Anda di halaman 1dari 11

Melansir dari situs (Wikipedia) Taman merupakan sebuah areal yang berisikan komponen material

keras dan lunak yang saling mendukung satu sama lainnya yang sengaja direncanakan dan dibuat
oleh manusia dalam kegunaanya sebagai tempat penyegar dalam dan luar ruangan. Taman dapat
dibagi dalam taman alami dan taman buatan.

Sering kali kita lihat, taman lebih banyak dibangun dirumah yang memiliki tanah yang luas, padahal
taman juga bisa dibangun untuk memperindah rumah sederhana dengan halaman sempit, itulah
salah satu alasan membuat taman harus dibuat langsung oleh ahli taman supaya desain taman tetap
bisa diciptakan walaupun halaman sempit.

Ok lanjut di postingan kali ini kita membahas tentang konsep taman bergaya bali, bagai mana sih
taman bergaya bali,pasti banyak di antara anda yg bertaya seperti itu.
langsung saja kita simak gambar serta artikel berkaitan dengan konsep taman bergaya khas bali.
Taman Bali adalah salah satu konsep taman dalam negeri yang sangat diminati saat ini. Terinspirasi
dari kebudayaan masyarakat Bali, penggunaan gazebo, patung, kolam dan pintu gerbang khas
arsitektur Bali merupakan hal yang wajib dimiliki. Yang perlu diingat, taman Bali memiliki karakter
yang sangat kuat sehingga tidak semua rumah dapat dipadukan dengan taman jenis ini. Berbicara
tentang taman bergaya Bali tentu tak luput dengan 3 unsur utamanya, yaitu tanaman tropis, air dan
batu. disebabkan 3 unsur ini juga digunakan sebagai dukungan ketika warga Bali menggelar upacara
ritual keagamaan sesuai dengan adat istiadat. Dengan demikian taman bali bisa dikatakan
mempunyai beberapa fungsi. Estetik, sentuhan keindahan untuk tampilan eksterior dan spiritualitas
untuk mendukung kegiatan yang berhubungan dengan nilai kepercayaan. Taman tradisional Bali
yang termasuk bagian dari kesenian bali mempunyai sejarah selaras dengan usia kesenian Bali
lainnya. Merupakan suatu bentuk kreasi anak bangsa yang keberadaannya telah diakui oleh
mancanegara. Dengan keunikan bangunan yang khas & sangat mudah dikenali. Taman Bali
tradisional identik dengan pohon kamboja dan pandan bali, Ornamen arca/patung batu, gapura,
kolam-kolam dan bale bengong (gazebo ethnic bergaya bali). Salah satu bagian yang tak terpisahkan
dari taman bergaya Bali adalah pohon kamboja. Ada beberapa jenis kamboja yang populer untuk
diaplikasikan di taman Bali. Yaitu Kamboja putih, merah dan kuning. Kamboja putih: Memiliki ciri fisik
yang cenderung lebih besar dengan permukaan kulit pohon yang kasar. Kamboja putih ini ialah
pohon kamboja berbunga warna putih. dibagi 2 jenis. berdaun besar dan berdaun kecil. kamboja putih
berdaun besar sering kita jumpai di area pemakaman, sedangkan kamboja berdaun kecil bisa kita
temui di area sekitar pura dan rumah-rumah penduduk. Kamboja merah: Dengan ukuran lebih kecil
pada batangnya. Bunga berwarna merah muda hingga merah maroon. Kamboja kuning: Berdaun
kekuningan, kamboja jenis kuning ini juga sering disebut kamboja cendana karena aroma wanginya
yang sangat kuat. Pembawa kesan pada taman bergaya Bali adalah patung-patung sebagai
pelengkap dan ornamen-ornamen. Ada beberapa patung batu yang biasa diaplikasikan. Diantaranya:
1.Patung Batu padas: dengan warnanya yang putih kekuningan. 2.Batu Candi : berwarna kehitaman.
atau biasa disebut batu andesit. 3.Batu Buatan: Sesuai dengan namanya, batu ini bukan batu
sungguhan karena terbuat dari semen dengan ciri berwarna> keabu-abuan.

Jika anda tertarik atau berminat menerapkan konsep taman bergaya bali anda bisa langsung
menghubungi kami.

