Anda di halaman 1dari 15

1.1.

Latar Belakang
Betapa pentingnya keselamatan pelayaran bagi para pihak yang bersangkutan dengan
pengangkutan di laut terutama bagi para pemakai jasa angkutan sudah tidak dapat disangkal
lagi. Telah menjadi prinsip umum bahwa setiap orang yang mengirim barang atau
penumpang kapal sebagaimana menghendaki terjaminnya keselamatan jiwa dan barang itu
sejak saat pemberangkatannya sampai di tempat tujuan. Untuk maksud itulah maka kapal
sebagai alat angkutan tersebut terjamin “ layak laut “- nya ( sea worhness ), sehingga
penyelenggaraan pengangkutan itu dapat terlaksana dengan tertib, aman dan sempurna.

Tentang layak laut-nya kapal itu hanyalah merupakan salah satu faktor saja bagi
terjaminnya keselamatan pelayaran, sebab masih ada faktor – faktor lain yang dapat
mempengaruhi keselamatan pelayaran, antara lain: diisyaratkannya kemampuan dan
kebijaksanaan nahkoda sebagai pemimpin kapal atau bidang teknis – nautis serta adanya
pengetahuan dan keahlian dari perwira kapal serta kepandaian yang cukup dari anak buah
kapal tersebut dalam melakukan tugasnya. Hal ini sehubungan dengan adanya suatu pendapat
yang mengatakan bahwa apabila kapal telah berada dilautan merupakan suatu masalah
tersendiri dan disinilah kedudukan nahkoda memegang peranan yang sangat penting dan
menentukan.

Dengan alasan inilah pemerintah perlu mengadakan usaha – usaha yang diperlukan
guna mengatur terjaminnya keselamatan pelayaran bagi para penumpang dan barang yang
diselenggarakan dengan menggunakan kapal itu.Disini tampak bahwa kapal yang digunakan
pelayaran di laut itu hanya dilengkapi dengan segala alat-alat perlengkapan yang diperlukan,
terutama tentang teknik-konstruksi kapal tersebut.

Meskipun nahkoda telah memenuhi persyaratan dalam memimpin kapal baik


mengenai kemampuan dan keahliannya, tapi kalau kapal yang dipimpinnya itu belum cukup
diperlengkapi dan belum cukup diawaki.Sudah barang tentu tentang keselamatan itu belum
terjamin.maka sebelum kapal digunakan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian tentang”
layak – laut “kapal tersebut.

Untuk itu menjamin kelayak lautan nahkoda harus memperhatikan ketentuan yang ada
mengenai “layak laut”(sea worthnees ).
Mengenai layak laut kapal ini KUHD dalam pasal 459 menentukan :

1
“Pengguna penyediaan kapal (pencarter kapal ) berwenang untuk menyuruh
memeriksa kapal oleh seorang ahli atas biayanya sebelum mempergunakan menurut
ketentuan yang terdapat dalam carter partai”
A. PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PELAYARAN
1. Perusahaan Pelayaran
Pengertian Perusahaan Perkapalan terdapat dalam pasal 323 sampai 340f
KUHD, ada 24 buah pasal. Perusahaan Pelayaran (Rederij) adalah suatu badan yang
menjalankan perusahaan dengan cara mengoperasikan kapal atau usaha lain yang erat
hubungannya dengan kapal. (H.M.N Purwosutjipto,2000: 80).
a). Syarat Perusahaan Pelayaran
Dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1969 tentang
Perhubungan laut yang berisi ketentuan mengenai perusahaan pelayaran harus memenuhi
syarat-syarat:
1. a). merupakan perusahaan pelayaran milik negara.
b). merupakan perusahaan milik pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
c). merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas.
2. Memiliki satuan-satuan kapal lebih dari satu unit dengan jumlah minimal 3.000
m3 isi kotor dengan memperhatikan syarat-syarat teknis/nautus perhitungan untung
rugi.
3. Tersedianya modal kerja yang cukup untuk kelancaran usaha
4. Melaksanakan kebijaksanaan angkutan laut nusantara

Bila persyaratan sebagaimana tersebut diatas sudah dipenuhi, maka perusahaan


pelayaran dikenai kewajiban-kewajiban antara lain:
a. Melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam surat perjanjian.
b. Mengumumkan kepada umum mengenai peraturan perjanjian kapal, tarif dan syarat-
syarat pengangkutan.
c. Menerima pengangkutan penumpang, barang, hewan, dan pos satu dan yang lain sesuai
dengan persyaratan teknis kapal.
d. Memberikan prioritas kepada pengangkutan barang-barang sandang pangan lain
sesuai dengan persyaratan teknis bahan- bahan industri dan eksport.

