Anda di halaman 1dari 159

KAJIAN KINERJA SUPPLY CHAIN PADA PROYEK

KONSTRUKSI BANGUNAN GEDUNG

TESIS

Karya Tulis sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Magister dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh :

CUT ZUKHRINA OKTAVIANI

NIM : 25005021

Program Studi Magister Teknik Sipil


Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


2008
ABSTRAK

KAJIAN KINERJA SUPPLY CHAIN PADA PROYEK KONSTRUKSI


BANGUNAN GEDUNG

Oleh :

Cut Zukhrina Oktaviani

NIM : 25005021

Industri konstruksi memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan industri
lainnya, khususnya proyek konstruksi bangunan gedung. Kompleksitas pekerjaan
menyebabkan banyak pihak dengan berbagai keahlian yang terlibat pada
pelaksanaan proses produksinya dan akan membentuk supply chain yang
kompleks. Kompleksitas supply chain ini memerlukan suatu manajemen
pengelolaan hubungan antar mata rantai yang terlibat. Hal ini dirasa perlu karena
pengelolaan supply chain dipercaya sebagai salah satu usaha yang strategis untuk
meningkatkan daya saing suatu perusahaan konstruksi di tengah semakin ketatnya
persaingan lokal, regional maupun global, sebagaimana layaknya industri lainnya.
Suatu supply chain yang efisien dianggap dapat memberikan daya saing yang
tinggi kepada perusahaan yang menjadi bagiannya selain itu desain supply chain
yang buruk ditenggarai memiliki potensi meningkatkan biaya proyek hingga 10%.
Supply chain konstruksi akan memberikan konstribusi terhadap efisiensi suatu
pelaksanaan proyek, sehingga suatu supply chain konstruksi memiliki potensi
untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya
peningkatan dalam industri konstruksi. Sebagai tahap awal dilakukan pemetaan
pola supply chain konstruksi yang terdapat dalam praktek konstruksi di
Indonesia, khususnya dalam proyek konstruksi bangunan gedung, dan telah
teridentifikasi empat bentuk pola supply chain yang biasa ditemui dalam proyek-
proyek konstruksi khususnya bangunan gedung. Langkah selanjutnya yang
diperlukan adalah melakukan pengukuran terhadap kinerja dari masing-masing
pola supply chain yang telah terbentuk. Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan
gambaran kinerja dari masing-masing pola supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung, terutama terhadap pengelolaan hubungan para pihak yang
terlibat dalam proses produksi proyek konstruksi bangunan gedung.
Pengukuran dilakukan terhadap kinerja supply chain dari 4 (empat) proyek studi
kasus terbatas untuk lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan lingkup waktu
kajian hanya untuk kurun waktu 7 (tujuh) bulan dari waktu pelaksanaan pekerjaan
di lapangan dengan menggunakan 10 (sepuluh) indikator penilaian kinerja supply
chain. Berdasarkan hasil kajian terlihat bahwa terkait dengan implementasi
konsep lean construction, diperoleh temuan kinerja supply chain dari masing-
masing proyek dapat dikatakan baik terhadap pemahaman dan penerapan yang
telah dilakukan di lapangan terhadap aspek-aspek dari konsep conversion pada

i
tahap pelaksanaan. Terlihat telah adanya pemahaman dan penerapan konsep
produksi sebagai proses conversion oleh kontraktor dalam pengelolaan proses
bisnisnya. Selain itu juga terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan oleh
kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi pada
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Namun jika dilihat kinerja yang terkait dengan konsep nilai (value) yang harus
disampaikan sesuai keinginan konsumen (membe0rikan kepuasan terhadap
konsumen), belum sepenuhnya sesuai dengan konsep value yang sebenarnya
harus disampaikan ke owner. Pemahaman kontraktor terhadap nilai yang harus
disampaikan masih berupa kesesuaian antara desain dengan hasil pekerjaan yang
dilaksanakan dengan kata lain hanya menyangkut mutu dari pekerjaan. Seiring
dengan upaya meningkatkan efisiensi di industri konstruksi, maka dari ke 10
(sepuluh) indikator penilaian kinerja supply chain yang ada terlihat bahwa
kontraktor memang telah memahami konsep conversion dan telah merupakan
bagian dari kegiatan produksinya secara khusus, secara umum merupakan bagian
dari proses bisnis yang dilakukannya. Disisi lain indikator yang menyangkut
dengan implementasi konsep flow dan value masih memerlukan perhatian untuk
dilakukan perbaikan dan peningkatan di masa yang akan datang agar dapat
dicapai efektifitas dan efisiensi supply chain proyek konstruksi bangunan gedung.

Kata kunci : supply chain, kinerja, lean construction, konversi, aliran, nilai

ii
ABSTRACT

STUDY OF SUPPLY CHAIN PERFORMANCE IN BUILDING


CONSTRUCTION PROJECT

By :

Cut Zukhrina Oktaviani

NIM : 25005021

Construction industries have some unique characteristics and differ from other
industries, especially building construction projects. The complexity of the works
has caused involvement of many parties from any competence in the production
process and lead to a complex supply chain. This supply chain complexity needs a
management between the involved links because supply chain management is
considered as one of strategic efforts to increase the competitive strength of a
construction company in the middle of local, regional and global competition
which has become stricter. An effective supply chain is expected to give a high
competitive strength to the company. Besides, a bad design of supply chain is
considered have the potential to increase the project cost up to 10%.
Construction supply chain will give contributions to the efficiency of a project
performance, so a construction supply chain has a potential becoming a possibility
space for improvement in construction industries. As a beginning phase, a
mapping of construction supply chain pattern is done for construction in Indonesia
especially in building construction. Four pattern of supply chain have been
identified which are usually used in construction project especially building. The
next step is measuring the performance of each supply chain pattern. The purpose
is to get the picture of performance from those four patterns of building
construction project, especially in managing the relationship of every party who
are involved in the construction production process.
The measurement has been done to supply chain performance from four projects
as the case study, limited for architectural finishing work in seven months from
the realization of the project in the field using ten indicators of assessment for
performance of supply chain. Based on the result, it can be seen that connecting to
the implementation of lean construction concept, it can be said that the
performance of each projects is good to the understanding and implementation
that has been done in the field to the aspects from conversion concept in
construction phase. It can be seen that there has been an understanding and
implementation of production concept as a conversion process by the contractor in
their business management. Besides, it can also be seen that there have been
efforts doing by the contractors in implementing flow concept in the production in
the field.

iii
However, the performance which is connected to the value concept that must be
delivered exactly as what the consumers want (giving satisfaction to the
customer); it has not met the real value concept that has to be delivered to the
owner. Contractors’ understanding to the value that must be delivered is still a
match between the design and the performance which in the other words, it is just
about the quality of the work. Along with the efforts of improving the efficiency
in construction industries, from ten indicators of assessment for performance of
supply chain, it can be seen that contractors have understood conversion concept
and it has been especially, the part of their production activity, and commonly of
their business. On the other side, indicators about flow and value concept
implementation still need some attention for an improvement in the future so the
effective and efficient supply chain for building construction can be obtained.

Keywords : supply chain, performance, lean construction, conversion, flow, value

iv
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS

Tesis S2 yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Institut


Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa hak cipta
ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut
Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi
pengutipan dan peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus
disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh tesis haruslah seizin


Direktur Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung.

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Syukur alhamdullillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala
karunia dan hidayah-Nya, yang telah diberikan selama proses melaksanakan studi
dan melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan tesis dengan judul
Kajian Kinerja Supply Chain Pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, yang
merupakan salah satu syarat penyelesaian studi pada Program Magister Teknik
Sipil Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Institut Teknologi
Bandung.
Seiring dengan penyelesaian tesis ini dihaturkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Ir. Reini D. Wirahadikusumah, MSCE., Ph.D, sebagai
pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan
dukungan motivasi yang besar, sehingga penyelesaian tesis ini dapat tercapai.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Krishna Suryanto
Pribadi, Bapak Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D, Bapak Ir. Muhammad
Abduh, MT, Ph.D, dan Ibu Dr. Ir. Puti Farida Marzuki, atas kesediaannya hadir
sebagai penguji dan memberikan kritik, saran serta diskusi untuk memperbaiki
tesis ini.
Terlebih dari semuanya, rasa terima kasih yang tulus kepada suamiku tercinta,
kakanda Ir. Mahfud, MT, atas segala cinta, dukungan, motivasi serta kesabaran
dalam mendukung penyelesaian studi, penelitian dan penyelesaian tesis ini.
Ananda-ananda terkasih, M. Zayyan Muhadzib dan M. Zharif Nafi’ yang telah
mengisi keseharian penulis dengan canda tawa, keceriaan, tangis manja,
kesabaran dan kesetiaan di kala ketidakhadiran penulis di sisi mereka, diantara
kesibukan penyelesaian studi dan penelitian ini. Ayahanda, ibunda, dan adinda-
adinda tersayang serta keluarga besar di Medan dan Banda Aceh yang telah
mendukung baik moril maupun materiil dalam penyelesaian studi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Galih
Prahananto, Bapak Ir. Bambang Kunto, Ibu Ir. Darawati, Bapak Ir. Arief
Rahman, Bapak Ir. Bagus Febru, Bapak Ir. Septiawan Andri, dan Bapak
Ir. Glorius Sinaga serta seluruh staf dari proyek-proyek responden yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah meluangkan waktu di antara kesibukan
melaksanakan tugasnya untuk memberikan data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
Rasa terima kasih terhatur kepada Bapak Ir. Surya Darma, MT, Bapak Ir. Irawa
Kusumah, Bapak Ir. Firdaus dan semua pihak yang tidak dapat disebut satu
persatu, atas dukungan dan doanya.

vi
Seluruh staf non-akademik Program Magister Manajemen dan Rekayasa
Konstruksi.... Mbak Unie, Pak Ndang, Bu Ani, Bu Ida dan Pak Toto, atas
dukungan dan kerjasamanya selama menjalani studi. Teman-teman MRK 2005 ....
Fauzan, Budi, Uyung, Artan, Sulfan, Angga, Wulan, Ery, Yuli, dan MRK 2006
atas semua kebersamaan, suka maupun duka dalam menjalani studi..... Semoga
pertemanan ini terjalin untuk selamanya..... Terima kasih untuk semuanya.............
Semoga segala kebaikan dan bantuan dari Bapak/ Ibu sekalian mendapatkan
balasan yang berlimpah dari ALLAH SWT.

Dengan segala keterbatasan dan kekurangan yang dirasakan dalam proses


penelitian dan penyelesaian tesis ini, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak sebagai tambahan pengetahuan dan dapat digunakan
pengembangan keilmuan di masa yang akan datang. Amien.........

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bandung, 18 Januari 2008

Penulis

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ...................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii

Bab I Pendahuluan ...............................................................................................1


I.1 Latar Belakang .............................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah ........................................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................4
I.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................4
I.5 Posisi Penelitian ...........................................................................................5
I.6 Ruang Lingkup Penelitian............................................................................7
I.7 Sistematika Pembahasan ..............................................................................8

Bab II Studi Literatur ........................................................................................10


II.1 Supply Chain di Industri Konstruksi ..........................................................10
II.1.1. Pelaku-pelaku supply chain konstruksi ......................................................13
II.1.2. Hubungan dalam supply chain konstruksi .................................................17
II.2 Supply chain pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung.......................17
II.3 Konsep Lean Construction ........................................................................22
II.4 Pengukuran Kinerja ...................................................................................24
II.4.1. Definisi umum pengukuran kinerja ............................................................24
II.4.2. Manfaat pengukuran kinerja ......................................................................24
II.4.3. Perbedaan sistem pengukuran kinerja tradisional dan modern .................25
II.5 Pengukuran Kinerja Supply Chain .............................................................29

viii
II.6 Dimensi dan Ukuran Kinerja Supply Chain ...............................................32
II.7 Pendekatan Proses dalam Pengukuran Kinerja Supply Chain ...................33
II.7.1. Model Chan & Li .......................................................................................33
II.7.2. Model SCOR (Supply Chain Operation Reference) ..................................35
II.8 Studi tentang Pengukuran Kinerja Supply Chain .......................................39

Bab III Metodologi Penelitian...........................................................................52


III.1 Metodologi Penelitian ................................................................................52
III.2 Rancangan Penelitian .................................................................................56
III.3 Pendekatan Studi ........................................................................................56
III.4 Kerangka Studi Kasus ................................................................................57
III.5 Teknik Pengumpulan Data .........................................................................60
III.6 Teknik Analisis ..........................................................................................60

Bab IV Studi Kasus .............................................................................................62


IV.1 Metode Pengumpulan Data ........................................................................62
IV.2 Keterbatasan dalam Pemilihan Studi Kasus ..............................................63
IV.3 Pelaksanaan Survey Pengumpulan Data ....................................................64
IV.4 Kendala-kendala dalam Pengumpulan Data ..............................................67
IV.5 Hasil Pengumpulan Data ............................................................................68
IV.6 Gambaran Umum Proyek ..........................................................................70

Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung ...................85


V.1 Indikator Pengukuran Kinerja Supply Chain .............................................85
V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus ................................................86
V.2.1. Indikator-1 : Jumlah perubahan/ revisi terhadap rencana kerja ...............88
V.2.2. Indikator-2 : Intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan
pekerjaan ....................................................................................................89
V.2.3. Indikator-3 : Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat ..........91
V.2.4. Indikator-4 : Intensitas defect pekerjaan...................................................93
V.2.5. Indikator-5 : Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material ......................................................................................................94

ix
V.2.6. Indikator-6 : Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan
pengiriman (deliver)...................................................................................96
V.2.7. Indikator-7 : Intensitas kejadian reject material ........................................97
V.2.8. Indikator 8 : Inventory material .................................................................97
V.2.9. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan................................................................................................99
V.2.10. Indikator-10 : Intensitas compliant dari owner-kontraktor dan
kontraktor-supplier ....................................................................................99
V.3 Perbedaan Nilai Indikator Kinerja Supply Chain Proyek ........................101
V.4 Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction .....111
V.4.1. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi
sebagai proses konversi (conversion).......................................................112
V.4.2. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep aliran (flow)
dalam produksi .........................................................................................119
V.4.3. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi
sebagai penciptaan nilai (value) ...............................................................122
V.5 Kinerja Supply Chain dan Upaya Meminimalkan Waste ........................125
V.6 Rangkuman ..............................................................................................126

Bab VI Kesimpulan dan Saran .......................................................................129


VI.1 Kesimpulan ..............................................................................................129
VI.2 Keterbatasan dalam Penelitian .................................................................132
VI.3 Saran ........................................................................................................133

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................136

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Posisi penelitian ............................................................................ 7


Gambar II.1 Gambaran Konseptual Supply Chain Konstruksi ....................... 12
Gambar II.2 Pola–1 Supply chain konstruksi bangunan gedung .................... 18
Gambar II.3 Pola–2 Supply chain konstruksi bangunan gedung .................... 20
Gambar II.4 Pola–3 Supply chain konstruksi bangunan gedung .................... 21
Gambar II.5 Pola–4 Supply chain konstruksi bangunan gedung .................... 21
Gambar II.6 Dekomposisi proses dalam pengembangan sistem pengukuran
kinerja supply chain berdasarkan proses ..................................... 34
Gambar II.7 Lima proses inti supply chain pada model SCOR ...................... 36
Gambar II.8 Dimensi kualitas, waktu, biaya, dan fleksibilitas ........................ 40
Gambar II.9 Keterkaitan antara jenis data primer eksisting di lapangan dan
indikator pengukuran .................................................................. 46
Gambar II.10 Pengelompokkan indikator pengukuran terhadap prinsip lean
construction................................................................................. 48
Gambar III.1 Bagan alir penelitian ................................................................... 55
Gambar IV.1 Pola supply chain pada proyek A ............................................... 72
Gambar IV.2 Pola supply chain pada proyek B ............................................... 75
Gambar IV.3 Pola supply chain pada proyek C ............................................... 79
Gambar IV.4 Pola supply chain pada proyek D ............................................... 81
Gambar V.1 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep
conversion ................................................................................. 112
Gambar V.2 Keterkaitan indikator kinerja supply chain d engan konsep
flow ............................................................................................ 120
Gambar V.3 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep
value .......................................................................................... 123

xi
DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Perbedaan antara ukuran kinerja tradisional dan modern ........... 26
Tabel II.2 Performance metrics level 1........................................................ 38
Tabel II.3 Beberapa metrik supply chain dan benchmark kinerja model
SCOR .......................................................................................... 39
Tabel II.4 Kerangka Kerja BSC untuk Pengukuran SCM .......................... 43
Tabel II.5 Keterkaitan antar indikator pengukuran, jenis data, rumus
pengukuran kuantitatif dan bentuk pengukuran ......................... 49
Tabel IV.1 Kebutuhan data primer ................................................................ 65
Tabel IV.2 Jenis indikator dan materi wawancara ........................................ 66
Tabel IV.3 Hasil pengumpulan data primer .................................................. 70
Tabel IV.4 Data umum proyek A .................................................................. 72
Tabel IV.5 Data umum proyek B .................................................................. 74
Tabel IV.6 Data umum proyek C .................................................................. 77
Tabel IV.7 Data umum proyek D .................................................................. 80
Tabel IV.8 Rekapitulasi data umum proyek-proyek studi kasus .................. 83
Tabel V.1 Jenis indikator dan rumus penilaian kuantitatif .......................... 86
Tabel V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus ................................. 87
Tabel V.3 Pola supply chain proyek studi kasus ...................................... 101
Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Conversion ................................................................................ 113
Tabel V.5 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Flow .......................................................................................... 121
Tabel V.6 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Value ......................................................................................... 123

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain
pada proyek konstruksi bangunan gedung......................................138

xiii
I. Bab I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Tingginya tingkat spesialisasi dalam industri konstruksi mengakibatkan industri


ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan industri lainnya.
Khususnya pada proyek konstruksi bangunan gedung yang memiliki item
pekerjaan yang banyak disertai dengan kompleksitas pekerjaan yang tinggi dan
membutuhkan keahlian-keahlian yang spesifik dalam proses produksinya. Hal ini
menyebabkan terpecah-pecahnya pekerjaan menjadi paket pekerjaan yang lebih
kecil di mana masing-masing paket pekerjaan akan melibatkan pihak tertentu.

Keterlibatan banyak pihak baik organisasi maupun individu dalam proses


produksi di industri konstruksi secara tidak langsung akan membentuk supply
chain yang kompleks. Hubungan antar pihak tersebut akan membentuk suatu pola
hubungan yang menempatkan satu pihak tertentu sebagai salah satu mata rantai
dalam suatu rangkaian rantai proses produksi yang menghasilkan produk
konstruksi yang disebut dengan supply chain konstruksi (Capo et al., 2004).
Bergerak dari kondisi ini, maka industri konstruksi telah menuntut pengembangan
suatu konsep manajemen yang dapat mengelola hubungan antar mata rantai yang
menghasilkan output produk konstruksi.

Pengelolaan supply chain di industri konstruksi dipercaya sebagai salah satu usaha
yang strategis untuk meningkatkan daya saing suatu perusahaan konstruksi di
tengah semakin ketatnya persaingan lokal, regional maupun global, sebagaimana
layaknya industri lainnya. Salah satu unsur penting dari pengelolaan supply chain
ini adalah struktur dari jaringan yang efektif, karena sebuah supply chain yang
efisien dianggap dapat memberikan daya saing yang tinggi kepada perusahaan
yang menjadi bagiannya. Berdasarkan hasil suatu studi diperoleh kesimpulan
bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan
biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 1993).

1
2

Hal ini menunjukkkan bahwa supply chain konstruksi akan memberikan


konstribusi terhadap efisiensi suatu pelaksanaan proyek, sehingga suatu supply
chain konstruksi memiliki potensi untuk menjadi salah satu ruang yang
memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan dalam industri konstruksi.
Sehingga dalam konteks konstruksi dimana fragmentasi sudah menjadi bagian
dari karakteristik industri ini, maka peningkatan yang dapat dilakukan adalah
melalui manajemen hubungan terhadap organisasi yang terlibat dalam suatu
susunan supply chain yang menghasilkan produk konstruksi tertentu.

London dan Kenley (2002) menyatakan bahwa diperlukan suatu pengembangan


model yang dapat menggambarkan organisasi di industri konstruksi guna
memahami struktur dan perilaku supply chain dalam industri konstruksi. Lebih
lanjut dikatakan bahwa sangat penting untuk memahami berbagai supply chain
yang berbeda, yang akan memberikan kontribusi terhadap pemahaman industri ini
melalui pemahaman terhadap produk atau jasa apa yang diberikan, tipe
perusahaan seperti apa yang memberikan produk atau jasa tersebut, kepada siapa
produk atau jasa tersebut diberikan, dan dalam konteks seperti apa pola supply
chain tersebut digunakan. Namun sebelum dapat dilakukan efisiensi supply chain
konstruksi seperti yang diinginkan, terlebih dahulu diperlukan suatu pemetaan
pola supply chain konstruksi yang terdapat dalam praktek konstruksi, khususnya
dalam proyek konstruksi bangunan gedung di Indonesia.

Berdasarkan pemahaman hal tersebut, maka Susilawati (2005) melakukan


penelitian untuk memetakan pola dan proses pembentukan supply chain pada
industri konstruksi khususnya proyek bangunan gedung di Indonesia sehingga
diperoleh gambaran mengenai pola supply chain konstruksi di Indonesia yang
lebih lengkap. Dari hasil penelitian ini telah teridentifikasi empat bentuk pola
supply chain yang biasa ditemui dalam proyek-proyek konstruksi khususnya
bangunan gedung, terdiri dari dua pola umum yang secara garis besar dibentuk
berdasarkan metoda kontrak yang digunakan, yaitu berdasarkan metoda Kontrak
Umum/General Contract Method dan metoda Kontrak Terpisah/ Separate
Contract Method, dimana dari masing-masing pola umum tersebut memiliki satu
3

pola khusus sebagai perluasan dari ada-tidaknya keterlibatan pemilik dalam


pengadaan material.

Setelah pemetaan terhadap bentuk-bentuk supply chain pada industri konstruksi


khususnya konstruksi bangunan gedung di Indonesia berhasil dilakukan, maka
langkah selanjutnya yang diperlukan adalah melakukan pengukuran terhadap
kinerja dari masing-masing pola supply chain yang telah terbentuk. Pengukuran
dilakukan untuk mendapatkan gambaran kinerja dari masing-masing pola supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung, terutama terhadap pengelolaan
hubungan para pihak yang terlibat dalam proses produksi proyek konstruksi
bangunan gedung.

Berdasarkan uraian diatas, maka pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran
kinerja dari pola supply chain proyek konstruksi bangunan gedung yang telah
teridentifikasi dengan menggunakan indikator-indikator pengukuran yang telah
dikembangkan pada penelitian sebelumnya, terutama pada kajian hubungan antar
pihak yang terlibat dalam supply chain konstruksi bangunan gedung dalam
rangka implementasi konsep Konstruksi Ramping (Lean Construction).

I.2 Rumusan Masalah

Persaingan ketat antara perusahaan konstruksi secara tidak langsung menuntut


agar perusahaan meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses kerjanya. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah menerapkan konsep supply chain management
secara optimal sebagaimana yang telah dilakukan oleh kalangan industri
konstruksi di luar negeri. Terlebih lagi dengan karakteristik industri konstruksi
sebagai suatu industri yang unik dengan keterlibatan banyak pihak dalam proses
produksinya yang secara tidak langsung akan melibatkan banyak pihak pula
supply chain -nya dan kesemuanya itu memerlukan suatu pengelolaan yang baik
sehingga akan dapat menghasilkan kinerja yang baik pula.

Beranjak dari hal tersebut di atas maka perlu dilakukan suatu pencarian gambaran
kinerja dari supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung yang
4

dilakukan melalui suatu tahapan pengukuran dengan menggunakan indikator-


indikator pengukuran yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Hasil dari kajian
ini diharapkan akan dapat dipergunakan sebagai acuan bagi perusahaan dalam
membentuk dan mengelola supply chain-nya terutama yang terkait dengan
hubungan antar pihak-pihak yang terlibat pada proses produksinya dalam rangka
implementasi konsep Konstruksi Ramping (Lean Construction).

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, yang bertujuan mencari gambaran kinerja supply
chain proyek terhadap implementasi prinsip-prinsip konstruksi ramping (lean
construction) dari beberapa pola supply chain yang telah teridentifikasi, sebagai
langkah awal dalam pencapaian efisiensi di industri konstruksi. Hal ini dilakukan
melalui eksplorasi dari beberapa proyek konstruksi bangunan gedung yang
terdapat di Jakarta dengan menggunakan indikator pengukuran kinerja yang
merupakan hasil penelitian sebelumnya.

I.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas diharapkan dari kajian ini akan diperoleh


temuan gambaran kinerja dari masing-masing pola supply chain yang telah
teridentifikasi pada proyek studi kasus sebagai usaha untuk mencapai tujuan
penghematan-penghematan dari berbagai segi pada pelaksanaan pekerjaan
konstruksi bangunan gedung. Selain itu juga akan dapat diketahui kekuatan dan
kelemahan dari sistem pendelegasian tugas dan pengelolaan para pihak yang
terlibat dalam supply chain dalam proyek konstruksi bangunan gedung yang
selama ini telah dilakukan oleh kontraktor-kontraktor besar di Indonesia dalam
rangka implementasi konsep konstruksi ramping (Lean Construction).

Sebagai konstribusi bagi pihak kontraktor pelaksana diharapkan hasil dari


penelitian ini nantinya dapat menjadi suatu pertimbangan dalam melakukan
pembentukan supply chain dalam pelaksanaan pekerjaan serta metoda
5

pengelolaan supply chain yang harus dilakukan. Begitu pula dengan pihak-pihak
lain yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi bangunan gedung.

I.5 Posisi Penelitian

Studi mengenai supply chain konstruksi yang mendukung perkembangan ke arah


konstruksi ramping (lean construction) di Indonesia baru memasuki tahap awal.
Nurisra (2002) dalam penelitiannya, “Kajian Hubungan Kerjasama
Subkontraktor dan Kontraktor di Indonesia”, melakukan pengkajian secara
terbatas permasalahan yang terdapat dalam hubungan antara kontraktor dan
subkontraktor. Syadaruddin Syachrani (2005) dalam penelitiannya
“Pengembangan Model Pemilihan Mitra Pemasok pada Proyek Konstruksi”,
mengembangkan suatu prosedur pemilihan mitra pemasok beserta model
kemitraannya yang terdiri atas model umum sistem evaluasi pemilihan mitra
pemasok beserta tata cara pemilihannya dengan mempertimbangkan aspek
negosiasi. Penelitian ini juga berhasil mengembangkan model organisasi
kemitraan antara kontraktor dan pemasok.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hengki A. Roza (2006) mengenai


“Pengembangan Model Pengukuran Kesiapan Kontraktor Indonesia Menuju
Konstruksi Ramping”, telah dilakukan suatu pengukuran mengenai sejauh mana
pihak-pihak yang telibat dalam usaha jasa konstruksi (dengan fokus terhadap
kontraktor saja) telah memahami dan menerapkan konsep dasar dari prinsip-
prinsip konstruksi ramping dalam proses produksinya. Sedangkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Riko Hadi Nugroho (2006) mengenai ”Kajian
Hubungan Antara Kontraktor Utama dengan Subkontraktor pada Proyek
Konstruksi”, telah berhasil mengidentifikasi proses pengadaan yang dilakukan
oleh kontraktor dalam memilih subkontraktor yang akan bekerjasama dalam
pelaksanaan proyeknya. Pada penelitian ini juga teridentifikasi keterkaitan antara
kontrak utama dengan subkontrak. Selain itu juga telah dilakukan penelitian oleh
Dewi Yustiarini (2007) mengenai “Proses Penjaminan Mutu Dalam Rantai
Pasok Pada Industri Konstruksi”, yang mengidentifikasi proses penjaminan
6

mutu yang telah dilakukan oleh kontraktor pada rantai pasoknya dalam proyek-
proyek di industri konstruksi.

Sebagai langkah awal dalam pemetaan supply chain pada konstruksi bangunan
gedung di Indonesia sehingga diperoleh gambaran mengenai pola supply chain
secara lebih lengkap, Susilawati (2005) dalam penelitiannya “Studi Supply Chain
Konstruksi pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung” telah melakukan
eksplorasi secara mendalam terhadap pola dan proses pembentukkan supply chain
pada proyek konstruksi khususnya pada proyek pembangunan bangunan gedung.
Dan dari penelitian ini telah teridentifikasi 4 (empat) pola supply chain yang biasa
dipraktekkan oleh kontraktor-kontraktor di Indonesia dalam pelaksanaan proyek
konstruksi bangunan gedung.

Sebagai langkah selanjutnya dari telah terbentuknya pola-pola supply chain


konstruksi bangunan gedung, maka perlu dilakukan pengukuran terhadap kinerja
supply chain yang telah teridentifikasi pada penelitian terdahulu (Susilawati,
2005). Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan akan dapat diketahui
gambaran pola supply chain yang mana akan memberikan kinerja yang paling
besar dalam pengelolaan suatu proyek konstruksi bangunan gedung. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang telah dikembangkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Wirahadikusumah (2007), “Kajian
Hubungan Antar Pihak yang Terlibat dalam Rantai Pasok Proyek Konstruksi
Bangunan Gedung” yang merupakan Riset Kelompok Keahlian Institut
Teknologi Bandung. Secara skematis keterkaitan antar penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya disajikan pada Gambar I.1.
7

Penelitian Terdahulu
Kajian Hubungan Studi Supply Kajian Hubungan Antar
Kerjasama Chain pada Pihak yang Terlibat
Subkontraktor dan Proyek Konstruksi dalam Rantai Pasok Prinsip-
Kontraktor di Bangunan Gedung Proyek Konstruksi prinsip
Indonesia (Susilawati, 2005) Bangunan Gedung Supply
(Nurisra, 2002)
(Wirahadikusumah, 2007) Chain
Pengembangan Management
Model Penilaian
Pengembangan Kesiapan
Model Pemilihan Kontraktor
Mitra Pemasok pada Indonesia Menuju Kajian Kinerja Prinsip-
Proyek Konstruksi Konstruksi Supply Chain prinsip Lean
(Syachrani, S., 2005) Ramping pada Proyek Construction
(Roza, H.A., 2005) Konstruksi
Bangunan
Kajian Hubungan Gedung
Proses
Kontraktual antara Penjaminan Mutu
Kontraktor Utama Dalam Dalam
dengan Rantai Pasok
Subkontraktor pada Pada Industri
Proyek Konstruksi Konstruksi (Dewi
(Nugroho, R.H., 2006) Yustiarini, 2007)

Gambar I.1 Posisi penelitian

I.6 Ruang Lingkup Penelitian

Untuk mengakomodasi tujuan penelitian di atas, maka ruang lingkup penelitian


ini diusulkan sebagai berikut:

1. Pengukuran terhadap kinerja dari supply chain yang ada dilakukan dengan
mengacu pada indikator-indikator kinerja yang telah dikembangkan.

2. Sebagai obyek penelitian dipilih proyek konstruksi bangunan gedung,


mengingat bangunan gedung merupakan salah satu proyek konstruksi yang
sangat dinamis dan kompleks, serta melibatkan banyak pihak didalam
pengelolaan proses produksinya, sehingga sangat memerlukan adanya
pengembangan suatu konsep pengelolaan supply chain konstruksi yang bisa
meningkatkan efektifitas dan efisiensi selama proses produksi tersebut.

3. Penelitian ini erat kaitannya dengan penelitian-penelitian terdahulu, maka


proyek yang akan menjadi studi kasus pada penelitian ini akan dibatasi hanya
8

pada proyek konstruksi bangunan gedung yang berlokasi di Jakarta dengan


karakteristik yang sesuai dengan pola supply chain yang telah teridentifikasi
pada penelitian yang dilakukan oleh Susilawati (2005). Hal ini juga dilakukan
mengingat penelitian ini juga tidak terlepas dari kerangka waktu yang ada,
sehingga akan lebih memudahkan dalam proses pengumpulan data.

I.7 Sistematika Pembahasan

Pemaparan proses dan hasil penelitian ini dilakukan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, akan memaparkan latar belakang yang menjadi konstelasi


dari permasalahan yang diajukan, hingga muncul dua permasalahan yang
mendasari penelitian ini. Batasan permasalahan dilakukan guna memperjelas
lingkup dari penelitian ini. Dengan batasan tersebut, maka tujuan dan manfaat
penelitian akan semakin terarah.

Bab II Studi Literatur, menguraikan landasan teori yang dipakai dalam


mengkaji berbagai aspek yang relevan dengan permasalahan dalam studi ini.
Dengan demikian maka landasan teori yang dibentuk dalam penelitian ini
merupakan lensa yang dipakai dalam melihat objek studi yang dilakukan dalam
penelitian ini. Dalam proses penelitian, kajian pustaka memberikan kontribusi
dalam pengembangan instrumen pengumpulan data, berupa gambaran terhadap
aspek-aspek yang akan diteliti, hingga menghasilkan butir-butir pertanyaan dalam
wawancara.

Bab III Metodologi Penelitian, berisi metodologi penelitian yang dipakai,


sebagai cara untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang
diajukan.

Bab IV Studi Kasus, berisi deskripsi dari masing-masing studi kasus yang
dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini dimulai dari deskripsi proyek yang terdapat
9

di Jakarta. Proyek yang terpilih memiliki banyak pelaku supply chain yang terlibat
dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung

Bab V Analisis dan Pembahasan, memuat berisi proses analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini. Dimulai dengan pengukuran kinerja dari masing-masing
proyek studi kasus dengan menggunakan indikator pengukuran dan melakukan
pembahasan keterkaitan kinerja supply chain masing-masing proyek dengan
konsep lean construction.

Bab VI Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari temuan yang diperoleh
sebagai hasil dari proses penelitian, serta uraian tentang keterbatasan-keterbatasan
yang terjadi sebagai bagian dari proses pencarian jawaban yang dirasakan masih
kurang untuk mendukung kesempurnaan dalam penelitian ini, yang kemudian
akan menjadi saran terhadap arah bagi penelitian selanjutnya.
II. Bab II Studi Literatur

II.1 Supply Chain di Industri Konstruksi

Konsep supply chain pada awalnya berkembang di industri manufaktur. Supply


chain adalah suatu jaringan kerjasama dalam menyediakan material atau bahan
baku yang melibatkan beberapa pihak. Material tersebut meliputi bahan mentah
maupun bahan setengah jadi. Secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
supply chain adalah supplier, pusat produksi, pusat distribusi, gudang, pusat
penjualan dan lain-lain. Adapun pertimbangan utama dalam menentukan kinerja
supply chain adalah total biaya dan waktu yang minimum sesuai kualitas yang
disyaratkan.