Kami berkomitmen untuk selalu memberikan yang terbaik bagi semua pelanggan. Kami menjunjung
tinggi profesionalitas dalam pekerjaan sehingga Anda sebagai client kami, akan mendapatkan hasil
yang maksimal.
Berkat dukungan dan kepercayaan Anda, kami telah menangani beberapa proyek landscape dan
taman dalam skala kecil, sedang dan besar. Pengguna jasa kami datang dari berbagai kalangan, baik
perorangan maupun perusahaan swasta atau instansi pemerintah. Urusan “Konsultan dan Contraktor
Landscape” project Anda, percayakan pada kami.

Sebagai pertimbangan, berikut adalah benefit yang akan Anda peroleh ketika menggunakan jasa
tukang taman dari “cahaya landscape" :

Mengutamakan profesionalitas tinggi dan bertanggung jawab pada pekerjaan Tepat dan cepat dalam
memberikan solusi serta dalam pengerjaan project Unggul dalam menciptakan karya seni berkualitas
tinggi Desain dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan client Ditangani tenaga ahli yang
profesional dan kompeten dibidangnya.

Saya tertarik membahas keberadaan pekarangan rumah tradisional Bali pasca


pengaruh majapahit mengingat masa ini telah memiliki panduan pembangunan
dalam bentuk lontar-lontar. Lontar-lontar ini menjadi panduan masyarakat pada
masa itu saat hendak membangun bangunan, baik rumah tinggal, tempat
peribadatan, maupun bangunan umum. Pekarangan rumah dalam arsitektur rumah
tinggal tradisional Bali dapat disetarakan dengan plot dalam study urban
morphology. Di dalam study urban morphology versi Conzen, yang banyak dianut
di Inggris, disebutkan tiga komponen pokok yang menjadi objek utama
yaitu, blocks, streets, dan plots. Ketiga komponen ini membentuk apa yang disebut
sebagai urban fabric atau komposisi antara ruang terbangun dan ruang terbuka
dalam sebuah tatanan (pattern) tertentu. Di dalam plot sendiri masih terdapat
bangunan dan halaman yang merepresentasikan ruang terbuka dan tertutup.
Perkembangan bangunan di dalam plot mempengaruhi komposisi plot meskipun
tidak membuat ukuran plot berubah. Hal ini dimungkinkan karena batas-
batas plot merupakan ‘bingkai’ bagi plot tersebut. Sementara itu, jaringan jalan
membingkai beberapa plot menjadi sebuah block. Perubahan yang terjadi dalam
kurun waktu tertentu di dalam plot pada akhirnya mempengaruhi perubahan
komposisi block, namun jaringan jalan relatif tidak banyak berubah. Untuk
melakukan study tentang plot atau pekarangan, saya mencoba membahas materi
yang terdapat dalam lontar Dharmaning Hastakosala dan lontar Hasta Bhumi.
Lontar yang pertama, aslinya tersimpan di Banjar Uma Abian Kecamatan Marga
Kabupaten Tabanan sedangkan lontar yang kedua terdapat di Banjar Sintrig,
Kecamatan Abian semal Badung. Kedua lontar telah diterjemahkan oleh I Ketut
Ginarsa ke dalam huruf latin dan bahasa Indonesia.
Secara umum kedua lontar ini membahas tata cara mengukur pekarangan, tata cara
menempatkan pintu masuk pekarangan, penempatan lumbung dan dapur, serta
membuat daun pintu. Tentang sesajen yang dibutuhkan dalam penentuan
pekarangan, hanya dibahas secara sekilas. Lontar Hasta Bhumi membahas pula
tentang tata cara penyusunan konstruksi kayu beserta detail ukurannya, namun
dalam tulisan ini tidak akan dibahas secara mendalam. Tulisan ini hanya berfokus
pada tata cara pemilihan pekarangan, tata cara penentuan luas serta hubungan suatu
pekarangan terhadap jalan. Dari pembahasan yang dilakukan, diharapkan diperoleh
pemahaman tentang tebentuknya sebuah plot, hubungannya dengan jalan, serta
bagaimana beberapa plot membentuk sebuah block yang pada akhirnya
menciptakan urban fabric permukiman tradisional Bali.
Masyarakat tradisional Bali pada masa sekitar abad ke 14 – 19 sebagian besar
adalah petani. Sebagai petani, maka tanah atau lahan memegang peranan yang
sangat vital untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagian besar lahan budidaya
dipergunakan sebagai lahan pertanian dan hanya sebagian kecil yang dijadikan
sebagai permukiman. Lahan permukiman yang relative kecil inipun harus diatur
baik dari segi jumlah, besaran serta lokasinya untuk menghindari konflik. Sebelum
mementukan lokasi untuk membangun rumah atau perumahan maka terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan. Di dalam lontar disebutkan beberapa ciri
pekarangan yang baik atau kurang baik untuk bangunan rumah tinggal atau
parhyangan.
Terdapat beberapa kriteria dalam menentukan apakah suatu pekarangan baik atau
tidak baik untuk perumahan. Hal pertama yang perlu dipertimbangkan adalah nilai
‘rasa’ sebuah tempat. Jika terlihat bahwa tanahnya subur (empuk) dan pepohonan
lebat serta seolah olah memancarkan cahaya, dipercaya pekarangan tersebut dijaga
oleh dewa dan akan memberi pengaruh yang baik. Jika dijadikan sebagai lokasi
tempat tinggal maka pemiliknya akan banyak rejeki, banyak punya emas,
palawija serta tidak akan kekurangan makan. Sebaliknya, jika suatu pekarangan
terasa angker, sunyi dan sepi maka dipercaya bahwa Butha Kala Dengenlah yang
menghuni. Pekarangan semacam ini sebaiknya dihindari karena memberi pengaruh
kurang baik baik penghuninya.