2
e. Memberitahukan kepada pejabat yang ditunjuk oleh menteri Perhubungan, tarif
pengangkutan yang dipergunakan, manifest dan keanggotaan Conference atau bentuk
kerjasama lainnya. Dan lain-lain. (Djoko Triyanto, 2005:30-31).
b). Jenis-jenis Pelayaran
Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, jenis-jenis pelayaran
dibagi dalam 3 kelompok, antara lain:
(1). Pelayaran dalam negeri
a. Pelayaran nusantara, yaitu pelayaran antar pulau antar pelabuhan Indonesia tanpa
memandang jurusan.
b. Pelayaran lokal atau pelayaran jurusan tetap, yaitu bertugas menunjang kegiatan
pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri, dengan menggunakan kapal-kapal di
bawah tonase
175 BRT.
c. Pelayaran rakyat, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu layar
tradisional
d. Pelayaran penundaan laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkang-
tongkang yang ditarik oleh kapal- kapal tunda (tugboat).
(2). Pelayaran luar negeri
a. Pelayaran samudra dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhan- pelabuhan negara
tetangga yang tidak lebih dari 3000 mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia
(tanpa memandang jurusan).
b. Pelayaran samudra, yaitu pelayaran dari dan ke luar negeri yang bukan pelayaran
samudra dekat.
(3). Pelayaran khusus
yaitu merupakan pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan kapal-kapal
pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil- hasil
usaha lainnya yang bersifat khusus. Misalnya: minyak bumi, batu bara.
2. Nahkoda
Ketentuan Pasal 341 dan Pasal 377 KUHD menyebutkan bahwa nahkoda adalah
Pemimpin kapal, yaitu seorang tenaga kerja yang telah menandatangani perjanjian kerja
laut dengan perusahaan pelayaran sebagai nahkoda, yang memenuhi syarat dan
tercantum dalam sijil anak buah kapal sebagai nahkoda ditandatangani
dengan mutasi dari perusahaan dan pencantuman namanya dalam surat laut.

3
(Djoko Triyanto, 2005:32). Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari diatas kapal
mempunyai jabatan penting:
1). Nahkoda sebagai Pemimpin kapal
Tugasnya selaku pemimpin kapal, mengandung arti nahkoda merupakan pemimpin
tertinggi dalam mengelola, melayarkan dan mengarahkan kapal tersebut. Demikian pula,
setiap anak buah kapal akan turun ke darat bila kapal sedang berlabuh, maka ia harus
meminta ijin lebih dahulu kepada nahkoda, dan jika ijin tersebut ditolaknya, maka
nahkoda harus menulis dalam buku harian kapal dengan alasan yang cukup
sebagaimana ditentukan pada pasal 385 KUHD. Selain itu nahkoda harus melayarkan
kapalnya dari suatu tempat ke tempat lain dengan aman, tepat waktu, praktis, dan
selamat.
2). Nahkoda sebagai pemegang kewibawaan umum
a. kewibawaan terhadap semua pelayar, artinya : semua orang yang berada di kapal,
wajib menuruti perintah- perintah nahkoda guna kepentingan keselamatan atau
ketertiban umum.
b. kewibawaan disiplin terhadap anak buah kapal, artinya : para awak kapal berada
dibawah perintah nahkoda.
3). Nahkoda sebagai jaksa atau abdi hukum
Di tengah laut nahkoda wajib menyelidiki atau mengusut kejahatan yang terjadi di
dalam kapalnya :
a. mengumpulkan bahan-bahan mengenai peristiwa yang terjadi.
b. menyita barang-barang yang dipakai dalam peristiwa itu
c. mendengar para tertuduh dan saksi dan membuat berita acara keterangannya.
d. mengambil tindakan terhadap tertuduh, menurut kebutuhan. Misal: mengasingkannya
( menutup ) di dalam kamar tutupan.
e. menyerahkan tertuduh dengan bahan-bahannya kepada Pengadilan negeri di
pelabuhan
pertama yang disinggahi. Nahkoda wajib pula mencatat peristiwanya dan tindakan-
tindakan yang telah diambilnya di dalam daftar hukuman. (Djoko Triyono, 2005:34)
4). Nahkoda sebagai pegawai catatan sipil
Apabila selama dalam pelayaran ada seseorang anak lahir atau seseorang meninggal
di kapal, nahkoda harus membuatkan akta- akta pencatatan sipil yang bersangkutan di dalam
buku harian kapal.
a. Pada kelahiran

