TESIS
Oleh :
NIM : 25005021
Oleh :
NIM : 25005021
Industri konstruksi memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dengan industri
lainnya, khususnya proyek konstruksi bangunan gedung. Kompleksitas pekerjaan
menyebabkan banyak pihak dengan berbagai keahlian yang terlibat pada
pelaksanaan proses produksinya dan akan membentuk supply chain yang
kompleks. Kompleksitas supply chain ini memerlukan suatu manajemen
pengelolaan hubungan antar mata rantai yang terlibat. Hal ini dirasa perlu karena
pengelolaan supply chain dipercaya sebagai salah satu usaha yang strategis untuk
meningkatkan daya saing suatu perusahaan konstruksi di tengah semakin ketatnya
persaingan lokal, regional maupun global, sebagaimana layaknya industri lainnya.
Suatu supply chain yang efisien dianggap dapat memberikan daya saing yang
tinggi kepada perusahaan yang menjadi bagiannya selain itu desain supply chain
yang buruk ditenggarai memiliki potensi meningkatkan biaya proyek hingga 10%.
Supply chain konstruksi akan memberikan konstribusi terhadap efisiensi suatu
pelaksanaan proyek, sehingga suatu supply chain konstruksi memiliki potensi
untuk menjadi salah satu ruang yang memungkinkan untuk dilakukannya
peningkatan dalam industri konstruksi. Sebagai tahap awal dilakukan pemetaan
pola supply chain konstruksi yang terdapat dalam praktek konstruksi di
Indonesia, khususnya dalam proyek konstruksi bangunan gedung, dan telah
teridentifikasi empat bentuk pola supply chain yang biasa ditemui dalam proyek-
proyek konstruksi khususnya bangunan gedung. Langkah selanjutnya yang
diperlukan adalah melakukan pengukuran terhadap kinerja dari masing-masing
pola supply chain yang telah terbentuk. Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan
gambaran kinerja dari masing-masing pola supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung, terutama terhadap pengelolaan hubungan para pihak yang
terlibat dalam proses produksi proyek konstruksi bangunan gedung.
Pengukuran dilakukan terhadap kinerja supply chain dari 4 (empat) proyek studi
kasus terbatas untuk lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan lingkup waktu
kajian hanya untuk kurun waktu 7 (tujuh) bulan dari waktu pelaksanaan pekerjaan
di lapangan dengan menggunakan 10 (sepuluh) indikator penilaian kinerja supply
chain. Berdasarkan hasil kajian terlihat bahwa terkait dengan implementasi
konsep lean construction, diperoleh temuan kinerja supply chain dari masing-
masing proyek dapat dikatakan baik terhadap pemahaman dan penerapan yang
telah dilakukan di lapangan terhadap aspek-aspek dari konsep conversion pada
i
tahap pelaksanaan. Terlihat telah adanya pemahaman dan penerapan konsep
produksi sebagai proses conversion oleh kontraktor dalam pengelolaan proses
bisnisnya. Selain itu juga terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan oleh
kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi pada
pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Namun jika dilihat kinerja yang terkait dengan konsep nilai (value) yang harus
disampaikan sesuai keinginan konsumen (membe0rikan kepuasan terhadap
konsumen), belum sepenuhnya sesuai dengan konsep value yang sebenarnya
harus disampaikan ke owner. Pemahaman kontraktor terhadap nilai yang harus
disampaikan masih berupa kesesuaian antara desain dengan hasil pekerjaan yang
dilaksanakan dengan kata lain hanya menyangkut mutu dari pekerjaan. Seiring
dengan upaya meningkatkan efisiensi di industri konstruksi, maka dari ke 10
(sepuluh) indikator penilaian kinerja supply chain yang ada terlihat bahwa
kontraktor memang telah memahami konsep conversion dan telah merupakan
bagian dari kegiatan produksinya secara khusus, secara umum merupakan bagian
dari proses bisnis yang dilakukannya. Disisi lain indikator yang menyangkut
dengan implementasi konsep flow dan value masih memerlukan perhatian untuk
dilakukan perbaikan dan peningkatan di masa yang akan datang agar dapat
dicapai efektifitas dan efisiensi supply chain proyek konstruksi bangunan gedung.
Kata kunci : supply chain, kinerja, lean construction, konversi, aliran, nilai
ii
ABSTRACT
By :
NIM : 25005021
Construction industries have some unique characteristics and differ from other
industries, especially building construction projects. The complexity of the works
has caused involvement of many parties from any competence in the production
process and lead to a complex supply chain. This supply chain complexity needs a
management between the involved links because supply chain management is
considered as one of strategic efforts to increase the competitive strength of a
construction company in the middle of local, regional and global competition
which has become stricter. An effective supply chain is expected to give a high
competitive strength to the company. Besides, a bad design of supply chain is
considered have the potential to increase the project cost up to 10%.
Construction supply chain will give contributions to the efficiency of a project
performance, so a construction supply chain has a potential becoming a possibility
space for improvement in construction industries. As a beginning phase, a
mapping of construction supply chain pattern is done for construction in Indonesia
especially in building construction. Four pattern of supply chain have been
identified which are usually used in construction project especially building. The
next step is measuring the performance of each supply chain pattern. The purpose
is to get the picture of performance from those four patterns of building
construction project, especially in managing the relationship of every party who
are involved in the construction production process.
The measurement has been done to supply chain performance from four projects
as the case study, limited for architectural finishing work in seven months from
the realization of the project in the field using ten indicators of assessment for
performance of supply chain. Based on the result, it can be seen that connecting to
the implementation of lean construction concept, it can be said that the
performance of each projects is good to the understanding and implementation
that has been done in the field to the aspects from conversion concept in
construction phase. It can be seen that there has been an understanding and
implementation of production concept as a conversion process by the contractor in
their business management. Besides, it can also be seen that there have been
efforts doing by the contractors in implementing flow concept in the production in
the field.
iii
However, the performance which is connected to the value concept that must be
delivered exactly as what the consumers want (giving satisfaction to the
customer); it has not met the real value concept that has to be delivered to the
owner. Contractors’ understanding to the value that must be delivered is still a
match between the design and the performance which in the other words, it is just
about the quality of the work. Along with the efforts of improving the efficiency
in construction industries, from ten indicators of assessment for performance of
supply chain, it can be seen that contractors have understood conversion concept
and it has been especially, the part of their production activity, and commonly of
their business. On the other side, indicators about flow and value concept
implementation still need some attention for an improvement in the future so the
effective and efficient supply chain for building construction can be obtained.
iv
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Syukur alhamdullillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala
karunia dan hidayah-Nya, yang telah diberikan selama proses melaksanakan studi
dan melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan tesis dengan judul
Kajian Kinerja Supply Chain Pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung, yang
merupakan salah satu syarat penyelesaian studi pada Program Magister Teknik
Sipil Pengutamaan Manajemen dan Rekayasa Konstruksi Institut Teknologi
Bandung.
Seiring dengan penyelesaian tesis ini dihaturkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Ibu Ir. Reini D. Wirahadikusumah, MSCE., Ph.D, sebagai
pembimbing, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan
dukungan motivasi yang besar, sehingga penyelesaian tesis ini dapat tercapai.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Krishna Suryanto
Pribadi, Bapak Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D, Bapak Ir. Muhammad
Abduh, MT, Ph.D, dan Ibu Dr. Ir. Puti Farida Marzuki, atas kesediaannya hadir
sebagai penguji dan memberikan kritik, saran serta diskusi untuk memperbaiki
tesis ini.
Terlebih dari semuanya, rasa terima kasih yang tulus kepada suamiku tercinta,
kakanda Ir. Mahfud, MT, atas segala cinta, dukungan, motivasi serta kesabaran
dalam mendukung penyelesaian studi, penelitian dan penyelesaian tesis ini.
Ananda-ananda terkasih, M. Zayyan Muhadzib dan M. Zharif Nafi’ yang telah
mengisi keseharian penulis dengan canda tawa, keceriaan, tangis manja,
kesabaran dan kesetiaan di kala ketidakhadiran penulis di sisi mereka, diantara
kesibukan penyelesaian studi dan penelitian ini. Ayahanda, ibunda, dan adinda-
adinda tersayang serta keluarga besar di Medan dan Banda Aceh yang telah
mendukung baik moril maupun materiil dalam penyelesaian studi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Galih
Prahananto, Bapak Ir. Bambang Kunto, Ibu Ir. Darawati, Bapak Ir. Arief
Rahman, Bapak Ir. Bagus Febru, Bapak Ir. Septiawan Andri, dan Bapak
Ir. Glorius Sinaga serta seluruh staf dari proyek-proyek responden yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah meluangkan waktu di antara kesibukan
melaksanakan tugasnya untuk memberikan data-data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
Rasa terima kasih terhatur kepada Bapak Ir. Surya Darma, MT, Bapak Ir. Irawa
Kusumah, Bapak Ir. Firdaus dan semua pihak yang tidak dapat disebut satu
persatu, atas dukungan dan doanya.
vi
Seluruh staf non-akademik Program Magister Manajemen dan Rekayasa
Konstruksi.... Mbak Unie, Pak Ndang, Bu Ani, Bu Ida dan Pak Toto, atas
dukungan dan kerjasamanya selama menjalani studi. Teman-teman MRK 2005 ....
Fauzan, Budi, Uyung, Artan, Sulfan, Angga, Wulan, Ery, Yuli, dan MRK 2006
atas semua kebersamaan, suka maupun duka dalam menjalani studi..... Semoga
pertemanan ini terjalin untuk selamanya..... Terima kasih untuk semuanya.............
Semoga segala kebaikan dan bantuan dari Bapak/ Ibu sekalian mendapatkan
balasan yang berlimpah dari ALLAH SWT.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TESIS ...................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii
viii
II.6 Dimensi dan Ukuran Kinerja Supply Chain ...............................................32
II.7 Pendekatan Proses dalam Pengukuran Kinerja Supply Chain ...................33
II.7.1. Model Chan & Li .......................................................................................33
II.7.2. Model SCOR (Supply Chain Operation Reference) ..................................35
II.8 Studi tentang Pengukuran Kinerja Supply Chain .......................................39
ix
V.2.6. Indikator-6 : Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan (order) dan
pengiriman (deliver)...................................................................................96
V.2.7. Indikator-7 : Intensitas kejadian reject material ........................................97
V.2.8. Indikator 8 : Inventory material .................................................................97
V.2.9. Indikator 9 : Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan................................................................................................99
V.2.10. Indikator-10 : Intensitas compliant dari owner-kontraktor dan
kontraktor-supplier ....................................................................................99
V.3 Perbedaan Nilai Indikator Kinerja Supply Chain Proyek ........................101
V.4 Kinerja Supply Chain dan Implementasi Konsep Lean Construction .....111
V.4.1. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi
sebagai proses konversi (conversion).......................................................112
V.4.2. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep aliran (flow)
dalam produksi .........................................................................................119
V.4.3. Kinerja supply chain proyek terhadap implementasi konsep produksi
sebagai penciptaan nilai (value) ...............................................................122
V.5 Kinerja Supply Chain dan Upaya Meminimalkan Waste ........................125
V.6 Rangkuman ..............................................................................................126
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perbedaan antara ukuran kinerja tradisional dan modern ........... 26
Tabel II.2 Performance metrics level 1........................................................ 38
Tabel II.3 Beberapa metrik supply chain dan benchmark kinerja model
SCOR .......................................................................................... 39
Tabel II.4 Kerangka Kerja BSC untuk Pengukuran SCM .......................... 43
Tabel II.5 Keterkaitan antar indikator pengukuran, jenis data, rumus
pengukuran kuantitatif dan bentuk pengukuran ......................... 49
Tabel IV.1 Kebutuhan data primer ................................................................ 65
Tabel IV.2 Jenis indikator dan materi wawancara ........................................ 66
Tabel IV.3 Hasil pengumpulan data primer .................................................. 70
Tabel IV.4 Data umum proyek A .................................................................. 72
Tabel IV.5 Data umum proyek B .................................................................. 74
Tabel IV.6 Data umum proyek C .................................................................. 77
Tabel IV.7 Data umum proyek D .................................................................. 80
Tabel IV.8 Rekapitulasi data umum proyek-proyek studi kasus .................. 83
Tabel V.1 Jenis indikator dan rumus penilaian kuantitatif .......................... 86
Tabel V.2 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus ................................. 87
Tabel V.3 Pola supply chain proyek studi kasus ...................................... 101
Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Conversion ................................................................................ 113
Tabel V.5 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Flow .......................................................................................... 121
Tabel V.6 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Value ......................................................................................... 123
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain
pada proyek konstruksi bangunan gedung......................................138
xiii
I. Bab I Pendahuluan
Pengelolaan supply chain di industri konstruksi dipercaya sebagai salah satu usaha
yang strategis untuk meningkatkan daya saing suatu perusahaan konstruksi di
tengah semakin ketatnya persaingan lokal, regional maupun global, sebagaimana
layaknya industri lainnya. Salah satu unsur penting dari pengelolaan supply chain
ini adalah struktur dari jaringan yang efektif, karena sebuah supply chain yang
efisien dianggap dapat memberikan daya saing yang tinggi kepada perusahaan
yang menjadi bagiannya. Berdasarkan hasil suatu studi diperoleh kesimpulan
bahwa desain supply chain yang buruk memiliki potensi untuk meningkatkan
biaya proyek hingga 10% (Bertelsen, 1993).
1
2
Berdasarkan uraian diatas, maka pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran
kinerja dari pola supply chain proyek konstruksi bangunan gedung yang telah
teridentifikasi dengan menggunakan indikator-indikator pengukuran yang telah
dikembangkan pada penelitian sebelumnya, terutama pada kajian hubungan antar
pihak yang terlibat dalam supply chain konstruksi bangunan gedung dalam
rangka implementasi konsep Konstruksi Ramping (Lean Construction).
Beranjak dari hal tersebut di atas maka perlu dilakukan suatu pencarian gambaran
kinerja dari supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung yang
4
Penelitian ini bersifat deskriptif, yang bertujuan mencari gambaran kinerja supply
chain proyek terhadap implementasi prinsip-prinsip konstruksi ramping (lean
construction) dari beberapa pola supply chain yang telah teridentifikasi, sebagai
langkah awal dalam pencapaian efisiensi di industri konstruksi. Hal ini dilakukan
melalui eksplorasi dari beberapa proyek konstruksi bangunan gedung yang
terdapat di Jakarta dengan menggunakan indikator pengukuran kinerja yang
merupakan hasil penelitian sebelumnya.
pengelolaan supply chain yang harus dilakukan. Begitu pula dengan pihak-pihak
lain yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi bangunan gedung.
mutu yang telah dilakukan oleh kontraktor pada rantai pasoknya dalam proyek-
proyek di industri konstruksi.
Sebagai langkah awal dalam pemetaan supply chain pada konstruksi bangunan
gedung di Indonesia sehingga diperoleh gambaran mengenai pola supply chain
secara lebih lengkap, Susilawati (2005) dalam penelitiannya “Studi Supply Chain
Konstruksi pada Proyek Konstruksi Bangunan Gedung” telah melakukan
eksplorasi secara mendalam terhadap pola dan proses pembentukkan supply chain
pada proyek konstruksi khususnya pada proyek pembangunan bangunan gedung.
Dan dari penelitian ini telah teridentifikasi 4 (empat) pola supply chain yang biasa
dipraktekkan oleh kontraktor-kontraktor di Indonesia dalam pelaksanaan proyek
konstruksi bangunan gedung.