Dilihat dari posisi sebuah pekarangan terhadap lingkungan sekitarnya, ada


beberapa jenis yang harus dihindari. Rumah orang yang memiliki kedudukan lebih
rendah, tidak boleh berada di hulu pekarangan orang yang memiliki kedudukan
lebih tinggi. Pekarangan yang juga tidak baik adalah: pekarangan yang ada di hulu
parhayangan, di hulu balai banjar atau di hulu sebuah jalan keramat. Pekarangan
semacam ini dipercaya sebagai karang panas dan akan berpengaruh buruk terhadap
penghuninya: sakit-sakitan, sering cekcok, gelisah bahkan bisa juga membuat
penghuninya lekas meninggal. Patut dihindari pula susunan pekarangan yang
diistilahkan ‘kuluk poleng’ atau anjing belang. Istilah ini untuk menggambarkan
pekarangan yang berselang seling: brahmana-sudra-brahmana-sudra, dan
seterusnya.
Perlu dihindari juga pekarangan yang memiliki posisi relative kurang baik terhadap
kondisi fisik sekitar. Pekarangan yang lokasinya berhadapan atau ditombak
tembok, ditombak jalan atau ditombak sungai sebaiknya dihindari. Demikian pula
pekarangan yang dilingkupi oleh atau di dua atau lebih sisinya dialiri sungai, atau
dilalui jalan sebaiknya dihindari karena memiliki pengaruh yang kurang baik.

Selain permasalahan lokasi beserta pengaruh baik buruknya, pekarangan juga


memiliki dimensi atau ukuran. Ukuran suatu pekarangan tidak boleh dibuat
sembarangan. Sebagaimana disampaikan dalam pengantar tulisan ini, pekarangan
harus dibatasi sehingga tidak dominan terhadap lansekap permukiman serta
mampu memberi rasa aman dan nyaman bagi pemiliknya. Di dalam terjemahan
lontar Dharmaning HataKosala no 361, disebutkan terdapat beberapa nama ukuran
pekarangan untuk petak perumahan. Ukuran-ukuran tersebut di antaranya: Eka
Dwaja, Dwi Uma, Tri Singa, Catur Sona, Panca Goh, Sapta Gadjah, dan Asta
Jaksa. Semua nama-nama ukuran pekarangan tersebut diperoleh berdasarkan
luasnya.