4
Apabila ada seorang meninggal dunia di kapal, nahkoda harus membuat akta kematian
juga dalam waktu 24 jam dengan dihadiri pula oleh dua orang saksi. Sebab-sebab
kematian tidak boleh disebut dalam akta itu, tetapi nahkoda wajib mencatat di
dalam buku hariannya. Jika ada seseorang yang jatuh di laut maka nahkoda tidak
selalu membuat akta kematian, berhubungan dengan kemungkinan si korban akan
mencapai kapal lain atau daratan. Dalam hal sebaliknya, nahkoda harus membuat akta
tersebut serta menyebutkannya dengan jelas di dalam buku harian kapal, mengenai tempat
dimana kecelakaan itu terjadi, keadaan cuaca, berapa lama telah dicari, ada kapal lain di
dekatnya, dan sebagainya.
5). Nahkoda sebagai notaris
Dalam pasal 947, 950 dan 952 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
menyebutkan bahwa, bilamana nahkoda dapat bertindak sebagai notaris dalam pembuatan
surat wasiat seseorang di atas kapal. Surat warisan itu kemudian ditandatangani oleh
pewaris yang ada, nahkoda dan dua orang saksi.
Pembuatan surat wasiat tersebut didasarkan atas keadaan yang tidak
dimungkinkan si pewaris menemui pejabat yang berwenang.
Surat wasiat hanyalah berlaku sementara waktu saja, sebab apabila si pewaris itu
meninggal dunia lebih dari 6 bulan setelah pembuatan surat wasiat itu, maka surat itu
tidak berlaku lagi.
3. Pengusaha Kapal
Pengusaha kapal (Reder) adalah seseorang yang mengusahakan kapal untuk
pelayaran di laut dengan melakukan sendiri pelayaran itu, ataupun menyuruh
melakukannya oleh seorang nahkoda yang bekerja
padanya. (Pasal 320 Kitab Undang-undang Hukum Dagang). Pada lazimnya
seorang pengusaha dalam menjalankan usahanya mempunyai tujuan untuk mencari
keuntungan yang sebesar-besarnnya dengan biaya dan tenaga atau modal yang sekecil-
kecilnya. Dalam praktik sering terjadi pemilik kapal menyewakan kapalnya pada orang
lain yang akan bertindak sebagai pengusaha kapal, atau dapat juga menjalankan sendiri
kapalnya dan ia bertindak sebagai nahkoda.

4. Awak kapal atau anak buah kapal (ABK)

5
Anak buah kapal adalah semua orang yang berada dan bekerja di kapal kecuali
nahkoda, baik sebagai perwira , bawahan (kelasi) atau supercargo yang tercantum
dalam sijil anak buah kapal dan telah menandatangani perjanjian kerja laut dengan
perusahaan pelayaran.
Adapun syarat-syarat wajib yang harus dipenuhi untuk dapat bekerja sebagai
anak buah kapal sesuai dengan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000
tentang Kepelautan, antara lain:
1). Memiliki sertifikat keahlian pelaut dan/ atau sertifikat keterampilan pelaut.
2). Berumur sekurang-kurangnya 18 tahun
3). Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan yang khusus
dilakukan untuk itu.
4). Disijl
B. HAK DAN KEWAJIBAN ANAK BUAH KAPAL
1. Hak – hak Anak Buah Kapal
Pada dasarnya hak-hak anak buah kapal, baik itu nahkoda, kelasi adalah sama,
walaupun ada perbedaan sedikit namun tidak begitu berarti. Hak disebutkan dalam pasal 18
ayat 3 Peraturan Pemerintah No.7 tahun
2000 tentang Kepelautan antara lain:
a). Hak atas Upah
Besarnya upah yang diperoleh anak buah kapal didasarkan atas perjanjian kerja
laut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun
2000 tentang Kepelautan, dan tidak bertentangan dengan Peraturan gaji pelaut.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), (2), PP No.7 tahun 2000, Upah tersebut
didasarkan atas:
a. 8 jam kerja setiap hari b. 44 jam perminggu
b. Istirahat sedikitnya 10 jam dalam jangka waktu 24 jam d. Libur sehari setiap minggu
c. Ditambah hari–hari libur resmi
Ketentuan di atas tidak berlaku bagi pelaut muda, artinya mereka berumur antara
16 tahun sampai 18 tahun tidak boleh bekerja melebihi 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu serta tidak boleh dipekerjakan pada waktu istirahat, kecuali dalam pelaksanaan
tugas darurat demi keselamatan berlayar. Dalam perjanjian kerja laut upah
yang dimaksud tidak termasuk tunjangan atas upah lembur atau

