Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TERMODINAMIKA MATERIAL

TEKNIK PENGUKURAN TERMAL MENGGUNAKAN DSC, DTA, dan TGA

Dosen Pengampu : Dr. Priyono S.Si., M.Si.


Mata Kuliah : Termodinamika Material
Kelompok :4
Nama Anggota :
- Dhani Hasan (24040121140136)
- Mohammad Shofiyuddin (24040121120027)
- Ignasius Bernadi (24040121130078)
Jurusan : S1 - Fisika

DEPARTEMEN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2023
November, 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada Kita semua, sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah Termodinamika
Material yang berjudul " Teknik Pengukuran Termal Menggunakan DSC, DTA, dan DTA".
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Termodinamika Material
yang diampu oleh Bapak Dr. Priyono, M.Si. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah. Oleh karena itu, Kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
melengkapi kekurangan dalam makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak - pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.

Semarang, 26 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................... Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................... Error! Bookmark not defined.
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................ Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................1
2.1 Pengertian DSC, DTA, dan TGA..........................................................................................3
2.2 Jenis - jenis DSC, DTA, dan TGA.......................................................................................3
2.3 Prinsip Kerja DSC, DTA, dan TGA ....................................................................................3
2.4 Aplikasi DSC, DTA dan TGA............................................................................................4
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................3
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................3
3.2 Saran....................................................................................................................................3

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan suatu tenik analisis termal dimana
perbedaan pada aliran panas atau daya panas pada sampel dan standar (referensi) dipantau
terhadap waktu atau temperatur, sedangkan pada sampel dengan atmosfer telah diprogram.
Differential Thermal Analysis (DTA) adalah analisis termal yang menggunakan acuan
sebagai acuan untuk membandingkan hasil. Bahan referensi ini biasanya merupakan bahan
inert. Sampel dan bahan referensi dipanaskan secara bersamaan di satu tempat, perbedaan
antara suhu sampel dan suhu referensi dicatat selama siklus pemanasan dan pendinginan.
TGA merupakan pengukuran perubahan berat suatu bahan sebagai fungsi waktu. Hasil
analisis berupa rekaman diagram yang kontinu dimana reaksi dekomposisi.
Penerapan DSC, DTA, dan DTA di industri sangat berguna bagi keperluan tertentu, seperti:
analisis obat, ilmu pangan, pengujian titik leleh material, mengkarakterisasi stabilitas termal
polimer dan serat, dsb.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan teknik pengukuran DSC, DTA, dan TGA?
1.2.2 Apakah jenis - jenis DSC, DTA, dan TGA?
1.2.3 Bagaimana prinsip kerja dari DSC, DTA, dan TGA?
1.2.4 Bagaimana aplikasi dari DSC, DTA, dan TGA?

1.3 Tujuan Penelitian


1.1.1 Memahami pengetian teknik pengukuran DSC, DTA, dan TGA.
1.1.2 Memahami jenis - jenis DSC, DTA, dan TGA.
1.1.3 Mengetahui prinsip kerja dari DSC, DTA, dan TGA.
1.1.4 Mengetahui beberapa aplikasi dari DSC, DTA, dan TGA.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Differential Scanning Calorimetry (DSC)


2.1.1 Pengertian Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Differential Scanning Calorimetry (DSC) adalah teknik termoanalisis yang
digunakan untuk mempelajari sifat termal polimer menggunakan kalorimeter
pemindaian diferensial. Dalam proses ini, perbedaan jumlah panas yang diperlukan
untuk menaikkan suhu sampel dan suhu acuan diukur sebagai fungsi suhu. Sampel
dan referensi akan dipertahankan pada suhu yang sama selama percobaan. Kurva
DSC diplot berdasarkan fluks panas versus suhu atau waktu. Transisi termal
polimer dapat ditentukan dengan teknik ini. DSC banyak digunakan untuk
penentuan perilaku dekomposisi polimer (Sindhu dkk, 2015).
Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan suatu tenik analisis
termal dimana perbedaan pada aliran panas atau daya panas pada sampel dan
standar (referensi) dipantau terhadap waktu atau temperatur, sedangkan pada
sampel dengn atmosfer telah diprogram (Peter dan Zuzana, 1996).
DSC ada tiga jenis, yaitu:
1. Heat flux DSC
2. Power compensation DSC (heat flow)
3. Hyper DSC (heat flow)
2.1.2 Jenis - Jenis DSC
1. Heat flux DSC
Sampel dan referensinya dihubungkan dengna jalur aliran panas dengan
tahanan yang rendah (Bhadesia, 2002). Sampel dan referensi berada pada jalur
furnace yang sama atau satu. Perubahan entalpi atau kapasita panas pada
sampel menyebabkan perbedaan temperatur relatif terhadap referensi.
Perbedaan temperatur ini direkam dan dihubungkan dengan perubahan entalpi
pada sampel menggunakan hasil uji kalibrasi (Bhadesia, 2002). Ini merupakan
modifikasi dari DTA dengan perbedaan hanya pada sampel dan referensi yang

2
memiliki jalur aliran panas yang bagus. Kelebihan energi yang terjadi antara
sampel dan referensi dihantarkan menggunakan penghubung dari metal
sehingga hanya terjadi sedikit perbedaan temperatur antara keduanya.
Perbedaan temperatur sampel dan referensi proporsional terhadap aliran panas
antara keduanya (Bhadesia, 2002).

