Anda di halaman 1dari 98

HUKUM LINGKUNGAN

2014

PENGANTAR

HUKUM LINGKUNGAN

OLEH:

ANIS MASHDUROHATUN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

UNISSULA

2010

1
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

2
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

BAB I
PENGANTAR ILMU LINGKUNGAN

A. Pengertian Ekologi, Ekosistem, dan Daya Dukung, Lingkungan

Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckelseorang ahli ilmu hayat
dalam pertengahan dasawarsa 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, yaitu
eikos yeng bererti rumah dan logos berarti ilmu. Oleh karena itu, secara harfiah
ekologi berarti ilmu tentang mahluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga
sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup.
Istilah ekologi saat ini semakin populer, karena bila terjadi
kerusakan/pencemaran lingkungan, maka pikiran seketika tertuju kepada persoalan
ekologi. Kerumitan persoalan ekologi saat ini, karena ada kecenderungan manusia
memisahkan masalah lingkungan hidup dengan manusia, masalah manusia bukan
merupakan bagian yang berintegrasi dengan lingkungan. Dengan demikian, menurut
soerjani bahwa:
Ekologi adalah ilmu dasar untuk mempertanyakan, menyelidiki, dan
memahami bagaimana alam bekerja, bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam
sistem kehidupan, apa yang mereka perlukan dari habitatnya untuk dapat
melangsungkan kehidupannya, bagaimana dengn melakukan semuanya itu dengan
komponen lain dan spesies lain, bagaimana individu dalam spesies itu dengan
komponen lain dan spesies lain, bagaimana individu dalam spesies itu beradaptasi,
begaimana makhluk hidup itu menghadapi keterbatasan dan harus toleranterhadap
berbagai perusahaan, bagaimana individu-individudalam spesies itu mengalami
pertumbuhan sebagai bagian dari suatu populasi atau komunikasi. Semuanya ini
berlangsung dalam suatu proses yang mengikuti tatanan, prinsip, dan ketentuan
alam yang rumit, tetapi cukup teratur, yang dengan ekologi kita memahaminya.
Bedasarkan pengertian ekologi di atas, maka ekologi dan ilmu lingkungan
merupakan satu kesatuan yang mempunyai hubungan erat antara keduanya. Ilmu
lingkungan mempelajari tempat dan peranannya itu, sedangkan ekologi mempelajari
susunan serta fungsi seluruh makhluk hidup dan komponen kehidupannya. Jadi, ilmu
ilmu linkungan dapat dikatakan sebagai ekologi terapan (applied ecology), ykni
beberapa menerapkan berbagai prinsip dan ketentuan ekologi itu dalam kehidupan
manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan
hiidupnya. Sementara menurut Odum, lazimnya ekologi didefinisikan sebagai ilmu
tentang hubungan organisme atau kelompok organisme dengan lingkungan

3
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

hidupnya, atu ‘‘ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme hidup dengan
lingkungan hidupnya“. Senada dengan hal tersebut, M.T. Zen mengatkan bahwa
applied ecology adlah berkenaan dengan kegiatan manusia dalam hal penurusan dan
pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah satu komponen lingkungan
yang mempunyai hubungan erat dengan ekologi adalah ekosistem. Menurut Otto
Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosisyem terbentuk oleh
komponen hidup dan tidak hidup disuatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu
kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh adanya arus antara komponen
dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung.
Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerjasama dengan
baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga.
Soerjani mengatakan bahwa ekosistem dicirikan dengan berfungsinya
pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung di antara
berbagai komponen dalam sistem diluarnya. Kehidupan akan berlangsung dalam
berbagai fenomena kehidupan menurut prinsip, tatanan, dan hukum alam atau
hukum ekologi seperti homoestatis (keseimbangan), kelentingan (resilience atau
kelenturan), kompetisi, toleransi, adaptasi, suksesi, evolusi, mutasi hukum minimum,
hukum entropi, dan sebagainya.
Selain pengertian ekologi dan ekosistem di atas, maka lingkungan hidup
mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya. Keterbatasan dan
kemempuannya untuk menanggulangi proses keseimbangannya itu, lazim disebut
daya hukum lingkungan. Menurut Otto Soemarwoto, daya hukum terlanjutkan
ditentukan oleh dua faktor, baik faktor biofisik maupun sosial budaya-ekonomi.
Kedua faktor ini saling memengaruhi. Faktor biofisik penting untuk menentukan daya
dukung yang terlanjutkan, yaitu proses ekologi yang merupakan sistem pendukung
kehidupan dan keanekaragaman jenis yang merupakan sumber daya gen. Misalny
hutan atau salah satu faktor ekologi dalam sistem pendukung kehidupan. Hutan
melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen yang kita perlukan untuk
pernafasan kita. Faktor sosial budaya juga mempunyai peranan yang sangat penting,
bahkan menentukan apakah pembangunan akan berjalan terus atau berhenti.
Sementara itu, menurut Grumbine bahwa pengelolaan ekosistem memadukan
pengetahuan ilmiah tentang hubungan ekologis dalam kerangka sosial politik dan
nilai-nilai yang kompleks dengan tujuan umum untuk melindungi keterpaduan
ekosistem dalam jangka panjang.
Salah satu komponen hidup yang memegang kunci dalam ekosistem adalah
manusia. Peranan manusia dalam ekosistem menurut mostadji bahwa sebagaimana
halnya dengan kehidupan manusia dalam suatu masyarakat, ekosistem juga

4
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dikendalikan oleh hukum alam tentang energi yang disebut dengan hukum
termodinamika. Ada dua hukum alam tentang energi yang perlu mendapat perhatian,
yaitu hukum termodinamika pertama dan hukum termodinamika kedua.

B. Istilah dan Pengertian Hukum Lingkungan

Istilah hukum lingkungan dalam beberapa bahasa asing adalah:


a. Bahasa Belanda :Millieurecht;
b. Bahasa Inggris :Environmental law
c. Bahasa Jerman :Umweltrecht
d. Bahasa Perancis :Droit de l‘environment
e. Bahasa Malaysia :Hukum Alam Seputar (=sekeliling)
f. Bahasa Tagalong :Batas nan Kapaligiran
g. Bahasa Thailand :Sin-ved-lom kwahnm
h. Bahasa Arab :Qonun al-bi’ah

Hukum lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waarden-beoordelen),


yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan
dimasa mendatang serta dapat disebut ‘‘Hukum yang mengatur tatanan
lingkungan hidup‘‘. Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan
timbal balik antara manusia dengan makhluk hidup lainnya yang apabila
dilanggar dapat dikenakan sanksi. Penetapan batas pengertian yang tegas
terhadap hukum lingkungan tidak mudah, sebagaimana dikemukakan oleh
MacAndrews dan Chia Lin Sien:
The nature of environmental law is such that the subject defies precise
delineation. As a simple working definition, we might say that environmental
law is that set of legal rules addressed specifically to activities which
potentially affect the quality of environment, whether natural or man-made.
But it will be immediately that even such a general definition raises a host of
subsidiary issues which, in some cases, call for the drawing of essentially
arbitrary lines.
Dari subtansi hukum yang merupakan meteri hukum lingkungan, maka
mata kuliah hukum lingkungan digolongkan kedalam mata kuliah hukum
fungsional (functionele rechtsvakken), yaitu mengandung berbagi teobosan
antara berbagai hukum ilmu hukum klasik (tradisional). Dengan demikian jelaslah
bahwa, hukum lingkungan sebagai genus merupakan cabang ilmu tersendiri
namun bagian besar substansinya merupakan ranting dari hukum administrasi.

5
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Begitu juga pandangan yang dianut di Negara anglo-Amerika, hukum lingkungan


masuk golongan ‘’public law’’.
Semula hukum lingkungan dikenal sebagai hukum gangguan (hinderrecht)
yang bersifat sederhana dan mengandung aspek keperdataan. lambat laun
berkembangannya bergeser kearah bidang hukum administrasi, sesuai dengan
peningkatan peranan pengusaha dalam bentuk campur tangan terhadap
berbagai segi kehidupan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Segi hukum
lingkungan administrative terutama muncul apabila keputusan pengusaha yang
bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking)
penguasa, misalnya dalam prosedur perizinan, penentuan baku mutu lingkungan,
prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan sebagaimana.
Hukum lingkungan berhubungan erat dengan kebijaksana an lingkungan
yang ditetapkan oleh pengusaha yan berwenang dibidang pengelolaan
lingkungan. Dalam menetapkan kebijaksanan lingkungan, penguasa ingin
mencapai tujuan tertentu. Untuk itu dapat dipergunakan sebagai sarana,
misalnya penyuluhan, pendidikan, subsidi, pelaksanaan kegiatan-kegiatan nyata
nyata dan sebagainya.

6
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

BAB II

HUKUM LINGKUNGAN DAN TATA LINGKUNGAN

A. PENGERTIAN HUKUM LINGKUNGAN

Istilah hukum lingkungan ini merupakan terjemahan dari beberapa istilah,


yaitu ‘’Environmental law’’ dalambahasa inggris, ‘’millieurecht’’ dalam bahasa
belanda, ‘’l,environment’’ dalam bahaasa perancis, ‘’umweltrecht’’ dalam bahasa
jerman, ‘’hukum alam seputar’’ dalam bahasa Malaysia, ‘’batas nan kapaligiran’’
dalam bahasa tagalong, ‘’sin-ved-lom kwahm’’ dalam bahasa Thailand, ‘’Qomum al-
bi’ah’’ dalam bahasa arab.
Banyaknya aliran dalam bidang hukum telah mengakibatkan banyak
pengertian tentang hukum yang berbeda. Oleh karena itu, untuk menyamakan
persepsi dalam membahas pengertian tentang hukum ligkungan, perlu disampaikan
terlebih dahulu bahwa pada umumnya hukum itu adalah keseluruhan kumpulan
peraturan atau kaidah-kaidah dalam sutu dalam kehidupan bersama. Mengutip dari
Gatot P.soemartono yang menyebutkan bahwa hukum itu adalah keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku manusia yang isinya tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak dalam kehidupan bermasyarakat, yang pelaksanaan tersebut
dapat dipaksakan dengan suatu sanksi oleh pihak yang berwenang. Dari uraian
mengenai pengertian hukum, maka hukum lingkungan adalah keseluruhan
peraturan yang mengatur tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap
lingkungan, yang pelaksanaan peraturan tersebut dapat dipaksakan suatu sanksi
oleh pihak yang berwenang.
Sedang menurut Danusaputro hukum lingkungan adalah hukum yang
mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta peningkatan
ketatahanan lingkungan. Beliaulah yang membedakan antara hukum lingkungan
modern yang berorientasi kepada lingkungan atau environment oriented law dan
hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaanlingkungan atau use-
oriented law.
Hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma-norma guna
menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber daya lingkungan dengan berbagai
akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam

7
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebaliknya, hukum lingkungan modern


menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur perbuatan manusia
dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan
mutunya demi menjamin kelestariannya, agar dapat langsung secara terus menerus
digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.
Karena hukum lingkungan modern berorientasi kepada lingkungan, sehingga
sifat dan wataknya mengikuti sifat dan watak dari lingkungan sendiri, serta dengan
demikian lebih banyak berguru daru egologi. Dengan orientasi kepada lingkungan
ini, hukum lingkungan modern memiliki sifat utuh menyeluruh, artinya selalu berada
dalam dinamika dengan sifat dan watknya, sebaliknya hukum lingkungan klasik
bersifat sektoral dan sukar berubah.
Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar
materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum perdata, pidana, pajak,
internasional dan penataan ruang.
Semula hukum lingkungan dikenal dengan hukum gangguan (hinderrecht)
yang bersifat sederhana dan mengandung aspek keperdataan. Lambat laun
perkembangannya bergeser kearah bidang hukum administrasi, sesuai dengan
peningkatan peranan penguasa dalam bentuk campur tangan terhadap berbagai
segi kehidupan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Segi hukum lingkungan
yang administratif terutama muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat
kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking), misalnya dalam
prosedur perjanjian, dan sebagainya.
Menurut siti sundari rangkuti, mengikuti pendapat A.V.Van den berg, bahwa
pengelolaan hidup di Indonesia berhadapan dengan hukum sebagai sarana
kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian
hukum lingkungan yaitu:
1. Hukum bencana (rampenrecht)
2. Hukum kesehatan lingkungan (Milieuhygienerecht)
3. Hukum tentang sumberdaya alam atau konservasi (recht betreffende
natuurlijke rijkdommen)
4. Hukum tata ruang (recht betreffende de verdeling van het ruimtegrebuik)
5. Hukum perlindungan lingkungan (milieubeshchermingsrecht)
Dengan memperhatikan perkembangan akhir-akhir ini, Koesnadi
Hardjasoemantri berpendapat bahwa, hukum lingkungan dapat meliputi aspek-
aspek sebagai berikut :
1. Hukum tata lingkungan
2. Hukum perlindungan lingkungan
3. Hukum kesehatan lingkungan
4. Hukum pencemaran lingkungan

8
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

5. Hukum lingkungan internasional


6. Hukum perselisihan ligkungan

B. HUKUM TATA LINGKUNGAN

Hukum tata lingkungan merupakan hukum tata penyelenggaraan tugas (hak


dan kewajiban) kekuasaan negara berikut merupakan alat kelengkapannya dalam
mengatur pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum perlindungan lingkungan tidak mengenal satu bidang kebijaksanaan,
akan tetapi merupakan kumpulan dari peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang berkaitan dengan lingkungan biotik sampai
batas tertentu juga dengan lingkungan antrophogen. Sedang kalau wujud struktural
hukum perlindungan lingkungan meliputi perlindungan hayati, non hayati, buatan
termasuk cagar budaya seperti nampak pada UU No.5 Tahun 1990 tentang
konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, kemudian UU No.5 Tahun 1992
tentang Cagar Budaya.
Hukum kesehatan lingkungan adalah hukum yang berhubungan dengan
kebijaksanaan dibidang kesehatan lingkungan dan wujud struktualnya
meliputipemeliharaan kondisi air, tanah, dan udara seperti pada PP No.35 Tahun
1991 tentang sungai.
Hukum pencemaran lingkungan merupakan hukum yang memiliki
pengaturan terhadap pencegahan dan penanggulangn pencemaran. Wujud pola
hukum pencemaran lingkungan ini meluputi pencemaran air, udara, tanah seperti PP
No.12 Tahun 1995 tentang pengelolaan limbah B3.
Hukum lingkungan internasional merupakan instrumen yuridis dengan
pengaturan pengaturan hubungan hukum sengketa lingkungan yang sifatnya
melintasi batas negara. Lapangan hukumnya meliputi hukum lingkungan perdata
internasional dan hukum lingkungan pidana internasional seperti yang terdapat pada
UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum perselisihn lingkungan mrupakan hukum yang mengatur
prosedurpelaksanaan hak dan kewajiban karna adnya perkara lingkungan seperti
yang di atur di UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Dari pembagian tersebut, yang perlu mendapat perhatian adalah ‘‘hukum
tata lingkungan‘‘. Karena pada dasarnya hukum lingkungan dalam pengertian yang
paling sederhana adalah hukum yang mengatur tatanan lingkungan, ditambahkan
pula bahwa, hukum tatanan lingkungan dapat juga disebut hukum
administrasilingkungan atau hukum tata penyelenggaraan tugas (hak dan

9
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

kewajiban) kekuasaan negara berikut alat kelengkapannya dalam mengtur


pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum tata lingkungan semula dikenal dengan nama hukum tata guna
lingkungan digunakan (use oriented), maka istilah yang tepat adalah hukum tata
lingkungan.
Menurut Hardjasoemantri, hukum tata lingkungan mengatur penetapan
lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan
hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup budaya. Bidang
garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran serta masyarakat,
tata cara perlindungan lingkungan, tata cara penumbuhan dan pengembangan
kesadaran masyarakat, tata cara perlindungan lingkungan, tata cara ganti kerugian
dan pemulihan serta penataan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup.
Hukum lingkungan ini dikembangkan dengan metode dan tata pendekatan
yang berdasarkan asas-asas semesta, menyeluruh, dan terpadu maksudnya agar
hukum lingkungan ini mampu memberikan gambaran tinjauan tentang lingkungan
total. Lingkungan total disini artinya adalah lingkungan yang meliputi segenap aspek
dan seluruh isi semesta dan memancarkan sistem konsep ekologi dan sistem sosial.
- Semesta berarti mencakup segenap unsur komponen lingkungan.
- Menyeluruh berarti mencakup semua tahap-tahap perkembangan
lingkungan hidup dalam keseluruhannya sebagai kesatuan.
- Terpadu berarti meliputi segenap kaitan fungsional antara seluruh koponen-
komponen secara terintegrasi.
Demikian inti dan eksitensi pendekatan terhadap hukum lingkungan dalam
perwujudannya secara wajar. Dari keseluruhan uraian tentang pengertian hukum
lingkungan tidak dapat dihindari pemahaman berbagai disiplin ilmu lain yang terkait.
Misalnya ekologi, ekonomi, sosiologi, agraria, dan lain-lain. Disamping itu juga perlu
memperhatikan cabang-cabang lain dari hukum itu sendiri, seperti hukum tata
negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum internasional dan sebagainya.
Dengan demikian pendekatan interdisipliner dan multidisipliner adalah sangat
diperlukan dalam menjelaskan serta memahmi hukum lingkungan.
Hukum tata lingkungan, selanjutnya disingkat HTL, mengatur penataan
lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan
hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial budaya.
Bidang garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran serta
masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian kemampuan lingkungan, tata
cara pengembangan dan penumbuhan dan pengembangan kesadaran masyarakat,
tata cara perlindungan lindungan, tata cara ganti ganti kerugian dan pemulihan
lingkungan sertapenataan keterpaduan pengelolaan lingkungann hidup.

10
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Hal-hal yang khusus atau lebih terperinci ditandatangani oleh aspek-aspek


lainnya dari hukum lingkungan, seperti hukum kesehatan lingkungan, hukum
perlindungan lingkungan, hukum pencemaran lingkungan, hukum lingkungan
transnasional/internasional dan hukum sengketa lingkungan.
Dengan adanya penataan lingkungan yang dikaitkan dengan hubungan antar
manusia dan lingkungan sosial budayanya, maka jangkauan HTL lebih luas dari tata
ruang, atau ‘‘recht van de ruimtelijk ordening“.
Definisi ‘‘recht van de ruimtelijke ordering“ menurut van driel dan van vlied
adalah: hukum yang mengatur penataan dari ruang (ruimte) yang dari sudut sosial,
ekonomi dan budaya menciptakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi
pengembangan hidup masyarakat diwilayah tersebut. Mereka mengajukan pula
difinisi yang lebih ditekankan kepada; hukum yang mengatur penataan kegunaan
(bestremming) dan penggunaan (gebruik) dari tanah.
Dalam devinisi yang pertama dari van Driel dan van Vliet tersebut, manusia
merupakan titik sentral, yang menjadi titik tolakadalah bagaimana ruang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia atau dengan kata lain, bagaimana
mencari keserasian timbal balik yang paling baik antara ruang dan masyarakat yang
ditujukan kepada kepentingan masyarakat.
Penggunaan dari tanah untuk keperluan perumahan, lalulintas di darat, air
dan udara, pertahanan, rekreasi, perlindungan alam, pertanian, industri, dan lain-
lain, harus diatur secara seras dan seimbang, dengan koordinasi yang bersifat
seimbang. Dengan koordinasi yang bersifat horisontal.
Pengaturan secara serasi dan seimbang ini adalah tugas pertama dari
pemerintah.
Hal ini tidaklah hanya meliputi perencanaan dari sudut ilm iah (dengan studi
terlebih dahulu) dan dari sudut pemerintahan (setelah diadakan penyerasian
berbagai kepentingan) struktur ruang, akan tetapi juga mengenai pelaksanaan
tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, penetapan ruang bukanlah hanya
perencanaan, akan tetapi juga pelaksanaan.
Pelaksanaan inidapat dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh pihak
swasta. apabila pemerintah yang melaksanakan, maka penataan ruang tersebut
menjadi kebijaksanaan pembangunan (=planologo materiel).
Planologi mayteriel dibagi menjadi:
a. Planologi kondisi, yaitu menciptakan kondisi bagi masyarakat untuk dapat
lebih bergairah, seperti pembangunan subsidi untk pembangunan rumah baru
atau perbaikan rumah, dan sebagainya.
b. Planologi pelaksanaan, yaitu pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah sendiri, seperti misalnya mendirikan bangunan-bangunan, guna
mengarahkan pengembangan wilayah ketujuan yang telah ditetapkan.

11
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Definisi kedua lebih memberi tekanan kepada pengaturan dari kegunaan


dan penggunaan tanah melelui wewenang planologis yang diberikan kepada
berbagai intansi pemerintah (=planologi formal).(van Driel, van Vliet, 1979: 3 -4)
Definisi tata ruang sebagaiman tertera dalam pasal 1 butir 2 UU No.24
Tahun 1992 tentang penataan ruang adalah wujud strukturan pemanfaatan
ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Penjelasan butir tersebut menyatakan yang dimaksud dengan wujud
struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsurpembentuk rona
lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis
dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Wujud struktural pemanfaatan ruang diantaranya meliputi hirarki pusat
pelayanan seperti pusat kota, pusat lingkungan, pusat pemerintahan; prasarana
jalan seperti jalan entri, jalan kolektor, dan jalan lokal; rancang bangun seperti
ketinggian bangunan, jarak antar bangunan, garis langit, dan sebagainya.
yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan
ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia
dan atau kegiatan alam.
Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran
pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah
pedesaan dan perkotaan.
Tata ruang yang dituju dengan penataan ruang ini adalah tata ruang yang
direncanakan. Tata ruang yang tidak direncanakanadalah tata ruang yang
berbentuk secara alamiah seperti wilayah aliran sungai, danau, suaka alam, gua,
gunung dan sebagainya.
Hasan Purbo mengemukakan, bahwa istilah tata ruang dan tata guna
tanah, merupakan pengertian yang mempunyai sifat ‘‘manipulatif“, dalam arti
bahwa dalam kedua hal tersebut ada unsur keinginan untuk melakukan penataan
atau merubah keadaan seara teratur untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Ia mengemukakan devinisi lain dari tata ruang, yaitu: ‘‘suatu wujud
struktual manfaat dan fungsi ruang yang terjadi karena proses-proses sosial,
ekonomis, teknologis, politis, administratif (termasuk pengubahan secara
berencana) dan alamiah“. Dalam pengertian tersebut maka tata ruang
merupakan suatu ungkapankenyataan objektif struktur manfaat dan fungsi ruang
dapat kacau, dapat pula teratur dan serasi. Kedua-duanya dapat diistlahkan tata
ruang (yang kacau atau yang teratur dan serasi).
Manfaat dan fungsi ruang dapat diartikan sebagi wujud manfaat dan
fungsi dipermukaan, bahwa permukaan dan atas permukaan bumi yang bersifat
tetap. Ia dapat berupa bangunan, ladang, hutan, dan lain-lain, dipermukaan
bumi; ia dapat juga suatu tambang, sumur bor, aquiver dan lain-lain dibawah

12
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

permukaan; dan roete penerbangan, penghawaan, pembawa hujan dan lain-lain


di atas permukaan bumi.
Dalam batas tata ruang sebagai hasil proses-proses sosial, ekonomis,
teknologis, polittis dan administratif, maka ia merupakan lingkungan buatan
(bulit environtmen) bagi kehidupan manusia. Tata ruang sebagai proses alamiah
yang belum tersentuh oleh tangan manusiaseprti suatu bntang alam, merupakan
bentangalam bagi kehidupan manusia sebelum dirubahnya.
Hasan Purbo menyatkan lebih lanjut, bahwa sebagian lingkungan sosil dan
lingkungan fisik dapatdiartikan sebagai tata ruang dengan devinisi tersebut di
atas (Hasan purbo, 1982: 1-3, 9).
Apabila diperhatikan uraian-uraian diatas, dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa hukum tata ruang (recht van de ruimtelijke ordening) mempunyai
jangkauan yang tebaatas, tidak atau kurang mmencakup sosial budaya, seperti
tata cara penumbuhan dan pengembangan sistem nilai dan sikap hidup yang
menopang pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang,
dengan memperhatikan pula adat kebiasaan yang akrab lingkungan
(milieuvriendelijk).
Adalah lebih tepat digunakan hukum tata ingkungan yang dapat
mencakup segi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya
(milieuordeningsrecht).
Hukum tata ruang ini merupakan instrumentarium yuridis bagi penataan
lingkungan hidup.
Ia mengatur tatanan kegunaan (bestemming) dan penggunaan (gebruik)
lingkungan yan secara bijaksana untuk berbagai keperluan, sehingga dengan
pengaturan tersebut tujuan Hukum lingkungan dapat diwujudkan melaliu
beberapa cara konkrit dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang
serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan
bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Dalam rangka pengaturan tata keguanaan dan penggunaan lingkungan.
HTL perlu memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the general
principles of good administration), yang dikategorikan dal1m 13 asas, yaitu:
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan (principle of equality)
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
5. Asas motifasi untuk setiap keputusan pangreh (principle of motivation)
6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of
competence)
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)

13
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of


orbitrariness)
9. Asas menanggapiharapan yang ditimbulkan (principle of meeting raised of
expectation)
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the
consequences of an annulled decision)
11. Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of
protecting the personal way of life)
12. Asas kebijaksanaan (sapientia)
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)
Kuntjoro Purbopranoto mengemukakan, bahwa untuk menyelenggarakan
tata pemerintahan di Indonesia, asas-asas tersebut harus disesuaikan dengan
pokok-pokok sebagaimana tercantum dalam pancasila dan UUD 1945
(purbopranoto, 1981: 29-30).