6
premi sebagaimana diatur dalam Pasal: 402, 409, dan 415 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (KUHD)
Biasanya jumlah upah yang diterima anak buah kapal paling sedikit adalah yang
sesuai dengan yang tertuang dalam perjanjian kerja laut, kecuali upah yang dipotong
untuk hal-hal yang sudah disetujui oleh anak buah kapal tersebut atau pemotongan
yang didasarkan pada hukum yang berlaku. Pengaturan mengenai pemotongan
tersebut menurut Pasal 1602r Kitab Undang–undang Hukum Perdata, adalah sebagai
berikut:
a. Ganti rugi yang harus dibayar
b. Denda–denda yang harus dibayar kepada perusahaan yang harus diberi tanda terima
oleh
perusahaan (Pasal 1601s KUHPerdata)
c. Iuran untuk dana (Pasal 1601s Kitab Undang–Undang Hukum Perdata).
d. Sewa rumah atau lain–lain yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar kepentingan
dinas.
e. Uang Muka (Persekot) atas upah yang telah diterimanya.
f. Harga pembelian barang–barang yang dipergunakan oleh anak buah kapal di luar
kepentingan dinasnya.
g. Kelebihan pembayaran upah-upah yang lalu.
h. Biaya pengobatan yang harus dibayar oleh anak buah kapal (Pasal 416 Kitab Undang
undang Hukum Dagang)
i. Istri atau anggota keluarga lainnya sampai dengan keempat dengan jumlah maksimum
2/3
dari upah (Pasal 444-445 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Selain pemotongan-pemotongan tersebut diatas, maka besarnya upah anak buah
kapal juga dapat berkurang disebabkan, antara lain:
a. Denda oleh nahkoda sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
b. Pengurangan upah karena sakit yang sampai membuat anak buah kapal tidak dapat
bekerja
c. Perjalanan pelayaran terputus.
d. Ikatan kerja terputus karena alasan–alasan yang sah.

Selain itu juga harus diperhatikan bahwa upah anak buah kapal dapat bertambah
besarnya karena:

7
a. Pengganti libur yang seharusnya dinikmati anak buah kapal, akan tetapi tidak
diambilnya (Pasal 409 dan 415 KUH Dagang) atau atas permintaan pengusaha
angkutan perairan paling sedikit 20 hari kalender untuk setiap jangka waktu 1
tahun bekerja akan mendapatkan imbalan upah sejumlah cuti yang tidak
dinikmati (Pasal 24 Peraturan Pemerintah)
b. Pembayaran waktu tambahan pelayaran, jika perjanjian kerja laut untuk suatu
pelayaran karena suatu kerusakan, sehingga terpaksa berhenti di pelabuhan
darurat (Pasal 423 KUH Dagang)
c. Pembayaran kerja lembur, yaitu jam kerja melebihi jam kerja wajib. Khusus
untuk upah lembur hari minggu dihitung dua kali lipat pada hari biasa. Menurut
Pasal 22 Peraturan Pemerintah No.7 tentang Kepelautan, Perhitungan upah
lembur sebagai berikut: Rumus = Upah minimum x 1,25 190
d. Pembayaran istimewa, karena mengangkut muatan berbahaya, menunda
menyelamatkan kapal lain atau mengangkut muatan di daerah yang sedang
perang, kecuali untuk tugas negara (Pasal 452f Kitab Undang- undang Hukum
Dagang)
e. Mengemban tugas yang lebih tinggi yang tidak bersifat insidentil, seperti
Mualim II (Pasal 443 Kitab Undang- undang Hukum Dagang).
f. Kenaikan upah minimum yang ditetapkan oleh negara.
g. Kelambatan pembayaran upah dari waktu biasa (Pasal 1801/ dan 1602n Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, jika itu sebagai akibat dari kelalaian perusahaan
pelayaran (Pasal 1602q Kitab Undang–undang Hukum Perdata dan Pasal 452c Kitab
Undang-undang Hukum Dagang)
h. Tidak diberikan makanan sebagaimana ditetapkan yang menjadi hak anak buah
kapal ( Pasal 436 dan 437 Kitab Undang–undang Hukum Dagang)