Seiring dengan pengertian supply chain yang berkembang di industri manufaktur,


maka dalam konteks konstruksi, supply chain dapat didefinisikan sebagai suatu
proses dari sekumpulan aktifitas perubahan material alam hingga menjadi produk
akhir (seperti jalan atau bangunan) dan jasa (seperti perencanaan atau biaya)
untuk digunakan oleh klien dengan mengabaikan batas-batas organisasi (Rebeiro
& Lopes, 2001). Menurut Vrijkoef (1998), supply chain adalah jalinan kerjasama
perusahaan yang berinteraksi untuk menyampaikan produk (barang atau jasa)
kepada pelanggan akhir, hubungan aliran material dari bahan mentah sampai
pengiriman terakhir dari rantai.

Towill et al (1992) menyatakan supply chain adalah suatu sistem, pemilihan


bagian termasuk supply material, fasilitas produksi, jasa distribusi dan pelanggan
yang saling berhubungan lewat perpindahan informasi. Menurut Bechtel et al
(1997), supply chain adalah produk dan arus informasi dua arah yang melalui
semua partisipan dalam sistem di mulai dari supplier dan berakhir pada pelanggan
pengguna akhir. Sedangkan menurut Lee & Billington (1992), supply chain
adalah jaringan fasilitas untuk menyediakan raw material, mengubahnya menjadi
produk setengah jadi hingga menjadi produk akhir untuk selanjutnya diserahkan
kepada pemakai melalui suatu sistim distribusi.

10
11

Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supply
chain merupakan keterlibatan jaringan organisasi dari organisasi hulu sampai hilir
yang melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bernilai
sampai pada pelanggan terakhir. Rangkaian hubungan customer-supplier tersebut
terjadi dalam suatu rentang proses perubahan material, dimulai dari tahapan
material alam hingga produk akhirnya mencapai pengguna akhir, bagaikan suatu
rangkaian mata rantai yang terhubungan secara linier. Namun bentuk supply chain
dalam konteks bisnis yang sesungguhnya memiliki bentuk yang kompleks.
Kompleksitas hubungan tersebut, terjadi karena suatu perusahaan tertentu
memiliki hubungan ke hulu dengan beberapa supplier-nya (multiple suppliers),
dan ke hilir dengan beberapa customer-nya (mutiple customers). Di dalam suatu
supply chain terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan, dirancang, dan
diimplementasikan untuk mendapatkan aliran material, informasi dan dana yang
efektif.

Berdasarkan hasil pengembangan yang dilakukan oleh O’Brien, London dan


Vrijhoef (2002) terlihat adanya kompleksitas supply chain terhadap besaran angka
perusahaan yang menyusun supply chain konstruksi serta dorongan kekuatan
pasar dan jarak yang lebar dalam perusahaan. Kegiatan dalam lokasi proyek telah
memiliki jaringan tersendiri antara kegiatan satu dengan kegiatan yang lain. Di
luar lokasi proyek terdapat pihak-pihak supplier, subcontractor, designers, dan
owner yang secara langsung maupun tidak langsung bekerjasama sehingga
membentuk supply chain untuk mendukung kelancaran dari kegiatan di dalam
lokasi proyek tersebut. Ilustrasi dari pengembangan ini sebagaimana terlihat pada
Gambar II.1 berikut.
12

Supplier

Supplier

Sub

Designers

Owner
Contractor:
Supplier Sub
GC,CM,...
Supplier

Supplier Project-Site Activity


Precende Network

Gambar II.1 Gambaran Konseptual Supply Chain Konstruksi


(Sumber : O’Brien , 2002)

Dengan model-model yang dikemukakan oleh peneliti supply chain dalam


industri konstruksi, maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik dari supply
chain konstruksi, yaitu:

• Karakteristik produknya unik – produk konstruksi bangunan pada umumnya


dibuat berdasarkan permintaan tertentu (custom made product). Dengan
demikian tidak ada satu pun produk konstruksi yang sama - walaupun hal ini
tergantung pada tingkatan mana melihatnya.

• Dilakukan oleh organisasi yang bersifat sementara (temporary organization).


Suatu rangkaian supply chain yang terbentuk yang menghasilkan produk
konstruksi, akan berakhir ketika selesai masa produksi.

• Produknya terikat pada tempat tertentu, sehingga proses produksinya


berlangsung di site konstruksi (in site production). Hal ini juga memberikan
kontribusi terhadap keunikan produk konstruksi, karena pada proyek yang
sama, baik kondisi fisik (kondisi tanah, pengaruh cuaca, dll) maupun non fisik
(regulasi yang berlaku, kondisi lalulintas, dll) yang mempengaruhinya tidak
akan pernah sama.
13

• In site production dan off site production. Terjadinya produksi di dalam site
konstruksi (in site production), telah membagi dua batasan proses yang terjadi
dalam produksi konstruksi.

• Diproduksi dalam lingkungan alam yang tidak terkendali, sehingga terdapat


ketidakpastian yang tinggi dalam konstruksi.

Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa supply chain di industri


konstruksi sangatlah kompleks, sehingga sistem jaringan supply yang terjadi pada
proses produksinya juga menjadi sangat kompleks. Suatu studi menunjukkan
bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan
biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 1993). Hal ini menunjukkkan bahwa pola
supply chain konstruksi juga akan memberikan kontribusi terhadap efisiensi suatu
pelaksanaan proyek, sehingga supply chain konstruksi memiliki potensi untuk
menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya peningkatan
dalam industri konstruksi.

Dalam konteks konstruksi di mana fragmentasi sudah menjadi bagian dari


karakteristik industri ini, maka peningkatan yang dapat dilakukan adalah melalui
manajemen hubungan terhadap organisasi yang terlibat dalam suatu susunan
supply chain yang menghasilkan produk konstruksi tertentu. Dengan demikian
sangatlah perlu dilakukan pengelolaan supply chain yang baik sehingga dapat
mengurangi kesia-siaan (ketidakefisienan) dan optimalisasi pencapaian value
dalam supply chain-nya, agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
dan memberikan kepuasan pada pelanggan.

II.1.1. Pelaku-pelaku supply chain konstruksi

Pada supply chain di industri manufaktur terdapat lima komponen utama sebagai
pelakunya, yaitu supplier, manufaktur, distributor, retailer, dan customer (Indrajit,
2005), sementara itu berdasarkan beberapa model yang dikembangkan di supply
chain konstruksi, dapat disimpulkan beberapa komponen utama dalam suatu
supply chain konstruksi, yaitu:
14

Owner (Pelaku Hilir)

Dalam proses produksi konstruksi bila produk yang dibuat berdasarkan


permintaan owner, maka peran owner sangat tinggi. Proses supply chain
konstruksi dimulai dari inisiatif owner yang memprakarsai dibuatnya produk
konstruksi bangunan dan berakhir pada owner ketika produk tersebut selesai
diproduksi (Vrijhoef, 1999:138). Peran owner ada dalam setiap tahapan, sejak
tahap feasibility study, perencanaan, pengadaan, pelaksanaan, operasi, dan
pemeliharaan. Bahkan dalam tahapan proses produksi owner dapat menunjuk
langsung pihak yang terlibat untuk pelaksanaan nominated subcontractor/
nominated supplier.

Kontraktor (Pelaku Utama)

Kontraktor adalah suatu organisasi konstruksi yang memberikan layanan


pekerjaan pelaksanaan konstruksi berdasarkan perencanaan teknis dan spesifikasi
yang telah ditetapkan. Sekarang ini berkembang berbagai organisasi yang
berperan sebagai kontraktor, mulai dari perusahaan individu hingga perusahaan
besar dengan jumlah pekerja yang banyak. Begitu pula dengan ruang lingkup
pekerjaan kontraktor dalam suatu proyek, terdapat spektrum yang sangat beragam,
mulai dari lingkup pekerjaan yang sangat sempit, hingga lingkup keseluruhan
pekerjaan dalam suatu proyek konstruksi.

Subkontraktor, supplier dan mandor (pelaku di hulu)

 Subkontraktor dan Spesialis

Subkontraktor adalah perusahaan konstruksi yang berkontrak dengan


kontraktor utama untuk melaksanakan beberapa bagian pekerjaan kontraktor
utama. Terminologi subkontraktor dalam konteks tradisional terdapat satu
kontraktor yang memiliki hubungan kontrak dengan owner yaitu kontraktor
utama sehingga menempatkan kontraktor lainnya yang tidak memiliki
hubungan langsung dengan owner sebagai subordinan dari kontraktor utama
15

tersebut. Hirarki dalam hubungan kontrak ini menimbulkan istilah kontraktor


utama, subkontraktor, bahkan sub-subkontraktor.

Penggolongan subkontraktor berdasarkan jenis aktivitas terdiri dari:


subkontraktor pada aktivitas dasar, subkontraktor pada pekerjaan yang
membutuhkan teknik khusus, serta subkontraktor pada pekerjaan khusus dan
yang berkaitan dengan material khusus. Sedangkan penggolongan
subkontraktor berdasarkan sumber daya yang diberikan terdiri dari:
subkontraktor yang memberikan jasa pelaksanaan saja (labor-only
subcontractor), subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja
dan material, subkontraktor yang memberikan sumber daya berupa pekerja,
material, dan perencanaan (design), serta subkontraktor yang memberikan
sumber daya berupa pekerja, material, dan perencanaan (design), dan jasa
pemeliharaan. Sedangkan specialist trade contractor adalah suatu perusahaan
yang memberikan design, manufacture, purchase, assembly, installation,
testing, dan commission dari item-item yang diperlukan dalam suatu proyek
konstruksi bangunan. Specialist trade contractor dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu specialist contractor yang memberikan jasa perencanaan (design
service) bagi item yang diproduksi serta dipasang pada konstruksi bangunan
dan trade contractor yang melaksanakan pekerjaan dengan skill tertentu
dalam konstruksi bangunan tanpa melakukan perencanaan.

 Subkontraktor tenaga kerja

Industri konstruksi merupakan entry point yang relatif mudah dalam


memasuki dunia kerja sehingga muncul suatu kelompok pekerja dengan skill
yang rendah. Kelompok ini memiliki pemimpin yang disebut dengan mandor.
Mandor bertindak sebagai penghubung antara kontraktor dengan pekerja.
Mandor memberikan jasa kepada kontraktor sebagai pemasok tenaga kerja
(labor only subcontractor) berbagai keahlian yang spesifik (misalnya: tukang
gali, tukang batu, dan tukang kayu) dan tingkatan keahlian yang berbeda-beda
(misalnya: pekerja terampil, pekerja setengah terampil, dan tukang). Dengan
16

proses produksi pada industri konstruksi yang umumnya memiliki


karakteristik penggunaan teknologi yang relatif rendah serta tingginya
intensitas penggunaan pekerja maka keberadaan mandor sebagai pemasok
tenaga kerja yang menyediakan jasa kepada kontraktor untuk
mengkonversikan material menjadi intermediate product sangat diperlukan.

 Supplier dan manufaktur konstruksi

Dilihat dari jenis material yang diperlukan dalam suatu proyek konstruksi
bangunan, terdiri dari material alam seperti pasir, kerikil, batu alam, dan
material hasil produksi manufaktur seperti besi beton, keramik, panel beton
precast. Dengan demikian terdapat dua jenis pelaku yang terlibat dalam aliran
material-material yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi bangunan:

– Manufaktur konstruksi memproduksi material-material konstruksi dengan


mengolah material-material alam hingga menghasilkan komponen
bangunan tertentu.

– Supplier mendistribusikan material yang diperoleh kepada pengguna. Dari


jenis material yang didistribusikan maka supplier ini dapat dibedakan
menjadi supplier material alam dan supplier komponen bangunan.

Material alam terlebih dahulu mengalami proses di dalam suatu manufaktur


sebelum memasuki lokasi konstruksi hal ini menunjukkan adanya hubungan
antar industri konstruksi dan industri manufaktur yang memproduksi
komponen bangunan. Industri manufaktur khususnya yang memproduksi
komponen konstruksi telah mendukung industri konstruksi. Adanya
manufaktur konstruksi sebagai pihak yang melakukan produksi di luar lokasi
konstruksi (off site production), memiliki kontribusi yang besar bagi
konstruksi untuk lebih mengefisienkan proses konstruksi yang terjadi dalam
lokasi konstruksi.
17

II.1.2. Hubungan dalam supply chain konstruksi

Dalam supply chain terdapat pihak yang berperan sebagai penyedia produk
(supplier) dan pelaku yang berperan sebagai pelanggan (customer). Pihak
penerima produk yang dihasilkan oleh supply chain tersebut disebut customer.
Dari sudut pandang kontraktor konstruksi maka pelaku yang berperan dalam
proses produksi di lokasi konstruksi, terlepas dengan siapa pelaku tersebut
memiliki hubungan kontrak, dapat dikelompokkan sebagai supplier. Maka
hubungan antara kontraktor dengan pelaku lain menurut pengertian supply chain
dibagi dua yaitu hubungan ke hilir yang menunjukkan hubungan kontraktor
dengan owner sebagai pelanggan (customer) dan hubungan ke hulu yang
menunjukkan hubungan kontraktor dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
produksi (contohnya supplier dan subkontraktor).

Berdasarkan sudut pandang supply chain, metode kontrak konstruksi menentukan


seberapa besar lingkup kontraktor dalam proyek konstruksi sehingga akan
mempengaruhi keluasan supply chain yang dibentuk oleh kontraktor tersebut.
Pemilihan metode kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan owner sebagai
pihak yang pada akhirnya akan menerima nilai (value) dari berbagai proses yang
dilakukan oleh jaringan pelaku supply chain.

II.2 Supply chain pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung

Berdasarkan penelitian Susilawati (2005) telah teridentifikasi empat bentuk pola


supply chain yang biasa ditemui pada proyek-proyek konstruksi khususnya
bangunan gedung, yang terdiri dari dua pola umum yang secara garis besar
dibentuk berdasarkan metoda kontrak yang digunakan, yaitu berdasarkan metoda
Kontrak Umum/ General Contract Method dan metoda Kontrak Terpisah/
Separate Contract Method, dimana dari masing-masing pola umum tersebut
memiliki satu pola khusus sebagai perluasan dari ada-tidaknya keterlibatan
pemilik dalam pengadaan material. Masing-masing pola diilustrasikan pada
Gambar II.2 sampai dengan Gambar II.5 berikut ini.
18

Gambar II.2 Pola–1 Supply chain konstruksi bangunan gedung


(Sumber : Susilawati, 2005)

Pola umum dapat diidentifikasi sebagai pola yang terjadi dalam supply chain
kontraktor dengan tiga pola hubungan umum yang sering terjadi, yaitu:

• Pada pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor


memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan
pekerja (labor).

• Pada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor kepada subkontraktor


untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada spesialis untuk jenis
pekerjaaan yang memerlukan keahlian khusus. Dalam hal ini umumnya
subkontraktor dan spesialis tersebut melakukan pengadaan material, alat dan
labor-nya sendiri. Dengan demikian maka dalam pekerjaan yang
disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai).

Pola khusus - Pola Supply chain Owner. Dari pola umum tersebut terdapat pola-
pola khusus yang terjadi khususnya pada proyek konstruksi bangunan dengan
metoda kontrak terpisah, dan metoda kontrak MK profesional. Dalam hal ini pola
khusus yang terjadi disebabkan oleh adanya peran owner yang membentuk pola
khusus dalam dua kasus, yaitu:
19

Kasus 1: terjadinya hubungan langsung owner dengan pihak penyedia material,


yang terjadi baik dalam pola khusus kasus 1 (pola hubungan langung owner
dengan tiga penyedia jasa) sebagaimana terlihat pada Gambar II.3, maupun
dalam pola umumnya sebagaimana terlihat pada Gambar II.5. Pola hubungan
khusus ini menunjukkan peran owner yang besar, yang dilakukan dalam setiap
tingkatan yang ada, sebagai usaha untuk menekan biaya konstruksi yang terjadi.

Kasus 2: terjadinya hubungan langsung antara owner dengan pihak penyedia jasa
lainnya selain kontraktor, sehingga terbentuk pola hubungan yang setara dari tiga
pihak, yaitu kontraktor, subkontraktor, dan spesialis dalam pola hubungan yang
setara.

Hal ini menunjukkan meningkatnya peran pihak penyedia jasa selain kontraktoir
dalam struktur pengadaan pada proyek konstruksi bangunan, yang ternyata tidak
hanya terjadi pada spesialis saja, namun juga pada subkontraktor sehubungan
dengan besarnya volume pekerjaan yang dilakukan walaupun jenis pekerjaannya
merupakan pekerjaan dasar, yang sebelumnya berada pada tingkat organisasi ke
tiga menjadi organisasi tingkat ke 2 - setara dengan kontraktor sebagaimana
terlihat pada Gambar II.4.

Dalam pola hubungan langsung owner dengan spesialis dan subkontraktornya,


juga terdapat peran owner dalam pengadaan komponen materialnya, sehingga
terdapat hubungan langsung owner sebagai organisasi tingkat 1 dengan supplier
sebagai organisasi tingkat ke 3. Pemecahan komponen material dari komponen
jasa yang dilakukan oleh owner, merupakan strategi owner dalam usaha untuk
menekan biaya. Hal ini memperlihatkan suatu perbedaan pola pengadaan, yang
pada mulanya dilakukan secara hirarkis menjadi pengadaan langsung yang
dilakukan oleh owner.
20

Gambar II.3 Pola–2 Supply chain konstruksi bangunan gedung


(Sumber : Susilawati, 2005)

Dalam pembentukan pola-pola jaringan tersebut, terdapat beberapa aspek tinjauan


yang diperkirakan dapat mempengaruhi supply chain yang terbentuk. Aspek-
aspek ini ditinjau terhadap dua tingkatan, di tingkat perusahaan dan proyek serta
disusun berdasarkan garis pengaruh yang terjadi dalam tiap tingkatan, yang
berawal dari hubungan kontraktor dengan pihak hilirnya – yaitu hubungan
kontraktor owner dari masing-masing proyek, maupun hubungan kontraktor
dengan pihak hulunya – pihak yang berperan sebagai subkontraktor, spesialis,
manufaktur, dan supplier yang memberikan input pada kontraktor.
21

Gambar II.4 Pola–3 Supply chain konstruksi bangunan gedung


(Sumber : Susilawati, 2005)

Gambar II.5 Pola–4 Supply chain konstruksi bangunan gedung


(Sumber : Susilawati, 2005)
22

II.3 Konsep Lean Construction

Aplikasi dari lean production di industri konstruksi dikenal sebagai lean


construction (Howe, 1999). Konsep ini lebih dulu berkembang di sektor
manufaktur yang merupakan suatu konsep pencapaian kinerja maksimum dengan
cara meminimumkan waste. Adapun waste yang dimaksud dalam konsep ini
adalah segala jenis pemborosan, baik yang berkaitan dengan penggunaan material,
produk antara, hingga pemborosan waktu, sehingga bukan hanya sekedar waste
dalam pengertian fisik. Dengan demikian maka target yang ingin dicapai dari
penerapan konsep lean production adalah zero waste. Aliran produksi yang
“ramping” ini dipercaya lebih responsif terhadap perubahan proses produksi
akibat permintaan produk akhir yang beragam (customized).

Secara umum konsep lean construction mengadopsi konsep “lean” dari sistem
manufaktur. Implementasi konsep ini di industri konstruksi memerlukan banyak
penyesuaian mengingat sifat dari proyek konstruksi yang unik dan memiliki
kompleksitas yang lebih tinggi dibanding industri manufaktur.

Pada tahun 1992, Koskela melalui penelitiannya mengembangkan suatu


paradigma manajemen produksi untuk sistem produksi berbasiskan proyek
(Project-based production sistem). Teori dasar yang dikembangkan menyangkut
aspek produksi yang berbasiskan proyek konstruksi. Ide dasar dari konsep ini
adalah bahwa suatu kegiatan konstruksi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai
proses penciptaan produk dari input menjadi output (Conversion/C) saja namun
harus dilihat juga sebagai suatu Flow (F) dari pekerjaan dan suatu penciptaan
Value (V) sebaik mungkin.

Conversion merupakan suatu proses perubahan input menjadi output sehingga


bisa dimanfaatkan oleh konsumen atau digunakan untuk proses produksi. Aplikasi
dari konsep conversion ini sangat berkaitan dengan hirarki dan komposisi aktifitas
dalam usaha mengontrol dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya. Konsep
conversion ini sangat fokus kepada aktifitas, sehingga kurang memperhatikan
terhadap aktifitas yang tidak memberikan tambahan value (non-value adding
23

activities). Sehingga perlu dilengkapi dengan konsep baru yang bisa lebih
memperhatikan non-value adding activities tersebut.

Beranjak dari kekurangan konsep conversion dalam memperhatikan non-value


adding activities, maka dikembangkan konsep flow. Konsep flow memandang
produksi sebagai rangkaian aktifitas proses produksi, aktifitas menunggu, aktifitas
inspeksi dan proses perpindahan aktifitas. Dalam pandangan konsep flow ini,
aktifitas proses produksi hanya dilihat sebagai aktifitas yang dapat memberikan
tambahan value pada konsumen saja, sementara aktifitas menunggu, inspeksi dan
perpindahan dikategorikan sebagai aktifitas yang tidak memberikan tambahan
value (non-value adding activities), sehingga harus diminimalkan dari proses
produksi yang utama.

Konsep flow ini sangat menekankan pada usaha meminimalkan non-value adding
activities dan meningkatkan value adding activities. Tujuan utama dari konsep ini
adalah untuk mencapai lean production system dengan sesedikit atau bahkan
dengan tidak ada waste. Mengidentifikasi dan mengurangi sumber dari waste
merupakan langkah awal untuk penerapan konsep ini.

Konsep value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan
kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu,
tempat dan biaya yang telah ditentukan. Konsep ni harus mencakup seluruh aspek
dalam sistem produksi dan persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan
harus menjadi sumber utama dalam menentukan prioritas strategi dalam sistem
produksi.

Dari literatur-literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa pengelolaan conversion


merupakan hal yang penting di konstruksi, yaitu dengan mengontrol dan
mengoptimalkan sumberdaya melalui hirarki, sehingga proses produksi dari input
menjadi output di proyek konstruksi dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan flow
di konstruksi dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem perencanaan dan
pengendalian proyek. Perencanaan yang bisa menjamin dan mengoptimalkan
aktifitas dalam proses produksi yang merupakan value adding activities dan
24

mengurangi non-value adding activities akan mampu menciptakan flow pekerjaan


yang lancar. Sementara penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen
merupakan konsep dasar yang melingkupi semua tahapan dalam proses produksi
suatu produk.

II.4 Pengukuran Kinerja

II.4.1. Definisi umum pengukuran kinerja

Faktor utama yang harus dimiliki perusahaan agar dapat bertahan dan bersaing
adalah kemampuan mereka dalam mengikuti perkembangan yang ada, baik yang
datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) perusahaan.
Kemampuan mengikuti perkembangan inilah yang nantinya menentukan di mana
posisi dan keunggulan perusahaan tersebut dalam peta persaingan. Untuk itulah
diperlukan suatu pengukuran kinerja yang mampu mengukur prestasi perusahaan
tersebut. Menurut Romano (1989), pengukuran kinerja (performance
measurement) merupakan salah satu proses dalam sistem pengendalian
manajemen, dengan membandingkan dan mengevaluasi antara rencana yang
dibuat dan hasil yang dicapai, menganalisis penyimpangan yang terjadi dan
melakukan perbaikan.

Pengukuran kinerja adalah proses pengukuran efektifitas dan efisiensi dari suatu
tindakan (Neely et.al, 1995) sementara itu, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young
(1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:

“The activity of measuring the performance of an activity or the entire value


chain.”

II.4.2. Manfaat pengukuran kinerja

Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik
adalah sebagai berikut:
25

1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa


perusahaan lebih dekat pada pelanggan dan membuat seluruh orang dalam
organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan;

2. Memotivasi karyawan untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata


rantai pelanggan dan pemasok internal;

3. Mengidentifikasikan berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya


pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste);

4. Membuat suatu tinjauan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih
konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;

5. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi


“reward” atas perilaku yang diharapkan tersebut.

II.4.3. Perbedaan sistem pengukuran kinerja tradisional dan modern

Selama ini pengukuran kinerja yang lazim digunakan adalah pengukuran kinerja
yang masih menekankan pada ukuran kinerja keuangan saja, sedangkan tolok
ukur yang digunakan dalam melakukan pengukuran serta evaluasi kinerja tersebut
masih menggunakan metode tradisional, yaitu melakukan Analisis Laporan
Keuangan. Saat ini hasil laporan keuangan sudah dapat dikatakan mencukupi dan
memadai untuk mewakili kondisi dan posisi perusahaan dalam persaingan.

Pengukuran kinerja tradisional berdasarkan pada ukuran keuangan (seperti rasio


laba modal, cash flow) tidak lagi mempresentasikan kebutuhan informasi dari
persaingan global sekarang ini (Ghalayini et al., 1996). Agar mampu bersaing
dengan pesaingnya, organisasi atau perusahaan modern harus merubah prioritas
strateginya dari orientasi ukuran keuangan ke pengukuran kinerja alternatif, yang
memusatkan atas ukuran kinerja non keuangan, seperti kualitas, fleksibilitas, dan
lead-time yang singkat. Menurut Christopher (1992) dan Tony et al. (1994),
sebagian besar penelitian saat ini masih bertumpu pada pengukuran kinerja
tradisional, dan hanya sedikit penelitian yang membahas tentang pengukuran
kinerja bukan keuangan (non-financial).
26

Tabel II.1 Perbedaan antara ukuran kinerja tradisional dan modern


Traditional Performance Measures Non-Traditional Performance
Measures
Based on outdated traditional accounting Based on company strategy
sistem
Mainly financial measures Mainly non-financial measures
Intended for middle and higher managers Intended for all employee
Lagging metrics (weekly on monthly) On-time metrics (hourly, or daily)
Lead to employee frustration Simple, accurate and easy to use
Neglected at the shopfloor Frequently used at the shopfloor
Have a fixed format Have no fixed format (depends on
needs)
Do not vary between locations Vary between locations
Do not change overtime Change overtime as the need change
Intended mainly for monitoring Intended to improve performance
performance
Not applicable for JIT, TQM, CIM, RPR, Applicable for JIT, TQM, CIM,
etc. RPR, etc.
Hinder continuous improvement Help in achieve continuous
improvement
(Sumber : Ghalayini dan Noble, J.S., 1996)

Saat ini penekanan yang diperlukan oleh semua organisasi atau perusahaan adalah
menggunakan dengan baik semua sumber yang dimilikinya secara efektif dan
efisien. Umumnya, ukuran kinerja yang digunakan selama ini lebih berdasarkan
pada sistem manajemen keuangan (Ghalayini et al., 1996). Hasil yang diperoleh
lebih memusatkan pada data-data keuangan (seperti return on investment, return
on sales, price variances, return on asset). Penggunaan informasi di dalam
analisis keuangan kinerja organisasi atau perusahaan merupakan hal yang kritis
(Schermerhorn et al., 2000). Aspek keuangan organisasi ini biasanya dinilai
menggunakan berbagai rasio keuangan.

Ukuran kinerja tradisional memiliki banyak keterbatasan (Ghalayini et al., 1996),


yaitu:
27

1. Sistem manajemen keuangan tradisional

Pada awalnya sistem pengukuran ini dikembangkan untuk kepentingan


menghitung total biaya operasional pabrik tekstil, seperti biaya tenaga kerja
dan biaya-biaya lain yang dikelompokkan sebagai biaya tambahan.

2. Strategi perusahaan

Sering kali ukuran kinerja tradisional yang digunakan tidak sesuai dengan
strategi perusahaan.

3. Sulit untuk diterapkan

Kendala yang sering dialami pada saat melakukan pengukuran kinerja


tradisional adalah mengkonversikan dari ukuran non-financial ke dalam ukuran
kinerja financial, misalnya mengukur kepuasan pelanggan, mengurangi lead-
time. Maka, ukuran kinerja tradisional sulit untuk digunakan di tingkat lantai
pabrik.

4. Inflexible

Laporan keuangan tradisional menggunakan format atau bentuk yang sama, di


mana format tersebut digunakan bagi semua departemen. Sedangkan masing-
masing departemen tersebut memiliki prioritas dan karakteristik yang
berlainan. Mungkin saja karakteristik yang digunakan dalam satu departemen
tidak saling berkaitan dengan departemen lainnya.

5. Mahal

Untuk menyiapkan laporan keuangan tradisional memerlukan banyak data


yang untuk memperolehnya memerlukan biaya mahal.

Pada akhir tahun 1980-an, muncul beberapa literatur yang membahas ukuran
kinerja yang menekankan pada ukuran kinerja non-traditional (Sink, & Smith,
1993; Maskell,1992; Dixon, Nanni & Vollman, 1990; Hayes, Wheelwright &
Clark, 1988). Karakteristik dari ukuran kinerja modern ini sebagai berikut:
28

▪ Ukuran yang berhubungan dengan strategi produksi; terutama ukuran-ukuran


non keuangan, sehingga membantu dalam pengambilan keputusan dengan
menyediakan informasi yang diperlukan.

▪ Ukuran tidak terlalu rumit sehingga memudahkan operator di lantai pabrik


dapat dengan mudah menggunakan dan memahami

▪ Ukuran-ukuran yang biasa berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan pasar


dinamis

Salah satu kegagalan di dalam perancangan dan penerapan sistem pengukuran


kinerja suatu perusahaan adalah tidak adanya keinginan dan kemampuan dari
pihak perusahaan untuk mengukur kinerjanya dengan tepat dan akurat
(Schermerhorn et al., 2000). Sedangkan Goold dan Quinn (1988), melakukan
survey terhadap 200 perusahaan di Inggris dan melaporkan bahwa hanya 11
persen dari perusahaan-perusahaan tersebut yang memiliki strategi sistem
pengukuran kinerja standar.

Seringkali perusahaan mengalami kesulitan pada saat mengukur kinerja mereka.


Kesulitan itu muncul pada saat mempertimbangkan dan mempergunakan aktifitas
atau fungsi perusahaan antara pengukuran kinerja tradisioanal dengan non
tradisioanal. Leong (1990) menyatakan bahwa pekerjaan produksi dan dimensi
kinerja utamanya berkaitan dengan kualitas, waktu, biaya dan fleksibilitas.
Sementara menurut Globerson (1985), sistem pengukuran kinerja suatu
organisasi seharusnya meliputi sekumpulan ukuran-ukuran yang dapat diukur dan
dirumuskan dengan baik, standar kinerja untuk masing-masing ukuran, aturan-
aturan untuk mengukur masing-masing kriteria, prosedur yang membandingkan
antara standar kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan.

Maskell (1988), mengemukakan enam prinsip perancangan sistem pengukuran


kinerja, yaitu :

1. Ukuran harus secara langsung berhubungan dengan strategi perusahaan.

2. Menggunakan ukuran kinerja non keuangan.


29

3. Satu ukuran kinerja belum tentu tepat untuk semua departemen atau bagian
pada suatu perusahaan.

4. Ukuran kinerja yang digunakan harus sederhana dan mudah untuk dipahami.

5. Ukuran kinerja harus memberikan umpan balik dengan cepat bagi


perusahaan.

6. Ukuran harus dirancang sehingga memotivasi perusahaan untuk melakukan


perbaikan berkelanjutan dibandingkan dengan hanya mengawasi.

Efektivitas dari suatu sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut


(Gunasekaran, et al., 2002):

• Mencerminkan hasil, bukan aktivitas yang dikerjakan;

• Lebih sederhana, tidak rumit, dan mudah dipahami oleh semua orang;

• Menyediakan kerangka pengukuran yang berkesinambungan;

• Menggunakan ukuran kinerja yang benar dan dapat dipercaya;

• Memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan biaya yang telah


dikeluarkan.

II.5 Pengukuran Kinerja Supply Chain

Kinerja supply chain adalah semua aktivitas pemenuhan permintaan customer


yang dinyatakan secara kuantitatif. Hasil yang akan diperoleh dalam bentuk angka
atau prosentase dari aktivitas pemenuhan permintaan perusahaan kepada
customernya. Tujuan pengukuran kinerja supply chain adalah :

• Untuk menciptakan proses delivery secara fisik (barang mengalir dengan lancar
dan inventory tidak terlalu tinggi)
• Melakukan stream lining information flow (adanya aliran informasi diantara
tiap channel)
• Cash flow yang baik pada setiap channel dari supply chain
30

Sejak beberapa tahun terakhir, issues mengenai pengukuran kinerja menarik


perhatian sejumlah perusahaan. Akan tetapi kebanyakan studi yang dilakukan
hanya berfokus pada kinerja proses manufakturing dan diasosiasikan dengan
indikator keuangan. Dengan perkembangan yang terjadi perlu dilakukan
pengembangan konsep pengukuran kinerja di bidang supply chain management.
Pengukuran kinerja supply chain sangat penting dilakukan di industri yang ingin
meningkatkan kompetensinya sebagai industri yang kuat. Kalangan industri pada
umumnya melakukan pengukuran kinerja terhadap supply chain-nya dengan
tujuan mengurangi biaya-biaya, memenuhi customer satisfication, dan
meningkatkan keuntungan mereka (Klapper dan Vivar, 1999). Selain itu
pengukuran kinerja supply chain diperlukan untuk mengetahui posisi supply chain
saat ini relatif terhadap kompetitor maupun terhadap tujuan yang hendak dicapai
serta berguna sebagai dasar untuk menentukan arah perbaikan berkelanjutan.

Menurut Handfield dan Nichols, Jr. (2000) sistem pengukuran kinerja supply
chain yang efektif dapat : (1) memberikan dasar untuk memahami sistem itu, (2)
mempengaruhi perilaku seluruh sistem , dan (3) memberikan informasi mengenai
hasil kerja sistem kepada setiap unit baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat
secara langsung di dalam supply chain. Pada akhirnya, pengukuran kinerja supply
chain yang dilakukan akan mengarah pula pada perbaikan kinerja keseluruhan.