14
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

BAB III
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
KESADARAN LINGKUNGAN HIDUP

A. SEJARAH LINGKUNGAN HIDUP

B. KESADARAN LINGKUNGAN HIDUP

I. Global Internasional
Kesadaran lingkungan yang bersifat global atau Internasional
merupakan wujud kepedulian masyarakat terhadap beberapa kejadian yang
timbul di beberapa Negara, di anataranya Jepang dan Amerika Serikat sendiri.
Sejak tahun 1950an masalah lingkungan mandapatkan perhatian tidak
hanya para ilmuan, tetapi juga masyarakat umum dan para politisi. Hal ini terjadi
karena dipicu dengan adanya pencemaran oleh limbah industry, pertambangan
dan pestisida.
Kejadian tersebut antara lain :
Pada tahun 1940an dan 1950an terjadi pencemaran oleh air raksa(Hg) dari
limbah industry dan oleh kadmiun (Cd) dari limbah pertambangan seng(Zn).
Pencemaran itu telah menyebabkan penyakit keracunan yang berturut-turut
disebut penyakit minamata dan penyakit iatai-itai.
Pada tahun 1962, di Amerika Serikat terbit sebuah buku yang berjudul
“The Silent Spring” (Musimm Semi yang Sepi ) oleh Rachel Carson. Buku
tersebut berisi tentang adanya penyakit baru yang mengerikan dan kematian
hewan yang disebabkan oleh pencemaran. Musim semipun mulai sunyi.
Akibatnya: menimbulkan pengaruh yang amat besar di kalangan masyarakat
umum. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya telur burung yang tidak dapat
menetas, ikan, burung dan hewan lain yang mengalami kematian, kota Los
Angeles yang dilanda pencemaran udara yang parah dan menggannggu
kesehatan menyebabkan kerusakan pada tumbuhan, air susu ibupun
mengandung residu pestisida. Menurunnya kegunaan pestisida dalam
pemberantasan hama dan vektor penyakit, karena organism hama dan vektor
penyakit menjadi rentan terhadap pestisida yang pakai. Misalnya pestisida DDT
yang semula dianggap sebagai pestisida yang sangat ampuh untuk memberantas
nyamuk malaria, di banyak tempat tidak lagi dapat membunuh nyamuk itu.
Berdasarkan kejadian diatas, masyarakatpun makin vocal dalam
menyuarakan keprihatinannya terhadap masalah lingkungan. Suara vocal mula-
mula berasal dari Negara maju yang mereka merasa bahwa hidupnya yang aman
dan makmur terancam oleh berbagai masalah lingkungan itu. Masyarakat Negara

15
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

maju tersebut tidak hanya mempermasalahkan lingkungan di Negara maju,


melainkan juga lingkungan di Negara yang sedang berkembang.Protes yang
dilancarkan oleh masyarakatpun Internasional, terutama masyarakat Negara
maju itu disampaikan pada waktu diselenggarakannya konferensi Internasional di
Amerika Serikat pada tahun 1968. Subtansi kritikan yang diajukan salah satunya
adalah bantuan luar negeri Negara maju kepada Negara sedang berkembang
yang menurut mereka telah menghasilkan bencana lingkungan. Dalam
konferensi tersebut dihasilkan sebuah laporan yang berjudul The Carreless
Technology ( Teknologi yang tak perduli ) yang banyak dibaca orang.
Konferensi tersebut merupakan awal adanya perhatian masyarakat
Internasional terhadap kerusakan lingkungan secara global, yang kemudian
diikuti oleh konferensi Stockholm di Swedia tahun 1972 yang melahirkan
Stockholm .

II. Deklarasi Stockholm


Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan
sedunia untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada lingkungan hidup
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu
ditanggulangi bersama dmi kelangsungan hidup didunia. Oleh karena itu
perhatian terhadap lingkungan hidup ini dimulai di kalangan ekonomi dan sosial
PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-I ( 1960-1970)”guna merumuskan srategi” Dasawarsa
Pembangunan Dunia ke-II ( 19670-1980)”.
Mencermati hasil laporan Dewan Sosial dan Ekonomi PBB terhadap
pembangunan yang terdapat di beberapa Negara,baik Negara maju maupun
Negara berkembang, diajukanlah saran untuk membicarakan masalah lingkungan
hidup manusia secara Internasional dalam sebuah konferensi oleh salah seorang
wakil dari Swedia.
Pada tahun 1969, secretariat Jenderal PBB melaporkan pada Sidang
Umum PBB bahwa betapa mutlak perlunya dikembangkan “sikap dan tanggapan
baru’ terhadap lingkungan hidup. Tujuan untuk menangani masalah-masalah
lingkungan hidup itu adalah demi petumbuhan ekonomi dan social, khususnya
mengenai”Perencanaan, Pengelolaan, dan Pengawasan.” laporan Sekretariat
Jenderal PBB tersebut kemudian disahkan menjadi resolusi Sidang Umum PBB
No. 2581 (XXIV) pada tanggal 25 desember 1969. Dalam resolusi itu disepakati
untuk membentuk panitia persiapan, yang bersama-sama sekjen PBB ditugaskan
menyiarkan secara luas terhadap mendesaknya kepentingan untuk menangani
masalah-masalah lingkungan hidup. Oleh karena itu, sidang umum menerima

16
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

tawaran pemerintah Swedia untuk menyelenggarakan Konferensi PBB mengenai


LIngkungan Hidup Manusia di Stockholm pada bulan Juni 1972.
Bertepatan dengan diumumkannya “Strategi Pembangunan Internasional”
bagi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2” (The Second UN-Development
Decade)”, yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, sidang Umum PBB
menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta
Internasional guna menanggulangi”proses kemerosotan kualitas lingkungan
hidup, agar dapat menyelamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi
kelangsungan hidup manusia.
Secara khusus, resolusi sidang umum PBB no.2657 (XXV) tahun 1970
menugaskan kepada Panitia Persiapan untuk mencurahkan usaha guna
“melindungi dan mengembangkan kepentingan Negara-negara yang sedang
berkembang”,dengan menyesuaikan dan memadukan secara serasi kebijakan
nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana pembangunan nasional,
berikut skala-skala prioritasnya.
Panitia Persiapan mengadakan pertemuan pendahuluan membicarakan
agenda yang akan didiskusikan pada konferensi tersebut. Pada tahun 1971,
panitia persiapan dalam laporannya menyarankan 6 (enam ) mata cara bagi
konferensi sebagai mata acara pokok yaitu sebagai berikut :
a. Perencanaan dan pengelolaan permukiman manusia demi kualitas lingkungan
hidup.
b. Segi-segi lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam.
c. Identifikasi dan pengendalian jenis-jenis pencemaran dan gangguan yang
berpengaruh Internasional secara luas.
d. Segi-segi pendidikan, penerangan, social, dan kebudayaan dalam masalah
lingkungan hidup.
e. Pembangunan dan lingkungan hidup.
f. Impilikasi organisasi secara Internasional mengenai tindakan-tindakan yang
diusulkan konferensi.
Panitia tersebut menyiapkan bahan-bahan serta rancangan perumusan mengenai
:
a. Deklarasi tentang lingkungan hidup dan manusia
b. Pencemaran laut
c. Pencemaran tanah
d. Monitoring dan pengawasan
e. Konservasi alam.
Pada tanggal 5-16 Juni 1972 dilaksanakan konferensi PBB mengenai
lingkungan hidup manusia di Stockholm Swedia yang diikuti oleh 113 Negara dan
beberapa puluh peninjau. Konferensi tersebut diwarnai sebagai oleh adanya boikot

17
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

yang dilakukan oleh Negara Uni Soviet dan Eropa Timur sebagai protes terhadap
ketentuan yang menyebabkan beberapa Negara tidak diundang dengan kedudukan
yang sama dengan peserta lain, seperti Republik Demokratis Jerman.
Pada akhir sidang yaitu tanggal 16 Juni 1972, konferensi mensahkan
hasil-hasilnya berupa :
I. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri dari : preambule dan
26 Asas yang lazim disebut Stockholm Declaration.
II. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia ( Action Plan ) terdiri dari
rekomendasi termasuk di dalamnya 18 Rekomendasi tentang Perencanaan
dan Pengelolaan Permukiman Manusia.
III. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang
Rencana Aksi di atas, terdiri dari :
a. Dewan Pengurus ( Governing Council ) Program Lingkungan Hidup (
UN Environment Programme = UNEP );
b. Skretariat yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif;
c. Dana Lingkungan Hidup;
d. Badan Koordinasi Lingkungan Hidup.
Hasil dari konferensi PBB mengenai lingkungan hidup di Swedia pada
tahun 1972, ternyata tidak membawa lingkungan makin baik tapi malahan
lingkungan semakin parah.walaupun kerja keras UNEP telah membawa hasil
yang maksimal, yaitu memacu pembangunan di Negara maju dan Negara
berkmbang, keberhasilan pembangunan tersebut membawa dampak berupa
terancamnya kehidupan manusia dari hujan asam, lautan yang semakin kotor,
udara yang semakin tercemar, tanah yang semakin tandus, dan banyak jenis
binatang dan tumbuh-tumbuhan yang semakin punah. Di satu pihak ada
kemajuan, di lain pihak ditemukan kerusakan lingkungan yang secara serius
mengganggu kehidupan manusia dan kelangsungan pembangunan itu sendiri.
Menyadari semakin parahnya masalah lingkungan hidup di dunia, dan
bertepatan dengan diperingatinya 10 tahun konferensi PBB mengenai lingkungan
hidup, maka dalam pertemuan wakil-wakil pemerintah dalam Government
Council UNEP 1982, mereka perlu melakukan introspeksi, melakukan kajian ulang
bagaimana sebaiknya arah pembangunan ini disempurnakan. Dalam pertemuan
itu pula diusulkan agar dibentuk sebuah Komisi Dunia untuk lingkungan dan
pembangunan WCOED (The World Commission on Environment And
Development ). Usul ini di bawa ke sidang Umum PBB pada bulan desember
tahun 1983 dan disepakati untuk membentuk komisi yang mempelajari
tantangan lingkungan dan pembangunan menjelang tahun 2000 dan cara-cara
menanggulanginya. Pada tahun 1984, Sekjen PBB mengangkat Ny. Gro Harlen
Brundtland Perdana Menteri Norwegia mewakili Negara maju sebagai Ketua

18
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dan Dr. Mansour Khalid mantan Menlu Sudan mewakili Negara berkembang
sebagai wakil Ketua Komisi.
Dalam menyusun kerangka acuan penanggulangan terhadap kerusakan
lingkungan hidup, komisi ini memiliki acuan sebagai berikut :
a. Mengusulkan strategi lingkungan jangka panjng untuk mencapai
pembangunan terlanjutkan pada tahun 2000 dan sesudahnya;
b. Menyarankan cara agar keprihatinan terhadap lingkungan dapat disalurkan
dalam kerja sama antarnegara berkembang dan antar negara dengan tingkat
tahapan pembangunan ekonomi dan social yang berlainan menuju
tercapainya sasaran besama dan saling mendukung yang memperhitungkan
hubungan antarpenduduk, sumber daya, lingkungan dan pembangunan;
Mengajukan jalan dan cara agar masyarakat dunia dapat menangani lebih
efektif masalah lingkungan dan merumuskan persepsi bersama tentang masalah
lingkungan jangka panjang dan usaha menghadapi masalah proteksi dan
meningkatkan lingkungan, agenda kerja jangka pendek dan panjang untuk
Dasawarsa yang akan dating, dan sasaran aspiratif bagi masyarakat dunia.
III. Deklarasi Rio de Janerio
Deklarasi Rio De Janeiro merupakan konferensi PBB mengenai lingkungan
hidup yang kedua setelah konferensi PBB mengenai lingkungan hidup manusia yang
pertama di Stockholm Swedia tahun 1972. Koferensi Rio De Janeiro dilaksanakan di
Brazil tanggal 3-14 Juni 1992 yang lazim disebut “Konferensi Tingkat Tinggi Bumi”,
telah menghasilkan 5 (lima ) dokumen berikut :
1. Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan dengan 27 asas yang
menetapkan hak dan tanggung jawab bangsa-bangsa dalam memperjuangkan
perkembangan dan kesejahteraan manusia.
2. Agenda 21,sebuah rancangan cara untuk mengupayakan pembangunan yang
berkelanjutan dari segi social, ekonomi dan lingkungan hidup.
3. Pernyataan tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan
pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan yang
merupakan unsure mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala
bentuk kehidupan.
4. Tujuan kerangka konvensi PBB untuk perubahan iklim ialah menstabilkan gas-
gas rumah kaca dalam atmosfer pada tingkatkan yang tidak mengacaukan iklim
global. Ini mensyaratkan pengurangan emisi gas-gas seperti karbon dioksida,
yaitu hasil sampingan dari pemakaian bahan bakar untuk mendapatkan energy.
5. Konvensi tetang keanekaragaman hayati menghendaki agar Negara-negara
mengerahkan segala daya dan dana untuk melestarikan keragaman spesies-
spesies hidup, dan mengupayakan agar manfaat penggunaan keanekaragaman
hayati itu dirasakan secara merata.

19
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Hasil Konferensi Rio De Janeiro menetapkan serangkaian asas sebagai


pedoman pembangunan di masa mendatang. Asas-asas ini menetapkan hak-hak
manusia atas pembangunan dan tanggung jawab manusia terhadap pelesatarian
lingkungan hidup brsama. Disamping itu deklarasi menyatakan bahwa bahwa satu-
satunya cara untuk mencapai kemajuan ekonomi jangka panjang ialah dengan
mengkaitkannya dengan perlindungan lingkungan. Hal inidapat terjadi jika bangsa-
bangsa menjalin kemitraan global yang baru dan adil, yang melibatkan pemerintah,
rakyat dan sektor-sektor kunci dalam masyarakat. Serta menciptakan kesepakatan
Internasional yang melindungi lingkungan global serta sistem pembangunan.
Prinsip lainnya mencakup masalah lingkungan dan pembangunan yang
berkaitan dengan keadaan dan kebutuhan Negara-negara berkembang yang perlu
mendapatkan perhatian. Sehingga diperlukan suatu kerja sama di antara setiap
bangsa dan Negara untuk menghapuskan kemiskinan yang merupakan syarat
utama guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Deklarasi Rio juga membahas ekonomi Internasional, yang mencantumkan
suatu prinsip mengenai perlunya diciptakan suatu sistem yang terbuka dan
menunjang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di semua
Negara. Tindakan-tindakan di bidang perdagangan yang mempertimbangkan aspek
lingkungan tidak boleh dilakukan secara diskriminatif atau terdapat yang menjadi
pembahasan penting, yaitu upaya guna memberikan dasar bagi penyusunan
berbagai perjanjian internasional yang menghormati kepentingan setiap pihak dan
melindungi integritas sistem lingkungan dan pembangunan global.
1. Program Agenda 21
Agenda 21 yang dicetuskan pada konferensi Tingkat Tinggi Bumi diRio De
Janeiro mencerminkan global dan komitmen politik pada taraf tertinggi dalam hal
kerja sama lingkungan dan pembangunan. Agenda ini mencakup masalah-
masalah yang mendesak saat ini maupun kebutuhan mempersiapkkan diri
menghadapi tantangan abad mendatang.
Agenda 21 ini merupakan program kerja bidang lingkungan dan
pembangunan yang memuat program aksi komprehensif dan ditujukan guna
menata kembali kegiatan-kegiatan manusia dalam menanggulangi kerusakan
lingkungan dan menjamin proses pembangunan berkelanjutan.
Bagian I dari agenda 21 ini menyangkut Dimensi Sosial dan Ekonomi yang
memuat pokok-pokok ikhtiar :
(a ) memerangi kemiskinan dan mengubah pola konsumsi;
(b) segi kependudukan, promosi kesehatan manusia dan perkembangan
pemukiman sehat;
(c) mengintegrasikan lingkungan dalam pembangunan dan dalam pengambilan
keputusan.

20
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Bagian II menyangkut Konservasi dan Manajemen Sumber Daya Alam


untuk pembangunan yang memuat ikhtiar sebagai berikut :
a. Menanggulangi masalah-masalah lingkungan udara, sumber daya tanah,
penggundulan hutan, desertivikasi dan kegersangan, erosi, lautandan pantai
dan air tawar;
b. Pengelolaan limbah beracun dan berbahaya, limbah radio aktif, limbah padat,
dan limbah cair;
c. Pengembangan pertanian, pelestarian keanekaragaman sumber alam hayati
dan pengelolaan biotelnologi berwawasan lingkungan.
Bagian III menyangkut peranan kelompok-kelompok utama yang
menyangkut :
a. Kelompok, wanita , anak dan pemuda;
b. Memperkuat lembaga swadaya masyarakat, pemerintah likal, bisnis,
industriawan, serikat pekerja;
c. Kelompok masyarakat ilmuan dan petani.
Bagian IV menyangkut pelaksana yang menyangkut :
a. Sumber dana pembiayaan dan mekanisme;
b. Ilmu pengetahuan dan teknologi serta proses komunikasi, informasi, dan
edukasi;
c. Mekanisme kerja sama Internasional.
Sehubungan dengan bagian IV, dalam program aksi ini terdapat 8 isu yang
paling sulit untuk dirundingkan, yaitu :
a. Sumber-sumber pendanaan
b. Alih teknologi
c. Prinsip-prinsip mengenai kehutanan
d. Perlindungan atmosfir’
e. Biodiversityl biotechnology
f. Sumber air bersih
g. Kelembagaan dan
h. Penegakan hukum.
Pada bagian IV ini, Negara-negara berkembang menuntut agar
pengambilan alih sumber daya untuk pembangunan berwawasan lingkungan
harus dilakukan melalui :
a. Peningkatan perdagangan;
b. Alih teknologi
c. Arus investasi berwawasan lingkungan
d. Penanggulangan utang
e. Dana bantuan, khususnya untuk membiayai program aksi 21.
2. Prinsip-prinsip Tentang Kehutanan

21
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Hutan mempunyai banyak fungsi dan memainkan peran penting dalam


pelestarian tanah dan air, memelihara atmosfir yang sehat dan memelihara
keanekaragaman hayati tumbuh-tumbuhan dan hewan. Kelangsungan dan
keberadaan hutan tergantung sejauh mana kita mengakui dan melindungi nilai -
nilai ecology. Kendali iklim dan nilai social serta ekonominya. Manfaat-manfaat ini
perlu dimaksukkan ke dalam sistem neraca ekonomi nasional yang dipakai untuk
menimbang pilihan-pilihan pembangunan.
Prinsip-prinsip tetang kehutanan telah berhasil pula disepakati dalam
dokumen Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for Global
Consessus on the Management, Conservation and sustainable Development of
All Types of Forest, berisikan 15 prinsip yang berkaitan dengan masalah
pengelolaan hutan. Dokumen ini juga memuat pedoman yang tidak bersifat
mengikat dan berlaku untuk semua jenis hutan, terdapat pula prinsip-prinsip
lainnya, yaitu menyangkut perdagangan kayu, penghapusan hambatan-
hambatan tariff, dan perbaikan akses ke pasaran.
Disamping prinsip-prinsip kehutanan tersebut, telah disepakati progran-
program dalam agenda 21 mengenai Deforestation yang menyangkut 4 (empat
) bidang, yaitu fungsi hutan, peningkatan perlindungan, pemanfaatan dan
konservasi hutan, efisiensi pemanfaatan dan telaahan mengenai nilai dan jasa
hasil hutan, serta peningkatan kemampuan perencanaan, monitor dan evaluasi.

IV. Prinsip-prinsip Protokol Kyoto


Perjanjian Protokol Kyoto muncul karena timbul kekhawatiran para
pakar kehutanan dan klimatolog terhadap terjadinya pemanasan global akhir-
akhir ini. Menurut Thomas Karl dan Kevin Trenberth dari National Oceanic and
Atmosphere Administration, pemanasan global adalah kabar buruk yang akan
menimpa generasi mendatang. Tetapi kenyataannya, saat ini pun kita sudah
mulai memasuki masa suram itu, iklim terpantau mulai tidak bersahabat.
Sementara itu, peneliti dari University College London (UCL ) dan Met Office
Hadley Center For Climate Prediction and Research mengemukakan bahwa
pemanasan global juga terlihat dalam skala local di belahan Utara Antartika.
Kejadian ini member bukti adanya peningkatan temperature global. Tidak seperti
biasanya, lapisan es meleleh banyak saat musim panas berlangsung. Durasi
musim panas pun kini bertambah panjang dibandingkan 25 tahun yang silam.
Peristiwa serupa juga melanda lapisan glatsier lain di seluruh penjuru dunia.
Padahal glatsier menyimpan cadangan air di dunia. Hasil penelitian terkini
tentang air mengingatkan marabahaya yang bakal menimpa penduduk bumi.
Warga dunia akan terancam kesulitan air bersih kalau glatsier terus meleleh .
Diperkirakan hingga akhir zaman, kenaikan temperature global akan mencapai 4

22
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

derajat Celsius. Kalau itu terjadi, bumi akan kehilangan 70% cadangan air bersih
dunia.
Gambaran terjadinya pemanasan global di atas yang dikemukakan
oleh suatu lembaga ilmiah merupakan masukan yang sangat berharga, dan
kenyataan tersebut telah kita rasakan saat ini, dengan adanya perubahan
pemanasan global ini, yang memicu PBB memprakarsai pembicaraan perubahan
iklim yang telah ditandatangani pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Mengapa
perlu dibicarakan mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), karena
bumi mempunyai keterbatasan dalam mempertahankan ekosistemnya. Menurut
Moestikahadi Soedomo, anggapan tentang kemampuan alam (fleksibilitas )
dalam menanggapi berbagai perubahan serta kestabilan iklim bumi sering kali
keliru. Bumi memang senantiasa mengalami berbagai perubahan. Zaman es
pada sekitar 10.000 tahun yang lalu menunjukkan bahwa kestabilan dan kondisi
tunak (steady state ) bumi pada saat itu lain dengan keadaan yang sekarang kita
jumpai. Perubahan iklim dan bumi kita selama ini disebabkan semata-mata oleh
gejala alam sendiri. Komposisi atmosfer, daratan, lautan, biosfer, serta iklim
yang ada di bumi pada dasarnya cenderung berubah dari waktu ke waktu, dalam
proses yang sangat lama ( ribuan hingga jutaan tahun ). Pada suatu saat bumi
mungkin akan kehilangan esnya dengan meningkatnya temperatur secara alami
akibat antropogenik berinterferensi sehingga dapat mengubah komposisi
atmosfer dengan cepat.
Protokol Kyoto merupakan refleksi dari keinginan masyarakat dunia
untuk mengurangi gas rumah kaca yang terjadi atmosfer, yang setiap hari
semakin meningkat. Peningkatan gas-gas ini telah hamper merata di seluruh
dunia dan dampaknya telah terasa saat ini. Oleh karena itu para pakar
lingkungan, para pengamat, dan para kepala Negara sepakat untuk melakukan
pertemuan secara berkala. Langkah pertama yang dilakukan oleh para kepala
Negara adalah mengadopsi konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan
iklim ( United Nations Framework Convention on Climate Change) di Rio De
Janeiro, Brasil 1992. Konvensi ini merupakan suatu landasan peluncuran yang
lebih kuat untuk tindakan di masa depan. Dengan demikian, tinjauan pertama
dilakukan untuk melihat kembali terhadap komitment Negara-negara maju
sebagaimana disyaratkan dalam siding pertama konferensi para pihak ( first
session of the Conference of Parties , CoPI ) yang diadakan di Berlin, Jerman
tahun 1995.
Salah satu keputusan yang disepakati oleh para pihak bahwa komitmen
Negara-negara maju yang bertujuan untuk mengembalikan emisi ke tingkat
tahun 1990 menjelang tahun 2000, sangat tidak memadai untuk mencapai

23
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

tujuan jangka panjang konvensi untuk menghindari pengaruh manusia yang


membahayakan sistem iklim bumi.
1. Efektivitas dan Status Protokol Kyoto
Kemauan PBB untuk memfasilitasi pertemuan yang bersifat Internasional
merupakan salah satu tugas pokok lembaga tersebut, dan kenyataan
menunjukkan bahwa hamper semua pertemuan tersebut dinyatakan berhasil
walaupun dalam kenyataan protocol Kyoto merupakan pertemuan internasional
yang berusaha mempertemukan kepentingan antara Negara maju dan Negara
berkembang dimana Negara-negara maju berkelompok berkoalisi dalam
bentuk Annex I dan kelompok Negara-negara berkembang masuk dalam
kelompok Non Annex untuk memberikan gambaran mengenai pengelompokan
ke dalam Annex I dan Non Annex akan diuraikan pada table dibawah ini.