Gambar 3. Heat flux DSC (5)


Karena termokopel tidak menempel langsung pada spesimen maka akan
terdapat perbedaan antara panas pada spesimen dengan yang terukur sehingga
∆𝑇 tidak sama dengan 𝑇𝑠 − 𝑇𝑟 dimana 𝑇𝑠 adalah temperatur sampel dan 𝑇𝑟
adalah temperatur referensi. Cara mengatasinya dengan mempertahankan pada
temperatur 𝑇 ′ (temperatur transisi) dan direkam dengan kurva DSC terhadap
kesetimbangan. Cara ini membutuhkan alat yang lebih rumit atau dengan cara
referensi yang dibiarkan kosong pada percobaan pertama dan mengisinya
dengan referensi pada percobaan kedua sehingga selisih antara yang pertama
dengan kedua adalah ∆𝑇𝑟 (Bhadesia, 2002).
2. Power compensation DSC

Gambar 4. Skema power compensation DSC

3
Sampel dan referensi diletakkan pada tempat yang berbeda dengan furnace
yang terpisah. Keuntungannya bahannya lebih ringan sehingga kecepatan
responnya lebih cepat dan kecepatan panas 500 oC/menit. Ketika reaksi muncul,
energi diakumulasi atau dihilangkan untuk mengompensasi perubahan energi
pada keuda furnace. Waktu konstan 1,5 detik. Cruible terbuat dari alumunium
(Klancnik dkk, 2010).

Gambar 5. Diagram blok dari alat power compensation DSC


Bagian kiri merupakan blok diagram rangkaian differential temperature
control, sedangkan bagian kanan merupakan blok diagram rangkaian pngendali
temperatur rata – rata. Di rangkaian pengendali temperatur rata – rata heater
secara otomatis di-adjust sehingga rata – rata temperatur sampel dan referensi
naik secara linier. Sedangkan pengendali temperatur differential berguna
sebagai rangkaian kendali yang memantau perbedaan temperatur antara sampel
dan referensi dan secara otomatis akan meng-adjust power baik tabung
referensi maupun sampel untuk mempertahankan agar temperatur yang sama.
Hasil termogram akan menunjukkan sumbu-x sebagai temperatur sampel dan
perbedaan power supply, sedangkan sumbu-y adalah perbedaan dua heater.

4
Gambar 6. Gambaran idela tiga proses yang dapat diamati pada DSC
Ketika ∆H positif (reaksi endotermik), alat pemanas sampel berenergi dan
sinyal positif akan teramati sedangkan ketika ∆H negatif alat pemanas referensi
berenergi dan sinyal negatif teramati. Daerah puncak DSC sebanding dengan
jumlah sampel. Reaksi panasnya hampir sama dengan DTA, dapat dilihat
sebagai berikut :
Peak area (A) = ±∆𝐻𝑚𝐾 dimana m = massa sampel dan K = faktor kalibrasi.
3. Hyper disk DSC
Merupakan tipe power kompensasi DSC terbaru dnegan resolusi yang
tinggi. Memiliki sensitifitas yagn tinggi dan memiliki kecepatan panas
500K/menit (Klancnik dkk, 2010).
2.1.3 Prinsip Kerja DSC
Prinsip kerjanya sangat sederhana dimana satu pan diisi dengan sampel uji,
sedangkan pan yang lain diisi dengan material referensi. Kedua pan berada diatas
heater. Kemudian dengan memberikan perintah melalui komputer, heater akan
dinyalakan dan sekaligus menentukan specific heat yang diinginkan. Melalui
pemrograman komputer, kecepatan panas akan dikendalikan yang tentu saja panas
yang ada dideteksi dengan sensor temperatur yang kemudian sinyalnya diterima
oleh komputer dan komputer akan memberi perintah pada heater untuk
mempertahankan specific heat-nya.
Pada dasarnya heat flux DSC dan power compensation DSC memiliki
persamaan prinsip. Perbedaannya hanya pada sistem pengukuran diferensial energi,
dimana pada power compensation DSC menggunakan heater kedua (secondary

5
heater) untuk mengkompensasi perbedaan temperatur antara sampel dan referensi.
Sedangkan pada heat flux DSC teknik, flux panas akan melalui sampel dan referensi
dipantau pada output.

Gambar 1. Skema prinsip kerja heat flux DSC (Zhou dkk, 2010).

Gambar 2. Skema prinsip kerja power compensation DSC (Zhou dkk, 2010).

Dari gambar keduanya dapat dilihat bahwa dalam heat flux DSC
yang dilakukan hanyalah pengendalian pada satu heater dan direkam sehingga
masih dimungkinkan terjadi perbedaan temperatur antara sampel dan referensi.
Sedangkan pada power compensation DSC dilakukan pengendalian pada heater
referensi untuk mengatasi perbedaan temperatur yang terjadi sehingga keduanya
memiliki perbedaan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 1.1 berikut :

6
Tabel 1.1 Perbedaan antara heat flow dan heat flux DSC

2.1.4 Skema Alat DSC

Gambar 7. Alat Differential Scanning Calorimetry (DSC)

Gambar 8. Skema Alat DSC

2.1.5 Faktor - faktor yang mempengaruhi DSC


Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji DSC yakni ada dua yaitu Faktor
Instrumental dan Karakteristik suatu Sampel. Faktor Instrumental terdiri dari laju

7
pemanasan tungku, kecepatan pencatatan atau grafik, suasana tungku, geometri
tempat sampel/lokasi sensor, sensitivitas sistem pencatatan, dan komposisi wadah
sampel. Sedangkan faktor karakteristik suatu sampel terdiri dari jumlah sampel,
sifat sampel, pengemasan sampel, kelarutan gas yang dihasilkan dalam sampel,
ukuran partikel, panas reaksi, dan konduktivitas termal (Kodre dkk, 2014).
2.1.6 Beberapa Aplikasi DSC
1. Penentuan konduktivitas Panas Komposit Matriks Silikon Karbida
Menggunakan DSC
Komposit matriks keramik SiCf/SiC (KMK SiC) telah digunakan
dalam berbagai aplikasi seperti komponen mesin turbin, proteksi panas saat
melintasi atmosfer pada pesawat ulang-alik dan isolator panas lainnya
(Bamford dkk, 2009) ataupun kelongsong bahan bakar nuklir (Setiawan dkk,
2015) dimana ketahanan terhadap oksidasi dan temperatur tinggi merupakan
hal yang sangat penting (Setiawan dkk, 2015) Sebagai bahan penukar kalor
yang baik ataupun isolator panas penentuan konduktivitas panas KMK SiC
menjadi sangat penting (Bamford dkk, 2009).
Dalam tulisan ini akan digunakan teknik yang dilakukan oleh
(Tavman dkk, 2011) yaitu dengan teknik pelelehan bahan sensor untuk
menentukan konduktivitas panas dari KMK SiC dengan Indium sebagai
bahan sensornya. KMK SiC terdiri atas serat nonwoven SiC dan matriks
polimer polycarbosilane (PCS) dimana teknik pembuatan komposit dilakukan
dengan teknik polymer infiltration pyrolysis (PIP).
Dua sampel KMK SiC dibuat dengan teknik PIP ditabelkan pada
Tabel 1 Serat yang digunakan pada kedua komposit dibuat dengan teknik ES
dengan tegangan sebesar 10 kV, yang dipanaskan (curing) pada 200oC dengan
kondisi atmosfer udara selama 1 jam, dan dilanjutkan pemanasan pada
1000oC dengan kondisi atmosfer argon selama 1 jam. Dalam pembuatan
kedua KMK SiC, dilakukan pemanasan curing pada 200oC dengan kondisi
atmosfer udara selama 1 jam, dilanjutkan dengan pemanasan pada 1000 oC
dengan kondisi atmosfer argon selama 1 jam (Setiawan, 2015). Pengukuran
ketebalan KMK SiC dilakukan menggunakan dial gauge analog.

