Anda di halaman 1dari 23

PRAKTIKUM I

PENENTUAN SERAPAN MAKSIMAL LARUTAN BERWARNA

A. Tujuan Praktikum
Praktikum kali ini memiliki tujuan untuk menentukan serapan maksimal larutan
berwarna dengan konsentrasi tertentu.

B. Prinsip Dasar
Senyawa berwarna mempunyai spektrum absorpsi cahaya tertentu.

C. Landasan Teori
Cobalt nitrate hexahydrate (Co(NO3)2.6H2O merupakan larutan garam berwarna merah
kecokelatan, termasuk ke dalam senyawa anorganik yang larut dalam air dan pelarut polar
lainnya.1 Suatu larutan berwarna merah karena larutan tersebut menyerap cahaya pada
kisaran kuning-biru dari spektrum cahaya tampak sedang warna merah tidak diserap.
Cahaya tampak biru memiliki kisaran panjang gelombang 435-500 nm, sedangkan warna
kuning pada kisaran panjang gelombang 500-570 nm.2 Untuk menetapkan kadar larutan
berwarna merah, maka perlu dilakukan pengukuran cahaya pada kisaran panjang
gelombang 435-570 nm. Hasil pengukuran serapan cahaya dari suatu larutan berwarna
dapat menunjukkan serapan maksimal yaitu nilai serapan tertinggi pada suatu panjang
gelombang tertentu.

D. Alat dan Bahan


Alat :
1. Spektrofotometer
2. Kuvet
Bahan :
1. Cobalt nitrate 1%

E. Cara Kerja
1. Siapkan spektrofotometer
2. Lakukan pembacaan serapan larutan (A) pada panjang gelombang antara 450-550
nm dengan interval 10 nm. Pada setiap pembacaan pada suatu panjang gelombang
alat harus selalu ditera kembali

1
3. Buat kurva dengan panjang gelombang (nm) sebagai sumbu x dan serapan sebagai
sumbu y.

F. Hasil Pengamatan
No. λ (nm) Absorbansi
1 450 0,076
2 460 0,103
3 470 0,12
4 480 0,135
5 490 0,147
6 500 0,165
7 510 0,176
8 520 0,169
9 530 0,147
10 540 0,111
11 550 0,067
Tabel 1 Hasil Pengukuran Serapan Cobalt Nitrate 1%

0.2
0.18 0.176
0.165 0.169
0.16 0.147 0.147
0.14 0.135
0.12
Absorbansi (A)

0.12 0.111
0.103
0.1
0.08 0.076 0.067
0.06
0.04
0.02
0
450 460 470 480 490 500 510 520 530 540 550
λ (nm)

Gambar 1 Kurva Hasil Pengukuran Serapan maksimum Cobalt Nitrate 1%

G. Pembahasan
Pada praktikum ini, digunakan cobalt nitrate 1% sebagai larutan berwarna yang diukur
serapannya pada kisaran panjang gelombang 450-550 nm dengan interval 10 nm.
Berdasarkan hasil penggukuran menggunakan spektrofotometer serapan maksimal sebesar
0,176 pada panjang gelombang 510 nm. Hal tersebut sesuai dengan hasil penggukuran
yang diperoleh Raza et.al bahwa serapan maksimal dari larutan cobalt nitrate adalah pada
panjang gelombang 510 nm.1

2
H. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan serapan maksimal larutan cobalt nitrate
1% adalah 0,176 pada panjang gelombang 510 nm. Hasil serapan maksimum ini dapat
dilakukan untuk pengujian absorbansi pada tahap selanjunya.

I. Daftar Pustaka
1. Raza, A., Khan, H.N., Alom, N.J., & Masheer, U.H. To determine the
concentration of cobalt (II) in the cobalt (II) nitrate hexahydarate solution by uv-
Visible spectroscopy. J of App Chem. 2019; 12(12): 22-27.
2. Harahap, I.P. & Sri, W.A.J. 2013. Praktikum dasar laboratorium biomedik
program magister ilmu biomedik fakultas kedokteran ui. Jakarta. Departemen
Biokimia dan Biologi Molekuler. 18 hal.

3
PRAKTIKUM II
PEMBUKTIAN HUKUM BEER-LAMBERT

A. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk membuktikan hukum Beer-Lambert mengenai
kadar senyawa dalam larutan yang sebanding dengan jumlah cahaya yang diserap oleh
larutan tersebut.

B. Prinsip
Jumlah cahaya yang diserap oleh suatu larutan pada panjang gelombang tertentu
sebanding dengan kadar senyawa dalam larutan.