b). Hak atas tempat tinggal dan makan


Peraturan mengenai hak tempat tinggal dan makan bagi anak buah kapal diatur pada
pasal 436-438 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Pasal 13 Schepelingen
Ongevalien (S.O) 1935. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, anak buah kapal berhak
atas tempat tinggal yang baik dan layak serta berhak atas makan yang pantas yaitu
cukup untuk dan dihidangkan dengan baik dan menu yang cukup bervariasi setiap
hari. Ketentuan ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang
Kepelautan pasal 25, yaitu:

8
a. Pengusaha atau perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan makanan,
alat-alat pelayanan dalam jumlah yang cukup dan layak untuk setiap pelayaran bagi
setiap anak buah kapal.
b. Makanan harus memenuhi jumlah, serta nilai gizi dengan jumlah minimum 3.600
kalori perhari yang diperlukan anak buah kapal agar tetap sehat dalam
melakukan tugasnya.
c. Air tawar harus tetap tersedia di kapal dengan cukup dan memenuhi standar
kesehatan.
Apabila ketentuan diatas dilanggar maka dapat dikatakan sebagai pelanggaran
hukum, dimana anak buah kapal dapat melakukan pemaksaan terhadap perusahaan pelayaran
untuk membayar ganti rugi terhadap kerugian yang diderita.

c). Hak Cuti


Ketentuan yang mengatur hak cuti anak buah kapal terdapat dalam Pasal-pasal 409
dan 415 KUH Dagang, yang prinsipnya sama dengan cuti yang diberikan kepada tenaga
kerja di perusahaan pada umumnya.
Pasal 409 KUH Dagang menyebutkan:
“Bilamana nahkoda atau perwira kapal telah bekerja selama setahun berturut-turut /
terus menerus, maka mereka berhak atas cuti selama 14 hari atau bila dikehendaki
pengusaha pelayaran bisa dilakukan dua kali, masing-masing delapan hari. Ini
dilakukan mengingat kepentingan operasional kapal atau permintaan nahkoda”
Hak cuti ini gugur bila diajukan sebelum satu tahun masa kerjanya berakhir.
Dan hak ini berlaku untuk perjanjian kerja laut yang didasarkan atas pelayaran.
Pasal 415 KUH Dagang menyebutkan:
“Bilamana anak buah kapal telah bekerja selama setahun terus menerus sedangkan
perjanjian kerja lautnya bukan perjanjian kerja laut pelayaran, maka berhak atas cuti
7 hari kerja atau dua kali lima hari kerja dengan upah penuh”.