Sebagian besar perusahaan tidak mempunyai pandangan yang luas mengenai


kinerja supply chain sehingga sulit melakukan perbaikan yang diperlukan bagi
perusahaan. Pada pengukuran kinerja terdiri dari 2 (dua) bagian utama, yaitu
pengukuran kinerja itu sendiri dan analisa terhadap hasil pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja dan analisanya dapat digunakan untuk : memberi pandangan
yang luas dalam proses supply chain dan cara-cara perbaikannya, memberikan
pandangan mengenai permintaan di dalam proses supply chain, pengontrol biaya,
pengontrol kualitas, dan menentukan level dan pengontrol dari pelayanan terhadap
konsumen (Trienekens dan Iivolby, 2000).
31

Beamon (1999) menggolongkan ukuran kinerja supply chain ke dalam dua


kelompok : kuantitatif dan kualitatif, melibatkan kepuasan dan respon pelanggan,
fleksibilitas, kinerja pemasok, biaya-biaya dan kesemuanya itu digunakan dalam
pemodelan supply chain. Selain itu peneliti juga mengidentifikasi tiga jenis
kriteria pengukuran kinerja suatu supply chain, yaitu :

• Sumber daya. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat efisiensi yang
setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara
lain total biaya, biaya distribusi, biaya produksi, biaya inventori dan lain
sebagainya.

• Keluaran. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat kepuasan pelanggan
yang setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini
antara lain volume produksi, jumlah penjualan, jumlah pesanan yang dapat
dipenuhi tepat waktu dan lain sebagainya.

• Fleksibilitas. Tujuan dari kriteria ini adalah untuk menciptakan kemampuan


yang tinggi dalam merespon perubahan yang terjadi di lingkungannya. Bentuk
nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara lain pengurangan jumlah
backorder, pengurangan jumlah lost sales, kemampuan merespon variasi
permintaan dan lain sebagainya.

Gunasekran (2001) mengembangkan suatu kerangka untuk mengukur strategi,


taktik dan kinerja tingkat operasional dalam supply chain, yang sebagian besar
berhubungan dengan supplier, pengiriman, layanan pelanggan dan biaya inventori
dan logistik. Sementara itu menurut Felix (2001), beberapa permasalahan yang
terjadi dalam sistem pengukuran kinerja supply chain antara lain : (1) tidak
adanya pendekatan yang seimbang dalam mengintegrasikan ukuran non keuangan
dan keuangan, (2) tidak adanya berpikir sistem , di mana suatu supply chain harus
dipandang sebagai satu kesatuan pengukuran yang utuh dari keseluruhan sistem
supply chain tersebut, dan (3) hilangnya konteks supply chain.
32

II.6 Dimensi dan Ukuran Kinerja Supply Chain

Menurut Tucker dan Taylor (1990), ukuran kinerja terdiri dari empat komponen
yaitu satuan metrik yang digunakan (kesesuaian, efisiensi, efektivitas, biaya dan
reaksi), suatu skala (rupiah, jam), suatu rumusan (persentase a terhadap b, rata-
rata waktu antara kegagalan) dan suatu kondisi saat pengukuran dilakukan.

Ukuran kinerja adalah suatu evaluasi kuantitatif dari suatu proses atau produk.
Suatu ukuran umumnya terdiri dari suatu angka dan satuannya. Angka tersebut
menunjukkan besarnya dan satuan menunjukkan suatu arti atau maksud. Metrik
(standar penilaian seperti frekuensi, persentase dan lain sebagainya) digunakan
untuk merefleksikan perkembangan suatu produk dan untuk menentukan apakah
sesuai atau tidak dengan progres yang diharapkan.

Pengelolaan, analisis dan perbaikan supply chain menjadi hal yang penting saat
ini. Model supply chain yang ada lebih menekankan pada dua ukuran kinerja
yang berbeda (Beamon,1999) :

1. Biaya, dan
2. Kombinasi antara biaya dan kemampuan reaksi pelanggan

Biaya-biaya tersebut meliputi biaya persediaan dan biaya operasional. Sedangkan


kemampuan reaksi pelanggan meliputi lead time, kemungkinan stock out dan
tingkat pemenuhan. Pada kenyataannya, masih banyak ukuran kinerja lain yang
berkaitan dengan analisis supply chain yang belum digunakan dalam penelitian
supply chain. Walaupun ukuran ini mungkin merupakan karakteristik penting
dalam suatu supply chain merupakan suatu tantangan, karena aspek kualitatif dari
masing-masing ukuran sulit untuk digabungkan ke dalam model kuantitatif.
Misalnya ukuran kepuasan konsumen (Christopher, 1994), aliran informasi
(Nicoll, 1994), kinerja pemasok (Davis, 1993), dan manajemen resiko (John dan
Randolph, 1995).
33

II.7 Pendekatan Proses dalam Pengukuran Kinerja Supply Chain

Sejalan dengan filosofi supply chain management yang mendorong terjadinya


integrasi antar fungsi, pendekatan berdasarkan proses (process based approach)
banyak digunakan untuk merancang sistem pengukuran kinerja supply chain.
Dengan menggunakan pendekatan ini, maka memungkinkan untuk
mengidentifikasi masalah pada suatu proses sehingga bisa mengambil tindakan
koreksi sebelum masalah tersebut meluas. Beberapa model dalam melakukan
pengukuran kinerja berdasarkan pendekatan proses, yaitu :

II.7.1. Model Chan & Li

Menurut Chan & Li (2003), pendekatan pengukuran kinerja berdasarkan proses


tidak hanya sejalan dengan hakekat dari supply chain management, tetapi juga
memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perbaikan berkelanjutan.
Pendekatan proses dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply chain
memungkinkan untuk mengidentifikasi masalah pada suatu proses sehingga bisa
mengambil langkah koreksi sebelum masalah tersebut meluas. Untuk merancang
sistem pengukuran kinerja yang berdasarkan proses, Chan & Li (2003)
menyarankan tujuh langkah berikut :

• Identifikasi dan hubungkan semua proses yang terlibat baik yang terjadi di
dalam maupun di luar organisasi

• Definisikan dan batasi proses inti

• Tentukan misi, tanggungjawab dan fungsi dari proses inti

• Uraikan dan identifikasi sub-proses

• Tentukan tanggungjawab dan fungsi sub-proses

• Uraikan lebih lanjut sub-proses menjadi aktivitas

• Hubungkan target antar hirarki mulai proses sampai ke aktivitas


34

Pada Gambar II.6 berikut terlihat ilustrasi struktur umum langkah-langkah


melakukan dekomposisi dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply
chain berdasarkan proses.

Tugas & Fungsi Proses Inti Target

Tugas & Fungsi Sub-proses Sub-proses Target

Tugas & Fungsi Aktivitas Aktivitas Target

Gambar II.6 Dekomposisi proses dalam pengembangan sistem pengukuran


kinerja supply chain berdasarkan proses
(Sumber : Chan & Li, 2003)

Chan & Li (2003) mengusulkan performance of activity (POA) yaitu model yang
digunakan untuk mengukur kinerja aktivitas yang menjadi bagian dari proses
dalam supply chain. Kinerja aktivitas diukur dalam berbagai dimensi yaitu :

• Ongkos yang terdapat dalam eksekusi suatu aktivitas


• Waktu yang diperlukan untuk mengerjakan suatu aktivitas
• Kapasitas pekerjaan yang bisa dilakukan oleh suatu sistem atau bagian dari
supply chain untuk periode tertentu
• Kapabilitas, kemampuan agregat suatu supply chain untuk melakukan suatu
aktivitas
• Produktifitas yang mengukur sejauh mana sumber daya pada supply chain
digunakan secara efektif dalam mengubah input menjadi ouput.
• Utilisasi yang mengukur tingkat pemakaian sumber daya dalam kegiatan
supply chain
• Outcome yang merupakan hasil dari suatu proses/ aktivitas.
35

Ketujuh metrik di atas memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dalam pengukuran
di lapangan. Dalam prakteknya, ongkos, waktu, kapasitas, dan produktifitas relatif
mudah diukur daripada metrik lainnya.

II.7.2. Model SCOR (Supply Chain Operation Reference)

SCOR (Supply Chain Operation Reference) adalah suatu model acuan dari operasi
supply chain yang merupakan model berdasarkan proses yang dikeluarkan oleh
suatu lembaga profesional, Supply Chain Council (SCC). Proses reference model
merupakan konsep untuk mendapatkan suatu kerangka (framework) pengukuran
yang terintegrasi (Supply Chain Council, 2001).

SCOR model merupakan suatu cara sebuah perusahaan untuk


mengkomunikasikan suatu kerangka yang menjelaskan mengenai supply chain
secara detail, mendefinikan dan mengkatagorikan proses-proses yang membangun
sebuah rantai supply chain. Selain itu, SCOR juga membangun metrik-metrik
pengukuran yang diperlukan dalam pengukuran kinerja supply chain (Klapper dan
Vivar, 1999).

Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen yaitu business
process reeingineering, benchmarking, dan process measurement ke dalam
kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga elemen tersebut memiliki
fungsi sebagai berikut :

• Business process reeingineering pada hakekatnya menangkap proses kompleks


yang terjadi saat ini (as is) dan mendefinisikan proses yang diinginkan (to be)

• Benchmarking adalah kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional


dari perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan
kinerja best in class yang diperoleh.

• Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan dan


memperbaiki proses-proses supply chain.
36

Sebagaimana terlihat pada Gambar II.7, SCOR membagi proses-proses supply


chain menjadi 5 proses inti yaitu plan, source, make, deliver, dan return.

Gambar II.7 Lima proses inti supply chain pada model SCOR
(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)

• Plan yaitu proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk


menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi
dan pengiriman. Plan mencakup proses menaksir kebutuhan distribusi,
perencanaan dan pengendalian persediaan, perencanaan produksi, perencanaan
material, perencanaan kapasitas, dan melakukan penyesuaian (alignment)
supply chain plan dengan financial plan.

• Source yaitu proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi


permintaan. Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari
supplier, menerima, mengecek dan memberikan otorisasi pembayaran untuk
barang yang dikirim supplier, mengevaluasi kinerja supplier dan sebagainya.
Jenis proses ini bisa berbeda tergantung pada apakah barang yang dibeli
termasuk stocked, make-to-order atau engineer-to-order-product.

• Make yaitu proses untuk mentransformasi bahan baku/ komponen menjadi


produk yang diinginkan pelanggan. Kegiatan make atau produksi bisa
dilakukan atas dasar ramalan untuk memenuhi target stok (make-to-stock), atas
dasar pesanan (make-to-order) atau engineer-to-order. Proses yang terlibat di
37

sini antara lain adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan
melakukan pengetesan kualitas, mengelolan barang setengah jadi (work-in-
process), memelihara fasilitas produksi dan lain-lain.

• Deliver yang merupakan proses untuk memenuhi permintaan terhadap barang


maupun jasa. Biasanya meliputi order management, transportasi, dan distribusi.
Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari pelanggan,
memilih perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan pergudangan produk
jadi dan mengirim tagihan ke pelanggan.

• Return yaitu proses pengembalian atau menerima pengembalian produksi


karena berbagai alasan. Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi kondisi
produk, meminta otorisasi pengembalian cacat, penjadwalan pengembalian,
dan melakukan pengembalian. Post-delivery customer support juga merupakan
bagian dari proses return.

SCOR memiliki tiga hirarki proses yang menunjukkan bahwa SCOR melakukan
dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail. Tiga level tersebut adalah :

• Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses
di atas (plan, source, make, deliver dan return).

• Level 2 dikatakan sebagai configuration level di mana supply chain perusahaan


bisa dikonfigurasikan berdasarkan sekitar 30 proses inti. Perusahaan bisa
membentuk konfigurasi saat ini (as is) maupun yang diinginkan (to be).

• Level 3 dinamakan process element level, mengandung definisi elemen proses,


input, output, metric masing-masing elemen proses serta referensi (benchmark
dan best practice)

Dengan melakukan dekomposisi proses SCOR bisa mengukur kinerja supply


chain secara objektif berdasarkan data yang ada serta bisa mengidentifikasi di
mana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan keunggulan bersaing. Untuk
mengimplementasikan SCOR dibutuhkan usaha yang tidak sedikit untuk
38

menggambarkan proses bisnis saat ini maupun mendefinisikan proses yang


diinginkan.

Beberapa dimensi yang digunakan SCOR dalam pengukuran kinerja, yaitu :


reliability, responsiveness, flexibility, cost dan asset. Selain itu juga terdapat
beberapa metrik pada model SCOR sebagaimana terlihat pada Tabel II.2 dan
Tabel II.3 berikut.

Tabel II.2 Performance metrics level 1


Customer-Facing Internal-
Performance Attribute
Realibility Responsiveness Flexibility CostFacing
Assets
Delivery performance √
Fill rate √
Perfect order fulfillment √
Order fulfillment lead time √
Supply-chain response time √
Production flexibility √
Supply chain management

cost
Costs of goods sold √
Value-added productivity √
Warranty cost of return

processing cost
Cash-to-cash cycle time √
Inventory days of supply √
Asset turns √
(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)
39

Tabel II.3 Beberapa metrik supply chain dan benchmark kinerja model SCOR
Metrik Penjelasan
Delivery performance Persentase order terkirim sesuai jadwal
Persentase jumlah permintaan dipenuhi tanpa menunggu,
Fill rate by line item
diukur tiap jenis produk (line items)
Perfect order fulfillment Persentase order terkirim komplit dan tepat waktu
Waktu antara pelanggan memesan sampai pesanan tersebut
Order fulfillment lead time
diterima
Persentase pengeluaran untuk warranty terhadap nilai
Warranty cost as % of revenue
penjualan
Lamanya persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan
Inventory days of supply
kalau ada pasokan lebih lanjut
Waktu antara perusahaan membayar material ke supplier
Cash-to-cash cycle time dan menerima pembayaran dari pelanggan untuk produk
yang dibuat dari material tersebut
Berapa kali suatu asset bisa digunakan untuk memperoleh
Asset turns
revenue dan profit
(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)

II.8 Studi tentang Pengukuran Kinerja Supply Chain

Berbagai studi telah dilakukan berkenaan dengan pengukuran kinerja supply


chain. Kebanyakan dari studi tersebut dilakukan pada industri manufaktur oleh
peneliti-peneliti yang berasal dari mancanegara. Beberapa studi tentang
pengukuran kinerja supply chain antara lain:

1. Supply Chain Performance – A Meta Analysis (Aron Chibba, Sven Ake


Horte, School of Business and Engineering, University of Halmstad, Swedia)

Studi tentang kinerja supply chain ini menggunakan pendekatan Meta Analysis
yakni suatu pendekatan khas yang dilakukan dengan menganalisis hasil-hasil
studi survey dan studi kasus secara terstruktur. Pendekatan ini digunakan
dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: (1) apa yang dimaksudkan
oleh berbagai literatur mengenai perbedaan tipe kinerja supply chain? (2) apa
yang dimaksud sebagai dampak dari perbedaan tipe-tipe supply chain dalam
hal kinerja supply chain?
40

Menurut studi ini, supply chain ditujukan untuk mewujudkan dampak positif
dalam kinerja supply chain berkenaan dengan hal kualitas, biaya rendah,
pengiriman, tenggang waktu, fleksibilitas, respon terhadap pesanan konsumen,
sebab pada kenyataannya hal-hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Studi ini
memfokuskan perhatiannya pada lima ukuran kinerja, yaitu pengiriman,
kualitas, biaya, harga, dan fleksibilitas. Melalui pendekatan Meta Analysis,
terindikasi bahwa pengiriman dan kualitas merupakan dua ukuran kinerja yang
paling utama dan paling sering digunakan.

2. Performance Measurement in Supply Chain Activities (Theppitak Taweesak,


Maritime College, Burappa University, Thailand, 2003)

Studi ini beranggapan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat yang
memberikan kewenangan bagi perusahaan atau organisasi untuk mengevaluasi
penggunaan sumber dayanya dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. Untuk
itu setiap perusahaan harus melakukan pengaturan dengan tepat dan kontrol
yang berkesinambungan terhadap semua aktivitas yang dilakukan, termasuk
dalam hal Supply Chain Management. Berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Aron Chibba, studi ini menekankan pengukuran kinerja supply chain atas
empat aspek. Keempat aspek beserta indikatornya, yaitu:

Kualitas Waktu Fleksibilitas


- performansi - tenggang waktu produksi - kualitas bahan
- keunggulan - tingkat pengenalan produksi - kualitas hasil
- keandalan - tenggang waktu pengiriman - produk baru
- kesesuaian - performansi ketepatan waktu - produk modifikasi
- daya tahan - frekuesi pengiriman - daya kirim
- pelayanan Biaya - volume
- estetik - biaya produksi - bauran
- kualitas yang diharapkan - nilai tambah - bauran sumber daya
- manusiawi - harga jual
- nilai - biaya operasi
- biaya pelayanan
Gambar II.8 Dimensi kualitas, waktu, biaya, dan fleksibilitas
41

3. Developing Measures of Supply Chain Management Performance (Suhong


Li, Bryant College; T.S. Ragu-Nathan, S. Subba Rao, dan Bhanu Ragu-Nathan,
College of Business Administration, The University of Toledo, 2002)

Studi ini bertujuan membuat suatu konsep dan memvalidasi suatu bentuk
ukuran kinerja Supply Chain Management. Untuk itu digunakan lima ukuran
kinerja Supply Chain Management, yaitu: (1) fleksibilitas supply chain; (2)
integrasi supply chain ; (3) respon pelanggan; (4) kinerja pemasok; dan (5)
kualitas kerjasama/ kemitraan. Pengumpulan data penelitian berkenaan dengan
kelima ukuran kinerja tersebut dilakukan dengan menyebarkan kuisioner
dengan responden sebanyak 196 orang.

Data-data tersebut dianalisis secara statistik melalui analisis korelasi, analisis


factor, analisis structural equation modeling, analisis cronbach’s alpha, dan
analisis T-coefficient. Studi ini menyimpulkan bahwa kelima ukuran kinerja
supply chain yang digunakan dalam studi tersebut valid, reliable dan cocok
untuk digunakan oleh perusahaan industri manapun.

4. Supply Chain Performance Evaluation: A Case Study (Aravechia, Carlos dan


Pires, Silvio, University of Piracicaba, Brazil, 2000)

Studi kasus ini dilakukan dengan melibatkan objek studi yang terdiri dari tiga
buah perusahaan di Brazil. Perusahaan pertama (A) adalah sebuah perusahaan
mesin, sedangkan perusahaan kedua (B) dan ketiga (C) adalah perusahaan
supplier tingkat pertama dan kedua.

Data-data studi dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner yang berisi


mengenai indikator-indikator kinerja supply chain yaitu (1) kinerja biaya yang
meliputi 27 pertanyaan; (2) kinerja kualitas yang meliputi 31 pertanyaan; (3)
kinerja fleksibilitas yang meliputi 43 pertanyaan; dan (4) kinerja pengiriman
yang meliputi 12 pertanyaan.
42

Responden diminta untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan di dalam


kuesioner tersebut dengan memilih enam kemungkinan jawaban, yaitu (1)
tidak digunakan; (2) berhenti digunakan; (3) tidak ditekankan; (4) mulai
digunakan; (5) ditekankan; dan (6) tidak ada perubahan. Studi ini
menyimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan yakni pencapaian Supply Chain
Management yang kompetitif mencakup pula evaluasi ulang dan adaptasi
terhadap sistem evaluasi kinerjanya. Artinya diperlukan suatu pembuatan
sistem kinerja supply chain yang lebih spesifik.

5. Using the Balanced Scorecard to Measure Supply Chain Performance (Peter


C. Brewer dan Thomas W. Speh, Miami University, Journal of Business
Logistics, Vol. 21, No. 1, 2000)

Penelitian ini menghubungkan pendekatan pengukuran berimbang (Balanced


Scorecard - BSC) dengan kinerja manajemen supply chain (Supply Chain
Management - SCM). Pendekatan BSC dimodifikasi sehingga sesuai dan dapat
digunakan untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif unutk
mengukur kinerja SCM.

Tujuan utamanya adalah untuk menghubungkan pengukuran berimbang


dengan tujuan utama SCM. Penelitian ini mengemukakan 16 (enam belas) hal
dalam kerangka kerja SCM. Hubungan konseptual dalam keenam belas
kerangka kerja SCM dengan kerangka kerja BSC dalam penelitian Brewer dan
Speh ini adalah sebagai berikut:

- Tujuan SCM yang terdiri dari pengurangan pemborosan, pemadatan waktu,


respon yang fleksibel dan pengurangan biaya per unit dihubungkan dengan
Perspektif Proses Bisnis Internal.

- Keuntungan bagi customer yang terdiri dari kualitas produk/jasa yang lebih
baik, ketepatan waktu yang meningkat, fleksibilitas yang lebih baik dan
pertambahan nilai dihubungkan dengan Perspektif Pelanggan.
43

- Keuntungan finansial yang terdiri dari marjin laba yang lebih tinggi, cash
flow yang lebih baik, pertumbuhan penerimaan dan pengembalian aset yang
lebih tinggi dihubungkan dengan Perspektif Keuangan.

- Pengembangan SCM yang terdiri dari inovasi produk/proses, manajemen


kemitraan, informasi dan ancaman/penggantian dihubungkan dengan
Perspektif Inovasi/Pertumbuhan dan Pembelajaran.

Dari keterkaitan antara kerangka kerja SCM dan BSC di atas kemudian dibuat
suatu kerangka kerja terpadu mengenai pengukuran kinerja SCM melalui
pendekatan BSC. Dalam kerangka kerja ini ditetapkan tujuan serta ukuran
untuk masing-masing perspektif sebagaimana terlihat pada Tabel II. 4 berikut.

Tabel II.4 Kerangka Kerja BSC untuk Pengukuran SCM


Perspektif Tujuan Ukuran
Perspektif customer ▪ Pandangan customer ▪ Jumlah poin kontak customer
pada produk/ jasa ▪ Waktu relative untuk
▪ Pandangan customer merespon pesanan customer
pada ketepatan waktu ▪ Persepsi customer atas respon
▪ Pandangan customer yang fleksibel
pada fleksibilitas ▪ Rasio nilai customer
▪ Nilai customer
Perspektif bisnis ▪ Pengurangan pemborosan ▪ Biaya supply chain atas
internal ▪ Penyingkatan waktu kepemilikan
▪ Respon yang fleksibel ▪ Efisiensi siklus supply chain
▪ Pengurangan biaya unit ▪ Jumlah yang ditetapkan/ rata-
rata waktu respon
▪ Persentase biaya target supply
chain yang didapatkan
Perspektif inovasi dan ▪ Inovasi produk/proses ▪ Poin penyelesaian produk
pembelajaran ▪ Manajemen kemitraan ▪ Rasio komitmen kategori
▪ Laju informasi produk
▪ Ancaman dan ▪ Jumlah rangkaian data yang
penggantian dibagi/ total data
▪ Lintasan kinerja teknologi
yang bersaing
Perspektif finansial ▪ Marjin laba ▪ Marjin laba dengan mitra
▪ Cash flow supply chain
▪ Pertumbuhan penerimaan ▪ Siklus cash-to-cash
▪ Pengembalian asset ▪ Pertumbuhan konsumen dan
profitabilitas
▪ Pengembalian asset-asset
supply chain
44

Kerangka kerja BSC untuk pengukuran SCM yang dikemukakan oleh Brewer
dan Speh di atas menunjukkan bahwa kinerja supply chain dapat diukur atau
dinilai melalui kerangka BSC. Artinya, tingkat kinerja manajemen supply
chain dapat dinilai melalui keempat perspektif BSC. Secara akurat, Brewer dan
Speh memadukan tujuan-tujuan dan ukuran-ukuran di dalam manajemen
supply chain dengan keempat perspektif BSC beserta tujuan dan ukuran-
ukurannya.

Kelemahan dari perpaduan antara BSC dan SCM sebagaimana dikemukakan


oleh Brewer dan Speh tersebut adalah bahwa indikator-indikator yang
dijadikan sebagai ukuran masih terlalu umum, di mana hanya terdapat 16
(enam belas) indikator. Penentuan indikator-indikator ukuran tersebut terlalu
mengacu pada tujuan SCM ditinjau dari masing-masing perspektif BSC.
Padahal, indikator-indikator ukuran tersebut masih dapat diperinci lagi menjadi
lebih banyak indikator, sehingga pengukuran kinerja supply chain yang
dilakukan akan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih akurat.

6. Kajian Hubungan Antar Pihak yang Terlibat dalam Rantai Pasok Proyek
Konstruksi Bangunan Gedung (Ir. Reini D. Wirahadikusumah, MSCE. Ph.D.,
Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D, Ir. Muhamad Abduh, MT., Ph.D., Riset
KK-ITB 2007, Institut Teknologi Bandung)

Pada penelitian ini dilakukan pengembangan indikator pengukuran kinerja


yang akan digunakan untuk melakukan pengukuran kinerja supply chain
proyek konstruksi bangunan gedung, sehingga tinggi rendahnya efektifitas dan
efisiensi supply chain di proyek konstruksi bangunan dapat diketahui.
Pengembangan indikator dilakukan dengan mengacu pada konsep supply chain
management dan konsep lean construction. Penyusunan indikator dilakukan
berdasarkan hasil dari identifikasi terhadap jenis-jenis data primer eksisting di
lapangan yang terkait dengan aliran material dan informasi di suatu proyek
konstruksi melalui suatu survey pendahuluan berupa wawancara dan diskusi
terpadu dengan pihak-pihak yang terlibat di proyek yang dijadikan studi kasus.
45

Masing-masing jenis data primer eksisting di lapangan yang terkait dengan


aliran material dan informasi yang berhasil diidentifikasi dan keterkaitannya
dengan indikator pengukuran yang telah dikembangkan, diilustrasikan pada
Gambar II.9. Hasil dari penelitian ini telah dikembangkan 10 (sepuluh)
indikator pengukuran yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur
efektifitas dan efisiensi dari supply chain pada proyek konstruksi bangunan
gedung. Pengukuran lebih difokuskan pada efektifitas dan efisiensi aliran dari
material dan informasi pada suatu supply chain, karena berdasarkan literatur
yang ada diketahui bahwa dalam suatu supply chain terdapat 3 (tiga) macam
aliran yang harus dikelola dengan baik, sehingga efektifitas dan efisiensi dalam
pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat ditingkatkan.

Hasil pengukuran terhadap ke 10 (sepuluh) indikator dikelompokkan terhadap


ke 3 (tiga) prinsip utama dalam lean construction (conversion, flow dan
value). Hal ini dilakukan karena adanya suatu asumsi bahwa melakukan
pengelolaan yang baik terhadap ke 3 (tiga) prinsip utama yang terkandung di
dalam konsep conversion, flow dan value, merupakan suatu hal yang penting di
industri konstruksi karena dapat mendukung terhadap peningkatan efektifitas
dan efisiensi supply chain. Keterkaitan antara indikator dan manfaat hasil
pengukuran terhadap efektifitas dan efisiensi supply chain di proyek
konstruksi diilustrasikan pada Gambar II.10.
46

INDIKATOR 1 :
Data Variation Order (VO)
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana
atau Change Order (CO)
kerja
J
E
N INDIKATOR 2 :
Catatan berbagai kendala
I Intensitas constraint selama pelaksanaan
yang terjadi di proyek
S pekerjaan

D
Data risalah jenis-jenis INDIKATOR 3 :
A rapat yang biasa dilakukan Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang
T di proyek terlibat
A

P Data catatan hasil


INDIKATOR 4 :
R pengawasan yang
Intensitas defect pekerjaan
dilakukan oleh proyek
I
M
E INDIKATOR 5 :
R Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal
pengiriman material
E Purchase Order (PO),
K Delivery Order (DO)
S INDIKATOR 6 :
Waktu tenggang (lead time) antara
I pemesanan (order) dan pengiriman (deliver)
S
T
I
INDIKATOR 7 :
N Data material reject
Intensitas kejadian reject material
G

D
I INDIKATOR 8 :
Data Inventory
Inventory material
L
A
P Catatan keikutsertaan INDIKATOR 9 :
subkontraktor dalam Keikutsertaan subkontraktor di dalam
A
perencanaan pelaksanaan perencanaan pelaksanaan
N
G
A INDIKATOR 10 :
N Data komplain Intensitas complaints dari owner kepada
kontraktor & dari kontraktor kepada supplier

Gambar II.9 Keterkaitan antara jenis data primer eksisting di lapangan dan
indikator pengukuran
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
47

Secara lebih lengkap dan mendetail hasil identifikasi indikator pengukuran


kinerja supply chain disajikan pada Lampiran A pada Tabel A.1. Pada tabel
tersebut terbagi menjadi beberapa kolom, di mana pada kolom (2) dipaparkan
jenis indikator-indikator dan pada kolom (3) berisi uraian singkat dari masing-
masing indikator yang terdiri dari definisi, objektif, jenis data untuk
pengukuran kuantitatif, jenis data untuk pengukuran kualitatif serta
keterkaitannya dengan lean construction.

Rangkuman dari indikator-indikator pengukuran yang terdiri atas keterkaitan


antar indikator pengukuran (kolom 1) dengan jenis data yang diperlukan untuk
mendukungnya (kolom 2), bentuk rumus matematis untuk pengukuran
kuantitatif (kolom 3) serta bagaimana bentuk pengukuran yang dilakukan di
masing-masing indikator apakah kuantitatif, kualitatif atau keduanya (kolom 4)
disajikan pada Tabel II.5.
48

INDIKATOR 1 :
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja

CONVERSION

INDIKATOR 2 : Kontrol dan


Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan optimalisasi
penggunaan sumber
daya

INDIKATOR 3 :
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat

INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan
K
O
N
INDIKATOR 5 : S
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material E
FLOW
P

L
INDIKATOR 6 : Identifikasi dan E
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan minimalisasi terhadap A
(order) dan pengiriman (deliver) aktifitas yang tidak N
memberikan tambahan
value (non-value adding
activites); Minimalisasi
C
waste O
INDIKATOR 7 : N
Intensitas kejadian reject material
S
T
R
U
INDIKATOR 8 : C
Inventory material T
I
O
N
INDIKATOR 9 :
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan

VALUE
INDIKATOR 10 :
Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor Memberikan kepuasan
& dari kontraktor kepada supplier terhadap konsumen

Gambar II.10 Pengelompokkan indikator pengukuran terhadap prinsip lean


construction
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
Tabel II.5 Keterkaitan antar indikator pengukuran, jenis data, rumus pengukuran kuantitatif dan bentuk pengukuran
Indikator Jenis data yang diperlukan Rumus penilaian kuantitatif Bentuk Penilaian
1. Intensitas perubahan/revisi Data Variation Order (VO) atau
Kuantitatif/Kualitatif
terhadap rencana kerja Change Order (CO)
2. Intensitas kendala selama Daftar kendala yang terjadi selama
Kuantitatif/Kualitatif
pelaksanaan pekerjaan masa pelaksanaan

3. Intensitas rapat koordinasi antar Data risalah jenis-jenis rapat yang


Kuantitatif/Kualitatif
pihak yang terlibat dilakukan selama masa pelaksanaan
Data catatan hasil pengawasan yang
4. Intensitas defect pekerjaan dilakukan proyek terkait inspeksi dan Kuantitatif/Kualitatif
tes terhadap subkontraktor
5. Kinerja supplier dalam
memenuhi jadwal pengiriman Purchase Order (PO) Kuantitatif/Kualitatif
material
6. Waktu tenggang (lead time)
Purchase Order (PO) dan data
antara pemesanan (order) dan Kuantitatif/Kualitatif
monitoring kedatangan material
pengiriman (deliver)
7. Intensitas kejadian reject
Data material reject Kuantitatif/Kualitatif
material
8. Inventory material Data inventory material di gudang Kuantitatif/Kualitatif
9. Keikutsertaan subkontraktor di Catatan keikutsertaan subkontraktor
Kualitatif
dalam perencanaan pelaksanaan dalam perencanaan pelaksanaan
10. Intensitas complaints dari owner
Daftar complaints yang terjadi selama
kepada kontraktor & dari Kuantitatif/Kualitatif
masa pelaksanaan
kontraktor kepada supplier
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

49
Perbedaan indikator kinerja

Berdasarkan hasil studi literatur terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu yang


telah dilakukan terkait dengan pengukuran kinerja supply chain yang dilakukan di
industri manufaktur, terlihat bahwa indikator pengukuran yang digunakan dalam
proses pengukuran kinerja supply chain di industri manufaktur meliputi aspek
pengiriman, fleksibilitas, biaya, kualitas, dan waktu. Pengembangan indikator
dilakukan melalui pendekatan proses yang dilakukan pada industri manufaktur
dengan melihat faktor-faktor antara lain sumber daya, output/ keluaran dan
fleksibilitas.

Sedangkan berdasarkan hasil penelitian pengembangan indikator pengukuran


kinerja supply chain di industri konstruksi dilakukan dengan menggabungkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam supply chain management dengan lean
construction sehingga akan lebih mengakomodir karakteristik dari industri
konstruksi sebagai industri yang unik. Selain itu juga dilakukan kolaborasi dengan
teori yang menyatakan bahwa dalam suatu supply chain terdapat 3 (tiga) macam
aliran yang harus dikelola dengan baik yaitu aliran barang yang mengalir dari hulu
(upstream) ke hilir (downstream), aliran informasi yang bisa terjadi dari hulu ke
hilir ataupun sebaliknya serta aliran uang dan sejenisnya yang mengalir dari hilir
ke hulu.

Karena sulitnya mendapatkan informasi terkait dengan aliran uang (dana) di


proyek konstruksi, maka pengembangan indikator pengukuran hanya akan
dilakukan untuk melakukan pengukuran terhadap efektifitas dan efisiensi terkait
aliran material dan aliran informasi di dalam supply chain pada proyek konstruksi
bangunan gedung saja. Disisi lain pengembangan indikator juga dilakukan dengan
lebih melihat ketersediaan data di lapangan sebagai pedoman dalam melakukan
pengukuran nantinya. Hal ini terkait dengan kebiasaan dalam proyek konstruksi di
mana biasa catatan dan data-data pelaksanaan produksi di lapangan akan berakhir
manakala proyek tersebut selesai.