8
Tabel 2. Komposit matriks Keramik SiC.

Pengukuran konduktivitas panas KMK SiC dilakukan pada DSC


Setaram 92. Parameter pengoperasian DSC dilakukan dengan laju
pemanasan 10oC /menit dengan suasana argon. Indium digunakan sebagai
bahan sensor, memiliki titik leleh pada rentang 140oC sampai 170oC. Bahan
sensor Indiym dilakukan pengukuran luas permukaan yang akan bersentuhan
dengan krusibel ataupun sampel sebelum dilakukan pemanasan. Pengukuran
luas permukaan bahan sensor Indium dilakukan dengan teknik analisis citra.
Pengukuran diawali dengan pemanasan Indium untuk menentukan kurva
pelelehannya. Pada tahap kedua Indium diletakkan di atas KMK SiC seperti
pada Gambar 9. Pengukuran pemanasan Indium untuk menentukan kurva
pelelehannya dilakukan kembali.

Gambar 9. (a) Bahan sensor, (b) Bahan sensor + sampel

Dari pengukuran titik leleh Indium pada 156,6 oC [4,5], ditentukan


konduktivitas panas KMK SiC dengan teknik pelelehan bahan sensor yang
dilakukan oleh Flynn dan Levin [4]. Konduktivitas panas KMK ditentukan
dengan Persamaan berikut:

9
dimana k adalah konduktivitas panas dengan satuan dalam Watt per
meter. Kelvin (W/m.K), L adalah ketebalan sampel dengan satuan dalam
meter (m), A adalah luasan bahan sensor dengan satuan dalam meter persegi
(m2), R′ adalah hambatan panas bahan sensor dengan sampel dan R adalah
hambatan panas bahan sensor yang keduanya dengan satuan dalam Kelvin per
Watt (K/W) (Flynn dan levin, 1998). Parameter R dan R′ ditentukan dari
kemiringan kurva entalpi bahan sensor yang diperoleh dari pemanasan dalam
DSC dengan laju pemanasannya (B) dengan satuan dalam Kelvin/menit
(K/menit) yang dituliskan pada Persamaan 2.

KMK SiC yang diperoleh dari teknik PIP ditunjukkan pada Gambar
2. Dari KMK SiC yang diperoleh dilakukan pengukuran ketebalannya
menggunakan dial gauge analog yang hasilnya ditabelkan pada Tabel 3.

Gambar 10. KMK SiC yang diperoleh dari teknik PIP, (a) KMK-P dan (b)
KMK-PS.
Tabel 3. Hasil pengukuran ketebalan komposit menggunakan dial gauge
analog.

10
KMK-P dan KMK-PS yang terbentuk sebesar 3 × 5 cm, dari ukuran
ini dicuplik untuk diukur ketebalan dan dilakukan pengukuran konduktivitas
panasnya. Dari pengukuran ketebalan diperoleh KMK-P memiliki ketebalan
yang lebih rendah dibandingkan KMK-PS. Dalam hal ini penambahan
partikel SiC membuat volume KMK menjadi bertambah, dimana lebar dan
panjang yang tetap dalam cetakan akan membuat ketebalan komposit menjadi
meningkat. Pengukuran luasan bahan sensor dalam hal ini menggunakan
Indium disajikan pada Gambar 11, dan hasil pengukuran luasannya
ditabelkan pada Tabel 4.

Gambar 11. Pengukuran luasan Indium sebelum pengukuran entalpi, (a)


Indium, (b) Indium + KMK-P dan (c) Indium + KMK-PS.
Tabel 4. Hasil pengukuran luasan Indium.