Table
Masalah Dan Kepentingan Berbagai Negara Dan Koalisinya
Koalisi Anggota Masalah dan kepentingan
Annex I (41 ) Austria,Belanda, Menurut Partisipasi
EU (15 ) Belgia,Denmark, Filandia, Non Annex I
Inggris, Irlandia, Italia, Jerman,  Privatisasi
Luksemburg, Perancis, Portugal,  Efisiensi Energi
Spanyol, Swedia, dan Yunani  Mengurangi
ketergantungan
terhadap minyak impor
Jusscanny(7) Jepang, AS, Swiss, Kanada,  Privatisasi
Norwegia, dan Selandia Baru  Dapat melakukan
penurunan emisi diluar
negeri dengan
pencapaian target tidak
ketat
,
Kelompok payung(9) Jepang, AS, Kanada, Australia,  Privatisasi
Norwegia, Selandia Baru,  Terus menggunakan
Islandia, Rusia, dan Ukraina BBM
Rusia dan CEIT(14) Rusia, Belarus, Bulgaria, Ceko,  Meningkatkan
Slovakia, Estonia, Honggaria, pertumbuhan Ekonomi
latvia,Lituania, Polandia, setelah memasuki era
Rumania, Ukraina, Krosia, ekonomi pasar
Slovania  Memperdagangkan

24
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Hot air
Non Annex I(153) Menuntut Komitmen
Annex I
G 77 + Cina (131) Semua Negara berkembang di  Kesetaraan
Asia, Afrika, Amerika Latin, dan  Alih-Teknologi dan
Kepulaun dilautan pasifik, dan pengembangan
Karibia, kecuali Cook Island, kapasitas
Karibati, Nauru, Niue, Palau, dan  Pembangunan untuk
tuvalu pertumbuhan ekonomi
OPEC(11) Aljazair, Indonesia,Iran,Irak,  Mempertahankan
Kuwait, Libia, Negiria,Qatar, produksi BBM tinggi
Arab Saudi, Uni Emirat Arab,dan  Kompensasi untuk
Venezuela. diverifikasi ekonomi
 Didominasi oleh Arab
Saudi
GRULAC(33) Antigua dan Barbuda, Argentina,  Pembangunan dan
Bahama, Barbadhos, Beliza, pertumbuhan ekonomi
Bolivia, Brasil,Cile, Kostarika, harus dipicu
Dominika, Republik  Memanfaatkan CDM
Dominika,Ekuador, El Salvador, untuk kehutanan
Grenada,  Meningkatkan bahaya
Guatemala,Guyana,Haiti, kenaikan permukaan
Honduras, Jamaika, kolombia, laut
Kuba, Meksiko, Nikaragua,
Panama, Paraguy, Peru, St.Kitss,
dan Nevis, ST Vincent, dan
Grenadines, Suriname, Trinidad,
dan Tobago, Uruguay, dan
Venezuela
Kel.Afrika(53) Semua Negara di Benua Afrika  Kemiskinan dan
beserta Madagasan kar dan kerentanan terhadap
Seychellers perubahan iklim
 Rendahnya daya
adaptasi
AOSIS(42) Samoa,Antigua dan Barbuda,  Kesetaraan
Bahama, Barbadhos,  Pembangunan
Beliza,Cape, Verde, ekonomiyang
Comoro,COOk,Islands,Kuba, berkelanjutan

25
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Siprus, Dominika, Mikronesia,  Sangat rentan


Fiji, Granada, Guam, Guinea- terhadap kenaikan
Bissau, Guyana, Jamaika, permukaan laut
Kribati, MAladewa,  Menuntut komitmen
Malta,Marshall Islands, yang kuat dari Negara-
Mauritius, Niue, Palau,PNG, Sao negara maju
Tome, Seychelles, Singapura,
Solomon Islands, St.Kitss, dan
Nevis, ST Vincent, dan
Grenadines, Suriname,
Tongo,Trinidad, dan Tobago,
Tuvalu, Virgin, Island, dan
Vanuatu.
CEIT lainnya (11) Albania, Armenia, Azerbaijan,  Pembangunan
Grogia, Kazakhastan, berkelanjutan untuk
Kyrgsystan, Macedonia, pertumbuhan ekonomi
Moldova, Tajikistan, Uzbekistan,
Yogoslavia.

Efektivitas Protokol Kyoto yang mensyaratkan agar diratifikasi oleh paling


sedikit 55 negara, temasuk Negara-negara berkembang. Sementara syarat
minimum 55% emisi Negara maju harus dilibatkan, menunjukkan pentingnya
peranan Negara maju sebagai pengemisi utama untuk bertindak langsung.
Selama ini merekalah yang memberi kontribusi terbesar dalam peningkatan
konsentrasi GRK hingga pada keadaannya yang sekarang. Negara-negara inilah
yang emisi totalnya ada tahun 1990 adalah 13,7 GT(giga-ton ) yang emiliki
tanggungjawab dan perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya
melindungi iklim Bumi. Dengan demikian kontribusi Negara industry terbesar
dalam pembangunan emisi adalah Amerika Serikat (36,1) disusul Rusia (17,4),
Jepang (8,5), Jerman (7,4), Inggris (4,2), Kanada (3,3), Italia (3,1 ), Polandia
(3), Prancis(2,7), Australia(2,1), empat Negara antara 1-2 %, 17 Negara di
bawah 1% dan sisanya 3 negara 0%.
Protocol Kyoto adalah salah satu perjanjian International yang sangat
berpengaruh pada semua Negara. Walaupun dalam ketentuannya Negara
berkembang tidak wajib ikut meratifikasinya, akan tetapi apabila Negara
berkembang ikut di dalamnya, Negara berkembang tersebut aan mendapatkan
beberapa keuntungan, menurut Daniel Murdiyanso, para anggota konvensi tidak
serta merta menjadi anggota protocol kalau tidak meratifikasinya. Jika

26
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

meratifikasi, Negara berkembang Indonesia akan menjadi anggota protocol


Kyoto dan secara teknis dapat berpartisipasi melalui salah satu dari tiga
mekanisme Kyoto yaitu mekanisme pembangunan bersih ( clean development
Mechanism (CDM ), satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan antara
Negara maju dan Negara berkembang. Dua mekanisme yang lain adalah Joint
Implementation (JI) dan Emission Trading ( ET ) yang hanya dapat dilakukan
antara Negara maju. Jadi, dari segi bisnis, ratifikasi protokol Kyoto akan menarik
dana investasi melalui CDM di mana kegiatan investasi itu akan memberikan
dana tambahan sebagai kompensasi atas pembatalan emisi GRK karena proyek
tersebut dilaksanakan pada sector-sektor yang mampu menekan emisi atau
meningkatkan penyerapan karbon.

2. Penolakan dan komitmen Negara maju


Presiden George W. Bush mengemukakan beberapa alasan penolakan
Protokol Kyoto sebagai berikut :
a. Delapan puluh persen penduduk dunia ( termasuk yang berpenduduk besar
seperti Cina dan India) dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi
b. Implimentasi Protokol Kyoto akan berpengaruh negative terhadap
pertumbuhan ekonomi AS karena penggantian pembangkitan energy dengan
batu bara menjadi gas akan sangat mahal
c. Protol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global yang tidak
adil dan tidak efektif
d. CO2 menurut Undang-Undang AS,”Clean Air Act,” tidak dianggap sebagai
pencemar sehingga secara domestik tidak perlu diatus emisinya
e. Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara-cara untuk memecahkan
persoalan didukung oleh pemahaman ilmiah dan terbatas.
Selain alasan penolakan yang dicantumkan dalam suratnya kepada
Senator Partai Republik tersebut Presiden George W. Bush mengajukan jalan
keluar berupa usulan sebagai berikut :
1. Meninjau kembali isu perubahan iklim, termasuk pemahaman ilmiahnya,
teknologi mitigasi, sistem insentif, dan pilihan-pilihan inovatif untuk mengatasi
perubahan iklim.
2. Mengubah focus pemecahan masalahnya dengan bekerjasama dengan sekutu
(frienfs and allies ) Amerika Serikat.
Beberapa Negara yang komitmen terhadap protocol kyoto termasuk
diantara beberapa Negara maju atas usulan yang diajukanoleh AOSIS(Alliance of
Small Island States) pada tahun 1994 yang dikenal dengan target Toronto. AOSIS
mengusulkan agar para pihak yang termasuk dalam Annex I Konvensi perubahan

27
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

iklim menurunkan emisi CO2nya sebesar 20% pada tahun 2005. Negara maju
yang mengajukan usulan adalah Jerman pada tahun 1996 dengan target sebesar
10% menjelang 2005 dan 15% menjelang 2010. Jerman telah mendapatkan
persetujuan dari anggota EU (Uni Eropa) lainnya mengenai target waktunya,
tetapi persen penurunnya Jerman sendiri. Setahun kemudian akhirnya EU
menyepakati penurunan emisi tiga macam gas ©2,CH4, dan N20) sebesar 7,5%
pada tahun 2005 sampai tahun 2010 dengan menggunakan tahun 1999 sebagai
tahun awal.
Jepang adalah Negara pertama yang secara konkret mengusulkan
pembedaan target(Differentiated Target) penurunan emisi untuk setiap Negara.
Dengan usul yang dimulai dengan target 5 persen ini dan kemudian disesuaikan
berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, ternyata emisi global hanya
akan stabil pada tinggkat emisi pada tahun 1990. Dengan adanya target
penurunan emisi ini, maka sasaran Protokol Kyoto adalah sebagai berikut :
a. Mengikat secara hukum ( legally binding );
b. Adanya periode komitemen ( commitment period );
c. Digunakannya rosot (sink) untuk mencapai target;
d. Adanya jatah emisi (assigned amount ) setiap Annex I;
e. Dimasukkannya enam jenis GRK (basket of gases ).
3. Implikasi Protokol Kyoto bagi Indonesia
Indonesia sebagai salah satu Negara yang termasuk dalam kategori
Negara sedang berkembang secara hukum tidak mempunyai kewajiban untuk
melakukan pengurangan terhadap emisinya, karena dalam ketentuan protokol
Kyoto, Negara berkembang tidak diwajibkan untuk melakukan pengurangan
emisinya. Namun demikian Indonesian sebagai Negara yangntelah masuk
bergabung dalam masyarakat dunia dibawah payung PBB sangat berpengaruh
kalau ikut meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Oleh karena itu, menurut Daniel
Murdiyarso, Protokol Kyoto implikasinya dapat dikelompokkan dalam tiga aspek,
yaitu politik dan hukum, Bisnis dan Kelembagaan.
a. Implikasi pada politik dan hukum
Secara hukum, ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindak
lanjuti dengan pengesahan protokolnya. Jika ternyata ada Negara yang
mengesahkan konvensi, tetapi menolak protokolnya, itu adalah hak Negara
tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan.
Perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap Negara yang didasari
berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politis, hukum
nasional, dan financial serta peluang melakukan pengembangan bisnis.
b. Implikasi Bisnis

28
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Sebagai Negara berkembang, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk


menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CMA. Menurut laporan
National Strategy Study (NSS) on Clean Development Mechanisme yang
dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, permintaan pasar Karbon Global
adalah sekitar 800 juta ton CO2 CDM, penawaran terhadap pangsa pasar ini
tentu saja akan datang dari berbagai pihak yang memiliki potensi. Pembeli tentu
saja akan membeli dari pasar yang memiliki risiko rendah yang ditunjang oleh
kerangka hukum dan kelembagaan yang jelas.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup,
peluang Indonesia dalam pasar karbon global hanya 2% atau sekitar 25 juta
tCO2/tahun, sementara India dan Cina masing-masing memiliki peluang 20 dan
50 %. Harga karbon di pasar yang belum matang ini diperkirakan hanya sekitar
US$ 8/tCO2. Padahal kalau dilakukan secara domistik di Negara Industri hanya
bisa mencapai 100 kali lipat lebih besar. Ditengah-tengah ketidakmatangan
pasar, telah muncul beberapa Negara maju yang menciptakan pasar CDM,
antara lain Negeri Belanda dalam CERUP-nya. Skema ini memiliki dana sebesar 1
Miliar Euro 5,5/tCO2. Disusul bank Dunia yang memfasilitasi pembeli dan penjual
melalui skema Portoplio Carbon Fund, Community Development Carbon, dan Bio
Carbon Fund.
c. Implikasi Kelembagaan
Langkah awal yang harus dilakukan semua Negara yang ingin berpartisipasi
dalam kegiatan CDM, termasuk Indonesia adalah mengesahkan Protokol Kyoto.
Selanjutnya yang harus dilakukan adalah penyusunan peraturan perundang-
undangan yang akan berlaku secara nasional dan dirancang untuk
memperlancar implementasi protokol. Sementara itu dapat ditindak lanjuti oleh
pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Oleh karena itu, pemerintah pusat
juga perlu melakukan sosialisasi agar pemerintah daerah juga memiliki
pemerintah daerah mempunyai pemahaman yang sama tentang implementasi
Protokol Kyoto melalui kegiatan CDM.
Dalam rangka mempersiapkan kerangka protocol Kyoto untuk implikasi pada
sector kelembagaan, maka perlu peningkatan kapasitas Stakeholder agar
mampu menyerap dn mengembangkan proyek bersama calon investor yang
potensial. Stakeholder yang mempunyai kemampuan lebih akan memiliki posisi
tawar yang lebih baik pula, sehingga kemungkinan untuk mendapatkan
keuntungan lebih besar dan akan memudahkan pekerjaan otoritas nasional itu
sendiri. Program penyuluhan dan pelatihan perlu dirancang dan disusun untuk
beberapa sector dan daerah yang memiliki potensi untuk menerima dan
mengembangkan proyek CDM. Sehigga perlu dibarengi dengan membangun

29
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

kelembagaan yang baik yang dirancang secara lintas sector dan


multistakeholder.
Secara kelembagaan, pemerintah melalui Komisi Nasional Perubahan
Iklim harus menentukan seuah otoritas nasional( Designated National
Authority,DNA) yang akan mengurus semua kepentingan proponen proyek dan
pemerintah seperti layaknya sebuah lembaga swasta yang memiliki mobilitas
yang tinggi dan terikat pada birokrasi yang rumit. DNA dapat terdiri dari badan
penasehat yang mewakili berbagai sector dan kepentingan masyarakat yang
dibantu badan pelaksana yang melakukan kegiatan sehari-hari. Investor akan
tertarik berbisnis dengan Negara yang sudah siap secara kelembagaan maupun
perangkat peraturannya.

V. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan berkelanjutan

Pada tahun 2002 Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan


Berkelanjutan dilaksanakan di Johannesburg Afrika Selatan, yang merupakan
konferensi lanjutan yang pertama kali di Stockholm Swedia tahun 1972, kedua
konferensi Rie de Janeiro Brasil 1992, yang ketiga konferensi ini tentang
“masalah pembangunan dan lingkungan”. Isu lingkungan ini menjadi pokok
pembahasan oleh para kepala Negara dan kepala Pemerintahan dikarenakan
lingkungan saat ini telah mengalami degradasi diakibatkan oleh adanya
pembangunan yang digalakkan oleh masing-masing Negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Konferensi ini lebih difokuskan pada “ Pembangunan
Berkelanjutan” . konferensi telah disepakati 153 program yang ditawarkan
kepada para anggota PBB untuk menindaklanjutinya.
1. Penghapusan Kemiskinan
Penghapusan kemiskinan merupakan pokok bahasan yang paling hangat
khususnya bagi Negara-negara berkembang. Masyarakat miskin paling banyak
terdapat di Benua Afrika, Amerika Selatan dan Asia. Konferensi ini sepakat untuk
melakukan penghapusan kemiskinan yang terdapat di tiga benua tersebut.
Bahwa langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
A. Masalah Air Minum dan Sanitasi
B. Tersedianya Energi di Negara-negara berkembang tersebut
C. Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan
D. Penghapusan rumah-rumah kumuh atau kota tanpa pemukiman kumuh
(Cities Without Slums) .
Konferensi ini menyepakati untuk mengambil langkah yang segera dan
efektif untuk menghapuskan bentuk terburuk dari perburuhan anak-anak
sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi International Labour Organization

30
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

(ILO) N0. 182, dan menjabarkan serta melaksanakan standar yang diterima
secara Internasional.
2. Mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan
Salah satu penyebabnya terjadinya perubahan iklim dunia dan terjadinya
degradasi lingkungan adalah pola konsumsi dan produksi di Negara-negara maju
dan berkembang yang tidak terkontrol. Hasil konferensi Pembangunan
Berkelanjutan sepakat menyatakan bahwa perubahan-perubahan mendasar
dalam cara-cara produktif dan konsumsi masyarakt hal yang sangat penting
dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan global.
Berkaitan dengan hal di atas, mendorong dan memajukan pengembangan
kerangka program sepuluh tahunan dalam mendukung memprakarsa nasional
dan regional untuk mempercepat perubahan kearah produksi dan konsumsi yang
berkelanjutan untuk memajukan pembangunanekonomi dan social sesuai dengan
daya dukung ekosistem, dengan menangani dan jika dimungkinkan memutuskan
kaitan pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan melalui pengkatan
efisiensi dan keberlanjutan dalam sumber daya penggunaan sumber daya dan
proses produksi, serta mengurangi degradasi sumber daya, pencemaran, dan
limbah. Semua Negara harus mengambil tindakan didahului oleh Negara maju,
dengan memperhatikan kebutuhan pembangunan dan kemampuan Negara
berkembang melalui mobolisasi, dari semua sumber, bantuan teknis dan
keuangan serta pengembangan kemampuan bagi Negara-negara berkembang.
Hal ini memerlukan tindakan-tindakan pada semua tingkatan untuk :
A. Mengidentifikasi kekuatan khusus, cara kebijakan, langkah dan mekanisme
pengawasan serta pertanian, termasuk jika memungkinkan penggunaan
analisis daur hidup (life-Cycle-analysis)
B. Menerapkan prinsip “pencemar membayar”(Pollunter Pays Principle)
C. Menerapkan pendekatan yang berdasarkan Ilmu Pengetahuan seperti analisis
daur hidup
D. Mengembangkan program peningkatan kesadaran mengenai pentingnya pola
produksi dan konsumsi yang berkelanjutan khususnya dikalangan generasi
muda dan unsure masyarakat terkait diseluruh Negara, khususnya Negara-
negara maju antara lain : pendidikan, penyampaian informasi kepada
masyarakat dan konsumen, melalui media iklan dan lainnya dengan
mempertimbangkan nilai-nilai budaya local,nasional dan regional.
E. Mengembangkan dan mensahkan asas kesukarelaan, sarana informasibagi
konsumen yang efektif, transparan, dapat dipercaya, tidak menyesatkan
dan tidak diskriminatif yang berkaitan dengan pola produksi dan
konsumsi yang berkelanjutan ,termasuk aspek kesehatan dan
keselamatan manusia.

31
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

F. Meningkatkan ekoefisiensi(eco-effisiensy)
Salah satu upaya yang dilakukan oleh semua Negara untuk mengubah
pola konsumsi dari yang boros ke pola hemat adalah dilakukannya ekoefisien.
3. Melindungi dan Mengelola Basis Sumber Daya Alam bagi Pembangunan Ekonomi
dan Sosial.
Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa harus
dikelola dengan bijaksana, sumber daya alam mempunyai keterbatasan
penggunaannya.
Peserta KTT Pembangunan Berkelanjutan sepakat untuk membuat suatu
ketentuan bahwa “ kegiatan manusia mempunyai dampak yang semakin
meningkat terhadap integrasi ekosistem yang menyediakan sumber daya dan jasa
penting bagi kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi.

Pengelolaan sumber daya alam secara terpadu dan berkelanjutan sangat


penting bagi pembangunan berkelanjutan, guna sesegera mungkin membalikkan
kecenderungan degradasi sumber daya alam dengan mewujudkan pengelolaan
sumber daya tanah, air, dan sumber daya hayati secara terpadu, seraya
memperkuat kemampuan regional, nasional dan local.
4. Program Pembangunan Sumber Daya Air dan Sanitasi
5. Progam Pembangunan Kelautan dan Pesisir
6. Perubahan Iklim dan Penanganan Bencana
7. Program mengatasi Pencemaran Udara dan Pembangunan Pertanian
8. Program Penyelamatan Penggurunan dan Ekosistem Pegunungan
9. Program Pariwisata, Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Hutan
10. Pembangunan Berkelanjutan dalam Era Globalisasi
Dalam KTT Pembangunan Berkelanjutan masalah era globalisasi
mendapat perhatian, sehingga peserta KTT Pembangunan Berkelanjutan
sepakat bahwa globalisasi menghadirkan peluang dan tantangan pada
pembangunan berkelanjutan. Para peserta menyadari bahwa globalisasi dan
interdependensi menghadirkan peluang-peluang baru bagi perdagangan,
investasi, dan arus modal serta kemajuan dalam teknologi termasuk teknologi
informasi, untuk pertumbuhan ekonomi dunia, pembangunan dan perbaikan
standar kehidupan di seluruh dunia. Pada saat yang sama, masih terdapat
tantangan serius termasuk krisis keuangan yang hebat, ketidaknyamanan,
kemiskinan, ketersisihan, dan ketimpangan didalam dan di antara masyarakat.
Untuk membantu mereka menghadapi tantangan dan peluang tersebut
dengan baik, maka dilakukan tindakan-tindakan sebagi berikut :
a. Terus memajukan sistem keuangan dan perdagangan multilateral yang
terbuka, seimbang, berbasis peraturan, dan tidak diskriminatif

32
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

b. Mendorong usaha-usaha yang dilakukan lembaga-lembaga perdagangan dan


keuangan internasional
c. Memperkuat kemampuan Negara-negara berkembang
d. Mendukung ILO dan mendorong kegiatan yang sedang dilakukannya
mengenai dimensi social dari globalisasi
e. Memperkuat bantuan teknis dan pengembangan kemampuan yang
terkoordinasi, efektif dan terkait dengan perdagangan.
11. Kesehatan dan Pembangunan berkelanjutan
12. Pembangunan berkelanjutan Negara berkembang Kepulauan Kecil
13. Pembangunan berkelanjutan Untuk Afrika
14. Pembanguan berkelanjutan Amerika Latin,Karibia,Asia Pasifik, dan Asia Barat,
dan Komisi Kawasan Eropa
15. Sarana Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan
16. Pelaksanaan Perdagangan Bebas (WTO )
17. Pelaksanaan Teknologi Ramah Lingkungan dan Pengembangan Ilmu
Pengetahuan
18. Pelaksanaan Pendidikan Berkelanjutan
19. Kerangka Kelembagaan untuk Pembangunan Berkelanjutan
20.Penguatan Kerangka Kelembagaan bagi Pembangunan Berkelanjutan pada
Tingkat Internasional
21.Majelis Umum PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC ) Peran dan Fungsi
Komisi Pembangunan Berkelanjutan (CSD ), Seta Lembaga-lembaga
Internasional
Badan dewan ekonomi dan social (ECOSOC) sesuai dengan ketentuan
terkait dalam piagam PBB dan Agenda 21 mengenai ECOSOC dan Resolusi
Majelis Umum 48/162 dan 50/227 , ESOSOC harus:
a. meningkatkan peranannya dalam mengawasi koordinasi sistem PBB secara
menyeluruh.
b. Mengorganisasikan pembahasan secara periodic tema-tema pembangunan
berkelanjutan yang berkaitan dengan pelaksanaan Agenda 21 termasuk
sarana pelaksanaannya .
c. Memanfaatkan secara penuh segmen tingkat tinggi, koordinasi, kegiatan
opersional, dan segmen umum ECOSOC untuk mempertimbangkan semua
aspek terkait dengan kegiatan-kegiatan PBB dalam hal pembangunan
berkelanjutan secara fektif.
d. Memajukan koordinasi, komplimentaris, keefektifan, dan efisiensi yang lebih
luas dari kegiatan-kegiatan komisi fungsionalnya dan badan-badan dengan
prosedur masing-masing.

