Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada awal sejarah filsafat Yunani Sokrates, Plato, dan Aristoteles
telah meletakan dasar bagi etika dikembangan terus dalam bentuk murni di
zaman modern. Adapun dalam Ilmu pengetahuan berupaya mengungkapkan
realitas sebagaimana adanya, etika dan moral pada dasarnya adalah
petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan
berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji
dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dipandang dari sudut filsafat, Ilmu pengetahuan adalah produk dari
epistemologi yang dewasa ini ilmu sudah berada diambang kemajuan yang
mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Ilmu bukan
lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-
masalah moral namun dalam perspektif atau pandangan yang berbeda.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana hakikat etika dan moral
2. Bagaimana hakikat moral dengan ilmu pengetahuan
3. Apa saja aspek dan sifat Moral dalam Ilmu Pengetahuan
4. Apa saja Dampak Modernisasi Dan Globalisasi Terhadap Etika
Dan Moral.
5. Apa Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Moral Dan
Etika
.

1
C. Tujuan
Sebagaimana rumusan masalah diatas bahwa tujuan penulisan makalah
ini untuk mengetahui :
1. Hakikat etika dan moral.
2. Hakikat etika dan moral dengan ilmu pengetahuan.
3. Untuk Mengetahui Apa saja aspek dan sifat Moral dalam Ilmu
Pengetahuan.
4. Untuk mengetahui dampak modernisasi dan globalisasi terhadap
etika, dan moral.
5. Untuk mengetahui faktor yang Menyebabkan terjadinya Perubahan
Moral dan Etika.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Etika dan Moral


Menurut K. Bertens (2001), dalam filsafat Yunani etika dipakai untuk
menunjukan filsafat moral seperti yang acap ditemukan dalam konsep filsuf besar
Aristoteles. Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan. Dengan memakai istilan modern, dapat dikatakan juga bahwa
membahas tentang konvensi sosial yang ditemukan dalam masyarakat.
Adapun penjelasan mengenai moral itu sendiri menurut K. Bertens (2011),
secara etimologis kata moral sama dengan etika, meskipun kata asalnya beda. Pada
tataran lain, jika kata moral dipakai sebagai kata sifatnya artinya sama dengan etis,
jika dipakai sebagai kata benda artinya sama dengan etika. Moral yaitu nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Ada lagi istilah moralitas yang mempunyai arti
sama dengan norma (dari sifat Latin moralis), artinya suatu perbuatan atau baik
buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata
mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya tata cara atau adat
istiadat.
Sementara Wila Huky dalam Bambang Daroeso, merumuskan pengertian
moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya sebagai berikut:
1. Moral sebagai perangkat ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral itu ajaran laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama
tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran,
bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik, sesuai dengan nilai
dan norma yang berlaku dalam lingkungannya.

B. Hakikat Etika dan Moral Dengan Ilmu Pengetahuan


Ilmu dalam bahasa Yunani yaitu scientia, atau dalam bahasa Arab dari kata
“ilm”. Ilmu atau sains adalah pengkajian sejumlah pernyataan yang terbukti dengan
3
fakta dan ditinjau yang disusun secara sistematis dan terbentuk menjadi hukum an
Ilmu akan melahirkan kaidah umum yang dapat diterima oleh semua pihak.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral
persoalan. Etika itu sejajar artinya dengan moral karena etika keilmuan merupakan
etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung
jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan
etika keilmuan yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk ke dalam
perilaku keilmuannya. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu
kepada “elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab
nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu
penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku
manusia.
Dibidang ilmu dan moral tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang
dikembangkan. Bahwa ilmu tersebut harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar,
bukan untuk merusak umat manusia. Moral hanya merupakan sebagian dari
kebudayaan, bahwa kebudayaan itu berkembang karena pengetahuan manusia dan
pengetahuan itu sendiri berkembang karena kebudayaan manusia.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad manusia untuk
menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan dengan nilai-
nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa perkembangannya, ilmu sering
kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini oleh masyarakat. Oleh karena itu,
sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang dianggap gila atau bahkan dihukum
mati oleh penguasa pada saat itu, seperti Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss
dan Galileo Galilei.
Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo de Groot (Grotius)
orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang berasal dari
pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut : Pertama, pada
dasarnya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia,
Kedua, manusia mempunyai “appetitus societies” yang dimaknai hasrat
kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia
mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan orang lain, golongan, dan
masyarakat.11 Ada empat macam hidup dalam masyarakat menurut teori hukum
kodrat ; Abstinentia alieni (hindarkan diri dri milik orang lain), Ablagatio
4
implendorum promissorum (penuhilah janji), Dammi culpa dati reparation (bayarlah
kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri) dan, Poenae inter humanies meratum
(berilah hukum yang setimpal).

5
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang suatu konsep negara hukum yang
semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan
pada tiga tolok ukur atau unsur utama dalam teori hukum, yaitu :
1. Supremasi hukum atau supremacy of low.
2. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.
3. Konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based
on individual rights.
Menurut Aristoteles, negara hukum itu berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang
baik. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia yang
sebenarnya melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan.
Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan
perlindungan hukum harus senantiasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah berangkat dari hak-
hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak ekonomi pencipta
terhadap karya yang telah diciptakannya.

Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah dijabarkan dan


diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan sistem kenegaraan. Terlebih
ditengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini, semua
orang bebas mengembangkan atau menikmati teknologi dengan tanpa
memeprhatikan etika moral keilmuan, dan hanya mengedepankan aspek atau
financial, atau untuk kepentingan pribadi saja. Jadi, etika moral harus mengikat para
pihak, baik ilmuwan, pemakai atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia
industri yang menghasilkan produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat
penting, karena ilmu pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan
manusia, bukan justru untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban,
dan kehidupan manusia.