Gambar 11, memperlihatkan pengukuran luasan permukaan yang


akan bersentuhan dengan sampel KMK. Pengukuran luasan permukaan
dilakukan menggunakan aplikasi ImageJ dari Gambar 11. Hasil yang
diperoleh, ditampilkan pada Tabel 4, dimana gambar untuk pengukuran
diambil sebelum dilakukan pengukuran dengan DSC dilakukan. Gambar 11.a
11
merupakan gambar Indium sebelum dilakukan pengukuran entalpinya.
Pengukuran yang dilakukan menggunakan ImageJ diperoleh luasan sebesar
4,080 mm2. Gambar 11.b merupakan gambar Indium sebelum dilakukan
pengukuran entalpi yang ditambah dengan sampel KMK-P. Pengukuran yang
dilakukan menggunakan ImageJ diperoleh luasan sebesar 3,674 mm2.
Untuk Gambar 11.c merupakan gambar Indium sebelum dilakukan
pengukuran entalpi yang ditambah dengan sampel KMK-PS. Hasil
pengukuran luasan yang diperoleh sebesar 3,316 mm2. Sebelum dilakukan
pengukuran entalpi, massa dari masing-masing Indium ditimbang terlebih
dahulu dan ketiganya, diperoleh massa sebesar 8,6 mg.
Pada Gambar 12, disajikan kurva entalpi Indium dari pengukuran
DSC dimana kurva yang disajikan antara heatflow (mW) terhadap waktu
(detik). Terlihat pada Gambar 12.a pada waktu pemanasan di bawah 200 detik
terlihat perbedaan orientasi kurva, dimana terjadi pelepasan panas (eksoterm)
dengan nilai heatflow positif.
Gambar 12.b dan 12.c, pada rentang tersebut terjadi penyerapan panas
(endoterm) yang ditandai dengan nilai heatflow negatif. Pada KMK-P terlihat
penyerapan panas relatif sedikit lebih tinggi dibandingkan pada KMK-PS
yang besarannya berkisar pada -2,0 mW sampai -2,5 mW. Waktu untuk
mencapai puncak dimana panas yang digunakan untuk Indium
bertransformasi, pada Gambar 4.a berkisar pada 800 – 900 detik, dengan
adanya KMK-P dan KMK-PS dengan ketebalan masing-masing 0,900 mm
dan 0,986 mm terjadi pergeseran ke sekitar 900 detik. Dari Gambar 12 terlihat
puncak entalpi dari Indium terjadi perubahan ketinggian. Berturut-turut
puncak entalpi Indium pada Gambar 12 bernilai -8,5547 mW, -7,8219 mW
dan -6,9919 mW. Terlihat penurunan puncak ini menunjukkan adanya
hambatan panas yang sampai pada Indium.

12
Gambar 12. Kurva pengukuran entalpi, (a) Indium, (b) Indium + KMK-P dan (c)
Indium + KMK-PS.

13
14
Gambar 13. Penentuan kemiringan kurva, (a) Indium, (b) Indium + KMK-P dan
(c) Indium + KMK-PS.

Untuk menghitung nilai hambatan panas dari sampel KMK dilakukan


penentuan kemiringan kurva entalpi. Penentuan kemiringan tersebut disajikan
pada Gambar 13. Penentuan nilai kemiringan kurva entalpi dilakukan dengan
teknik regresi linier yang diaplikasikan pada rentang tertentu yang
menunjukkan kemiringan kurva. Pada Gambar 13, kemiringan kurva yang
ditentukan dengan teknik regresi linier direpresentasikan oleh garis putus-
putus. Nilai kemiringan kurva untuk Indium ditabulasikan pada Tabel 5.
Kemiringan kurva yang digunakan dalam perhitungan adalah nilai positifnya.
Perhitungan nilai hambatan panas R (untuk Indium) dan R′ (baik untuk
Indium+KMK-P dan Indium+KMK-PS), dihitung menggunakan Persamaan
2, dengan nilai B sebesar 10 K/menit. Hasil penentuan kemiringan,
perhitungan hambatan panas dan perhitungan konduktivitas panas,
ditabulasikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil perhitungan konduktivitas panas (k) dengan persamaan 1.

Tabel 5 menunjukkan hambatan panas pada KMK-P dan KMK-PS


relatif sama. Meskipun nilai yang diperoleh untuk kedua KMK relatif sama,
teknik penggunaan DSC untuk penentuan konduktivitas panas dengan teknik
pelelehan bahan sensor telah dapat dilakukan. Penambahan serbuk SiC
diharapkan mampu meningkatkan nilai konduktivitas panas komposit.
Namun, dari pengukuran, nilai konduktivitas panas KMK-PS terlihat
menurun dan mendekati nilai KMK-P yang tidak ditambahkan partikel SiC.
Dari kedua nilai yang diperoleh terlihat KMK-PS memiliki nilai hambatan
panas yang sedikit lebih rendah dari KMK-P. Hambatan panas yang rendah

15
pada KMK-PS menunjukkan bahwa panas yang dapat dialirkan akan lebih
besar dibandingkan pada KMK-P.
Hasil konduktivitas panas KMK yang relatif sama, dimungkinkan
terjadi akibat sampel komposit yang digunakan memiliki struktur yang relatif
sama. Hal ini sangat dimungkinkan banyaknya porositas tertutup pada KMK-
PS. Bila dibandingkan dengan metode penentuan heatflow absolut yang
digunakan oleh (Setiawan, 2015) nilai konduktivitas panas pada temperatur
60oC diperoleh lebih tinggi yaitu sebesar 4,61 W/m.K untuk KMK-P dan
sebesar 8,90 W/m.K untuk KMK-PS (Setiawan, 2015). Selain itu ada
beberapa faktor yang mempengaruhi pengukuran hambatan panas dalam
metode menggunakan pelelehan bahan sensor yaitu [4]: (1) pemilihan bahan
sensor yang harus memiliki titik leleh yang tajam dan reproducible ketika
dipakai berulang kali, (2) luasan bahan sensor yang bersentuhan dengan
sampel harus diketahui dan tidak berubah selama pemanasan, (3) stabilitas
dari peralatan DSC harus baik selama pengukuran dilakukan, dan (4) variasi
dalam hambatan panas selama pengukuran antara bahan sensor dengan
sampel, sampel dengan crucible ataupun bahan sensor dengan crucible saat
tidak ada sampel, harus diminimalis dan diharapkan konstan.
2. Kristal cair
DSC digunakan dalam penelitian kristal cair. Ketika beberapa bentuk materi
berubah dari padat ke cair dimana melalui kondisi ketiga yang menampilkan sifat-siat
dari kedua fase. Cairan anisotropic dikenal sebagai kristalin cair atau kondisi
mesomorphous. Dengan adanya DSC menjadi hal yang mungkin untuk mengamati
perubahan energi kecil yang terjadi sebagai materi transisi kristal dari padat ke cair dan
dari kristal cair ke cairan isotropik.
3. Stabilitas oksidasi
Menggunakan DSC untuk mempelajari stabilitas oksidasi sampel umumnya
membutuhkan ruang sampel kedap udara. Biasanya, uji tersebut dilakukan secar
isotermal dengan mengubah atmosfer sampel. Pertama, sampel dibawa ke temperatur
uji yang diinginkan di bawah atmosfer inert, biasanya brupa nitrogen. Kemudian,
oksigen ditambahkan ke dalam sistem. Setiap oksidasi yang terjadi diamati sebagai