C. Landasan Teori
Spektrofotometer merupakan alat untuk mempelajari interaksi sinar
elektromagnetik dengan materi, gelombang elektromagnetik yang digunakan berkisar
180-800 nm. Spektrum elektromagnetik meliputi panjang gelombang atau energi yang
sangat besar. Untuk keperluan analisis spektrofotometri, cahaya yang digunakan berada
pada daerah lembayung ultra (ultraviolet) dan sinar tampak. Bila seberkas radisi
mengenai sasaran tertentu, maka radiasi akan terserap, dipancarkan, dihamburkan
direfleksikan dan difluoresensikan. Proses yang berkaitan dengan spektrofotometer
adalah penyerapan (absorpsi) dan pancaran (transmisi)1.
Spektrofotometer selain merupakan alat pengukuran kualitatif juga merupakan
alat pengukuran kuantitatif. Prinsip penggunaan spektrum fotometer tersebut
berdasarkan hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert menyatakan bahwa intensitas sinar
monokromatik yang melalui medium penyerap akan menurun secara ekponensial
terhadap tebal atau panjang medium penyerap. Sedangkan menurut hukum Beer,
intensitas sinar monokromatik yang melalui medium penyerap akan menurun secara
eksponensial terhadap peningkatan konsentrasi medium penyerap. Sehingga hukum
Lambert-Beer menyatakan bahwa konsentrasi larutan standar berbanding langsung
dengan nilai serapan cahaya (absorban). Hukum ini berlaku bagi sinar monokromatik
yaitu cahaya dengan panjang gelombang tunggal atau yang memiliki pita panjang
gelombang yang berdekatan1.

4
D. Alat dan Bahan
Alat:
1. Spektrofotometer
2. Tabung reaksi
3. Micro tube 1,5 mL
4. Kuvet plastik
Bahan:
1. Larutan Kobalt Nitrat dengan kadar 0,5%; 1%; 1,5%; 2%; 2,5%; 3%
2. Larutan Uji (U1, U2)
3. Aquadest

E. Cara Kerja
1. Menyiapkan spektrofotometer dan tabung reaksi yang berisi larutan kobalt-nitrat
dengan berbagai konsentrasi.
2. Memasukkan kuvet yang berisi aquadest ke dalam spektrofotometer untuk
menstandardisasi alat tersebut.
3. Mengeluarkan kuvet yang berisi aquadest dari spektrofotometer, lalu menggantinya
dengan larutan Kobalt-Nitrat.
4. Membaca serapan larutan pada panjang gelombang 510 nm dengan menggunakan
spektrofotometer, pembacaan absorbansi dengan duplo untuk setiap larutan uji.

F. Hasil Pengamatan
Tabel 1 Hasil pembacaan absorbansi kobalt-nitrat pada λ 510 nm
Absorbansi
Sampel Konsentrasi (%)
I II Rerata
Blanko 0 0 0 0
S1 0,5 0,09 0,086 0,088
S2 1 0,176 0,173 0,1745
S3 1,5 0,255 0,258 0,2565
S4 2 0,345 0,354 0,3495
S5 2,5 0,434 0,425 0,4295
S6 3 0,523 0,523 0,523

5
Kurva Standar Cobalt Nitrat
0.6
0.5
f(x) = 0.173357142857143 x + 0.000107142857142861

Absorbansi (A)
0.4 R² = 0.999776802535931
Kurva Standar Cobalt Ni-
0.3 trat
Linear (Kurva Standar
0.2 Cobalt Nitrat)
0.1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Konsentrasi (%)

Gambar 1 Kurva standar Cobalt Nitrat pada λ=510 nm

Untuk mengetahui kadar / konsentrasi larutan kobalt nitrat pada tabung uji 1 & 2,
didapatkan memplot absorbansi pembacaan dengan spektrofotometer pada kurva standar
kobalt nitrat yang telah didapatkan sebelumnya seperti pada tabel berikut:

Tabel 2 Pengukuran absorbansi larutan uji

Absorbansi Konsentrasi (%)


Sampel
I II Rerata
U1 0,131 0,133 0,132 0,7606
U2 0,386 0,386 0,386 2,2254
Contoh perhitungan :
y = 0,1743x + 0,0001
0,0132 = 0,1734x + 0,0001
0,132−0,0001
Konsentrasi =
0 , 1734
Konsentrasi = 0,7606 %
G. Pembahasan
Pada percobaan pembuktian hukum Lambert-Beer dilakukan pembacaan larutan
berwarna berupa kobalt nitrat. Pengukuran absorbansi terhadap larutan dilakukan pada
panjang gelombang 510 nm yang merupakan hasil serapan panjang gelombang maksimum
larutan kobalt nitrat pada percobaan sebelumnya. Selanjutnya nilai absorbansi dari enam
konsentrasi kobalt nitrat yang telah disiapkan selanjutnya dibuat kurva standar dan
dihitung persamaan garis antara kadar larutan dengan nilai absorbannya.
Metode yang digunakan dalam percobaan ini menghitung persamaan garis dengan
metode grafik, kadar larutan kobalt nitrat sebagai sumbu x dan absorban sebagai sumbu y,
sehingga persamaan garisnya adalah y = 0,1734x - 0,0001 dengan nilai R2 = 0,9998. Pada
kurva standar “Hubungan Konsentrasi Larutan dan Absorbansi Kobalt Nitrat”
menunjukkan bahwa peningkatan kadar larutan berbanding lurus dengan absorbansi pada

