia biasanya banyak sekali ungkapan yang

bisa dimunculkan. Perbedaan bentuk ekspresi tersebut ada dan digunakan oleh bahasa

apapun di dunia. Untuk mengekspresikan perasaan atau pikirannya, seseorang dapat

mengungkapkannya dengan uslub yang bervariasi. Penggunaan suatu uslub dalam

komunikasi biasanya berkaitan dengan kondisi mukhathab, pesan yang akan

disampaikan, dan aspek-aspek kebahasaan lainnya baik yang bersifat linguistik maupun

non-linguistik.

Ta’kid almadh bima yusybihu addzam merupakan salah satu jenis uslub badi’

yang bertujuan untuk memperindah makna. Secara leksikal, uslub ini bermakna

“Menguatkan Pujian Dengan Menyerupai Celaan.” Sedangkan dalam bahasa Indonesia

ragam muhassinat ma’nawiyah ini disebut Apofasis atau Preterisio adalah gaya bahasa

dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.

Contoh: Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah

menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

Menurut D. Hidayat dalam bukunya Balaghah untuk semua, menyebutkan bahwa

ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam artinya menegaskan pujian dengan ungkapan

yang mengesankan adanya celaan. Dari segi struktur kalimat, uslub dimaksud ditandai

dengan pemakaian kata yang menunjukkan “pengecualian”, seperti hanya, kecuali, dll,

seperti kata Misalnya: Pengusaha Itu Kekayaannya Melimpah, hanya Saja amal
Ibadahnya Tidak Kalah Dengan Para Kiai Di Kota Ini. Ternyata, kalimat setelah kata

‘pengecualian’ merupakan pujian yang berfungsi sebagai ‘penegas’ pada pujian pertama.

Pada awalnya, ketika seseorang akan memuji, dia memilih kata-kata atau

ungkapan yang langsung menunjukkan kepada tujuan tersebut. Akan tetapi seiring

dengan perkembangan budaya dan tingkat intelektual manusia, cara pengungkapan pujian

tersebut bervariasi. Orang mulai berpaling dari yang jelas kepada yang samar, dari yang

hakiki kepada majazi, dan dari yang mudah dipahami kepada yang sulit dipahami. Salah

satu variasi tersebut adalah Ta’kid almadh bima yusybihu addzam.

B. Bentuk Uslub Ta’kid Almadh Bima Yusybihu Adz-Dzam

Memperkuat pujian dengan kalimat yang menyerupai celaan itu terbagi kepada

dua bentuk/macam yaitu:

1. Mengecualikan sifat pujian dari sifat celaan yang dinafikan

Jenis pertama berupa mengecualikan suatu sifat terpuji, dari sifat

celaan yang dinafikan. Dalam kaidah ilmu balaghah, jenis pertama ini bisa

didefinisikan dengan:

‫ح رفقيي أتيمقةر تمقاَ رمقين ر‬


‫ُ برتتيققردييرر‬،‫صقفتةة تذمم تمينفريِيقرة تعينقهه‬ ‫أتين تهيستتيتثْتنىَ رمين ر‬
‫صفتةة تمقيد ر‬

َ‫هدهخيولرتهاَ فرييتها‬

Artinya:

“Mengecualikan sifat sanjungan dari sifat pencelaan yang dinafikan

dengan cara bahwa sifat sanjungan itu termasuk kepada sifat pencelaan.”

Dalam ungkapan keseharian kita sering mendengar ucapan

seseorang: “dia tidak bodoh, tapi dia seorang yang cerdas.” Ungkapan
jenis ini banyak kita temukan dalam bahasa arab baik dalam syiir maupun

natsar.

Ibnu Rumi berkata:

‫ تل تتقتهع ايلتعييهن تعتلىَ رشيبرهره‬# ‫ب رستوىَ أتنيِهه‬ ‫لتيي ت‬


ْ‫س برره تعيي ب‬

Artinya:

“Tidak ada cacat padanya, selain mata tidak akan melihat orang yang

serupa dengan dia.”

Dan juga perkataan penyair lain:

‫ يهبتييهن تعيجتز اليِشاَركررييتن تعرن الششيكرر‬# ‫ب فريي تميعهريوفررهيم تغييتر أتنيِهه‬


‫تولت تعيي ت‬
Artinya:

“Tiada cacat/cela dalam kebaikan mereka, hanya saja akan tampak

ketidakmampuan orang-orang yang bersyukur untuk mensyukurinya.”

Pada contoh pertama, Ibnur-Rumi mengawali pembicaraannya

dengan meniadakan kecacatan dari orang yang dipujinya, lalu ia

datangkan huruf istisna’, yaitu siwaa (َ‫ )سوى‬sehingga sedikit memberi

kesan kepada pendengar bahwa ada kecacatan pada orang yang dipuji itu.