16
penympangan dalam baseline. Analisis tersebut dapat digunakan untuk menentukan
stabilitas dan kondisi penyimpanan yang optimal untuk bahan atau senyawa.
4. Analisis Obat
DSC banyak dipakai dalam industri farmasi dan polimer. Untuk ahli kimia polimer,
DSC adalah alat yang berguna untuk mempelajari proses curing, yang memungkinkan
fine tuning sifat polimer. Molekul polimer cross-linking yang terjadi dalam proses
curing bersifat eksotermis, menghasilkan puncak positif dalam urva DSC yang
biasanya muncul setelah transisi gelas. Dalam industri farmasi perlu memilki senyawa
obat yang baik, dimana untuk menentukan parameter proses. Misalnya, jika perlu untuk
memberikan obat dalam bentuk amorf, maka dilakukan memproses obat pada dibawah
temperatur dimana kristalisasi dapat terjadi.
5. Ilmu pangan
Dalam penelitian ilmu pangan, DSC dipakai dalam hubungannya dengan teknis
analisis termal lainnya untuk menentukan dinamika air. Perubahan distribusi air
mungkin berkorelasi dengan perubahan tekstur. Serupa dnegan studi ilmu material,
efek curing pada produk pangan juga dapat dianalisis.
6. Logam
Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi ini telah terlibat degan studi bahan
logam. Bahan leleh rendah seperti solder mudah diuji. Hal ini diketahui bahwa adalah
mungkin untuk memakai DSC untuk menemkam temperatur solidus dan liquidus dari
paduan logam, tetapi saat ini aplikasi.

2.2 Differential Thermal Analysis (DTA)


2.2.1 Pengertian Differential Thermal Analysis (DTA)
Differential Thermal Analysis adalah analisis termal yang menggunakan
acuan sebagai acuan untuk membandingkan hasil. Bahan referensi ini biasanya
merupakan bahan inert. Sampel dan bahan referensi dipanaskan secara bersamaan
di satu tempat, perbedaan antara suhu sampel dan suhu referensi dicatat selama
siklus pemanasan dan pendinginan.
DTA melibatkan pemanasan atau pendinginan sampel dan bahan referensi
dalam kondisi yang sama sambil mencatat perbedaan suhu yang besar antara
sampel dan bahan referensi. Perbedaan suhu ini kemudian diplot terhadap waktu
17
atau suhu. Perbedaan suhu juga dapat meningkat antara dua sampel inert ketika
keduanya menjalani perlakuan panas yang berbeda/berbeda. DTA digunakan untuk
mempelajari sifat termal dan perubahan fasa yang tidak mengakibatkan perubahan
entalpi

Gambar 14. Alat Differential Thermal Analysis (DTA)

2.2.2 Jenis - Jenis DTA


1. Mikro DTA (μ-DTA)
Mikro DTA dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas DTA
klasik yang kurang mampu mendeteksi sampel dengan berat yang ringan.
Sampel untuk pengujian mikro DTA hanya sekitar 50μg dengan tekanan
yang disesuaikan dengan keadaan dan kondisi sampel.
Mikro DTA terdiri dari dua plat mikro yang terpasang dengan dua
heater untuk memastikan distribusi temperatur pada sistem merata.
pembahasan dari permukaan membran sangat penting untuk
mengoptimalkan karakteristik yang mematikan transfer panas yang optimal.
Thermistor TiW membran digunakan sebagai material referensi.

18
Gambar 15. Skema dari μ-DTA

Mikrograf optik dari membrane dengan pemanas inner dan outer


polisilikon dan termistor TiW yang terletak di tengah (a) Skematik
penampang melintang dari membrane (b) Kerugian dari metode ini adalah
ketidakmampuannya untuk memproses logam karena logam memilik
specific surface tension yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan oksidasi
yang tinggi pada sampel. Sistem μ-DTA ini tidak boleh dalam atmosfer
oksidasi. Rentang temperatur yang biasa digunakan berkisar -45°C sampai
120°C, sedangkan laju pendingian dan pemanasannya sampai 2K/menit
(lebih rendah dari DTA klasik). Serta tekanan yang mampu diaplikasikan
pada sistem hanya maksimal 1 bar.
2. High Pressure DTA (HP-DTA)
Evaporasi yang berlebihan dapat mengurangi massa sampel dan
mengubah komposisi kimia. Hal tersebut dapat menyebabkan kesalahan
pengukuran. Untuk mempelajari termodinamika sampel yang berdasarkan
perbedaan tekanan gas, digunakan HP-DTA. Komponen sistem DTA klasik
dapat terdekomposisi jika tekanan gas (biasanya menggunakan gas argon

19
yang tidak mendekati kondisi sintesa. Rentang tekanan yang digunakan
pada HP-DTA mampu mencapai ratusan bar dengan rentang temperatur -
150°C sampai 600°C. Laju pemanasan dan pendinginan sampai 50K/menit
dengan tekanan maksimum 150 bar. Untuk mengetahui perubahan
temperatur leleh akibat tekanan dapat dideteksi pada kurva DTA.
Perhitungan untuk perubahan entalpi leleh bisa dihitung dengan Persamaan
1 berikut :

Dimana Δ Hm adalah entalpi leleh, ΔVm adalah perbedaan volume


diantara solid dan liquid, dP adalah perbedaan tekanan dan dTm adalah
perbedaan temperatur leleh.