Penelitian Terdahulu
Kajian Hubungan Studi Supply Kajian Hubungan Antar
Kerjasama Chain pada Pihak yang Terlibat
Subkontraktor dan Proyek Konstruksi dalam Rantai Pasok Prinsip-
Kontraktor di Bangunan Gedung Proyek Konstruksi prinsip
Indonesia (Susilawati, 2005) Bangunan Gedung Supply
(Nurisra, 2002)
(Wirahadikusumah, 2007) Chain
Pengembangan Management
Model Penilaian
Pengembangan Kesiapan
Model Pemilihan Kontraktor
Mitra Pemasok pada Indonesia Menuju Kajian Kinerja Prinsip-
Proyek Konstruksi Konstruksi Supply Chain prinsip Lean
(Syachrani, S., 2005) Ramping pada Proyek Construction
(Roza, H.A., 2005) Konstruksi
Bangunan
Kajian Hubungan Gedung
Proses
Kontraktual antara Penjaminan Mutu
Kontraktor Utama Dalam Dalam
dengan Rantai Pasok
Subkontraktor pada Pada Industri
Proyek Konstruksi Konstruksi (Dewi
(Nugroho, R.H., 2006) Yustiarini, 2007)
1. Pengukuran terhadap kinerja dari supply chain yang ada dilakukan dengan
mengacu pada indikator-indikator kinerja yang telah dikembangkan.
Pemaparan proses dan hasil penelitian ini dilakukan dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab IV Studi Kasus, berisi deskripsi dari masing-masing studi kasus yang
dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini dimulai dari deskripsi proyek yang terdapat
9
di Jakarta. Proyek yang terpilih memiliki banyak pelaku supply chain yang terlibat
dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung
Bab V Analisis dan Pembahasan, memuat berisi proses analisis yang dilakukan
dalam penelitian ini. Dimulai dengan pengukuran kinerja dari masing-masing
proyek studi kasus dengan menggunakan indikator pengukuran dan melakukan
pembahasan keterkaitan kinerja supply chain masing-masing proyek dengan
konsep lean construction.
Bab VI Kesimpulan dan Saran, berisi kesimpulan dari temuan yang diperoleh
sebagai hasil dari proses penelitian, serta uraian tentang keterbatasan-keterbatasan
yang terjadi sebagai bagian dari proses pencarian jawaban yang dirasakan masih
kurang untuk mendukung kesempurnaan dalam penelitian ini, yang kemudian
akan menjadi saran terhadap arah bagi penelitian selanjutnya.
II. Bab II Studi Literatur
10
11
Dari beberapa definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa supply
chain merupakan keterlibatan jaringan organisasi dari organisasi hulu sampai hilir
yang melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang dan jasa yang bernilai
sampai pada pelanggan terakhir. Rangkaian hubungan customer-supplier tersebut
terjadi dalam suatu rentang proses perubahan material, dimulai dari tahapan
material alam hingga produk akhirnya mencapai pengguna akhir, bagaikan suatu
rangkaian mata rantai yang terhubungan secara linier. Namun bentuk supply chain
dalam konteks bisnis yang sesungguhnya memiliki bentuk yang kompleks.
Kompleksitas hubungan tersebut, terjadi karena suatu perusahaan tertentu
memiliki hubungan ke hulu dengan beberapa supplier-nya (multiple suppliers),
dan ke hilir dengan beberapa customer-nya (mutiple customers). Di dalam suatu
supply chain terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan, dirancang, dan
diimplementasikan untuk mendapatkan aliran material, informasi dan dana yang
efektif.
Supplier
Supplier
Sub
Designers
Owner
Contractor:
Supplier Sub
GC,CM,...
Supplier
• In site production dan off site production. Terjadinya produksi di dalam site
konstruksi (in site production), telah membagi dua batasan proses yang terjadi
dalam produksi konstruksi.
Pada supply chain di industri manufaktur terdapat lima komponen utama sebagai
pelakunya, yaitu supplier, manufaktur, distributor, retailer, dan customer (Indrajit,
2005), sementara itu berdasarkan beberapa model yang dikembangkan di supply
chain konstruksi, dapat disimpulkan beberapa komponen utama dalam suatu
supply chain konstruksi, yaitu:
14
Dilihat dari jenis material yang diperlukan dalam suatu proyek konstruksi
bangunan, terdiri dari material alam seperti pasir, kerikil, batu alam, dan
material hasil produksi manufaktur seperti besi beton, keramik, panel beton
precast. Dengan demikian terdapat dua jenis pelaku yang terlibat dalam aliran
material-material yang dibutuhkan dalam proyek konstruksi bangunan:
Dalam supply chain terdapat pihak yang berperan sebagai penyedia produk
(supplier) dan pelaku yang berperan sebagai pelanggan (customer). Pihak
penerima produk yang dihasilkan oleh supply chain tersebut disebut customer.
Dari sudut pandang kontraktor konstruksi maka pelaku yang berperan dalam
proses produksi di lokasi konstruksi, terlepas dengan siapa pelaku tersebut
memiliki hubungan kontrak, dapat dikelompokkan sebagai supplier. Maka
hubungan antara kontraktor dengan pelaku lain menurut pengertian supply chain
dibagi dua yaitu hubungan ke hilir yang menunjukkan hubungan kontraktor
dengan owner sebagai pelanggan (customer) dan hubungan ke hulu yang
menunjukkan hubungan kontraktor dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
produksi (contohnya supplier dan subkontraktor).
Pola umum dapat diidentifikasi sebagai pola yang terjadi dalam supply chain
kontraktor dengan tiga pola hubungan umum yang sering terjadi, yaitu:
Pola khusus - Pola Supply chain Owner. Dari pola umum tersebut terdapat pola-
pola khusus yang terjadi khususnya pada proyek konstruksi bangunan dengan
metoda kontrak terpisah, dan metoda kontrak MK profesional. Dalam hal ini pola
khusus yang terjadi disebabkan oleh adanya peran owner yang membentuk pola
khusus dalam dua kasus, yaitu:
19
Kasus 2: terjadinya hubungan langsung antara owner dengan pihak penyedia jasa
lainnya selain kontraktor, sehingga terbentuk pola hubungan yang setara dari tiga
pihak, yaitu kontraktor, subkontraktor, dan spesialis dalam pola hubungan yang
setara.
Hal ini menunjukkan meningkatnya peran pihak penyedia jasa selain kontraktoir
dalam struktur pengadaan pada proyek konstruksi bangunan, yang ternyata tidak
hanya terjadi pada spesialis saja, namun juga pada subkontraktor sehubungan
dengan besarnya volume pekerjaan yang dilakukan walaupun jenis pekerjaannya
merupakan pekerjaan dasar, yang sebelumnya berada pada tingkat organisasi ke
tiga menjadi organisasi tingkat ke 2 - setara dengan kontraktor sebagaimana
terlihat pada Gambar II.4.
Secara umum konsep lean construction mengadopsi konsep “lean” dari sistem
manufaktur. Implementasi konsep ini di industri konstruksi memerlukan banyak
penyesuaian mengingat sifat dari proyek konstruksi yang unik dan memiliki
kompleksitas yang lebih tinggi dibanding industri manufaktur.
activities). Sehingga perlu dilengkapi dengan konsep baru yang bisa lebih
memperhatikan non-value adding activities tersebut.
Konsep flow ini sangat menekankan pada usaha meminimalkan non-value adding
activities dan meningkatkan value adding activities. Tujuan utama dari konsep ini
adalah untuk mencapai lean production system dengan sesedikit atau bahkan
dengan tidak ada waste. Mengidentifikasi dan mengurangi sumber dari waste
merupakan langkah awal untuk penerapan konsep ini.
Konsep value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan
kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu,
tempat dan biaya yang telah ditentukan. Konsep ni harus mencakup seluruh aspek
dalam sistem produksi dan persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan
harus menjadi sumber utama dalam menentukan prioritas strategi dalam sistem
produksi.
Faktor utama yang harus dimiliki perusahaan agar dapat bertahan dan bersaing
adalah kemampuan mereka dalam mengikuti perkembangan yang ada, baik yang
datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) perusahaan.
Kemampuan mengikuti perkembangan inilah yang nantinya menentukan di mana
posisi dan keunggulan perusahaan tersebut dalam peta persaingan. Untuk itulah
diperlukan suatu pengukuran kinerja yang mampu mengukur prestasi perusahaan
tersebut. Menurut Romano (1989), pengukuran kinerja (performance
measurement) merupakan salah satu proses dalam sistem pengendalian
manajemen, dengan membandingkan dan mengevaluasi antara rencana yang
dibuat dan hasil yang dicapai, menganalisis penyimpangan yang terjadi dan
melakukan perbaikan.
Pengukuran kinerja adalah proses pengukuran efektifitas dan efisiensi dari suatu
tindakan (Neely et.al, 1995) sementara itu, Anthony, Banker, Kaplan, dan Young
(1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai:
Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik
adalah sebagai berikut:
25
4. Membuat suatu tinjauan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih
konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;
Selama ini pengukuran kinerja yang lazim digunakan adalah pengukuran kinerja
yang masih menekankan pada ukuran kinerja keuangan saja, sedangkan tolok
ukur yang digunakan dalam melakukan pengukuran serta evaluasi kinerja tersebut
masih menggunakan metode tradisional, yaitu melakukan Analisis Laporan
Keuangan. Saat ini hasil laporan keuangan sudah dapat dikatakan mencukupi dan
memadai untuk mewakili kondisi dan posisi perusahaan dalam persaingan.
Saat ini penekanan yang diperlukan oleh semua organisasi atau perusahaan adalah
menggunakan dengan baik semua sumber yang dimilikinya secara efektif dan
efisien. Umumnya, ukuran kinerja yang digunakan selama ini lebih berdasarkan
pada sistem manajemen keuangan (Ghalayini et al., 1996). Hasil yang diperoleh
lebih memusatkan pada data-data keuangan (seperti return on investment, return
on sales, price variances, return on asset). Penggunaan informasi di dalam
analisis keuangan kinerja organisasi atau perusahaan merupakan hal yang kritis
(Schermerhorn et al., 2000). Aspek keuangan organisasi ini biasanya dinilai
menggunakan berbagai rasio keuangan.
2. Strategi perusahaan
Sering kali ukuran kinerja tradisional yang digunakan tidak sesuai dengan
strategi perusahaan.
4. Inflexible
5. Mahal
Pada akhir tahun 1980-an, muncul beberapa literatur yang membahas ukuran
kinerja yang menekankan pada ukuran kinerja non-traditional (Sink, & Smith,
1993; Maskell,1992; Dixon, Nanni & Vollman, 1990; Hayes, Wheelwright &
Clark, 1988). Karakteristik dari ukuran kinerja modern ini sebagai berikut:
28
3. Satu ukuran kinerja belum tentu tepat untuk semua departemen atau bagian
pada suatu perusahaan.
4. Ukuran kinerja yang digunakan harus sederhana dan mudah untuk dipahami.
• Lebih sederhana, tidak rumit, dan mudah dipahami oleh semua orang;
• Untuk menciptakan proses delivery secara fisik (barang mengalir dengan lancar
dan inventory tidak terlalu tinggi)
• Melakukan stream lining information flow (adanya aliran informasi diantara
tiap channel)
• Cash flow yang baik pada setiap channel dari supply chain
30
Menurut Handfield dan Nichols, Jr. (2000) sistem pengukuran kinerja supply
chain yang efektif dapat : (1) memberikan dasar untuk memahami sistem itu, (2)
mempengaruhi perilaku seluruh sistem , dan (3) memberikan informasi mengenai
hasil kerja sistem kepada setiap unit baik yang terlibat maupun yang tidak terlibat
secara langsung di dalam supply chain. Pada akhirnya, pengukuran kinerja supply
chain yang dilakukan akan mengarah pula pada perbaikan kinerja keseluruhan.
• Sumber daya. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat efisiensi yang
setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini antara
lain total biaya, biaya distribusi, biaya produksi, biaya inventori dan lain
sebagainya.
• Keluaran. Tujuan dari kriteria ini adalah mencapai tingkat kepuasan pelanggan
yang setinggi-tingginya. Bentuk nyata yang dapat diukur dalam kriteria ini
antara lain volume produksi, jumlah penjualan, jumlah pesanan yang dapat
dipenuhi tepat waktu dan lain sebagainya.
Menurut Tucker dan Taylor (1990), ukuran kinerja terdiri dari empat komponen
yaitu satuan metrik yang digunakan (kesesuaian, efisiensi, efektivitas, biaya dan
reaksi), suatu skala (rupiah, jam), suatu rumusan (persentase a terhadap b, rata-
rata waktu antara kegagalan) dan suatu kondisi saat pengukuran dilakukan.
Ukuran kinerja adalah suatu evaluasi kuantitatif dari suatu proses atau produk.
Suatu ukuran umumnya terdiri dari suatu angka dan satuannya. Angka tersebut
menunjukkan besarnya dan satuan menunjukkan suatu arti atau maksud. Metrik
(standar penilaian seperti frekuensi, persentase dan lain sebagainya) digunakan
untuk merefleksikan perkembangan suatu produk dan untuk menentukan apakah
sesuai atau tidak dengan progres yang diharapkan.
Pengelolaan, analisis dan perbaikan supply chain menjadi hal yang penting saat
ini. Model supply chain yang ada lebih menekankan pada dua ukuran kinerja
yang berbeda (Beamon,1999) :
1. Biaya, dan
2. Kombinasi antara biaya dan kemampuan reaksi pelanggan
• Identifikasi dan hubungkan semua proses yang terlibat baik yang terjadi di
dalam maupun di luar organisasi
Chan & Li (2003) mengusulkan performance of activity (POA) yaitu model yang
digunakan untuk mengukur kinerja aktivitas yang menjadi bagian dari proses
dalam supply chain. Kinerja aktivitas diukur dalam berbagai dimensi yaitu :
Ketujuh metrik di atas memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dalam pengukuran
di lapangan. Dalam prakteknya, ongkos, waktu, kapasitas, dan produktifitas relatif
mudah diukur daripada metrik lainnya.
SCOR (Supply Chain Operation Reference) adalah suatu model acuan dari operasi
supply chain yang merupakan model berdasarkan proses yang dikeluarkan oleh
suatu lembaga profesional, Supply Chain Council (SCC). Proses reference model
merupakan konsep untuk mendapatkan suatu kerangka (framework) pengukuran
yang terintegrasi (Supply Chain Council, 2001).
Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen yaitu business
process reeingineering, benchmarking, dan process measurement ke dalam
kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga elemen tersebut memiliki
fungsi sebagai berikut :
Gambar II.7 Lima proses inti supply chain pada model SCOR
(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)
sini antara lain adalah penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan
melakukan pengetesan kualitas, mengelolan barang setengah jadi (work-in-
process), memelihara fasilitas produksi dan lain-lain.
SCOR memiliki tiga hirarki proses yang menunjukkan bahwa SCOR melakukan
dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail. Tiga level tersebut adalah :
• Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses
di atas (plan, source, make, deliver dan return).
Tabel II.3 Beberapa metrik supply chain dan benchmark kinerja model SCOR
Metrik Penjelasan
Delivery performance Persentase order terkirim sesuai jadwal
Persentase jumlah permintaan dipenuhi tanpa menunggu,
Fill rate by line item
diukur tiap jenis produk (line items)
Perfect order fulfillment Persentase order terkirim komplit dan tepat waktu
Waktu antara pelanggan memesan sampai pesanan tersebut
Order fulfillment lead time
diterima
Persentase pengeluaran untuk warranty terhadap nilai
Warranty cost as % of revenue
penjualan
Lamanya persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan
Inventory days of supply
kalau ada pasokan lebih lanjut
Waktu antara perusahaan membayar material ke supplier
Cash-to-cash cycle time dan menerima pembayaran dari pelanggan untuk produk
yang dibuat dari material tersebut
Berapa kali suatu asset bisa digunakan untuk memperoleh
Asset turns
revenue dan profit
(Sumber : SCOR Version 6.1© Supply Chain Council)
Studi tentang kinerja supply chain ini menggunakan pendekatan Meta Analysis
yakni suatu pendekatan khas yang dilakukan dengan menganalisis hasil-hasil
studi survey dan studi kasus secara terstruktur. Pendekatan ini digunakan
dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan tentang: (1) apa yang dimaksudkan
oleh berbagai literatur mengenai perbedaan tipe kinerja supply chain? (2) apa
yang dimaksud sebagai dampak dari perbedaan tipe-tipe supply chain dalam
hal kinerja supply chain?