33
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Peran dan fungsi Komisi Pembangunan Berkelanjutan ( CSD ) sebagai


lembaga yang ditunjuk untuk menangani hasil KTT di Johannesburg
mempunyai tugas harus terus - menerus berperan sebagai komisi tingkat
tinggi mengenai pembangunan berkelanjutan dalam sistem PBB dan berfungsi
sebagai forum untuk membahas isu-isu pengintegrasian ketiga dimensi
pembangunan berkelanjutan. Maka CSD harus :
a. mengaji dan menilai kemajuan dan memajukan pelakanaan lebih lanjut
Agenda 21
b. memusatkan perhatian pada aspek lintas sektoral dari isu sektoral tertentu,
dan menjadi forum bagi pengintegrasian kebijakan yang lebih baik, termasuk
melalui interaksi antara menteri yang menangani berbagai dimensidan sector
pembangunan berkelanjutan melalui segmen tingkat tinggi
c. menjawab tantangan dan peluang baru yang berkaitan dengan pelaksanaan
Agenda 21
d. memusatkan perhatian pada kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan
Agenda 21, membatasi perundingan pada siding komisi-komisi menjadi sekali
tiap dua tahun
e. membatasi jumlah tim yang dibahas pada setiap pertemuan.
22.Penguatan Pengaturan Kelembagaan untuk Pembangunan Berkelanjutan pada
Tingkat Regional dan Nasional.
Secara khusus dan memperhatikan ketentuan yang terkait dalamAgenda
21, komisi-komisi regional bekerja sama dengan badan-badan subregional dan
regional lainnya harus :
a. memajukan pengintegrasian secara berimbang ketiga dimensi pembangunan
berkelanjutan ke dalam program kerja mereka, termasuk pelaksanaan
Agenda 21.
b. Memfasilitasi dan memajukan integrasi berimbang dimensi ekonimi, social,
dan lingkungan dari pembangunan berkelanjutan ke dalam kegiatan badan-
badan regional. Subregional dan badan-badan lainnya
c. Membantu memobilisasi bantuan keuangan dan teknis, serta memfasilitasi
penyediaan pendanaan yang memadai untuk pelaksanaan program dan
proyek pembangunan berkelanjutan yang disepakati pada tingkat regional
maupun subreginal, termasuk pencapain tujuan penghapusan kemiskinan
d. Terus memajukan partisipasi berbagai pemangku kepentingan dan
mendorong kemitraan untuk mendukung pelaksanaan Agenda 21 pada
tingkat regional dan subregional.
Dalam rangka menguatkan kerangka kerja kelembagaan untuk
pembangunan berkelanjutan pada tingkat nasional, peserta KTT Pembangunan
Berkelanjutan sepakat Negara-negara harus :

34
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

a. Terus memajukan pendekatan yang koheren dan terkoordinasi dalam


kerangka kelembagaan bagi pembangunan berkelanjutan disemua tingkatkan
nasional.
b. Mengambil langkah sesegera untuk memajukan perumusan dan penjabaran
strategi nasional bagi pembangunan berkelajutan dan mulai pelaksanaannya
pad tahun 2005
VI. Kesepakatan Internasional
Keterlibatan lembaga-lembaga Internasional di luar badan-badan organic
Persiapan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya Strategi Perlindungan Badan Dunia (WCS),
dan lembaga-lembaga lainnya yang memiliki perhatian terhadap lingkungan
merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi perlindungan lingkungan.
1. WCS ( World Conservation Strategy )
World Conservation Strategy (WCS) dipersiapkan oleh International Union
For The Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN ) atas penugasan dari
United Nations Environment Programme (UNEP), bersama-sama dengan World
Wildlife Fund (WWF) .
Keberadaan WCS ini dimaksudkan untuk merangsang pendekatan yang
lebih difokuskan kepada pengelolaan sumber daya hayati dan untuk memberikan
petunjuk kebijaksanaan tentang bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan oleh
kelompok utama, yaitu
a. Penentu kebijaksanaan pemerintah serta para penasehatnya;
b. Para ahli konservasi dan lain-lain yang langsung menaruh minat terhadap
sumber daya hayati;
c. Para praktisi pembangunan, termmasuk di dalamnya lembaga-lembaga
pembangunan, industry, dan perdagangan, serta serikat pekerja.
Maksud dan tujuan World Conservation Strategy (WCS) adalah untuk
mencapai tujuan utama dari konservasi sumber daya hayati yaitu :
a. Memelihara ekologis yang essensial serta sistem penyangga kehidupan;
b. Mengawetkan keanekaragaman jenis;
c. Menjamin pemanfaatan secara lestari spesies serta ekosistemnya.
Tujuan tersebut diatas perlu dicapai sebagai sesuatu yang sangat
mendesak karena hal-hal sebagai berikut :
a. Kapasitas bumi untuk mendukung penduduk telah sangat berkurang, baik di
Negara berkembang maupun Negara industry;
b. Ratusan juta penduduk pedesaan di Negara-negara berkembang, termasuk 500
juta yang kurang gizi serta 800 juta yang melarat, terpaksa merusak sumber
daya karena kelaparan dan kemiskinan;
c. Energy, biaya, lainnya untuk keperluan barang dan jasa bertambah terus;
d. Sumber daya pokok untuk industry utama terus berkembang.

35
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Untuk mencapai tujuan WCS di atas, tidaklah mudah sebab terdapat


kendala utama dalam melaksanakan konservasi sebagai berikut :
a. Keyakinan, bahwa konservasi sumber daya hayati adalah salah satu sector
terbatas, bukan suatu proses yang perlu diperhatikan adalah salah satu sector
terbatas, bukan suatu proses yang diperhatikan oleh semua sector;
b. Kegagalan untuk mengintegrasikan konservasi dengan pembangunan;
c. Proses pembangunan yang sering kaku dan destruktif;
d. Ketidakmampuan untuk konservasi, karena peraturan dan penjabarannya yang
tidak memadai;
e. Kurangnya bantuan untuk konservasi karena kurangnya kesadaran akan arti dari
konservasi;
f. Kegagalan untuk melaksanakan pembangunan yang berdasarkan konservasi di
daerah yang sangat membutuhkannya, yaitu pedesaan.
Sehubungan dengan hal diatas, Michael Keating”, mengatakan hilangnya
keragaman hayati dunia berlangsung terus, terutama karena perusakan habitat,
pemungutan yang berlebihan, pencemaran dan masuknya tanaman serta hewan
asing yang tidak sesuai. Kemerosotan dalam keragaman hayati ini terutama
disebabkan oleh manusia dan merupakan ancaman serius terhadap pembangunan
kita.
2. WHC ( World Heritage Convention )
Konvensi ini merupakan konvensi yang memberikan perhatian terhadap
sosial budaya, khususnya mengenai hak atas budaya dan hak alam tertentu sebagai
milik bersama yang mempunyai nilai universal luar biasa bagi umat manusia. Apabila
property ini memburuk atau punah, akan sangat merugikan bagi seluruh bangsa di
dunia. WHC (World Heritage Convention) ini tidak hanya menghargai property yang
mempunyai nilai luar biasa itu, akan tetapi juga menetapkan cara dan kegiatan untuk
mempertahankan keberadaan property tersebut.
Kreteria WHC ( World Heritage Convention ), seperti sebuah hasil karya
artistic yang unik, sebuah wasiat luar biasa dari sebuah peradapan tertentu atau
gagasan tertentu yang mempunyai makna Universal. Untuk property atau wilayah
alam perlu dipenuhi kreteria makna Internasional di bidang-bidang seperti,sejarah
evolusi dunia, proses geologi atau biologis yang sedang berjalan , atau fenomena
alam yang luar biasa, formasi atau perwujudan proses alam yang sangat indah, y ang
penting untuk ilmu pengetahuan.
Jeffrey A. McNeely dari IUCN Commission on National Park Protected
Arieas, mengatakan berbagai tempat di dunia mempunyai makna khusus bagi
manusia. Tempat-tempat tersebut memberikan inspirasi kepada manusia oleh karena
keindahan memberikan pendalaman sejarah kehidupan planet bumi, memberikan
pelajaran mengenai fungsi ekosistem alam, memberikan penjelasan mengenai

36
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

evolusi spesies dan budaya, mengagumkan dengan pemandangan satwa liar,


mengamankan spesies yang mempunyai nilai universal yang menonjol dan
memberikan contoh-contoh bagaimana manusia dapat hidup dalam keserasian
dengan lingkungannya.
Indonesia telah mengantisipasinya dengan mengeluarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya. Di dalam Pasal 6 “sistem penyangga kehidupan merupakan satu prose
salami dari berbagai unsure hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan
kehidupan mahkluk.”
Sementara dalam Pasal 7 “ Perlindungan sistem penyangga kehidupan
ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan perilaku
untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa “(1) untuk mewujudkan tujuan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7, pemerintah menetapkan :
a. Wilayah tertentu sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. Pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. Pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan.
Dalam sistem pengaturan penyangga kehidupan ini, diberikan
perhatian terhadap mayarakat yang memiliki tanah atau yang menguasai tanah atau
pengairan yang diatas hak tersebut terdapat sistem penyangga kehidupan untuk
memberikan perlindungan. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 yang menyatakan :
“ setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah
sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan
wilayah tersebut ( ayat (1 ) ).
Dengan demikian, dalam pelaksanaan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap
penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak
dalam wilayah perlindungan penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
3. Convention on Wetlands of International Importance, Especially as
Waterfowl Habitat ( Wetlands Convention )
Konvensi Wetlands, ini memberikan kewenangan kepada setiap anggota
PBB untuk menetapkan sekurang-kurangnya sebidang lahan basah (Wetlands), untuk
dimadukkan dalam sebuah daftar lahan basah yang mempunyai makna
Internasional, pada waktu Negara tersebut menandatangani atau meratifikasi atau
tunduk pada konvensi ( Pasal 2 ayat 4 ).
Wetlands, menurut Pasal 1 Konvensi adalah sebagai berikut :
Wetlands:areas of marsh, fen, peatland or water, wheather natural or artificial,

37
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

permanent or temporary, with water is static or flowing, fresh, blockish or silt,


including areas of marine water the depth oh which at low tide does not exceed six
meters.

4. Convention on International trade in Endangered Species of Wild


Fauna and Flora
Konvensi ini memberikan perlindungan terhadap spesies dan fauna
yang merupakan salah satu mata rantai dari kehidupan dan salah satu mata
rantai dari kehidupan dan salah satu tumpuan terhadap terjadinya pelestarian
lingkungan hidup. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa adanya satwa dan
fauna, proses kehidupan di atas dunia tidak akan punya makna yang berarti. Ini
sebagai salah satu pertimbangan lembaga-lembaga PBB mengadakan pertemuan
untuk membicarakan kelangsungan terhadap flora dan fauna. Pada tahun
1870an di Eropa dan Amerika Serikat terjadi perpunahan terhadap flora dan
fauna atau satwa liar. Telah banyak perhatian terhadap perlindungan burung
disebabkan oleh banyaknya burung dibunuh untuk keperluan perhiasan topi
sebagai suatu mode yang merajalela, terutama burunga dari derah tropis.
Awal perjuangan di Eropa adalah di buat Convention for the protection
of Birds Usual to Agriculture dalam 1902 yang melarang impor dari “songbirds”
(burung bernyanyi ) tertentu, burung hantu, dan burung yang lainnya yang
penting untuk petani.
CITES dimaksudkan untuk mengembangkan konservasi spesies yang
dibahayakan sambil memperkenalkan perdagangan spesies yaang dibahayakan
sambil memperkenalkan perdagangan spesies satwa liar yang dapat menghadapi
desakan perdagangan. Konvensi ini mempunyai tiga kategori perlindungan.
1. Dalam Apendiks (Lampiran ) I, perdagangan komersial spesies yang diancam
dengan kepunahan pada umumnya dilarang. Spesies ini hanya boleh
diperdagangkan dalam keadaan khusus (biasanya untuk penelitian ilmiah atau
maksud`paparan ). Transaksi perdagangan spesies seperti itu memerlukan izin
impor dari pejabat yang diserahi pelaksanaan CITES di Negara penerima maupun
izin impor dari pejabat Negara asal ( atau izin reekspor apabila Negara reekspor
terlibat ). Spesies tersebut meliputi : semua monyet besar, badak, kura-kura laut,
ikan paus besar, gajah Asia, Tumbuhan “pitcher” Raksasa dan lebih dari 300 satwa
dan tumbuhan lainnya yang menghadapi kepunahan.
2. Dalam Apendiks II telah ditentukan mengenai pemberian izin perdagangan
komersial tradisional (dengan persyaratan ) dalam spesies yang belum
dibahayakan, akan tetapi perlu dipantau. Spesies tersebut boleh diperdagangkan
dengan izin ekspor dari Negara asalnya. Apendik II meliputi lebih dari 2300 spesies
satwa dan lebih dari 24000 spesies tumbuhan.

38
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

3. Apendik III dimasudkan untuk membantu Negara-negara tertentu memperoleh


kerja sama Internasional dalam melindungi spesies asli. Setiap Negara boleh
memasukkan tumbuhan satwa asli ke dalam Apendik III dengan demikian spesies
tersebut boleh diperdagangkan tanpa izin ekspor dari Negara asal ( apabila Negara
tersebut mencantumkannya dalam apendiks III ) atau sebuah sertifikat daerah asal
( apabila datang dari negara yang tidak memasukkannya ke dalam daftar ).
VII. Lembaga-lembaga Internasional
1. IUCN [ International Union for the Coservation of Nature and Natural
Resources]
IUCN (International Union for the Coservation of Nature and Natural
Resources) didirikan pada tanggal 5 Oktober 1948 dengan pengesahan konstitusinya
yang bertempat di Istana Fontainebleau ( Paris) oleh 18 wakil negara, 7
organisasi Internasional dan 107organisasi nasional, untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan. Semula IUCN dipersiapkan dalam pertemuan Brummen tetapi konstitusi
tersebut dirancang, sebagaimana kemudian disempurnakan dan disahkan di
Fontainebleau.
Pada Kongres di Endinburgh tahun 1956, secara resmi nama lama
International Union for the Protection of Nature (IUPN) diganti dengan IUCN yang
berkedudukan di Gland (Geneva ) Switzerland. IUCN mendirikan pusat dokumentasi
Environmental Law Centre (ELC) di Bonn, yang berhasil mengumpulkan bahan-bahan
hukum dan perundang-undangan Lingkungan dengan koleksi yang berkesan mengenai
Multinational Document of Environmental Law, serta merupakan kekuatan dari The
Commission on Environmental Policy Law and Administration (CEPLA ), organisasi
pendukung IUCN. CEPLA dalam kegiatannya mendapatkan dukungan dan bantuan dari
International Council of Environmental Law (ICEL).
2. UNEP [United Nations Environment Programme ]
Salah satu rekomendasi Konvensi Stockholm adalah Pembentukan Governing Council
for Enviromental Progrmamme RSU PBB ke-27 menyetujui persiapan pembentukan
kelembagaan dan keuangan bagi UNEP, Sekretariat bertempat di Nairobi,Kenya pada
Bulan Januari 1973, yang berpusat di Geneva.
UNEP (United Nations Environment Programme )
1. Merupakan organisasi dunia PBB yang I (pertama ) dipusatkan di Negara
berkembang;
2. Badan baru dari PBB, dalam pengertian konsepsi operasional dan struktur
organisasinya;
3. Ide untuk programnya berasal dari 2 (dua ) pertimbangan utama;
4. Kegiatannya tidak bersifat menyelesaikan masalah lingkungan atau membiayai
badan tugas tersebut;

39
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

5. Usaha lebih bersifat menggerakkan dunia untuk bertindak, dalam arti berupaya
agar dunia bekerja atas kemampuan sendiri.
UNEP ditingkat internasional Pada prinsipnya beroperasi dlm sistem PBB Secara
mandiri dengan organisasi multisinaonal atau transnasional yang berhubungan dengan
pembentukan dan kerjsama ekonomi, perdagangan dan industri,ilmu pengetahuan
dan industri . UNEP ditingkat internasional Berkerjasama dengan pemerintah untuk
membantu menjamin tepatnya keputusan yang diambil mengenai masalah lingkungan
dari negara bersangkutan dan dalam perencanaan pembangunan nasional.
UNEP Pada Grass-roots”, Level Berusaha Memberi Motivasi dan Berkomunikasi
Melalui Kegiatan Penerangan, Melalui Sistem Penerangan PBB, dan Melalui ‘Ngo’s
(non Governmental Organizations) sedunia. Ngo’s dimanfaatkan Untuk Menyebarkan
Tanggung jawab Terhadap Perlindungan Dan Konservasi Lingkungan Kepada seluruh
Lapisan Masyarakat, pengusaha, Pemda,dan Institusi Kedaerahan Lainnya.
• UNEP Menyusun Program Penumbuhan Dan Pengembangan Hukum
Lingkungan Yang Meliputi :
1. Pengembangan dan perluasan tata pengaturan secara hukum lingkungan
internasional tentang tanggung jawab negara terhadap kerusakan-kerusakan
lingkungan berikut ketentuan-ketentuan tentang tanggung gugat dan ganti rugi
kepada korban-korban asing dalam peristiwa keruskan lingkungan, yang
melanda wilayah diluar yurisdiksi nasional meraka masing-masing.
2. Pengembangan Asas-asas hukum lingkungan tentang perlindungan kepentingan
umum berangkat asas-asas yang melandasi usaha negara dalam melakukan
eksploitasi berikut Sumber Daya Alam yang dimiliki oleh lebih dari satu negara.
3. Pengembangan asas-asas dalam tata pengaturan hukum masalah-masalah
lingkungan laut dan perlindungan segala jenis sumber dayanya, disamping
program-program khusus untuk memberikan bantuan teknis kepada negara-
negara berkembang guna mengembangkan sistem hukum lingkungan mereka
masing-masing
Puncak kegiatan UNEP
1. Dilaksanakan pada sidang GoverningCouncil tanggal 20 Mei – 2 Juni 1982 di
Nairobi yang telah menerima Dek.NAEROBI yang terdiri dari 10 butir pokok
pikiran sebagai tindak lanjut dari pertemuan sedunia untuk m emperingati 10
tahun konperensi Stockholm.
2. Peran UNEP begitu besar dalam mendorong dan memajukan upaya untuk
mencegah dan menanggulangi pencemaran Lingkungan Hidup di Dunia termasuk
melalui sarana hukum.

40
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

3. WWF [World Wide Fund for Nature ]


4. OECD [Organization for Economic Co-operation and Development )

5. WCED [World Commission on Environment And Development ]

41
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

BAB IV
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA
LINGKUNGAN

A. Pengertian dan Lingkup Penegakan Hukum lingkungan

Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki
kekhasan yang oleh drupsteen disebut sebagai bidang fungsional (funtioneel
rechtsgebeid) yaitu didalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi,
hukumpidana danhuum perdata. Oleh sebab itu, penegakan hukum lingkungan
dapat dapat dimaknai sebagai penggunaan atau penerapan instrument-instrumen
dan sangsi-sangsi dalam lapang hukum administrasi, hukum pidana dan hukum
perdata dengan memaksa subjek hukum yang menjadi sasaran mematuhi peraturan
perundang-undangan lingkunan hidup penggunaan instrumen dan sanksi hukum
administrasi dilakukan oleh instansi pemeirintah dan oleh warga atau badan hukum
perdata. Gugatan tata usaha Negara merupakan sarana hukum administrasi Negara
yang dapat digunakan oleh warga atau badan hukum perdata terhadap instansi atau
pejabat pemeritah yang menerbitkan keputusan tata usaha Negara yang secra
formal atau materiel brtentangan peraturan perundang-undangan lingkungan.
Penggunaan sangsi-sangsi hukum pidana hanya dapat dilakukan oleh instansi-
instansi pemerintah. Penggunaan instrument hukum perdata, yaitu gugatan perdata,
dapat dlakukan oleh warga, badan hukum perdata dan juga instansi pemerintah.
Namun, jika dibandingkan diantara ketiga bidang hukum, sebagian besar norma-
norma hukum lingkungan termasuk kedalam wilayah hukum administrasi Negara.