2.2.3 Prinsip Analisis DTA


Prinsip analisis DTA adalah mengukur perbedaan suhu yang terjadi antara
sampel dan bahan acuan setelah reaksi dekomposisi.Sampel adalah bahan yang
akan dianalisis, sedangkan bahan pembanding adalah bahan yang mengandung zat
yang diketahui tidak aktif secara termal. Dengan menggunakan DTA, material
akan dipanaskan hingga suhu tinggi dan mengalami reaksi dekomposisi.
Dekomposisi material ini diamati sebagai kurva DTA versus suhu yang diplot
terhadap waktu. Reaksi penguraian dipengaruhi oleh pengaruh spesies lain, rasio
ukuran dan volume, serta komposisi materi.
2.2.4 Skema Alat DTA

20
Gambar 16. Skema Alat DTA
Komponen dasar dari peralatan DTA adalah :
a. Rangkaian furnace
Nikrom (alloy Nikel dan Chomium) Furnace bisa digunakan untuk
menghasilkan temperature hingga 1300oC, alloy platinum menghasilkan
temperatur 1750oC dan Molybdenum (Mo) untuk menghasilkan
temperature yang lebih tinggi lagi digunakan spesial tipe pemanas induksi
berfrekuensi tinggi.
b. Temperature Regulating systems
Untuk mengatur temperatur yang dihasilkan furnace digunaka
regulator elektronik
c. Specimen holder
Tempat sampel dan pembanding didesign agar bisa menampung
material yang berukuran sangat kecil dan memberikan efek panas yang
baik.
d. Pengukur temperature
Alloys Pt-Rh sering digunakan sebagai thermocouple untuk
mengukur temperatur. Sedangkan untuk suhu diatas 2000°C digunakan
Alloys W-Mo sebagai thermocouple. Thermocouple yang berupa lapisan
tipis dimasukan kedalam tempat sampel dan pembanding.
e. Temperatur Recording Systems
Berfungsi untuk mencatat perbedaan temperatur antara sampel dan
pembanding

21
Tahap Kerja DTA adalah sebagai berikut :

a) Memanaskan heating block


b) Ukuran sampel dengan ukuran material referensi sedapat mungkin
identik dan dipasangkan pada sampel holder
c) Thermocouple harus ditempatkan berkontakan secara langsung dengan
sampel dan material referensi
d) Temperatur di heating block akan meningkat, diikuti dengan
peningkatan temperatur sampel dan material referensi
e) Apabila pada thermocouple tidak terdeteksi perbedaan temperatur
antara sampel dan material referensi, maka tidak terjadi perubahan
fisika dan kimia pada sampel. Apabila ada perubahan fisika dan kimia,
maka akan terdeteksi adanya ∆T.

2.2.5 Faktor - faktor yang mempengaruhi DTA


Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil uji DTA adalah berat sampel,
ukuran partikel, laju pemanasan, kondisi atmosfer, dan kondisi bahan. Oleh karena
itu, dapat didefinisikan bahwa DTA adalah suatu teknik yang mencatat perbedaan
suhu antara suatu bahan sampel dan bahan acuan sebagai fungsi waktu atau suhu,
dimana kedua sampel tersebut diberi perlakuan pada suhu yang sama satu sama lain
dalam lingkungan pemanasan atau pendinginan pada suhu yang sama. tingkat yang
terkendali.
2.2.6 Beberapa Aplikasi DTA

1. Pengujian titik leleh material


Titik leleh adalah temperatur dimana suatu senyawa mulai beralih
fasa dari padatan menjadi cairan, sampai dengan terjadinya pelelehan
sempurna. Dalam pengertian lainnya, titik leleh juga dapat diartikan suatu
temperatur dimana suatu zat padat berubah menjadi cairan pada tekanan
satu atmosfer. Pengujian titik leleh pada penelitian ini menggunakan 2
material sampel berbeda, yaitu Indium (In), dan Timah (Sn). Sedangkan
sebagai material referensinya digunakan Alumina (Al2O3), karena
termogram Alumina menunjukkan konstan sampai temperatur 1200°C,

22
yang artinya bahwa Alumina tidak mengalami perubahan sampai
temperatur tersebut. Pengujian titik leleh material menggunakan alat peraga
DTA sebagaimana terlihat pada Gambar 17. sebagai berikut :

Gambar 17. Alat Peraga Differential Thermal Analysis


2. Pengujian Titik Leleh Material Indium (In)
Pada pengujian ini material sampel yang digunakan adalah Indium
(In), dengan berat 0,11 gram. Sedangkan sebagai material referensi
digunakan Alumina (Al2O3), yang beratnya disamakan dengan material
sampel. Hasil pengujian titik leleh material Indium (In) sebagai berikut.
Grafik hasil pengujian titik leleh material Indium (In) ditunjukkan pada
Gambar 18. sampai dengan Gambar 21. Selama proses pemanasan
berlangsung pada furnace, terlihat pada Gambar 18, terjadi reaksi termal
pada material sampel, sedangkan pada material referensi terlihat stabil/tidak
terjadi suatu reaksi termal (Gambar 19). Jika hanya melihat pada material
sampel, sulit untuk menentukan nilai titik lelehnya. Maka dengan
menggunakan teknik analisis termal differential, dapat ditentukan nilai titik
lelehnya, yaitu dengan cara membandingkan selisih nilai temperatur
(differential temperature) antara material sampel dan referensi, seperti
terlihat pada Gambar 20. Selanjutnya untuk menentukan nilai titik lelehnya
adalah dengan membandingkan nilai differential temperature dengan nilai
temperatur pada material referensi (Gambar 21). Nilai differential
temperature ditetapkan sebagai sumbu Y dan nilai temperatur material
referensi sebagai sumbu X, maka nilai titik leleh dapat ditentukan. Pada

23
Gambar 2.1, terlihat pada grafik telah terjadi reaksi endotermik pada
material sampel, reaksi terjadi pada rentang temperatur 152,5°C sampai
dengan 164,5°C. Pada reaksi endotermik umumnya temperatur sistem
(material sampel) terjadi penurunan, adanya penurunan temperatur inilah
yang menyebabkan sistem menyerap kalor dari lingkungan. Reaksi tersebut
menunjukkan proses terjadinya pelelehan material Indium (In), dimana
awal pelelehan terjadi pada temperatur 152,5°C sampai dengan meleleh
sempurna pada temperatur 164,5°C. Secara terori titik leleh Indium (In)
adalah 156,6°C.