50
51

Secara garis besar tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara indikator-
indikator yang dikembangkan dan digunakan di industri manufaktur dengan
indikator yang dikembangkan dan dicoba untuk digunakan di industri konstruksi.
Perbedaan yang terlihat hanya pada pemakaian istilah yang digunakan karena
disesuaikan dengan istilah yang dikenal secara umum pada industri konstruksi.
Selain itu juga dicoba untuk mengembangkan suatu indikator penilaian yang tidak
hanya mengkaitkan penilaian kinerja hanya dari sisi keuangan saja sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh pelaku-pelaku industri konstruksi selama ini.
III. Bab III Metodologi Penelitian

Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati
masalah dalam mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah
pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi atau
berdasarkan perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian.
Perspektif teoritis adalah suatu kerangka pemikiran atau interprestasi untuk
memperoleh pemahaman terhadap data dan menghubungkan dengan situasi
lainnya. Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak dapat dinilai
apakah suatu metode benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik
spesifik dalam penelitian. Yang jelas metode atau teknik penelitian apapun yang
digunakan, misalnya kuantitatif atau kualitatif harus sesuai dengan kerangka
pemikiran yang diasumsikan (Mulyana, 2001).

III.1 Metodologi Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai studi explorasi (exploration study), dengan tujuan
untuk melakukan pengukuran kinerja supply chain pada proyek konstruksi
bangunan gedung dengan menggunakan indikator-indikator yang telah
teridentifikasi. Disamping itu, penelitian ini sifatnya kualitatif, sehingga hal ini
akan mempengaruhi semua komponen yang dilakukan dalam penelitian ini, baik
dari pendekatan yang dilakukan, jenis data yang dikumpulkan, pengembangan
alat pengumpulan data, serta proses analisis yang dilakukan dalam penelitian ini.
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan antara lain :

1. Kajian pendahuluan, merupakan tahapan awal dari proses penelitian yang


merupakan tahap pemahaman terhadap permasalahan penelitian serta langkah-
langkah penelitian yang akan dilakukan.

2. Identifikasi Permasalahan dan tujuan penelitian, merupakan penjabaran


terhadap pemahaman permasalahan penelitian sehingga diperoleh gambaran
terhadap permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini
52
53

3. Studi literatur, pemahaman terhadap berbagai landasan teori yang terkait


dengan pelaksanaan penelitian dilakukan pada tahapan ini. Penelaahan
terhadap literatur yang terkait dengan tujuan penelitian antara lain prinsip-
prinsip lean construction dan supply chain management, pengelolaan supply
chain di industri konstruksi, pola-pola supply chain di industri konstruksi,
pengukuran kinerja supply chain di industri manufaktur berdasarkan hasil-
hasil penelitian yang telah dilakukan. Baik melalui buku-buku referensi, paper
dan jurnal yang ada. Sehingga diperoleh suatu pemahaman terhadap tahapan-
tahapan dalam penyelesaian permasalahan penelitian.

4. Pengembangan instrumen pengumpulan data, pengembangan instrumen


pengumpulan data dimaksudkan untuk mempermudah dalam proses
pengumpulan data primer di lapangan. Pengembangan instrument ini dilakukan
dengan mengacu pada indikator penilaian dan model pengukuran yang telah
dikembangkan pada penelitian terdahulu. Alat bantu ini bersifat sementara
yang dibuat secara sederhana dalam bentuk tabel-tabel sebagai rekap data di
lapangan. Selain itu juga dipersiapkan outline materi wawancara yang akan
disampaikan pada responden penelitian berdasarkan indikator-indikator
pengukuran yang ada sebagai pedoman dalam melakukan wawancara agar
dapat terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

5. Pengumpulan data dan wawancara, tahapan ini dilakukan dengan


mengamati sejumlah dokumen pelaksanaan pekerjaan di lapangan yang terkait
dengan indikator pengukuran yang ada. Pengumpulan data ini diikuti
wawancara dengan pihak-pihak terkait sebagai tambahan informasi yang belum
diperoleh dari data-data primer tadi. Wawancara dilakukan secara langsung
dengan mengacu pada outline yang telah dibuat sehigga akan lebih terarah dan
tercapai tujuan yang diharapkan.

6. Analisis data primer dan hasil wawancara, data primer yang telah
dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan indikator-
indikator yang telah dikembangkan dalam penelitian oleh Wirahadikusumah
(2007). Sementara data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan
54

digunakan untuk memperkuat hasil analisis terhadap data primer. Karena dari
hasil wawancara ini akan diperoleh kajian yang lebih mendalam terhadap hasil
pengukuran kinerja dari masing-masing pola supply chain.

7. Pengukuran kinerja supply chain, pengukuran dilakukan dengan


mengeksplorasi secara mendalam kinerja dari masing-masing supply chain
proyek studi kasus dengan mengacu pada prinsip-prinsip lean construction.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja yang telah
teridentifikasi.

8. Kesimpulan dan saran, merupakan hasil dari keseluruhan proses penelitian


dan keterbatasan dalam penelitian ini sehingga dapat menjadi masukkan bagi
penelitian selanjutnya

Tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan pada penelitian ini diilustrasikan pada


Gambar III.1.
55

Kajian Pendahuluan

Identifikasi Permasalahan
dan
Tujuan Penelitian

Studi Literatur

- Supply Chain Management


- Lean Construction
- Pengelolaan Supply Chain di Industri Konstruksi
- Pola Supply Chain Konstruksi Bangunan Gedung
- Pengukuran Kinerja Supply Chain di Industri Manufaktur
- Penelitian Terdahulu

Pengembangan Instrumen
Pengumpulan Data
Responden:
Project
Manager, Site
Indikator Pengumpulan Data Primer
Manager,
Pengukuran dan Wawancara Bagian Logistik,
Kinerja Supply Pelaksana
Chain Konstruksi Lapangan
Bangunan
Analisis Data Primer
Gedung
dan Hasil Wawancara

Pengukuran Kinerja Supply Prinsip-prinsip


Chain Konstruksi Bangunan Lean
Gedung Construction

Kesimpulan dan Saran

- Keterbatasan dalam penelitian


- Saran bagi penelitian selanjutnya

Gambar III.1 Bagan alir penelitian


56

III.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang berdasarkan studi kasus pada proyek konstruksi bangunan
gedung yang dilakukan oleh dua perusahaan kontraktor BUMN. Dalam upaya
menjawab pertanyaan dari permasalahan penelitian dilakukan melalui kajian
terhadap literatur-litaratur yang ada berupa telaah terhadap referensi, jurnal dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik di dalam maupun di
luar negeri, serta penelusuran terhadap data primer awal berupa kontrak,
subkontrak, data hasil pelaksanaan pekerjaan di lapangan serta laporan
pelaksanaan pekerjaan dari proyek yang dijadikan studi kasus. Selanjutnya
dilakukan wawancara yang komprehensif dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan operasi di lapangan, antara lain site manager, project manager,
maupun divisi logistik dengan tujuan untuk menggali secara mendalam praktek-
praktek yang telah dilakukan oleh kontraktor dalam mengelola supply chain-nya.

III.3 Pendekatan Studi

Pendekatan studi yang digunakan dalam penelitian ini, dilakukan melalui


pendekatan pada beberapa proyek konstruksi bangunan gedung sebagai studi
kasusnya (multiple case study). Yin (1981) berpendapat bahwa terdapat beberapa
pertimbangan didalam melakukan penelitian dengan pendekatan beberapa studi
kasus ini, yaitu dilakukan pada penelitian dengan kondisi dimana kasus yang ada
bersifat tidak unik, dengan dasar dari pertanyaan penelitiannya adalah What dan
Why.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Tan (1995) menyatakan bahwa dengan


menggunakan beberapa kasus (multiple cases) diharapkan dapat dicapai suatu
replika dari obyek penelitian yang sama namun dalam konteks yang berbeda,
sehingga bisa dilakukan perbandingan. Terdapat kelemahan dalam pendekatan
studi kasus ini, dengan penelitian terhadap sejumlah kecil kasus ini tidak
memungkinkan untuk menghasilkan suatu generalisasi yang valid untuk
menyatakan bahwa generalisasi ini dapat mewakili sample tertentu.
57

Dengan demikian, maka penelitian yang bersifat eksploratif ini – menggali apa
yang sedang terjadi dalam praktek, sangat tepat bila dilakukan dengan pendekatan
ini. Dengan pendekatan dari beberapa studi kasus ini diharapkan dari setiap kasus
yang ada, akan memberikan informasi kinerja dari supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung berdasarkan pola supply chain yang telah teridentifikasi.

III.4 Kerangka Studi Kasus

Ketersediaan Proyek

Pemilihan studi kasus yang menjadi obyek dalam penelitian ini memiliki
keterbatasan yang tidak terlepas dari ketersediaan proyek konstruksi bangunan
yang sedang dilaksanakan, hal ini terkait dengan kesediaan data lapangan yang
akan dikumpulkan. Karena kebiasaan yang berlaku pada pelaksanaan pekerjaan
suatu proyek jika keseluruhan pekerjaan telah selesai dilaksanakan maka dokumen
pelaksanaan kegiatan harian akan disimpan dalam suatu gudang penyimpanan
bahkan ada kemungkinan data-data harian tersebut tidak disimpan lagi karena
telah ada rekap data dalam bentuk laporan pelaksanaan pekerjaan. Maka akan sulit
untuk melihat data pada proyek-proyek yang telah selesai dilaksanakan.

Karakteristik Proyek

Adapun karakteristik proyek konstruksi bangunan yang menjadi obyek penelitian


ini adalah proyek yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi. Berdasarkan
pendapat Maylor (2003), tingkat kompleksitas suatu proyek dapat dilihat dari tiga
hal, yaitu kompleksitas organisasi, kompleksitas sumber daya, dan kompleksitas
keteknikan. Proyek konstruksi bangunan yang merupakan salah satu jenis proyek
konstruksi yang memiliki variasi di dalam pengunaan material dan komponen
bangunan, serta penggunaan tingkat spesialisasi yang tinggi, menunjukkan bahwa
jenis konstruksi bangunan ini dapat digolongkan sebagai proyek dengan
kompleksitas yang tinggi.
58

Karakteristik dari proyek konstruksi adalah produknya terikat pada tempatnya


(rooted in place), yang menjadi ciri utama yang membedakan antara produk
konstruksi dengan produk industri manufaktur – walaupun hal ini tidak secara
mutlak hanya dimiliki oleh industri konstruksi. Karakteristik tersebut melahirkan
konsekuensi dimana dalam produk konstruksi, sumberdayanyalah yang harus
mendekati produknya untuk melakukan proses, dimana hal ini tidak seperti dalam
produk manufaktur dimana produknya yang bergerak dari satu tempat ke tempat
lainnya untuk diproses dalam suatu assembly line. Dengan demikian, maka dalam
penelitian ini juga memasukkan faktor lokasi sebagai pertimbangan di dalam
pemilihan proyek konstruksi bangunan sebagai studi kasus. Adapun lokasi proyek
yang dipilih adalah proyek konstruksi bangunan yang ada di Jakarta.

Pembatasan Jenis Proyek

Proyek yang akan dijadikan sebagai responden penelitian dibatasi hanya pada
proyek konstruksi bangunan gedung yang dilaksanakan oleh kontraktor dengan
kualifikasi besar. Hal ini didasarkan kondisi proyek konstruksi pembangunan
gedung yang merupakan salah satu proyek konstruksi yang sangat dinamis dan
kompleks, serta melibatkan banyak pihak didalam pengelolaan proses
produksinya, sehingga sangat memerlukan adanya pengembangan suatu konsep
pengelolaan supply chain konstruksi yang bisa meningkatkan efisiensi dalam
proses produksi. Selain itu adanya asumsi bahwa kontraktor besar sudah
menerapkan konsep manajemen yang baik dalam proses produksinya, sehingga
dimasa yang akan datang bisa lebih ditingkatkan lagi untuk menuju konstruksi
ramping (lean construction).

Pembatasan Lingkup Pekerjaan

Mengingat kompleksitas pekerjaan dalam suatu proyek konstruksi bangunan


gedung, maka dalam pengumpulan data yang dilakukan hanya terhadap beberapa
item pekerjaan yang dianggap akan melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan
produksinya dan adanya keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang
akan melaksanakan pekerjaan serta adanya hubungan langsung antara owner
59

dengan supplier material untuk beberapa material dengan volume yang cukup
besar. Selain itu pembatasan lingkup pekerjaan yang akan ditinjau dilakukan
untuk keselarasan antara satu proyek dengan proyek yang lain. Adapun lingkup
pekerjaan yang akan ditinjau adalah pekerjaan finishing arsitektur dengan item
pekerjaan yang akan diamati meliputi pekerjaan dinding, pekerjaan lantai,
pekerjaan plafond dan pekerjaan mekanikal/ elektrikal. Disamping itu juga akan
dilakukan pengamatan terhadap proses pengadaan dan pengelolaan material-
material (pengelolaan logistik) yang terkait dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut
seperti material bata ringan, bata merah, keramik, plafond dan mekanikal/
elektrikal. Terutama dengan adanya keterlibatan owner dalam melakukan
pengadaan material-material tertentu.

Kerangka Waktu Penelitian

Penelitian ini juga tidak terlepas dari kerangka waktu yang ada, sehingga proyek
konstruksi bangunan gedung yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai studi
kasus bagi penelitian ini adalah proyek-proyek yang terdapat di kota Jakarta saja.
Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa umumnya kantor pusat dari
kontraktor-kontraktor besar di Indonesia berdomisili di Jakarta, sehingga lebih
memudahkan urusan untuk pengumpulan data penelitian.

Disamping itu karena penelitian ini erat kaitannya dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Susilawati (2005), maka proyek konstruksi yang akan
menjadi studi kasus pada penelitian ini dibatasi hanya pada proyek konstruksi
pembangunan gedung yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan pola-pola
supply chain yang telah teridentifikasi.

Berdasarkan hasil penelusuran awal, ketersediaan proyek konstruksi yang ada


dalam kurun waktu pelaksanaan penelitian ini serta dalam kerangka rancangan
penelitian yang dilakukan yaitu empat proyek yang berlokasi di Jakarta dan
dilaksanakan oleh dua perusahaan kontraktor BUMN (Badan Usaha Milik
Negara) yaitu Kontraktor X, dan Kontraktor Y, dengan rincian sebagai berikut:
60

1. Kontraktor X

• Proyek A – Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas Rumah Sakit, Jakarta

• Proyek C – Proyek Pembangunan Gedung Apartemen, Jakarta

2. Kontraktor Y

• Proyek B – Proyek Gedung Perkantoran, Jakarta

• Proyek D – Proyek Pembangunan Kompleks Apartemen, Jakarta

III.5 Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap awal dilakukan observasi lapangan untuk memperoleh data tentang
aktifitas dan usaha-usaha yang telah dilakukan dari masing-masing pihak yang
terlibat dalam suatu proyek konstruksi bangunan gedung yang karakteristiknya
telah disesuaikan terlebih dahulu dengan pola-pola yang telah teridentifikasi dari
penelitian terdahulu (Susilawati, 2005) pada beberapa proyek yang akan dijadikan
sebagai obyek penelitian. Pengumpulan data primer dilaksanakan melalui
mekanisme pengamatan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan
dan wawancara yang komprehensif dengan project manager, site manager,
maupun divisi logistik perusahaan konstruksi yang terlibat. Wawancara ini
dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam permasalahan-permasalahan
yang tercakup dalam indikator-indikator pengukuran, seperti misalnya mengapa
permasalahan tersebut sering kali terjadi, apakah penyebabnya dan bagaimana
tindakan yang dilakukan manajemen proyek dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.

III.6 Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini pada prinsipnya melakukan
eksplorasi secara mendalam terhadap kinerja dari masing-masing pola supply
chain yang diwakili oleh proyek-proyek konstruksi bangunan gedung yang sedang
dilaksanakan oleh dua kontraktor. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang
61

mempengaruhi kinerja dari masing-masing pola supply chain yang ada


berdasarkan indikator-indikator kinerja.

Pada akhirnya, proses analisis ini akan menuju temuan kinerja pola supply chain
yang ada sesuai dengan maksud dari proses analisis yang dilakukan. Temuan yang
diharapkan akan diperoleh berupa gambaran mengenai kinerja dari supply chain
yang baik terhadap peluang implementasi konsep lean construction.

Hasil dari pengukuran tersebut menggambarkan kondisi eksisting tinggi


rendahnya pencapaian efisiensi oleh para pihak yang terlibat (kontraktor, pemilik,
subkontraktor, supplier) dalam sistem pengelolaan supply chain di proyek
konstruksi bangunan gedung yang sedang ditanganinya. Suatu proyek akan
dikatakan efisien apabila sistem pengelolaannya sudah mencerminkan/ sesuai
dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konsep Konstruksi Ramping (Lean
Construction) dan Supply Chain Management (SCM).
IV. Bab IV Studi Kasus

Pada bab ini akan dipaparkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap
beberapa proyek studi kasus. Materi yang akan disampaikan meliputi metode
pengumpulan data, keterbatasan dalam pemilihan bangunan gedung sebagai studi
kasus, kendala-kendala dalam pengumpulan data, hasil pengumpulan data
gambaran umum proyek-proyek studi kasus.

IV.1 Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dimulai dengan melakukan inventarisasi ketersediaan


proyek yang sesuai dengan karakteristik pola supply chain yang telah
teridentifikasi pada penelitian terdahulu (Susilawati, 2005). Proses inventarisasi
dilakukan melalui pihak perusahaan, hal dimaksudkan untuk mempermudah akses
dalam mendapatkan data di proyek, karena berdasarkan pengalaman penelitian-
penelitian lainnya, sangat sulit melakukan pengambilan data jika langsung
berhubungan dengan proyek selain itu untuk mempermudahkan proses identifikasi
karakteristik proyek yang diharapkan. Di samping itu langkah ini ditempuh
sebagai antisipasi untuk mempersingkat jalur birokrasi yang ada, karena biasanya
proyek akan menyampaikan permohonan yang diajukan ke pihak manajemen di
perusahaan baru memberikan keputusan diterima tidaknya permohonan penelitian
ini, hal ini akan memerlukan waktu yang lebih lama.

Metode pengumpulan data dilakukan melalui cross-sectional survey yaitu


pengumpulan data berupa informasi yang dikumpulkan hanya pada suatu saat
tertentu. Informasi akan dikumpulkan dengan wawancara ke responden dari
proyek yang dijadikan sebagai responden. Wawancara yang mendalam dilakukan
secara semi struktur atau semi-structured depth interviewing. Wawancara semi
struktur adalah model sejumlah pertanyaan yang dipersiapkan sebelumnya oleh
pewawancara namun pertanyaan yang disiapkan adalah model terbuka artinya
untuk pertanyaan berikutnya tidak dapat direncanakan sebelumnya oleh

62
63

pewawancara tetapi diajukan seadanya dengan cara yang hati-hati dan berteori
(Wengraf, 2001:5).

IV.2 Keterbatasan dalam Pemilihan Studi Kasus

Pemilihan studi kasus yang menjadi obyek dalam penelitian ini, tidak terlepas dari
ketersediaan proyek konstruksi bangunan yang sedang dilaksanakan pada saat
dilakukannya penelitian ini. Adapun karakteristik proyek konstruksi bangunan
yang menjadi obyek penelitian ini dilakukan pada proyek yang memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi.

Berdasarkan pendapat Maylor (2003), tingkat kompleksitas suatu proyek dapat


dilihat dari tiga hal, yaitu kompleksitas organisasi, kompleksitas sumber daya, dan
kompleksitas keteknikan. Proyek konstruksi bangunan yang merupakan salah satu
jenis proyek konstruksi yang memiliki variasi di dalam pengunaan material dan
komponen bangunan, serta penggunaan tingkat spesialisasi yang tinggi,
menunjukkan bahwa jenis konstruksi bangunanini dapat digolongkan sebagai
proyek dengan kompleksitas yang tinggi. Selain itu proyek yang akan dijadikan
sebagai studi kasus harus mempunyai karakteristik supply chain sebagaimana
yang telah teridentifikasi.

Pemilihan studi kasus penelitian tidak terlepas dari batas waktu penelitian yang
sudah memasuki akhir tahun dan ketersediaan proyek yang sedang dilaksanakan
dalam rentang waktu tahun 2007 dan wilayah studi kasus dipersempit hanya di
Jakarta. Dari hasil identifikasi di tingkat perusahaan, empat proyek yang dipilih
untuk dijadikan penelitian merupakan proyek yang memiliki banyak keterlibatan
pelaku supply chain dengan keahliannya yang berbeda-beda. Artinya pelaku tidak
hanya terdiri dari pemilik proyek dan kontraktor namun juga terdiri dari
subkontraktor/spesialis, dan supplier.
64

IV.3 Pelaksanaan Survey Pengumpulan Data

Pelaksanaan survei mulai dilakukan pada awal bulan Mei 2007 dengan
menyampaikan surat permohonan kepada beberapa perusahaan kontraktor BUMN
dan swasta nasional. Dari beberapa surat permohonan yang diajukan, terdapat
lima perusahaan yang merespon dan diterima jawaban kesediaan menjadi
responden penelitian kurang lebih 4 minggu kemudian. Hal ini dilanjutkan dengan
kunjungan ke perusahaan untuk memaparkan tujuan, maksud dan proses
penelitian yang akan dilakukan.

Pada tahap ini juga dilakukan identifikasi karakteristik proyek yang sedang
dilaksanakan oleh kontraktor berdasarkan karakteristik proyek yang akan
dijadikan responden penelitian yang telah ditetapkan. Dari kelima perusahaan
yang bersedia diperoleh tiga perusahaan yang mempunyai proyek dengan
karakteristik yang diharapkan dan pelaksanaannya sedang berjalan, yaitu
sebanyak 5 proyek dengan karakteristik proyek yang mengacu pada pola-1
jaringan SC sesuai dengan Gambar II.6 sebanyak 1 proyek, pola-2 jaringan SC
sesuai dengan Gambar II.7 sebanyak 1 proyek dan pola-4 jaringan SC sesuai
dengan Gambar II.9 sebanyak 3 proyek, ke semua proyek berlokasi di Jakarta.

Setelah diperoleh rekomendasi proyek responden, kemudian dilanjutkan dengan


survei ke lokasi proyek. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan penjadwalan
pengambilan data primer serta wawancara yang akan dilakukan dengan pihak
project manager, site manager, bagian logistik proyek dan pihak-pihak lain yang
terkait dengan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Tahapan pekerjaan
pengumpulan data terbagi menjadi :

• Data primer

Pengumpulan data-data primer yang dibutuhkan sebagai bagian dari langkah


pengukuran kinerja supply chain dengan mengacu pada indikator pengukuran
yang merupakan pengukuran secara kuantitatif. Pengambilan data primer
65

dilakukan terhadap data-data sebagaimana terangkum dalam Tabel IV.1


berikut.

Tabel IV.1 Kebutuhan data primer


No. Indikator Jenis data yang diperlukan
1 Intensitas perubahan/revisi terhadap Data Variation Order (VO) atau
rencana kerja Change Order (CO)
2 Intensitas constraint selama pelaksanaan Catatan berbagai kendala yang
pekerjaan terjadi di proyek
3 Intensitas rapat koordinasi antar pihak Data risalah jenis-jenis rapat
yang terlibat yang biasa dilakukan di proyek
4 Intensitas defect pekerjaan Data catatan hasil pengawasan
yang dilakukan oleh proyek
5 Kinerja supplier dalam memenuhi Purchase Order (PO), Delivery
jadwal pengiriman material Order (DO)
6 Waktu tenggang (lead time) antara Purchase Order (PO), Delivery
pemesanan (order) dan pengiriman Order (DO)
(deliver)
7 Intensitas kejadian reject material Data material reject
8 Inventory material Data Inventory
9 Keikutsertaan subkontraktor di dalam Catatan keikutsertaan
perencanaan pelaksanaan subkontraktor dalam
perencanaan pelaksanaan
10 Intensitas complaints dari owner kepada Data complaints
kontraktor & dari kontraktor kepada
supplier

• Data wawancara

Selain melakukan pengumpulan data primer juga dilakukan wawancara


dengan project manager, site manager, divisi logistik proyek dan pihak lain
yang mempunyai kepentingan dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan
menyangkut aktifitas pelaksanaan di lapangan. Materi wawancara yang
disampaikan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu materi wawancara yang
dilakukan dengan project manager atau site manager dan materi wawancara
yang dilakukan dengan divisi logistik proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan pada responden dibuat berdasarkan indikator-indikator yang telah
66

dikembangkan. Indikator yang menjadi dasar pertanyan dalam wawancara


sebagaimana terangkum pada Tabel IV.2 berikut.

Tabel IV.2 Jenis indikator dan materi wawancara


No. Indikator Materi Wawancara
1 Intensitas perubahan/revisi terhadap Jenis-jenis VO, penyebab, akibat
rencana kerja dan penyelesaian
2 Intensitas constraint selama Jenis-jenis kendala, penyebab,
pelaksanaan pekerjaan akibat dan penyelesaian
3 Intensitas rapat koordinasi antar pihak Jenis-jenis rapat, pihak yang ikut
yang terlibat serta
4 Intensitas defect pekerjaan Penyebab, akibat dan
penyelesaian
5 Kinerja supplier dalam memenuhi Mekanisme pengukuran kinerja
jadwal pengiriman material supplier
6 Waktu tenggang (lead time) antara Perencanaan kedatangan
pemesanan (order) dan pengiriman material, proses penerimaan
(deliver) material di lapangan
7 Intensitas kejadian reject material Penyebab, akibat dan
penyelesaian
8 Inventory material Mekanisme pengelolaan inventori
9 Keikutsertaan subkontraktor di dalam Alasan ada/ tidak, dampak dalam
perencanaan pelaksanaan pelaksanaan
10 Intensitas complaints dari owner kepada Jenis-jenis komplain, penyebab,
kontraktor & dari kontraktor kepada akibat dan penyelesaian
supplier

Wawancara dilakukan dalam beberapa tahapan, mengingat intensitas


kesibukan dari masing-masing pihak responden dan juga sebagai antisipasi
dari kecukupan data pada saat pengolahan data dilakukan. Wawancara
dilakukan selama ± 1,5 jam (90 menit) dengan bertatap muka secara langsung
kepada responden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya salah
penafsiran terhadap pertanyaan diajukan. Pertanyaan diberikan secara
sistematis sesuai dengan outline pertanyaan yang telah dibuat. Pada saat
wawancara berlangsung sering terjadi pengembangan pertanyaan-pertanyaan
dari yang telah direncanakan. Hal ini dimungkinkan mengingat keterbatasan
pemahaman terhadap permasalahan di lapangan yang hanya digali
67

berdasarkan studi literatur sehingga terjadi pengembangan pertanyaan yang


telah ada.

Responden yang ditunjuk atau diberi wewenang oleh perusahaan untuk


menjawab pertanyaan merupakan responden yang berkompeten dengan
pengadaan, pembelian, dan proses operasional di lapangan yang dilakukan
perusahaan. Wawancara dilakukan secara langsung antara peneliti dengan
responden. Draft pertanyaan yang akan diajukan pada saat wawancara telah
terlebih dahulu disampaikan pada responden untuk memperlancar proses
wawancara yang akan dilakukan.

Setiap jawaban dari pertanyaan yang diajukan dicatat langsung dihadapan


responden. Responden dapat melihat dan memeriksa langsung jika terjadi
kesalahan penulisan atau pemahaman yang berbeda terhadap jawaban antara
peneliti dan responden. Ada saatnya responden merasa tidak pasti atau ragu
atau membutuhkan second opinion terhadap jawaban pertanyaan yang
diberikan, maka responden tersebut langsung bertanya kepada rekan kerjanya.
Sehingga semua jawaban dari pertanyaan yang diajukan telah benar-benar
sesuai dengan apa yang terjadi dalam perusahaan bukan dari subjektivitas
responden.

IV.4 Kendala-kendala dalam Pengumpulan Data

Secara keseluruhan tidak ditemui kendala yang signifikan dalam proses


pengumpulan data di lapangan. Kerjasama yang diberikan responden sangat baik
dan sangat membantu dalam proses pengumpulan data maupun pada saat
wawancara. Kendala yang ditemui hanya berupa menyamakan persepsi terhadap
kebutuhan data yang diajukan berdasarkan indikator yang telah dikembangkan
dengan pemahaman responden terhadap data tersebut, sehingga akan
mempermudah proses pengumpulan data yang dilakukan. Selain itu intensitas
kesibukan responden di lapangan menyebabkan proses wawancara yang dilakukan
harus beberapa kali untuk mengantisipasi kekurangan waktu dalam menjawab
seluruh pertanyaan penelitian ini.
68

IV.5 Hasil Pengumpulan Data

Dari hasil suatu survey pendahuluan yang dilakukan diperoleh beberapa proyek
yang saat ini sedang ditangani oleh perusahaan, namun pola supply chain yang
terjadi pada proyek-proyek tersebut hanya mewakili 3 (tiga) dari 4 (empat) bentuk
supply chain yang ada, yaitu pola-1 supply chain sesuai dengan Gambar II.6,
pola-2 supply chain sesuai dengan Gambar II.7 dan pola-4 supply chain sesuai
dengan Gambar II.9. Pengumpulan data yang dilakukan dibatasi hanya menelaah
dokumentasi kegiatan produksi di lapangan untuk kurun waktu pelaksanaan antara
bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007, jadi tidak dilakukan pengamatan
untuk keseluruhan waktu pelaksanaan pekerjaan.

Dengan aktifitas pekerjaan yang ditinjau meliputi pekerjaan pemasangan dinding


bata ringan, pekerjaan plafond, pekerjaan lantai keramik serta pekerjaan
mekanikal dan elektrikal. Pengadaan material yang dilakukan pengamatan
terutama untuk material bata ringan, keramik, sanitair, plafond dan mekanikal-
elektrikal. Jenis pekerjaan dan jenis material yang diteliti untuk proyek pada pola
hubungan pola-1 supply chain, pola-2 supply chain maupun pola-4 supply chain
ditetapkan sama, dengan asumsi agar tidak terdapat faktor lain yang bisa
mempengaruhi selama dilakukannya pengukuran, yang mungkin berasal dari
adanya perbedaan karakteristik, jika jenis pekerjaan dan jenis material yang
ditetapkan berbeda.

Selain itu juga mengingat pengkajian ini hanya bersifat deskriptif sehingga
diperlukan suatu kesamaaan aspek-aspek yang akan ditinjau, dengan demikian
diharapkan akan dapat dilakukan perbandingan yang linear. Pembatasan ini juga
dimaksudkan untuk menselaraskan item-item pekerjaan antara proyek yang satu
dengan proyek yang lain mengingat tidak semua proyek studi kasus sedang
berjalan pada tahapan pekerjaan yang sama. Keempat jenis pekerjaan yang akan
ditinjau adalah :

a. Pekerjaan dinding yaitu pemasangan material celcon (bata ringan) dan


pemasangan dinding batu bata. Pekerjaan ini merupakan salah satu
69

pekerjaan yang dilaksanakan sendiri oleh kontraktor (swakelola), sehingga


kontraktor memiliki hubungan langsung dengan supplier material dan
supplier tenaga kerja (mandor).

b. Pekerjaan pemasangan plafond. Pekerjaan ini merupakan salah satu


pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor utama. Berdasarkan hasil
pengumpulan data awal diperoleh gambaran bahwa pekerjaan ini memiliki
peluang menimbulkan berbagai konflik dalam pelaksanaan di lapangan. Hal
ini disebabkan pekerjaan ini melibatkan banyak pihak dan sangat terkait
dengan pelaksanaan pekerjaan mekanikal dan elektrikal.

c. Pekerjaan Mekanikal-Elektrikal (M/E). Pelaksanaan pekerjaan ini juga


dilakukan oleh subkontraktor/ spesialis. Pada hubungan SC pola-1, kontraktor
utama mensubkontrakkan pekerjaan ini pada subkontraktor dan pada
hubungan SC dengan pola-2 dan 4 merupakan pekerjaan yang dikontrakkan
oleh owner kepada pihak penyedia jasa lainnya selain kontraktor utama.

d. Pekerjaan lantai, yaitu pekerjaan pemasangan keramik. Berdasarkan hasil


pengumpulan data awal terlihat terjadi hubungan langsung antara owner
dengan supplier material pada aktifitas ini, terutama pada hubungan SC
dengan pola-4.

Penetapan pekerjaan-pekerjaan di atas sebagai obyek tinjauan berdasarkan asumsi


keterlibatan banyak pihak dalam pelaksanaan pekerjaan serta ketergantungan
antara pekerjaan dengan pekerjaan lain pada saat pelaksanaan pekerjaan akan
menimbulkan banyak terjadi konflik. Untuk meminimalisir terjadinya konflik
diperlukan suatu upaya pengelolaan hubungan antar pihak yang terlibat. Selain itu
terkait dengan praktek pengadaan material yang dilakukan oleh owner dimana
volume dari material tersebut cukup besar.

Adapun data-data yang berhasil dikumpulkan untuk kebutuhan penelitian ini


sebagaimana disajikan pada Tabel IV. 3 berikut.
70

Tabel IV.3 Hasil pengumpulan data primer


No. Indikator Jenis data yang dikumpulkan
1 Intensitas perubahan/ revisi terhadap Catatan terjadinya Variation
rencana kerja Order (VO) atau Change Order
(CO)
2 Intensitas constraint selama Catatan berbagai kendala yang
pelaksanaan pekerjaan terjadi di proyek
3 Intensitas rapat koordinasi antar pihak Risalah jenis-jenis rapat yang
yang terlibat biasa dilakukan di proyek
4 Intensitas defect pekerjaan Catatan hasil pengawasan yang
dilakukan oleh proyek
5 Kinerja supplier dalam memenuhi Purchase Order (PO), Delivery
jadwal pengiriman material Order (DO)
6 Waktu tenggang (lead time) antara Purchase Order (PO), Delivery
pemesanan (order) dan pengiriman Order (DO)
(deliver)
7 Intensitas kejadian reject material Data material reject
8 Inventory material Data Inventory
9 Keikutsertaan subkontraktor di dalam Catatan keikutsertaan
perencanaan pelaksanaan subkontraktor dalam perencanaan
pelaksanaan
10 Intensitas complaints dari owner Data complaints
kepada kontraktor & dari kontraktor
kepada supplier

Dari proses pengumpulan data yang dilakukan terlihat bahwa untuk keperluan
penelitian ini data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses produksi di lapangan lebih besar kontribusinya dalam analisa
yang dilakukan jika dibandingkan dengan data primer yang dikumpulkan. Hal ini
disebabkan karena mekanisme wawancara yang dilakukan untuk memperdalam
hasil dari data primer yang telah diperoleh di lapangan.