40
Menurut studi ini, supply chain ditujukan untuk mewujudkan dampak positif
dalam kinerja supply chain berkenaan dengan hal kualitas, biaya rendah,
pengiriman, tenggang waktu, fleksibilitas, respon terhadap pesanan konsumen,
sebab pada kenyataannya hal-hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Studi ini
memfokuskan perhatiannya pada lima ukuran kinerja, yaitu pengiriman,
kualitas, biaya, harga, dan fleksibilitas. Melalui pendekatan Meta Analysis,
terindikasi bahwa pengiriman dan kualitas merupakan dua ukuran kinerja yang
paling utama dan paling sering digunakan.
Studi ini beranggapan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat yang
memberikan kewenangan bagi perusahaan atau organisasi untuk mengevaluasi
penggunaan sumber dayanya dalam rangka mencapai tujuan-tujuannya. Untuk
itu setiap perusahaan harus melakukan pengaturan dengan tepat dan kontrol
yang berkesinambungan terhadap semua aktivitas yang dilakukan, termasuk
dalam hal Supply Chain Management. Berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Aron Chibba, studi ini menekankan pengukuran kinerja supply chain atas
empat aspek. Keempat aspek beserta indikatornya, yaitu:
Studi ini bertujuan membuat suatu konsep dan memvalidasi suatu bentuk
ukuran kinerja Supply Chain Management. Untuk itu digunakan lima ukuran
kinerja Supply Chain Management, yaitu: (1) fleksibilitas supply chain; (2)
integrasi supply chain ; (3) respon pelanggan; (4) kinerja pemasok; dan (5)
kualitas kerjasama/ kemitraan. Pengumpulan data penelitian berkenaan dengan
kelima ukuran kinerja tersebut dilakukan dengan menyebarkan kuisioner
dengan responden sebanyak 196 orang.
Studi kasus ini dilakukan dengan melibatkan objek studi yang terdiri dari tiga
buah perusahaan di Brazil. Perusahaan pertama (A) adalah sebuah perusahaan
mesin, sedangkan perusahaan kedua (B) dan ketiga (C) adalah perusahaan
supplier tingkat pertama dan kedua.
- Keuntungan bagi customer yang terdiri dari kualitas produk/jasa yang lebih
baik, ketepatan waktu yang meningkat, fleksibilitas yang lebih baik dan
pertambahan nilai dihubungkan dengan Perspektif Pelanggan.
43
- Keuntungan finansial yang terdiri dari marjin laba yang lebih tinggi, cash
flow yang lebih baik, pertumbuhan penerimaan dan pengembalian aset yang
lebih tinggi dihubungkan dengan Perspektif Keuangan.
Dari keterkaitan antara kerangka kerja SCM dan BSC di atas kemudian dibuat
suatu kerangka kerja terpadu mengenai pengukuran kinerja SCM melalui
pendekatan BSC. Dalam kerangka kerja ini ditetapkan tujuan serta ukuran
untuk masing-masing perspektif sebagaimana terlihat pada Tabel II. 4 berikut.
Kerangka kerja BSC untuk pengukuran SCM yang dikemukakan oleh Brewer
dan Speh di atas menunjukkan bahwa kinerja supply chain dapat diukur atau
dinilai melalui kerangka BSC. Artinya, tingkat kinerja manajemen supply
chain dapat dinilai melalui keempat perspektif BSC. Secara akurat, Brewer dan
Speh memadukan tujuan-tujuan dan ukuran-ukuran di dalam manajemen
supply chain dengan keempat perspektif BSC beserta tujuan dan ukuran-
ukurannya.
6. Kajian Hubungan Antar Pihak yang Terlibat dalam Rantai Pasok Proyek
Konstruksi Bangunan Gedung (Ir. Reini D. Wirahadikusumah, MSCE. Ph.D.,
Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D, Ir. Muhamad Abduh, MT., Ph.D., Riset
KK-ITB 2007, Institut Teknologi Bandung)
INDIKATOR 1 :
Data Variation Order (VO)
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana
atau Change Order (CO)
kerja
J
E
N INDIKATOR 2 :
Catatan berbagai kendala
I Intensitas constraint selama pelaksanaan
yang terjadi di proyek
S pekerjaan
D
Data risalah jenis-jenis INDIKATOR 3 :
A rapat yang biasa dilakukan Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang
T di proyek terlibat
A
D
I INDIKATOR 8 :
Data Inventory
Inventory material
L
A
P Catatan keikutsertaan INDIKATOR 9 :
subkontraktor dalam Keikutsertaan subkontraktor di dalam
A
perencanaan pelaksanaan perencanaan pelaksanaan
N
G
A INDIKATOR 10 :
N Data komplain Intensitas complaints dari owner kepada
kontraktor & dari kontraktor kepada supplier
Gambar II.9 Keterkaitan antara jenis data primer eksisting di lapangan dan
indikator pengukuran
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
47
INDIKATOR 1 :
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja
CONVERSION
INDIKATOR 3 :
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan
K
O
N
INDIKATOR 5 : S
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material E
FLOW
P
L
INDIKATOR 6 : Identifikasi dan E
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan minimalisasi terhadap A
(order) dan pengiriman (deliver) aktifitas yang tidak N
memberikan tambahan
value (non-value adding
activites); Minimalisasi
C
waste O
INDIKATOR 7 : N
Intensitas kejadian reject material
S
T
R
U
INDIKATOR 8 : C
Inventory material T
I
O
N
INDIKATOR 9 :
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan
VALUE
INDIKATOR 10 :
Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor Memberikan kepuasan
& dari kontraktor kepada supplier terhadap konsumen
49
Perbedaan indikator kinerja
50
51
Secara garis besar tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara indikator-
indikator yang dikembangkan dan digunakan di industri manufaktur dengan
indikator yang dikembangkan dan dicoba untuk digunakan di industri konstruksi.
Perbedaan yang terlihat hanya pada pemakaian istilah yang digunakan karena
disesuaikan dengan istilah yang dikenal secara umum pada industri konstruksi.
Selain itu juga dicoba untuk mengembangkan suatu indikator penilaian yang tidak
hanya mengkaitkan penilaian kinerja hanya dari sisi keuangan saja sebagaimana
yang biasa dilakukan oleh pelaku-pelaku industri konstruksi selama ini.
III. Bab III Metodologi Penelitian
Metodologi adalah proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati
masalah dalam mencari jawaban. Dengan ungkapan lain metodologi adalah
pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi atau
berdasarkan perspektif teoritis yang digunakan untuk melakukan penelitian.
Perspektif teoritis adalah suatu kerangka pemikiran atau interprestasi untuk
memperoleh pemahaman terhadap data dan menghubungkan dengan situasi
lainnya. Metodologi diukur berdasarkan kemanfaatannya dan tidak dapat dinilai
apakah suatu metode benar atau salah. Metode penelitian adalah teknik-teknik
spesifik dalam penelitian. Yang jelas metode atau teknik penelitian apapun yang
digunakan, misalnya kuantitatif atau kualitatif harus sesuai dengan kerangka
pemikiran yang diasumsikan (Mulyana, 2001).
Penelitian ini dirancang sebagai studi explorasi (exploration study), dengan tujuan
untuk melakukan pengukuran kinerja supply chain pada proyek konstruksi
bangunan gedung dengan menggunakan indikator-indikator yang telah
teridentifikasi. Disamping itu, penelitian ini sifatnya kualitatif, sehingga hal ini
akan mempengaruhi semua komponen yang dilakukan dalam penelitian ini, baik
dari pendekatan yang dilakukan, jenis data yang dikumpulkan, pengembangan
alat pengumpulan data, serta proses analisis yang dilakukan dalam penelitian ini.
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan antara lain :
6. Analisis data primer dan hasil wawancara, data primer yang telah
dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan indikator-
indikator yang telah dikembangkan dalam penelitian oleh Wirahadikusumah
(2007). Sementara data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan
54
digunakan untuk memperkuat hasil analisis terhadap data primer. Karena dari
hasil wawancara ini akan diperoleh kajian yang lebih mendalam terhadap hasil
pengukuran kinerja dari masing-masing pola supply chain.
Kajian Pendahuluan
Identifikasi Permasalahan
dan
Tujuan Penelitian
Studi Literatur
Pengembangan Instrumen
Pengumpulan Data
Responden:
Project
Manager, Site
Indikator Pengumpulan Data Primer
Manager,
Pengukuran dan Wawancara Bagian Logistik,
Kinerja Supply Pelaksana
Chain Konstruksi Lapangan
Bangunan
Analisis Data Primer
Gedung
dan Hasil Wawancara
Penelitian ini dirancang berdasarkan studi kasus pada proyek konstruksi bangunan
gedung yang dilakukan oleh dua perusahaan kontraktor BUMN. Dalam upaya
menjawab pertanyaan dari permasalahan penelitian dilakukan melalui kajian
terhadap literatur-litaratur yang ada berupa telaah terhadap referensi, jurnal dari
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik di dalam maupun di
luar negeri, serta penelusuran terhadap data primer awal berupa kontrak,
subkontrak, data hasil pelaksanaan pekerjaan di lapangan serta laporan
pelaksanaan pekerjaan dari proyek yang dijadikan studi kasus. Selanjutnya
dilakukan wawancara yang komprehensif dengan pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan operasi di lapangan, antara lain site manager, project manager,
maupun divisi logistik dengan tujuan untuk menggali secara mendalam praktek-
praktek yang telah dilakukan oleh kontraktor dalam mengelola supply chain-nya.
Dengan demikian, maka penelitian yang bersifat eksploratif ini – menggali apa
yang sedang terjadi dalam praktek, sangat tepat bila dilakukan dengan pendekatan
ini. Dengan pendekatan dari beberapa studi kasus ini diharapkan dari setiap kasus
yang ada, akan memberikan informasi kinerja dari supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung berdasarkan pola supply chain yang telah teridentifikasi.
Ketersediaan Proyek
Pemilihan studi kasus yang menjadi obyek dalam penelitian ini memiliki
keterbatasan yang tidak terlepas dari ketersediaan proyek konstruksi bangunan
yang sedang dilaksanakan, hal ini terkait dengan kesediaan data lapangan yang
akan dikumpulkan. Karena kebiasaan yang berlaku pada pelaksanaan pekerjaan
suatu proyek jika keseluruhan pekerjaan telah selesai dilaksanakan maka dokumen
pelaksanaan kegiatan harian akan disimpan dalam suatu gudang penyimpanan
bahkan ada kemungkinan data-data harian tersebut tidak disimpan lagi karena
telah ada rekap data dalam bentuk laporan pelaksanaan pekerjaan. Maka akan sulit
untuk melihat data pada proyek-proyek yang telah selesai dilaksanakan.
Karakteristik Proyek
Proyek yang akan dijadikan sebagai responden penelitian dibatasi hanya pada
proyek konstruksi bangunan gedung yang dilaksanakan oleh kontraktor dengan
kualifikasi besar. Hal ini didasarkan kondisi proyek konstruksi pembangunan
gedung yang merupakan salah satu proyek konstruksi yang sangat dinamis dan
kompleks, serta melibatkan banyak pihak didalam pengelolaan proses
produksinya, sehingga sangat memerlukan adanya pengembangan suatu konsep
pengelolaan supply chain konstruksi yang bisa meningkatkan efisiensi dalam
proses produksi. Selain itu adanya asumsi bahwa kontraktor besar sudah
menerapkan konsep manajemen yang baik dalam proses produksinya, sehingga
dimasa yang akan datang bisa lebih ditingkatkan lagi untuk menuju konstruksi
ramping (lean construction).
dengan supplier material untuk beberapa material dengan volume yang cukup
besar. Selain itu pembatasan lingkup pekerjaan yang akan ditinjau dilakukan
untuk keselarasan antara satu proyek dengan proyek yang lain. Adapun lingkup
pekerjaan yang akan ditinjau adalah pekerjaan finishing arsitektur dengan item
pekerjaan yang akan diamati meliputi pekerjaan dinding, pekerjaan lantai,
pekerjaan plafond dan pekerjaan mekanikal/ elektrikal. Disamping itu juga akan
dilakukan pengamatan terhadap proses pengadaan dan pengelolaan material-
material (pengelolaan logistik) yang terkait dengan pekerjaan-pekerjaan tersebut
seperti material bata ringan, bata merah, keramik, plafond dan mekanikal/
elektrikal. Terutama dengan adanya keterlibatan owner dalam melakukan
pengadaan material-material tertentu.
Penelitian ini juga tidak terlepas dari kerangka waktu yang ada, sehingga proyek
konstruksi bangunan gedung yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai studi
kasus bagi penelitian ini adalah proyek-proyek yang terdapat di kota Jakarta saja.
Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa umumnya kantor pusat dari
kontraktor-kontraktor besar di Indonesia berdomisili di Jakarta, sehingga lebih
memudahkan urusan untuk pengumpulan data penelitian.
Disamping itu karena penelitian ini erat kaitannya dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya oleh Susilawati (2005), maka proyek konstruksi yang akan
menjadi studi kasus pada penelitian ini dibatasi hanya pada proyek konstruksi
pembangunan gedung yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan pola-pola
supply chain yang telah teridentifikasi.
1. Kontraktor X
2. Kontraktor Y
Pada tahap awal dilakukan observasi lapangan untuk memperoleh data tentang
aktifitas dan usaha-usaha yang telah dilakukan dari masing-masing pihak yang
terlibat dalam suatu proyek konstruksi bangunan gedung yang karakteristiknya
telah disesuaikan terlebih dahulu dengan pola-pola yang telah teridentifikasi dari
penelitian terdahulu (Susilawati, 2005) pada beberapa proyek yang akan dijadikan
sebagai obyek penelitian. Pengumpulan data primer dilaksanakan melalui
mekanisme pengamatan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan
dan wawancara yang komprehensif dengan project manager, site manager,
maupun divisi logistik perusahaan konstruksi yang terlibat. Wawancara ini
dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam permasalahan-permasalahan
yang tercakup dalam indikator-indikator pengukuran, seperti misalnya mengapa
permasalahan tersebut sering kali terjadi, apakah penyebabnya dan bagaimana
tindakan yang dilakukan manajemen proyek dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini pada prinsipnya melakukan
eksplorasi secara mendalam terhadap kinerja dari masing-masing pola supply
chain yang diwakili oleh proyek-proyek konstruksi bangunan gedung yang sedang
dilaksanakan oleh dua kontraktor. Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang
61
Pada akhirnya, proses analisis ini akan menuju temuan kinerja pola supply chain
yang ada sesuai dengan maksud dari proses analisis yang dilakukan. Temuan yang
diharapkan akan diperoleh berupa gambaran mengenai kinerja dari supply chain
yang baik terhadap peluang implementasi konsep lean construction.
Pada bab ini akan dipaparkan hasil pengumpulan data yang dilakukan terhadap
beberapa proyek studi kasus. Materi yang akan disampaikan meliputi metode
pengumpulan data, keterbatasan dalam pemilihan bangunan gedung sebagai studi
kasus, kendala-kendala dalam pengumpulan data, hasil pengumpulan data
gambaran umum proyek-proyek studi kasus.
62
63
pewawancara tetapi diajukan seadanya dengan cara yang hati-hati dan berteori
(Wengraf, 2001:5).