Gambar 18. Grafik Pengujian pada Material Sampel Indium (In)

Gambar 19. Grafik Pengujian pada Material Referensi Indium (In)

24
Gambar 20. Grafik Pengujian Differential Temperature Indium (In)

Gambar 21. Grafik Penentuan Titik Leleh Indium (In)

3. Pengujian Titik Leleh Material Timah (Sn)


Pada pengujian ini material sampel yang digunakan adalah Timah
(Sn), dengan berat 0,09 gram. Sedangkan sebagai material referensi
digunakan Alumina (Al2O3), yang beratnya disamakan dengan material
sampel. Hasil pengujian titik leleh material Timah (Sn) sebagai berikut :

25
Gambar 22. Grafik Pengujian pada Material Sampel Timah (Sn)

Gambar 23. Grafik Pengujian pada Material Referensi Timah (Sn)

Gambar 24. Grafik Pengujian Differential Temperature Timah (Sn)

26
Gambar 25. Grafik Penentuan Titik Leleh Timah (Sn)

Sama halnya seperti pengujian pada Indium (In), grafik hasil


pengujian titik leleh material Timah (Sn) ditunjukkan pada Gambar 22.
sampai dengan gambar 25. Selama proses pemanasan berlangsung pada
furnace, terlihat pada Gambar 2.2 terjadi reaksi termal pada material
sampel, sedangkan pada material referensi terlihat stabil/tidak terjadi suatu
rekasi termal (Gambar 2.3). Pada Gambar 2.4, terlihat pada grafik telah
terjadi reaksi endotermik pada material sampel, reaksi terjadi pada rentang
temperatur 231,5°C sampai dengan 245,75°C. Reaksi ini menunjukkan
terjadinya proses pelelehan material Timah (Sn), dimana awal pelelehan
terjadi pada temperatur 231,5°C sampai dengan meleleh sempurna pada
temperatur 245,75°C. Secara teori titik leleh Timah (Sn) adalah 231,9°C.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Differential Scanning Calorimetry (DSC) adalah teknik termoanalisis yang
digunakan untuk mempelajari sifat termal polimer menggunakan kalorimeter
pemindaian diferensial. Differential Thermal Analysis (DTA) adalah analisis
termal yang menggunakan acuan sebagai acuan untuk membandingkan hasil.
Bahan referensi ini biasanya merupakan bahan inert. Sampel dan bahan referensi
dipanaskan secara bersamaan di satu tempat, perbedaan antara suhu sampel dan
suhu referensi dicatat selama siklus pemanasan dan pendinginan. TGA merupakan
pengukuran perubahan berat suatu bahan sebagai fungsi waktu. Hasil analisis
berupa rekaman diagram yang kontinu dimana reaksi dekomposisi. Berat suatu
bahan yang dibutuhkan saat dianalisis beberapa milligram, yang dipanaskan pada
laju konstan.
3.1.2 Jenis - jenis DSC antara lain: Heat flux DSC, Power compensation DSC (heat
flow), dan Hyper DSC (heat flow). Sedangkan jenis – jenis TGA antara lain:
Analisis Dinamis TGA, TGA Isotermal, dan Analisis Gas yang Berkembang.
3.1.3 Prinsip kerja DSC ialah dimana satu pan diisi dengan sampel uji, sedangkanpan
yang lain diisi dengan material referensi. Kedua pan berada diatas heater.
Kemudian dengan memberikan perintah melalui komputer, heater akan
dinyalakan dan sekaligus menentukan specific heat yang diinginkan. Melalui
pemrograman komputer, kecepatan panas akan dikendalikan yang tentu saja panas
yang ada dideteksi dengan sensor temperatur yang kemudian sinyalnya diterima
oleh komputer dan komputer akan memberi perintah pada heater untuk
mempertahankan specific heat-nya. Pada dasarnya heat flux DSC dan power
compensation DSC memiliki persamaan prinsip. Perbedaannya hanya pada sistem
pengukuran diferensial energi, dimana pada power compensation DSC
menggunakan heater kedua (secondary heater) untuk mengkompensasi
perbedaan temperatur antara sampel dan referensi. Sedangkan pada heat flux DSC
teknik, flux panas akan melalui sampel dan referensi dipantau pada output.
Prinsip kerja DTA ialah mengukur perbedaan suhu yang terjadi antara sampel

28
dan bahan acuan setelah reaksi dekomposisi.Sampel adalah bahan yang akan
dianalisis, sedangkan bahan pembanding adalah bahan yang mengandung zat
yang diketahui tidak aktif secara termal. Dengan menggunakan DTA, material
akan dipanaskan hingga suhu tinggi dan mengalami reaksi dekomposisi.
Dekomposisi material ini diamati sebagai kurva DTA versus suhu yang diplot
terhadap waktu. Reaksi penguraian dipengaruhi oleh pengaruh spesies lain, rasio
ukuran dan volume, serta komposisi materi. Prnsip kerja TGA ialah etode prinsip
kerja TGA merupakan prosedur yang cukup banyak dilakukan dalam karakterisasi
bahan. Pada prinsipnya metode ini mengukur berkurangnya massa material ketika
dipanaskan dari suhu kamar sampai suhu tinggi yang biasanya sekitar 900C. Alat
TGA dilengkapi dengan timbangan mikro di dalamnya sehingga secara otomatis
berat sampel setiap saat bisa terekam dan disajikan dalam tampilan grafik.
3.1.4 Beberapa aplikasi dari DSC ialah penentuan konduktivitas panas komposit
matriks silikon karbida menggunakan DSC, penelitian kristal cair, mempelajari
stabilitas oksidasi sampel, analisis obat, dan ilmu pangan. Sedangkan aplikasi dari
DTA ialah pengujian titik leleh material Indium dan Timah. Dan beberapa
aplikasi dari TGA ialah Analisis TGA menawarkan potensi luar biasa untuk
mengkarakterisasi stabilitas termal polimer dan serat. Ini memberikan data
kualitatif dan kuantitatif untuk kinetika kehilangan berat termal sampel
(umumnya degradasi), pengaruh aditif dan modifikasi kimia pada serat dan bahan
tekstil, perilaku kopolimer atau campuran polimer , dan akhirnya, pengaruh
perlakuan ukuran serat. dan pelapis yang kompatibel pada kain. Dikombinasikan
dengan instrumentasi analitik lainnya, seperti spektroskopi massa atau
kromatografi fase uap , untuk mengidentifikasi spesies kimia yang dilepaskan dari
sampel serat selama pemanasan, TGA menjadi jauh lebih bermanfaat. Namun
demikian, hasil TGA yang diperoleh dari operator atau laboratorium berbeda
lebih sulit untuk direproduksi. Selain sejumlah faktor lain, alasan utama untuk hal
ini adalah sensitivitas ekstrim hasil TGA terhadap rasio permukaan terhadap
volume, yang sangat sulit dikendalikan dalam sampel serat. Oleh karena itu,
dalam laporan hasil TGA, rincian berat dan persiapan sampel, laju pemanasan,
dan atmosfer harus selalu disertakan. Untuk serat i-Serat PP, konstanta laju