Ukuran luas pekarangan dihitung atas panjang dan lebar serta jarak antara ruang
yang tercipta.Untuk memperoleh ukuran-ukuran tersebut, anggota tubuh manusia
pemiliknya dijadikan sebagai satuannya. Dalam hal pekarangan, yang dipakai
adalah jarak bentang kedua tangan, jarak bentangan ujung jari tangan hingga ujung
jari kaki, ukuran panjang lengan serta genggaman jemari tangan kanan. Istilah
yang dipakai adalah depa panjang, depa pendek, hasta dan genggaman tangan
pemilik rumah dan dijadikan satuan utama ukuran yang lumrah dipakai. Ukuran
depa dipakai sebagai satuan utama, sedangkan depa pendek dan ukuran genggaman
tangan dipergunakan sebagai nilai tamabah atau kelebihan dari suatu satuan
panjang atau lebar. Panjang pekarangan disebutkan sebagai bujur dari utara ke
selatan, sedangkan lebar pekarangan adalah melintang dari timur ke barat. Tetapi
panjang dan lebar ini tidak mutlak, bisa juga sebaliknya tergantung dari arah hadap
pekarangan terhadap jalan.
Ukuran-ukuran luas pekarangan rumah sepertinya terkait dengan status seseorang
di masyarakat. Semakin tinggi status sosialnya, maka akan memiliki hak untuk
memiliki ukuran yang lebih luas. Seorang Brahmana, bujangga, bhiksu atau
pendeta yang berkewajiban menuntun masyarakat di bidang spiritual boleh
mamakai ukuran pekarangan Gajah. Sementara itu ukuran pekarangan Dwaja baik
dipakai untuk pekarangan parhayangan, sanggar atau pamerajan ibu. Golongan
Ksatrya dan Wesya sebaiknya memakai ukuran singa agar memperoleh wibawa di
mata masyarakat kebanyakan atau golongan sudra yang menggunakan ukuran
Wreksa.

Berikut adalah beberapa satuan ukuran luas pekarangan beserta nama-nama yang
dimuat di dalam lontar tersebut:

1. Pekarangan dengan sebutan gajah memiliki panjang 15 depa dengan lebarnya 14


depa. Pekarangan dengan ukuran gajah dipercaya memiliki pengaruh baik bagi
penghuninya.
2. Pekarangan dengan sebutan dwaja memiliki panjang 14 depa dan lebar 13 depa
serte memiliki pengaruh yang baik
3. Pekarangan dengan sebutan singa memiliki panjang 13 depa dan lebar 12
4. Pekarangan dengan sebutan wreksa memiliki panjang 12 depa dan lebar 11 depa.
5. Pekarangan dengan sebutan lembu alit memiliki panjang 8 depa dan lebar 7 depa
6. Pekarangan lembu singa panjangnya 9 depa dan lebarnya 8 depa.
Ukuran-ukuran tersebut dapat dilipatgandakan sesuai dengan keinginan pemilik
serta ketersediaan lahan kosong.

Penggunaan ukuran-ukuran pekarangan serta istilahnya tersebut berlaku untuk


rumah, pondok-pondok, kahyangan serta pura kawitan (ibu). Tujuan dari
penetapan ukuran ini supaya yang menghuni selalu dalam keadaan yang dilindungi
oleh dewa serta apa segala yang ditanam di dalam pekarangan akan tumbuh subur
dan memberi manfaat bagi penghuninya. Akan tetapi ukuran yang tidak sesuai
dengan ketentuan dapat membawa pengaruh yang buruk bagi penghuninya karena
akan dipengaruhi oleh perilaku setan, Kala Dengen.

Untuk membatasi pekarangan, maka wajib dilindungi pada keempat sudutnya dan
sisi sisinya. Sekeliling pekarangan dibatasi dengan dinding atau tembok
penyengker dan bagian sudutnya diperkuat dengan pilar-pilar untuk menangkal
pengaruh buruk. Pilar-pilar yang melindungi keempat sudut disebut sebagai
paduraksa yang berarti pertemuan tembok (padu = pertemuan, raksa = dinding).
Masing-masing pilar paduraksa ini memiliki arti. Pada penjuru timur laut disebut
sebagai Sang Sari Raksa dipercaya sebagai perwujudan Bethari Sri, sedangkan
pilar yang posisinya di tenggara disebut Sang Aji Raksa dan dipercaya sebagai
perwujudan Bethara Guru. Pilar yang berada di barat daya dan barat laut masing
masing disebut Sang Rudra Raksa dan Sang Kala Raksa masing masing dipercaya
sebagai perwujudan Bethara Rudra dan Bethari Uma.

Tembok-tembok yang membatasi keempat sisi pekarangan dipercaya


melambangkan tangan-tangan dari keempat bethara bethari yang saling
bergandengan. Tangan tangan tersebut memberi keselamatan, perlindungan, serta
menjaga keselamatan para penghuni pekarangan tersebut. Akan tetapi hal tersebut
hanya akan terjadi apabila ukuran-ukuran pekarangannya cocok, sedangkan jika
ukuran-ukuran pekarangan tidak cocok, maka pengaruh pilar dan tembok
penyengker akan buruk. Pilar-pilar akan dihuni oleh buta kala dengen dan akan
memusnahkan penghuni rumah serta undagi yang mengerjakan rumah tersebut.