Pemilihan studi kasus yang menjadi obyek dalam penelitian ini, tidak terlepas dari
ketersediaan proyek konstruksi bangunan yang sedang dilaksanakan pada saat
dilakukannya penelitian ini. Adapun karakteristik proyek konstruksi bangunan
yang menjadi obyek penelitian ini dilakukan pada proyek yang memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi.
Pemilihan studi kasus penelitian tidak terlepas dari batas waktu penelitian yang
sudah memasuki akhir tahun dan ketersediaan proyek yang sedang dilaksanakan
dalam rentang waktu tahun 2007 dan wilayah studi kasus dipersempit hanya di
Jakarta. Dari hasil identifikasi di tingkat perusahaan, empat proyek yang dipilih
untuk dijadikan penelitian merupakan proyek yang memiliki banyak keterlibatan
pelaku supply chain dengan keahliannya yang berbeda-beda. Artinya pelaku tidak
hanya terdiri dari pemilik proyek dan kontraktor namun juga terdiri dari
subkontraktor/spesialis, dan supplier.
64
Pelaksanaan survei mulai dilakukan pada awal bulan Mei 2007 dengan
menyampaikan surat permohonan kepada beberapa perusahaan kontraktor BUMN
dan swasta nasional. Dari beberapa surat permohonan yang diajukan, terdapat
lima perusahaan yang merespon dan diterima jawaban kesediaan menjadi
responden penelitian kurang lebih 4 minggu kemudian. Hal ini dilanjutkan dengan
kunjungan ke perusahaan untuk memaparkan tujuan, maksud dan proses
penelitian yang akan dilakukan.
Pada tahap ini juga dilakukan identifikasi karakteristik proyek yang sedang
dilaksanakan oleh kontraktor berdasarkan karakteristik proyek yang akan
dijadikan responden penelitian yang telah ditetapkan. Dari kelima perusahaan
yang bersedia diperoleh tiga perusahaan yang mempunyai proyek dengan
karakteristik yang diharapkan dan pelaksanaannya sedang berjalan, yaitu
sebanyak 5 proyek dengan karakteristik proyek yang mengacu pada pola-1
jaringan SC sesuai dengan Gambar II.6 sebanyak 1 proyek, pola-2 jaringan SC
sesuai dengan Gambar II.7 sebanyak 1 proyek dan pola-4 jaringan SC sesuai
dengan Gambar II.9 sebanyak 3 proyek, ke semua proyek berlokasi di Jakarta.
• Data primer
• Data wawancara
Dari hasil suatu survey pendahuluan yang dilakukan diperoleh beberapa proyek
yang saat ini sedang ditangani oleh perusahaan, namun pola supply chain yang
terjadi pada proyek-proyek tersebut hanya mewakili 3 (tiga) dari 4 (empat) bentuk
supply chain yang ada, yaitu pola-1 supply chain sesuai dengan Gambar II.6,
pola-2 supply chain sesuai dengan Gambar II.7 dan pola-4 supply chain sesuai
dengan Gambar II.9. Pengumpulan data yang dilakukan dibatasi hanya menelaah
dokumentasi kegiatan produksi di lapangan untuk kurun waktu pelaksanaan antara
bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007, jadi tidak dilakukan pengamatan
untuk keseluruhan waktu pelaksanaan pekerjaan.
Selain itu juga mengingat pengkajian ini hanya bersifat deskriptif sehingga
diperlukan suatu kesamaaan aspek-aspek yang akan ditinjau, dengan demikian
diharapkan akan dapat dilakukan perbandingan yang linear. Pembatasan ini juga
dimaksudkan untuk menselaraskan item-item pekerjaan antara proyek yang satu
dengan proyek yang lain mengingat tidak semua proyek studi kasus sedang
berjalan pada tahapan pekerjaan yang sama. Keempat jenis pekerjaan yang akan
ditinjau adalah :
Dari proses pengumpulan data yang dilakukan terlihat bahwa untuk keperluan
penelitian ini data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang
terlibat dalam proses produksi di lapangan lebih besar kontribusinya dalam analisa
yang dilakukan jika dibandingkan dengan data primer yang dikumpulkan. Hal ini
disebabkan karena mekanisme wawancara yang dilakukan untuk memperdalam
hasil dari data primer yang telah diperoleh di lapangan.
Pada bagian ini akan dipaparkan gambaran umum dari setiap proyek studi kasus
yaitu empat proyek konstruksi bangunan gedung yang dikelola oleh dua
perusahaan kontraktor BUMN Nasional yang berlokasi di Jakarta yaitu Kontraktor
X, dan Kontraktor Y, dengan rincian sebagai berikut:
71
1. Kontraktor X
2. Kontraktor Y
Deskripsi Proyek A
Pola supply chain pada proyek A merupakan pola SC-1, di mana pada pola ini
terdapat pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor
memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan
pekerja. Selain itu ada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor baik
kepada subkontraktor untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada kontraktor
spesialis untuk jenis pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus seperti
pekerjaan mekanikal elektrikal. Dalam hal ini, umumnya subkontraktor dan
subkontraktor spesialis tersebut melakukan pengadaan material, alat dan
72
TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK
ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN
PERENCANA KONTRAKTOR X KONSTRUKSI
ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK PEK. M/E
Dalam konteks pola-1 ini, tidak teridentifikasi adanya nominated sub contractor
atau nominated supplier sebagai intervensi owner terhadap pengadaan yang
dilakukan oleh kontraktor. Sifat kontrak yang digunakan adalah lumpsum fixed
price dan dana pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara serta sistem pengadaan kontraktor dilakukan dengan pelelangan umum.
Deskripsi Proyek B
Namun berbeda dengan pola SC-1, pada pelaksanaan proyek ini teridentifikasi
adanya nominated subcontractor (NSC). Adapun alasan utama owner melakukan
praktek NSC terkait dengan ketersediaan dana, di mana nilai kontrak yang akan
diberikan kepada NSC lebih rendah daripada jika diberikan kepada kontraktor
utama. Mengingat pekerjaan yang disubkontrakkan ini juga merupakan pekerjaan
spesialis yang pasti jika diserahkan kepada kontraktor utama juga akan
disubkontrakkan ke pihak ketiga.
74
Pola supply chain pada proyek B merupakan pola SC-2, di mana pada pola ini
terdapat pekerjaan yang dilakukan sendiri oleh kontraktor sehingga kontraktor
memiliki hubungan langsung dengan penyedia material, penyedia alat, dan
pekerja. Selain itu ada pekerjaan yang disubkontrakkan oleh kontraktor baik
kepada subkontraktor untuk beberapa jenis pekerjaan dasar, dan pada
75
Sifat kontrak yang digunakan adalah lumpsum fixed price dan dana pembiayaan
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sistem pengadaan
kontraktor dilakukan dengan pelelangan umum. Pada pekerjaan yang
disubkontrakkan, pola pasokannya terjadi secara hirarkis (berantai). Pola supply
chain pada proyek B sebagaimana terlihat Gambar IV.2 berikut.
TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK
ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN
KONTRAKTOR Y
PERENCANA KONSTRUKSI
ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC PEKERJAAN IT
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK PEK. M/E PROFESIONAL
Alat bantu Alat bantu Alat bantu Alat bantu Alat bantu Material Supplied
By Owner
Soundsistem
Tenaga Kerja Material Material Material Tenaga Kerja Profesional, IT,
Karpet
Kompleksitas pekerjaan yang tinggi dengan masa kerja yang relatif singkat
menyebabkan kontraktor membagi-bagi pekerjaaan ke beberapa subkontraktor.
Adapun pekerjaan yang disubkontrakkan adalah :
▪ Pekerjaan pondasi
▪ Pekerjaan piling
▪ Pekerjaan dewatering
▪ Pekerjaan galian dan buang tanah
▪ Pekerjaan bekisting
▪ Pekerjaan anti rayap
▪ Pekerjaan arsitektur
▪ Pekerjaan floor harderner
▪ Pekerjaan mekanikal dan elektrikal
▪ Pekerjaan lift
77
▪ Pekerjaan mekanikal
▪ Pekerjaan instalasi listrik
▪ Pekerjaan STP
▪ Pekerjaan WP integral
▪ Perijinan IMB
▪ Pengadaan dan pasang listrik
▪ Pekerjaan pos jaga
Deskripsi Proyek C
Metoda kontrak yang digunakan dalam proyek ini adalah metoda kontrak terpisah,
dimana kontraktor X merupakan salah satu dari beberapa kontraktor yang
memiliki hubungan kontrak langsung dengan owner. Pola supply chain pada
proyek C merupakan pola SC-4 yang merupakan pola khusus yang terjadi
disebabkan oleh besarnya peran pemilik dalam pengadaan, dimana terjadinya
hubungan langsung antara pemilik proyek dengan pihak penyedia jasa lainnya
selain kontraktor X dan membentuk pola hubungan yang setara antara pemilik
proyek dengan pihak-pihak dibawahnya, yaitu kontraktor dan subkontraktor.
Selain itu juga terjadinya hubungan langsung pemilik proyek dengan pihak
kontraktor lain dan pihak penyedia material.
Selain itu ada bagian pekerjaan yang dikerjakan oleh kontraktor lain yang
langsung berikatan kontrak dengan owner, yaitu pekerjaan mekanikal dan
elektrikal dengan material di supplied by owner. Di samping itu juga terindikasi
adanya keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan pekerjaan (Nominated subcontractor) dan Nominated Supplier.
Pengadaan material utama pada proyek ini terutama untuk pekerjaan arsitektur
dilakukan oleh owner (supplied by owner) antara lain material keramik,
perlengkapan sanitair.
79
Pola supply chain pada proyek C sebagaimana terlihat Gambar IV.3 berikut.
TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK
ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN KONTRAKTOR
KONTRAKTOR X
PERENCANA KONSTRUKSI PEKERJAAN LAIN
ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC PEKERJAAN
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK M/E
Tenaga Kerja
Deskripsi Proyek D
Dalam hal ini owner melakukan pengadaan material-material dengan volume yang
besar serta pengadaan jasa tertentu. Pengadaan material utama pada proyek ini
terutama untuk pekerjaan arsitektur yang dilakukan oleh owner (supplied by
owner) antara lain material keramik, perlengkapan sanitair dan pintu kayu. Selain
itu ada bagian pekerjaan yang dikerjakan oleh kontraktor lain yang langsung
berikatan kontrak dengan owner. Praktek pemecahan kontrak ini dilakukan owner
terkait dengan masalah financial di mana owner menganggap dengan melakukan
praktek ini telah memperoleh penghematan. Data umum proyek disajikan pada
Tabel IV.7.
80
Metoda kontrak yang dilakukan dalam proyek ini adalah metoda kontrak terpisah,
dimana kontraktor Y merupakan salah satu dari beberapa kontraktor yang
memiliki hubungan kontrak langsung dengan owner. Besaran tanggungjawab
kontraktor Y hanya sebatas lingkup pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
Terhadap pihak-pihak lain yang terlibat dalam proyek kontraktor Y hanya
bertanggungjawab terhadap keamanan, ketertiban dan kebersihan lokasi
pekerjaan. Terhadap pemakaian segala fasilitas kontraktor Y seperti peralatan
kerja, listrik dan lain-lain oleh pihak kontraktor lain akan dikompensasikan sesuai
dengan kesepakatan bersama.
Pola supply chain pada proyek D merupakan pola SC-4 yang merupakan pola
khusus yang terjadi disebabkan oleh besarnya peran pemilik dalam pengadaan,
dimana terjadinya hubungan langsung antara pemilik proyek dengan pihak
penyedia jasa lainnya selain kontraktor Y dan membentuk pola hubungan yang
setara antara pemilik proyek dengan pihak-pihak dibawahnya, yaitu kontraktor
dan subkontraktor. Selain itu juga terjadinya hubungan langsung pemilik proyek
dengan pihak penyedia material. Pola supply chain pada proyek D sebagaimana
terlihat Gambar IV.4 berikut.
81
TINGKATAN
ORGANISASI
ORGANISASI
TINGKAT 1
PEMILIK PROYEK
ORGANISASI
TINGKAT 2 KONSULTAN KONSULTAN MANAJEMEN KONTRAKTOR
KONTRAKTOR Y
PERENCANA KONSTRUKSI PEKERJAAN LAIN
ORGANISASI
TINGKAT 3 SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR SUBKONTRAKTOR NSC Provisional Sum
(MANDOR) PEK. DINDING PEK. PLAFOND PEK. KERAMIK (Pintu Kayu)
Tenaga Kerja
Kompleksitas pekerjaan yang tinggi dengan masa kerja yang relatif singkat
menyebabkan kontraktor membagi-bagi pekerjaaan ke beberapa subkontraktor.
Adapun pekerjaan yang disubkontrakkan adalah :
▪ Bata ringan
▪ Thinbed, plester, aci
▪ Besi kolom praktis
▪ Plafond dan partisi gypsum
▪ Plafon gyptile
▪ Cat interior, eksterior, minyak
▪ Water proofing
▪ Floor harderner
▪ Kitchen sink
Rekapitulasi terhadap data umum proyek studi kasus berdasarkan paparan di atas
sebagaimana disajikan pada Tabel IV.8 berikut.
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terdapat
perbedaan karakteristik dari masing-masing proyek. Perbedaan yang terjadi
dikarenakan ketidaksetaraan dari proyek–proyek yang dijadikan sebagai
responden pada penelitian ini. Adapun perbedaan yang ada terlihat pada besaran
nilai proyek, kompleksitas pekerjaan, keterlibatan pihak dalam proses produksi
dan lain sebagainya.
V. Bab V Kajian Kinerja Supply Chain Proyek Bangunan Gedung
Kajian ini dimaksudkan untuk mencari gambaran kinerja supply chain dari
masing-masing pola supply chain yang telah teridentifikasi terhadap implementasi
dari konsep-konsep lean construction. Pengkajian dilakukan dengan mengacu
pada indikator-indikator pengukuran kinerja supply chain dan konsep lean
construction.
order − deliver , dengan rumus penilaian tersebut dirasa tidak sesuai dan tidak
akan memberikan gambaran terhadap penilaian kinerja yang diharapkan. Untuk
itu dilakukan penyesuaian terhadap rumus tersebut dengan menggunakan
# (actual lead time − exp ected lead time 0)
persamaan x 100.% Dengan menggunakan
keda tan gan material
persamaan ini diharapkan akan dapat diperoleh gambaran kinerja yang
diharapkan.
85
86
8. Inventory material
9. Keikutsertaan
subkontraktor di dalam
perencanaan pelaksanaan
10. Intensitas complaints dari
owner kepada kontraktor
& dari kontraktor kepada
supplier
Pengukuran terhadap kinerja supply chain proyek studi kasus dilakukan dengan
menggunakan 10 (sepuluh) indikator sebagaimana terlihat pada Tabel II.5.
Pengukuran dilakukan terhadap lingkup pekerjaan finishing arsitektur dengan
sub pekerjaan yang ditinjau adalah pekerjaan dinding bata ringan, pekerjaan
plafond, pekerjaan pemasangan keramik dan pekerjaan mekanikal dan
elektrikal. Terhadap pengadaan material dilakukan pengamatan terhadap material
bata ringan, bata merah, plafond, keramik dan material M/E. Waktu
87
pengambilan data di lapangan dibatasi hanya antara bulan April 2007 sampai
dengan bulan Oktober 2007. Untuk keempat proyek studi kasus hasil pengukuran
kinerja terhadap data yang diperoleh disajikan pada Tabel V.2 berikut.