6
panjang gelombang () 510 nm, sehingga hukum Beer-Lambert berlaku yaitu jumlah
cahaya yang diserap oleh suatu larutan pada panjang gelombang tertentu sebanding
dengan kadar senyawa dalam larutan. Nilai R2 menggambarkan hubungan antara
konsentrasi kobalt nitrat dan aborbansi yang didapat memiliki hubungan liniear yang baik
karena mendekati nilai 1.
Persamaan garis linear kobalt nitrat selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar
larutan uji (U1, U2). Larutan uji diambil dan dimasukkan ke dalam kuvet. Nilai absorban
dibaca dengan spektrofotometer. Pengukuran absorban sampel diulang sebanyak duplo,
tujuannya mendapatkan kadar larutan yang tepat. Nilai absorban diplotkan kedalam kurva
standar sebagai variabel-y, maka didapatkan nilai x, nilai x itulah kadar larutan uji. Dari
percobaan didapatkan kadar larutan uji U1 dan U2 adalah 0,7606% dan 2,2254%.
Penyebab kesalahan sistematik yang sering terjadi dalam analisis menggunakan
spektrofotometer adalah serapan oleh pelarut. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan
blanko, yaitu larutan yang berisi matrik selain komponen yang akan dianalisis. Kesalahan
kedua serapan oleh kuvet. Kuvet yang biasa digunakan adalah dari bahan gelas atau
kuarsa. Dibandingkan dengan kuvet dari bahan gelas, kuvet kuarsa memberikan kualitas
yang lebih baik, namun tentu saja harganya jauh lebih mahal. Serapan oleh kuvet ini
diatasi dengan penggunaan jenis, ukuran, dan bahan kuvet yang sama untuk tempat blanko
dan sampel. Kesalahan ketiga fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi yang
sangat rendah atau sangat tinggi. Hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi,
sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan (melalui pengenceran atau
pemekatan)1.

H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa serapan
larutannya berbanding lurus dengan kadar zatnya sehingga hukum Beer-Lambert terbukti
berlaku. Selanjutnya kadar suatu zat dalam larutan dapat diketahui dengan
membandingkannya dengan kadar standar pada kurva standar.

I. Daftar Pustaka
1. Bintang M. Biokimia : Teknik Penelitian. 1st ed. Jakarta : Erlangga; 2010.
2. Harahap, I.P. & Sri, W.A.J. 2013. Praktikum dasar laboratorium biomedik program
magister ilmu biomedik fakultas kedokteran ui. Jakarta. Departemen Biokimia dan
Biologi Molekuler. 18 hal

7
PRAKTIKUM III
PENETAPAN KADAR PROTEIN DENGAN METODE BIURET

A. TUJUAN
Praktikum kali ini bertujuan menetapkan kadar protein serum dengan
menggunakan metode biuret.

B. DASAR TEORI
Penentuan penetapan kadar protein ini berdasarkan reaksi Biuret, yaitu reaksi yang
terjadi antara protein dengan pereaksi Biuret (larutan encer CuSO 4 dalam alkali kuat)
yang menghasilkan warna biru-ungu (lembayung). Pada kondisi basa, Cu2+ dapat
membentuk kompleks dengan ikatan peptida (-CO-NH-) suatu protein, sehingga kadar
protein sampel dapat ditetapkan dengan spektrofotometer. Batas deteksi metode ini
adalah 0,2-2,0 mg.
Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak memerlukan
biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasi warna sangat sedikit
bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode turbidimetri sehingga absorpsi
warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa yang berinteraksi dengan pereaksi
Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari sumber non-protein. Kerugiannya adalah
kurang sensitif dibandingkan dengan Lowry, konsentrasi garam ammonium yang
sangat tinggi, adanya variasi warna untuk beberapa protein tertentu, bila bahan
mengandung lemak dan karbohidrat yang sangat tinggi dapat menyebabkan larutan
menjadi buram sehingga tidak dapat ditembus cahaya UV.

C. METODE
a. Bahan dan Alat
1. Serum/plasma
2. Pereaksi Biuret
3. Larutan standar albumin sapi (BSA) 6G/100 mL.
4. Peralatan gelas
5. Pipet
6. Alat spektrofotometer

8
b. Cara Kerja
Membuat larutan uji, standar, dan blanko dengan ketentuan seperti pada tabel
berikut :
Tabung Uji Standar Blanko
Serum/plasma 0,1 mL - -
Larutan standar - 0,1 mL -
Air suling - - 0,1 mL
Pereaksi biuret 5,0 mL 5,0 mL 5,0 mL
Campur dengan baik. Diamkan pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian
baca serapannya pada Panjang gelombang 545 nm.
Perhitungan
AU −AB 6 5 ,1 100
Kadar protein serum (g/dL) = X¿ ¿X X
AS− AB 100 5 ,1 0 , 1

D. HASIL
Tabel 1 Hasil pengukuran kadar protein dengan metode biuret
Larutan Absorbansi 1 Absorbansi 2 Absorbansi Rata-rata Kadar
Uji 1 0,438 0,444 0,441 5,64
Uji 2 0,724 0,725 0,7245 10,28
Standar 0,456 0,469 0,4625 -
Blanko 0,096 - - -
Perhitungan Kadar
a. Larutan Uji 1
0,441−0,096 6 5 ,1 100
Kadar protein serum (g/dL) = X¿ ¿X X
0,4625−0,096 100 5 ,1 0 , 1
= 5,64 g/dL
b. Larutan Uji 2
0,7245−0,096 6 5 ,1 100
Kadar protein serum (g/dL) = X¿ ¿X X
0,4625−0,096 100 5 ,1 0 , 1
= 10,28 g/dL