B. Hukum Lingkungan Administrasi


1. Pengawasan
Dalam bab 1 telah dibahas, baha masalah-masalah lingkungan hidup
menimbulkan dapak negative berupa ancaman terhadap kesehatan manusia,
kerugian ekologis dan kerugian ekonomi. Kerugian lingkungan dan kerugian
akibatpencemaran dan perusakan lingkungan dapat bersifat tidak terpulihkan
(irreversible). Oleh sebab itu, pengelolaanlingkungan semestinya lebih
didasarkan pada upaya pencegahan daripada pemulihan. Dalam kaitan dengan
upaya pencegahan timbulnya masalah-masalah linkungan sebagai bagian dari
pengelolaan lingkungan, hukum kungan lingkungan memiliki fungsi yang amat
penting karena salah satu bidang hukum lingkungan, yaitu hukum lingkunan
administasi memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap kegiatan-
kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-parsyaratan

42
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

pengelolaan lingkungan. Fungsi preventif terhadap timbulnya masalah-masalah


lingkungan yang bersumber dari kegiatan usaha yang diwujudkan dalam bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang berwenang dibidang pengawasan
lingkungan. Jika berdasarkan fungsi pengawasan ditemukan terjadi pelanggaran
ketentuan-ketentuan hukum lingkungan administrasi terhadap si pelanggar. Oleh
sebab itu, pada bagian ini lebih dulu dibahas ketentuan-ketntuan hukum yang
berkaitan dengan kegiatan pengawasan dan pada poin 2 akan dibahs jenis-jenis
sanksi hukum administrasi.
Ketentuan-ketentuan tentag pengawasan ditemukan dalam sejumlah
undang-undang dan peraturan pemerintah dalam UULH 1997 ketentuan
pengawasan ditemukan dalam pasal 22, 23 dan pasal 24. Dari ketentuan pasal
22 dapat diketahui, bahwa menteri Negara lingkungan hidup berwenang
melakukan pengawasan terhadap penataan kegiatan lingkungan hidup. Sebagai
tindak lanjut dari kewenangan itu menteri Negara lingkungan hidup dapat
menunjuk pejabat yang melakukan pengawasan. Fungsi pengawasan dapat
diserahkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Pasal 24 UULH
1997 menyebutkan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup, yaitu:
melakukan pemantauan, meminta keterangan membuat salinan dari dokumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi dan meminta keterangan dari penanggung jawab kegiatn usaha.
Dalam melaksankan tugas pengawasan, pejabat pengawas wajib dilengkapi
dengan surat tugas dan tanda pengenal dan memperhatikan norma-norma yang
berlaku dilingkungan tempat usaha atau kegiatan yang menjadi objek
pengawasan.
Di dalam UUPPLH, pengawasan diatur dalam pasal 71 hingga pasal 74.
Selain terdaapat persamaan, juga ditemukan perbedaan ketentuan-ketentuan
tentang pengawasan antara UULH 1997 dengan UUPPLH. Persamaan antara lain
berkaitan dengan kewenangan pengawasan ada pada Mentri Lingkungan Hidup
dan pemerintah daerah, baik menteri maupun pemerintah daerah berwenang
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup. Dari segi perbedaan, terdapat
dua perbedaan penting.pertama, jika dalam UULH 1997 terdapat pasal 23 yang
menjadi dasar hukum bagi BAPEDAL yang telah dibahas dalam bab II-untuk
melakukan pengawasan, dalam UUPPLH ketentuan tentang lembaga (BAPEDAL)
yang berwenang ditingkat pusatmelakukan pengawasan dibidang lingkungan
hidup tidak lagi ditemukan karena kementrian lingkungan hidup sepenuhnya
berwenang melaukan pengawasan setelah BAPEDAL diintegrasikan kedalam
kementrian lingkungan hidup, sebagaimana telah dibahas dalam Bab,II. Kedua,
dalam UUPPLH memberlakukan mekanisme pengawasan dua jalur adalah bahwa

43
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

pada prinsipnya gubernur dan bupati/walikota berwenang melakukan


pengawasan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup kewenangan masing-
masing, tetapi jika pengawasan kewenangan lingkungantidak dilaksanakan
sehingga terjadi ”pelanggaran yang serius di bidang pelindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup”, Menteri lingkungan hidup dapat melakukan
pengawasan terhadap ketataan penanggung jawab usaha/kegiatan yang
izinlingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah, penjelasan pasal 73
UUPPLH menyatakan bahwa pelanggaran serius adalah tindakan melanggar
hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/ataukerusakan lingkungan hidup
yang relative besar dan menimbulkan keresahan masyarakat, penjelasan ini pun
masih relatif terbuka untuk interpretasi, sehingga untuk mnentukan ada tidaknya
pelanggaran serius memang menjadi diskresi bagi Menteri Lingkungan Hidup,
pemberlakuan pengawasan jlu kedua oleh kementrian lingkungan hidup terhadap
kegiatan usaha yang izin lingkungannya diterbitkan oleh gubernur atau
bupati/walikota dilatarbelakangi oleh fakta bahwa gubernur atau bupati/walikota
seringkali tidak menggunakan kewenangannya sebagaimana mestinya terhadap
kegiatan usaha, sehingga terjdi toleransi yang berkelebihan terhadap kegiatan
usaha pelanggaran hukum lingkungan administrasi.
Sebagaimana UULH 1997, UUPPLH juga menyebutkan kewenangan dari
pejabat pengawas lingkungan hidup yaitu: (a) melakukan pemantauan, (b)
meminta keterangan, (c) membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, (d) memasuki tempat tertentu, (e) memotret, (f)
membuat rekaman audio visual, (g) mengambil sampel, (h) memeriksa
peralatan, (i) memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, (j) menghentikan
pelanggaran tertentu.
Kementerian lingkuangan hidup sedang menyiapkan dan membahas RPP
tentang pengawasan dan sanksi administrative. Dalam draf 31 juli 2010 RPP
tentang pengawasan dan sanksi administrative terdiri dari 65 pasal yang
disistematisasikan atas bab 1 ketentuan umum, bab II tentang pengawasan, bab
III tentang pejabat pengawas lingkungan hidup dan pejabat pengawas
lingkungan hidup daerah, bab IV tentang sanksi administrative dan bab V
tentang tata cara pengenaan sanksi administrative dan bab VI tentang
penyelesaian sengketa administrative.
Dalam UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan dapat ditentukan
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 59-64. UU No.41 tahun 1999 tidak secara
tegas menyebutkan instansi pemerintah yang berwenang melakukan
pengawasan. Pasal 60 UU No.41 tahun 1999 hanya menyebutkan bahwa
pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan dan
masyarakat atau perorangan berperan serta dalam pengawasan. Meskipun

44
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dalam UU No.41 Tahun 1999 tidak menyebutkan instansi pemerintah yang


berwenang dalam pengawasan kehutanan, kita dapat mengetahui instansi
pemerintah yang berwenang adalah departemen kehutanan karena pengurusan
kehutanan menjadi kewenangan kementrian kehutanan. Pasal 59 Undang-
Undang No.41 tahun 1999 menyebutkan bahwa pengawasan kehutanan
bertujuan untuk “mencermati, menelusuri dan menilai pengurusan pelaksanaan
kehutanan”.
Dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang sumber Daya air dapat ditemukan
ketebtuan tentang pengawasan dalm pasal 75. Pasal 75 ayat (2) menyebutkan,
bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya melaksanakan pengawasan terhadap seluruh proses dan
hasil pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air pada setiap wilayah sungai
dengan melibatkan masyarakat.

2. Sanksi-sanksi Hukum Lingkungan Administrasi

Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat


dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan tarhadap
seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan
administrasi. Beberapa contoh dari pelanggaran hukum lingkugan administrasi
adalah menjalankan tempat usaha tanpa memiliki izin-izin yang diperlukan,
kegiatan usaha misalkan industry, hotel, dan rumah sakit, membuang air limbah
tanpa izin pembuangan air limbah, kegiatan usaha telah memiliki izin
pembuangan air limbah, tetapai jumlah atau konsentrasi buangan air limbahnya
melebihi baku mutu air limbah yang dituangkan dalam iziz pembuangan air
limbahnya, serta menjalankan kegiatan usaha yang wajib amdal, tetapi tidak
atau belum menyelesaikan dokumen amdalnya. UULH 1997 memuat tiga jenis
sanksi hukum administrasi, sebagaimana diatur dalam pasal 25, pasal 26 dan
pasal 27, yaitu paksaan pemerintah, pembayaran sebuah uang dan pencabutan
izin usaha atau kegiatan. Dalam praktik penegakan hukum lingkungan di
Indonesia, Gubernur atau bupati atau walikota sering kali meggunakan teguran
tertulis kepada perusahaan-perusahaan yangbelum memenuhi ketentuan
hukumadministrasi meskipun UULH 1997 tidak memuat adanya sanksi berupa
teguran tertulis.
UUPPLH memuat empat jenis sanksi hukum administrasi, sebagaimana
tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah,
pembekuan izin lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. Dlam draf awal
masih tercantum sanksi uang paksa, tetapi anggota-angota DPR yang menjadi

45
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

anggota panitia kerja RUUPPLH mengusulkan agar sanksi uang paksa dihapus
karena dikhawatirkan penerapannya disalahgunakan oleh pejabat yang
berwenang, kekawatiran ini dapat ditiadakan dengan caa pembuatan ketentuan
pelaksanaa dalam RPP tentang sanksi administrasi yang membatasi diskresi bagi
para pejabat penegak hukum lingkungan administrasi. Ketiadaan sanksi uang
paksa patut disayangkan karena uang paksa dapat menjadi alternative bagi
paksaan pemerintah. Uang paksa dapat menjadi inetrumen yang efektif untuk
memaksa pelaku usaha mematuhi ketentuan-ketentuan hukum lingkungan
admiministrasi karena jika tidak mematuhi, mereka akan kehilangan keuntungan
yang diharapkan dengan harus membayar dengan sejumlah uang. Akan tetapi,
pasal 81 UUPPLH memuat ketentuan yang menjadi dasar hukum bagi pejabat
pemberi izin lingkungan atau penegak hukum lingkungan administrasi untuk
menerapkan sanksi denda atas tiap keterlambatan sanksi paksaan pemerintah.
Dengan demikian, UUPPLH menyediakan lima jenis sanksi hukum administrasi
yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda, pembekuan izin lingkungan
dan pencabutan izin lingkungan.
UUPPLH memuat sanksi teguran tertulis, sedangkan UULH 1997 tidak
mengenal sanksi teguran tertulis. Namun, dalam praktik penegakan hukum
lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak
hukum lingkungan administrasi sering kali menggunakan teguran tertulis tentang
telah terjadinya pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi, misalkan
pelanggaran atau baku mutu limbah atau baku mutu emisi. Oleh sebab itu,
perancang UUPPLH memformalkan teguran tertulis sebagai salah satu sanksi
hukum administrasi.pasal 80 ayat (2) UU No.41 Tahun 1999 menyebutkan
bahwa pemegang izin disektor kehutanan dikanai sanksi administrasi jika
melanggar ketentuan pasal 78, tetapi tapa mengatur secara rinci jenis dan
proses penjatuhan sanksi hukum administrasi tersebut. Sanksi administrasi
dibidang kehutanan diatur lebih lanjut dalam PP No.34 tahun 2002 tentang tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolan hutan, pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan (LN Th.2002, No.66). pasal 87 PP No.34 Tahun
2002 memberlakukan enam jenis sanksi admnistratif yaitu: penghentian
sementara peleyanan administration, penghentian sementara kegiatan
dilapangan, denda administrative, pengurangan arel kerja dan pencabutan izin.
Sanksi administrasi diberlakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
disebut dalam pasal 88 hingga pasal 97. Sebagian besar pelanggaran yang
diancamdengan sanksi administrasi berkaitan dengan hal-hal teknis usaha
dibidang kehutanan, misalkan tidak melakukan panataan batas areal kerja, tidak
membayar pungutan provisi sumberdaya hutan , tidak menyusun dan
menyampaikan rencana pemenuhan bahan baku industry, tidak mempunyai

46
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

rencana pengukuran dan pengujian hasil hutan, tidak membuat dan


menyampaikan laporan mutasi kayu bulat, tidak membuat dan menyampaikan
laporan mutasi hasil hutan olahan, melakukan pemindahan lokasi usah tanpa
izin, menadah, menampung atau mengolah bahn baku hasil hutan yang berasal
dari sumber bahan baku yang tidak syah. Sebuah ketentuan yang terkait dengan
masalah lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 97 ayat (1)huruf c,
yaitu sanksi pencabutan izin usaha industry dikenakan apababila pemegang izin
menimbulkan pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup yang
melampaui batas baku mutu lingkungan.
a. Paksaan Pemerintah
Jika dalam UULH 1997 kewenangan menerapkan sanksi paksaan pemerintah
hanya ada pada gubernur sebagaimana dinyatakan dalam pasal 25 ayat (1)
UULH 1997. Pasal 25 ayat (1) UULH 1999memberikan kewenangan kepada
gubernur untuk menjatuhkan sanksi hukum administrasi paksaan pemerintah
dalam bentuk melakukan tindakan-tindakan berikut: pencegahan dan
penghentian pelanggaran yang telah terjadi, penyelamatan dan penanggulangan
atau pemulihan beban biaya penanggung jawab usaha. Dalam UUPPLH,
kewenangan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah ada pada tiga pejabat, yaitu
menteri lingkungan hidup, gubernur, bupati/walikota sebagaimana dinyatakan
pasal 76 ayat (2) UUPPLH.
Sanksi paksaan pemerintah dalam bentuk tindakan pencegahan dan
penghentian pelanggaran dapat dlakukan misalkan jika seorang pengusaha
sedang membangun tempat usaha atau membuang limbah tanpa izin, maka
pejabat yang berwenang setelah melalui pemeriksaan mengetahui bahwa tempat
usaha tersebut tidak memiliki izin dimaksud-dapat melakukan tindakan paksa
guna menghentikan kegiatan terlarang tersebut atau menghentikan mesin dan
peralatan yang digunakan oleh kegiatan usaha tersebut sampai kegiatan itu
mematuhi kepentingan hukum-hukum administrasi , yaitu memiliki izin. Tindakan
penyelamatan dapat dilaukan misalkan jika dalam lokasi suatu usaha ditemukan
limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa penanganan yang baik dari pihak
perusahaan sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, maka pejabat
pemerintah yang dapat berwenang dapat mengumpulkan dan mengangkut
limbah itu ketempat pengolahan yang sah atau menghentikan beroperasinya
tempat usaha itu sampai perusahaan itu menangani limbahnya sesuai ketentuan
yang berlaku. Tindakan penanggulangan dan pemulihan dapat dilakukan jika
misalkan akibat pelanggaran ketentuan hukum lingkungan administrasi oleh
sebuah kegiatan usaha telah menimbulkan dampak negative seperti sungai atau
tanah atau satwa langka telah tercemar. Oelh sebab itu, pemerintah melakukan
upaya penanggulangan dan pemulihan, antara lain evakuasi penduduk atau

47
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

karyawan ketempat yang aman dan selanjutnya menyusun dan melaksanakan


program pembersihan kembali sungai dan tanah yang tercemar.
Pasal 80 ayat (1) UUPPLH menyebutkan beberapa bentuk tindakan paksaan
pemerintah yaitu:
a. Penghentian sementara kegiatan produksi
b. pemindahan sarana produksi
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran
f. penghentian sementara seluruh kegiatan
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan
tindakan memulihkan fungsi lingkungan:
rumusan huruf G merupakan sebuah norma yang terbuka yang dapat
diinterpretasikan dan digunakan oleh pejabat yang brwenang untuk
melakukan tindakan yang diperlukan gunameghentikan pelanggaran dan
pemulihan fungsi lingkungan. Tindakan-tindakan lain yang dapat juga
dikategorikan sebagai bentuk paksaan pemerintah disebut dalam 82 ayat (1)
dan ayat (2). Pasal 82 ayat (1) memberikan kewenangan kepada menteri
lingkungan hidup, Gubernur dan bupati/walikota juga memiliki untuk
‘‘memaksa penanggung jawabusaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya”. Pasal 82 ayat (2) meberikan
kewenangan kepada menteri lingkungan hidup, Gubernur, Bupati/Walikota
untuk menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup
akiat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan atas
beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Pada asasnya
penerapan sanksi paksaan pemerintah dikenakan setelah didahului dengan
teguran jika pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungn hidup
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segra dihentikan
pencemaran dan/atau perusakan.
c. Kerugian yang lebih besar lagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
b. Pembekuan Izin Dan Pencabutan Izin Lingkungan
UULH 1997 tidak mengenal sanksi admisistrasi berupa pembekuan izin,
sedangkan UUPPLH mengatur keberadaan sanksi pembekun izin lingkungan
sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (2) c. UULH 1997 maupun UUPPLH

48
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

mengenl sanksi hukum administrasi berupa pencbutan izin. Sanksi hukum


administrasi berupa pencabutan izin lingkungan disebut dalam pasal 76 ayat (2)
d. Sanksi pembekuan izin lingkungan merupakan upaya-upaya terakhir dalam
penegakan hukum administrasi setelah penenggung jawab usaha tidak
melaksanakan paksaanpemerintah. UUPPLH tidak memperjelas perbedaan antara
pembekuan izin dan pencabutan izin,, perbedaan itu dapat dipahami melalui
tanggal 23 December 2010, pembekuan lebih dahulu ditempuh daripada
pencabutan izin. Pasal 35 draft RPP tentang pengawasan dan sanksi administrasi,
dokumentanggal 23 desember 2010 menyabutkan bahwa sanksi pembekuan izin
dikenakan apabila:
a. Kegiatan usaha tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan,
atau tidak melaksanakan perintah dalam paksaan pemerintah;
b. Melanggar peraturan perundang-undang dibidang B3 atu limbah B3
c. Belum menyelesaikan secara teknis apa yang telah menjadi kewajibannya
d. Melakukan hal tertentudiluar apa yang terdapat dalam persyaratan izin
lingkungan, sehingga menimbulkan pencemaran dan/atau perusakn
lingkungan.
Tentang dalm situasi apa sanksi pencabutan izin dapat dikenakan
terhadap sebuah kegatan usaha dapat dilihat dalam pasal 36 draf-draf RPP
tentang pengawasan dan sanksi administrasi. Pasal 36 menyebutkan, antara
lain: sanksi pencabutan izin lingkungan dapat dikenakan terhadap kegiatan
usaha apabila.
a. Tidak melaksanakan perintah dalam keputusan sanksi pembekuan izin
lingkungan;
b. Tidak melaksanakan paksaan pemerintah;
c. Melakukan perbuatan yang mengkibatkan dilampauinya baku mutu
lingkungan hidup au kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
mengkibatkan luka berat atau mati;
d. Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan yang diizinkan
e. Memindahtangankan izin usahanya kepada pihak lain tanpa persetujuan
tertulis pemberi izin usaha
Dengan demikian, tidak dilaksanakannya perintah dalam keputusan
pembekuan izin lingkungan merupakan salah satu dari lima alasan yang
dapat menjadi dasar pencabutan izin lingkungan. Dalam draf tidak ditegaskan
tentang akibat-akibat dari pencabutan izin, jika kegiatan usaha yang sama
hendak broperasi lagi setelah memenuhi kewajiban yang diperintahkan,
apakah harus mengajukan permohonan izi baru atau tetap dengan izin lama.
Sebaliknya, dalam hal sanksi pembekuan izin, setelah memenuhi kewajiban
yang diperintahkan, kegiatan usaha dapat beroperasi kembali tanpa

49
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

permohonan izin yang baru. Mestinya hal ini perlu ditegaskan dalam
peraturan pemerintah terkait.

3. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Tata Usaha Negara

Sanksi-sanksi hukum administrasi berupa paksaan pemerintahan, denda,


pembekuan izin dan pencabutan izin dilakukan oleh pejabat tata usaha negara
terhadap para pelanggar hukum administrasi tanpa melalui proses peradilan.
Persoalan akan timbul jika terjadi pelanggaran hukum lingkungan administrasi,
tetapi pejabat tata usaha negara yang berwenag tidak menjalankan
kewenangannya, yaitu menjatuhkan sanksi administrasi kepada si pelanggar.
Dengan kata lain, pejabat tata usaha yang berwenang mendiamkan saja terjadinya
pelanggaran hukum administrasi atau bahkan secara diam-diam merestui kegiatan
yang melanggar hukum lingkungan administrasi. Misalkan, sebuah rencana kegiatan
usaha menurut ketentuan hukum lingkungan administrasi-wajib melakukan analisis
mengenai dampak lingkungan (amdal), tetapi ternyata kegiatan itu telah berdiri atau
beroperasi melalui proses amdal dan pejabat yang berwenang ternyata tetap
mengeluarkan izin usaha bagi kegiatan tersebut. Dalm situasi seperti itu, siapkan
yng harus bertindak untuk menegakkan hukum lingkungan administrasi?
Perkembangan hukum di beberapa negara terutama Belanda, Amerika Serikat
dan indonesia memberikan peluang kepada warga untuk mengajukan gugatan tata
usaha negara kepada pejabat pemerintah yang berwenang. Di indonesia, gugatan
terhadap tata usaha negara dilakukn melelui prosedur gugatan tata usaha negara
sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1986 sebagamana diubah dengan UU
No.9 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang peradilan
tata usaha negara (lembaga negara tahun 2004 nomor 35).
Di Indonesia pada umumnya gugatan tata usaha negara yang diperkirakan
tidak sejalan atau bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan lingkungan
diajukan oleh lembaga swadaya masyarakat, seperti dalam kasus wahana
lingkungan hidup Indonesia (WALHI) lawan sekretaris jenderal departemen
prtambangan dan energi dipengadilan tata usaha ngara jakarta dengan nomor
putusan 600/6115/Sjt/1995. Gugatan ini diajukan pada masa brlakunya UULH 1982.
Pada masa ini, komisi penilai Amdal berada pada masing-masing kementrian
sektoral. WALHI menggugat sekretaris jenderal departemen pertambangan dan
energi yang dinilai telah mengesampingkan saran-saran WALHI tentang Amdal PT
Freeport ktika menerbitkan keputusan persetujuan Amdal PT Freeport.
Menyampaikan saran itu merupakan wujud dari peran serta masyarakat dan dalam
kedudukan WALHI sebagai anggota tidak tetap Komisi Penilai Amdal PT Freeport.
Namun, pengadilan tata usaha negara jakarta telah menolak gugatan WALHI

50
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dengan pertimbangan bahwa komisi penilai amdal tidak terikat dengan saran WALHI
dalam membuat keputusan persetujuan Amdal.
Selain itu, gugatan tata usaha negara dapat pula dilihat dari perspektif
kepentingan pelaku usaha. Pelaku usaha jug dapat mengajukan gugatan tata usaha
negara untuk melawan keputusan tata usaha negara di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang dianggap merugikan kepentingan usahanya.
Contoh kasus adalah perkara tata usaha negara antara Tjondro Indria Liemonta,
Direktur utama PT Bakti Bangun Era Mulia, dan kawan-kawan melawan menteri
negara lingkungan hidup yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dengan
nomor putusan 109/K/TUN/2009. Dalam perkara ini penggugat Tjondro indria
Liemonta dkk, menggugat surat keputusan menteri negara lingkungan hidup no.14
tahun 2003 tentang ketidak layakan rencana kegiatan reklamasi dan revitalisasi
pantai utara jakarta. Keputusan ini diterbitkan atas dasar kajian amdal rencana
kegiatan reklamasi dan revitalisasi pantai utara jakarta.

C. Hukum Lingkungan Pidana


1. Delik Lingkungan Hidup

Sebelum menganalisisisi dari rumusan dari delik lingkungan dalam peraturan


perundang-undangan lingkungan dan sektoral, pada bagian ini perlu dibahas apa
yang dimaksudkan dengan delik lingkungan. Delik lingkungan adalah perintah dan
larangan UU kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan jatuhan
sanksi-sanki pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk
melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam
lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, air serta manusia. Oleh karena
itu, dengan pengertian ini, delik lingkungan hidup tidak hanya ketentuan-ketentuan
pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana
yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan
ketentuan itu ditujukan untuk melinungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau
bagian-bagiannya.
Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan lingkungan merupakan
kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat membahayakan
kehidupan dan jiwa manusia. Hukum pidana pada dasarnya bertujuan untuk
melindungi jiwa dan kehormatan manusia dan harta benda. Namun pada waktu
kitab Undang-Undang hukum pidana disusun, masalah-masalah yang menarik
perhatian banyak orang. Pada waktu itu, masalah-msalah lingkungan belum lagi
muncul sebagai masalh yng serius yang dapat mengancam kelangsungan hidup
manusia perorangan ataupun masyarakat karena industri belum bekembang
sebagimana adanya pada zaman kini.