Secara detail kajian yang dilakukan terhadap aktivitas supply chain pada proyek-
proyek studi kasus berdasarkan indikator-indikator sebagaimana disajikan pada
tabel di atas adalah sebagai berikut :
88
Change Order atau Variation Order adalah suatu persetujuan tertulis untuk
memodifikasi, menambah atau perubahan lain pada pekerjaan yang telah diatur
dalam kontrak pada saat pembukaan penawaran dengan catatan bahwa perubahan
tersebut masih termasuk dalam lingkup proyek awal (Fisk, 1995). Perubahan yang
dimaksud dapat berupa perubahan harga kontrak, jadwal pembayaran, jadwal
penyelesaian proyek atau perubahan pada gambar dan spesifikasi. Change order
dapat muncul karena berbagai sebab, beberapa diantaranya adalah : desain yang
cacat atau tidak lengkap, perubahan permintaan, kondisi lapangan yang tidak
diketahui, bahasa kontrak yang tidak jelas dan perintah percepatan (Gilbreath,
1992)
Dari Tabel V.2 terlihat bahwa pada keempat proyek studi kasus, sangat sering
terjadi revisi terhadap rencana kerja, baik itu proyek yang merupakan proyek
pemerintah maupun proyek milik swasta. Salah satu alasan sering terjadinya
perubahan adalah tidak sempurnanya hasil desain yang dilakukan oleh konsultan
perencana, mengingat waktu perencanaan yang sangat singkat sehingga hasil
desain tidak maksimal dan masih memerlukan penambahan dan perubahan
terhadap hasil desain yang akan dilaksanakan.
Selain itu juga ada kecenderungan yang dilakukan pemilik untuk membuat
perubahan terhadap desain yang telah ada. Hal ini semakin besar terlihat pada
proyek milik swasta dimana pihak owner terus melakukan perubahan-perubahan
dan penyesuaian terhadap desain pekerjaan sehingga sering terjadi perubahan
pekerjaan (variation order) terutama jika terkait dengan pendanaan yang ada.
Perubahan yang dilakukan oleh owner ini secara tidak langsung dapat saja
mengganggu aliran pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan, sehingga
kemungkinan terjadi keterlambatan penyelesaian proyek secara keseluruhan.
Namun sebagai konsekuensi dari perubahan ini, juga dilakukan penyesuaian
terhadap nilai pekerjaan dan waktu pelaksanaan pekerjaan.
89
Perubahan terhadap rencana kerja juga banyak terjadi pada proyek B, walaupun
karakteristik proyek ini sama dengan proyek A yaitu proyek pemerintah, namun
pemilik proyek juga melakukan banyak perubahan dan penyesuaian desain yang
semula tidak terakomodir pada tahap desain mengingat waktu desain yang sangat
singkat, sehingga dapat dikatakan proyek berjalan secara simultan dengan
penyempurnaan desain.
Sedangkan pada proyek C dan D dengan owner pihak swasta, perubahan yang
terjadi dituangkan dalam suatu berita acara yang nantinya akan dilakukan
addendum terhadap kontrak awal pekerjaan. Karena proyek swasta lebih longgar
dalam regulasinya, maka terkadang perubahan-perubahan yang terjadi tidak
dituangkan dalam suatu surat perjanjian addendum tetapi cukup dengan suatu
berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Kendala pada proyek A antara lain : banyaknya perubahan desain yang terjadi
dikarenakan perubahan peruntukan ruangan, jenis material yang digunakan,
keinginan penggunaan yang tidak terakomodir oleh konsultan perencana,
keterlambatan dari owner dalam memutuskan jenis material yang diajukan oleh
kontraktor, keterlambatan pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor.
Kendala pada proyek B antara lain : waktu pelaksanaan design sangat singkat
sehingga kontraktor menerima gambar design tidak lengkap, sebagai akibatnya
penyempurnaan design dilakukan sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan di
lapangan dan hal ini menyebabkan agak terlambatnya progres kemajuan pekerjaan
lapangan. Akibat tidak sempurnya desain maka banyak terjadi variation order
hal ini menyebabkan timbulnya masalah baru yaitu ketidaksamaan persepsi
terhadap penambahan/perubahan pekerjaan yang dikaitkan dengan waktu, dimana
91
Selama ini persepsi yang ada di pihak pemilik bahwa penambahan pekerjaan
hanya dilihat secara linear, artinya jika penambahan untuk pekerjaan tersebut
secara finansial mempunyai besaran 10 % dari nilai kontrak artinya penambahan
waktu juga akan dilinearkan sesuai dengan waktu pelaksanaan, sedangkan
penambahan pekerjaan yang dilakukan terkait dengan pemakaian material yang
harus didatangkan dari luar negeri. Untuk proses pendatangan material tersebut
dengan segala prosedurnya akan memakan waktu yang lebih lama dari nilai
finansial dan asumsi dari pihak pemilik. Selain itu terdapat pula kendala akibat
persetujuan owner terhadap usulan material dari kontraktor yang sering terlambat
diterima oleh kontraktor, juga terdapat kendala dengan produktivitas kerja dari
subkontraktor terutama terkait dengan keterlambatan kedatangan material dan
jumlah tenaga kerja yang tidak mencukupi di lapangan.
Kendala pada proyek C dan D secara umum sama, antara lain : banyaknya
perubahan terhadap desain akibat keinginan pemilik yang tidak terakomodir pada
tahap desain, perubahan peruntukan desain yang ada, keterlambatan penunjukan
nominated subcontractor dan nominated supplier, keterlambatan persetujuan
owner terhadap usulan material dari kontraktor, perubahan desain pekerjaan,
keterlambatan yang dilakukan subkontraktor dan nominated subcontractor,
keterlambatan penyelesaian pekerjaan unit defect list baik yang disebabkan oleh
pelaksanaan pekerjaan kontraktor, subkontraktor atau nominated subcontractor.
Dari hasil studi kasus diketahui bahwa penyebarluasan informasi tentang hasil
analisa kemajuan pekerjaan yang dilakukan oleh bagian engineering dilakukan
dalam rapat rutin yang dilaksanakan setiap minggu di proyek konstruksi. Selain
dalam rapat rutin tersebut, jika terjadi permasalahan yang membutuhkan analisa
yang mendalam, maka akan dilakukan analisa secara detail dan hasilnya akan
diberikan kepada semua pihak yang terkait. Hasil analisa tersebut dituangkan
dalam media kertas. Tetapi jika permasalahan tersebut bersifat signifikan dan
semua orang harus mengetahuinya, maka hasil analisa tersebut akan ditempel di
papan pengumuman.
Rapat rutin intern kontraktor terdiri dari rapat harian, rapat mingguan, dan
rapat bulanan. Rapat harian dilakukan setiap hari antara staf personil di
bagian operasi lapangan. Rapat mingguan dilakukan setiap minggu dan di
hadiri oleh staf personil di bidang engineering, operasi, dan keuangan.
Selain itu koordinasi juga dilakukan dengan surat menyurat, komunikasi lisan
melalui telepon dan memorandum.
Dari Tabel V.2 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas antara rapat rutin
mingguan ekstern yang dilakukan pada masing-masing proyek. Hal ini disebabkan
keterlibatan banyak pihak di mana tidak hanya subkontraktor akan tetapi juga
terdapat nominated subcontractor menyebabkan intensitas rapat yang diadakan
lebih banyak, karena kontraktor tidak hanya mengadakan rapat dengan pihak
subkontraktor tapi juga dengan pihak nominated subcontractor.
serta perwakilan pemilik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadinya cacat-
cacat selama masa pelaksanaan pekerjaan. Dengan demikian hasil pelaksanaan
akan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan. Sehingga keseluruhan
subkontraktor berhasil memenuhi mutu pekerjaan yang disyaratkan.
Jikapun terjadi kesalahan pada pelaksanaan maka akan dilakukan pencacatan (list
of defect) terhadap cacat-cacat yang terjadi untuk kemudian dilakukan perbaikan
secara bersamaan, namun jika cacat yang terjadi bersifat penting karena jika tidak
segera diperbaiki akan mengganggu aktifitas pekerjaan yang mengikutinya maka
akan menjadi prioritas penanganan.
Terdapat perbedaan sistem pencacatan defect antara satu proyek dengan proyek
lainnya, di mana pada proyek A dan C tidak dilakukan pencacatan secara
terstruktur, perbaikan terhadap defect dilakukan berdasarkan memo lapangan yang
merupakan hasil inspeksi antara konsultan pengawas dengan personil Quality
Control proyek. Sedangkan pada proyek B dan D pencacatan dilakukan setiap hari
untuk kemudian direkap secara mingguan dan dilakukan perbaikan.
konstruksi berkisar dari material atau jasa yang rutin hingga material atau jasa
yang membutuhkan tingkat spesialisasi yang tinggi, yang hanya dapat diberikan
oleh individu dengan pengalaman yang memadai. Dalam spektrum tersebut, maka
masing-masing material dan jasa memiliki tingkat kepentingan yang berbeda,
sehingga juga menuntut hubungan antara kontraktor dengan penyedia material
atau jasa tersebut dalam bentuk hubungan yang berbeda.
Sedangkan pada kontraktor Y, walaupun belum ada suatu divisi khusus yang
menangani masalah pengadaan, tetapi telah menerapkan sistem pengadaan
material secara terpadu juga. Di mana untuk beberapa material yang dianggap
strategis telah dilakukan perencanaan terhadap prediksi kebutuhan proyek dalam
kurun waktu tertentu, biasanya 6 (enam) bulanan, sehingga dilakukan pengadaan
secara terpadu untuk pembelian dengan volume yang besar.
Pada awal pelaksanaan pekerjaan telah dilakukan perencanaan material yang akan
digunakan yang disesuaikan dengan rencana kerja keseluruhan. Pihak supplier
dalam pengiriman material mengacu pada schedul yang telah disampaikan oleh
pihak kontraktor. Jika ternyata pekerjaan di lapangan mengalami perubahan maka
pihak kontraktor berkewajiban untuk memberitahukan pihak supplier tentang
perubahan yang terjadi.
96
Berdasarkan analisa yang dilakukan terlihat bahwa untuk proyek ini diperoleh
bahwa kinerja supplier dalam memenuhi permintaan pesanan material dari
kontraktor utama sangat baik di mana tidak pernah terjadi keterlambatan
penerimaan material di lapangan untuk pekerjaan yang langsung ditangani oleh
kontraktor utama dengan material yang pengadaannya langsung dilakukan oleh
pihak kontraktor. Hal ini dimungkinkan dengan sistem kontrak payung yang telah
diterapkan oleh perusahaan terhadap beberapa material strategis yang
pengirimannya dilakukan berdasarkan schedule yang disampaikan pada awal
pekerjaan.
Pada proyek C reject material yang terjadi disebabkan perubahan desain yang
dilakukan owner, sehingga material yang telah didatangkan ke lokasi pekerjaan
tidak sesuai dengan spesifikasi yang baru. Material tersebut kemudian
dikembalikan ke supplier untuk dilakukan pengiriman ulang sesuai dengan desain
yang baru.
Sedangkan pada proyek D reject material yang pernah dilakukan akibat kesalahan
dari supplier melakukan perhitungan pasokan materialnya sehigga terjadi
kelebihan pengiriman dari jumlah pemesanan material dari proyek.
Dengan sistem supply material yang dilakukan sesuai dengan jadwal pekerjaan
yang telah disampaikan, maka material hanya akan berada di gudang untuk
beberapa hari saja sehingga tidak terjadi inventory atau penumpukan material di
98
Namun kedua ketentuan yang telah ditetapkan pada kedua kontraktor tersebut
bukanlah merupakan suatu angka pasti yang tidak dapat dirubah. Besaran nilai
inventory di gudang juga ditentukan berdasarkan material yang akan disimpan di
gudang tersebut.
Pada proyek A, B dan C, dengan memperhatikan kondisi lalu lintas dan aktifitas
lingkungan sekitar, maka biasanya pengiriman material dilakukan pada malam
hari. Selain untuk menghindari kemacetan lalu lintas, juga adanya peraturan yang
membatasi tonase kendaraan yang dapat melalui jalan-jalan tertentu pada siang
hari. Sedangkan pada proyek D, pasokan material dilakukan pada siang hari,
mengingat lokasi proyek yang bukan berada pada daerah yang ramai.
Kesesuaian mutu antar hasil pekerjaan yang dilakukan oleh kontraktor dengan
mutu yang diharapkan oleh owner merupakan suatu hal yang sangat penting.
Ketidaksesuaian mutu ini akan menimbulkan terjadi complaint dari owner
terhadap kinerja dari kontraktor. Penanganan yang cepat terhadap komplain dari
konsumen (customer complaint) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
100
Dari hasil studi kasus di proyek konstruksi diketahui bahwa setiap kontraktor
memberikan perhatian terhadap penanganan customer complaint, hal ini terlihat
dengan adanya personil intern kontraktor yang bertugas sebagai Quality Control,
yang salah satu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses produksi agar produk
yang dihasilkan adalah produk yang berkualitas dan sesuai dengan keinginan
owner. Bahkan pada salah satu kontraktor yang menjadi studi kasus, diketahui
mempunyai suatu kebijakan dan sasaran mutu yang berkaitan dengan penanganan
customer complaint yang harus dilakukan oleh proyek konstruksi. Kebijakan
tersebut adalah semua permintaan/ keluhan pelanggan eksternal harus direspon
dalam waktu satu hari kerja.
Complaint di sini dibagi menjadi dua, yaitu complaint dari owner terhadap
kontraktor utama selaku koordinator pekerjaan, baik itu menyangkut pekerjaan
yang dilakukan oleh kontraktor utama maupun pekerjaan yang dilakukan oleh
subkontraktor yang berada dibawah koodinator kontraktor utama, dan complaint
yang disampaikan oleh kontraktor utama terhadap supplier material.
Selain itu owner juga menyampaikan complaint yang disampaikan pihak ketiga,
antara lain kebisingan akibat pekerjaan lembur yang dilakukan kontraktor pada
malam hari sehingga mengganggu ketenteraman lingkungan sekitar, kerusakan
bangunan yang berada di samping lokasi proyek akibat aktifitas pekerjaan
kontraktor, serta kebersihan dan kerapihan lingkungan kerja.
101
Mengacu pada Tabel V.2, sebagai rekapitulasi hasil pengukuran kinerja supply
chain keempat proyek studi kasus, terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan
nilai indikator kinerja supply chain dari keempat proyek studi kasus antara lain :
Perbedaan nilai indikator yang terjadi pada masing-masing proyek studi kasus
kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
Berdasarkan hasil pengumpulan data diperoleh tiga pola supply chain dari
proyek studi kasus yang mendekati pada pola supply chain yang telah ada, yaitu
pola-1 jaringan SC, pola-2 jaringan SC dan pola-4 jaringan SC, sebagaimana
terlihat pada Tabel V.3 berikut.
Pada proyek A dengan pola-1 dan proyek B pola-2, seluruh subkontraktor yang
ada berada dibawah koordinasi kontraktor utama, walaupun pada proyek B
terdapat nominated subcontractor. Hal ini akan lebih mempermudah mekanisme
yang dilakukan mengingat jalur koordinasi yang diperlukan tidak terlalu panjang
102
walaupun banyak pihak yang terlibat dalam proses operasi di lapangan dan berada
pada satu mata rantai atau pimpinan dari keseluruhan supply chain yang ada.