E. PEMBAHASAN
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, maka didapatkan kadar protein
serum masing-masing larutan uji adalah 5,64 g/dL dan 10,28 g/dL. Hasil absorbansi

9
masing-masing larutan uji menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar atau konsentrasi
larutan uji tersebut, maka nilai absorbansi yang didapatkan akan semakin tinggi. Hal
ini sesuai dengan hokum Lambert-Beer.
Penetapan kadar protein dengan metode biuret didasarkan pada adanya ikatan
peptide pada suatu protein yang akan membentuk kompleks dengan pereaksi biuret.
Pereaksi biuret terdiri dari larutan tembaga sulfat encer dalam alkali kuat. Penambahan
ini akan menyebabkan terbentuknya warna lembayung pada larutan uji karena
terbentuk senyawa kompleks antara Cu 2+ dan N dari molekul ikatan peptida yaitu
gugus peptida (-CO-NH-). Semakin banyak atau semakin panjang ikatan peptida dalam
protein maka intensitas warna lembayung akan semakin kuat.

F. KESIMPULAN
1. Kadar protein serum masing-masing larutan uji adalah 5,64 g/dL dan 10,28
g/dL.
2. Semakin tinggi kadar atau konsentrasi larutan uji tersebut, maka nilai
absorbansi yang didapatkan akan semakin tinggi.
3. Semakin banyak atau semakin panjang ikatan peptida dalam protein maka
intensitas warna lembayung akan semakin kuat.

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Alexander R. R., Griffiths J. M., Wikinson M. L. (1985). Basic Biochemical
Methods. New York: John Wiley and Sons, Inc.
2. Winarno, F. G. (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka.

10
PRAKTIKUM IV
PENETAPAN KADAR PROTEIN DENGAN METODE CHRISTIAN-WABURG

A. Tujuan Praktikum
Praktikum kali ini bertujuan menetapkan kadar protein pada panjang gelombang 280.

B. Prinsip Dasar
Protein menyerap cahaya pada daerah ultraviolet dengan panjang gelombang 280
nm. Serapan cahaya terutama disebabkan oleh adanya residu asam amino triptofan dan
tirosin yang terdapat dalam protein tersebut.

C. Landasan Teori
Pengukuran kadar protein menggunakan pengukuran langsung absorbansi pada 280
nm masih merupakan salah satu uji biokimia yang paling banyak dilakukan untuk
menentukan kadar protein. Beberapa keunggulan uji tersebut adalah pengerjaannya
yang cepat, tidak ada reagen yang diperlukan, tidak ada inkubasi atau langkah
persiapan lain yang terlibat dan sampel protein dapat dipulihkan lebih lanjut, jika
diperlukan, untuk aplikasi hilir.1
Komposisi kimiawi protein seperti jumlah dan jenis asam amino akan
mempengaruhi nilai absorbansi. Seberapa banyak protein yang menyerap cahaya pada
panjang gelombang 280 nm tergantung pada jumlah asam amino tirosin dan triptofan.
Bagian cincin aromatik dari kedua asam amino tersebut memiliki kemampuan
penyerapan yang baik terhadap panjang gelombang 280 nm. Jadi protein dengan berat
molekul yang sama dapat memiliki absorbansi yang sangat berbeda karena memiliki
kandungan triptofan dan tirosin yang sangat berbeda. Absorbansi UV dari rantai
samping aromatic juga dipengaruhi oleh struktur protein. Oleh karena itu, kondisi
yang mempengaruhi struktur seperti suhu pH, kekuatan ionik atau keberadaan deterjen
dapat mempengaruhi kemampuan residu aromatic untuk menyerap cahaya pada 280
nm dan mengubah nilai kadar protein. Albumin protein serum sapi (BSA) merupakan
standar umum yang digunakan sebagai pembanding.2

D. Alat dan Bahan


Alat :
1. Spektrofotometer

11
2. Kuvet
3. Peralatan gelas
4. Pipet
Bahan :
1. Larutan standar albumin sapi (BSA) mengandung 1 mg/Ml
2. Larutan uji protein

E. Cara Kerja
1. Pipetkan ke dalam tabung reaksi
Tabung Standar Uji
0 0,05 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 1 U1 U2
Standar - 0,05 0,1 0,2 mL 0,3 0,4 0,5 1 mL - -
BSA 1 mL mL mL mL mL
mg/mL
Akuades 1 mL 0,95 0,9 0,8 mL 0,7 0,6 0,5 - - -
mL mL mL mL mL
Larutan uji - - - - - - - - 1 1
mL mL

2. Baca serapan pada panjang gelombang 280 nm;


3. Buat kurva standar BSA dengan mengguakan kadar BSA sebagai sumbu x dan
serapan sebagai sumbu y;
4. Hitung kadar protein larutan uji dengan membandingkan serapan larutan uji
terhadap kurva standar BSA.