d). Hak waktu sakit atau kecelakaan

9
Pengertian sakit dalam perjanjian kerja laut dilihat dari sebab- sebabnya antara lain
meliputi:

(1). Sakit Biasa


Seorang anak buah kapal apabila sewaktu bertugas menderita sakit maka berhak atas:
a). Pengobatan sampai sembuh, akan tetapi paling lama 52 minggu bilamana diturunkan
dalam kapal, demikian juga bila dia tetap berada di kapal berhak mendapatkan
pengobatan sampai sembuh (Pasal 416 KUH Dagang)
b). Pengangkutan cuma-cuma kerumah sakit atau ke kapal lain
di mana ia akan dirawat dan ke tempat ditandatanganinya perjanjian kerja laut (Pasal 416
KUH Dagang)
Selama anak buah kapal sakit atau kecelakaan ia berhak atas upah sebesar 80%
dengan syarat tidak lebih dari 28 minggu (Pasal
416a KUH Dagang), dan jaminan diperoleh disamping biaya perawatan sampai
sembuh. Pasal tersebut mensyaratkan bahwa anak buah kapal mengadakan perjanjian
kerja laut untuk waktu paling sedikit satu tahun atau bekerja terus menerus selama
paling sedikit satu setengah tahun.
Demikian juga sebaliknya, Pasal 416b Kitab Undang-undang hukum dagang menentukan
bahwa jika anak buah kapal mengadakan perjanjian kerja laut kurang dari satu tahun, maka
ia hanya mendapat perawatan sampai sembuh, dan upah yang diterima diperhitungkan
dengan interval waktu tidak kurang dari 4 (empat) minggu tapi tidak lebih dari 26 (dua
puluh enam) minggu.
Jaminan–jaminan dalam hal perawatan dapat ditolak oleh perusahaan pelayaran,
apabila:
a). Anak buah kapal menolak menghindari pengobatan dokter atau lalai mengobatkan diri
ke dokter.
b). Anak buah kapal tidak menggunakan kesempatan pengobatan
Menurut ketentuan Pasal 416f Kitab undang-undang Hukum Dagang, tunjangan
atau upah dapat tidak dibayar oleh perusahaan pelayaran atau dikurangi jumlahnya bila
sakitnya atau kecelakaan yang terjadi karena adanya faktor kesengajaan atau akibat kerja
yang kasar atau tidak hati-hati dari anak buah kapal.

(2). Sakit karena kecelakaan

10
Berdasarkan Pasal 1602 KUHPerdata, Anak buah kapal yang mengalami sakit karena
kecelakaan maka berhak atas:
a. Tuntutan ganti rugi bila terbukti kecelakaan tersebut disebabkan oleh kelalaian pihak
perusahaan pelayaran
b. Jika kecelakaan menimpa anak buah kapal dan mengakibatkan meninggal, maka
ganti ruginya diberikan kepada ahli warisnya
c. Penggantian akibat kecelakaan ditambah dengan hak-hak atas perawatan.

(3). Kapal tenggelam


Pada umumnya hampir semua kapal yang beroperasi
diasuransikan. Awak kapal termasuk nahkoda dijaminkan pada P & I Club
(Protection and Indernity Club). Jaminan yang diberikan kepada anak buah kapal
disesuaikan dengan peraturan perundang– undangan negara mengenai Anak Buah Kapal
yang bersangkutan. Jadi jika kapal tenggelam tidak akan memberatkan
pihak perusahaannya. Ketentuan Pasal 452g Kitab Undang-undang Hukum Dagang, bahwa
perusahaan wajib memberikan ganti rugi kepada anak buah kapal berupa:
a. Jumlah upah sampai dia tiba kembali di tempat dimana perjanjian kerja laut
ditandatangani.
b. Jumlah upah selama anak buah kapal tersebut belum bekerja paling lama 2 (dua) bulan.
c. Ganti rugi akibat kelalaian perusahaan pelayaran berupa barang milik anak buah kapal
dan kerugian lain ( Pasal
1602w Kitab undang–undang hukum Perdata).

d. Bila anak buah kapal meninggal dunia, maka perusahaan pelayaran berkewajiban
menanggung biaya penguburan atau pembuangan jenazah ke laut (Pasal 440 Kitab
Undang-undang Hukum Dagang)

2. Kewajiban Anak Buah kapal


1). Bekerja sekuat tenaga, wajib mengerjakan segala sesuatu yang diperintah oleh
nahkoda.
2). Tidak boleh membawa atau memiliki minuman keras, membawa barang terlarang,
senjata di kapal tanpa izin nahkoda ( Pasal 391
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