Sedangkan pada dua proyek yang mempunyai pola-4 dengan praktek pembagian
pekerjaan kepada pihak-pihak lain selain kontraktor utama, terdapat perbedaan
mekanisme koordinasi yang dilakukan dengan pihak nominated subcontractor
(NSC) oleh kontraktor utama. Pada proyek C, owner memberlakukan sistem
koordinasi secara sebagian terhadap lingkup tanggungjawab dari NSC, di mana
kontraktor utama hanya menerima fee koordinasi jauh lebih kecil dari besaran
nilai fee yang selama ini dilakukan oleh owner. Dengan demikian tanggungjawab
yang dibebankan pada kontraktor X selaku kontraktor utama hanya bersifat
koordinasi masalah pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Dengan tinjauan terhadap jenis pekerjaan yang sama yaitu pekerjaan arsitektur
dan pekerjaan M/E dalam periode pengamatan data untuk waktu yang sama
terlihat perbedaan nilai indikator-indikator antara proyek A, B, C dan D. Hal ini
ditenggarai terkait dengan perbedaan pola supply chain pada masing-masing
103
proyek, yaitu pola-1 untuk proyek A dengan pola kontrak umum dan tidak ada
keterlibatan owner dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat, pola-2 untuk
proyek B dengan pola kontrak umum tetapi ada keterlibatan owner dalam
menentukan pihak-pihak yang terlibat dan melakukan pengadaan beberapa
material yang dibutuhkan, serta pola-4 untuk proyek C dan D dengan pola
kontrak terpisah dan terdapatnya nominated subcontractor serta adanya hubungan
langsung antara owner dengan supplier. Dimana dengan adanya perbedaan pola
supply chain pada setiap proyek juga akan berpengaruh pada banyaknya pihak-
pihak yang akan terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan
kompleksitas proyek secara keseluruhan.
Berdasarkan Tabel IV.8 terlihat bahwa dari keempat proyek studi kasus terjadi
ketidaksetaraan yang mencolok terhadap kompleksitas proyek, baik itu dari jenis
kontrak yang digunakan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pemilik bangunan,
besaran nilai pekerjaan, luasan bangunan, lingkup pekerjaan dan jumlah pihak
yang terlibat dalam proses pelaksanaan pekerjaan, baik subkontraktor, supplier
maupun nominated subcontractor. Ketidaksetaraan ini ditenggarai akan dapat
mengakibatkan pengukuran yang dilakukan akan menghasilkan suatu
perbandingan yang tidak linear antara satu proyek dengan proyek lainnya. Sebagai
konsekuensi dari ketidaksetaraan ini maka gambaran yang diperoleh terhadap
kinerja dari masing-masing pola yang ada tidak akan dapat memberikan suatu
rekomendasi yang valid terhadap efektifitas dan efisiensi dari supply chain yang
dimaksud.
Pada pola-1 dan pola-2 terlihat kompleksitas organisasi proyek yang lebih
sederhana, walaupun banyak pihak yang terlibat, namun sistem koordinasi yang
berada di tangan kontraktor utama lebih menyederhanakan mekanisme koordinasi
yang diperlukan. Seluruh tanggung jawab yang menyangkut pelaksanaan di
lapangan baik itu metoda pelaksanaan maupun kualitas hasil pekerjaan menjadi
tanggungjawab kontraktor utama.
Pada dasarnya kompleksitas organisasi proyek dan pola supply chain ini sebagian
besar ditentukan oleh kompleksitas proyek yaitu nilai kontrak, jumlah lantai,
volume kerja, teknologi. Semakin besar proyek maka kompleksitas proyek juga
akan semakin besar dan sebagai konsekuensinya dibutuhkan tingkat koordinasi
tertentu antar pihak yang terkait.
105
Pada keempat proyek studi kasus, pengkajian yang dilakukan hanya terfokus pada
pekerjaan tertentu, yaitu pekerjaan finishing arsitektur dan M/E dengan kurun
waktu pengukuran yang telah dibatasi. Hal ini dimaksudkan untuk menselaraskan
ketersediaan data pada masing-masing proyek mengingat tahapan pelaksanaan
yang sedang dikerjakan dari keempat proyek adalah tahapan pekerjaan finishing.
Selain itu juga bertujuan untuk mengurangi pengaruh kompleksitas proyek
terhadap kinerja supply chain, terutama dalam hal kebutuhan koordinasi.
Pada awalnya diharapkan dengan adanya pembatasan terhadap lingkup kajian dan
waktu pengambilan data telah cukup untuk mewakili seluruh kegiatan proyek.
Namun ternyata dari hasil analisis yang dilakukan terlihat bahwa terdapat
beberapa kekurangan dari hasil pengukuran yang dilakukan dan hal ini mungkin
terjadi akibat hal tersebut.
Sebagai contoh, pada indikator-3 yaitu intensitas rapat koordinasi antar pihak,
pada kasus proyek A dan B data yang dapat dikumpulkan hanya berupa intensitas
rapat koordinasi umum untuk membahas semua permasalahan yang menyangkut
pelaksanaan pekerjaan pada periode waktu kajian dilakukan, bukan rapat
koordinasi yang dilakukan khusus untuk membahas pekerjaan finishing arsitektur
dan M/E saja. Berbeda dengan kasus pada proyek C dan D, di mana kontraktor
telah melakukan pemisahan terhadap dokumen-dokumen pelaksanaan di lapangan
sesuai dengan kontrak yang sedang dilakukan, begitu pula terhadap aktifitas-
aktifitas pelaksanaan di lapangan. Hal ini terkait dengan pemisahan antara kontrak
pekerjaan struktur dengan kontrak pekerjaan finishing arsitektur. Pemisahan ini
sangat mempermudah proses pengumpulan data yang dibutuhkan.
untuk melihat pengaruh pola supply chain terhadap indikator intensitas rapat
koordinasi ini.
Selain itu pada kasus proyek C, ternyata untuk batasan waktu yang telah
ditetapkan ternyata tidak terpenuhi. Data yang dikumpulkan hanya untuk kurun
waktu bulan Juli 2007 sampai degan Oktober 2007 sedangkan pada proyek lain
dilakukan untuk bulan April 2007 sampai dengan Oktober 2007. Hal ini
dikarenakan waktu dimulainya kontrak pekerjaan arsitektur adalah akhir bulan
Juni 2007. Perbedaan waktu pengambilan data secara tidak langsung akan
mempengaruhi hasil pengukuran yang dilakukan.
Dengan kata lain, proyek yang ditangani oleh pemerintah akan lebih terbuka
dengan segala perubahan yang terjadi, seperti misalnya terjadi penambahan item
pekerjaan yang semula tidak ada di kontrak, maka akan dilakukan negosiasi harga
yang baru. Kemungkinan perubahan nilai kontrak dari nilai kontrak awal sering
terjadi, selama hal tersebut masih dalam batasan maksimal 10 % dari nilai kontrak
awal.
dimilikinya. Selain itu pemilik swasta sangat terikat dengan kondisi pendanaan
yang ada sehingga kadang-kadang hasil design yang semula telah disetujui dapat
dilakukan perubahan. Di samping itu, terkait dengan strategi pemasarannya,
pemilik swasta cenderung melakukan pemecahan kontrak menjadi beberapa paket
untuk mendapatkan penghematan-penghematan dalam jangka waktu pendek tanpa
melihat efek jangka panjang yang mungkin terjadi.
Pada proyek pemerintah, jumlah revisi akan sangat diminimalkan dengan adanya
batasan rancangan harus matang sebelum dilakukan pelelangan serta batasan
pekerjaan tambah kurang. Selain itu, kinerja pemerintah akan dilihat pula pada
sejauhmana pemilik proyek mematuhi kewajiban pembayaran.
Kebijakan perusahaan
Selain itu pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat terkait dengan pola
pengelolaan yang diterapkan oleh masing-masing tim manajemen yang akan
mengelola proyek tersebut, selain kebijakan umum yang diberlakukan oleh
perusahaan. Masing-masing project manager atau kepala lapangan mempunyai
kewenangan penuh dalam mengelola proyek yang dipimpinnya dan bertindak
sebagai pimpinan dari supply chain proyek yang bersangkutan. Karena pada
suatu supply chain sangat diperlukan keberadaan seorang pimpinan sebagai fokus
dalam koordinasi dan sebagai pengambil kebijakan dalam supply chain -nya. Hal
ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari proyek secara
keseluruhan dan supply chain yang terlibat secara khusus.
Berdasarkan hasil analisis terhadap proyek studi kasus terlihat bahwa masing-
masing proyek mempunyai kebijakan sendiri dalam mengelola supply chain -nya.
Terlihat perbedaan terhadap pendekatan metoda pengelolaan yang dilakukan oleh
masing-masing pemimpin supply chain walaupun proyek tersebut berada di
bawah payung perusahaan yang sama. Dari keempat proyek studi terlihat bahwa
masing-masing tim manajemen melakukan pola pengelolaan yang berbeda. Hal
ini juga terkait dengan kemampuan dan gaya kepemimpinan dari project manager
dan kepala lapangan dalam melakukan pengelolaan pelaksanaan pekerjaan di
lapangan yang secara tidak langsung juga mempengaruhi setiap mata rantai dari
supply chain yang dibentuk. Terutama sekali terhadap kinerja dari masing-masing
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pekerjaan secara menyeluruh.
110
Mekanisme evaluasi kinerja ini merupakan mekanisme rutin yang dilakukan oleh
kontraktor, sehingga seolah-olah hanya kinerja penyedia barang dan atau jasa saja
yang dinilai. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan
kinerja dari penyedia barang dan atau jasa, yang tidak hanya datang dari
keterbatasan penyedia barang dan atau jasa itu sendiri, tapi juga dari kontraktor
111
Menurut studi yang dilakukan oleh Hinze (1993) dalam studinya mengenai
hubungan kontraktor dan subkontraktornya, terdapat kecenderungan kontraktor
untuk melakukan penundaan pembayaran, atau melakukan praktek membayar bila
sudah dibayar oleh owner (pay if paid), dimana hal ini tidak dilengkapi dengan
mekanisme akses informasi kepada pihak yang terkait, apakah pembayaran
tersebut sudah dilakukan atau belum, mengingat bahwa pihak tersebut tidak
memiliki hubungan kontrak dengan owner. Masing-masing kontraktor
mempunyai kriteria penilaian dan persyaratan kelulusan dari evaluasi yang
dilakukan. Pada akhir pelaksanaan pekerjaanya, penyedia barang atau jasa akan
mendapat rekomendasi dari kontraktor. Referensi ini akan menambah pengalaman
subkontraktor atau supplier tersebut untuk digunakan pada proses seleksi pada
proyek-proyek lainnya.
Namun jika dari proses evaluasi tersebut dinilai tidak baik, maka penyedia barang
atau jasa tersebut akan mendapat peringatan, dan harus melakukan perbaikan
kinerja berupa mengejar keterlambatan pekerjaan dari target yang sudah
ditentukan. Dalam kasus yang terjadi pada penyedia jasa pelaksanaan pekerjaan,
ketidaklulusan bisa muncul dari hasil kinerja yang tidak memenuhi syarat
sehingga harus dilakukan perbaikan-perbaikan tertentu, hingga pekerjaan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang ada.
INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan
INDIKATOR 5 :
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material CONVERSION
Kontrol dan
optimalisasi
penggunaan sumber
INDIKATOR 7 :
daya
Intensitas kejadian reject material
INDIKATOR 9 :
Keikutsertaan subkontraktor di dalam perencanaan
pelaksanaan
Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek
studi kasus terhadap konsep conversion disajikan pada Tabel V.4 berikut.
113
Tabel V.4 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep
Conversion
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2%
Kinerja supplier dalam memenuhi
5 100% 100% 100% 100%
jadwal pengiriman
7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2%
Keikutsertaan subkontraktor di dalam Tidak Tidak
9 Tidak ada Tidak ada
perencanaan pelaksanaan ada ada
Dari Tabel V.4 di atas terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara nilai kinerja proyek studi kasus untuk indikator-indikator yang mengarah
kepada pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion. Hal ini
dimungkinkan mengingat kedua kontraktor pelaksanaan merupakan perusahaan
kontraktor BUMN yang telah berpengalaman dalam menangani berbagai proyek
bangunan gedung sehingga kontraktor sangat konsisten dalam melaksanakan
prosedur pelaksanaan konstruksi di lapangan meskipun proyek tersebut memiliki
kompleksitas dan lingkungan yang berbeda. Sehingga pemahaman terhadap
pencapaian konsep produksi sebagai suatu kegiatan conversion telah menjadi
suatu pemahaman yang baik bagi kedua kontraktor.
Selain itu kedua kontraktor juga mempunyai sertifikat ISO dan sertifikat lainnya
dari pihak yang berwenang, dimana Standard Operation Procedure (SOP) yang
diterapkan di proyek konstruksi merupakan penjabaran dari sertifikat-sertifikat
yang dipunyai oleh perusahaan. SOP ini tidak hanya mengatur tentang bagaimana
pihak manajemen di proyek konstruksi mengatur dan mengendalikan proyek
konstruksi, tetapi juga mengatur tentang proses suatu pekerjaan di lapangan harus
dilakukan. Pada umumnya hal-hal yang diatur meliputi pengetesan, metode
pengerjaannya, pemasangannya dan kualitas (mutu) yang diinginkan. Jadi
standard ISO mengandung maksud bahwa seluruh pekerjaan di lapangan harus
114
dapat ditelusuri dalam bentuk record data yang dibuat secara tertib dan benar.
Terlihat bahwa kedua perusahaan sangat memahami core bisnis-nya dan telah
terselenggaranya Standard Operating Procedure (SOP) dari masing-masing
kegiatan hingga ke tingkat proyek di lapangan.
Hasil temuan pada keempat proyek studi kasus menunjukkan telah biasanya kedua
kontraktor pelaksana konstruksi dalam melaksanakan proses bisnisnya dan
pandangan produksi konstruksi sebagai proses konversi merupakan suatu hal yang
umum diterapkan di lapangan. Demikian pula dengan hubungan dalam supply
chain -nya telah mulai mendapatkan perhatian yang lebih. Hal ini terlihat di mana
pada kedua perusahaan konstruksi telah mulai menerapkan konsep partnering
sebagai salah satu usaha memperlancar arus pasokan material yang dianggap
strategis dalam proses produksi dan memperoleh hasil pekerjaan sesuai dengan
standar mutu yang telah digariskan perusahaan dengan melakukan kerjasama
dengan pihak-pihak yang telah terseleksi.
Pada kedua perusahaan kontraktor terlihat telah adanya upaya untuk melakukan
kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Kerjasama yang diterapkan akan berbeda antara satu penyedia jasa dengan
penyedia jasa lainnya. Seperti misalnya untuk supplier material yang bersifat
bahan utama dalam proyek konstruksi bangunan gedung, maka akan dilakukan
kerjasama yang bersifat strategic partnering untuk kurun waktu tertentu.
Sedangkan untuk material-material yang khusus hanya dipakai pada proyek-
proyek tertentu saja akan dilakukan bentuk kerjasama yang bersifat project
116
partnering. Namun ikatan kerjasama ini tetap mengutamakan pihak ketiga yang
telah masuk dalam daftar rekanan perusahaan.
Kuantitas barang dan atau jasa yang dibeli, yang dilakukan berdasarkan skedul
penggunaan bahan. Pembelian material dalam jumlah besar akan mempengaruhi
besaran potongan harga yang diperoleh, sehingga melakukan pembelian dalam
jumlah besar lebih menarik. Hal ini menjadi pertimbangan kontraktor dalam
melakukan pembelian untuk beberapa proyek (multiple project).
Harga, mencapai suatu kesepakatan pembelian pada harga yang tepat merupakan
tantangannya. Dalam suatu organisasi proyek hal ini memerlukan pembinaan
hubungan jangka panjang antara kontraktor sebagai pembeli (buyer) dengan
supplier sebagai penjual material. Supplier terbaik belum tentu supplier yang
memberikan harga terendah.