Ibnu-Rumi akan berani menjelaskannya, dan pendengarpun lalu

memahami bahwa kata-kata setelah huruf istisna’ itu sifat pujian, namun

mereka terkecoh dengan uslub tersebut. Pendengarpun akan tahu bahwa

Ibnur-Rumi telah mengelabuinya. Jadi, ia tidak menyebutkan kecacatan,


melainkan justru menguatkan pujiannya dengan kalimat yang memberi

kesan mencela. Demikian juga halnya dengan contoh kedua.1

2. Menetapkan sifat pujian bagi sesuatu, setelah itu mendatangkan huruf

istisna, diikuti sifat pujian yang lain.

Dalam ilmu badi’, jenis kedua ini biasa didefinisikan sebagai:

‫ُ تليهاَ صققفة مققدح‬،َ‫ُ و ذكر أداة إستثْناَء بعدها‬، ‫إثباَت صفة مدح لشيئ معين‬

.‫أخرىَ للشيء نفسه‬

Artinya:

“Menetapkan sifat sanjungan terhadap sesuatu dan sesudahnya

didatangkan perangkat pengecualian yang diikuti oleh sifat sanjungan lain

yang dikecualikan dari semisalnya.”

Contoh untuk bentuk kedua ini adalah sebagai berikut:

‫ب بتييتد أتننرىَ رمين قهتريي ة‬


‫ش‬ ‫صهح ايلتعتر ر‬
‫أتتناَ أيف ت‬
“Saya adalah orang yang paling fasih mengucapkan huruf dhad,

hanya saja aku dari suku Quraisy.”

Perkataan Rasulullah SAW : saya adalah orang yang paling fashih

mengucapkan huruf dhad” merupakan suatu pujian, kemudian diiringi

huruf pengecualian (adat istisna’) yaitu : “hanya saja” yang mustastna-nya

(lafadz yang dikecualikan) yaitu : “suku quraisy”. Juga pujian, karena

kaum quraisy adalah bangsa Arab yang paling mulia.2

1
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, terj. Oleh Mujiyo Nurkholis dkk, (Bandung : Sinar
Baru Algensindo, 2016), hlm. 420
2
Muhammad Zamroji, Mutiara Balaghah juz 2, (Blitar: Pena Santri, 2017), hlm. 127
Dan seperti ucapan Al-Nabighah Al-Ja’diy :

َ‫ تجتوابْد فتتماَ يهيبرقىَ تعتلىَ ايلتماَرل تباَقرييا‬# ‫ت أتيختلقههه تغييتر أتنيِهه‬


‫فتيتىَ تكهملت ي‬

Artinya:

“Dia adalah pemuda yang akhlaknya sempurna, hanya saja dia

seorang dermawan, maka dia tidak menyisakan hartanya”.

Kadang-kadang lafadz ‫ لكققن‬menempati tempatnya adat ististna’

dalam jenis ini, tetapi jenis yang pertama itu lebih sempurna.3

C. Pengertian Ta’kid Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh

Ta’kid adz-Dzam bima Yusybih al-Madh adalah pengungkapan kata-kata dengan

menekankan makna adz-dzam (celaan) menggunakan kalimat yang mirip (serupa) dengan

pujian tetapi yang dimaksudkan adalah celaan.

D. Bentuk Uslub Ta’kid Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh

Memperkuat celaan dengan kalimat yang menyerupai pujian itu terbagi kepada

dua bentuk/macam yaitu:

1. Menafikan (meniadakan) sifat pujian lalu diikuti setelah itu adat istitsna’

yang diikuti sifat celaan juga. Contoh sebagaimana disebutkan dalam

ungkapan:

ِ‫لت فضتل للريقتويم إررليِ أنتيِهم لت يتعيرفرهون لرلجاَررحقهي‬

3
Abi Fatih Manchfudzi al-Qandaniy, Intisari Ilmu Balaghah, (Yogyakarta: Lentera Kreasindo, 2015), hlm. 295
Artinya : “Tidak ada keutamaan bagi kaum itu, kecuali mereka

tidak mengetahui (menghormati) hak-hak bertetangga”.

Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam syair:

‫لت رعزةيِ لتهتهم بتين العتشاَئرر رغير أتتن تجاَرتهم ذلتريل‬

Artinya : “Tidak ada kejayaan mereka antar sesama suku, kecuali

tetangga mereka menjadi hina”.