IV.6 Gambaran Umum Proyek

Pada bagian ini akan dipaparkan gambaran umum dari setiap proyek studi kasus
yaitu empat proyek konstruksi bangunan gedung yang dikelola oleh dua
perusahaan kontraktor BUMN Nasional yang berlokasi di Jakarta yaitu Kontraktor
X, dan Kontraktor Y, dengan rincian sebagai berikut:
71

1. Kontraktor X

• Proyek A – Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas Rumah Sakit, Jakarta

• Proyek C – Proyek Pembangunan Gedung Apartemen, Jakarta

2. Kontraktor Y

• Proyek B – Proyek Gedung Perkantoran, Jakarta

• Proyek D – Proyek Pembangunan Kompleks Apartemen, Jakarta.

Pemaparan meliputi data umum proyek sehingga akan tergambar kompleksitas


masing-masing proyek dan gambaran kinerja proyek terkait dengan hubungan
antar pihak yang terlibat dalam pelaksanaan produksi di lapangan.

Deskripsi Proyek A

Proyek A merupakan proyek pembangunan gedung fasilitas rumah sakit yang


berlokasi di Jakarta dengan pemerintah sebagai pemilik bangunan. Metoda
kontrak yang dilakukan dalam proyek ini adalah metoda metoda kontrak umum,
di mana kontraktor X merupakan satu-satunya pihak yang memiliki hubungan
kontrak langsung dengan owner. Owner tidak melakukan pemecahan kontrak,
sehingga seluruh supply chain yang terdapat dalam site konstruksi pada proyek
ini merupakan anggota supply chain dari kontraktor X. Data umum proyek
disajikan pada Tabel IV.4

Pola supply chain pada proyek A merupakan pola SC-1, di mana pada pola ini
terdapat pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor
memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan
pekerja. Selain itu ada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor baik
kepada subkontraktor untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada kontraktor
spesialis untuk jenis pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus seperti
pekerjaan mekanikal elektrikal. Dalam hal ini, umumnya subkontraktor dan
subkontraktor spesialis tersebut melakukan pengadaan material, alat dan
72

pekerjanya sendiri. Dengan demikian maka dalam pekerjaan yang


disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai).

Tabel IV.4 Data umum proyek A


Nama proyek Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas
Rumah Sakit
Pola jaringan SC Pola-1
Fungsi bangunan Gedung Perawatan
Pemilik bangunan Pemerintah
Nilai Kontrak Awal Rp. 84,061,000,000
Nilai Kontrak Addendum Rp. 94,061,000,000
Ketinggian bangunan 8 lantai + 1 basement
Waktu pelaksanaan 345 hari kalender
Subkontraktor pekerjaan struktur 6 perusahaan
Subkontraktor pekerjaan arsitektur 15 perusahaan
Subkontraktor pekerjaan M/E 6 perusahaan
Supplier 32 perusahaan
Nominated subcontractor Tidak ada
Material Supplied By Owner Tidak ada
Metoda Kontrak Kontrak Umum

Pola supply chain pada proyek A sebagaimana terlihat Gambar IV.1.

TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK

ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN
PERENCANA KONTRAKTOR X KONSTRUKSI

PEKERJAAN STRUKTUR PEKERJAAN ARSITEKTUR

ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK PEK. M/E

Alat bantu Alat bantu Alat bantu Alat bantu

Tenaga Kerja Material Material Material

Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja

Gambar IV.1 Pola supply chain pada proyek A


73

Dalam konteks pola-1 ini, tidak teridentifikasi adanya nominated sub contractor
atau nominated supplier sebagai intervensi owner terhadap pengadaan yang
dilakukan oleh kontraktor. Sifat kontrak yang digunakan adalah lumpsum fixed
price dan dana pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta sistem pengadaan kontraktor dilakukan dengan pelelangan umum.

Secara keseluruhan proyek ini merupakan tanggung jawab kontraktor utama


karena owner tidak melakukan pemecahan kontrak. Kontraktor pada pelaksanaan
pekerjaan bertindak selaku koordinator dan pimpinan dari supply chain proyek.
Seluruh aktivitas pelaksanaan pekerjaan dilakukan dengan koordinasi oleh
kontraktor utama dan melibatkan konsultan manajemen konstruksi sebagai
perpanjangan tangan owner terhadap permasalahan teknis di lapangan.

Deskripsi Proyek B

Proyek B merupakan proyek pembangunan gedung perkantoran yang berlokasi di


Jakarta dengan pemerintah sebagai pemilik bangunan. Metoda kontrak yang
dilakukan dalam proyek ini adalah metoda metoda kontrak umum, dimana
kontraktor Y merupakan satu-satunya pihak yang memiliki hubungan kontrak
langsung dengan owner. Owner tidak melakukan pemecahan kontrak, sehingga
seluruh supply chain yang terdapat dalam site konstruksi pada proyek ini
merupakan anggota supply chain dari kontraktor Y. Data umum proyek disajikan
pada Tabel IV.5 .

Namun berbeda dengan pola SC-1, pada pelaksanaan proyek ini teridentifikasi
adanya nominated subcontractor (NSC). Adapun alasan utama owner melakukan
praktek NSC terkait dengan ketersediaan dana, di mana nilai kontrak yang akan
diberikan kepada NSC lebih rendah daripada jika diberikan kepada kontraktor
utama. Mengingat pekerjaan yang disubkontrakkan ini juga merupakan pekerjaan
spesialis yang pasti jika diserahkan kepada kontraktor utama juga akan
disubkontrakkan ke pihak ketiga.
74

Tabel IV.5 Data umum proyek B


Nama proyek Pembangunan Gedung Kantor
Pola jaringan SC Pola-2
Fungsi bangunan Gedung Kantor
Pemilik bangunan Pemerintah
Nilai Kontrak Awal Rp. 62,730,000,000
Nilai Kontrak Addendum Rp. 67,884,165,000
Ketinggian bangunan 6 lantai dan basement
Waktu pelaksanaan 243 hari kalender
Subkontraktor pekerjaan struktur 8 perusahaan
Subkontraktor pekerjaan arsitektur 22 perusahaan
Subkontraktor pekerjaan M/E 11 perusahaan
Supplier 20 perusahaan
Nominated subcontractor 1 Perusahaan (IT)
Material Supplied By Owner Karpet, IT, Soundsistem profesional
Metoda Kontrak Kontrak Umum

Walapun demikian selaku kontraktor utama, kontraktor Y turut dilibatkan sejak


tercapainya kesepakatan antara pihak owner dengan pihak NSC. Hal ini
dimaksudkan untuk menselaraskan irama kerja kontraktor utama dengan pihak
NSC. Karena segala hal yang menyangkut operasional di lapangan, koordinasinya
diserahkan kepada kontraktor utama, dengan mendapatkan sejumlah besaran nilai
fee koordinasi yang telah disepakati. Disamping itu segala sesuatu yang berkaitan
dengan kontrak kerja juga dilakukan dengan kontraktor utama, dengan kata lain
walaupun merupakan NSC tapi ikatan kontrak yang dilakukan tetap dengan
kontraktor utama. Selain itu juga terdapat pengadaan material yang dilakukan oleh
owner, akan tetapi bukan merupakan material strategis dengan volume yang tidak
terlalu besar

Pola supply chain pada proyek B merupakan pola SC-2, di mana pada pola ini
terdapat pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor
memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan
pekerja. Selain itu ada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor baik
kepada subkontraktor untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada
75

subkontraktor spesialis untuk jenis pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus.


Dalam hal ini, umumnya subkontraktor dan subkontraktor spesialis tersebut
melakukan pengadaan material, alat dan pekerjanya sendiri.

Sifat kontrak yang digunakan adalah lumpsum fixed price dan dana pembiayaan
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sistem pengadaan
kontraktor dilakukan dengan pelelangan umum. Pada pekerjaan yang
disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai). Pola supply
chain pada proyek B sebagaimana terlihat Gambar IV.2 berikut.

TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK

ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN
KONTRAKTOR Y
PERENCANA KONSTRUKSI

PEKERJAAN STRUKTUR PEKERJAAN ARSITEKTUR

ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC PEKERJAAN IT
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK PEK. M/E PROFESIONAL

Alat bantu Alat bantu Alat bantu Alat bantu Alat bantu Material Supplied
By Owner
Soundsistem
Tenaga Kerja Material Material Material Tenaga Kerja Profesional, IT,
Karpet

Tenaga Kerja Tenaga Kerja Tenaga Kerja

Gambar IV.2 Pola supply chain pada proyek B

Secara keseluruhan proyek ini merupakan tanggung jawab kontraktor utama


karena owner tidak melakukan pemecahan kontrak. Kontraktor pada pelaksanaan
pekerjaan bertindak selaku koordinator dan pimpinan dari supply chain proyek.
Seluruh aktivitas pelaksanaan pekerjaan dilakukan dengan koordinasi oleh
kontraktor utama dan melibatkan konsultan manajemen konstruksi sebagai
perpanjangan tangan owner terhadap permasalahan teknis di lapangan, demikian
pula terhadap nominated subcontractor (NSC).

Selain itu kontraktor utama juga harus menyediakan fasilitas-fasilitas untuk


mendukung pelaksanaan pekerjaan seperti listrik, gudang material, peralatan kerja
horizontal dan peralatan kerja vertikal. Pemakaian fasilitas ini nantinya akan
76

dikenakan biaya terhadap subkontraktor dan NSC yang bersangkutan. Adapun


lingkup pekerjaan yang dikerjakan adalah :

▪ Pekerjaan persiapan dan prasarana


▪ Pekerjaan pondasi
▪ Pekerjaan struktur
▪ Pekerjaan arsitektur
▪ Pekerjaan tapak bangunan
▪ Pekerjaan perlengkapan
▪ Pekerjaan pos jaga
▪ Pekerjaan mekanikal dan elektrikal

Bagian pekerjaan yang dikerjakan sendiri oleh kontraktor, antara lain :

▪ Pekerjaan persiapan dan prasarana


▪ Pekerjaan struktur
▪ Pekerjaan arsitektur
▪ Pekerjaan perlengkapan

Kompleksitas pekerjaan yang tinggi dengan masa kerja yang relatif singkat
menyebabkan kontraktor membagi-bagi pekerjaaan ke beberapa subkontraktor.
Adapun pekerjaan yang disubkontrakkan adalah :

▪ Pekerjaan pondasi
▪ Pekerjaan piling
▪ Pekerjaan dewatering
▪ Pekerjaan galian dan buang tanah
▪ Pekerjaan bekisting
▪ Pekerjaan anti rayap
▪ Pekerjaan arsitektur
▪ Pekerjaan floor harderner
▪ Pekerjaan mekanikal dan elektrikal
▪ Pekerjaan lift
77

▪ Pekerjaan mekanikal
▪ Pekerjaan instalasi listrik
▪ Pekerjaan STP
▪ Pekerjaan WP integral
▪ Perijinan IMB
▪ Pengadaan dan pasang listrik
▪ Pekerjaan pos jaga

Deskripsi Proyek C

Proyek C merupakan proyek pembangunan komplek apartemen yang berlokasi di


Jakarta dengan pemilik proyek salah satu perusahaan swasta yang bergerak di
bidang properti. Kontrak yang digunakan bersifat lumpsum fixed price dengan
dana pembiayaan bersumber dari swasta murni. Dalam pelaksanaan pekerjaan
owner melakukan pemecahan kontrak terhadap beberapa pengadaan barang
maupun jasa yang dianggap potensial. Data umum proyek C dapat dilihat pada
Tabel IV.6.

Tabel IV.6 Data umum proyek C


Nama proyek Proyek Pembangunan Apartemen
Pola jaringan SC Pola-4
Fungsi bangunan Apartemen
Pemilik bangunan Swasta
Nilai Kontrak Pekerjaan Struktur Rp. 109,969,946,000
Nilai Kontrak Pekerjaan Arsitektur Rp. 39,600,000,000
Ketinggian bangunan 24 lantai + 2 basement
Waktu pelaksanaan 549 hari kalender
Subkontraktor pekerjaan struktur 10 perusahaan
Subkontraktor pekerjaan arsitektur 28 perusahaan
Supplier 22 perusahaan
Nominated subcontractor 11 perusahaan ( 9 M/E + 2 Ars)
Material Supplied By Owner M/E, Keramik, Sanitair
Metoda Kontrak Kontrak Terpisah
78

Metoda kontrak yang digunakan dalam proyek ini adalah metoda kontrak terpisah,
dimana kontraktor X merupakan salah satu dari beberapa kontraktor yang
memiliki hubungan kontrak langsung dengan owner. Pola supply chain pada
proyek C merupakan pola SC-4 yang merupakan pola khusus yang terjadi
disebabkan oleh besarnya peran pemilik dalam pengadaan, dimana terjadinya
hubungan langsung antara pemilik proyek dengan pihak penyedia jasa lainnya
selain kontraktor X dan membentuk pola hubungan yang setara antara pemilik
proyek dengan pihak-pihak dibawahnya, yaitu kontraktor dan subkontraktor.
Selain itu juga terjadinya hubungan langsung pemilik proyek dengan pihak
kontraktor lain dan pihak penyedia material.

Kontrak untuk pekerjaan struktur dan pekerjaan arsitektur yang merupakan


lingkup pekerjaan kontraktor X dilakukan secara terpisah. Sehingga terdapat dua
kontrak yaitu kontrak untuk paket pekerjaan struktur dan kontrak untuk paket
pekerjaan finishing arsitektur. Pemisahan kontrak pekerjaan menjadi dua paket
dikarenakan belum seluruhnya pekerjaan perencanaan yang dilakukan oleh
konsultan selesai dilaksanakan sehingga untuk menghemat waktu dilakukan
kontrak untuk pekerjaan struktur terlebih dahulu.

Pekerjaan yang dilaksanakan oleh kontraktor X adalah pekerjaan struktur dan


arsitektur dengan lingkup pekerjaan antara lain : pekerjaan struktur, pekerjaan
dinding, pekerjaan lantai, pekerjaan plafond, pekerjaan sanitair, pekerjaan pintu/
jendela, dan pekerjaan luar.

Selain itu ada bagian pekerjaan yang dikerjakan oleh kontraktor lain yang
langsung berikatan kontrak dengan owner, yaitu pekerjaan mekanikal dan
elektrikal dengan material di supplied by owner. Di samping itu juga terindikasi
adanya keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan pekerjaan (Nominated subcontractor) dan Nominated Supplier.
Pengadaan material utama pada proyek ini terutama untuk pekerjaan arsitektur
dilakukan oleh owner (supplied by owner) antara lain material keramik,
perlengkapan sanitair.
79

Pola supply chain pada proyek C sebagaimana terlihat Gambar IV.3 berikut.

TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK

ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN KONTRAKTOR
KONTRAKTOR X
PERENCANA KONSTRUKSI PEKERJAAN LAIN

PEKERJAAN STRUKTUR PEKERJAAN ARSITEKTUR

ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC PEKERJAAN
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK M/E

Alat bantu Alat bantu Alat bantu Material Supplied


By Owner
Keramik, Sanitair,
Tenaga Kerja Material Tenaga Kerja M/E

Tenaga Kerja

Gambar IV.3 Pola supply chain pada proyek C

Deskripsi Proyek D

Proyek D merupakan proyek pembangunan komplek apartemen yang berlokasi di


Jakarta. Owner dari proyek ini adalah salah satu lembaga swasta yang bergerak di
bidang properti. Kontrak yang digunakan bersifat lumpsum fixed price dengan
dana pembiayaan bersumber dari swasta murni. Owner melakukan pemecahan
kontrak terhadap beberapa pengadaan barang maupun jasa yang dianggap
potensial.

Dalam hal ini owner melakukan pengadaan material-material dengan volume yang
besar serta pengadaan jasa tertentu. Pengadaan material utama pada proyek ini
terutama untuk pekerjaan arsitektur yang dilakukan oleh owner (supplied by
owner) antara lain material keramik, perlengkapan sanitair dan pintu kayu. Selain
itu ada bagian pekerjaan yang dikerjakan oleh kontraktor lain yang langsung
berikatan kontrak dengan owner. Praktek pemecahan kontrak ini dilakukan owner
terkait dengan masalah financial di mana owner menganggap dengan melakukan
praktek ini telah memperoleh penghematan. Data umum proyek disajikan pada
Tabel IV.7.
80

Tabel IV.7 Data umum proyek D


Nama proyek Proyek Pembangunan Apartemen
Fungsi bangunan Apartemen
Pola jaringan SC Pola-4
Pemilik bangunan Swasta
Nilai Kontrak Pekerjaan Arsitektur Rp. 125,900,000,000
Ketinggian bangunan 4 tower, 34 lantai + 2 lantai ruang mesin
Waktu pelaksanaan 812 hari kalender
Subkontraktor pekerjaan arsitektur 35 perusahaan
Kontraktor lain 10 perusahaan
Supplier 25 perusahaan
Nominated subcontractor 1 perusahaan (pintu kayu)
Material Supplied By Owner Keramik, M/E, sanitair, hardware pintu
Metoda Kontrak Kontrak Terpisah

Metoda kontrak yang dilakukan dalam proyek ini adalah metoda kontrak terpisah,
dimana kontraktor Y merupakan salah satu dari beberapa kontraktor yang
memiliki hubungan kontrak langsung dengan owner. Besaran tanggungjawab
kontraktor Y hanya sebatas lingkup pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
Terhadap pihak-pihak lain yang terlibat dalam proyek kontraktor Y hanya
bertanggungjawab terhadap keamanan, ketertiban dan kebersihan lokasi
pekerjaan. Terhadap pemakaian segala fasilitas kontraktor Y seperti peralatan
kerja, listrik dan lain-lain oleh pihak kontraktor lain akan dikompensasikan sesuai
dengan kesepakatan bersama.

Pola supply chain pada proyek D merupakan pola SC-4 yang merupakan pola
khusus yang terjadi disebabkan oleh besarnya peran pemilik dalam pengadaan,
dimana terjadinya hubungan langsung antara pemilik proyek dengan pihak
penyedia jasa lainnya selain kontraktor Y dan membentuk pola hubungan yang
setara antara pemilik proyek dengan pihak-pihak dibawahnya, yaitu kontraktor
dan subkontraktor. Selain itu juga terjadinya hubungan langsung pemilik proyek
dengan pihak penyedia material. Pola supply chain pada proyek D sebagaimana
terlihat Gambar IV.4 berikut.
81

TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK

ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN KONTRAKTOR
KONTRAKTOR Y
PERENCANA KONSTRUKSI PEKERJAAN LAIN

PEKERJAAN STRUKTUR PEKERJAAN ARSITEKTUR

ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC Provisional Sum
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK (Pintu Kayu)

Alat bantu Alat bantu Alat bantu Material Supplied


By Owner
Keramik, Sanitair,
Tenaga Kerja Material Tenaga Kerja Hardware Pintu,
M/E

Tenaga Kerja

Gambar IV.4 Pola supply chain pada proyek D

Kontrak untuk pekerjaan struktur dan pekerjaan arsitektur yang merupakan


lingkup pekerjaan kontraktor Y dilakukan secara terpisah. Sehingga terdapat dua
kontrak yaitu kontrak untuk paket pekerjaan struktur dan kontrak untuk paket
pekerjaan finishing arsitektur. Hal ini terkait dengan kebijakan yang diberlakukan
oleh owner terkait dengan strategi pemasaran dan likuiditas finansial, di mana
pada setiap bagian pekerjaan ditetapkan jangka waktu penyelesaian pekerjaan
(milestone) yang dituangkan dalam kontrak. Di karenakan belum tercapainya
kesepakatan terhadap besaran nilai pekerjaan arsitektur sementara milistone
pekerjaan telah ditetapkan, maka maka kontrak pekerjaan struktur dilaksanakan
terlebih dahulu baru menyusul dilakukan kesepakatan untuk kontrak pekerjaan
arsitektur.

Penerapan sistem milestone ini tidak hanya memberikan keuntungan bagi


pemilik, tapi juga bagi kontraktor, terutama terhadap proses pelaksanaan
pekerjaan yang menjadi lebih mudah dan dapat lebih leluasa mengatur prioritas
pekerjaan, selain itu juga kontraktor dapat melakukan pengontrolan terhadap
preliminaries karena dengan sistem ini akan lebih terukur dan akan dapat
dilakukan proses penagihan secara langsung.
82

Pekerjaan yang dilaksanakan oleh kontraktor Y adalah pekerjaan struktur dan


arsitektur dengan lingkup pekerjaan antara lain : pekerjaan struktur, pekerjaan
dinding, pekerjaan lantai, pekerjaan plafon, pekerjaan sanitair, pekerjaan pintu/
jendela, dan pekerjaan luar. Selain itu juga terdapat pekerjaan dengan status
Provisional Sum untuk pekerjaan pintu kayu dengan hardware di supplied by
owner.

Bagian pekerjaan arsitektur yang dilakukan sendiri oleh kontraktor meliputi


kegiatan antara lain :

▪ Pekerjaan pemasangan dinding bata ringan


▪ Pekerjaan pemasangan lantai keramik

Kompleksitas pekerjaan yang tinggi dengan masa kerja yang relatif singkat
menyebabkan kontraktor membagi-bagi pekerjaaan ke beberapa subkontraktor.
Adapun pekerjaan yang disubkontrakkan adalah :

▪ Pekerjaan plafond kalsiboard


▪ Pekerjaan plafond gypsum
▪ Pekerjaan plafond gyptile
▪ Pekerjaan railing tangga
▪ Pekerjaan railing balkon
▪ Pekerjaan water proofing membrane
▪ Pekerjaan water proofing coating
▪ Pekerjaan floor harderner
▪ Pekerjaan pintu besi
▪ Pekerjaan pintu PVC
▪ Pekerjaan GRC
▪ Pekerjaan pengecatan

Berdasarkan pekerjaan yang dialokasikan pada kontraktor, maka supplier yang


memiliki hubungan kontrak langsung dengan kontraktor dalam pengadaan
material yang dibutuhkan di lapangan adalah:
83

▪ Bata ringan
▪ Thinbed, plester, aci
▪ Besi kolom praktis
▪ Plafond dan partisi gypsum
▪ Plafon gyptile
▪ Cat interior, eksterior, minyak
▪ Water proofing
▪ Floor harderner
▪ Kitchen sink

Rekapitulasi terhadap data umum proyek studi kasus berdasarkan paparan di atas
sebagaimana disajikan pada Tabel IV.8 berikut.

Tabel IV.8 Rekapitulasi data umum proyek-proyek studi kasus


Proyek A Proyek B Proyek C Proyek D
Nama proyek Proyek Pembangunan Proyek Proyek
Pembangunan Gedung Kantor Pembangunan Pembangunan
Gedung Fasilitas Apartemen Apartemen
RS
Pola jaringan Pola-1 Pola-2 Pola-4 Pola-4
SC
Fungsi Gedung Gedung Kantor Apartemen Apartemen
bangunan Perawatan
Pemilik Pemerintah Pemerintah Swasta Swasta
bangunan
NK Awal (Rp.) 84,061,000,000 62,730,000,000
NK Add. (Rp.) 94,061,000,000 67,884,165,000
NK Struktur 109,969,946,000
(Rp.)
NK Arsitektur 39,600,000,000 125,900,000,000
(Rp.)
Ketinggian 8 lantai + 1 6 lantai dan 24 lantai + 2 4 tower, 34 lantai
bangunan basement basement basement + 2 lantai ruang
mesin
Waktu 345 hari kalender 243 hari 549 hari kalender 812 hari kalender
pelaksanaan kalender
Subkontraktor 6 perusahaan 8 perusahaan 10 perusahaan 35 perusahaan
pek. struktur
Subkontraktor 15 perusahaan 22 perusahaan 39 perusahaan
pek. arsitektur
84

Tabel IV.8 Rekapitulasi data umum proyek-proyek studi kasus (lanjutan)


Proyek A Proyek B Proyek C Proyek D
Subkontraktor 6 perusahaan 11 perusahaan
pek. M/E
Kontraktor lain 10 perusahaan
Supplier 32 perusahaan 20 perusahaan 22 perusahaan 25 perusahaan
Nominated Tidak ada 1 Perusahaan 11 perusahaan ( 9 1 perusahaan
subcontractor (IT) M/E + 2 ARS) (pintu kayu)
Material Supplied Tidak ada Karpet, IT, M/E, Keramik, Keramik, M/E,
By Owner Soundsistem Sanitair sanitair, hardware
profesional pintu
Metoda Kontrak Kontrak Umum Kontrak Umum Kontrak Terpisah Kontrak Terpisah

Dari tabel di atas terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terdapat
perbedaan karakteristik dari masing-masing proyek. Perbedaan yang terjadi
dikarenakan ketidaksetaraan dari proyek–proyek yang dijadikan sebagai
responden pada penelitian ini. Adapun perbedaan yang ada terlihat pada besaran
nilai proyek, kompleksitas pekerjaan, keterlibatan pihak dalam proses produksi
dan lain sebagainya.
V. Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung

Kajian ini dimaksudkan untuk mencari gambaran kinerja supply chain dari
masing-masing pola supply chain yang telah teridentifikasi terhadap implementasi
dari konsep-konsep lean construction. Pengkajian dilakukan dengan mengacu
pada indikator-indikator pengukuran kinerja supply chain dan konsep lean
construction.

V.1 Indikator Pengukuran Kinerja Supply Chain

Pada pengukuran kinerja supply chain ini digunakan indikator-indikator


pengukuran kinerja yang dikembangkan dalam penelitian Wirahadikusumah
(2007) sebagaimana terlihat pada Tabel II.5. Namun dari hasil pengumpulan data
di lapangan ternyata dari beberapa indikator yang diajukan dengan model
penilaian yang telah direkomendasikan memerlukan beberapa penyesuaian.
Penyesuaian yang dilakukan terutama terhadap rumus penilaian kuantitaf dari
indikator-6 yaitu waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan
pengiriman (deliver) dan indikator-8 yaitu inventory material.

Untuk indikator-6 semua rumus penilaian yang direkomendasikan adalah

 order − deliver , dengan rumus penilaian tersebut dirasa tidak sesuai dan tidak
akan memberikan gambaran terhadap penilaian kinerja yang diharapkan. Untuk
itu dilakukan penyesuaian terhadap rumus tersebut dengan menggunakan
# (actual lead time − exp ected lead time  0)
persamaan x 100.% Dengan menggunakan
 keda tan gan material
persamaan ini diharapkan akan dapat diperoleh gambaran kinerja yang
diharapkan.

Terkait dengan indikator-8, semula tidak direkomendasikan suatu rumus penilaian


tertentu, namun sejalan dengan analisis data yang dilakukan terjadi penyesuaian
Volume material di gudang
dengan menggunakan persamaan x 100% . Secara
Volume total material yang dibeli

85
86

terperinci indikator-indikator beserta rumus penilaian yang akan digunakan


disajikan pada Tabel V.1.

Tabel V.1 Jenis indikator dan rumus penilaian kuantitatif


Indikator Rumus penilaian kuantitatif
1. Intensitas
perubahan/revisi
terhadap rencana kerja
2. Intensitas kendala selama
pelaksanaan pekerjaan
3. Intensitas rapat
koordinasi antar pihak
yang terlibat
4. Intensitas defect
pekerjaan
5. Kinerja supplier dalam
memenuhi jadwal
pengiriman material
6. Waktu tenggang (lead
time) antara pemesanan
(order) dan pengiriman
(deliver)
7. Intensitas kejadian reject
material

8. Inventory material
9. Keikutsertaan
subkontraktor di dalam
perencanaan pelaksanaan
10. Intensitas complaints dari
owner kepada kontraktor
& dari kontraktor kepada
supplier

V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus

Pengukuran terhadap kinerja supply chain proyek studi kasus dilakukan dengan
menggunakan 10 (sepuluh) indikator sebagaimana terlihat pada Tabel II.5.
Pengukuran dilakukan terhadap lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan
sub pekerjaan yang ditinjau adalah pekerjaan dinding bata ringan, pekerjaan
plafond, pekerjaan pemasangan keramik dan pekerjaan mekanikal dan
elektrikal. Terhadap pengadaan material dilakukan pengamatan terhadap material
bata ringan, bata merah, plafond, keramik dan material M/E. Waktu
87

pengambilan data di lapangan dibatasi hanya antara bulan April 2007 sampai
dengan bulan Oktober 2007. Untuk keempat proyek studi kasus hasil pengukuran
kinerja terhadap data yang diperoleh disajikan pada Tabel V.2 berikut.

Tabel V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus


Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
1 Jumlah perubahan/revisi rencana kerja 59 kali 12 kali 48 kali 52 kali
Intensitas constraint selama
2 43 kali 8 kali 35 kali 42 kali
pelaksanaan pekerjaan
Intensitas rapat rutin mingguan
3a 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
koordinasi intern
Intensitas rapat rutin mingguan
3b 28 kali 20 kali 28 kali 56 kali
koordinasi ekstern
Intensitas rutin mingguan antara
3c manajemen di proyek dengan kantor 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
pusat
3d Intensitas rapat koordinasi khusus 15 kali 2 kali 4 kali 8 kali

4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2%


Kinerja supplier dalam memenuhi
5 100% 100% 100% 100%
jadwal pengiriman
Waktu tenggang (lead time) antara
6 pemesanan (order) dan pengiriman 0% 0% 0% 0%
(deliver)
7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2%
5% -
8 Inventory material < 10 % < 10 % 5% - 10%
10%
Keikutsertaan subkontraktor di dalam Tidak Tidak
9 Tidak ada Tidak ada
perencanaan pelaksanaan ada ada
Intensitas complaint dari owner-
10a 15 kali 25 kali 44 kali 33 kali
kontraktor
Intensitas complaint dari kontraktor-
10b 1 kali 2 kali 2 kali 3 kali
supplier

Secara detail kajian yang dilakukan terhadap aktivitas supply chain pada proyek-
proyek studi kasus berdasarkan indikator-indikator sebagaimana disajikan pada
tabel di atas adalah sebagai berikut :
88

V.2.1. Indikator-1 : Jumlah perubahan/ revisi terhadap rencana kerja

Change Order atau Variation Order adalah suatu persetujuan tertulis untuk
memodifikasi, menambah atau perubahan lain pada pekerjaan yang telah diatur
dalam kontrak pada saat pembukaan penawaran dengan catatan bahwa perubahan
tersebut masih termasuk dalam lingkup proyek awal (Fisk, 1995). Perubahan yang
dimaksud dapat berupa perubahan harga kontrak, jadwal pembayaran, jadwal
penyelesaian proyek atau perubahan pada gambar dan spesifikasi. Change order
dapat muncul karena berbagai sebab, beberapa diantaranya adalah : desain yang
cacat atau tidak lengkap, perubahan permintaan, kondisi lapangan yang tidak
diketahui, bahasa kontrak yang tidak jelas dan perintah percepatan (Gilbreath,
1992)

Dari Tabel V.2 terlihat bahwa pada keempat proyek studi kasus, sangat sering
terjadi revisi terhadap rencana kerja, baik itu proyek yang merupakan proyek
pemerintah maupun proyek milik swasta. Salah satu alasan sering terjadinya
perubahan adalah tidak sempurnanya hasil desain yang dilakukan oleh konsultan
perencana, mengingat waktu perencanaan yang sangat singkat sehingga hasil
desain tidak maksimal dan masih memerlukan penambahan dan perubahan
terhadap hasil desain yang akan dilaksanakan.

Selain itu juga ada kecenderungan yang dilakukan pemilik untuk membuat
perubahan terhadap desain yang telah ada. Hal ini semakin besar terlihat pada
proyek milik swasta dimana pihak owner terus melakukan perubahan-perubahan
dan penyesuaian terhadap desain pekerjaan sehingga sering terjadi perubahan
pekerjaan (variation order) terutama jika terkait dengan pendanaan yang ada.
Perubahan yang dilakukan oleh owner ini secara tidak langsung dapat saja
mengganggu aliran pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan, sehingga
kemungkinan terjadi keterlambatan penyelesaian proyek secara keseluruhan.
Namun sebagai konsekuensi dari perubahan ini, juga dilakukan penyesuaian
terhadap nilai pekerjaan dan waktu pelaksanaan pekerjaan.
89

Pada proyek A walaupun pemilik bangunan adalah pemerintah namun terlihat


banyak terjadinya perubahan (variation order), perubahan yang terjadi antara lain
disebabkan karena tidak lengkapnya hasil desain yang dilakukan konsultan
perencana sehingga tidak mampu mengakomodir seluruh kebutuhan pemilik,
selain itu juga terjadi penyesuaian desain atas keinginan pengguna (tenant) dalam
hal ini dokter-dokter yang akan memanfaatkan ruang-ruang pada gedung yang
akan dipakai meliputi perubahan peruntukan ruangan serta perubahan spesifikasi
material. Segala perubahan dituangkan dalam suatu addendum kontrak. Selama
masa pelaksanaan untuk proyek A terjadi 1 kali addendum terhadap waktu dan
biaya pelaksanaan.

Perubahan terhadap rencana kerja juga banyak terjadi pada proyek B, walaupun
karakteristik proyek ini sama dengan proyek A yaitu proyek pemerintah, namun
pemilik proyek juga melakukan banyak perubahan dan penyesuaian desain yang
semula tidak terakomodir pada tahap desain mengingat waktu desain yang sangat
singkat, sehingga dapat dikatakan proyek berjalan secara simultan dengan
penyempurnaan desain.