Supplier. Untuk mendapatkan supplier yang tepat merupakan issue yang penting
dalam konstruksi. Pengembangan proses pemilihan pemasok sudah dilakukan
antara lain oleh Syachrani (2004), yang mencoba mengembangkan model
pemilihan pemasok dalam konteks konstruksi. Kebutuhan material dalam
konstruksi yang sangat beragam, mulai dari pembelian material dengan volume
yang besar yang memungkinkan terjadinya hubungan antara kontraktor dengan
penyedia material pada tingkat produsen, hingga kebutuhan material dalam
volume yang kecil yang cukup dilakukan dengan pembelian sederhana pada
tingkat pengecer. Dengan demikian, maka metoda yang dapat dilakukan untuk
pembelian berbagai material yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi
beragam tergantung pada karakteristik materialnya. Material mana saja yang
paling berpengaruh terhadap biaya proyek, merupakan informasi yang penting
bagi manajer untuk memberikan perhatian lebih pada item-item tertentu.
Collaborative design
Dari beberapa indikator pengukuran ternyata terdapat satu indikator yang tidak
memiliki nilai karena indikator tersebut terlihat tidak aplikatif pada proyek-proyek
studi kasus, yaitu indikator-9 keikutsertaan sub-kontraktor dan supplier pada
proses perencanaan pekerjaan. Hal ini dikarenakan kontraktor belum mengetahui
konsep dan manfaat dari keikutsertaan subkontraktor dan supplier pada proses
perencanaan pekerjaan ini yang lebih dikenal dengan istilah collaborative design.
Sehingga suatu perencanaan terpadu dan antisipatif belum umum dilakukan dan
belum menjadi suatu kebutuhan serta belum dipahami kepentingannya dalam
memastikan kualitas dan kuantitas ketercapaian tujuan suatu proses produksi.
Selain itu, kontraktor dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi
suatu konstruksi harus sudah mulai menerapkan terminologi collaborative design,
yang menurut Bogus et al. (2000) tim perencana dalam suatu perencanaan proyek
harus diperluas. Sehingga pada tahap perencanaan tidak hanya terbatas hanya
tanggungjawab konsultan perencana saja, akan tertapi juga ikut terlibat kontraktor,
sub kontraktor, dan supplier material. Meskipun jika hal ini dipraktekkan di
lapangan akan menimbulkan kesulitan dalam hal, namun dengan bantuan
teknologi informasi yang lebih canggih hambatan ini dapat diatasi.
Upaya pengelolaan flow dalam pelaksanaan produksi antara lain dapat dilakukan
dengan meningkatkan sistem perencanaan dan pengendalian proyek. Mengacu
pada konsep ini terdapat beberapa indikator kinerja supply chain yang terkait
dengan usaha penciptaan aliran dalam produksi konstruksi terdapat 7 (tujuh)
indikator kinerja, yaitu intensitas perubahan/ revisi terhadap rencana kerja,
intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan, intensitas rapat koordinasi
antar pihak yang terlibat, kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman
material , waktu tenggang (lead-time) antara pemesanan (order) dan pengiriman
(deliver),intensitas kejadian reject material, dan inventory material. Keterkaitan
antara indikator dengan konsep flow disajikan pada Gambar V.4. Sedangkan
garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek studi
kasus terhadap konsep flow disajikan pada Tabel V.5.
oleh kedua kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi
pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Terutama terkait dengan kelancaran
pasokan material yang merupakan kebutuhan utama pada pelaksanaan pekerjaan
di lapangan.
INDIKATOR 1 :
Intensitas perubahan/revisi terhadap rencana kerja
INDIKATOR 2 :
Intensitas constraint selama pelaksanaan pekerjaan
INDIKATOR 3 : FLOW
Intensitas rapat koordinasi antar pihak yang terlibat
Identifikasi dan
INDIKATOR 5 : minimalisasi terhadap
Kinerja supplier dalam memenuhi jadwal pengiriman aktifitas yang tidak
material memberikan tambahan
value (non-value adding
activites); Minimalisasi
INDIKATOR 6 : waste
Waktu tenggang (lead time) antara pemesanan
(order) dan pengiriman (deliver)
INDIKATOR 7 :
Intensitas kejadian reject material
INDIKATOR 8 :
Inventory material
Gambar V.2 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep flow
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
kesalahan supplier dalam mengirim material dan perubahan jenis material yang
digunakan, di mana hal tersebut bukan merupakan kesalahan dari pihak supplier
dan tidak dapat digolongkan sebagai rejected material tetapi hanya bersifat return.
Tabel V.5 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Flow
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
1 Jumlah perubahan/revisi rencana kerja 59 kali 12 kali 48 kali 52 kali
Intensitas constraint selama
2 43 kali 8 kali 35 kali 42 kali
pelaksanaan pekerjaan
Intensitas rapat rutin mingguan
3a 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
koordinasi intern
Intensitas rapat rutin mingguan
3b 28 kali 20 kali 28 kali 56 kali
koordinasi ekstern
Intensitas rutin mingguan antara
3c manajemen di proyek dengan kantor 28 kali 20 kali 28 kali 28 kali
pusat
3d Intensitas rapat koordinasi khusus 15 kali 2 kali 4 kali 8 kali
Kinerja supplier dalam memenuhi
5 100% 100% 100% 100%
jadwal pengiriman
Waktu tenggang (lead time) antara
6 pemesanan (order) dan pengiriman 0% 0% 0% 0%
(deliver)
7 Intensitas kejadian reject material < 2% < 2% < 2% < 2%
5% -
8 Inventory material < 10 % < 10 % 5% - 10%
10%
Manajemen inventory
Selain itu kedua kontraktor juga telah melakukan optimalisasi inventory melalui
upaya pengelolaan gudang dengan suatu manajemen yang cukup baik. Setiap
kedatangan material sebelum masuk gudang akan dilakukan pemeriksaan dan
pencacatan. Begitu pula terhadap pengeluaran material dari gudang, selalu
dilakukan pencacatan. Pencacatan terhadap sisa material setiap hari dilakukan
pada akhir jam kerja, dan ini dilakukan setiap hari oleh petugas gudang.
Pada setiap akhir bulan dilakukan opname bersama terhadap ketersediaan material
dan diharapkan material yang tersimpan di gudang pada saat akhir bulan berkisar
122
antar 5% - 10% dari nilai pembelian yang dilakukan pada bulan berjalan. Hal ini
mengingat tidak adanya suatu standar yang pasti terhadap sediaan material yang
harus tersimpan di gudang mengingat karakteristik industri konstruksi yang unik.
Selain itu ketetapan tentang persediaan material ini merupakan kebijakan masing-
masing manajemen proyek, tergantung pada jenis material yang akan disimpan.
Disisi lain, kedua kontraktor juga telah melakukan upaya pengelolaan terhadap
material sisa dari pelaksanaan pekerjaan di lapangan, dimana diupayakan untuk
melakukan perhitungan kebutuhan material secara maksimal untuk meminimalkan
sisa material yang tentu saja akan merugikan perusahaan. Namun jika pun
ternyata terdapat material sisa yang tidak mungkin untuk dihindari, seperti sisa
pengecoran beton, potongan-potongan besi, keramik akan dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru.
Prinsip dasar dari semua tahapan dalam proses produksi suatu produk konstruksi
adalah penciptaan value yang sesuai keinginan konsumen (memberikan kepuasan
terhadap konsumen). Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang
merupakan kebutuhan yang harus diterima secara spesifik sesuai dengan
spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Proses penciptaan
value ini sangat didukung dengan proses conversion dan flow tersebut diatas.
Sejalan dengan penerapan konsep proses produksi sebagai suatu proses penciptaan
value dari produsen kepada customernya terlihat ada dua indikator, yaitu
intensitas defect pekerjaan dan intensitas complaints dari owner kepada
kontrakor dan dari kontraktor kepada supplier. Keterkaitan antara indikator
dengan konsep value disajikan pada Gambar V.5 berikut.
123
INDIKATOR 4 :
Intensitas defect pekerjaan VALUE
Memberikan kepuasan
INDIKATOR 10 : terhadap konsumen
Intensitas complaints dari owner kepada kontraktor
& dari kontraktor kepada supplier
Gambar V.3 Keterkaitan indikator kinerja supply chain dengan konsep value
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)
Secara garis besar hasil pengukuran kinerja supply chain masing-masing proyek
studi kasus terhadap konsep value disajikan pada Tabel V.6 berikut.
Tabel V.6 Kinerja Supply Chain Proyek Studi Kasus terhadap Konsep Value
Proyek Proyek Proyek Proyek
A C B D
No. Indikator Kontraktor X Kontraktor Y
Pola-1 Pola-4 Pola-2 Pola-4
Pemerintah Swasta Pemerintah Swasta
4 Intensitas defect pekerjaan < 2% < 2% < 2% < 2%
Intensitas complaint dari owner-
10a 15 kali 25 kali 44 kali 33 kali
kontraktor
Intensitas complaint dari kontraktor-
10b 1 kali 2 kali 2 kali 3 kali
supplier
Namun, nilai-nilai lain yang mencakup seluruh aspek dalam sistem produksi dan
persepsi konsumen terhadap value yang diinginkan seharusnya juga diidentifikasi
dari awal, diantisipasi, serta disampaikan kepada pemilik tidak mendapatkan
perhatian dengan sebagaimana mestinya dalam konsep lean construction. Hal ini
tentunya akan mengurangi tingkat kepuasan customer terhadap delivery yang
dilakukan oleh kontraktor. Kebutuhan akan identifikasi nilai-nilai yang harus
disampaikan kepada pemilik dari awal dan disepakati adalah nyata. Namun
demikian, hal ini akan sulit dilakukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas
proyek, pola supply chain yang ada, karakteristik pemilik, serta implementasi
yang simultan.
Pada proyek studi kasus terlihat bahwa tidak tercapainya value yang sesuai
dengan yang diinginkan masih sering terjadi, hal ini tercermin dari masih
banyaknya complaints yang terjadi dari pihak owner terhadap pihak kontraktor
maupun dari pihak kontraktor terhadap supplier. Namun demikian complaint yang
disampaikan bukanlah sesuatu patokan bahwa kinerja dari supply chain yang ada
tidak baik. Hal ini merupakan suatu hal yang lumrah terutama terkait dengan
karakteristik proyek konstruksi bangunan gedung yang unik dengan keterlibatan
banyak pihak dalam proses produksinya.
125
Salah satu tujuan dari penerapan konstruksi ramping adalah meminimalkan waste
(pemborosan) yang selama ini sering terjadi dalam pelaksanaan produksi di
lapangan. Adapun kategori dari waste tersebut adalah:
• Selain itu juga dilakukan upaya daur ulang dari sisa material yang digunakan
di lapangan seperti sisa dari potongan besi tulangan, dimana kontraktor
mengadakan ikatan kontrak dengan supplier yang bersangkutan untuk
melakukan daur ulang dari sisa material besi tersebut.
V.6 Rangkuman
Terkait dengan pengertian umum dari kinerja supply chain yaitu semua aktivitas
pemenuhan permintaan customer yang dinyatakan secara kuantitatif dengan
127
Sedangkan untuk implementasi dari konsep flow dan konsep value masih
memerlukan suatu pemahaman dan perhatian yang lebih baik lagi terhadap
pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Hal ini sejalan dengan hasil temuan
penelitian yang dilakukan oleh Roza, H.A. (2006), yang menyimpulkan bahwa
tingkat kesiapan kontraktor Indonesia menuju konstruksi ramping masuk pada
kategori agak kuat yang tercermin dari nilai kesiapan sebesar 81,67 %. Nilai
kesiapan ini mempunyai makna bahwa pada umumnya kontraktor besar di
Indonesia telah melakukan kegiatan pengelolaan proses produksi di proyek
konstruksi dengan cukup baik, tetapi masih lemah dari segi prinsip-prinsip
aplikatif konstruksi ramping.
Jika ditelusuri lebih dalam sampai ke aktivitas yang harus dilakukan untuk
membuat flow proses produksi menjadi lancar, maka masih terdapat banyak
kelemahan yang menyangkut record data dan pencatatan terhadap proses produksi
128
yang direncanakan, proses produksi yang dilaksanakan, hasil yang diperoleh dari
kegiatan produksi tersebut, serta pengukuran terhadap kinerja proses produksi
tersebut. Sehingga kontraktor tidak bisa dengan cepat mengetahui jika terjadi
variabilitas dalam proses produksi. Padahal jika variabilitas ini bisa dikendalikan
dan diminimalkan, maka flow proses produksi bisa menjadi lebih lancar.
Tidak adanya suatu patokan (benchmark) terhadap hasil pengukuran kinerja dari
setiap proyek studi kasus menyebabkan pembahasan yang dilakukan hanya
terbatas pada prosedur pengelolaan supply chain dan segala permasalahan yang
terkait dengan hubungan antara pihak yang terlibat dalam proses produksi di
lapangan pada setiap pola supply chain yang ada. Pembahasan yang dilakukan
terasa masih sangat dangkal untuk dapat menggambarkan kinerja dari suatu
supply chain terkait dengan implementasi konsep-konsep lean construction.
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan proses pengukuran dan kajian terhadap kinerja supply chain dari
empat proyek konstruksi bangunan sebagai studi kasus yang telah dilakukan
diperoleh kesimpulan terhadap hal-hal sebagai berikut :
1. Pengukuran dan kajian terhadap kinerja supply chain dari 4 (empat) proyek
studi kasus dilakukan hanya terbatas untuk lingkup pekerjaan finishing
arsitektur dengan lingkup waktu kajian yang terbatas yaitu hanya untuk
waktu 7 (tujuh) bulan dari waktu pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Dengan
demikian hasil pengkajian yang dilakukan tidak menggambarkan kinerja
supply chain dari keseluruhan proyek. Selain itu pengukuran yang dilakukan
tidak mencakup keseluruhan dari mata rantai supply chain proyek yang ada,
namun hanya terbatas pada hubungan antara kontraktor dengan
subkontraktor dan supplier yang dilihat dari sisi kontraktor. Jadi tidak
dilakukan eksplorasi secara mendalam terhadap keseluruhan pihak yang
terlibat dalam supply chain proyek.
129
130
4. Pemahaman arti penting dari konsep ini terlihat dengan telah dilakukannya
upaya-upaya pengelolaan conversion agar dapat meningkatkan efektifitas
pelaksanaan proses produksi di proyek konstruksi dapat berjalan dengan
baik, melalui pembentukan hubungan kerjasama jangka panjang (partnering)
dengan pihak subkontraktor dan supplier, pengadaan material-material
131
5. Selain itu juga terlihat telah ada usaha-usaha yang dilakukan oleh kedua
kontraktor dalam menerapkan konsep aliran (flow) dalam produksi pada
pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Terutama terkait dengan kelancaran
pasokan material yang merupakan kebutuhan utama pada pelaksanaan
pekerjaan di lapangan. Kedua kontraktor juga telah melakukan optimalisasi
pengelolaan inventory melalui upaya pengelolaan gudang dengan suatu
manajemen yang cukup baik dan merupakan suatu arahan kebijakan dari
perusahaan. Disisi lain, kedua kontraktor juga telah melakukan upaya
pengelolaan terhadap material sisa dari pelaksanaan pekerjaan di lapangan
sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang baru.
6. Namun jika dilihat kinerja yang terkait dengan konsep nilai (value) yang
harus disampaikan sesuai keinginan konsumen (memberikan kepuasan
terhadap konsumen), belum sepenuhnya sesuai dengan konsep value yang
sebenarnya harus disampaikan ke owner. Pemahaman kedua kontraktor
terhadap nilai yang harus disampaikan masih berupa kesesuaian antara desain
dengan hasil pekerjaan yang dilaksanakan dengan kata lain hanya
menyangkut mutu dari pekerjaan.
5. Asumsi yang digunakan pada saat pengambilan data yang dilakukan dengan
membatasi pada kurun waktu tertentu, tidak selama umur proyek, ternyata
menyebabkan tidak tergambarnya kinerja dari supply chain proyek konstruksi
bangunan gedung secara utuh, yang tergambar pada penelitian ini hanya
kinerja supply chain untuk pekerjaan finishing arsitektur saja.