51
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Ketika masalah-masalah lingkungan, terutama pencemaran, telah


menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia, maka banyak orang
berpendapat bahwa perbuatan yang menimbulkn pencemaran dan kerusakan
lingkungan harus dipandang sebagai suatu perbuatan, yang tidak saja bertentangan
dengan moral, tetapi juga layak dikenakan sanksi pidana kerena perbuatan itu dapat
mengancam kesehatan dan jiwa manusia perorangan maupun kelompok.
Kepentingan-kepentingan ini merupakan kepentingan yang termasuk dalam lingkup
hukum pidana. Karena KUHP sebagai salah satu sumber hukum formal dari hukum
pidana tidak memuat ketentuan-ketentuan yang dapat didayagunkan secara efektif
terhadap pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan, maka dirasa perlu untuk
menciptakan atau merumuskan suatu ketentuan tentang sanksi pidana yang baru.
Perbuatan menebang kayu di hutan lindung, memburu, menangkap dan
memperjual belikan satwa liar yang dilindungi atau perbuatan mengambil, merusak
dan memperjualbelikan tumbuhan yang dilindungi dapat juga dikenakan sanksi
pidana. Perlunya penerapan sanksi pidana terhadap perbuatan-perbuatan itu
sebaiknya karena tiga alasan. Alasan-alasan itu tidak berkaitan dengan adanya
ancaman bahaya atau kerugian terhadap kehidupan dan jiwa manusia sebagaimana
yang tampak dalam masalah pencemaran, tetapi lebih didasarkan pada prinsip-
prinsip ekologis. Alasan pertama didasarkan pada prinsip “the web of life” (jarring
kehidupan). Prinsip ini mengakui adanya saling hubungan dan saling
ketergantungan diantara segala sesuatu di alam ini. Sling ketergantungan atau
saling hubungan itu terjadi baik antara ses ame makhluk hidup, sumberdaya hayati
dengan sumber daya non hayati. Berdasarkan prinsip ini, kerusakan atau kepunahan
suatu spesies atau sumber daya tertentu lambat laun langsung atau tidak, akan
memengaruhi kehidupan sepsis lainnya. Para pakar ekologi berpendapat bahwa
manusia termasuk bagian dari alam dan oleh sebab itu, perubahan-perubahan yang
terjadi di alam semesta akan memengaruhi kehidupan manusia.
Alasan kedua berdasarkan prinsip keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa. Senakin beragam tumbuhan dan satwa. Semakin beragam jenis
tumbuhan dan satwa didalam suatu ekosistem. Maka keadaan itu menandakan
semakin kayanya ekosistem yang bersangkutan. Oleh sebab itu, manusia
mempunyai tanggung jawab untuk tetap memelihara atau mempertahankan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa sebagai karunia Tuhan Yang Maha
Esa.
Alasan ketika berhubungan dengan etika ekologis sebagaimana
dirumuskan oleh Aldo Leopold dalam konsep ‘‘etika tanah“ (lad ethic). Menurut
Leopold, manusia seharusnya memperluas lingkup masyarakat etik, tidak hanya
terdiri dari manusia, tetapi juga meliputi tanah, makhluk hidup lainnya yang

52
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dapat merasakan sakit (santient beings), dan segala sesuatu yang terdapat atau
hidup dalam alam.
Dengan demikian, sanksi pidana didalam hukum lingkungan mencakup
dua macam kegiatan, yakni perbuatan mencemarilingkungan dan perbuatan
merusak lingkungan, antara lain, adalah benebangan kayu dihutan lindung,
memburu, menangkap dan pembunuh satwa serta mengambil, merusak dan
memperjualbelikan jenis tumbuhan yang dilindungi. Dalam sistem hukum
indonesia, sanksi-sanksi pidana yang dapat dikenakan pada pelaku perbuatan
mencamari lingkungan dan perbuatan merusak lingkungan terdapat dalam
sebuah undang-undang yaitu: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH), UU No.5 Tahun 1984
tentang perindustrian, dan UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya dan UU No.1 Tahun 1999 tenang kehutanan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berfungsi sebagai sarana
hukum bagi pelaksanaan konservasi sumberdaya hayati hanya memuat rumusan
pidana yang dikenakan atas perbuatan merusak lingkungan hidup saja, tetapi
dengan perumusan yang terdapat dalam UUPPLH. UU No.5 Tahun 1984, yang
berfungsi mengatur aktivitas dan pengembangan usaha industri, yang membuat
perumusan sanksi pidana untuk perbuatan mencemari lingkungan hidup.
Rumusan delik dalam UU No.41 Tahun 1999 dirumuskan untuk menjangkau
perbuatan yang mengakibatkan perusakan lingkugan hidup, khususnya hutan
dan kawasan hutan.

2. Delik Lingkungan Hidup Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009

Rumusan ketentuan pidana dalam UU No.32 Tahun 2009 (UUPPLH)


merupakan pengembangan dan revisi terhadap rumusan ketentuan pidana dalam
UULH 1997 dan UULH 1982. Jika UULH 1982 hanya memuat rumusan ketentuan
pidana yang bersifat delik meteril, maka UULH 1997 memuat rumusan delik materil,
maka UULH 1997 memuat rmusan delik materil dan juga delik formil. Delik formil
adalah delik atau perbuatan yang dilarang oleh sebuah hukum yang sudah dianggap
sempurna atau terpenuhi begitu perbuatan itu dilakukan tanpa mengharuskan
adanya akibat dari perbuatan. Ancaman pidana untuk delik meteril dalam UULH
1997 dikenakan pada dua macam perbuatan, yakni perbuatan mencemari dan
perbuatan merusak lingkungan. Sanksi pidana dalam UULH 1997 dirumuskan dalam
pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47. Ketentuan pidana dalam UULH
1997 dapat dibedakan atas dua jenis delik, yaitu delik formil dituangkan dalam pasal
43 dan pasal 44 dan delik meteril dirumuskan dalam pasal 41 dan 42. Delik materil
dbidang hukum lingkungan pidana adalah tentang perbuatan yang mengakibatkan

53
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, adalah sangat
penting sekali untuk menentukan bilamana seseorang dipandang telah melakukan
perbuatanyang mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup. Tegasnya, kapan dapat diatakan telah terjadi perusakan dan
pencemaran lingkungan hidup.
Delik Materil
UUPPLH juga memuat dua jenis delik yaitu delik materil dan delik formil. Bahkan
dibandingkan dengan UULH 1997, UUPPLH memuat jenis delik formil lebih banyak,
tidak saja yang yang ditujukan kepada pelaku usaha, tetapi juga pada pejabat
pemerintah dan orang-orang yang menjadi tenaga penyusun amdal. UUPPLH juga
memuat ancaman sanksi minimal dan maksimal dengan tuuan untuk membatasi
diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman. Pembuat undang-undang
memberlakukan sistem hukuman minimal dan maksimal tampaknya dilatarbelakangi
oleh pertimbangan bahwa masalah-masalah lingkungan hidup dipandang sebagai
masalah yang serius yang dapat mengancam dan merugikan keberadaan dan
kepentingan bangsa indonesia secara kolektif. Oleh karena itu, pembuat undang-
undang merasa perlu untuk membatasi diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan.
Selain itu, juga pemberlakuan sanksi minimal bukan suatu kebijakan pemidanaan
yang baru karena telah juga diberlakukan pada tindak pidana lainnya, misalkan
korupsi berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi (LN. Thn 199 No.140).
Ada perbedaan rumusan delik materil terkait dengan pencemaran lingkungan
hidup berdasarkan UULH 1997 dengan rumusan berdasarkan UUPPLH. UULH masih
mengadopsi dalam rumusan UULH 1982, yaitu tetap menggunakan kata
“pencemaran lingkungan hidup” sehingga lebih abstrak dibandingkan dengan
rumusan dalam UUPPLH. UULH 1997memuat pengertian pencemaran dan
perusakan linkungan hidup dan kedua pengertian itu dapat dijadikan acuan untuk
menentukan apakah unsure perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup sudah terpenuhi atau belum dalam suatu kasus.
Pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 1 ayat 12, yakni:
…masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau
komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia, sehingga
kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan
hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Untuk menentukan, bahwa kualitas lingkungan hidup turun, sehingga tidak dapat
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya, maka harus diambil contoh atau sempel
pada tubuh air dalam konteks pencemaran air permukaan dan kandungan zat-zat
dari ruang udara (air basin) dalam konteks pencemaran udara. Sampel air atau

54
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

kandungan zat kemudian dibandingkan dengan adalah baku mutu air atau baku
mutu Ambien yang berlaku. Oleh sebab itu, jika sebuah kegiatan atau sumber
pencemaran didakwa telah mencemari air atau udara, maka jaksa penuntut harus
mampu membuktikan, bahwa baku mutu air atau baku mutu udara Ambien telah
dalam menurunkan akibat buangan dari kegiatan terdakwa. Baku mutu air dapat
dapat dilihat dalam lampiran PP No.20 Tahun 1990, sedangkan baku mutu Ambien
dapat dilihat dalam lampiran PP No.41 Tahun 1999.
Pengertian perusakan lingkungan hidup sebgaimana dirumuskan dalam pasal 1
ayat 14 adalah:
…tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan /atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk menentukan, bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan hidup harus
dipedomani kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Namun, hingga saat ini
pemerintah belum menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan.
Sebaliknya dalam UUPPLH rumusan delik materil terkait dengan pencemaran
lingungan hidup tidak lagi menggunakan kata atau istilah ‘‘pencemaran lingkungan
hidup“ tetapi secara konseptual tidak mengubah makna dan tujuan yang diinginkan.
Rumusan UUPPLH tidak lagi abstrak,tetapi lebih konkret karena menggunakan istilah
‘‘dilampauinya baku mutu Ambien atau baku mutu air“, dengan kata lain,
pencemaran lingkungan hidup terjadi apabila baku mutu udara ambien dalam hal
pencemaran air permukaan dan baku air laut dalam hal pencemaran laut telah
dilampaui. Rumusan delik materil ini dapat ditemukan dalam pasal 98 ayat (1) dan
pasal 99 ayat (1). pasal 98 ayat (1) menyatakan:
Ssetiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000.00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 9 ayat (1) menggunakan rumusan delik materil yang mirip dengan
pasal 98 ayat (1) tersebut. Bedanya terletak pada unsure mental atau ‘’mensrea’’
dari pelaku. Jika rumusan pasal 98 ayat (1) untuk perbuatan yang dilakukan
secara sengaja, pasal 99 ayat (1) perbuatan terjadi akibat kelalaian si pelaku.
Dengan demikian, UUPPLH juga membedakan delik materil atas dasar unsure
kesalahan (mensrea, schuld) pelaku, yaitu kesengajaan sebagaimana dirumuskan
dalam pasal 91 ayat (1) dan kelalaian dirumuskan dalam pasal 99 ayat (1).
Selain itu, UUPPLH juga mengenal delik meteril dengan dua kategori
pemberatan. Pertama, pemberatan terkait dengan ‘‘mengakibatkan orang luka

55
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dan/atau bahaya kesehatan manusia“. Kedua, pemberatan berupa


‘‘mengaibatkan orang luka berat atau mati“. Jika delik materil yang dilakukan
dengan kesengajaan mengakibatkan orang luka atau bahaya kesehatan. Pelaku
dikenai ancaman hukuman lebih berat, yaitu penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tehun dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah) dan denda paling banyak Rp
12.000.000.000.00 (dua belas miliar rupiah). Jika delik materil dengan
kesengajaan mengakibatkan irang luka berat atau mati, ancaman pidanany lebih
berat dan berat lagi, yaitu minimal 5 (lima) tahun penjara dan maksimal 15 (lima
belas) tahun penjara, denda minimal Rp 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah)
dan denda maksimal Rp 15.000.000.000.00 (lima belas miliar rupiah). Jika delik
materil dilakukan dengan kealpaan yang mengakibatkan orang luka atau bahaya
kesehatan, ancaman hukumannya adalah penjara minimal 2 (dua) tahun penjara
dan maksimal 6 (enam) tahun dan denda minimal Rp 2.000.000.000.00 (dua
miliar rupiah) dan maksimal sebasar Rp 6.000.000.000.00 (enam miliar rupiah).
Jika delik materil dilakukan dengan kealpaan mengakibatkan orang mati atau
luka berat, ancaman hukuman adalah penjara minimal 3 (tiga) tahun dan
maksimal 9 (sembilan) tahun dan denda minimal Rp 3.000.000.000.00 (tiga
miliar rupiah) dan maksimal Rp 9.000.000.000.00 (sembilan juta rupiah).
UUPPLH juga memuat delik materil yang diberlakukan kepada pejabat
pemerintah yang berwenang dibidang pengawasan lingungan pemberlakuan
delik materil ini dapat dipandang sebagai sebuah kebijakan pamidanaan yang
maju dalam rangka mendorong para pejabat pemerintah untuk sungguh-
sungguh melaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Delik materil tersebut
dirumuskan dalam pasal 112 UUPPLH yaitu:
Setiap pejabat yang berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan
pengawasan terhadap ketataan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 71 dan pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya
nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
Delik Formil
Jika dibandingkan antara UULH 1997 dengan UUPPLH dalam hal muatan
delik formil, UUPPLH memuat delik formil yang lebih banyak. Dalam UULH 1997,
hanya terdapat dua jenis delik formil sebagaimana dirumuskan dalam pasal 43
ayat (1) dan ayat (2). Perubahan yang dikenai rumusan delik formil pasal 43 ayat
(1) adalah:

56
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

- Dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku


melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang
berbahaya atau beracun masuk diatas atau kedalam tanah, kedal am
udara, atau kedalam air permukaan.
- Melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan,
bahan berbahaya dan beracun;
- Menjalankan instalasi yang berbahaya.
Perbuatan yang dikenai rumusan delik formil dalam pasal 43 ayat (2) adalah;
- Memberikan informasi palsu;
- Menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang
terkait dengan perbuatan yang disebut dalam pasal 43 ayat (1).
Dalam UUPPLH terdapat 16 (enam belas) jenis delik formil sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 100 hingga pasal 111. Kemudian pasal 113 hingga pasal
115. Pertama, pasal 100 UUPPLH memuat rumusan delik formil tentang
pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan yang
diancam dengan pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp
3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Namun menurut pasal 100 ayat (2), tuntutan
pidana berdasarkan pasal 100 ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila sanksi
administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelaku telah lebih dari satu
kali melakukan pelanggaran baku mutu air limbah atau baku mutu emisi atau
baku gangguan. Jadi tuntutan pidana berdasarkan ketentuan pasal 100 ayat (1)
bersifat ultimum remedium yang berarti sebagai upaya terkhir setelah sanksi
administrasi tidak efektif atau tidak dipatuhi atau pelaku pelanggaran yang telah
lebih dari satu kali. Mengapa tuntutan pidana diberlakukan sebagai upaya
terakhir karena pada dasarnya pelanggaran terhadap baku mutu air limbah atau
baku mutu emisi atau baku gangguan merupakan ketentuan hukum lingkungan
adminstrasi.
Delik formil kedua adalah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 101 yaitu
perbuatan “melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetic
kelingkungan hidup yang bertentangan dengan perturan perndang-undangan
atau izin lingkungan” dengan ancaman pidana penjara minimal 1 (satu) tahun
dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah ) dan denda maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Delik formil ketiga adalah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 102 yaitu
“melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin dengan ancaman pidana minimal 1
(satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun, serta denda minimal Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan maksimal . Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

57
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Delik formil keempat, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 103, adalah


tentang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengolahan yang diancam
dengan pidana minimal 1 (satu) tahun dan maksimal 3 (tiga) tahun serta denda
minimal Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah) dan maksimal Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Kelima, delik formil, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 104 yaitu tentang melakukan dumping limbah dan/atau
bahan kemedia lingkungan tanpa izin yang diancam dengan pidana maksimal 3
(tiga) tahun dan denda minimal Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Keenam, delik formil, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 105 yaitu
memasukana limbah kedalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia yang
diancam dengan pidana minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 12 (dua belas)
tahun, serta denda minimal Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
maksimal Rp 12.000.000.000,00. Untuk delik ini ancaman hukumannya termasuk
berat dengan tujuan untuk memberikan rasa takut kepada para pelaku usaha
yang potensial melakukan maupun pejabat pemerintah yang terlibat dalam
kegiatan terlarang tersebut. Hal ini mengingat bahwa Indonesia potensial
dijadikan sasaran tempat perdagangan dan pembuangan limbah.
Delik formil ketujuh, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 106, adalah
tentang memasukan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan
maksimal 15 (lima belas)tahun, serta denda minimal Rp 5.000.000.00 0,00 (lima
miliar rupiah) dan maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Delik formil kedelapan, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 107, adalah
tentang memasukan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan Republik
Indonesia yang diancam dengan pidana penjara minimal 5 (lima) tahun dan
maksimal 15 (lima belas) tahun, serta denda minimal Rp 5.000.000.000,00 dan
maksimal Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Delik formil ketuju
dan kedelapan juga memuat sanksi yang berat mengingat Indonesia juga
potensial dijadikan sasaran tempat pambuangan limbah dari Negara-negara lain.
Delik formil kesembilan, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 108,
adalah ra tentang melakukan pembakaran lahan dengan ancaman pidana
penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 10 (sepuluh) tahun, serta denda
minimal Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Namun penerapan delik
ini harus secara sungguh-sungguh “harus memerhatikan dengan sungguh-
sungguh kearifan local” sebagaimana dinyatakan oleh pasal 69 ayat (1) huruf.
Dengan demikian, para petani tradisional yang melakukan pembakaran lahan
dlam melakukan usaha taninya dan serta merta dapat dituntut berdasarkan pasal
108 UUPPLH. Delik formil pembakaran lahan lebih diarahkan pada usaha-usaha
besar yang tidak masuk kedalam kategori kearifan local.

58
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Delik formil kesepuluh, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 109, adalah


tentang kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan diancam dengan pidana
penjara minimal 1(satu) tahun dan maksimal 3(tiga) tahun serta denda mini mal
Rp 1.000.000.000,00 dan maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Delik formil kesebelas, sebagalmana dirumuskan dalam pasal 110, adalah
tentang penyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
dipidana dengan pidana penjara maksimal 3(tiga) tahun dan denda maksimal Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik formil kedua belas, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 111, tentang pejabat pemberi izin lingkungan tanpa
dilengkapi amdal atau UKL-UPL dipidana dengan pidana penjara maksimal 3
(tiga) tahun dan denda maksimal Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik
formil ketiga belas, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 111 ayat (2), adalah
tentang pejabat pemberi izin usaha tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda maksimal
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Delik formil keempat belas sebagaimana dirumuskan dalam pasal 113,
adalah tentang memberikan informasi palsu, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya
dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup diancam pidana penjara maksimal 1 (satu)
tahun dan denda maksimal Rp 1.000.000.000,00 (satu milier rupiah). Delik formil
kelima belas, sebagimana dirumuskan dalam pasal 114, adalah tentang
penanggung jawab kegiatan usaha yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dipidana dengan pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan denda
maksimal Rp 1.000.000.000,00. Delik formil keenam belas, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 115, adalah tentang perbuatan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negri sipil dipidana dengan
pidana penjara maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Dari uraian keenam belas delik formil tersebut dapat diketahui bahwa
pembuat UU menciptakan delik-delik formil dalam UUPPLH terkait dengan
pelanggaran hukum adaministrasi. Selain itu, dalam rumusan delik-delik formil
tersebut, kecuali delik formil keenam belas sebagaimana dirumuskan dalam pasal
115, tidak mencantumkan unsure kesalahan. Apakah dengan demikian, UUPPLH
telah menganut vicarious liability, yaitu sebuah bentuk pertanggungjawaban
dalam hukum pidana dalam system hukum Anglo Saxon yang tidak
mensyaratkan adanya unsure mensrea atau kesalahan dalam sebuah tindak
pidana. Kalau interpretasi ini yang dianut, maka berarti terjadi penyimpangan

59
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dari asas tiada hukuman tanpa kesalahan yang dianut hukum pidana di
Indonesia. Interpretasi lainnya adalah meski rumusan-rumusan delik formil
dalam UUPPLH tidak mencantumkan secara tegas unsure mensrea atau
kesalahan, secara tersirat dianggap ada karena delik-delik itu umumnya terkait
dengan perbuatan aktif manusia yang pasti didorong oleh kesadaran alam pikiran
si pelaku, misalkan “memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan
Republik Indonesia”, “menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi”,
“menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi Amdal, RKL-RPL”.

3. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990

Sanksi pidana dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 terdapat dalam pasal
40, yang berbunyi sebagai berikut;
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal
33 ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelangaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) thun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Dari ketentuan pasal 40 tersebut dapat diketahui bahwa sanksi pidana
dapat dikenakan kepada merekayang melaggar, dengan sengaja atau karena
kelalaian, pasal 19 ayat (1), pasal 33 ayat (1), pasal 21 ayat (1) dan ayat (2),
pasal 33 ayat (3). Isi dari ketiga pasal tersebut adalah sebagai berikut;
a. Pasal 19 ayat (1);;
Setiap orang dilarang melakukan kegiaan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.

60
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Pasal 19 ayat (2) menetapkan pengecualian dari ketentuan ayat (1).


Pengecualian itu adalah bahwa ketentuan ayat (1) tidak berlaku kegiatan
pembianaan habitat untuk kepentingan satwa didalam suaka margasatwa.
Ayat 3 dari pasal 19 juga memberikan criteria dari perubahan, yakni meliputi
“mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli”.
b. Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2):
(1) Setiap dilarang untuk:
a. Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut dan memperniagakan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;
b. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya
dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia
ketempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
(2) Setiap orang dilarang untuk:
a. Manangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki,
memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang
dilindungi dalam keadaan hidup;
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia
ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau
bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang
dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya
dari suatu tempat di Indonesia ketempat lain di dalam atau di luar
Indonesia;
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan,
menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yng
dilindungi.
Akan tetapi, larangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 21 ayat
(1) dan ayat (2) di atas, tidak berlaku bagi kegiatan penelitian, ilmu
pengetahuan, penyelamatan jenis satwa atau tumbuhan yang bersangkutan
(pasal 22 ayat 1). Menurut ketentuan pasal 22 ayat (2), pengertian
penyelamatan meliputi pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa
kepada pihak lain diluar negeri berdasarkan izin dari pemerintah. Rarangan
menangkap, melukai, dan membunuh satwa yang dilindungi membahayakan
kehidupan manusia (pasal 22 ayat 3).
c. Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3):

61
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan


perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman
wisata alam.
Menurut ketentuan pasal 33 ayat (2), perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1, meiputi “mengurangi, menghilangkan fungsi dan zona inti
tanaman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang
tidak asli”.

4. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984

Sanksi pidana dalam UU No.5 Tahun 1984 tentang perindustrian terdapat


dalam pasal 27 ayat (1), sanksi pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dapat
dikenakan kepada mereka yang dengan sengaja telah melenggar ketentuan pasal 21
UU No.5 Tahun 1984. Menurut pasal 27 ayat 2, sanksi pidana kurungan selama-
lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) dapat dikenakan kepada mereka yang karena kelalaian telah melanggar
ketentuan pasal 27 ayat (1)
Pasal 21 ayat 1 UU No.5 Tahun 1984 berbunyi sebagai berikut:
Perusahaan industry wajib melaksanakan upaya keseimbangan dankelestarian
sumber daya alam serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran
terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industry yang dilakukannya.

5. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Ketentuan yang beupa larangan-larangan yang dapat diancam dengan sanksi


pidana dirumuskan dalam pasal 38 ayat 4, pasal 50 ayat 1, 2 dan 3 UU No.41 Tahun
1999, sedangkan ancaman pidananya disebutkan dalam pasal 78. Pasal 38 ayat 4
memuat larangan sebagai berikut: “pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
oenambangan dengan penambangan terbuka”. Ancaman hukuman terhadap
pelanggaran ketenntuan pasal 38 ayat 4 yang dilakukan secara sengaja adalah
pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda maksimal
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ketentuan larangan dalam pasal 50 ayat 1
yang diancam oleh sanksi pidana adalah:”setiap orang dilarang merusak prasarana
dan sarana perlindungan hutan.” Ketentuan larngan dalam pasal 50 ayat 2 adalah”
Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dana

62
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
Ancaman hukuman terhadap pelanggaran ketentuan pasal 50 ayat 1 dan
ayat 2 yang dilakukan secara sengaja adalah pidana penjara maksimal 10
(sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)
Ketentuan larangan dalam pasal 50 ayat 3 adalah sebagai berikut:
Setiap orang dilarang:
a. Mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan
secara tidak syah;
b. Merambah kawasan hutan;
c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau
jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kri kanan sungai di daerah
rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi sungai;
6. 130 (sertus tiga puluh) keselisih pasang tertinggi dan pasang dari tepi
pantai.
d. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalamhutan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau atau patut diduga
beasaldari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak syah;
f. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi dan eksploitasi bahan
tambang didalam kawasan hutan tanpa izin menteri;
g. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama-sama denga surat keterangan sahnya hasil hutan;
h. Mengembalakan ternak dikawasan hutan yang tidak ditunjuk secara kusus
untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
i. Membawa alat-alat berat dan/atau alat lainnya yang patut diduga akan
digunakan untuk memngangkut hasil hutan didalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang;
j. Membawa alat-allat ang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau
membelah pohon didalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang;

63
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

k. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan


serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan kedalam
kawasan hutan; dan
l. Mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuh-tubuhan dan satwa liar
yang tidak dilindungi UU berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang
berwenang.
Ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan pasal 50 ayat 3
huruf a, huruf b dan huruf c yang dilakukan secara sengaja adalah penjara
maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah). Ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan pasal 50
ayat 3 huruf d yang dilakukan dengan sengaja adalah penjara maksimal 15 (lima
belas) tahun dan denda maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Jika
pelanggaran terhadap pasal 50 ayat 3 huruf d dilakukan karena kealpaan,
ancaman hukumannya adalah penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda
maksimal Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ancaman
terhadap pelanggaran ketentuan huruf e dan huruf f yang dilakukan dengan
sengaja adalah pidana penjara maksimal 10 (sepuluh tahun) dan denda
maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman terhadap
pelanggraran pasal 38 ayat 4 dan pasal 50 ayat 3 huruf g yang dilakukan dengan
sengaja adalah pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun dan denda
maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap
pelanggaran ketentuan pasal 50 ayat 3 huruf h yang dilakukan dengan sengaja
adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap
pelanggaran pasal 50 ayat 3 huruf i adalah pidana penjara maksimal 3 (tiga)
tahun dan denda maksimal Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal 50 ayat3 huruf j dilakukan
dengan sengaja adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda
maksimal Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap
pelanggaran pasal 50 ayat 3 huruf k yang dilakukan dengan sengaja adalah
pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun penjara dan denda maksimal Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ancaman hukuman terhadap pelanggaran
pasal 50 ayat 3 huruf L yang dilakukan dengan segaja adalah pidana penjara
maksimal 1 (satu) tahun dan denda maksimal RP 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 juga menganut
pertanggungjawaban korporasi. Bahkan UU No.41 tahun 1999 memuat rumusan
yang lebih maju dibandingkan UU No.23 tahun 1997. UU No.41 tahun 1999
secara tegas menyebutkan, bahwa pengurus badan usaha, baik secara sendiri -

64
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

sendiri maupun bersama-sama dapat dijatuhkan hukuman pidana yang


diperberat sepertiga dari ancaman yang dijatuhkan. Sebaliknya UU No.23 Tahun
1997, para pengurus badan usaha tidak dengan sendirinya dapat dituntut, tetapi
mereka dapat dituntut jika mereka memenuhi unsur sebagai pemmpin atau
pemberi perintah dalam perbuatan terlarang.

6. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985

Pasal 6 ayat 1 UU No.9 Tahun 1985 melarang kegiatan penangkapan dan


pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan atau alat yang dapat
membahayakan kelestarian semberdaya ikan dan lingkungannya. Pasal 7 ayat 1
UU tersebut juga melarang setiap orang atau badan hukum m elakukan kegiatan
kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan perusakan sumberdaya ikan dan
lingkungannya. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 6 ayat 1 dan pasal 7 ayat
1 tersebut diatas dapat dipidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

7. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Sumber Daya Air

Sanksi pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dijatuhkan
kepada :
a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air,
dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dengan
pasal 24.
b. Setiap oang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam pasal
52.
Pasal 24 menyatakan bahwa setiap orang atau badan usaha dilarang
melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan rusaknya sumber air dan
prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air dan/atau mengakibatkan
pencemaran air. Pasal 52 menyatakan, bahwa setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air. Pengertian daya
rusak air dirumuskan dalam pasal 1 angka 21, yaitu:”daya air yang dapat
merugikan kehidupan”. Dan pengertian ini, banjir merupakan contoh dan daya
rusak air.
Sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dikenakan kepada:

65
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan penggunaan air yang
mengakibakan kerugian terhadap orang dan pihak lain dan kerusakan fungsi
sumber air sebagaimana dimaksud dalam pasal 32ayat (3).
b. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan
rusaknya prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 64
ayat (7).
Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa “penggunaan air dan sumber air
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari social, dan pertanian rakyat
dilarang menimbulkan kerusakan pada sumber air dan lingkungannya atau
prasarana umum yang bersangkutan.” pasal 64 ayat (7) menyatakan bahwa:
“setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang
mengakibatkan rusaknya prasarana sumberdaya air.”
Sanksi pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dikenakan kepada:
a. Setiap orang yang dengan sengaja menyewakan atau memindahtangankan
sebagian atau seluruhnya hak guna air sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
ayat (2).
b. Setiap oang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan sumberdaya air
tanpa air dan pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dengan pasal 45
ayat 3.
c. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi prasarana sumber daya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman dan manual sebagaimana dimaksud pasal 63 ayat 3.
d. Setiap orang uang dengan sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dan pemerintah atau
pemerintah daerah sebagaiman dimaksud dengan pasal 63 ayat 3.
Pasal 7 ayat 2 menyatakan bahwa: “hak guna air tidak dapat disewakan
atau dipindahtangankan sebagian atau seluruhnya.” Pasal 45 ayat 3 menyatakan
bahwa: “pengusahaan sumberdaya air dapat dilakukan oleh perseorangan,
badan usaha, atau kerja sam antar badan usaha berdasarkan izin pengusahaan
pemerinth atu pemerintah daerah.” Pasal 63 ayat 3 menyatakan bahwa “setiap
orang atau badan usaha yang melakukan kegiatn pelaksanaan konstruksi pada
sumber air wajib memperoleh izin dan pemerintah atau pemerintah daerah”.
Sanksi pidana paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dikenakan kepada:
a. Setiap orang yang karena kelalaianya mengakibtkan kerusakan daya air,
dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud pasal 24.

66
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

b. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yng dapat


mengakibatkn terjadinya daya rusak air sebagaimna dimaksud dalam pasal
52.
c. Sanksi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
d. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukn kegiatan penggunaan air
yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap orang atau pihak lain dan
kerusakan fungsi sumber air sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat 3.
e. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang
mengakibatkan kerusakan prasarana sumberdaya air sebagaimana dimaksud
dalm pasal 64 ayat 7.
Sanksi pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dijatuhkan kepada:
a. Setiap orang yang krena kelalaiannya melakukan pengusahaan sumberdaya
air tanpa izin pihak yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat 3.
b. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruki prasarana sumberdaya air yang tidak didasarkan pada norma,
standar, pedoman dan manualsebagaimana dimaksud dalam dalam pasal 63
ayat 2.
c. Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan pelaksanaan
konstruksi pada sumber air tnpa izin sebagimana dimaksud dalam pasal 63
ayat 3.
Jika tindak pidana sumber daya air sebagaimana dirumuskan dalam pasal
94 dan pasal 95 dilakukan oleh badan usaha, maka sanksi pidana dikenakan
terhadap badan usaha itu. Jenis hukuman yang dijatuhkan terhadap badan
usaha adalah pidana denda dengan menambahkan sepertiga denda yang
dijatuhkan.

8. Pertanggung jawaban pidana badan usaha

Agar sanksi pidana sebagai sarana penegakan hukum lingkungan pidana


dapat mendorong lahirnya praktik kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan,
maka tuntutan pidana hendaknya tidak hanya diarahkan kepada karyawan
sebagai pelaku fisik dalam perbuatan pencemaran atau perusakan lingkungan
seperti dalam kasus terdakwa S, karyawan PT Surabaya Mekabox berdasarkan
putusan pengadilan Negeri Gresik No.04/pid-B/1995/PN.GS,29 Mei 1995, tetapi
juga kepada mereka yang mengendalikan dan menentukan jalannya perusahaan,
yakni pengurus dan manajer. Ancaman tuntutan pidana akan mendorong mereka

67
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

dalam membuat keputusan-keputusan dan memimpin para karyawan agar


senantiasa memerhatikan secara sungguh-sungguh upaya perlindungan
lingkungan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kinerja pengelolaan
lingkungan badan usaha. Pertanyaan penting yang prlu dibahas adalah atas
dasar apa pengurus, termasuk para manajer, dapat dituntut. Dalam sebab ini
akan dikaji, bahwa konsep pertanggungjawaban pidana badan hukum atau
korporasi menyediakan peluang atau dasar bagi penuntutan terhadap pengurus
badan usaha atau korporasi.
Di Indonesia kajian terhadap pertanggungjawaban badan usaha atau
yang dalam dunia akademis juga disebut pertanggungjawaban korporasi telah
muncul sejak akhir dasawarsa 1980-an melalui penyelenggaraan seminar
nasional kejahatan korporasi, 23-24 November 1989 di fakultas Hukum Univ.
Diponegoro, Semarang. Reksodiputro mengungkapkan tiga system
pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu:
a. Pengurus sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Dengan demikian, pertanggungjawaban badan hukum tetap membuka
kemungkiran untuk menuntut dan mempidana individu-individu, termasuk para
pengurus atau manajer, disamping badan hukum itu sendiri. Bagaimanapun
peran manusia atau individu-individu tetap penting dan oleh karena itu mereka
tetap perlu menjadi sasaran penuntutan sesuai dengan pandangan berikut ini .
How do we make corporations and other organizations comply? They have
no arms, no legs, no conscience-if you cut them, they don’t bleed, you can’t fine
them enough to get their attention… individuals make a diference in
corporations. They are not nameless and faceless. They can go to jail. We can go
to get their attention.
Pengurus adalah individu-individu yang mempunyai kedudukan atau
kekuasaan social, setidaknya dalam lingkup perubahan tempat mereka bekerja.
Oleh sebab itu, selain menikmati kedudukan social, perlu pula diiringi dengan
tanggung jawab sebagaimana tercermin dalam ungkapan “ where social power
exists, so does responsibility”.
Setelah membahas secara ringkas konsep pertanggungjawaban badan
usaha atau korporasi dan alasan-alasan perlunya pertanggungjawaban badan
usaha menurut kalagan akademik, perlu ditelah pula konsep itu dirumuskan
dalam norma-norma hukum lingkungan di Indonesia, kususnya dalam UUPPLH.
Dalam UUPPLH pertanggungjawaban badan usaha dirumuskan dalam pasal 116
hingga pasal 119. Pasal 116 UUPPLH memuat criteria bagi lahirnya
pertanggungjawaban badan usaha dan siapa saja yang harus bertanggung

68
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

jawab. Jika ditilik rumusan pasal 116UUPPLH, pertanggungjawaban badan usaha


timbul dalam salah satu kondisi berikut, yaitu (1) tindak pidana lingkugan hidup
dilakukan oleh badan usaha, atau atas nama badan usaha atau (2)oleh orang
yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang
bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Karena badan usaha tidak dapat
bekerja tanpa digerakkan oleh manusia, maka pelaku fisik tetaplah manusia,
yaitu orang atas nama badan usaha atau orang yang berdasarkan perjanjian
kerja, misalkan seorang karyawan atau hubungan lain, misalkan perjanjian
pemborongan kerja.
Hal penting berikutnya adalah menentukan siapakah yang harus
bertanggungjawab jika sebuah tindak pidana lingkungan hidup dinyatakan telah
dilakukan oleh badan usaha atau korporasi. Pasal 116 ayat 1 menyebutkan
“tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan pada (a) badan usaha dan/atau
(b) orang yang member perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana tersebut” selain itu,
konsep pertanggungjawaban juga harus dipedomani ketentuan pasal 118
UUPPLH yang menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat 1
huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili didalam dan diluar pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Dengan demikian, dari rumusan pasal 116 dan pasal 118 UUPPLH dapat
diketahui bahwa ada tiga pihak yang dapat dikenai tuntutan dan hukuman yaitu:
1. Badan usaha atau sendiri
2. Orang yang member perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
tindak pidana;
3. Pengurus atau pemimpin badan usaha.
Pada dasarnya tanpa rumusan pasal 118 UUPPLH yang menyebutkan
‘’sanksi dikenakan terhadap badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan perundang-
undangan selaku pelaku fungsional ‘’, pengurus tetap juga dikenai
pertanggungjawaban atas dasar kriteria ‘’orang yang memberi perintah atau
orang yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana ‘’ sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 116 ayat 1 huruf b. perbedaannya adalah rumusan
pasal 116 ayat 1 huruf b memang mengharuskan penyidik dan penuntut umum
untuk membuktikan bahwa penguruslah yang telah bertindak sebagai orang
yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak
pidana, sehingga memerlukan kerja keras penyidik dan penuntut umum untuk
membuktikan peran para pengurus dalam tindak pidana lingkungan. Sebaliknya,

69
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

menurut ketentuan pasal 116 ayat 1 huruf b dikaitkan dengan pasal 118,
pengurus karena jabatannya secara serta merta atau otomatis memikul
pertanggungjaawaban pidana, tidak membutuhkan pembuktian peran para
pengurus secara spesifik dalam sebuah peristiwa pidana lingkungan. Penjelasan
pasal 118 UUPPLH memperkuat interpretasi bahwa jika badan usaha melakukan
pelanggaran pidana lingkungan, tuntutan dan hukuman ‘’dikenakan terhadap
pemimpin badan usaha atas dasar pimpinan perusahaan yang memiliki
kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan tersebut’’.
Pengertiann ‘’menerima tindakan tersebut’’ adalah ‘’menyetujui, membiarkan
atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap pelaku fisik dan menerima
tindakan tersebut.’’ Dengan demikian, pengurus perusahaan yang mengetahui
dan membiarkan karyawan perusahaan melepas pembuangan limbah tanpa
melalui pengolahan dianggap melakukan tindak pidana atas nama badan usaha,
sehingga dirinya harus bertanggungjawab, rumusan ketentuan dan penjelasan
pasal 118 UUPPLH merupaka sebuah terobosan atau sebuah kemajuan jika ditilik
dari segi upaya mendorong para pengurus perusahaan agar secara sungguh-
sumguh melakukan upaya pencegahan lingkungan manakala pemmpin sebuah
badan usaha. Rumusan ketentuan pasal 118 UUPPLH mirip dengan Vicarious
liability dalam sistem hukum Anglo Saxon yang juga dibahas dalam bagian
berikut buku ini. Selain itu, rumusan pasal 118 UUPPLH juga sejalan dengan
konsep akademik yang dikemukakan oleh Reksodiputro.
Dalam hal direksi dapat dikenai pertanggungjawaban, bagaimanakah
beban pertanggungjawaban itu dikenakan, apakah semua unsur-unsur direksi
memikul pertanggungjawaban sebagai pelaku intelektual atau dapat dipilah-pilah
atau dibedakan di antara mereka mengingat direksi dapat terdiri atas seorang
direktur utama dan direktur-direktur lainnya. Masalah ini juga harus dilihat dari
kasus perkasus. Jika dapat dibuktikan bahwa pelanggaran itu telah secara
berama-sama diketahui oleh para direksi, misalkan telah dibahas dalam sebuah
rapat pimpinan, mereka, para direksi, sepakat untuk membiarkan pelanggaran
terjadi karena alasan demi mencari keuntungan perusahaan, maka para direksi
secara bersama dan seimbangdapat dipandang sebagai pelaku utama
pelanggaran. Tetapi, jika salah satu direksi dapat membuktikan dirinya tidak
hadir dalam rapat pimpinan itu dan tidak pernah mendengar adanya pelanggaran
yang terjadi, ia dapat dibebaskan dari tuntutan atau hukuman. Praktik dan
putusan-putusan pengadilan di Belanda dan Amerika Serikat yang dibahas pada
bagian berikut buku ini dapat memperkaya pengetahuan kita tentang
pertanggungjawaban pidana direksi atau pengurus atau pemimpin perusahaan.
Jika badan usaha terbukti melakukan tindak pidana lingkungan, -jenis
hukuman terhadap badan usaha disebut dalam pasal 119 UUPPLH yaitu :

70
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ;


b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan ;
c. Perbaikan akibat tindak pidana ;
d. Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Karena rumusan pasal 119 UUPPLH tidak secara tegas menyebutkan
apakah jenis hukuman ini alternatif atau dapat dikenakan dua atau lebih
sekaligus, penulis berpendapat jenis-jenis hukuman itu dapat dikenakan dua atau
lebih sekaligus tergantung pada kasus perkasus atau akibat-akibat dari
pelanggaran.
Ancaman hukuman pidana untuk orang yang memberi perintah atau
pemimpin dalam tindak pidana lingkungan berupa pidana penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga dari ancaman yang tercantum dalam tiap-tiap delik
yang terdapat dalam UUPPLH. Anehnya ancaman pidana untuk pengurus
menurut konteks pasal 116 ayat 1 huruf a dan pasal 118 tidak disertai dengan
ancaman pidanayang diperberat sepertiga dari ancaman yang tercantum dari
tiap delik.

9. Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum Dalam Tindak Pidana


Lingkungan Di Belanda

Pasal 51 ayat 2 W.v.s. membuka peluang bagi penuntutan dan


pemindahan terhadap pengurus badan hukum, disamping badan hukum itu
sendiri, apabila pengurus yang bersangkutan bertindak sebagai “yang
memerintahkan perbuatan atau apabila secara nyata pemimpin melakukan
perbuatan yang terlarang”. Berdasarkan putusan Hoge Raad factor penting yang
menentukan apakah seorang pengurus bertanggungjawab atas tindak pidana
lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum adalah “ whether he failed to take
measures to prevent the act, measures he was empowered to take and which he
might be reasonably expected to have taken, thus consciously accepting a
significant probability that misconduct would take place”. Jadi, jika pengurus
tidak melakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum
oleh perusahaannya, sed angkan mereka mempunyai kewenangan untuk
mengambil langkah-langkah itu terjadi, sehingga mereka dapat dipersalahkan
dan beranggungjawab secara pidana.
Waling et.al., dengan mendasarkan pandangannya pada putusan Hoge
Raad mengemukakan sebagai berikut:
From supreme court judgements that if an official is to be held criminally
responsible, he must have been in some way actively or passifely, involved in the

71
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

misconduct of the legal entity. He need not necessarily have been aware of facts
which bore a direct relationships with it (conditional intent)… responsibility is
derived from a breach of the duty to take proper care and a kind of culpa in
causa reasoning. Thus, for example, in environmental cases before both the
deen hag court and the Amsterdam court it was accepted that those actually in
charge were responsible because the managing director has exercised
insufficient control over the state affairs within his company; the cuestion
whether he actually knew that criminal offences were being committed in his
company was not considered at all.
Dari uraian itu terungkap bahwa seorang pengurus (managing director)
memikul pertanggungjawaban pidana apabila:
- Secara aktif atau pasif terlibat dalam tindak pidana;
- Mengetahui fakta-fakta yang berhubungan dengan tindak pidana;
- Tidak melaksanakan pengawasan yang memadai tentang jalannya
perusahaan, sehingga perusahaan tidak memenuhi ketentuan UU
lingkungan
- Mengetahui secara nyata (actually knew) tentang terjadinya tindak pidana
bukan suatu prasyarat bagi timbulnya pertanggungjawaban pidana.
Bahwa“mengetahui secara nyata“ bukan prasarat pemindahan terhadap
pengurus berarti telah mempersempit upaya pembelaan diri pengurus dalam hal
terjadinya tindak pencemaran atau perusakan lingkungan oleh badan hukum
atau korporasi, karena pengurus tidak dapat dengan mudah menggunakan
ketidaktahuannya sebagai alasan pembelaan diri. Selanjutnya, untuk memenuhi
kriteria ‘‘memimpin secara nyata atau memberi perintah“, tidak dipersyarat
bahwa hanya orang yang bersangkutanlah dengan mengecualikan orang-orang
lain yang mempunyai kekuasaan ditangannya sendiri. Dalam Nut-arrest (H.R. 16
Juni 1981) Hoge Raad dalam putusannya menyatakan.
Didalam pergaulan, orang yang tidak hanya seorang diri atau hanya untuk
dirinya sendiri, tetapi bersama-sama dalam hubungan organisatoris dan yang
elah menalin persekutuan bersama dalam perkumpulan sesuai dengan apa yang
telah disetujui serta sesuai dengan pembagian tugas mereka bersama, serta
dalam hubungan kerja sama yang sangat erat sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh pengadilan tinggi, telah melaksanakan pemberian pimpinan yang
nyata pada perbuatan yang terlarang dari suatu badan hukum,
dipertanggungjawabkan kepada mereka yang telah memberikan pimpinan nyata.
‘‘tidak ada alasan untuk menyimpang dari pasal 51 ayat 2 butir 2e‘:“ mereka
yang telah memimpin secara nyata perbuatan terlarang tersebut , secara lebih
terbatas.

72
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Putusan H.R. tersebut mengandug doktrin bahwa, meskipun didalam


perusahaan terdapat pembidangan tugas kepemimpinan, pimpinan sebuah
perusahaan secara bersama-sama dapat dipidana tanpa harus menggunakan
konstruksi hukum penyertaan.

10. Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum Dalam Tindak Pidana


Lingkungan di Amerika Serikat

Di Amerika Serikat terdapat kecenderungan untuk, menuntut pengurus


(corporate officers) atau unsur pimpinan (chief executive officers) suatu badan
usaha yang telah melanggar ketentuan pidana dalam perundan-undangan
lingkungan. Upaya penuntutan dan pemindahan terhadap pengurus dapat
dilakukan karena para hakim menginterpretasikan ketentuan dalam perundang-
undangan lingkungan memuat vicarious liability.
Vicarious liability adalah sebuah bentuk pertanggungjawaban pidana
dalam tradisi common law yang memungkinkan seorang majikan dihadapkan
terdakwa dan dihukum atas perbuatan melakwan hukum yang dilakukan oleh
karyawannya. Untuk memahami kosep peranggungjawaban ini perlu dibahan
terlebih dahulu konsep peristiwa pidana dalam tradisi common law. Dalam setiap
peristiwa pidana terdapat dua unsur yaitu, unsur eksternal atau disebut juga
acteus reus atau unsur internal atau disebut juga mens rea. Actteus reus terdiri
atas melakukan sesuatu (act) dan tidak melakukan sesuatu (omission). Konsep
acteus reus ini serupa dengan konsep tindakan materil dalam hukum pidana
Indonesia. Mens rea adalah keadaan mental atau batin seseorang yang dapat
berupa intention recklessness dan negligence. Dengan demikian, konsep mens
rea adalah sama dengan unsur kesalahan yng juga dikenal dalam hukum pidana
Indonesia. Pada dasarnya dalam setiap peristiwa pidana, kedua unsur itu harus
dibuktikan terhadap diri si terdakwa. Akan tetapi, keharusan membuktikan kedua
unsur itu tidak berlaku dalam hal penerapan vicarious liability. Dengan demikian
vicarious liability mengandung pengertian pokok sebagai berikut: seorang
majikan atau pimpinan perusahaan dapat dipidana atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh karyawannya atau bawahannya dalam rangka
pelaksanaan tugasnya sebagai karyawan. Dengan menelusuri beberapa putusan
pengadilan yang menerapkan vicarious liability. Cremona menemukan adanya
dua macam konstruksi hukum, yakni:
1. Beberapa putusan pengadilan memperlihatkan bahwa, tindakan materil
(acteus reus) melawan hukum yang dilakukan oleh karyawan atau bawahan
dibebankan kepada diri si terdakwa (majikan atau pimpinan), tetapi harus
dibuktikan adanya mens rea pada atau dalam diri si majikan atau pimpinan.