Sedangkan pada proyek C dan D dengan owner pihak swasta, perubahan yang
terjadi dituangkan dalam suatu berita acara yang nantinya akan dilakukan
addendum terhadap kontrak awal pekerjaan. Karena proyek swasta lebih longgar
dalam regulasinya, maka terkadang perubahan-perubahan yang terjadi tidak
dituangkan dalam suatu surat perjanjian addendum tetapi cukup dengan suatu
berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

V.2.2. Indikator-2 : Intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan


pekerjaan

Keterlibatan banyak pihak menyebabkan banyaknya constraint (kendala) yang


terjadi dan dapat mengganggu kelancaran flow pekerjaan, seperti ketersediaan
sumber daya, desain gambar yang belum selesai, shop drawing dan material yang
belum disetujui dan belum selesainya kegiatan downstream. Dari hasil wawancara
dengan pihak manajemen pada keempat proyek studi kasus diketahui bahwa
90

kontraktor melakukan pencatatan dan analisis terhadap constraint yang terjadi


selama pelaksanaan pekerjaan, dan memberikan perhatian yang besar terhadap
kendala-kendala apa saja yang dapat mengganggu flow pekerjaan. Baik kendala
yang mungkin disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor sendiri,
maupun kendala yang bisa disebabkan oleh pihak di luar kontraktor seperti owner
dan konsultan pengawas.

Untuk kendala yang disebabkan oleh proses produksi di internal kontraktor


sendiri, pemecahaannya didiskusikan dalam rapat rutin intern kontraktor, dan
hasilnya didokumentasikan dalam risalah rapat serta disampaikan pada pihak-
pihak yang terkait dengan permasalahan tersebut. Sementara untuk kendala yang
disebabkan oleh pihak diluar kontraktor, maka pemecahannya didiskusikan dalam
rapat rutin ekstern, dan hasilnya juga didokumentasikan dalam risalah rapat.
Untuk kejadian khusus yang memerlukan penanganan segera dari pihak-pihak
pengambil keputusan dilakukan melalui rapat khusus yang bersifat insidentil,
sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Pada setiap rapat yang dilakukan harus
dihadiri oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
sehingga segala sesuatu yang akan dibahas akan dapat dengan segera diputuskan.

Kendala pada proyek A antara lain : banyaknya perubahan desain yang terjadi
dikarenakan perubahan peruntukan ruangan, jenis material yang digunakan,
keinginan penggunaan yang tidak terakomodir oleh konsultan perencana,
keterlambatan dari owner dalam memutuskan jenis material yang diajukan oleh
kontraktor, keterlambatan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor.

Kendala pada proyek B antara lain : waktu pelaksanaan design sangat singkat
sehingga kontraktor menerima gambar design tidak lengkap, sebagai akibatnya
penyempurnaan design dilakukan sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan di
lapangan dan hal ini menyebabkan agak terlambatnya progres kemajuan pekerjaan
lapangan. Akibat tidak sempurnya desain maka banyak terjadi variation order
hal ini menyebabkan timbulnya masalah baru yaitu ketidaksamaan persepsi
terhadap penambahan/perubahan pekerjaan yang dikaitkan dengan waktu, dimana
91

dengan adanya penambahan/ perubahan akan diikuti dengan berarti penambahan


waktu yang terkait dengan proses produksi yang dilakukan, baik itu pemesanan
material, pendatangan material ke lokasi sampai dengan proses pemasangan.

Selama ini persepsi yang ada di pihak pemilik bahwa penambahan pekerjaan
hanya dilihat secara linear, artinya jika penambahan untuk pekerjaan tersebut
secara finansial mempunyai besaran 10 % dari nilai kontrak artinya penambahan
waktu juga akan dilinearkan sesuai dengan waktu pelaksanaan, sedangkan
penambahan pekerjaan yang dilakukan terkait dengan pemakaian material yang
harus didatangkan dari luar negeri. Untuk proses pendatangan material tersebut
dengan segala prosedurnya akan memakan waktu yang lebih lama dari nilai
finansial dan asumsi dari pihak pemilik. Selain itu terdapat pula kendala akibat
persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor yang sering terlambat
diterima oleh kontraktor, juga terdapat kendala dengan produktivitas kerja dari
subkontraktor terutama terkait dengan keterlambatan kedatangan material dan
jumlah tenaga kerja yang tidak mencukupi di lapangan.

Kendala pada proyek C dan D secara umum sama, antara lain : banyaknya
perubahan terhadap desain akibat keinginan pemilik yang tidak terakomodir pada
tahap desain, perubahan peruntukan desain yang ada, keterlambatan penunjukan
nominated subcontractor dan nominated supplier, keterlambatan persetujuan
owner terhadap usulan material dari kontraktor, perubahan desain pekerjaan,
keterlambatan yang dilakukan subkontraktor dan nominated subcontractor,
keterlambatan penyelesaian pekerjaan unit defect list baik yang disebabkan oleh
pelaksanaan pekerjaan kontraktor, subkontraktor atau nominated subcontractor.

V.2.3. Indikator-3 : Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat

Penyebarluasan informasi tentang hasil analisa proses produksi di proyek


konstruksi akan meningkatkan pemahaman semua pihak yang terlibat dalam
proses produksi tentang kondisi proyek, sehingga diharapkan secara bersama-
sama akan lebih meningkatkan kinerjanya.
92

Dari hasil studi kasus diketahui bahwa penyebarluasan informasi tentang hasil
analisa kemajuan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian engineering dilakukan
dalam rapat rutin yang dilaksanakan setiap minggu di proyek konstruksi. Selain
dalam rapat rutin tersebut, jika terjadi permasalahan yang membutuhkan analisa
yang mendalam, maka akan dilakukan analisa secara detail dan hasilnya akan
diberikan kepada semua pihak yang terkait. Hasil analisa tersebut dituangkan
dalam media kertas. Tetapi jika permasalahan tersebut bersifat signifikan dan
semua orang harus mengetahuinya, maka hasil analisa tersebut akan ditempel di
papan pengumuman.

Analisa terhadap permasalahan tersebut hanya diberikan kepada pihak-pihak yang


terkait dalam struktur organisasi intern kontraktor. Sedangkan pemberian
informasi ke pihak mandor dan subkontraktor lebih ditekankan melalui forum
rapat rutin antara kontraktor dengan mandor dan subkontraktor. Forum yang
digunakan dalam pengambilan keputusan adalah rapat rutin yang selalu diadakan
di proyek konstruksi. Rapat rutin tersebut berbeda-beda tingkatannya sesuai
dengan personil yang menghadirinya. Adapun jenis rapat rutin yang selalu
diadakan berkaitan dengan proses produksi, yaitu:

a. Rapat rutin mingguan intern kontraktor

Rapat rutin intern kontraktor terdiri dari rapat harian, rapat mingguan, dan
rapat bulanan. Rapat harian dilakukan setiap hari antara staf personil di
bagian operasi lapangan. Rapat mingguan dilakukan setiap minggu dan di
hadiri oleh staf personil di bidang engineering, operasi, dan keuangan.

b. Rapat rutin mingguan ekstern

Merupakan rapat rutin yang dilaksanakan di proyek konstruksi antara


kontraktor, owner, subkontraktor, Nominated subcontractor dan konsultan
pengawas, dilaksanakan setiap minggu.
93

c. Rapat rutin antara manajemen di proyek dengan kantor pusat

Merupakan rapat rutin antara pihak manajemen di proyek konstruksi dengan


pihak manajemen kantor pusat, dilaksanakan setiap minggu.

d. Rapat koordinasi khusus

Merupakan rapat yang dilakukan manakala terjadi permasalahan yang harus


segera dicarikan solusi penyelesaiannya. Rapat bersifat insidentil dan
melibatkan hanya pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang akan di
bahas.

Selain itu koordinasi juga dilakukan dengan surat menyurat, komunikasi lisan
melalui telepon dan memorandum.

Dari Tabel V.2 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas antara rapat rutin
mingguan ekstern yang dilakukan pada masing-masing proyek. Hal ini disebabkan
keterlibatan banyak pihak di mana tidak hanya subkontraktor akan tetapi juga
terdapat nominated subcontractor menyebabkan intensitas rapat yang diadakan
lebih banyak, karena kontraktor tidak hanya mengadakan rapat dengan pihak
subkontraktor tapi juga dengan pihak nominated subcontractor.

V.2.4. Indikator-4 : Intensitas defect pekerjaan

Pada pengumpulan data di lapangan terkait dengan rumus pengukuran untuk


indikator ini sebagaimana direkomendasikan ternyata sulit untuk pengaplikasian
dengan data yang ada, karena kontraktor tidak melakukan pencatatan terhadap
kegagalan dalam pelaksanaan inspeksi, tetapi hanya melakukan pencatatan
terhadap jenis-jenis defect yang terjadi. Untuk itu pengukuran hanya dilakukan
terhadap intensitas defect yang terjadi.

Terhadap defect yang terjadi, kontraktor juga melakukan pencatatan (list of


defect), untuk kemudian dilakukan perbaikan. Namun demikian pada pelaksanaan
setiap pekerjaan direncanakan sedemikian rupa dan pada masa pelaksanaan
dilakukan pengawasan secara terpadu antara pelaksana dan konsultan pengawas
94

serta perwakilan pemilik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya cacat-
cacat selama masa pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian hasil pelaksanaan
akan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan. Sehingga keseluruhan
subkontraktor berhasil memenuhi mutu pekerjaan yang disyaratkan.

Jikapun terjadi kesalahan pada pelaksanaan maka akan dilakukan pencacatan (list
of defect) terhadap cacat-cacat yang terjadi untuk kemudian dilakukan perbaikan
secara bersamaan, namun jika cacat yang terjadi bersifat penting karena jika tidak
segera diperbaiki akan mengganggu aktifitas pekerjaan yang mengikutinya maka
akan menjadi prioritas penanganan.

Terdapat perbedaan sistem pencacatan defect antara satu proyek dengan proyek
lainnya, di mana pada proyek A dan C tidak dilakukan pencacatan secara
terstruktur, perbaikan terhadap defect dilakukan berdasarkan memo lapangan yang
merupakan hasil inspeksi antara konsultan pengawas dengan personil Quality
Control proyek. Sedangkan pada proyek B dan D pencacatan dilakukan setiap hari
untuk kemudian direkap secara mingguan dan dilakukan perbaikan.

Inspeksi yang dilakukan oleh kontraktor X dilakukan dengan melibatkan pihak


konsultan MK, dan subkontraktor. Kriteria inspeksi yang dilakukan oleh
kontraktor X antara lain :
• Tidak berfungsi
• Area yang tidak menggunakan
• Perlu perbaikan/ pengulangan
• Belum diuji fungsi
• Berfungsi baik/ kondisi baik

V.2.5. Indikator-5 : Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman


material

Perusahaan kontraktor X telah menerapkan sistem pengadaan material yang


strategis secara tersentralisasi, dimana pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi
pengadaan. Material atau barang dan jasa yang dibutuhkan dalam proyek
95

konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa
yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan
oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka
masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda,
sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material
atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda.

Dalam pengelolaan proyeknya, kontraktor X melakukan strategi pembelian secara


terpadu terhadap beberapa material atau jasa yang dianggap strategis. Pembelian
ini dilakukan dalam bentuk kontrak payung, yang tidak secara spesifik mengacu
pada proyek tertentu. Adapun yang termasuk dalam material atau jasa strategis
adalah material atau jasa yang dibutuhkan oleh setiap proyek dengan volume
kebutuhan yang cukup besar. Dalam praktek yang sudah dilakukan oleh
kontraktor X, pengadaan besi beton merupakan bagian dari pengadaan jenis ini
dalam tonase tertentu, dan juga mulai menjajagi untuk melakukan hal yang sama
pada pengadaan material berulang lainnya seperti wiremesh, paku dan bendrat,
dan hebel.

Sedangkan pada kontraktor Y, walaupun belum ada suatu divisi khusus yang
menangani masalah pengadaan, tetapi telah menerapkan sistem pengadaan
material secara terpadu juga. Di mana untuk beberapa material yang dianggap
strategis telah dilakukan perencanaan terhadap prediksi kebutuhan proyek dalam
kurun waktu tertentu, biasanya 6 (enam) bulanan, sehingga dilakukan pengadaan
secara terpadu untuk pembelian dengan volume yang besar.

Pada awal pelaksanaan pekerjaan telah dilakukan perencanaan material yang akan
digunakan yang disesuaikan dengan rencana kerja keseluruhan. Pihak supplier
dalam pengiriman material mengacu pada schedul yang telah disampaikan oleh
pihak kontraktor. Jika ternyata pekerjaan di lapangan mengalami perubahan maka
pihak kontraktor berkewajiban untuk memberitahukan pihak supplier tentang
perubahan yang terjadi.
96

Prosedur pengadaan material dimulai dengan penyampaian Surat Permintaan


Pembelian dari pelaksana di lapangan kepada bagian logistik dengan mengetahui
site manager. Kemudian pihak logistik akan mengeluarkan Surat Pembelian
Material (Purchase Order) kepada pihak supplier dengan mencantumkan jadwal
penerimaan material di site dan jadwal pemakaian material.

Berdasarkan analisa yang dilakukan terlihat bahwa untuk proyek ini diperoleh
bahwa kinerja supplier dalam memenuhi permintaan pesanan material dari
kontraktor utama sangat baik di mana tidak pernah terjadi keterlambatan
penerimaan material di lapangan untuk pekerjaan yang langsung ditangani oleh
kontraktor utama dengan material yang pengadaannya langsung dilakukan oleh
pihak kontraktor. Hal ini dimungkinkan dengan sistem kontrak payung yang telah
diterapkan oleh perusahaan terhadap beberapa material strategis yang
pengirimannya dilakukan berdasarkan schedule yang disampaikan pada awal
pekerjaan.

Untuk material yang di supplied by owner (SBO), pernah terjadi keterlambatan


pengiriman material yang disebabkan karena supplier tidak mau mengirimkan
material ke lapangan akibat pembayaran belum dilakukan oleh owner terhadap
progres yang telah lalu. Namun secara keseluruhan keterlambatan ini tidak
mengganggu terhadap pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

V.2.6. Indikator-6 : Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order)


dan pengiriman (deliver)

Pemesanan material dilakukan berdasarkan skedul pemakaian material di


lapangan, sehingga tidak terjadi waktu tenggang yang panjang terhadap
kedatangan material. Proses pemesanan material dilakukan paling lambat 2 hari
menjelang jadwal pemakaian material di lapangan, hal ini di lakukan untuk
menghindari inventory material yang menumpuk di gudang. Begitu pula terhadap
material yang di supplied by owner, pemesanan dilakukan dengan mengacu pada
skedul pemakaian material yang diketahui oleh owner.
97

V.2.7. Indikator-7 : Intensitas kejadian reject material

Pemesanan material yang dilakukan dengan menggunakan sistem terpadu dimana


kualitas material yang didatangkan telah ditentukan terlebih dahulu sehingga
jumlah material yang dikembalikan karena tidak sesuai dengan spesifikasi atau
cacat dalam pengiriman berdasarkan hasil wawancara di lapangan < 2 %.

Pada saat kedatangan material di lapangan dilakukan pengecekan kualitas material


sesuai tidak dengan spesifikasi yang diminta, jika ternyata ada material yang tidak
sesuai dengan spesifikasi akan langsung dikembalikan. Pemeriksaan dilakukan
oleh bagian logistik dengan mengetahui site manager. Seiring dengan
pemeriksaan material ini juga dilakukan evaluasi terhadap kinerja dari supplier,
sebagai bahan masukkan bagi evaluasi secara keseluruhan. Sehingga material
yang tidak dapat diterima karena cacat atau tidak sesuai dengan speksifikasi dapat
langsung diketahui dan segera dikembalikan ke supplier yang bersangkutan untuk
dilakukan pengiriman ulang material tersebut. Hal ini dilakukan untuk
menghindari penumpukan material di gudang.

Pada proyek C reject material yang terjadi disebabkan perubahan desain yang
dilakukan owner, sehingga material yang telah didatangkan ke lokasi pekerjaan
tidak sesuai dengan spesifikasi yang baru. Material tersebut kemudian
dikembalikan ke supplier untuk dilakukan pengiriman ulang sesuai dengan desain
yang baru.

Sedangkan pada proyek D reject material yang pernah dilakukan akibat kesalahan
dari supplier melakukan perhitungan pasokan materialnya sehigga terjadi
kelebihan pengiriman dari jumlah pemesanan material dari proyek.

V.2.8. Indikator 8 : Inventory material

Dengan sistem supply material yang dilakukan sesuai dengan jadwal pekerjaan
yang telah disampaikan, maka material hanya akan berada di gudang untuk
beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau penumpukan material di
98

gudang. Pengelolaan inventory di gudang sudah dilakukan secara optimal


sehingga tidak terjadi penumpukan material yang dapat menimbulkan
penambahan biaya (meminimalisir waste).

Pada proyek-proyek yang dikelola oleh kontraktor X, dilakukan suatu pencacatan


terhadap sediaan material di gudang secara rutin setiap hari oleh petugas gudang.
Untuk selanjutnya dilakukan opname persediaan material di gudang pada akhir
bulan yang dilakukan oleh bagian logistic dengan melibatkan manajemen proyek,
di mana pada saat ini kondisi stock material yang ada di gudang sebesar < 10 %
nilai pembelian material bulan berjalan. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu
aliran cash flow proyek. Sedangkan pada kontraktor Y sediaan material di gudang
pada akhir bulan berjalan berkisar antara 5%- 10% nilai pembelian yang
dilakukan.

Namun kedua ketentuan yang telah ditetapkan pada kedua kontraktor tersebut
bukanlah merupakan suatu angka pasti yang tidak dapat dirubah. Besaran nilai
inventory di gudang juga ditentukan berdasarkan material yang akan disimpan di
gudang tersebut.

Pada proyek A, B dan C, dengan memperhatikan kondisi lalu lintas dan aktifitas
lingkungan sekitar, maka biasanya pengiriman material dilakukan pada malam
hari. Selain untuk menghindari kemacetan lalu lintas, juga adanya peraturan yang
membatasi tonase kendaraan yang dapat melalui jalan-jalan tertentu pada siang
hari. Sedangkan pada proyek D, pasokan material dilakukan pada siang hari,
mengingat lokasi proyek yang bukan berada pada daerah yang ramai.

Pada kontraktor X, telah diberlakukan kebijakan untuk material yang merupakan


sisa dari pekerjaan di lapangan dilakukan pemilahan. Untuk besi tulangan material
yang tersisa akan dikumpulkan untuk kemudian dilakukan pengumpulan secara
menyeluruh dari semua proyek yang sedang ditangani oleh perusahaan pada suatu
tempat dan selanjutnya akan dilakukan proses daur ulang dengan melibatkan
supplier yang bersangkutan. Selain itu juga dilakukan optimalisasi perhitungan
99

kebutuhan material untuk pelaksanaan pekerjaan di lapangan, sehingga dapat


mengurangi sisa material yang mungkin terjadi.

Untuk material yang di supplied by owner kontraktor hanya melakukan pencatatan


pada saat kedatangan material di lapangan dengan mengikut-sertakan perwakilan
dari owner, subkontraktor yang akan menggunakan material tersebut. Untuk
selanjutnya material tersebut diserahkan pada subkontraktor yang akan
menggunakannya dengan segala pencacatan dan penyimpanan menjadi tanggung
jawab dari subkontraktor yang bersangkutan. Material yang tidak sesuai dengan
spesifikasi atau cacat pada saat pengiriman akan langsung dikembalikan kepada
supplier yang bersangkutan.

V.2.9. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan


pelaksanaan

Pada keempat proyek studi kasus tidak ditemukan keterlibatan subkontraktor


dalam proses perencanaan pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Hal ini
menggambarkan bahwa proses perencanaan terhadap produksi yang akan
dilakukan menjadi tanggung jawab kontraktor utama, sedangkan subkontraktor
dan nominated subcontractor diberi kewenangan penuh untuk mengatur rencana
kerjanya masing-masing dengan mengacu pada rencana kerja yang telah
dipersiapkan oleh kontraktor utama. Jadi tidak ada suatu perencanaan terpadu
yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat terhadap keseluruhan operasional di
lapangan.

V.2.10. Indikator-10 : Intensitas compliant dari owner-kontraktor dan


kontraktor-supplier

Kesesuaian mutu antar hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor dengan
mutu yang diharapkan oleh owner merupakan suatu hal yang sangat penting.
Ketidaksesuaian mutu ini akan menimbulkan terjadi complaint dari owner
terhadap kinerja dari kontraktor. Penanganan yang cepat terhadap komplain dari
konsumen (customer complaint) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
100

kepuasan konsumen (customer satisfaction) terhadap kinerja kontraktor di proyek


konstruksi. Penanganan terhadap customer complaint sangat terkait dengan
kebijakan mutu yang ditetapkan kantor pusat dalam pelaksanaan proses produksi
di proyek konstruksi.

Dari hasil studi kasus di proyek konstruksi diketahui bahwa setiap kontraktor
memberikan perhatian terhadap penanganan customer complaint, hal ini terlihat
dengan adanya personil intern kontraktor yang bertugas sebagai Quality Control,
yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses produksi agar produk
yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan
owner. Bahkan pada salah satu kontraktor yang menjadi studi kasus, diketahui
mempunyai suatu kebijakan dan sasaran mutu yang berkaitan dengan penanganan
customer complaint yang harus dilakukan oleh proyek konstruksi. Kebijakan
tersebut adalah semua permintaan/ keluhan pelanggan eksternal harus direspon
dalam waktu satu hari kerja.

Complaint di sini dibagi menjadi dua, yaitu complaint dari owner terhadap
kontraktor utama selaku koordinator pekerjaan, baik itu menyangkut pekerjaan
yang dilakukan oleh kontraktor utama maupun pekerjaan yang dilakukan oleh
subkontraktor yang berada dibawah koodinator kontraktor utama, dan complaint
yang disampaikan oleh kontraktor utama terhadap supplier material.

Complaint yang disampaikan owner terutama terhadap pelaksanaan pekerjaan di


lapangan menyangkut antara lain mutu pekerjaan yang dilaksanakan oleh tidak
sesuai dengan standard mutu yang telah ditetapkan, keterlambatan penyelesaian
pekerjaan oleh subkontraktor atau nominated subcontractor terkait dengan
kekurangan tenaga kerja dan material di lapangan.

Selain itu owner juga menyampaikan complaint yang disampaikan pihak ketiga,
antara lain kebisingan akibat pekerjaan lembur yang dilakukan kontraktor pada
malam hari sehingga mengganggu ketenteraman lingkungan sekitar, kerusakan
bangunan yang berada di samping lokasi proyek akibat aktifitas pekerjaan
kontraktor, serta kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja.
101

V.3 Perbedaan Nilai Indikator Kinerja Supply Chain Proyek

Mengacu pada Tabel V.2, sebagai rekapitulasi hasil pengukuran kinerja supply
chain keempat proyek studi kasus, terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan
nilai indikator kinerja supply chain dari keempat proyek studi kasus antara lain :

1. Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja


2. Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan
3. Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
4. Inventory material
5. Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor

Perbedaan nilai indikator yang terjadi pada masing-masing proyek studi kasus
kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

Perbedaan pola supply chain

Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh tiga pola supply chain dari
proyek studi kasus yang mendekati pada pola supply chain yang telah ada, yaitu
pola-1 jaringan SC, pola-2 jaringan SC dan pola-4 jaringan SC, sebagaimana
terlihat pada Tabel V.3 berikut.

Tabel V.3 Pola supply chain proyek studi kasus


Pola Supply
Kontraktor Proyek
chain
X Proyek A – Proyek Pembangunan Gedung Fasilitas Rumah
Pola-1
Sakit, Jakarta
Proyek C – Proyek Pembangunan Gedung Apartemen, Jakarta Pola-4

Y • Proyek B – Proyek Gedung Perkantoran, Jakarta Pola-2


Proyek D – Proyek Pembangunan Kompleks Apartemen,
Pola-4
Jakarta

Pada proyek A dengan pola-1 dan proyek B pola-2, seluruh subkontraktor yang
ada berada dibawah koordinasi kontraktor utama, walaupun pada proyek B
terdapat nominated subcontractor. Hal ini akan lebih mempermudah mekanisme
yang dilakukan mengingat jalur koordinasi yang diperlukan tidak terlalu panjang
102

walaupun banyak pihak yang terlibat dalam proses operasi di lapangan dan berada
pada satu mata rantai atau pimpinan dari keseluruhan supply chain yang ada.

Sedangkan pada dua proyek yang mempunyai pola-4 dengan praktek pembagian
pekerjaan kepada pihak-pihak lain selain kontraktor utama, terdapat perbedaan
mekanisme koordinasi yang dilakukan dengan pihak nominated subcontractor
(NSC) oleh kontraktor utama. Pada proyek C, owner memberlakukan sistem
koordinasi secara sebagian terhadap lingkup tanggungjawab dari NSC, di mana
kontraktor utama hanya menerima fee koordinasi jauh lebih kecil dari besaran
nilai fee yang selama ini dilakukan oleh owner. Dengan demikian tanggungjawab
yang dibebankan pada kontraktor X selaku kontraktor utama hanya bersifat
koordinasi masalah pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

Sedangkan pada proyek D, owner melakukan pembagian pekerjaan terhadap


beberapa kontraktor dengan melakukan proses pengadaan sampai dengan
pengawasan tersendiri di bawah koordinasi konsultan manajemen konstruksi.
Sehingga kontraktor Y yang bertindak selaku kontraktor utama tidak dibebankan
tanggungjawab dalam konteks koordinasi pada pelaksanaan pekerjaan di
lapangan.

Kontraktor Y hanya bertindak bertanggungjawab dalam mengadakan fasilitas


kerja bagi para kontraktor lain dan subkontraktor, di mana fasilitas yang
disediakan tersebut nantinya akan dikompensasikan secara finansial terhadap para
kontraktor lain, subkontraktor dan nominated subcontractor berdasarkan
kesepakatan bersama terhadap besaran nilainya. Hal ini ditenggarai dilakukan
owner sebagai usaha untuk melakukan penghematan secara finansial, dengan
anggapan tidak adanya fee koordinasi yang diberikan pada kontraktor utama akan
lebih menghemat.

Dengan tinjauan terhadap jenis pekerjaan yang sama yaitu pekerjaan arsitektur
dan pekerjaan M/E dalam periode pengamatan data untuk waktu yang sama
terlihat perbedaan nilai indikator-indikator antara proyek A, B, C dan D. Hal ini
ditenggarai terkait dengan perbedaan pola supply chain pada masing-masing
103

proyek, yaitu pola-1 untuk proyek A dengan pola kontrak umum dan tidak ada
keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat, pola-2 untuk
proyek B dengan pola kontrak umum tetapi ada keterlibatan owner dalam
menentukan pihak-pihak yang terlibat dan melakukan pengadaan beberapa
material yang dibutuhkan, serta pola-4 untuk proyek C dan D dengan pola
kontrak terpisah dan terdapatnya nominated subcontractor serta adanya hubungan
langsung antara owner dengan supplier. Dimana dengan adanya perbedaan pola
supply chain pada setiap proyek juga akan berpengaruh pada banyaknya pihak-
pihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan
kompleksitas proyek secara keseluruhan.

Ketidaksetaraan proyek studi kasus

Berdasarkan Tabel IV.8 terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terjadi
ketidaksetaraan yang mencolok terhadap kompleksitas proyek, baik itu dari jenis
kontrak yang digunakan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pemilik bangunan,
besaran nilai pekerjaan, luasan bangunan, lingkup pekerjaan dan jumlah pihak
yang terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan, baik subkontraktor, supplier
maupun nominated subcontractor. Ketidaksetaraan ini ditenggarai akan dapat
mengakibatkan pengukuran yang dilakukan akan menghasilkan suatu
perbandingan yang tidak linear antara satu proyek dengan proyek lainnya. Sebagai
konsekuensi dari ketidaksetaraan ini maka gambaran yang diperoleh terhadap
kinerja dari masing-masing pola yang ada tidak akan dapat memberikan suatu
rekomendasi yang valid terhadap efektifitas dan efisiensi dari supply chain yang
dimaksud.

Namun ketidaksetaraan ini mungkin akan dapat diperkecil dengan melakukan


pengamatan secara kontinyu selama umur proyek sehingga akan dapat diperoleh
gambaran yang lebih akurat. Walaupun belum secara keseluruhan dapat dilakukan
perbandingan untuk mendapatkan gambaran kinerja yang paling efektif.
104

Perbedaan kompleksitas proyek

Praktek pemecahan kontrak pekerjaan menjadi paket-paket pekerjaan kecil yang


biasa dilakukan oleh owner seperti terlihat pada pola-4 mengakibatkan banyak
pihak yang akan terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Keterlibatan banyak pihak dalam konteks pola-1 dan pola-2 dimana pihak-pihak
yang terlibat berada di bawah koordinasi kontraktor utama berbeda dengan
konteks pola-4 dimana pihak-pihak yang terlibat berada di bawah koordinasi
owner yang diwakili oleh konsultan manajemen konstruksi.

Pada pola-1 dan pola-2 terlihat kompleksitas organisasi proyek yang lebih
sederhana, walaupun banyak pihak yang terlibat, namun sistem koordinasi yang
berada di tangan kontraktor utama lebih menyederhanakan mekanisme koordinasi
yang diperlukan. Seluruh tanggung jawab yang menyangkut pelaksanaan di
lapangan baik itu metoda pelaksanaan maupun kualitas hasil pekerjaan menjadi
tanggungjawab kontraktor utama.

Sementara pada pola-4 dengan pemecahan kontrak yang dilakukan owner


sehingga banyak melibatkan pihak-pihak yang saling terpisah dalam proses
produksi dan masing-masing kontraktor berkoordinasi langsung dengan owner
melalui konsultan manajemen konstruksi bahkan kadang-kadang koordinasi
langsung dilakukan oleh owner tanpa melibatkan peran konsultan manajemen
konstruksi yang ada. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan baik
yang menyangkut koordinasi antar pihak, kesalahpahaman dalam proses produksi
dan hal-hal lainnya.

Pada dasarnya kompleksitas organisasi proyek dan pola supply chain ini sebagian
besar ditentukan oleh kompleksitas proyek yaitu nilai kontrak, jumlah lantai,
volume kerja, teknologi. Semakin besar proyek maka kompleksitas proyek juga
akan semakin besar dan sebagai konsekuensinya dibutuhkan tingkat koordinasi
tertentu antar pihak yang terkait.
105

Kompleksitas supply chain sangat terkait dengan kompleksitas dari proyek


konstruksi di mana supply chain tersebut terbentuk. Kompleksitas struktur supply
chain sangat berpengaruh dalam pengelolaan supply chain tersebut. Keterlibatan
banyak pihak dalam suatu supply chain akan memberikan peluang timbulnya
berbagai konflik kepentingan antara pihak-pihak yang membentuk mata rantai
jaringan tersebut. Selain itu ketidakpastian juga merupakan suatu tantangan yang
harus dihadapi dalam pengelolaan supply chain.

Peran konsultan manajemen konstruksi

Dalam praktek yang dilakukan selama ini, dengan penempatan konsultan


manajemen konstruksi sebagai perpanjangan tangan owner dan sebagai media
komunikasi dan koordinasi antar pihak yang terlibat baik untuk proyek dengan
pola-1, pola-2 dan pola-4 diharapkan mampu memperkecil konflik kepentingan
yang dapat terjadi akibat banyaknya pihak yang terkait dalam pelaksanaan
produksi di lapangan. Namun pada kenyataan di lapangan dari keempat proyek
studi kasus, tiga di antaranya merasakan bahwa peran yang diharapkan dari
konsultan manajemen konstruksi tidak terlalu dirasakan dampaknya terhadap
proses koordinasi antar pihak. Hal ini ditenggarai sebagai akibat kurangnya
pemahaman konsultan yang bersangkutan terhadap tugas dan kewajibannya, di
sisi lain keterbatasan wewenang yang diberikan owner kepada konsultan tersebut.

Konsultan manajemen konstruksi pada kasus proyek swasta hanya berwenang


melakukan koordinasi terhadap kelancaran proses produksi di lapangan.
Sementara secara keuangan langsung ditangani oleh owner. Jadi jika ternyata
dalam pelaksanaan pekerjaan, owner terlambat melaksanakan kewajibannya
membayar pihak-pihak yang berikatan kontrak dengannya dan menimbulkan
akibat tidak lancarnya pelaksanaan pekerjaan, pihak konsultan manajemen
konstruksi tidak dapat berbuat banyak selain hanya melaporkan permasalahan
yang terjadi.
106

Lingkup kajian dan waktu pengambilan data

Pada keempat proyek studi kasus, pengkajian yang dilakukan hanya terfokus pada
pekerjaan tertentu, yaitu pekerjaan finishing arsitektur dan M/E dengan kurun
waktu pengukuran yang telah dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk menselaraskan
ketersediaan data pada masing-masing proyek mengingat tahapan pelaksanaan
yang sedang dikerjakan dari keempat proyek adalah tahapan pekerjaan finishing.
Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi pengaruh kompleksitas proyek
terhadap kinerja supply chain, terutama dalam hal kebutuhan koordinasi.

Pada awalnya diharapkan dengan adanya pembatasan terhadap lingkup kajian dan
waktu pengambilan data telah cukup untuk mewakili seluruh kegiatan proyek.
Namun ternyata dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa terdapat
beberapa kekurangan dari hasil pengukuran yang dilakukan dan hal ini mungkin
terjadi akibat hal tersebut.

Sebagai contoh, pada indikator-3 yaitu intensitas rapat koordinasi antar pihak,
pada kasus proyek A dan B data yang dapat dikumpulkan hanya berupa intensitas
rapat koordinasi umum untuk membahas semua permasalahan yang menyangkut
pelaksanaan pekerjaan pada periode waktu kajian dilakukan, bukan rapat
koordinasi yang dilakukan khusus untuk membahas pekerjaan finishing arsitektur
dan M/E saja. Berbeda dengan kasus pada proyek C dan D, di mana kontraktor
telah melakukan pemisahan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan
sesuai dengan kontrak yang sedang dilakukan, begitu pula terhadap aktifitas-
aktifitas pelaksanaan di lapangan. Hal ini terkait dengan pemisahan antara kontrak
pekerjaan struktur dengan kontrak pekerjaan finishing arsitektur. Pemisahan ini
sangat mempermudah proses pengumpulan data yang dibutuhkan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan indikator intensitas rapat


koordinasi antara proyek A, dan B masih belum memberikan kesimpulan yang
signifikan. Perlu dilakukan penelaahan secara mendalam terhadap intensitas rapat
koordinasi yang hanya terkait dengan pelaksaanaan pekerjaan Arsitektur dan M/E
107

untuk melihat pengaruh pola supply chain terhadap indikator intensitas rapat
koordinasi ini.