F. Hasil Pengamatan
Tabel 1 Hasil Pengukuran Nilai Absorbansi pada λ 280
Sampel Konsentrasi (µg/mL) Absorbansi Aterkoreksi
I II Rerata
Blanko 0 0,004 0,003 0,0035 0
S1 50 0,038 0,037 0,0375 0,034
S2 100 0,066 0,066 0,066 0,0625
S3 200 0,124 0,125 0,1245 0,121
S4 300 0,19 0,195 0,1925 0,189
S5 400 0,257 0,259 0,258 0,2545
S6 500 0,321 0,321 0,321 0,3175
S7 1000 0,633 0,642 0,6375 0,634
U1 371,1666667 0,221 0,23 0,2255 0,222
U2 176,1666667 0,109 0,108 0,1085 0,105

12
Kurva Standar BSA
Kurva Standar BSA Linear (Kurva Standar BSA)
0.7
0.6 f(x) = 0.000634613434727503 x − 0.000720532319391648
0.5 R² = 0.999866560296967
Absorbansi (A) 0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 200 400 600 800 1000 1200

Konsentrasi (µg/mL)

Gambar 1 Kurva Standar BSA


Contoh perhitungan :
y = 0,0006x + 0,0007
0,222 = 0,0006x + 0,0007
0,222−0,0007
Konsentrasi =
0,0006
Konsentrasi = 371,167 µg/mL

G. Pembahasan
Pada praktikum ini, digunakan BSA sebagai larutan standar dengan tujuh
konsentrasi berbeda yaitu 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5 dan 1 mg/mL. Sementara itu,
terdapat dua sampel yang perlu diketahui kadar proteinnya. Berdasarkan hasil
perhitungan kurva korelasi linear diperoleh persamaan y = 0,0006x – 0,0007 dengan
nilai regresi sebesar 0,9999. Dengan menggunakan persamaan tersebut dilakukan
perhitungan kadar konsentrasi kedua sample U1 dan U2. Kadar protein U1 371,167
µg/mL dan U2 176,167 µg/mL. Persamaan linear tersebut sangat kuat untuk
memprediksi kadar protein kedua sample karena nilai regresi mendekati 1.

H. Kesimpulan
Menggunakan rumus persamaan linear dari kurva standar larutan BSA diketahui
kadar protein sampel 1 (U1) 371,167 µg/mL dan sampel 2 U2 176,167 µg/mL.

I. Daftar Pustaka

13
1. ThermoFisher Scientific. A theoretical and practical guide for spectrophotometric
determination of protein concentration at 280 nm [Internet]. 2018 (update 2018;
cited 2020 Jul 16). Available from:
https://assets.thermofisher.com/TFS-Assets/BID/Technical-Notes/spectrophotome
tric-determination-protein-concentrations-280nm-technote.pdf
2. GE Health Life Science. Handbook spectrophotometry [Internet]. 2012 (update
2012; cited 2020 Jul 160. Available from:
https://www.sigmaaldrich.com/content/dam/sigma-aldrich/docs/Sigma-Aldrich/
General_Information/1/ge-spectrophotometry.pdf
3. Harahap, I.P. & Sri, W.A.J. 2013. Praktikum dasar laboratorium biomedik
program magister ilmu biomedik fakultas kedokteran ui. Jakarta. Departemen
Biokimia dan Biologi Molekuler. 18 hal.

14
PRAKTIKUM V
PENETAPAN KADAR PROTEIN DENGAN MIKROASSAI (BRADFORD)

A. Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk menentukan kadar protein dalam larutan uji dengan
menggunakan metode Bradford.

B. Prinsip
Perubahan warna biru berlian Commasie G 250 dalam asam encer sebanding dengan
pengikatan zat warna dengan protein.

C. Landasan Teori
Protein merupakan markromolekul yang terbentuk dari asam amino yang tersusun dari
atom nitrogen, karbon, hidrogen dan oksigen yang dihubungkan oleh ikatan peptida.
Dalam makhluk hidup, protein berperan sebagai pembentuk struktur sel dan beberapa jenis
protein memiliki peran fisiologis. Berdasarkan bentuk molekulnya, protein digolongkan
menjadi protein globular (albumin, globulin, hemoglobin) dan protein serabut (keratin
pada rambut dan fibroin pada sutra). Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein globular
sangat mudah larut dalam air sedangkan protein keratin tidak larut air.berdasarkan
strukturnya, protein dibentuk oleh struktur primer, sekunder, tersier, kuartener.
Pengukuran kadar protein umumnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara
kuatitafif dan kuantitatif. Uji kualitatif dapat dilakukan untuk mengetahui keberadaan atau
jenis protein dalam suatu bahan, sedangkan uji kuantitatif dapat dilakukan untuk
mngetahui jumlah kandungan protein dalam suatu bahan. Contoh metode yang termasuk
dalam kategori kualitatif antara lain reaksi Xantoprotein, Hopkins-Cole, Millon, dan
sakaguchi, sedangkan yang termasuk dalam kategori kuantitatif antara lain metode
Kjeldahl, Lowry, dan Bradford. Pada percobaain ini dilakukan pengukuran kadar protein
dalam suatu larutan dengan metode Bradford. Metode Bradford merupakan metode
analisa kadar protein yang didasarkan pada pengukuran absorbansi protein dalam suatu
larutan yang telah ditambahkan pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB) G-250 berkisar
dari 465 nm ke 595 nm. Uji Bradford sangat cepat dan akurat, sehingga direkomendasikan
utuk penggunaan umum terutama untuk penentuan kadar protein dari fraksi sel dan
menentukan konsentrasi protein untuk elektroforesis gel.