2. Menetapkan sifat celaan kepada sesuatu lalu diikuti setelah itu adat

istitsna’ yang diikuti sifat celaan juga. Contoh sebagaimana disebutkan

dalam ungkapan:

‫ىَ أنتهيِ هجبتاَن يهتهون تعليتيه رالهتواتهن‬ ‫لئتريم ال ي‬


‫طباَ ت ر‬
‫ع رسو ت‬
Artinya : “Tercela Perangainya kecuali dia penakut menganggap

enteng (mudah) sesuatu”.

Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam ungkapan:

‫الجاَرههل تعدهو شنتفسه لرتكنرهيِ صدريقِ الشسفهتتاَء‬

Artinya : “Orang bodoh adalah musuh dirinya sendiri kecuali ia

menjadi teman orang-orang yang dungu”.

E. analisis contoh Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam dan Ta’kid adz-Dzam bima

Yusybihu al-Madh

1. Uslub Ta’kid almadh bima yusybihu adz-dzam

َ‫ فأنستني الياَم أهل وموطنا‬# ‫ول عيب فيه غير أني قصدته‬ 
Tidak ada cela padanya, hanya saja aku akan menemuinya, maka
hari-hari telah melupakan aku dari keluarga dan negara

Seorang penyair menetapkan sifat terpuji pada orang yang dipuji,

kemudian ia mendatangkan istisna’ ‫غير‬ dengan sebuah pujian yang lain


untuk mengecoh pembaca. Sebenarnya ia tidak menyebutkan
kecacatannya, melainkan justru menguatkan pujiannya dengan kalimat
yang memberi kesan mencela. Maknanya yaitu orang yang dipuji benar-
benar bisa melupakan hari-harinya dari keluarga maupun negara.

‫ ولكنهاَ يوم الهياَج صخور‬# ‫ووجوه كأرهاَر الرياَض نضاَرة‬ 

Wajah wajah itu berseri seperti bunga di taman. Akan tetapi, pada
musim perang bagaikan batu besar yang keras

Seorang penyair menetapkan sifat pujian pada orang lain,

kemudian ia mendatangkan istisna’ ‫ لكققن‬dengan pujian yang lain.


Sebenarnya ia tidak menyebutkan kecacatannya, melainkan justru
menguatkan pujiannya dengan kalimat yang memberi kesan mencela.
Maknanya orang itu sangat berseri seri wajahnya.

‫ تعاَب بنسياَن الحبة والوطن‬# ‫ول عيب فيكم غير أن ضيوفكم‬ 

Tidak ada cacat bagi kalian, hanya sayang tamu-tamu kalian,


memang dicela karena lupa, terhadap kekasih dan tanah air

Seorang penyair menafikan sifat celaan pada mukhotob, kemudian

ia mendatangkan istisna’ ‫ غير‬dengan pujian yang lain. Kalimat ini berupa


pujian dengan di serupakan pada celaan. Maknanya penyair memuji sang
mukhotob yang dapat membuat tamu-tamunya melupakan istri dan
negaranya.
‫هم فرساَن الكلم ال انهم ساَدة امجاَد‬ 

Mereka itu sangat cepat bicaranya, namun mereka adalah orang-


orang ningrat dan agung

Seorang penyair menetapkan pujian pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫ ال‬. Sebenarnya ia tidak menyebutkan


kecacatannya, melainkan justru menguatkan pujiannya dengan kalimat
pujian lain. Maknanya orang yang dipuji adalah orang yang bisa berbicara
cepat apalagi dia adalah keturunan ningrat.

‫ يسلو عن الهل والوطاَن والحشم‬# ‫ل عيب فيهم سوي أن النزيل بهم‬ 

Tiada aib pada mereka, hanya saja orang orang yang singgah
pada mereka terhibur dari keluarga, negara dan pramuwisma

Seorang penyair menetapkan menafikan celaan pada orang lain,

kemudian ia mendatangkan istisna’ ‫ سققوي‬dengan pujian yang lain.


Sebenarnya ia tidak menyebutkan kecacatannya, melainkan justru
menguatkan pujiannya dengan kalimat yang memberi kesan mencela.
Maknanya orang yang dipuji benar-benar dapat menghibur orang yang
singgah padanya.

‫ل عيب في الروض ال انه عليل‬ 

Tiada cela bagi taman itu kecuali anginnya lembut dan pelan
Seorang penyair menafikan celaan pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫ ال‬dengan pujian yang lain. Sebenarnya ia tidak


menyebutkan kecacatannya, melainkan justru menguatkan pujiannya
dengan kalimat yang memberi kesan mencela. Maknanya taman itu sangat
indah dengan anginnya yang sejuk.