Tanah pekarangan memiliki posisi relative terhadap jalan. Posisi lahan bisa saja
menghadap kea rah utara, timur selatan atau barat. Masing masing arah hadap ini,
di dalam lontar, juga disebutkan memiliki sifat-sifat yang baik dan buruk. Halaman
yang menghadap ke arah timur memiliki pengaruh baik yang akan membuat
penghuninya dikasihi, dihormati, memiliki pengaruh di masyarakat serta rejekinya
lancar. Akan tetapi arah hadap timur juga memiliki pengaruh buruk dimana
penghuninya dapat berumur pendek, memiliki isteri yang jahat serta menimbulkan
rumah tangga yang panas dan resah. Pekarangan yang menghadap ke selatan akan
membuat penghuninya hidup sangat bahagia, kaya emas dan harta benda lainnya
karena mudah rejeki, akan tetapi memiliki pengaruh buruk dimana keluarga yang
memempati akan sulit memiki anak, sering tertimpa kecelakaan, panas dan gelisah
hingga akhirnya meninggal. Pengaruh baik untuk pekarangan yang menghadap
arah barat akan membuat penghuninya dihormati masyarakat, berpengaruh,
dermawan dan kaya emas tetapi sangat berbahaya karena banyak punya musuh,
panas, susah dan akhirnya sering sakit-sakitan. Kesejahteraan dan kebahagiaan
penghuni adalah pengaruh baik untuk pekarangan yang menghadap ke utara selain
disayang oleh masyarakat. Akan tetapi karang ini juga berpengaruh buruk yang
membuat penghuninya tidak punya anak, gelisah dan resah, panas dan susah serta
rumahnya dihuni oleh banyak tikus. Untuk memperoleh manfaat baik dari arah
hadap pekarngan serta menghindari pengaruh buruknya, maka perlu diperhatikan
penempatan pintu masuk ke pekarangan tersebut

Di dalam lontar disebutkan tentang cara membuat pintu masuk pekarangan atau
angkul angkul. Penentuan pintu masuk sangat tergantung dari arah hadap
pekarangan dan pengaruh yang diinginkan oleh penghuni rumah. Untuk
menentukan letak pintu masuk, maka pertama-tama sisi pekarangan yang
menghadap ke arah jalan dibagi menjadi sembilan bagian. Masing masing bagian
dari sembilan ini memiliki pengaruh baik dan buruk dan penghuni rumah dapat
memilih sesuai dengan pengaruh yang diinginkannya.

Secara lebih terperinci, masing masing pengaruhnya adalah sebagai berikut;

Jika pekarangan menghadap ke timur maka pembagian dimulai dari sisi sebelah
utara sebagai berikut:

1. kuat kehendak hatinya


2. banyak pahala dan dihormati orang lain
3. penghuni akan banyak gunanya
4. kekayaan akan datang
5. panas dan susah
6. kaya raya
7. bahagia
8. isteri jahat
9. panjang umur
Jika pekarangan menghadap ke selatan, pengukuran harus dilakukan dari sisi
timur. Adapun pengaruhnya

1. pahalanya besar sekali


2. tidak punya anak
3. Sangat gembira
4. hujan emas
5. panas dan susah
6. kaya raya
7. sangat berbahaya
8. sangat subur
9. ditimpa kematian
Jika pekarangan menghadap ke arah barat maka pengukuran dilakukan dari selatan.
Pengaruh dari masing masing pilihan adalah

1. bahaya besar
2. banyak punya musuh
3. kaya emas
4. sangat berguna
5. dermawan
6. panas dan susah
7. dihormati orang
8. banyak hutang
9. duka malapetaka
Apabila pekarngan menghadap ke utara, maka pengukuran dilakukan dari sisi barat
dengan pengaruh:

1. duka malapetaka
2. tidak punya naak
3. gelisah resah
4. bahagia
5. duka dan marah
6. panas dan susah
7. suka ria
8. belas kasihan
9. bahaya besar
Dengan penjelasan yang dimuat dari kedua lontar yang dijadikan sebagai bahan
diskusi, maka plot atau pekarangan rumah tradisional Bali pasca Majapahit dapat
didefinisikan. Sekumpulan pekarangan dalam suatu wilayah akan membentuk
sebuah permukiman atau blok. Jalan menjadi jalur yang menghubungkan antar titik
di dalam permukiman sekaligus juga menjadi komponen yang membingkai
permukiman tersebut.

Anda mungkin juga menyukai