2
C. ASPEK DAN SIFAT MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
1. Moralitas Versus legalitas dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant dalam Tjahjadi (1991), filsafat Yunani dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu fisika, etika, dan logika. Logika bersifat apriori,
maksudnya tidak membutuhkan pengalaman empiris. Logika sibuk dengan
pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan hukum pemikiran universal. Fisika, di
samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris atau aposteriori, sebab
sibuk dengan hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman.
Demikian pula halnya dengan etika, di samping memiliki unsur apriori juga
memiliki unsur empiris, sebab sibuk dengan hukum tindakan manusia yang dapat
diketahui darn pengalaman. Tindakan manusia dapat kita tangkap melalui indra
kita, akan tetapi prinsip yang mendasari tindakan itu tidak dapat kita tangkap
dengan indra kita. Menurut Kant, filsafat moral atau etika yang murni justru yang
bersifat apriori itu. Etika apriori ini disebut metafisika kesusilaan.

2. Moralitas Objektivistik Versus Relativistik dalam Ilmu Pengetahuan


Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992), timbulnya perbedaan pandangan
tentang sifat moral sebagaimana dikemukakan itu tak terlepas dari sejarah
perkembangan intelektual Barat yang dibagi dalam tiga periode, yaitu zaman Abad
Klasik, Abad Pertengahan, dan Abad Modern. Sejarah ide dunia Barat dimulai
sejak zaman Yunani Kuno sekitar abad ke-5 SM, dengan ahli pikirnya yang sangat
terkenal, yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ketiga pemikir terbesar Abad
Klasik ini berpandangan bahwa prinsip moral itu bersifat objektivistik, naturalistik,
dan rasional. Maksudnya, meskipun bersifat objektif sebagaimana yang telah
dikemukakan, akan tetapi moral itu merupakan bagian dari kehidupan duniawi
(natural) dan dapat dipahami melalui proses penalaran atau penggunaan akal budi
(rasional).

3. Sifat Moral dalam Perspektif Objektivistik Versus Relativistik


Pembicaraan tentang moral seperti yang telah dikemukakan terdapat
perbedaan pandangan yang menyangkut pertanyaan, apakah moral itu sifatnya
objektivistik atau relativistik? Pertanyaan yang hampir objektivistik, baik dan
3
buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu perilaku yang dianggap baik akan
tetap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik. Senada dengan
pandangan objektivistik, yaitu pandangan absolut yang menganggap bahwa baik
dan buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan tanpa syarat.

D. Dampak Modernisasi dan Globalisasi Terhadap Etika Dan Moral.


Modernisasi dan globalisasi dapat memperngaruhi sikap masyarakat dalam
bentuk positif maupun negative sebagai berikut :
1) Sikap positif
a. Penerimaan secara terbuka (open minded),lebih dinamis, tidak terbelenggu
hal-hal lama yang bersikap kolot.
b. Mengembangkan sikap antisipatif dan selektif kepekaan dalam menilai hal-
hal yang akan terjadi.

2) Sikap Negatif
a. Menjadi tertutup.
b. Masyarakat yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan
masyarakat yang ada.
c. Acuh tah acuh.
d. masyarakat awam yang kurang memahami arti strategis modernisasi dan
globalisasi.
e. Kurang selektif dalam menyikapi perubahan modernisasi.
f. Dengan menerima setiap bentuk hal-hal baru tanpa adanya seleksi.

E. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Perubahan Etika Dan Moral


Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Perubaha Moral dan Etika, yaitu:
1. Longgarnya pegangan terhadap Agama.
Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat
dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak,
kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan -
suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada
ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya.
4
Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya
adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya.

2. Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah
maupun masyarakat.
Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan
menurut semsetinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga
misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan
dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana
yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku
dalam lingkungannya.

3. Dasarnya harus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis.


Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar
tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi
mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom
dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal
yang dapat merusak moral.
Namun, gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang
semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak
mengindahkan nilai-nilai agama. nTimbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan
dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan
melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-
prtunjukan dan sebagainya.

4. Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.


Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi,
sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan
yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang
demikian semaikin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang
semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-
cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum
adanya tanda-tanda untuk hilang.
5
BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian makalah diatas dapat disimpulkan bahwa etika dan moral dalam ilmu
pengetahuan merupakan komponen dalam kajian disiplin pengetahuan yang integral-
holistik dan antar variabel etika-moral-ilmu pengetahuan memiliki peran dan batasan-
batasan fungsi sentral kontrol yang saling mendukung dan disisi lain sebagai barometer
layaknya etika memiliki pandangan etis, moral memilkiki pandangan baik-buruk, dan
ilmu pengetahuan subjektif-objektif.

6
DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 1993. Etika, Seri Filsafat Atmajaya 15, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
, 2001. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Daroeso, Bambang, 1986, Dasar dan Konsep Pendidikan Moral Pancasila. Semarang :
Aneka Ilmu.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Pusat Bahasa.
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, Jakarta: Prenada
Media Group.
Manuputy, et.al. Alma. 2008. Hukum Internasional, Makassar.
Suriasumantri, Jujun S. 2000. Etika dan Budaya MelayuSebuah Pengantar
Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
, 2009, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, 2007. Etika dan Budaya Melayudan Metodologi
Penelitian, Yogyakarta: Andi.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Widjaja, AW. 1985, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta:
Era Swasta.
Yunus, Didi Nazmi. 1992. Konsepsi Negara Hukum. Padang : Angkasa R

Anda mungkin juga menyukai