15
Pengikatan antara protein dan pewarna tersebut menyebabkan perubahan warna CBB
yang berwarna merah dalam kondisi asam menjadi biru. Selama proses pengikatan
kompleks protein dan pewarna, terjadi pemberian elektron bebas dari perwarna CBB
merah ke protein yang mengandung residu asam amino dengan rantai samping aromatik
(tirosin, triptofan, dan fenilalanin) atau bersifat basa (arginin, histidin, dan leusin). Hal
tersebut menyebabkan lapisan hidrofobik protein berikatan dengan bagian non-polar
pewarna melalui gaya van der waals yang berujung pada mendekatnya posisi positif
protein ke bagian yang bermuatan negatif dari pewarna. Pengikatan protein menyebabkan
perubahan warna dari merah kecoklatan (reagen coomassie dalam keadaan bebas) dengan
(λmax = 465 nm) menjadi biru dengan (λmax = 595 nm). Perubahan menjadi warna biru
tersebut terus bersifat stabil karena terjadinya penstabilan anion dari pewarna biru
commassie oleh kation dari pewarna merah coomassie.
Terdapat dua jenis assay protein dengan metode Bradford ini, yaitu standard assay
yang cocok digunakan untuk pengukuran kadar protein dengan kisaran 10-100µg, dan
microassay yang dapat mendeteksi protein dengan kisaran 1-10 µg. Metode Bradford
memiliki ketelitian yang cukup tinggi, cepat, dan efisien dengan pengikatan protein dan
pewarna terjadi setelah kurang lebih 2 menit, serta stabilitas warna yang dapat berlangsung
selama kurang lebih 1 jam. Kelemahan uji Bradford adalah memiliki kurva liniear pada
rentang pendek, biasaya 2-120 µg/mL, sehingga perlu pengenceran sampel sebelum
analisis. Selain itu juga reaksi terhambat jika dalam sampel ada detergen.

D. Alat dan Bahan


1. Zat warna biru Coomassie (Bio-Rad Lab) dilarutkan dalam asam fosfat dan
methanol
2. Larutan standar albumin sapi (BSA) mengandung 25 µg/mL
3. Larutan uji serum
4. Spektrofotometer
5. Peralatan gelas
6. Pipet mikro

E. Cara Kerja
1. Siapkan standar BSA yang diperlukan dalam rentang konsentrasi 0; 2,5; 5; 10; 15
dan 25µg/mL dalam tabung 1,5mL yang terpisah dari larutan stndar 25 µg dengan
penambahan aquadest.

16
2. Tambahkan pereaksi Bradford (berisi pewarna Commasie Brilliant Blue) pada
larutan standar dan larutan uji (U1 dan U2).
3. Homogenkan campuran larutan dengan vortex beberapa saat.
4. Baca absorbansi pada panjang gelombang 595 nm.
5. Plot larutan standar dalam kurva liniear dan lakukan analisis terhadap larutan uji
dengan metode grafik.

F. Hasil pengamatan
Tabel 1 Hasil pembacaan kurva standar BSA dengan metode Bradford
Sampel Konsentrasi (µg/mL) Absorbansi Aterkoreksi
I II Rerata
blanko 0 0 0 0 0
S1 2,5 0,068 0,081 0,0745 0,0745
S2 5 0,328 0,192 0,26 0,26
S3 10 0,464 0,361 0,4125 0,4125
S4 15 0,672 0,523 0,5975 0,5975
S5 20 0,815 0,766 0,7905 0,7905

0.9
0.8
0.7 f(x) = 0.0394189473684211 x + 0.010917543859649
R² = 0.990980424753547
0.6
Absorbansi (A)

0.5
0.4 Kurva Standar BSA Brad-
ford
0.3
Linear (Kurva Standar
0.2 BSA Bradford)
0.1
0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi BSA ((µg/mL)

Gambar 1 Kurva standar BSA dengan metode Bradford


Tabel 2 Hasil pembacaan konsentrasi protein larutan uji dengan metode Bradford
Sampel Absorbansi Aterkoreksi Konsentrasi
I II Rerata (µg/mL)
U1 0,418 0,303 0,3605 0,3605 8,8731
U2 0,751 0,721 0,736 0,736 18,4036
Contoh perhitungan :
y = 0,0394x + 0,0109
0,3605 = 0,0394x + 0,0109
0,3605−0,0109
Konsentrasi =
0,0394
Konsentrasi = 8,8731 µg/mL