Selain itu pada kasus proyek C, ternyata untuk batasan waktu yang telah
ditetapkan ternyata tidak terpenuhi. Data yang dikumpulkan hanya untuk kurun
waktu bulan Juli 2007 sampai degan Oktober 2007 sedangkan pada proyek lain
dilakukan untuk bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007. Hal ini
dikarenakan waktu dimulainya kontrak pekerjaan arsitektur adalah akhir bulan
Juni 2007. Perbedaan waktu pengambilan data secara tidak langsung akan
mempengaruhi hasil pengukuran yang dilakukan.

Karakteristik pemilik proyek

Selain itu, karakteristik pemilik proyek, di mana proyek A dan B merupakan


proyek pemerintah sedangkan untuk proyek C dan D milik swasta, juga
memberikan kontribusi kepada perbedaan nilai indikator-indikator kinerja supply
chain untuk keempat pola supply chain yang dikaji pada studi kasus ini.
Pemerintah pada dasarnya memiliki peraturan-peraturan tertentu yang lebih pasti
dan tuntutan akuntabilitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kontraktor akan lebih
mempunyai peluang untuk meningkatkan performance kerjanya. Karena peraturan
yang jelas akan memberikan keleluasaan bagi kontraktor untuk melakukan
pekerjaannya.

Dengan kata lain, proyek yang ditangani oleh pemerintah akan lebih terbuka
dengan segala perubahan yang terjadi, seperti misalnya terjadi penambahan item
pekerjaan yang semula tidak ada di kontrak, maka akan dilakukan negosiasi harga
yang baru. Kemungkinan perubahan nilai kontrak dari nilai kontrak awal sering
terjadi, selama hal tersebut masih dalam batasan maksimal 10 % dari nilai kontrak
awal.

Sebaliknya pemilik swasta cenderung memiliki prinsip yang mengedepankan


pencapaian keinginan dan kebutuhannya serta menomorduakan prosedur dan
akuntabilitas, selama keinginan dapat dipenuhi dengan sumber daya yang
108

dimilikinya. Selain itu pemilik swasta sangat terikat dengan kondisi pendanaan
yang ada sehingga kadang-kadang hasil design yang semula telah disetujui dapat
dilakukan perubahan. Di samping itu, terkait dengan strategi pemasarannya,
pemilik swasta cenderung melakukan pemecahan kontrak menjadi beberapa paket
untuk mendapatkan penghematan-penghematan dalam jangka waktu pendek tanpa
melihat efek jangka panjang yang mungkin terjadi.

Perbedaan karakteristik ini menimbulkan terjadinya perbedaan kebutuhan


perubahan rancangan pada saat pelaksanaan berjalan, implementasi pekerjaan
rancangan dan pelaksanan proyek yang simultan (fast tract), pasokan khusus pada
material dan pekerjaan yang diinginkan, serta prosedur administrasi proyek. Hal
tersebut terlihat mencolok pada proyek C dan D yang pemiliknya swasta, yaitu
terdapatnya banyak perubahan/ revisi yang diminta pada rencana kerja, banyaknya
complaint dari pemilik, serta banyaknya kendala yang menyebabkan
keterlambatan seperti pada proses persetujuan material, pemilihan supplier
khusus, dan saat pembayaran.

Pada proyek pemerintah, jumlah revisi akan sangat diminimalkan dengan adanya
batasan rancangan harus matang sebelum dilakukan pelelangan serta batasan
pekerjaan tambah kurang. Selain itu, kinerja pemerintah akan dilihat pula pada
sejauhmana pemilik proyek mematuhi kewajiban pembayaran.

Pengecualian terlihat pada proyek B, walaupun proyek milik pemerintah, ternyata


banyak terjadi revisi terhadap rencana kerja yang dikarenakan terlalu singkatnya
waktu perencanaan sehingga hasil perencanaan tidak mampu mengakomodir
seluruh kebutuhan di lapangan. Sebagai konsekuensinya terjadinya penyesuaian
terhadap kebutuhan lapangan dengan dengan hasil desain. Namun hal ini sangat
disadari oleh pihak owner, sehingga memberikan kelonggaran bagi kontraktor
baik dari waktu pelaksanaan maupun penambahan biaya yang diakibatkan dari
terjadinya perubahan tersebut. Praktek seperti ini hampir sama dengan praktek
yang dilakukan oleh pihak swasta. Selain itu pada beberapa hal di atas sebaliknya
sangat longgar terjadi pada proyek swasta.
109

Kebijakan perusahaan

Dalam melaksanakan proses produksinya, masing-masing perusahaan mempunyai


kebijakan dan arahan manajemen tersendiri. Terlebih lagi kedua perusahaan
responden merupakan kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam
melaksanakan proses bisnisnya. Telah adanya suatu standarisasi terhadap tahapan-
tahapan yang harus dilakukan di lapangan merupakan salah satu peluang untuk
meningkatkan efisiensi proses produksinya.

Selain itu pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat terkait dengan pola
pengelolaan yang diterapkan oleh masing-masing tim manajemen yang akan
mengelola proyek tersebut, selain kebijakan umum yang diberlakukan oleh
perusahaan. Masing-masing project manager atau kepala lapangan mempunyai
kewenangan penuh dalam mengelola proyek yang dipimpinnya dan bertindak
sebagai pimpinan dari supply chain proyek yang bersangkutan. Karena pada
suatu supply chain sangat diperlukan keberadaan seorang pimpinan sebagai fokus
dalam koordinasi dan sebagai pengambil kebijakan dalam supply chain -nya. Hal
ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari proyek secara
keseluruhan dan supply chain yang terlibat secara khusus.

Berdasarkan hasil analisis terhadap proyek studi kasus terlihat bahwa masing-
masing proyek mempunyai kebijakan sendiri dalam mengelola supply chain -nya.
Terlihat perbedaan terhadap pendekatan metoda pengelolaan yang dilakukan oleh
masing-masing pemimpin supply chain walaupun proyek tersebut berada di
bawah payung perusahaan yang sama. Dari keempat proyek studi terlihat bahwa
masing-masing tim manajemen melakukan pola pengelolaan yang berbeda. Hal
ini juga terkait dengan kemampuan dan gaya kepemimpinan dari project manager
dan kepala lapangan dalam melakukan pengelolaan pelaksanaan pekerjaan di
lapangan yang secara tidak langsung juga mempengaruhi setiap mata rantai dari
supply chain yang dibentuk. Terutama sekali terhadap kinerja dari masing-masing
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan secara menyeluruh.
110

Sebagai contoh terkait dengan pengelolaan manajemen inventory, pada keempat


proyek studi kasus tidak terdapat suatu acuan yang pasti terhadap material yang
harus tersimpan di gudang pada akhir bulan berjalan. Sehingga hanya
memberlakukan acuan yang menurut pengelola logistik dari proyek tersebut tidak
akan mengganggu kelancaran cash flow proyek secara tidak langsung akibat dari
penumpukan material di gudang tersebut. Namun dari kedua perusahaan
konstruksi terlihat walaupun tidak terlalu sama, namun batasan terhadap maksimal
sediaan material yang harus ada digudang relatif sama.

Penilaian terhadap kinerja dari subkontraktor, nominated subkontraktor dan


supplier

Terkait dengan penilaian terhadap kinerja dari nominated subcontractor dan


supplier pada proyek bukan merupakan wewenang dari kontraktor utama. Karena
tidak ada ikatan apapun terkait dengan kewajiban dari kontraktor utama untuk
melakukan penilaian kinerja dari nominated subcontractor dan supplier yang
secara langsung berikatan kontrak dengan pihak owner. Kontraktor hanya ikut
pada proses penerimaan material dan memberikan laporan hasilnya ke owner.
Demikian pula terhadap kesalahan yang dilakukan oleh NSC yang terkait dengan
mutu.

Sedangkan untuk subkontraktor dan supplier yang berikatan kontrak dengan


kontraktor utama dan merupakan rekanan perusahaan, secara administrasi selama
masa pelaksanaan pekerjaan kedua kontraktor melakukan evaluasi kinerja
terhadap masing-masing subkontraktor dan supplier tersebut. Penilaian dilakukan
sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam melakukan proses kerjasama
dengan para vendor.

Mekanisme evaluasi kinerja ini merupakan mekanisme rutin yang dilakukan oleh
kontraktor, sehingga seolah-olah hanya kinerja penyedia barang dan atau jasa saja
yang dinilai. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan
kinerja dari penyedia barang dan atau jasa, yang tidak hanya datang dari
keterbatasan penyedia barang dan atau jasa itu sendiri, tapi juga dari kontraktor
111

sendiri. Salah satu contoh adalah mengenai keterlambatan pembayaran dari


kontraktor kepada penyedia barang dan atau jasanya.

Menurut studi yang dilakukan oleh Hinze (1993) dalam studinya mengenai
hubungan kontraktor dan subkontraktornya, terdapat kecenderungan kontraktor
untuk melakukan penundaan pembayaran, atau melakukan praktek membayar bila
sudah dibayar oleh owner (pay if paid), dimana hal ini tidak dilengkapi dengan
mekanisme akses informasi kepada pihak yang terkait, apakah pembayaran
tersebut sudah dilakukan atau belum, mengingat bahwa pihak tersebut tidak
memiliki hubungan kontrak dengan owner. Masing-masing kontraktor
mempunyai kriteria penilaian dan persyaratan kelulusan dari evaluasi yang
dilakukan. Pada akhir pelaksanaan pekerjaanya, penyedia barang atau jasa akan
mendapat rekomendasi dari kontraktor. Referensi ini akan menambah pengalaman
subkontraktor atau supplier tersebut untuk digunakan pada proses seleksi pada
proyek-proyek lainnya.

Namun jika dari proses evaluasi tersebut dinilai tidak baik, maka penyedia barang
atau jasa tersebut akan mendapat peringatan, dan harus melakukan perbaikan
kinerja berupa mengejar keterlambatan pekerjaan dari target yang sudah
ditentukan. Dalam kasus yang terjadi pada penyedia jasa pelaksanaan pekerjaan,
ketidaklulusan bisa muncul dari hasil kinerja yang tidak memenuhi syarat
sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan tertentu, hingga pekerjaan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang ada.

V.4 Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction

Terkait dengan tujuan implementasi konsep lean construction, maka berdasarkan


hasil pengukuran terhadap kinerja supply chain keempat proyek studi kasus
diperoleh temuan antara lain :
112

V.4.1. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi


sebagai proses konversi (conversion)

Pengelolaan conversion di industri konstruksi diharapkan dapat meningkatkan


efektifitas pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi dapat berjalan
dengan baik. Indikator-indikator kinerja supply chain yang terkait dengan konsep
produksi sebagai proses konversi adalah intensitas defect pekerjaan, kinerja
supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman material, intensitas terjadinya
reject material, keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan pelaksanaan.
Keterkaitan antara indikator dengan konsep conversion disajikan pada Gambar
V.1 berikut.

INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan

INDIKATOR 5 :
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material CONVERSION

Kontrol dan
optimalisasi
penggunaan sumber
INDIKATOR 7 :
daya
Intensitas kejadian reject material

INDIKATOR 9 :
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan

Gambar V.1 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep


conversion
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek
studi kasus terhadap konsep conversion disajikan pada Tabel V.4 berikut.
113

Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Conversion
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2%
Kinerja supplier dalam memenuhi
5 100% 100% 100% 100%
jadwal pengiriman
7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2%
Keikutsertaan subkontraktor di dalam Tidak Tidak
9 Tidak ada Tidak ada
perencanaan pelaksanaan ada ada

Dari Tabel V.4 di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara nilai kinerja proyek studi kasus untuk indikator-indikator yang mengarah
kepada pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion. Hal ini
dimungkinkan mengingat kedua kontraktor pelaksanaan merupakan perusahaan
kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam menangani berbagai proyek
bangunan gedung sehingga kontraktor sangat konsisten dalam melaksanakan
prosedur pelaksanaan konstruksi di lapangan meskipun proyek tersebut memiliki
kompleksitas dan lingkungan yang berbeda. Sehingga pemahaman terhadap
pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion telah menjadi
suatu pemahaman yang baik bagi kedua kontraktor.

Selain itu kedua kontraktor juga mempunyai sertifikat ISO dan sertifikat lainnya
dari pihak yang berwenang, dimana Standard Operation Procedure (SOP) yang
diterapkan di proyek konstruksi merupakan penjabaran dari sertifikat-sertifikat
yang dipunyai oleh perusahaan. SOP ini tidak hanya mengatur tentang bagaimana
pihak manajemen di proyek konstruksi mengatur dan mengendalikan proyek
konstruksi, tetapi juga mengatur tentang proses suatu pekerjaan di lapangan harus
dilakukan. Pada umumnya hal-hal yang diatur meliputi pengetesan, metode
pengerjaannya, pemasangannya dan kualitas (mutu) yang diinginkan. Jadi
standard ISO mengandung maksud bahwa seluruh pekerjaan di lapangan harus
114

dapat ditelusuri dalam bentuk record data yang dibuat secara tertib dan benar.
Terlihat bahwa kedua perusahaan sangat memahami core bisnis-nya dan telah
terselenggaranya Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing
kegiatan hingga ke tingkat proyek di lapangan.

Hubungan kerjasama jangka panjang (partnering) antar pihak

Hasil temuan pada keempat proyek studi kasus menunjukkan telah biasanya kedua
kontraktor pelaksana konstruksi dalam melaksanakan proses bisnisnya dan
pandangan produksi konstruksi sebagai proses konversi merupakan suatu hal yang
umum diterapkan di lapangan. Demikian pula dengan hubungan dalam supply
chain -nya telah mulai mendapatkan perhatian yang lebih. Hal ini terlihat di mana
pada kedua perusahaan konstruksi telah mulai menerapkan konsep partnering
sebagai salah satu usaha memperlancar arus pasokan material yang dianggap
strategis dalam proses produksi dan memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan
standar mutu yang telah digariskan perusahaan dengan melakukan kerjasama
dengan pihak-pihak yang telah terseleksi.

Pada kedua perusahaan responden telah terlihat adanya ikatan hubungan


kerjasama untuk jangka waktu tertentu sebagaimana yang diusulkan oleh Ohnuma
et al. (2000) sebagai salah satu upaya mengelola supply chain, yaitu konsep
partnering. Konsep ini merupakan suatu komitmen jangka panjang yang
memberikan manfaat bagi semua pihak yang bersepakat berupa peningkatan
efisiensi dari sumber daya yang dimiliki. Dasar dari partnering adalah
kepercayaan (trust) dan kejujuran (honesty). Penggunaan strategi kemitraan
(partnering) ini perlu dilakukan, karena dengan strategi ini akan terbentuk suatu
tanggungjawab bersama antara pihak-pihak yang terkait (terikat dalam dalam
suatu kerjasama), untuk dapat mengembangkan produknya secara terus-menerus,
meningkatkan kualitas dengan melakukan berbagai inovasi yang dapat
mendukung ke arah yang lebih baik, mengurangi waste serta melakukan perbaikan
secara terus-menerus (continuous improvement).
115

Perusahaan telah melakukan perubahan terhadap struktur manajemennya menjadi


lebih datar (flat), dengan fokus yang lebih besar pada kebutuhan customer dan
pada tim kerja, termasuk kemitraan (partnership) dengan perusahaan lain.
Perusahaan mengeluarkan fungsi-fungsi yang bukan merupakan fungsi intinya
(non-core function) kepada perusahaan lain yang lebih kecil. Pendapat itu
menunjukkan bahwa konsep partnering ini bisa diterapkan sebagai pola hubungan
antara perusahaan besar dan perusahaan kecil.

Sampai saat ini, kemitraan dipahami sebagai kumpulan dari proses-proses


kolaboratif, yang menekankan pentingnya tujuan umum. Dasar dari kemitraan
adalah kepercayaan yang tinggi antar organisasi dan adanya tujuan satu sama lain
yang saling menguntungkan antar pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Kemitraan berarti satu proses manajemen yang membantu perencanaan strategis
untuk meningkatkan efisiensi dari perusahaan-perusahaan, dan membentuk satu
team sebagai sasaran utama (Barlow et al. 1997).

Kumaraswammy (2000), kemudian membedakan partnering ke dalam dua bentuk


yang didasarkan pada durasi dari kerja sama yang dilakukan, yaitu project
partnering dan strategic partnering. Project partnering adalah hubungan yang
terjadi dalam satu proyek tertentu saja, sementara strategic partnering adalah
hubungan yang terjadi dalam jangka panjang dan melibatkan lebih dari satu
proyek konstruksi.

Pada kedua perusahaan kontraktor terlihat telah adanya upaya untuk melakukan
kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Kerjasama yang diterapkan akan berbeda antara satu penyedia jasa dengan
penyedia jasa lainnya. Seperti misalnya untuk supplier material yang bersifat
bahan utama dalam proyek konstruksi bangunan gedung, maka akan dilakukan
kerjasama yang bersifat strategic partnering untuk kurun waktu tertentu.
Sedangkan untuk material-material yang khusus hanya dipakai pada proyek-
proyek tertentu saja akan dilakukan bentuk kerjasama yang bersifat project
116

partnering. Namun ikatan kerjasama ini tetap mengutamakan pihak ketiga yang
telah masuk dalam daftar rekanan perusahaan.

Sistem pengadaan material strategis

Sistem pengadaan terhadap material strategis dilakukan secara terpusat. Sistem


pengadaan ini dikoordinir oleh suatu divisi pengadaan. Material atau barang dan
jasa yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi berkisar dari material atau jasa
yang rutin hingga material atau jasa yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang
tinggi, yang hanya dapat diberikan oleh individu dengan pengalaman yang
memadai. Dalam spektrum tersebut, maka masing-masing material dan jasa
memiliki tingkat kepentingan yang berbeda, sehingga juga menuntut hubungan
antara kontraktor dengan penyedia material atau jasa tersebut dalam bentuk
hubungan yang berbeda pula.

Menurut Maylor (2003) terdapat dua pendekatan dalam melakukan pengadaan


material dalam suatu proyek – sentralisasi dan desentralisasi. Memusatkan
pengadaan berarti semua pengadaan yang diperlukan oleh proyek-proyek dari
suatu kontraktor dilakukan oleh satu organisasi pengadaan di kantor pusat.
Dengan demikian kantor pusat memiliki kontrol bagi semua kebutuhan bisnisnya.

Terdapat keuntungan dalam memusatkan pengadaan ini, yaitu bentuk organisasi


pengadaan yang lebih efisien, dapat melakukan standarisasi dalam prosedur
pengadaan, dapat melakukan pengadaan secara terpadu pada material utama, serta
dapat melakukan pemanfaatan material dan manajemen persediaan material secara
lebih baik. Pengadaan secara desentralisasi merupakan pengadaan yang dilakukan
oleh organisasi proyek, dengan kewenangan pengadaan pada manajer proyek.
Keuntungan dari pengadaan secara desentralisasi adalah proses pengadaan yang
lebih cepat dapat terjadi dengan kontak langsung antara penjual dan pembeli.
Untuk itu dibutuhkan penguasaan mengenai penyedia barang dan atau jasa
setempat.
117

Adapun dalam pelaksanaannya divisi pengadaan melakukan perhitungan terhadap


kebutuhan material yang akan digunakan pada proyek-proyek yang dilaksanakan
dalam satu tahun anggaran. Untuk kemudian dilakukan prosedur standar yang
telah ditetapkan dalam proses pengadaan supplier. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pembelian material adalah:

Kuantitas barang dan atau jasa yang dibeli, yang dilakukan berdasarkan skedul
penggunaan bahan. Pembelian material dalam jumlah besar akan mempengaruhi
besaran potongan harga yang diperoleh, sehingga melakukan pembelian dalam
jumlah besar lebih menarik. Hal ini menjadi pertimbangan kontraktor dalam
melakukan pembelian untuk beberapa proyek (multiple project).

Kualitas material yang dibeli, dapat diteliti melalui percobaan pengiriman


material, melihat reputasi perusahaan melalui informasi dan referensi yang dapat
dikumpulkan, serta melalui sertifikasi yang dimiliki oleh penyedia barang dan
atau jasa tersebut.

Harga, mencapai suatu kesepakatan pembelian pada harga yang tepat merupakan
tantangannya. Dalam suatu organisasi proyek hal ini memerlukan pembinaan
hubungan jangka panjang antara kontraktor sebagai pembeli (buyer) dengan
supplier sebagai penjual material. Supplier terbaik belum tentu supplier yang
memberikan harga terendah.

Waktu, kemampuan untuk memenuhi skedul pengiriman material merupakan


pertimbangan penting dalam pembelian material. Dalam proses ini, supplier juga
memerlukan proses yang memakan waktu, apalagi jika material tersebut berasal
dari luar negeri, yang memerlukan waktu yang berarti mulai dari dikeluarkannya
surat pesanan, hingga pengiriman ke site. Dengan demikian, perencanaan
pengadaan yang meliputi identifikasi kebutuhan material yang diperlukan beserta
karakteristiknya, volume dan jadwal pemakaian, akan menentukan kapan
pembelian ini harus dilakukan.
118

Supplier. Untuk mendapatkan supplier yang tepat merupakan issue yang penting
dalam konstruksi. Pengembangan proses pemilihan pemasok sudah dilakukan
antara lain oleh Syachrani (2004), yang mencoba mengembangkan model
pemilihan pemasok dalam konteks konstruksi. Kebutuhan material dalam
konstruksi yang sangat beragam, mulai dari pembelian material dengan volume
yang besar yang memungkinkan terjadinya hubungan antara kontraktor dengan
penyedia material pada tingkat produsen, hingga kebutuhan material dalam
volume yang kecil yang cukup dilakukan dengan pembelian sederhana pada
tingkat pengecer. Dengan demikian, maka metoda yang dapat dilakukan untuk
pembelian berbagai material yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi
beragam tergantung pada karakteristik materialnya. Material mana saja yang
paling berpengaruh terhadap biaya proyek, merupakan informasi yang penting
bagi manajer untuk memberikan perhatian lebih pada item-item tertentu.

Collaborative design

Dari beberapa indikator pengukuran ternyata terdapat satu indikator yang tidak
memiliki nilai karena indikator tersebut terlihat tidak aplikatif pada proyek-proyek
studi kasus, yaitu indikator-9 keikutsertaan sub-kontraktor dan supplier pada
proses perencanaan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kontraktor belum mengetahui
konsep dan manfaat dari keikutsertaan subkontraktor dan supplier pada proses
perencanaan pekerjaan ini yang lebih dikenal dengan istilah collaborative design.
Sehingga suatu perencanaan terpadu dan antisipatif belum umum dilakukan dan
belum menjadi suatu kebutuhan serta belum dipahami kepentingannya dalam
memastikan kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan suatu proses produksi.

Hal ini akan menimbulkan suatu ketidakefisienan sebagaimana dikatakan oleh


Nicolini et al. (2001), ketidakefisienan (inefisiensi) akan terjadi apabila sistem
koordinasi terpusat menjadi pilihan dalam mengelola fragmentasi dalam suatu
supply chain konstruksi. Oleh karena itu untuk memberikan fasilitas dalam
pembagian informasi, Nicolini menyarankan menggunakan sistem cluster
(kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan
119

supplier untuk mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin. Desain


kluster ini dianggap dapat meminimalkan interface, sehingga dapat memfasilitasi
tranparansi dalam komunikasi.

Selain itu, kontraktor dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi
suatu konstruksi harus sudah mulai menerapkan terminologi collaborative design,
yang menurut Bogus et al. (2000) tim perencana dalam suatu perencanaan proyek
harus diperluas. Sehingga pada tahap perencanaan tidak hanya terbatas hanya
tanggungjawab konsultan perencana saja, akan tertapi juga ikut terlibat kontraktor,
sub kontraktor, dan supplier material. Meskipun jika hal ini dipraktekkan di
lapangan akan menimbulkan kesulitan dalam hal, namun dengan bantuan
teknologi informasi yang lebih canggih hambatan ini dapat diatasi.

V.4.2. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep aliran


(flow) dalam produksi

Upaya pengelolaan flow dalam pelaksanaan produksi antara lain dapat dilakukan
dengan meningkatkan sistem perencanaan dan pengendalian proyek. Mengacu
pada konsep ini terdapat beberapa indikator kinerja supply chain yang terkait
dengan usaha penciptaan aliran dalam produksi konstruksi terdapat 7 (tujuh)
indikator kinerja, yaitu intensitas perubahan/ revisi terhadap rencana kerja,
intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan, intensitas rapat koordinasi
antar pihak yang terlibat, kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material , waktu tenggang (lead-time) antara pemesanan (order) dan pengiriman
(deliver),intensitas kejadian reject material, dan inventory material. Keterkaitan
antara indikator dengan konsep flow disajikan pada Gambar V.4. Sedangkan
garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi
kasus terhadap konsep flow disajikan pada Tabel V.5.

Dari indikator-indikator tersebut, terlihat ada 5 indikator yang berbeda antara


proyek A, B, C dan D, yaitu indikator jumlah revisi pekerjaan, intensitas kendala,
intensitas rapat koordinasi, dan inventory material. Berdasarkan hasil
pengukuran kinerja yang dilakukan terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan
120

oleh kedua kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi
pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Terutama terkait dengan kelancaran
pasokan material yang merupakan kebutuhan utama pada pelaksanaan pekerjaan
di lapangan.

INDIKATOR 1 :
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja

INDIKATOR 2 :
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan

INDIKATOR 3 : FLOW
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat

Identifikasi dan
INDIKATOR 5 : minimalisasi terhadap
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman aktifitas yang tidak
material memberikan tambahan
value (non-value adding
activites); Minimalisasi
INDIKATOR 6 : waste
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan
(order) dan pengiriman (deliver)

INDIKATOR 7 :
Intensitas kejadian reject material

INDIKATOR 8 :
Inventory material

Gambar V.2 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep flow
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

Kelancaran pasokan material dilakukan dengan melakukan pemesanan yang baik


dengan lead time yang cukup, sehingga supplier dapat melakukan pemenuhan
jadwal pengiriman material dengan baik. Hal ini dimungkinkan dengan penerapan
sistem kontrak payung terhadap beberapa material strategis, sehingga kontraktor
dapat memastikan kualitas material yang didatangkan oleh supplier ke lokasi
pekerjaan adalah material dengan kualitas nomor satu sehingga tidak ada material
yang rejected dan jika pun ada reject yang dilakukan hanya terbatas pada
121

kesalahan supplier dalam mengirim material dan perubahan jenis material yang
digunakan, di mana hal tersebut bukan merupakan kesalahan dari pihak supplier
dan tidak dapat digolongkan sebagai rejected material tetapi hanya bersifat return.

Tabel V.5 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Flow
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
1 Jumlah perubahan/revisi rencana kerja 59 kali 12 kali 48 kali 52 kali
Intensitas constraint selama
2 43 kali 8 kali 35 kali 42 kali
pelaksanaan pekerjaan
Intensitas rapat rutin mingguan
3a 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
koordinasi intern
Intensitas rapat rutin mingguan
3b 28 kali 20 kali 28 kali 56 kali
koordinasi ekstern
Intensitas rutin mingguan antara
3c manajemen di proyek dengan kantor 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
pusat
3d Intensitas rapat koordinasi khusus 15 kali 2 kali 4 kali 8 kali
Kinerja supplier dalam memenuhi
5 100% 100% 100% 100%
jadwal pengiriman
Waktu tenggang (lead time) antara
6 pemesanan (order) dan pengiriman 0% 0% 0% 0%
(deliver)
7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2%
5% -
8 Inventory material < 10 % < 10 % 5% - 10%
10%

Manajemen inventory

Selain itu kedua kontraktor juga telah melakukan optimalisasi inventory melalui
upaya pengelolaan gudang dengan suatu manajemen yang cukup baik. Setiap
kedatangan material sebelum masuk gudang akan dilakukan pemeriksaan dan
pencacatan. Begitu pula terhadap pengeluaran material dari gudang, selalu
dilakukan pencacatan. Pencacatan terhadap sisa material setiap hari dilakukan
pada akhir jam kerja, dan ini dilakukan setiap hari oleh petugas gudang.

Pada setiap akhir bulan dilakukan opname bersama terhadap ketersediaan material
dan diharapkan material yang tersimpan di gudang pada saat akhir bulan berkisar
122

antar 5% - 10% dari nilai pembelian yang dilakukan pada bulan berjalan. Hal ini
mengingat tidak adanya suatu standar yang pasti terhadap sediaan material yang
harus tersimpan di gudang mengingat karakteristik industri konstruksi yang unik.
Selain itu ketetapan tentang persediaan material ini merupakan kebijakan masing-
masing manajemen proyek, tergantung pada jenis material yang akan disimpan.

Disisi lain, kedua kontraktor juga telah melakukan upaya pengelolaan terhadap
material sisa dari pelaksanaan pekerjaan di lapangan, dimana diupayakan untuk
melakukan perhitungan kebutuhan material secara maksimal untuk meminimalkan
sisa material yang tentu saja akan merugikan perusahaan. Namun jika pun
ternyata terdapat material sisa yang tidak mungkin untuk dihindari, seperti sisa
pengecoran beton, potongan-potongan besi, keramik akan dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru.

V.4.3. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi


sebagai penciptaan nilai (value)

Prinsip dasar dari semua tahapan dalam proses produksi suatu produk konstruksi
adalah penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen (memberikan kepuasan
terhadap konsumen). Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang
merupakan kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan
spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Proses penciptaan
value ini sangat didukung dengan proses conversion dan flow tersebut diatas.

Sejalan dengan penerapan konsep proses produksi sebagai suatu proses penciptaan
value dari produsen kepada customernya terlihat ada dua indikator, yaitu
intensitas defect pekerjaan dan intensitas complaints dari owner kepada
kontrakor dan dari kontraktor kepada supplier. Keterkaitan antara indikator
dengan konsep value disajikan pada Gambar V.5 berikut.
123

INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan VALUE

Memberikan kepuasan
INDIKATOR 10 : terhadap konsumen
Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor
& dari kontraktor kepada supplier

Gambar V.3 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep value
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek
studi kasus terhadap konsep value disajikan pada Tabel V.6 berikut.

Tabel V.6 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Value
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2%
Intensitas complaint dari owner-
10a 15 kali 25 kali 44 kali 33 kali
kontraktor
Intensitas complaint dari kontraktor-
10b 1 kali 2 kali 2 kali 3 kali
supplier

Dari kedua indikator terlihat bahwa kegiatan pengendalian pekerjaan defect


(pekerjaan yang tidak sesuai secara kualitas dan kuantitas) telah biasa dilakukan
dengan baik oleh kedua kontraktor, setiap defect yang ditemukan dalam
pelaksanaan pemeriksaan terhadap hasil pekerjaan akan langsung ditangani.
Penanganan terhadap defect yang terjadi terlihat berbeda pada masing-masing
proyek dan hal ini terkait juga dengan kebijakan dari manajemen proyek sendiri
maupun dari pemilik. Pada proyek pemerintah, biasa pencacatan defect melalui
pemeriksaan secara terpadu dilakukan pada saat akan melakukan serah terima
pekerjaan, sedangkan selama proses pelaksanaan pekerjaan pencacatan defect
hanya dilakukan secara intern kontraktor.
124

Begitu pula dengan customer satisfaction, kedua kontraktor sangat


memperhatikan aspek ini, terutama penanganan terhadap complain yang
disampaikan owner. Ini terlihat dengan adanya personil intern kontraktor yang
bertugas sebagai Quality Control, yang salah satu tugasnya adalah mengawasi
jalannya proses produksi agar produk yang dihasilkan adalah produk yang
berkualitas dan sesuai dengan keinginan owner. Hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman kontraktor terhadap definisi value yang harus disampaikan kepada
pemilik hanya terbatas pada nilai kesesuaian hasil kerja dengan spesifikasi dan
volume kerja yang tercantum di dalam kontrak kerja.

Namun, nilai-nilai lain yang mencakup seluruh aspek dalam sistem produksi dan
persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan seharusnya juga diidentifikasi
dari awal, diantisipasi, serta disampaikan kepada pemilik tidak mendapatkan
perhatian dengan sebagaimana mestinya dalam konsep lean construction. Hal ini
tentunya akan mengurangi tingkat kepuasan customer terhadap delivery yang
dilakukan oleh kontraktor. Kebutuhan akan identifikasi nilai-nilai yang harus
disampaikan kepada pemilik dari awal dan disepakati adalah nyata. Namun
demikian, hal ini akan sulit dilakukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas
proyek, pola supply chain yang ada, karakteristik pemilik, serta implementasi
yang simultan.

Pada proyek studi kasus terlihat bahwa tidak tercapainya value yang sesuai
dengan yang diinginkan masih sering terjadi, hal ini tercermin dari masih
banyaknya complaints yang terjadi dari pihak owner terhadap pihak kontraktor
maupun dari pihak kontraktor terhadap supplier. Namun demikian complaint yang
disampaikan bukanlah sesuatu patokan bahwa kinerja dari supply chain yang ada
tidak baik. Hal ini merupakan suatu hal yang lumrah terutama terkait dengan
karakteristik proyek konstruksi bangunan gedung yang unik dengan keterlibatan
banyak pihak dalam proses produksinya.
125

V.5 Kinerja Supply Chain dan Upaya Meminimalkan Waste

Salah satu tujuan dari penerapan konstruksi ramping adalah meminimalkan waste
(pemborosan) yang selama ini sering terjadi dalam pelaksanaan produksi di
lapangan. Adapun kategori dari waste tersebut adalah:

1. Overproduction: kategori waste ini dihasilkan karena ketidaksesuaian/


kelebihan produksi dari rencana yang telah ditetapkan.

2. Inventory: produk akhir, semi-finished product, atau sumberdaya yang


terdapat dalam gudang yang tidak memberikan tambahan nilai dikategorikan
dalam kategori waste ini. Waste dalam ketegori ini biasanya menimbulkan
tambahan biaya untuk sistem produksi baik berupa tempat, uang, dan
membutuhkan tambahan peralatan dan orang.

3. Repair/rejects: merupakan produk yang tidak sesuai dengan yang diharapkan,


biasanya membutuhkan biaya tambahan untuk memperbaikinya kembali.

4. Motion: perpindahan aktifitas yang tidak memberikan tambahan nilai


merupakan aktifitas yang tidak produktif dan termasuk dalam kategori waste.

5. Transport: meskipun kadangkala aktifitas ini merupakan hal penting dalam


proses produksi, namun perpindahan material dan produk yang tidak
memberikan tambahan value tetap dikategorikan sebagai waste.