11
3). Keluar dari kapal selalu dengan ijin nahkoda dan pulang kembali tidak terlambat (Pasal
385 Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
4). Wajib membantu memberikan pertolongan dalam penyelamatan kapal dan muatan
dengan menerima upah tambahan (Pasal 452/c Kitab Undang-undang Hukum Dagang)
5). Menyediakan diri untuk nahkoda selama 3 hari setelah habis kontraknya, untuk
kepentingan membuat kisah kapal (Pasal 452/b Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
6). Taat kepada atasan, teristemewa menjalankan perintah-perintah nahkoda (Pasal 384
Kitab Undang-undang Hukum Dagang).
C. PERJANJIAN KERJA LAUT
1. Pengertian
Perjanjian kerja laut terdapat dalam Pasal 395 Kitab Undang- undang Hukum
Dagang pada title ke empat Bagian pertama. Jika dibandingkan dengan perjanjian
kerja pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, maka akan tampak bahwa perjanjian kerja laut merupakan perjanjian
perburuhan yang bersifat khusus. Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menyebutkan : “Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si
majikan untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Sedangkan, Pengertian Perjanjian kerja laut juga diatur dalam Pasal 395 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang.
Pasal 395 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyebutkan:
“Perjanjian kerja laut adalah perjanjian yang dibuat antara seorang pengusaha kapal
di satu pihak dan seorang di pihak lain, dengan mana pihak tersebut terakhir menyanggupi
untuk bertindak di bawah pengusaha itu melakukan pekerjaan dengan mendapat
upah, sebagai nahkoda atau anak kapal.”
Sedangkan menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan,
hanya memberikan pengertian secara eksplisit dan singkat yaitu perjanjian kerja laut adalah
perjanjian kerja perseorangan yang ditandatangani oleh pelaut Indonesia dengan pengusaha
angkutan di perairan.
Jadi, secara singkat perjanjian kerja laut dapat dikatakan sebagai Perjanjian kerja
yang dibuat antara seorang majikan atau pengusaha kapal dengan seseorang yang
mengikatkan diri untuk bekerja padanya, baik nahkoda atau anak kapal dengan
menerima upah dan perjanjian tersebut harus dibuat atau ditandatangani dihadapan
pejabat yang ditunjuk pemerintah serta pembuatannya harus pula menjadi tanggung

12
jawab perusahaan pelayaran. Maksud dari perjanjian kerja dibuat di hadapan pejabat
yang ditunjuk oleh Pemerintah (Administratur pelabuhan) adalah agar pembuatan akta
perjanjian tersebut harus berdasarkan atas kemauan kedua belah pihak atau tanpa adanya
paksaan dan dalam perjanjian tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan undang-
undang atau peraturan yang berlaku. Dengan demikian dalam pelaksanaannya
administratur pelabuhan harus memberitahu yang seterang-terangnya.
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan nahkoda atau
perwira kapal harus dibuat secara tertulis, supaya dianggap sah (berlaku) dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak ( Pasal 399
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ).
Melakukan perjanjian kerja laut antara pengusaha kapal dengan anak kapal harus
dibuat dihadapan anak kapal, dihadapan syahbandar atau pegawai yang berwajib dan
ditandatangani olehnya, pengusaha kapal dan anak buah kapal tersebut (Pasal 400
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Di samping syarat tertulis perjanjian kerja laut harus memenuhi pula ketentuan
yang diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain:
1). Adanya kesepakatan atau kemauan secara sukarela dari kedua belah pihak.
2). Masing-masing mempunyai kecakapan untuk bertindak.
3). Persetujuan mengenai atau mengandung suatu hak tertentu.
4). Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
D. BENTUK DAN ISI PERJANJIAN KERJA LAUT
1. Bentuk Perjanjian Kerja laut
Perjanjian kerja laut dapat dilakukan untuk 3 macam ikatan kerja (Pasal 398 Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang):
a. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tertentu atau perjanjian
kerja laut periode, misal: untuk 2 (dua) tahun, 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun,
dan lain- lain. Dalam perjanjian ini para pihak telah menentukan secara tegas menegenai
lamanya waktu untuk saling mengikatkan diri, dimana masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban.
b. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk waktu tidak tertentu.. Dalam
perjanjian ini hubungan kerja berlaku terus sampai ada pengakhiran oleh para
pihak atau sebaliknya hubungan kerja berakhir dalam waktu dekat (besok), besok
lusa dan sebagainya jika memang salah satu pihak ataupun para pihak
menghendakinya.