2. Uslub Ta’kid adz-Dzam bima Yusybihu al-Madh

‫ل خير في هؤلء القوم ال انهم يعيبون زماَنهم والعيب فيهم‬ 

Tiada kebaikan pada kaum itu, hanya saja mereka mencela zaman
dan mereka juga cela

Seorang penyair menafikan pujian pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫ال‬ dengan celaan yang lain. Kalimat ini berupa
celaan yang diserupakan dengan pujian. Maknanya orang yang dicela
adalah orang yang tidak bisa berperilaku baik pada zamannya.

‫هو بذئ اللساَن غير أن صدره مجمع الضغاَن‬ 

Ia adalah orang yang kotor lidahnya, hanya saja dadanya


merupakan tempat berkumpulnya kedengkian

Seorang penyair menetapkan celaan pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫غير‬ dengan celaan yang lain. Kalimat ini juga
berupa celaan yang diserupakan dengan pujian. Maknanya orang yang
dicela adalah orang yang benar-benar dipenuhi kedengkian.
‫ ول ذنب لي ال العل والفضاَئل‬# ‫تعد ذنوبي عند قوم كثْيرة‬ 

Oleh suatu kaum dosaku dibilang banyak, padahal tiada dosa


bagiku kecuali dosa-dosa yang tinggi dan utama

Seorang penyair menetapkan celaan pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫ال‬ dengan celaan yang lain. Kalimat ini juga
berupa celaan yang diserupakan dengan pujian. Maknanya orang yang
dicela adalah orang yang mempunyai banyak dosa yang besar.

‫ل حسن في المنزل ال انه مظلم ضيقِ الحجرات‬ 

Tiada keindahan di rumah, hanya saja gelap dan sempit kamarnya

Seorang penyair menafikan pujian pada kamar orang lain,

kemudian ia mendatangkan istisna’ ‫ ال‬dengan celaan yang lain. Kalimat


ini berupa celaan yang diserupakan dengan pujian. Maknanya orang yang
dicela adalah orang yang mempunyai rumah yang indah sekaligus
kamarnya yang gelap dan sempit.

‫الكلم كثْير التعقيد سوي أنه مبتذل المعاَني‬ 

Kalimat itu berbelit-belit, di samping maknanya hambar

Seorang penyair menetapkan celaan pada orang lain, kemudian ia

mendatangkan istisna’ ‫ سوي‬dengan celaan yang lain. Kalimat ini berupa


celaan yang diserupakan dengan pujian. Maknanya orang yang dicela
adalah orang yang berbicara berbelit belit terlebih pembicaraannya tidak
bermakna.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Jadi Ta’kid almadh bima yusybihu addzam merupakan salah satu jenis uslub badi’

yang bertujuan untuk memperindah makna. Secara leksikal, uslub ini bermakna

“Menguatkan Pujian Dengan Menyerupai Celaan dan Pada awalnya, ketika seseorang

akan memuji, dia memilih kata-kata atau ungkapan yang langsung menunjukkan kepada

tujuan tersebut. Akan tetapi seiring dengan perkembangan budaya dan tingkat intelektual

manusia, cara pengungkapan pujian tersebut bervariasi.

Orang mulai berpaling dari yang jelas kepada yang samar, dari yang hakiki

kepada majazi, dan dari yang mudah dipahami kepada yang sulit dipahami. Salah satu

variasi tersebut adalah Ta’kid almadh bima yusybihu addzam dan bagiannya ada dua

bagian: mengecualikan suatu sifat terpuji, dari sifat celaan yang dinafikan dan

Menetapkan sifat pujian, kemudian diikuti oleh istitsna’ dan sifat pujian lainnya.

Demikian pula Ta’kid adz-Dzam bima Yusybih al-Madh Yaitu pengungkapan

kata-kata dengan menekankan makna adz-dzam (celaan) menggunakan kalimat yang

mirip (serupa) dengan pujian tetapi yang dimaksudkan adalah celaan.

B. Saran

Demikian penjelasan tentang Ta’kid almadh bima yusybihu addzam seperti inilah

yang dapat kami sampaikan, dan dalam penulisan makalah ini tentunya kami masih
banyak kekurangan baik dari segi teknis maupun isi materinya, untuk itu kami mohon

maaf sebesar-besarnya, kritik dan saran saudara sangat berharga bagi kami demi

menunjang pengetahuan kami dan juga kami berterimakasih atas perhatian saudara yang

meluangkan waktunya untuk membaca makalah kami. sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin. 2016. al-Balaghah al-Wadhihah, terj. Oleh Mujiyo Nurkholis
dkk. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Al-Qandaniy, Abi Fatih Manchfudzi. 2015. Intisari Ilmu Balaghah. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo

Zamroji, Muhammad. 2017. Mutiara Balaghah juz 2. Blitar: Pena Santri

Anda mungkin juga menyukai