6. Processing: waste dihasilkan dalam proses produksi ketika sistem


perencanaan tidak efisien dan kinerja sistem produksi tidak bisa mencapai
perencanaan yang telah ditentukan.

7. Waiting: waste ini dihasilkan karena adanya bagian-bagian dalam proses


produksi mengalami delay dari schedule yang direncanakan, sehingga
aktifitas yang ada sesudahnya mengalami delay juga
126

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan pada keempat proyek studi


kasus terlihat telah mulai adanya usaha-usaha yang dilakukan kedua kontraktor
dalam meminimalisir waste yang terjadi, antara lain :

• Mengusahakan pengelolaan inventory secara optimal dengan memperkecil


material yang tersimpan di gudang dengan cara mengupayakan pemesanan
material sesuai dengan kebutuhan material di lapangan dengan melakukan
perhitungan yang maksimal terhadap kebutuhan material.

• Memperkecil jumlah material reject dengan melakukan pemesanan material


dengan kualitas nomor satu serta bentuk ikatan kerjasama dengan supplier
untuk menjamin kualitas material dan kelancaran pasokan material tersebut
ke lapangan.

• Melakukan perencanaan dan perhitungan terhadap kebutuhan material di


lapangan secara seksama sehingga diperoleh nilai kebutuhan yang maksimal
dengan sisa material yang seminimal mungkin. Selain itu juga dilakukan
upaya pemanfaatan material sisa pekerjaan seperti beton menjadi suatu
bentuk yang dapat digunakan misalnya dijadikan kanstin beton.

• Selain itu juga dilakukan upaya daur ulang dari sisa material yang digunakan
di lapangan seperti sisa dari potongan besi tulangan, dimana kontraktor
mengadakan ikatan kontrak dengan supplier yang bersangkutan untuk
melakukan daur ulang dari sisa material besi tersebut.

• Memperkecil waktu tunggu (delay) antara pekerjaan yang satu dengan


pekerjaan yang lainnya dengan cara melakukan perencanaan dan
pengendalian pelaksanaan pekerjaan secara matang dan selalu melakukan up
date rencana kerja tersebut.

V.6 Rangkuman

Terkait dengan pengertian umum dari kinerja supply chain yaitu semua aktivitas
pemenuhan permintaan customer yang dinyatakan secara kuantitatif dengan
127

tujuan pengukuran kinerja yang dilakukan untuk mengurangi biaya-biaya,


memenuhi customer satisfication, meningkatkan keuntungan, mengetahui posisi
supply chain saat ini relatif terhadap kompetitor maupun terhadap tujuan yang
hendak dicapai serta berguna sebagai dasar untuk menentukan arah perbaikan
berkelanjutan. Jika dihubungkan dengan konsep-konsep lean construction yaitu
conversion, flow, dan value, prinsip-prinsip yang lebih mendekati pada pengertian
tersebut adalah prinsip conversion dan value, sementara prinsip dari flow lebih
bersifat pendukung dalam melakukan pengukuran kinerja supply chain.

Berdasarkan uraian pada subbab-subbab terdahulu, terlihat dari keempat proyek


studi kasus bahwa secara garis besar usaha-usaha yang telah dilakukan kedua
kontraktor dalam pelaksanaan proses produksinya telah mengacu pada konsep
lean construction sebagai bagian dari konsep pengelolaan supply chain di tingkat
proyek. Jika dilihat kinerja dari masing-masing supply chain proyek, maka
terlihat kinerja dari supply chain proyek kecenderungan relatif lebih baik terhadap
pemahaman dan penerapan yang telah dilakukan di lapangan terhadap aspek-
aspek dari konsep conversion pada tahap pelaksanaan.

Sedangkan untuk implementasi dari konsep flow dan konsep value masih
memerlukan suatu pemahaman dan perhatian yang lebih baik lagi terhadap
pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Hal ini sejalan dengan hasil temuan
penelitian yang dilakukan oleh Roza, H.A. (2006), yang menyimpulkan bahwa
tingkat kesiapan kontraktor Indonesia menuju konstruksi ramping masuk pada
kategori agak kuat yang tercermin dari nilai kesiapan sebesar 81,67 %. Nilai
kesiapan ini mempunyai makna bahwa pada umumnya kontraktor besar di
Indonesia telah melakukan kegiatan pengelolaan proses produksi di proyek
konstruksi dengan cukup baik, tetapi masih lemah dari segi prinsip-prinsip
aplikatif konstruksi ramping.

Jika ditelusuri lebih dalam sampai ke aktivitas yang harus dilakukan untuk
membuat flow proses produksi menjadi lancar, maka masih terdapat banyak
kelemahan yang menyangkut record data dan pencatatan terhadap proses produksi
128

yang direncanakan, proses produksi yang dilaksanakan, hasil yang diperoleh dari
kegiatan produksi tersebut, serta pengukuran terhadap kinerja proses produksi
tersebut. Sehingga kontraktor tidak bisa dengan cepat mengetahui jika terjadi
variabilitas dalam proses produksi. Padahal jika variabilitas ini bisa dikendalikan
dan diminimalkan, maka flow proses produksi bisa menjadi lebih lancar.

Tidak adanya suatu patokan (benchmark) terhadap hasil pengukuran kinerja dari
setiap proyek studi kasus menyebabkan pembahasan yang dilakukan hanya
terbatas pada prosedur pengelolaan supply chain dan segala permasalahan yang
terkait dengan hubungan antara pihak yang terlibat dalam proses produksi di
lapangan pada setiap pola supply chain yang ada. Pembahasan yang dilakukan
terasa masih sangat dangkal untuk dapat menggambarkan kinerja dari suatu
supply chain terkait dengan implementasi konsep-konsep lean construction.

Secara keseluruhan, rekomendasi yang dapat diberikan sebagai hasil dari


penelitian ini hanya berupa gambaran umum kinerja dari beberapa pola supply
chain yang telah teridentifikasi terutama yang terkait dengan metode pengelolaan
hubungan antar pihak yang terlibat dalam jaringan supply chain tersebut.
Keterbatasan-keterbatasan yang terjadi mengakibatkan tidak dapatnya dilakukan
perbandingan yang linear terhadap keempat proyek studi kasus dengan harapan
akan tercapainya pengkajian terhadap pola yang akan memberikan kinerja yang
paling optimal dalam upaya pengelolaan pihak-pihak yang terlibat dalam supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung dalam rangka implementasi prinsip-
prinsip konstruksi ramping.
VI. Bab VI Kesimpulan dan Saran

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan proses pengukuran dan kajian terhadap kinerja supply chain dari
empat proyek konstruksi bangunan sebagai studi kasus yang telah dilakukan
diperoleh kesimpulan terhadap hal-hal sebagai berikut :

1. Pengukuran dan kajian terhadap kinerja supply chain dari 4 (empat) proyek
studi kasus dilakukan hanya terbatas untuk lingkup pekerjaan finishing
arsitektur dengan lingkup waktu kajian yang terbatas yaitu hanya untuk
waktu 7 (tujuh) bulan dari waktu pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Dengan
demikian hasil pengkajian yang dilakukan tidak menggambarkan kinerja
supply chain dari keseluruhan proyek. Selain itu pengukuran yang dilakukan
tidak mencakup keseluruhan dari mata rantai supply chain proyek yang ada,
namun hanya terbatas pada hubungan antara kontraktor dengan
subkontraktor dan supplier yang dilihat dari sisi kontraktor. Jadi tidak
dilakukan eksplorasi secara mendalam terhadap keseluruhan pihak yang
terlibat dalam supply chain proyek.

2. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap empat proyek studi


kasus terlihat terdapat beberapa perbedaan nilai indikator yaitu :

• Indikator 1 - Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja,


perbedaan yang terjadi pada indikator ini ditenggarai sebagai akibat dari
perbedaan pola supply chain, ketidaksetaraan proyek studi kasus,
perbedaan kompleksitas proyek, lingkup kajian dan waktu pengambilan
data, dan karakteristik pemilik proyek
• Indikator 2 - Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan,
perbedaan nilai indikator ini dimungkinkan sebagai akibat dari perbedaan
pola supply chain, ketidaksetaraan proyek studi kasus, peran konsultan

129
130

manajemen konstruksi, perbedaan kompleksitas proyek, lingkup kajian


dan waktu pengambilan data, dan karakteristik pemilik proyek
• Indikator 3 - Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat,
perbedaan nilai indikator ini kemungkinan disebabkan oleh
ketidaksetaraan proyek studi kasus, perbedaan kompleksitas proyek,
lingkup kajian dan waktu pengambilan data, dan karakteristik pemilik
proyek
• Indikator 8 - Inventory material, pada masing-masing proyek sangat
terkait dengan pola manajemen yang dilakukan oleh tim manajemen
proyek dan secara tidak langsung juga merupakan suatu kebijakan
perusahaan terhadap manajemen inventory yang dilakukan di setiap
proyek.
• Indikator 9 - Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor dan dari
kontraktor ke owner, perbedaan besaran nilai pada indikator ini
ditenggarai sebagai akibat dari perbedaan pola supply chain,
ketidaksetaraan proyek studi kasus, perbedaan kompleksitas proyek,
lingkup kajian dan waktu pengambilan data, dan karakteristik pemilik
proyek

3. Terkait dengan implementasi konsep lean construction, diperoleh temuan


bahwa kinerja supply chain dari masing-masing proyek dapat dikatakan baik
terhadap pemahaman dan penerapan yang telah dilakukan di lapangan
terhadap aspek-aspek dari konsep conversion pada tahap pelaksanaan.
Terlihat telah adanya pemahaman dan penerapan konsep produksi sebagai
proses conversion oleh kedua kontraktor dalam pengelolaan proses
bisnisnya.

4. Pemahaman arti penting dari konsep ini terlihat dengan telah dilakukannya
upaya-upaya pengelolaan conversion agar dapat meningkatkan efektifitas
pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi dapat berjalan dengan
baik, melalui pembentukan hubungan kerjasama jangka panjang (partnering)
dengan pihak subkontraktor dan supplier, pengadaan material-material
131

strategis yang dilakukan secara terpusat untuk mengakomodir kebutuhan


seluruh proyek-proyek yang sedang ditangani. Namun disisi lain kedua
kontraktor belum memahami arti penting dari konsep collaborative design
sehingga belum ada sama sekali penerapan keikutsertaan subkontraktor dan
supplier dalam perencanaan pelaksaanaan pekerjaan. Sebagai konsekuensi
dari hal tersebut salah satu yang terlihat terjadi di keempat proyek adalah
masih sangat banyaknya revisi yang dilakukan terhadap rencana kerja yang
umumnya disebabkan oleh tidak sempurnanya hasil desain yang ada sebagai
akibat tidak adanya koordinasi yang terpadu antara pihak-pihak yang akan
terlibat dalam proses konstruksi bangunan tersebut.

5. Selain itu juga terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua
kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi pada
pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Terutama terkait dengan kelancaran
pasokan material yang merupakan kebutuhan utama pada pelaksanaan
pekerjaan di lapangan. Kedua kontraktor juga telah melakukan optimalisasi
pengelolaan inventory melalui upaya pengelolaan gudang dengan suatu
manajemen yang cukup baik dan merupakan suatu arahan kebijakan dari
perusahaan. Disisi lain, kedua kontraktor juga telah melakukan upaya
pengelolaan terhadap material sisa dari pelaksanaan pekerjaan di lapangan
sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru.

6. Namun jika dilihat kinerja yang terkait dengan konsep nilai (value) yang
harus disampaikan sesuai keinginan konsumen (memberikan kepuasan
terhadap konsumen), belum sepenuhnya sesuai dengan konsep value yang
sebenarnya harus disampaikan ke owner. Pemahaman kedua kontraktor
terhadap nilai yang harus disampaikan masih berupa kesesuaian antara desain
dengan hasil pekerjaan yang dilaksanakan dengan kata lain hanya
menyangkut mutu dari pekerjaan.

7. Seiring dengan upaya meningkatkan efisiensi di industri konstruksi, maka


dari ke 10 (sepuluh) indikator penilaian kinerja supply chain yang ada terlihat
132

bahwa kedua kontraktor memang telah memahami konsep conversion dan


telah merupakan bagian dari kegiatan produksinya secara khusus, secara
umum merupakan bagian dari proses bisnis yang dilakukannya. Disisi lain
indikator yang menyangkut dengan implementasi konsep flow dan value
masih memerlukan perhatian untuk dilakukan perbaikan dan peningkatan di
masa yang akan datang agar dapat dicapai efektifitas dan efisiensi supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung.

VI.2 Keterbatasan dalam Penelitian

Upaya eksplorasi yang dilakukan terhadap masing-masing proyek studi kasus


untuk mendapatkan gambaran kinerja supply chain proyek dirasakan belum
maksimal, terdapat beberapa keterbatasan dalam proses pengumpulan data dan
pengkajian pada penelitian, terutama yang menyangkut hal-hal sebagai berikut :

1. Pengukuran yang dilakukan terhadap masing-masing pola supply chain pada


studi kasus menggunakan proyek-proyek yang tidak benar-benar setara. Dari
Tabel IV.8 terlihat bahwa kompleksitas proyek berbeda antara satu proyek
dengan proyek lainnya, baik itu dari jenis kontrak yang digunakan, pemilik
bangunan, besaran nilai pekerjaan, luasan bangunan, lingkup pekerjaan dan
jumlah pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan, baik
subkontraktor, supplier maupun nominated subcontractor. Ketidaksetaraan
ini menyebabkan tidak dapat dilakukan perbandingan antar masing-masing
pola yang ada dari keempat proyek studi kasus.

2. Penggunaan metoda pelaksanaan pekerjaan yang tidak sama pada masing-


masing proyek studi kasus. Dimana dari keempat proyek terdapat metoda
pelaksanaan pada proyek yang bersifat “fast track” dimana proses
perencanaan belum yang matang dan masih banyaknya design yang tidak
terakomodir sehingga mengakibatkan penyempurnaan design dilakukan
secara bersamaan dengan pelaksanaan konstruksi di lapangan. Hal ini
ditenggarai lebih berpotensi menimbulkan banyak kendala-kendala dalam
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
133

3. Indikator-indikator pengukuran yang digunakan dirasakan masih belum dapat


menggambarkan secara keseluruhan kinerja supply chain yang diharapkan.
Hal ini disebabkan karena indikator yang ada hanya mengakomodir aliran
informasi dan material yang ada dalam pengelolaan supply chain di industri
konstruksi, sedangkan untuk aliran dana belum ada indikator terkait dengan
pengelolaan aliran dana tersebut. Sehingga gambaran kinerja yang diperoleh
belum secara menyeluruh.

4. Pengkajian secara analisis deskriptif terhadap empat kasus saja, dirasakan


belum dapat teridentifikasi secara tajam pola hubungan dalam supply chain
proyek konstruksi yang lebih efektif dan efisien. Terlebih lagi pengukuran
hanya dilakukan terhadap pihak kontraktor pelaksana, tanpa melakukan
eksplorasi secara lebih mendalam terhadap pihak-pihak lain seperti
subkontraktor, supplier, nominated subcontractor, bahkan pihak owner.

5. Asumsi yang digunakan pada saat pengambilan data yang dilakukan dengan
membatasi pada kurun waktu tertentu, tidak selama umur proyek, ternyata
menyebabkan tidak tergambarnya kinerja dari supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung secara utuh, yang tergambar pada penelitian ini hanya
kinerja supply chain untuk pekerjaan finishing arsitektur saja.

VI.3 Saran

Kekurangan yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan


inspirasi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan kajian lebih mendalam untuk
memperoleh pemahaman terhadap kinerja dari supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung. Sejalan dengan kesimpulan dan keterbatasan dalam penelitian
ini, maka rekomendasi yang dapat disampaikan menyangkut hal-hal sebagai
berikut:

1. Perlu dilakukan suatu pengembangan indikator pengukuran kinerja yang lebih


menyeluruh terhadap kinerja dari supply chain di mana indikator tersebut
harus bersifat umum dan mudah diukur (universality), menjamin bahwa data-
134

data yang diperlukan memang dapat diukur (measurability) dan menjamin


kekonsistenan penilaian (consistency) sebagaimana yang disarankan oleh
Pires, Silvio Aravechia dan Santos (2001). Indikator yang dikembangkan
harus dapat mengakomodasi ukuran kinerja secara finansial maupun non-
finansial.

2. Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam terhadap kinerja supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung perlu dilakukan penelusuran secara
lebih dalam kepada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi
seperti subkontraktor, supplier, nominated subcontractor, bahkan pihak
owner. Sehingga akan dapat memberikan gambaran bagaimana konstribusi
dari masing-masing pihak terhadap terciptanya efektifitas dan efisiensi kinerja
dari supply chain tersebut.

3. Hasil penelitian ini belum dapat menghasilkan suatu rekomendasi yang benar-
benar solid kepada para pihak yang terlibat mengenai pola hubungan serta
bentuk kerjasama yang memberikan efektifitas dan efisiensi terhadap supply
chain secara keseluruhan. Rekomendasi yang diberikan hanya terbatas pada
proses identifikasi terhadap faktor-faktor yang perlu menjadi perhatian para
pihak dalam membangun hubungan antar pihak dan mengelola hubungan
tersebut sehingga dapat menjadi lebih baik dalam konteks pencapaian
konstruksi ramping (lean construction). Untuk itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam terhadap
efektifitas dan efisiensi dari supply chain proyek konstruksi bangunan gedung.

4. Untuk memperoleh gambaran kinerja supply chain dari beberapa pola yang
telah teridentifikasi perlu dilakukan penelitian secara mendalam dengan
melibatkan praktisi di konstruksi bangunan gedung yang dipadu dengan
institusi pendidikan tinggi yang akan menghasilkan suatu benchmarking yaitu
kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari perusahaan sejenis.
Sehingga akan dapat ditentukan target internal kemudian berdasarkan kinerja
best in class yang diperoleh. Penelitian yang dilakukan lebih kepada
135

eksplorasi faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk


mendapatkan efektifitas dan efisiensi dari supply chain proyek bangunan
gedung.

Perbaikan-perbaikan yang berawal dari kekurangan yang terjadi dalam penelitian


ini, diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi peneliti lain, khususnya yang
tertarik dalam pengembangan konsep supply chain konstruksi, supply chain
management dan lean construction. Dari pengembangan ini diharapkan akan
dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap penerapan konsep-konsep
yang akan memperbaiki efektifitas dan efisiensi industri konstruksi dalam upaya
meningkatkan kompetensinya.
VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Aravechia, Carlos H.M. dan Pires, Silvio R.I., (2000), Supply Chain
Performance Evaluation : A Case Study, University off Piracicaba, Sao
Paolo, Brazil - http://www.unimep.br

2. Beamon, Benita, M., (1999), Measuring Supply Chain Performance,


International Journal of Operations dan Production Management, Vol 19,
No. 3, pp. 275-292

3. Brewer, Peter C dan Speh, Thomas W., (2000), Using the Balanced
Scorecard to Measure Supply Chain Performance, Journal of Business
Logistic, Vol. 21 No.1

4. Chibba, Aron dan Horte, Sven Arke, (2003), Supply Chain Performance – A
Meta Analysis, School of Business and Engineering, University of
Halmstad, Swedia - http://www.hh.se

5. Indrajit, R.E, Djokopranoto, R (2003), Konsep Manajemen Supply


Chain, PT. Gramedia Pustaka Utama

6. Kleijnen, Jack P.C. dan Smits, Martin.T, (2003), Performance Metric in


Supply Chain Management, Tillburg University Belanda -
http://www.palgrave-journal.com

7. Li, Suhong, (2002), Developing Maesures of Supply Chain Management


Performance, College of Business Administration, The University of
Toledo - http://www.web.bryant.edu

8. Moon, Yu, Kim (2007), Performance Indikators Based On TFV Theory,


Proceeding IGLC-15, July 2007, Michigan, USA - http://www.iglc.net

9. O'Brien, W. (1995), Construction Supply-Chains: Case Study and Integrated


Cost and Performance Analysis, Proceedings of the Third Annual
Conference of the International Group for Lean Construction, University of
New Mexico, Albuquerque, New Mexico, Reprinted in Luis Alarcon (Ed.),
(1997), Lean Construction, The Netherlands, AA Balkema, pp 187-222

10. Pujawan, Nyoman. I., (2005), Supply Chain Management, Penerbit Guna
Widya, Surabaya.

11. Roza, H.A., (2006), Pengembangan Model Pengukuran Kesiapan


Kontraktor Indonesia Menuju Konstruksi Ramping, Tesis Magister
Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Institut Teknologi Bandung

136
137

12. Susilawati (2005), Studi Supply Chain Konstruksi pada Proyek Konstruksi
Bangunan Gedung, Tesis Magister Manajemen dan Rekayasa Konstruksi,
Institut Teknologi Bandung

13. Taweesak. Theppitak, (2003), Performance Measurement Sistem in Supply


Chain Activities, Maritime College, Burrapha University, Chonburi,
Thailand - http://www.bmc.buu.ac.th

14. Vrijhoef, R., Koskela, L., (1999), Roles of Supply Chain Management In
Construction, Proceeding IGLC-7, 26-28 Juli 1999, University of
California, Berkelay, CA, USA - http://www.ce.berkeley.edu

15. Wirahadikusumah, R.D., Susilawati, (2006), Pola Supply Chain pada


Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, Paper, Institut Teknologi Bandung

16. Wirahadikusumah, R.D., Susilawati, (2006), Kajian Pengadaan oleh


Kontraktor Pelaksana pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, Paper,
Institut Teknologi Bandung

17. Wirahadikusumah, R.D., Soemardi, B.W., Abduh, M., (2007), Kajian


Hubungan Antar Pihak yang Terlibat dalam Rantai Pasok Proyek
Konstruksi Bangunan Gedung, Riset KK-ITB 2007, Institut Teknologi
Bandung
138

Lampiran A
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung
No. Indikator Deskripsi
1 Intensitas perubahan/revisi Definisi : Indikator ini digunakan untuk melihat intensitas terjadinya perubahan/ revisi terhadap rencana
terhadap rencana kerja kerja kontraktor yang dibuat sebagai acuan pelaksanaan di lapangan, seperti perubahan desain sehingga
mengakibatkan terjadinya pekerjaan tambah kurang (Variation Order atau Change Order).
Objektif : Melihat intensitas terjadinya perubahan/revisi terhadap rencana kerja kontraktor (pengukuran
kualitatif). Termasuk juga mengidentifikasi penyebab terjadinya perubahan/ revisi serta dampak yang
dirasakan proyek akibat adanya perubahan/revisi tersebut (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data Variation Order atau Change Order. Dari data tersebut
akan dilihat berapa kali Variation Order atau Change Order terjadi pada suatu kurun waktu tertentu
(penilaian tidak dilakukan terhadap keseluruhan waktu siklus proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
2 Intensitas constraint selama Definisi : Constraint adalah kendala yang bisa mengganggu flow pekerjaan seperti ketersediaan
pelaksanaan pekerjaan sumberdaya, disain gambar yang belum selesai, persetujuan dari klien, belum selesainya pekerjaan yang
mendahului (downstream), dan lain-lain. Sehingga berdasarkan definisi tersebut diatas, maka indikator ini
akan digunakan untuk mengidentifikasi constraint yang terjadi selama proses penyelenggaraan proyek
konstruksi berlangsung.
139

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Objektif : Melihat jumlah/ intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan satu pekerjaan tertentu
yang telah ditentukan sebelumnya (pengukuran kuantitatif). Termasuk juga identifikasi mengenai jenis
constraint yang terjadi, apa penyebabnya, permasalahan/dampak yang ditimbulkan dan solusi
penyelesaiannya (pengukuran kualitatif).

Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data catatan berbagai constraint (kendala) yang terjadi di proyek.
Dari data tersebut akan dilihat berapa kali constraint terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (penilaian
tidak dilakukan terhadap keseluruhan waktu siklus proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
3 Intensitas rapat koordinasi Definisi : Proyek konstruksi dengan karakteristiknya yang dinamis dan kompleks telah menuntut adanya
antar pihak yang terlibat struktur komunikasi yang baik, sehingga adanya pengembangan mengenai penyusunan perencanaan ke
depan dan perencanaan kerja mingguan yang terorganisir dengan baik, yang memungkinkan para pelaku
proyek berbagi informasi tentang jadwal terakhir dan konflik yang mungkin terjadi perlu dilakukan,
minimal dengan melakukan rapat koordinasi antar pihak yang terlibat secara intensif, kerena rapat ini akan
mengidentifikasi permasalahan dan mencari penyebab dan solusi untuk meningkatkan sistem produksi agar
lebih efisien.
Objektif : Melihat ada tidaknya rapat yang dilakukan antar pihak yang terlibat terkait dengan pekerjaan
(yang telah ditentukan sebelumnya) dan berapa kali (intensitas) rapat tersebut biasa dilakukan, selama
kurun waktu tertentu (pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi sifat rapat, peserta rapat serta
pengaruh yang dirasakan dengan adanya rapat terhadap kelancaran pekerjaan tersebut (pengukuran
kualitatif).
140

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data risalah jenis-jenis rapat yang biasa dilakukan oleh proyek.
Dari data tersebut akan dilihat intensitas dari masing-masing rapat rutin yang biasa dilakukan di proyek.
Penilaian akan dibatasi untuk suatu kurun waktu tertentu (tidak dilakukan terhadap waktu siklus
keseluruhan proyek).

Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
4 Intensitas defect pekerjaan Definisi : Defect adalah cacat-cacat pekerjaan (ketidaksesuaian dengan instruksi kerja/spesifikasi teknis
yang telah diberikan) yang dilakukan oleh subkontraktor, sehingga diharuskan kepada subkontraktor
tersebut untuk melakukan perbaikan/ penggantian. Melalui indikator ini akan dilakukan pencatatan
intensitas terjadinya defect terkait dengan satu atau beberapa pekerjaan yang dilakukan selama proses
konstruksi berlangsung. Sehingga indikator ini juga bisa digunakan untuk mengukur kesesuaian antara
perencanaan dengan mutu pekerjaan yang dihasilkan pada pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor
sehingga gambaran sekilas tentang seberapa baik kinerja subkontraktor dalam melaksanakan pekerjaan
dapat diperoleh.
Objektif : Melihat intensitas terjadinya defect, dari sini akan terlihat apakah sudah terjadi kesesuaian antara
perencanaan dengan mutu pekerjaan yang dihasilkan pada yang dilakukan oleh subkontraktor, sehingga
bisa teridentifikasi seberapa baik kinerja subkontraktor dalam melaksanakan pekerjaan tersebut
(pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi penyebab terjadinya defect tersebut, dampak apa yang
timbul akibat terjadinya defect ini terhadap pekerjaan/ pihak lain dan solusi apa yang dilakukan untuk
menyelesaikannya (pengukuran kualitatif).
141

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data catatan hasil pengawasan yang dilakukan oleh proyek, dari
data tersebut akan dilihat berapa kali intensitas kegagalan subkontraktor dalam melalui inspeksi dan tes
yang dilakukan terhadap hasil pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion dan value.
5 Kinerja supplier dalam Definisi : Indikator ini digunakan untuk mengukur kinerja supplier dalam memenuhi permintaan yang
memenuhi jadwal pengiriman dipesan oleh proyek. Aliran material merupakan salah satu jenis aliran didalam supply chain yang harus
material dikelola dengan baik sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat
terus meningkat. Di dalam suatu supply chain yang baik terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan,
dirancang, dan diimplementasikan untuk mendapatkan aliran yang efektif dari material, informasi dan dana
pada suatu supply chain. Oleh karena itu pengukuran terhadap seberapa baik kinerja supplier dalam
memenuhi permintaan proyek perlu dilakukan karena dengan dilakukannya pengukuran tersebut diharapkan
akan didapat gambaran secara umum mengenai kelancaran aliran material di proyek yang bersangkutan.

Objektif : Mengukur seberapa baik kinerja supplier didalam memenuhi jadwal pengiriman material yang
dibuat oleh proyek. Jadi disini akan dilakukan pengamatan berapa kali intensitas terjadinya satu barang/
material tertentu tidak datang tepat waktu sesuai dengan jadwal (pengukuran kuantitatif). Termasuk juga
mengidentifikasi apa penyebab terjadinya ketidaksesuaian (jika terjadi), permasalahan/ dampak yang
timbul dari terjadinya ketidaksesuaian tersebut terhadap proyek serta solusi apa yang telah dilakukan
proyek untuk menanggulanginya (pengukuran kualitatif).
142

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Purchase Order (PO), Delivery Order (DO). Dari kedua jenis
data tersebut akan dilakukan pencatatan kapan waktu pemesanan dilakukan, kapan waktu pengiriman
dilakukan dan kapan waktu material diterima.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion dan flow.
6 Waktu tenggang (lead time) Definisi : Lead time adalah waktu tenggang untuk mendapatkan produk yang dipesan. Berdasarkan definisi
antara pemesanan (order) dan tersebut, maka indikator ini akan digunakan untuk mengukur total waktu tenggang antara material dipesan
pengiriman (deliver) dan diterima di proyek, selama proses pasokan material tersebut berlangsung. Hal yang perlu mendapat
perhatian disini adalah penyebab dari lama ataupun sebentarnya waktu tenggang itu terjadi. Oleh karena itu
selain melakukan pencatatan terhadap berapa lama waktu tenggang yang terjadi, perlu juga dilakukan
identifikasi pihak mana yang mengakibatkan (lama-sebentarnya) waktu tenggang terjadi.

Objektif : Mengukur total lead-time yang terjadi antara waktu pemesanan dan waktu pengiriman
(pengukuran kuantitatif). Termasuk juga mengidentifikasi apa penyebab terjadinya lead-time tersebut, apa
dampaknya terhadap proyek serta solusi apa yang telah dilakukan (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Jenis data yang mendukung terhadap penilaian kuantitatif untuk
indikator ini adalah Purchase Order (PO), Delivery Order (DO). Dari kedua jenis data tersebut akan
dilakukan pencatatan kapan saja dan berapa lama waktu tenggang terjadi.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
143

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
7 Intensitas kejadian reject Definisi : Reject material adalah material/produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan atau
material tidak sesuai dengan yang diharapkan (material yang rusak/cacat pada saat diterima di proyek) sehingga
kemungkinan material/produk tersebut akan langsung di kembalikan atau diperbaiki sebelum diterima.
Berdasarkan definisi diatas, maka indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi intensitas terjadinya
reject terhadap suatu material yang digunakan di proyek.

Objektif : Melihat intensitas terjadinya reject material (pengukuran kuantitatif). Termasuk


mengidentifikasi penyebab terjadinya reject tersebut, dampak dan solusi seperti apa yang saat ini telah
dilakukan untuk meminimalkan terjadinya reject material tersebut (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Jenis data yang mendukung terhadap penilaian kuantitatif untuk
indikator ini adalah data material reject. Dari data tersebut akan dilakukan pencatatan berapa kali intensitas
terjadinya material ditolak dan apa penyebab material tersebut ditolak.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion dan flow.
8 Inventory material Definisi : Inventory adalah material yang digunakan tetapi kedatangannya di site terlalu cepat dari waktu
yang dijadwalkan atau tidak langsung digunakan (misal karena jadwal pemasangan terlambat), sehingga
menumpuk di gudang serta menimbulkan tambahan biaya, tempat dan untuk mengelolanya. Berdasarkan
definisi diatas, maka indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi ada tidaknya inventory yang
menumpuk di gudang.
144

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Objektif : Melihat ada tidaknya inventory yang menumpuk di gudang, mengidentifikasi apa saja jenisnya,
apa penyebab terjadinya, permasalahan/dampak apa yang timbul dan solusi seperti apa yang saat ini telah
dilakukan (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
9 Keikutsertaan subkontraktor Definisi : Untuk memberikan fasilitas dalam pembagian informasi disarankan untuk menggunakan sistem
di dalam perencanaan cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan supplier untuk
pelaksanaan mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin. Hal ini juga bisa diterapkan didalam menyusun
perencanaan untuk pelaksanaan di lapangan, sehingga pihak perencana yang dimaksud di sini tidak hanya
terbatas pada kontraktor utama saja, tetapi diperluas termasuk sub kontraktor, atau bahkan supplier material
yang juga terlibat. Dengan dilakukannya perluasan, maka akan terjadi penambahan suatu koreksi terhadap
kesalahan dan pemecahan masalah yang biasanya timbul di proyek berdasarkan pengalaman masing-masing
pihak yang terkait. Selain itu dengan memberikan tanggungjawab pada para pihak yang terkait
(berkepentingan) langsung dalam proses perencanaan, maka secara tidak langsung para pihak terkait
tersebut juga telah ikut berpartisipasi dalam kelancaran keseluruhan proses produksi.
Objektif : Mengidentifikasi ada tidaknya keikutsertaan subkontraktor yang melaksanakan pekerjaan (yang
telah ditentukan sebelumnya) di dalam perencanaan, dampak apa yang dirasakan terhadap kelancaran
pelaksanaan pekerjaan tersebut (pengukuran kualitatif).
145

Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion.
10 Intensitas complaints dari Definisi : Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan kebutuhan yang harus
owner kepada kontraktor & diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Tidak
dari kontraktor kepada tercapainya value yang sesuai dengan yang diinginkan seringkali terjadi pada proyek konstruksi yang masih
supplier menggunakan sistem manajemen konstruksi tradisional didalam sistem koordinasinya. Hal ini tercermin
dari banyaknya complaints yang terjadi dari pihak owner terhadap pihak kontraktor maupun dari pihak
kontraktor terhadap supplier. Indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi ada tidaknya complaints
dari owner terhadap pihak kontraktor, maupun dari kontraktor terhadap suppliernya, berkaitan dengan hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukannya.
Objektif : Melihat ada tidaknya dan berapa kali komplain dari owner terhadap pihak kontraktor dan pihak
kontraktor terhadap supplier terjadi (pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi apa penyebab
terjadinya komplain & solusi apa yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari komplain tersebut (pengukuran
kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data complaints dari owner terhadap pihak kontraktor yang
terjadi maupun dari kontraktor terhadap suppliernya, dari data tersebut kemudian bisa diketahui berapa kali
intensitas masing-masing komplain tersebut terjadi. Penilaian akan dibatasi untuk suatu kurun waktu
tertentu (tidak dilakukan terhadap waktu siklus keseluruhan proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip value.
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)

Anda mungkin juga menyukai