13
c. Perjanjian kerja laut yang diselenggarakan untuk satu atau beberapa perjalanan atau
trip adalah perjanjian kerja laut yang diselenggarakan berdasarkan pelayaran yang
diadakan perusahaan pelayaran dari suatu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Kemudian jika ditinjau dari sudut perbedaan perjanjian kerja laut dalam Undang-undang,
yaitu menyangkut persoalan alasan-alasan yang sah untuk melakukan pemutusan hubungan
kerja, maka perjanjian kerja laut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Perjanjian kerja laut untuk nahkoda
b. Perjanjian kerja laut untuk anak buah kapal.
Dilihat dari pihak yang mengikatkan diri, perjanjian kerja laut terbagi menjadi 2
(dua) yaitu:
a. Perjanjian kerja laut pribadi atau perseorangan, yaitu perjanjian kerja laut yang
dibuat antara seorang tenaga kerja dengan perusahaan pelayaran.
b. Perjanjian kerja laut kolektif, yaitu perjanjian kerja laut yang dibuat antara
perusahaan pelayaran atau gabungan perusahaan pelayaran dengan
gabungan tenaga kerja (anak buah kapal), dengan syarat masing-masing pihak harus
berbentuk badan hukum.

2. Isi Perjanjian kerja laut


Isi dari Perjanjian kerja laut (Pasal 401 Kitab Undang-undang Hukum Dagang) antara
lain:
a. Nama lengkap, tanggal lahir dan tempat kelahiran dari anak kapal.
b. Tempat dan tanggal dilakukan perjanjian.
c. Dikapal mana ia akan bekerja
d. Perjalanan-perjalanan yang akan ditempuh.
e. Sebagai apa ia dipekerjakan atau jabatan tenaga kerja di kapal, baik sebagai nahkoda
atau anak buah kapal.
f. Pernyataan yang berisi: apakah tenaga kerja tersebut mengikatkan diri untuk
tugas-tugas lain selain tugas di kapal.
g. Nama syahbandar yang menyaksikan atau mengesahkan perjanjian kerja laut itu.
h. Gaji atau upah dan jaminan-jaminan lainnya selain yang harus atau diharuskan oleh
Undang-undang.
i. Saat perjanjian kerja laut itu dimulai.
j. Pernyataan yang berisi: Undang-undang atau peraturan yang berlaku dalam penentuan
hari libur atau cuti .

14
k. Tanda tangan tenaga kerja, pengusaha pelayaran dan syahbandar
 Tanggal ditandatanganinya atau disahkannya perjanjian kerja laut tersebut.
 Perihal pengakhiran hubungan kerja. (Djoko Triyono, 2005: 48-49)
1.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai penerapan Hukum Pelayaran dalam Perjanjian Kerja

Laut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kita mengetahui Siapa saja pihak – pihak yang terlibat dalam Pelayaran dan apa Hak serta
Kewajiban anak buah kapal?
2. Kita mengetahui pengertian, syarat, bentuk dan isi dari Perjanjian Kerja Laut ( PKL )

1.2. Saran
Berdasarkan simpulan hasil penelitian, saran yang perlu dikemukakan

adalah sebagai berikut:

1. Pihak tenaga kerja dikapal atau anak buah kapal (ABK) seharusnya semakin

menumbuhkan kesadaran hukum yang tinggi pada diri sendiri sehingga

pelanggaran-pelanggaran diatas kapal tidak akan terjadi. \

2. Pihak Perusahaan, seharusnya pihak perusahaan lebih meningkatkan kesejahteraan tenaga

kerja dikapal atau anak buah kapal (ABK) dan keluarganya. Salah satunya dengan

mengingat resiko bahaya dalam berlayar dan jauh dari keluarga. Dan harusnya

pihak perusahaan lebih menaikkan upah kerja. Walaupun PT.PELNI merupakan BUMN

harusnya upah tidak disamakan dengan Pegawai Negeri biasa.

3. Pihak Pemerintah, hendaknya dapat merespon dan lebih memperhatikan nasib para

tenaga kerja baik yang didarat maupun yang dilaut. Dan lebih aktif untuk

mengadakan pengawasan agar tenaga kerja dapat memperoleh hak mereka sesuai dengan

sifat pekerjaan yang mereka lakukan. Dan lebih memperhatikan terhadap segala

permasalahan yang dialami oleh Perusahaan yang bergerak dibidang jasa transportasi

laut maupun darat.

15

Anda mungkin juga menyukai