VI.3 Saran
2. Agar dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam terhadap kinerja supply
chain proyek konstruksi bangunan gedung perlu dilakukan penelusuran secara
lebih dalam kepada pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses produksi
seperti subkontraktor, supplier, nominated subcontractor, bahkan pihak
owner. Sehingga akan dapat memberikan gambaran bagaimana konstribusi
dari masing-masing pihak terhadap terciptanya efektifitas dan efisiensi kinerja
dari supply chain tersebut.
3. Hasil penelitian ini belum dapat menghasilkan suatu rekomendasi yang benar-
benar solid kepada para pihak yang terlibat mengenai pola hubungan serta
bentuk kerjasama yang memberikan efektifitas dan efisiensi terhadap supply
chain secara keseluruhan. Rekomendasi yang diberikan hanya terbatas pada
proses identifikasi terhadap faktor-faktor yang perlu menjadi perhatian para
pihak dalam membangun hubungan antar pihak dan mengelola hubungan
tersebut sehingga dapat menjadi lebih baik dalam konteks pencapaian
konstruksi ramping (lean construction). Untuk itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendalam terhadap
efektifitas dan efisiensi dari supply chain proyek konstruksi bangunan gedung.
4. Untuk memperoleh gambaran kinerja supply chain dari beberapa pola yang
telah teridentifikasi perlu dilakukan penelitian secara mendalam dengan
melibatkan praktisi di konstruksi bangunan gedung yang dipadu dengan
institusi pendidikan tinggi yang akan menghasilkan suatu benchmarking yaitu
kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari perusahaan sejenis.
Sehingga akan dapat ditentukan target internal kemudian berdasarkan kinerja
best in class yang diperoleh. Penelitian yang dilakukan lebih kepada
135
1. Aravechia, Carlos H.M. dan Pires, Silvio R.I., (2000), Supply Chain
Performance Evaluation : A Case Study, University off Piracicaba, Sao
Paolo, Brazil - http://www.unimep.br
3. Brewer, Peter C dan Speh, Thomas W., (2000), Using the Balanced
Scorecard to Measure Supply Chain Performance, Journal of Business
Logistic, Vol. 21 No.1
4. Chibba, Aron dan Horte, Sven Arke, (2003), Supply Chain Performance – A
Meta Analysis, School of Business and Engineering, University of
Halmstad, Swedia - http://www.hh.se
10. Pujawan, Nyoman. I., (2005), Supply Chain Management, Penerbit Guna
Widya, Surabaya.
136
137
12. Susilawati (2005), Studi Supply Chain Konstruksi pada Proyek Konstruksi
Bangunan Gedung, Tesis Magister Manajemen dan Rekayasa Konstruksi,
Institut Teknologi Bandung
14. Vrijhoef, R., Koskela, L., (1999), Roles of Supply Chain Management In
Construction, Proceeding IGLC-7, 26-28 Juli 1999, University of
California, Berkelay, CA, USA - http://www.ce.berkeley.edu
Lampiran A
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung
No. Indikator Deskripsi
1 Intensitas perubahan/revisi Definisi : Indikator ini digunakan untuk melihat intensitas terjadinya perubahan/ revisi terhadap rencana
terhadap rencana kerja kerja kontraktor yang dibuat sebagai acuan pelaksanaan di lapangan, seperti perubahan desain sehingga
mengakibatkan terjadinya pekerjaan tambah kurang (Variation Order atau Change Order).
Objektif : Melihat intensitas terjadinya perubahan/revisi terhadap rencana kerja kontraktor (pengukuran
kualitatif). Termasuk juga mengidentifikasi penyebab terjadinya perubahan/ revisi serta dampak yang
dirasakan proyek akibat adanya perubahan/revisi tersebut (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data Variation Order atau Change Order. Dari data tersebut
akan dilihat berapa kali Variation Order atau Change Order terjadi pada suatu kurun waktu tertentu
(penilaian tidak dilakukan terhadap keseluruhan waktu siklus proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
2 Intensitas constraint selama Definisi : Constraint adalah kendala yang bisa mengganggu flow pekerjaan seperti ketersediaan
pelaksanaan pekerjaan sumberdaya, disain gambar yang belum selesai, persetujuan dari klien, belum selesainya pekerjaan yang
mendahului (downstream), dan lain-lain. Sehingga berdasarkan definisi tersebut diatas, maka indikator ini
akan digunakan untuk mengidentifikasi constraint yang terjadi selama proses penyelenggaraan proyek
konstruksi berlangsung.
139
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Objektif : Melihat jumlah/ intensitas constraint yang terjadi selama pelaksanaan satu pekerjaan tertentu
yang telah ditentukan sebelumnya (pengukuran kuantitatif). Termasuk juga identifikasi mengenai jenis
constraint yang terjadi, apa penyebabnya, permasalahan/dampak yang ditimbulkan dan solusi
penyelesaiannya (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data catatan berbagai constraint (kendala) yang terjadi di proyek.
Dari data tersebut akan dilihat berapa kali constraint terjadi pada suatu kurun waktu tertentu (penilaian
tidak dilakukan terhadap keseluruhan waktu siklus proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
3 Intensitas rapat koordinasi Definisi : Proyek konstruksi dengan karakteristiknya yang dinamis dan kompleks telah menuntut adanya
antar pihak yang terlibat struktur komunikasi yang baik, sehingga adanya pengembangan mengenai penyusunan perencanaan ke
depan dan perencanaan kerja mingguan yang terorganisir dengan baik, yang memungkinkan para pelaku
proyek berbagi informasi tentang jadwal terakhir dan konflik yang mungkin terjadi perlu dilakukan,
minimal dengan melakukan rapat koordinasi antar pihak yang terlibat secara intensif, kerena rapat ini akan
mengidentifikasi permasalahan dan mencari penyebab dan solusi untuk meningkatkan sistem produksi agar
lebih efisien.
Objektif : Melihat ada tidaknya rapat yang dilakukan antar pihak yang terlibat terkait dengan pekerjaan
(yang telah ditentukan sebelumnya) dan berapa kali (intensitas) rapat tersebut biasa dilakukan, selama
kurun waktu tertentu (pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi sifat rapat, peserta rapat serta
pengaruh yang dirasakan dengan adanya rapat terhadap kelancaran pekerjaan tersebut (pengukuran
kualitatif).
140
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data risalah jenis-jenis rapat yang biasa dilakukan oleh proyek.
Dari data tersebut akan dilihat intensitas dari masing-masing rapat rutin yang biasa dilakukan di proyek.
Penilaian akan dibatasi untuk suatu kurun waktu tertentu (tidak dilakukan terhadap waktu siklus
keseluruhan proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
4 Intensitas defect pekerjaan Definisi : Defect adalah cacat-cacat pekerjaan (ketidaksesuaian dengan instruksi kerja/spesifikasi teknis
yang telah diberikan) yang dilakukan oleh subkontraktor, sehingga diharuskan kepada subkontraktor
tersebut untuk melakukan perbaikan/ penggantian. Melalui indikator ini akan dilakukan pencatatan
intensitas terjadinya defect terkait dengan satu atau beberapa pekerjaan yang dilakukan selama proses
konstruksi berlangsung. Sehingga indikator ini juga bisa digunakan untuk mengukur kesesuaian antara
perencanaan dengan mutu pekerjaan yang dihasilkan pada pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor
sehingga gambaran sekilas tentang seberapa baik kinerja subkontraktor dalam melaksanakan pekerjaan
dapat diperoleh.
Objektif : Melihat intensitas terjadinya defect, dari sini akan terlihat apakah sudah terjadi kesesuaian antara
perencanaan dengan mutu pekerjaan yang dihasilkan pada yang dilakukan oleh subkontraktor, sehingga
bisa teridentifikasi seberapa baik kinerja subkontraktor dalam melaksanakan pekerjaan tersebut
(pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi penyebab terjadinya defect tersebut, dampak apa yang
timbul akibat terjadinya defect ini terhadap pekerjaan/ pihak lain dan solusi apa yang dilakukan untuk
menyelesaikannya (pengukuran kualitatif).
141
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data catatan hasil pengawasan yang dilakukan oleh proyek, dari
data tersebut akan dilihat berapa kali intensitas kegagalan subkontraktor dalam melalui inspeksi dan tes
yang dilakukan terhadap hasil pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion dan value.
5 Kinerja supplier dalam Definisi : Indikator ini digunakan untuk mengukur kinerja supplier dalam memenuhi permintaan yang
memenuhi jadwal pengiriman dipesan oleh proyek. Aliran material merupakan salah satu jenis aliran didalam supply chain yang harus
material dikelola dengan baik sehingga efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan suatu proyek konstruksi dapat
terus meningkat. Di dalam suatu supply chain yang baik terdapat sistem pasokan yang harus didefinisikan,
dirancang, dan diimplementasikan untuk mendapatkan aliran yang efektif dari material, informasi dan dana
pada suatu supply chain. Oleh karena itu pengukuran terhadap seberapa baik kinerja supplier dalam
memenuhi permintaan proyek perlu dilakukan karena dengan dilakukannya pengukuran tersebut diharapkan
akan didapat gambaran secara umum mengenai kelancaran aliran material di proyek yang bersangkutan.
Objektif : Mengukur seberapa baik kinerja supplier didalam memenuhi jadwal pengiriman material yang
dibuat oleh proyek. Jadi disini akan dilakukan pengamatan berapa kali intensitas terjadinya satu barang/
material tertentu tidak datang tepat waktu sesuai dengan jadwal (pengukuran kuantitatif). Termasuk juga
mengidentifikasi apa penyebab terjadinya ketidaksesuaian (jika terjadi), permasalahan/ dampak yang
timbul dari terjadinya ketidaksesuaian tersebut terhadap proyek serta solusi apa yang telah dilakukan
proyek untuk menanggulanginya (pengukuran kualitatif).
142
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Purchase Order (PO), Delivery Order (DO). Dari kedua jenis
data tersebut akan dilakukan pencatatan kapan waktu pemesanan dilakukan, kapan waktu pengiriman
dilakukan dan kapan waktu material diterima.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion dan flow.
6 Waktu tenggang (lead time) Definisi : Lead time adalah waktu tenggang untuk mendapatkan produk yang dipesan. Berdasarkan definisi
antara pemesanan (order) dan tersebut, maka indikator ini akan digunakan untuk mengukur total waktu tenggang antara material dipesan
pengiriman (deliver) dan diterima di proyek, selama proses pasokan material tersebut berlangsung. Hal yang perlu mendapat
perhatian disini adalah penyebab dari lama ataupun sebentarnya waktu tenggang itu terjadi. Oleh karena itu
selain melakukan pencatatan terhadap berapa lama waktu tenggang yang terjadi, perlu juga dilakukan
identifikasi pihak mana yang mengakibatkan (lama-sebentarnya) waktu tenggang terjadi.
Objektif : Mengukur total lead-time yang terjadi antara waktu pemesanan dan waktu pengiriman
(pengukuran kuantitatif). Termasuk juga mengidentifikasi apa penyebab terjadinya lead-time tersebut, apa
dampaknya terhadap proyek serta solusi apa yang telah dilakukan (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Jenis data yang mendukung terhadap penilaian kuantitatif untuk
indikator ini adalah Purchase Order (PO), Delivery Order (DO). Dari kedua jenis data tersebut akan
dilakukan pencatatan kapan saja dan berapa lama waktu tenggang terjadi.
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
143
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
7 Intensitas kejadian reject Definisi : Reject material adalah material/produk yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang diberikan atau
material tidak sesuai dengan yang diharapkan (material yang rusak/cacat pada saat diterima di proyek) sehingga
kemungkinan material/produk tersebut akan langsung di kembalikan atau diperbaiki sebelum diterima.
Berdasarkan definisi diatas, maka indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi intensitas terjadinya
reject terhadap suatu material yang digunakan di proyek.
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Objektif : Melihat ada tidaknya inventory yang menumpuk di gudang, mengidentifikasi apa saja jenisnya,
apa penyebab terjadinya, permasalahan/dampak apa yang timbul dan solusi seperti apa yang saat ini telah
dilakukan (pengukuran kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip flow.
9 Keikutsertaan subkontraktor Definisi : Untuk memberikan fasilitas dalam pembagian informasi disarankan untuk menggunakan sistem
di dalam perencanaan cluster (kluster), yaitu sebuah organisasi temporer terdiri atas perencana (tim desain) dan supplier untuk
pelaksanaan mendukung kolaborasi intensif antara berbagai disiplin. Hal ini juga bisa diterapkan didalam menyusun
perencanaan untuk pelaksanaan di lapangan, sehingga pihak perencana yang dimaksud di sini tidak hanya
terbatas pada kontraktor utama saja, tetapi diperluas termasuk sub kontraktor, atau bahkan supplier material
yang juga terlibat. Dengan dilakukannya perluasan, maka akan terjadi penambahan suatu koreksi terhadap
kesalahan dan pemecahan masalah yang biasanya timbul di proyek berdasarkan pengalaman masing-masing
pihak yang terkait. Selain itu dengan memberikan tanggungjawab pada para pihak yang terkait
(berkepentingan) langsung dalam proses perencanaan, maka secara tidak langsung para pihak terkait
tersebut juga telah ikut berpartisipasi dalam kelancaran keseluruhan proses produksi.
Objektif : Mengidentifikasi ada tidaknya keikutsertaan subkontraktor yang melaksanakan pekerjaan (yang
telah ditentukan sebelumnya) di dalam perencanaan, dampak apa yang dirasakan terhadap kelancaran
pelaksanaan pekerjaan tersebut (pengukuran kualitatif).
145
Tabel A.1 Susunan indikator penilaian efektifitas dan efisiensi supply chain pada proyek konstruksi bangunan gedung (lanjutan)
No. Indikator Deskripsi
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip conversion.
10 Intensitas complaints dari Definisi : Value merupakan nilai yang ditentukan oleh konsumen yang merupakan kebutuhan yang harus
owner kepada kontraktor & diterima secara spesifik sesuai dengan spesifikasi, waktu, tempat dan biaya yang telah ditentukan. Tidak
dari kontraktor kepada tercapainya value yang sesuai dengan yang diinginkan seringkali terjadi pada proyek konstruksi yang masih
supplier menggunakan sistem manajemen konstruksi tradisional didalam sistem koordinasinya. Hal ini tercermin
dari banyaknya complaints yang terjadi dari pihak owner terhadap pihak kontraktor maupun dari pihak
kontraktor terhadap supplier. Indikator ini dikembangkan untuk mengidentifikasi ada tidaknya complaints
dari owner terhadap pihak kontraktor, maupun dari kontraktor terhadap suppliernya, berkaitan dengan hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukannya.
Objektif : Melihat ada tidaknya dan berapa kali komplain dari owner terhadap pihak kontraktor dan pihak
kontraktor terhadap supplier terjadi (pengukuran kuantitatif). Termasuk mengidentifikasi apa penyebab
terjadinya komplain & solusi apa yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari komplain tersebut (pengukuran
kualitatif).
Jenis data untuk penilaian kuantitatif : Data complaints dari owner terhadap pihak kontraktor yang
terjadi maupun dari kontraktor terhadap suppliernya, dari data tersebut kemudian bisa diketahui berapa kali
intensitas masing-masing komplain tersebut terjadi. Penilaian akan dibatasi untuk suatu kurun waktu
tertentu (tidak dilakukan terhadap waktu siklus keseluruhan proyek).
Jenis data untuk penilaian kualitatif : Hasil wawancara terpadu dengan pihak-pihak terlibat di proyek
yang menjadi studi kasus (site manager, project manager, maupun divisi logistik) yang lingkupnya terkait
dengan objektif dari indikator ini.
Keterkaitan dengan lean construction : Mendukung terhadap prinsip value.
(Sumber : Wirahadikusumah, 2007)