17
G. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan, didapatkan kurva liniear BSA dengan
persamaan y = 0,0394x + 0,0109 dengan nilai R2 = 0,991. Hal tersebut menunjukkan
bahwa percobaan tersebut berhasil dengan memberikan kurva liniear yang baik karena
memiliki nilai R2 yang mendekati 1, sehingga kurva standar dapat digunakan untuk
interpretasi intrapolasi larutan uji. Berdasarkan percobaan diketahui bahwa larutan uji U1
memiliki konsentras protein sebesar 8,8731 µg/mL sedangkan U2 memiliki konsentrasi
sebesar 18,4036 µg/mL. Hal ini membuktikan bahwa peengujian larutan uji masih dapt
dilakukan yaitu dalam rentang deteksi uji Bradford yaitu 5-200 µg protein1.
Dari beberapa metode pengukuran protein, uji Bradford merupakan uji yang sering
digunakan dalam lab biokimia. Hal tersebut dikarenakan nilai ketelitian dari uji tersebut
cukup tinggi akibat koefisien penghentian kompleks larutan BSA berjalan konstan selama
rentang konsentrasi 10 kali lipat. Rentang linier sampel protein dari 0-20 µg/mL
menunjukkan bahwa preparasi standar masih dalam rentang liniear uji Bradford yaitu 2-
120 µg/mL. Keuntungan lain dari uji Bradford adalah uji tersebut lebih cepat karena
langkah-langkah pencampuan reagen dapat diulang dalam beberapa menit sehingga dapat
mengefektifkan waktu percobaan1.
Kelemahan utama uji Bradford adalah kekhususan reagennya yang dapat
mengakibatkan variasi respon test untuk protein yang berbeda. Oleh karena itu, dianjurkan
untuk memilih protein yang memberikan nilai absorbansi mendekati konsentrasi sampel
protein yang diujikan. Selain hal tersebut, meningkatnya konsentrasi detergen dalam
larutan protein juga menyebabkan terganggunya pengukuran konsentrasi protein dengan
metode ini. Salah satu contoh detergen tersebut adalah sodium dodesil sulfat (SDS) yang
sering ditemukan dalam ekstrak protein karena pada umumnya SDS digunakan untuk
mengeluarkan isi sel dengan cara merusak lapisan ganda membran lipid2.
Larutan BSA adalah protein yang paling berlimpah dalam serum. Larutan ini
berfungsi dalam transportasi asam lemak, menjaga cairan agar tidak bocor keluar dari
sistem peredaran darah, dan peran terbatas dalam pemeliharaan pH. Larutan BSA sering
digunakan untuk membantu menstabilkan larutan encer enzim di laboratorium atau untuk
mencegah antigen non-spesifik mengikat antibodi. Larutan BSA dan IGg adalah larutan
standar yang biasa digunakan untuk menentukan kadar protein dengan metode Bradford3.

18
H. Kesimpulan
Pengukuran kadar protein dengan metode Bradford pada percobaan menunjukkan
bahwa uji tersebut telah berhasil digunakan untuk mengetahui kadar protein pada larutan
uji dengan kisaran antara 1-100µg/mL yaitu U1 sebesar 8,8731 µg/mL dan U2 sebesar
18,4036 µg/mL.

I. Daftar Pustaka
1. Bintang M. Biokimia : Teknik Penelitian. 1st ed. Jakarta : Erlangga; 2010.
2. Walker JM. Methods in Molecular Biology : New Protein Techniques. Vol 3. New
Jersey : Humana Press; 1988.
3. Walker JM. The protein protocols handbook. 2nd ed. New Jersey : Humana Press;
2002
4. Harahap, I.P. & Sri, W.A.J. 2013. Praktikum dasar laboratorium biomedik program
magister ilmu biomedik fakultas kedokteran ui. Jakarta. Departemen Biokimia dan
Biologi Molekuler. 18 hal

19
PRAKTIKUM VI
UJI PEROKSIDA LIPID DALAM CAIRAN BIOLOGI

A. TUJUAN
Praktikum kali ini bertujuan menetapkan kadar peroksida lipid dalam cairan
biologis.

B. DASAR TEORI
Lipid merupakan senyawa ester dari asam lemak dengan gliserol. Lipid bersifat
tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, kloroform,
dan benzena. Asam lemak penyusun lipid dapat digolongkan menjadi dua, yaitu asam
lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak jenuh merupakan asam lemak
yang tidak memiliki ikatan rangkap. Pada suhu ruang, lipid yang mengandung asam
lemak jenuh akan memiliki titik lebur yang lebih tinggi, sehingga memiliki bentuk
padat. Sedangkan lipid cenderung memiliki bentuk cair karena tingginya kandungan
asam lemak yang tidak jenuh yang memiliki satu atau lebih ikatan rangkap diantara
atom-atom karbonnya, sehingga mempunyai titik lebur yang rendah.
Asam lemak tidak jenuh jamak (Poly Unsaturated Fatty Acids) dapat mengalami
proses peroksidasi menjadi peroksida lipid. PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acids) pada
manusia disintesis dari MUFA (Monounsaturated Fatty Acid), melalui penambahan
ikatan rangkap antara ikatan rangkap yang sudah ada dan gugus karboksil. Proses ini
menghasilkan asam lemak ω-9. Peroksidasi lipid adalah reaksi penyerangan radikal
bebas terhadap asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) yang mengandung sedikitnya
tiga ikatan rangkap. Reaksi ini dapat terjadi secara alami di dalam tubuh yang
diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas secara endogen dari proses metabolisme
di dalam tubuh. Peroksidasi lipid diinisiasi oleh radikal bebas seperti radikal anion
superoksida, radikal hidroksil dan radikal peroksil.
Reaksi peroksidasi lipid selanjutnya mengalami dekomposisi menjadi
malondialdehid (MDA). MDA merupakan produk akhir proses peroksidasi lipid dan
yang paling sering digunakan untuk mengukur kadar peroksidasi lipid. Adanya
malonaldehid dapat diidentifikasi dengan asam tiobarbiturat (TBA) yang akan
membentuk kompleks berwarna pink, sehingga dapat ditetapkan secara
spektrofotometri. Pengujian MDA dilakukan dengan TBA diukur menggunakan

20
spektrofotometri dengan serapan cahaya pada panjang gelombang 532 nm. Reaksi
yang terjadi antara malonaldehid dengan TBA adalah sebagai berikut.