29
degradasi terukur berubah dari -0,001 menjadi 0,065 sesuai dengan rasio
permukaan/volume dari 2 menjadi 50. Untuk reproduktifitas yang lebih baik,
solusi sederhana untuk masalah ini adalah dengan menggiling sampel secara hati-
hati untuk mendapatkan pengemasan yang optimal dan dapat direproduksi, perlu
diingat bahwa penggilingan dapat mengubah stabilitas termal secara substansial
karena menghasilkan sejumlah radikal kimia akibat pemutusan ikatan kimia
3.2 Saran
Dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna,
penulis juga membutuhkan kritik dan saran agar ke depannya bisa lebih lagi. Terima
kasih Saya ucapkan kepada pihak - pihak yang membantu makalah ini pada sampai
tahap akhir dan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

Alexander J. Jing, Anqiu Zhang, Zongquan Wu. “Handbook of Thermal Analysis and
Calorimetry”. Volume 3, 2002, Pages 409-490. 2002.Sina Ebnesajjad. “Surface and
Material Characterization Techniques”. 2006.
Bamford, M., Florian, M., Vignoles, G. L., Batsale, J. C., Cairo, C. A. A., dan Maillé, L. 2009.
Global and local characterization of the thermal diffusivities of SiCf/SiC composites with
infrared thermography and flash method. Composites Science and Technology Vol 69, hal
1131-1141

Bhadesia H.K.D.H. 2002. Differential Scanning Calorimetry, Material science and metallurgy,
University of Cambridge, USA

Flynn, J.H., dan Levin, D.M.A. 1998. A method for determination of thermal conductivity of sheet
materials by DSC. Thermochimica Acta 126, hal 93-100

G. Klancnik, et al. 2010. Differention Thermal Analysis (DTA) and Differential Scanning
calorimetry (DSC) as a method of material investigation. RMZ – material and
geoenvironment, vol. 57, No.1, pp. 127-124. Slovenia

Jiji Abraham, Arif P. Mohammed, M.P. Ajith Kumar, Soney C. George, Sabu Thomas.Chapter 8
Thermoanalytical Techniques of Nanomaterials. “Characterization of
Nanomaterials”.2018.
Kodre KV, Attarde SR, Yendhe PR, Patil RY, and Barge VU. 2014. Differential Scanning
Calorimetry: A Review. Journal of Pharmaceutical Analysis. PDEA’s Shankarrao Ursal
College of Pharmaceutical Sciences and Research Centre, Kharadi, Pune - 411014,
Maharashtra, India

Lv Zhou Y, An Jian B, Chang Y, Li Meng M. 2010. Basic principle and main application
microcalorimetry, Biomedical experimentation grade 4, School of basic medical science,
Peking University health science center, RRC

Nidal H. Daraghmeh, Babur Z. Chowdhry, Stephen A. Leharne, Mahmoud M. Al Omari, Adnan


A. Badwan. “Profiles of Drug Substances, Excipients and Related Methodology”.
Volume 36, 2011, Pages 35-102.

31
Peter Šimon, Zuzana Cibulková. 1996. Measurement Of Heat Capacity By Differential Scanning
Calorimetry. Journal of Chemical and Food Technology. University of Technology,
Radlinského 9, 812 37 Bratislava, Slovak Republic.

Prasetyoko, D., Fansuri, H., Ni’mah, Y. L., dan Fadlan, A. 2016. Karakterisasi Struktur Padatan
Edisi 1. Deepublish:Yogyakarta.

Sembiring, S. 2014. Preparasi dan Karakterisasi Bahan. Buku Ajar Jurusan Fisika Universitas
Lampung. Bandar Lampung.
Sembiring, S. 2014. Preparasi dan Karakterisasi Bahan. Universitas Lampung : Bandar Lampung.

Setiawan, J., S. Pribadi, Pranjono, Sigit, dan S. Poertadji. 2015. Study on nonwoven composites
from polycarbosilane with addition of SiC powder. International Journal of Basic &
Applied Sciences Vol 15 No 2, pp1-4

Sindhu, R., Binod, P., & Pandey, A. 2015. Microbial Poly-3-Hydroxybutyrate and Related
Copolymers. Industrial Biorefineries & White Biotechnology, 575–605. doi:10.1016/b978-
0-444-63453-5.00019-7

Tavman, I., Y., Aydogdu, M. Kok, A. Turgut dan A. Ezan. 2011. Measurement of heat capacity and
thermal conductivity of HDPE/expanded graphite nanocomposites by differential scanning
calorimetry. Archives of Materials Science and Engineering Vol. 50 Issue 1, hal 56-60

Wardoyo S, Munarto R dan Putra VP. 2013. Jurnal Ilmiah Elite Elektro 4, 23-30.

Wismogroho AS dan Wahyu BW. 2013. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi : TELAAH 30,
7-12.

Wismogroho AS. 2013. Studi awal pengembangan calculated-differential thermal analysis (C-
DTA) untuk analisa titik leleh material paduan Sn dan Zn. Prosiding Pertemuan Ilmiah
XXVII HFI Jateng & DIY. Solo. 23 Maret 2013.

32

Anda mungkin juga menyukai