C. METODE
a. Bahan dan Alat
1. Serum
2. Larutan asam trikloroasetat (TCA) 10%
7. Larutan TBA 0,67%
8. Peralatan gelas
9. Pipet
10. Alat spektrofotometer
b. Cara Kerja
Membuat larutan uji dan blanko dengan ketentuan seperti pada tabel berikut.
Bahan Uji Blanko
Serum 1 mL -
Akuades - 1 mL
Larutan TCA 10%, dingin 2 mL 2 mL
Kocok, pisahkan dengan sentrifugasi, ambil supernatant
Larutan TBA 0,67% 3 mL 3 mL
Masukkan penangas mendidih, 10 menit. Dinginkan. Baca serapan pada Panjang
gelombang 532 nm.

Perhitungan
Auji−Ablanko
Kadar MDA = M

(ℇ = 153.000 M-1 cm-1)

21
D. HASIL
Tabel Hasil Pengukuran Absorbansi lipid peroksidasi
Larutan Absorbansi 1 Absorbansi 2 Absorbansi Rata-rata Kadar
Uji 1 0,048 0,056 0,052 169,935
Uji 2 0,082 0,056 0,0455 297,386
Blanko 0,026 - 0,026 -

Perhitungan Kadar
a. Larutan Uji 1
0,052−0,026
Kadar MDA = x 10-9
153000
= 169,935 nM
b. Larutan Uji 2
0,0455−0,026
Kadar MDA = x 10-9
153000
= 297,386 nM

E. PEMBAHASAN
(MDA) merupakan senyawa yang bertindak sebagai indikator peroksidasi lipid.
MDA terbentuk dari peroksidasi lipid pada membrane sel melalui reaksi radikal bebas
(radikal hidroksi) dengan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Radikal bebas adalah
atom atau molekul yang memiliki electron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Zat
ini sangat reaktif dan tidak stabil sehingga cenderung mengambil satu elektron dari
molekul lain di dekatnya untuk mencapai kestabilan yang menyebabkan reaksi berantai
yang dapat mengakibatkan cedera sel. Dari percobaan yang dilakukan, kadar MDA
pada masing-masing larutan uji adalah sebesar 169,935 nM dan 297,386 nM.
Pada praktikum ini digunakan TCA 10% untuk penetapan kadar MDA. TCA 10%
berfungsi sebagai agen presipitasi. Ion negatif dari TCA akan bergabung dengan
protein yang sedang berada pada kondisi sebagai kation (pH larutan dalam kondisi
asam hingga pH isoelektrik protein) hingga membentuk garam protein.
Selanjutnya setelah disentrifugasi dan supernatantnya diambil dan tambahkan
larutan TBA 0,67% yang telah dipanaskan. Tujuan pemanasan adalah agar TBA segera
bereaksi dengan supernatant dan memberikan warna pink yang menandakan bahwa

22
mengandung malondialdehida (MDA). Kemampuan TBA bereaksi dengan aldehida
atau keton, karena adanya atom karbon nomor 5 (C-5) TBA yang reaktif.
Larutan uji kedua ditambahkan senyawa radikal bebas TBHP (tert-butyl-
hydroperoxide), sementara larutan uji pertama tidak ditambahkan senyawa TBHP.
Hasil akhir menunjukkan bahwa larutan uji kedua memiliki warna yang lebih pink
dibandingkan larutan uji pertama (bening). Hal ini disebabkan larutan uji kedua
memiliki lebih banyak senyawa MDA akibat radikal bebas TBHP, sehingga lebih
banyak menghasilkan senyawa MDA-TBA adduct sebagai hasil ikatan dari MDA
dengan TBA (thiobarbituric acid).

F. KESIMPULAN
1. Kadar MDA yang didapat dari masing-masing larutan uji adalah sebesar
169,935 nM dan 297,386 nM.
2. Larutan uji dikatakan mengandung MDA jika dihasilkan warna merah pada
akhir reaksi.
3. Larutan uji kedua memiliki warna yang lebih pink dibandingkan larutan uji
pertama (bening) karena larutan uji kedua memiliki lebih banyak senyawa
MDA akibat radikal bebas TBHP, sehingga lebih banyak menghasilkan
senyawa MDA-TBA adduct sebagai hasil ikatan dari MDA dengan TBA
(thiobarbituric acid).

G. DAFTAR PUSTAKA
1. Halliwel, B., J.M.C. Gutteridge. (1999). Free radicals in Biology and Medicine.
New York: Oxford University Press.
2. Winarno F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

23

Anda mungkin juga menyukai