73
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

2. Beberpa putusan lainnya merumuskan vicarious liability lebih progresif,


yakni baik tindakan materil (acteus reus) maupun mens rea atau unsur
kesalahan dari karyawan atau bawahan dapat dibebankan kepada majikan,
terutama dalam hal terjadi pendelegasian wewenang dari pimpinan kepada
karyawan atau bawahannya. Penerapan vicarious liability menurut
pengertian ini berlaku dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan perizinan
dan dengan persyaratan terdapat pendelegasian penuh dari majikan kepada
si karyawan.
Di Amerika Serikat penerapan vicarious liability dalam kasus-kasus
lingkungan bersumber dari beberpa undang-undang lingkungan. The Clean Air
Act (CAA) dan The Federal Water Pollution Control Act (FWPCA) menyebutkan
secara tegas bahwa, responsible officers termasuk kedalam pengertian persons
yang dapat dikenai sanksi pidana. Dengan adanya pemuatan kata-kata
responsible officers telah ditafsirkan oleh jumlah hakim, bahwa ada keinginan
kongres sebagai pembuat UU untuk meletakkan pertanggungjawaban pidana
kepada officers atas tindakan-tindakan bawahan mereka (subordinates) jika
officers mengetahui terjadinya pelanggaran dan ia berwenang mencegahnya,
tetapi ia tidak melakukan upaya pencegahan.
Dalam konteks the Resource Conservation and Recovery Act (RCRA),
pengurus suatu badan usaha juga dapat dituntut ats perbuatan melawan hukum
oleh parkarywanny. Tuntutan ini dapat dilakukan adanya ketentuan RCRA yang
menyebutkan bahwa: person who knowingly terjadinya perbuatan melawan
hukum antara lain pengngkutan dan pengiriman limbah B3 ke instalasi
pengolahan limbah B3 tanpa izin, dan pelanggaran terhadap standar atau
persyaratan-parsyaratan yang berlaku dapat dipidana dengan hukuman penjara
maksimal 2 (dua) tahun dan/atau denda 50 juta dolar.
Penuntutan dan pemindahan terhadap pengurus atau pemimpin badan
usaha atas perbuatan karyawannya dapat dilihat dari putusan pengadilan
banding wilayah sebelas (the eleventh circuit court) dalam kasus US v. Johnso n
& Tower. Dalam kasus hayes internasional corp, seorang karyawan yang
bertanggungjawab atas pengolahan limbah B3 telah menyerahkan limbah B3 dari
perusahaan hayes kepada sebuah instalasi pengolahan limbah B3 yang tidak
memiliki izin sah. Demikian pula direktur hayes dituntut dan dihukum atas
perbuatan karyawannya itu, keduanya dianggap telah mengabaikan kewajiban
hukum untuk, memestikan status izin instalasi pengolahan limbah.
Dalam kasus US v. Johnson & Tower, seorang mandor dan manajer
sebuah perusahaan dihukum karena perusahaan itu telah membuang limbah B3
ke sungai deleware tanpa izin, sedangkan mereka mengetahui atau semestinya
mengetahui (should have known) bahwa, pembuangan limbah itu harus dengan

74
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

izin. Arti penting putusan hakim dalam kedua kasus itu diungkapkan oleh
Woodka berikut:
Cases like hayes and Johnson & Tower cannot be underestimated because they
open the door for prosecutions based ann what a director “should have known”
as comparedto what he actually knew, even when in instances where sethe
statute requires intent or knowledge. What each of these casesr unlimately
does is to impose liability an officer or director solely by virtue of his position in
the corporation.
Putusan pengadilan dalam kedua kasus itu juga melahirkan sebuah
konsep bahwa, seorang pengurus dapat memikul pertanggungjawaban pidana
atas dasar pendekatan bahwa, “semestinya telah mengetahui”. Seperti halnya
putusan H.R. di belanda yang menolak criteria “mengetahui secara nyata”
tentang terjadinya tindak pidana dijadikan prasyarat pemindahan terhadap
pengurus badan hukum maka criteria “semestinya telah mengetahui” berdasarkan
putusan dua pengadilan banding Amerika Serikat juga memperlihatkan bahwa
ketidaktahuan pimpinan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan pembebasan
pertanggungjawaban pidana.

11. Penyidik Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Berdasarkan pasal 6 ayat (1) kitab Undang-Undang Hukum acara pidana


(KUHAP), penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (seterusnya
disingkat dengan polri) dan pejabat pegawai negeri sipil (seterusnya disingkat
dengan PPNS) tertentu yang diberi wewenang kusus oleh UU. UUPPLH
merupakan salah satu UU sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) yang menjadi
dasar bagi keberadaan PPNS sebagaimana dirumuskan dalam pasalkewenangan
polri selain sebagaiman disebutkan dalam pasal 7 ayat (1) KUHAP, antara lain,
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
pemeriksaan dan penyitaan surat dan unsure wewenang koordinasi atas
pelaksanaan tugas PPNS (pasal 7 ayat 2), polri sebagai institusi yang berwenang
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (pasal 8 ayat 2). Dengan
demikian, berdasarkan system KUHAP, PPNS tidak berwenang menyerahkan
berkas hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum, tetapi harus
melewati polri.
UUPPLH telah mengubah ketentuan yang selama ini memberikan
kewenangan kepada polri sebagai institusi satu-satunya yang dapat
menyerahkan berkas hasil penyidikan kepada penuntut umum sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 8 ayat (2) KUHAP. Perubahan itu trjadi melalui pasal 94
ayat (6) UUPPLH yang menyatakan: “hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh

75
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum”. Dengan


demikian, PPNS lingkungan dapat dan berwenang untuk menyerahkan berkas
hasil penyidikan secara langsung kepada penuntut umum tanpa melalui polri lagi.
Pemberian kewenangan ini memang masih harus dibuktikan secara empiris pada
masa depan apakah akan membawa perkembangan positif bagi upaya
penegakan hukum lingkungan pidana atau tidak membawa perubahan apapun.
UUPPLH memberikan kewenangan PPNS dalam penyidikan untuk:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
b. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
c. Meminta keterangngan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolan lingkungan
hidup.
d. Melakuakan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
e. Melakukan pemerikasaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan
bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain.
f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasi pelanggaran yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindngan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana dibidanng perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
h. Menghentikan penyidikan.
i. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio
visual.
j. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruang dan/atau
tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana.
k. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
Namun, UUPPLH tetap mengharuskan PPNS untuk berkoordinasi dengan
penyidik polri dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, memberikan
polri dalam hal PPNS melakukan penyidikan.PPNS juga memberitahu penuntut
umum dengan tembusan kepada penyidik polri tentang dimulainya sebuah
penyidikan.

76
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

D. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Gugatan Perdata

Karna hukum perdata Indonesia lebih dekat dengan hukum perdata


belanda, maka pembahasan tentang fungsi hukum perdata dalam penegakan
hukum lingkungan dalam subbab ini perlu dan relevan untuk lebih dahulu
menempatkan pembahasan fungsi hukum perdata dalam peegakan hukum
lingkungan berdasarkan perspektif penulis-penulis belanda. Kemudian baru
diikuti oleh uraian dan pembahasan terhadap kasus-kasus gugatan hukum
lingkungan perdatadi belanda, Indonesia dan Amerika Serikat.
Menurut Koeman hukum perdata memiliki empat fungsi yang relevan itu,
yaitu:
Het privaatrech-instansi het bijzonder de actie uit on rechtmatige daad-en
de burgerlijke rechter zijn voor het milieurecht van wezenlijk belang. In
hoofdzaak gaat het dan om vier functies:
1. Handhaving door middle van het privaat recht
2. Aanvullende normstelling;
3. Schadeacties;
4. Aanvullende rechtsbescherming
(Hukum perdata kususnya gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum dan
hakim perdata sesungguhnya memiliki arti penting bagi hukum lingkungan. Pada
pokoknya hal itu berkaitan dengan empat fungsi:
1. Penegakan hukum melalui hukum perdata
2. Penetapan norma tambahan
3. Gugatan untuk memperoleh ganti kerugian
4. Perlindungan hukum tambahan).
Dari pernyataan koeman ersebut dapat dipahami bahwa salah satu fungsi
dari gugatan perdata berdasakan perbuatan melawan hukum adalah untuk
penegakan hukum. Tiga fungsi lainnya adalah penetapan norma tambahan,
perolehan ganti kerugian dan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal
1401 BW lama yang mirip dengan pasal 1365 KUH perdata, sedangkan dalam
BW baru dirumuskan dalam pasal 6:162. Gugatan perdata sebagai sarana
penegakan hukum dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh
pemerintah sebagaimana dikemukakan oleh Drupsteen.

77
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Maar het privaatreht kan zowel door burgers als door de overheid ook
worden ingezed om de neleving van publiekrechtelijke milieuvoorschriften af te
dwingen. (bahkan hukum perdata dapat digunakan baik oleh warga masyarakkat
maupun peguasa untuk memaksa penaatan persyaratan lingkungan yang bersifat
hukum public).
Namun, pengajuan gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum
oleh penguasa atau pemerintah terbatas pada situasi bilamana penegak hukum
administrasi tidak memadai, sehingga pada kenyataannya pendayagunaan
gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan oleh badan
pemerintah di Belanda sangat jarang terjadi.
Di Belanda, gugatan perbuatan melawan hukum dapat digunakan sebagai
sarana penegakan hukum atas norma-norma hukum public, seperti pelanggaran
terhadap ketentuan perizinan maupun ketentuan hukum perdata. Norma-norma
hukum lingkungan termasuk bagian dari norma-norma hukum public.
Penegakana atas norma-norma hukum lingkungan dibedakan atas tiga bidang
yaitu: penegkan lingkungan bersifat larangan dalamperaturan perundang-
undangan lingkungan, penegakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan dalam
izin, penegakan terhadap ketetapan sanksi-sanksi.
Tentang makna menegakkan ketentuan bersifat larangan dapat dipahami
dari uraian koeman.
Tal van bepalingen uit milieurechtelijke regelingen verbieden bapaalde
activiteiten. Denk aan...het verbod om met behulp van werk afvalstoffen en
dergelijke oppervlaktewateren te brengen (artikel 1 lid 1, wet verontreiniging
oppervlaktewateren) en dergelijke. Indien in strijd met dergelijke verbods
bepalingen word gehandeld is in beginsel sprake van een onrechtmatige daad
instansi de zin van artikel 1401 BW (art. 6: 162 NBW).
(beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan melarang kegiatan-
kegiatan tertentu. Misalnya larangan untuk memasukan bahan berbahaya dan
sejenisnya ke air permukaan (berdasarkan pasal 1 ayat (1) wet verontreining
oppervlaktewateren). Dengan demikian, pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan larangan semacam itu sesungguhnya termasuk dalam pengertian
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam pengertian pasal 1401
B.W. (art. 6: 162 NBW).
Tentang makna dari penegakan persyaratan perizinan dapat dipihami dari
penjelasan Koeman.
Ook handelen in strijid met de voorschriften, die rechsgeldig aan een
milieuvergunning zijn verbonden, is onrechtmating te achten. Dat is door de
hoge raad duidelijk verwoord in het arrest betreffende de houthandel Van Dam
(H.R. 9 january 1981, NJ 1981, 227), waarin de Hoge Raad overwoog: Aan

78
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

voorwaarden, ter bescherming van de belangen van omwonende rechtsgeldig


aan een hinderwet vergunning verbonden, moet voor de toepassing van artikel
1401 B.W. in de concrete situatie waarvoor zij geschreven zijn, een soortelijke
betekenis worden toegekend als aan door de centrale of lokale wetgever
vasgestelde gedragsnormen, waarvan de schending in beginsel een
onrechtmatige daad oplevert jegens degenen ter wier bescherming die normen
zijn gestled.
(juga perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan persyaratan-persyaratan,
yang secara syah ditetapkan dalam sebuah izin lingkungan, dianggap tidak
menurut hukum. Hal ini secara jelas dinyatakan oleh mahkamah agung dalam
putusan tentang houthandel van dam (H.R. 9 januari 1981 NJ 1981,227), yang
didalamnya mahkamah agung menimbang: terhadap persyaratan yang secara
syah dituangkan dalam izin UU gangguan dalam rangka perlindungan
kepentingan penduduk sekitar harus ditetapkan pasal 1401 BW dalam keadaan
nyata yang untuk itu prasyarat-prasyarat dituangkan, makna semacam itu
diterima sebab norma-norma perilaku diterapkan oleh pembuat undang-undang
pusat atau daerah, pelanggaran terhadap norma-norma itu pada dasarnya
merupkan perbuatan melawan hukum terhadap kepentingan orang-orang yang
untuk mereka norma-norma itu diterapkan).
Tentang makna penegakan penetapan sanksi dapat dipahami dari uraian
Koeman berikut;
Privaatrechtelijke handhavingsactie kunnen ten slotte ten doel habben naleving
van publikerechtelijke sanctie beschikkingen af te dwingen. Gedacht kan
bijvoorbeeld worden aan de situatie, dat na een sluitingsbevel..., de
inrichtingtoch in werking blijft. Omwonenden en andere belanghebbenden zullen
dan in een voordering uit onerechtmatige daan en voorziening- bijvoobeeld een
verbod om nog verder bepaalde activiteiten ter verrichten- kunnenvragen.
(gugatan hukum perdata pada akhirnya dapat memaksakan penataan terhadap
keputusan sanksi hukum publik. Misalnya dalam situasi setelah keputusan
penutupan..., tempat usaha itu tetap beroperasi. Penduduk sekitar dan pihak
berkepentingan lainnya dapat mengajukan gugatan atas perbuatan melawan
hukum, misalnya meminta pelanggaran untuk melaksanakan kegiatan itu
seterusnya).
Gugatan Oleh Lembaga Swadaya Masyarakat
Di indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan huum lingkungan juga
dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 1365 BW. Gugatan perdata sebagai upaya penegakan
hukum lingkungan pertama kali dilakukan oleh WALHI melawan PT IIU, menteri
perindustrian, menteri kehutanan, menteri dalam negri, menteri lingkungan

79
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

hidup dan gubernur propinsi sumatera sumatera utara di pengadilan negeri


jakarta pusat. Gugatan WALHI diajukan pada masa berlakunya UULH 1982 yang
pada dasarnya tidak secara tegas mengakui hak lembaga swadaya masyarakat
untuk mengaukan penegakan gugatan penegakan hukum lingkungan, tetapi
majelis hakim dalam perkara tersebut menginterpretasikan hak gugat itu dari
konsep peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup yang
memang diakui dalam UULH 1982 (putusan perkara WALHI lawan PT IIU
No.820/pdt/G/1938).
Putusan haim dalam perkara WALHI melawan PT IIU memberikan
inspirasi pembentukan norma UU yang secara tegas mengakui keberadaan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengajukan gugatan UULH 1997.
Dalam UULH 1987, hak LSM atau organisasi lingkungan hidup untuk menggugat
dirumuskan dalam pasal 38 ayat (1). UUPPLH juga mengakui hak lembaga
swadaya masyarakat atau organisasi lingkugan hidup untuk mengajukan gugatan
dengan rumusan yang mirip dengan rumusan dalam UULH 1997. Gugatan oleh
LSM tidak dimaksudkan untuk memperoleh ganti kerugian, tetapi lebih
dimaksudkan sebagai bentuk penegakan hukum lingkungan. Oleh sebab itu, jenis
tuntutan yang diajukan oleh penggugat telah mengeluarkan biaya riil. LSM atau
organisasi lingkungan hidup yang memiliki hak gugat adalah harus memenuhi
persyaratan berikut: berbentuk badan hukum atau yayasan, dalam anggaran
dasarnya dengan tegas menyebutkan bahwa tujuan pendirian LSM itu adalah
untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup, telah melaksanaan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat dua tahun. Dalam
UULH 1997 tidak ditemukan adanya persyaratan telah melaksanakan kegiatan
sesuai anggaran dasar paling singkat dua tahun.
Selain gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum dilakukan oleh
warga atau LSM juga dapat dilakukan oleh pemerintah. Dalam UULH 1997,
kewenangan pemerintah melakukan gugatan perdata diatur dalam pasal 37 ayat
(2), sedangkan dalam UUPPLH kewenangan itu dirumuskan dalam pasal 90 (1).
Sebuah contoh kasus upaya penegakan hukum lingkungan melalui gugatan
perdata oleh pemerintah adalah perkara gugatan menteri negara lingkungan
hidup indonesia qq pemerintah negara republik Indonesia melawan PT
Selatwasik Indokwarsa sebagai tergugat 1 dan PT simpang pesak indonesia
sebagai tergugat II di pengadilan negeri jakarta utara. Para tergugat
memperoleh izin usaha pertambangan daerah berdasarkan SK Bupati Belitung
timur untuk bahan galian pasir kwarsa dikawasan desa simpang pesak,
kecamatan dendang kabupaten belitung timur, provinsi bangka belitung. Dalam
melakukan kegiatan penambangan itu ternyata para tergugat telah merambah
kawasan hutan lindung yang berada dilur wilayah izin penambangan. Pemerintah

80
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

kabupaten belitung timur yang telah menerbitkan izin pertambangan bagi para
tergugat semestinya melakukan pengawasan guna mastikan kepatuhan para
pemegang izin dengan syarat-syarat izin, antara lain, menambang dalam wilayah
izin penambangan. Namun ternyata pemerintah kabupaten belitung timur
ternyata tidak melaksanakan kewenangannya dengan baik dan terbukti
membiarkan terjadinya kegiatan penambangan di luar wilayah izin penambangan
dan merambah ke kawasan lindung. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh
kementrian negra lingkungan hidup mengajukan ggatan perdata untuk
menghentikan kegiatan penambangan dikawasan lindung. Majelis Hakim dalam
putusannya tanggal 3 februari 2010 (No register: 102/PDT/G/2009/PN.JK.UT)
mengabulkan gugatan kementrian negara lingkungan hidup dengan menyatakan
tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum
tergugat I untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp
18.190.720.000 dan tergugat II untuk membayar biaya pemulihan lingkungan
sebesar Rp 8.458.339.000. dalam gugatan ini slain ada unsur penegakan hukum,
yaitu menghnikan perbuatan para tergugat yang melawan hukum, yaitu
menambang dikawasan lindung juga ada unsur pemerintah ganti kerugian
karena akibat kegiatan para tergugat telah terjadi kerugian lingkungan. Dalam
gugatan perdata perdata lingkungan memang dapat saja sekaligus terjadi bahwa
pelitum gugatan selain untuk penegakan hukum juga untuk perolehan ganti
kerugian jika memang telah timbul kerugian lingkungan sebagaimana dalam
perkara tersebut.

E. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan arti sempit.
Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan
antara dua pihak atau lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam. Pemanfatan sumber daya alam disamping memberikan manfaat
kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerugian pada kelompok lain,
atau setidaknya meletakkan resiko kerugian kepada kelompok lain sering kali
manfaat dari suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dilihat secara makro,
sementara resiko atau dampak negatif dari kegiatan itu didasarkan oleh sekelompok
kecil orang.
Sengketa lingkungan hidup (environmental disputes) sebenarnya tidak
terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa yang terjadi

81
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam bidang pemanfaatan


dan peruntukan lahan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik, rencana
pembangunan waduk, remcana pebangunan saluran udara tegangan tinggi. Dengan
demikian, pengertian sengketa lingkungan mencakup konteks yang relatif luas.
Akan tetapi, UULH 1997 dan UUPPLH menganut perumusan sengketa
lingkungan hidup dalam arti sempit. Sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH
dirumuskan dalam pasal 1 butir 25 sebagai ‘‘perselisihan antara dua ihak atau lebih
yang timbul dari kegiatan berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.“ Jadi, fokusnya masih pada kegiatan, belum mencakup kebijakan atau
program pemerintah yang berkaitan dengan masalah-masalah lingkugan hidup.
Dalam UULH 1997 pengertian sengketa lingkungan dirumuskan dalam pasal 1 butir
19, yaitu“perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya
atau diduga adanya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Akibat dari
rumusan sempit pengertian sengketa lingkungan hidup, maka pokok bahasan
terbatas pada masalah ganti kerugian dan pemulihan lingkungan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pendirian sebuah pabrik, penetapan lokasi
pembuangan limbah, pembangunan waduk, pengambilan bahan tambang dan hasil
hutan yang dapat merugiakan kepentingan suatu kelompok dalammasyarakat
sehingga dapat menimbulkan sengketa dapat digolongkan kedalam sengketa
lingkungan. Ancaman terhadap hak dan kepentingan sah dari suatu kelmpok dalam
masyarakat juga berarti dapat mengganggu lingkungan sosial masyarakat yang
bersangkutan.
Sengketa lingkungan berkisar pada kepentigan-kepentingan atau kerugian-
kerugian yang bersifat ekonomi, misalnya hilang atau terancamnya mata
pencaharian dan pemerosotan kualitas atau nilai ekonomi dari hak-hak kebendaan,
dan juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan non ekonomi sifatnya.
Misalnya terganggunya kesehatan, kegiatan rekreasional, keindahan, dan kebersihan
lingkungan.
Dilihat dari para pihak yang terlibat, sengketa-sengketa lingkungan tidak
selalu berupa pertikaian antara anggota masyarakat disuatu pihak dengan
pengusaha atau industri awan di pihak lain, tetapi juga perikaian antara anggota-
anggota masyarakat di satu pihak dengan pengusaha dan aparat pemerintah di
pihak lain. Gajala seperti ini dapat dilihat dari pengalaman negara-nagara yang telah
maju seperti Amerika Serikat dan Kanada. Aparat pemeritah terkadng terlibat dalam
sengketa dalam kedudukan sebagai tergugat karena perannya sebagai pihak yang
memberi izin atas kegiatan yang menimbulkan dampak negatif. Jenis sengketa
lingkungan hidup yang pertama dapat dikatakan bercorak perdata murni, sedangkan
jenis yang kedua bercorak administratif.

82
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

F. Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan UU Nomor 32


Tahun 2009
Sebagian besar ketentuan-ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan
UUPPLH mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UULH 1997. Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH diatur dalam pasal 87 hingga pasal 93.
Menurut UUPPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh secara
sukarela melalui dua pilihan mekanisme, yaitu mekanisme proses pengadilan dan
mekanisme diluar pengedilan. Jika para pihak telah sepakat untuk memilih
mekanisme diluar pengadilan, maka gugatan keperdataan melalui pengadilan hanya
dapat ditempuh jika mekanisme diluar pengadilan dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu atau para pihak.

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

Penyelesaian sengketa lingkungan hidupmelalui pegadilan bermula dari


adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugihan terhadap pihak lain yang
dianggap kerugian itu. UUPPLH menyediakan dua bentuk tuntutan yang dapat
diajukan oleh penggugat, yaitu meminta ganti kerugian dan meminta tergugat
untuk melakukan kegiatan tertentu. Agar tergugat dapat dijatuhi hukuman
seperti yang dituntut oleh penggugat, maka harus ditentuak terlebih dahulu,
bahwa tergugat bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Didalam ilmu
hukum terdapat dua jenis tanggung gugat, yaitu tanggung gugat berdasarkan
kesalahan (liability based on fault) dan tanggung gugat tidak berdasarkan
kesalahan (liability without fault) atau juga disebut strict liability.
Tanggung gugat berdasarkan kesalahan ditemukan dalam rumusan
pasal 1365 KUH perdata. Bahwa ketentuan pasal 1365 menganut tanggung
gugat berdasarkan kesalahan dapat dilihat dari unsure-unsur rumusan pasal
tersebut, yaitu:
a. Perbuatan tergugat harus bersifat melawan hukum.
b. Pelaku harus bersalah.
c. Ada kerugian.
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dengan kerugian.
Penggugat yang mengajukan gugatan berdasarkan pasal 1365 BW
harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tersebut agar gugatannya dapat
dikabulhan oleh hakim. Salah satu unsur itu adalah bahwa tergugat bersalah.
Dalam ilmu hukum kesalahan dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu
kesengajaan dan kelalaian atau kealpaan, adalah tugas penggugat untuk
membuktikan adanya unsur kesengajaan atau kelalaian pada diri tergugat,
sehingga telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.

83
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

Selain tetap menganut tanggung gugat berdasarkan kesalahan,


UUPPLH juga memberlakukan tanggunggugat tanpa kesalahan (strict liability)
yaitu untuk kegiatan-kegiatan yang ‘‘menggunakan bahan berbahaya dan
beracun atau menghasilkan dan/atau mengelola limbah bahan berbahaya dan
beracun dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup.“ Terdapat dua perbedaan penting antara rumusan tanggung gugat mutlak
berdasarkan UULH 1997 dan berdasarkan UUPPLH. Pembedaan pertama adalah
bahwa dalam rumusan UULH 1997 menggunakan istilah penangggung
jawab..“membayar ganti rugi secara langsung dan seketika“, sedangkan dalam
UUPPLH tidak lagi menggunakan istilah atau klausula itu, tetapi menggunakan
istilah bertanggung jawab secara mutlak tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan“. Saya berpendapat rumusan UUPPLH yang lebih tepat sesuai dengan
konsep dalam sistem anglo Saxon yaitu strict liability yang adalah juga disebut
liability without fault. Perbedaan kedua adalah dalam UULH 1997 terdapat
pengecualian atas berlakunya tanggung gugat mutlak, yaitu penanggung jawab
usaha atau kegiatan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul jika
kerugian yang timbul dari tiga hal, yaitu: adanya bencana alam atau
peperangan, adanya keadaan terpaksa diluatar kemampuan manusia, dan
adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam UUPPLH ketentuan pengecualian
tidak ada.
Pada dasarnya pembuktian yang paling sulit adalah bukan
membuktikan ada tidaknya unsur kesalahan dari pelaku, tetapi membuktikan
unsur kesalahan dari pelaku, tetapi membuktikan unsur hubungan sebab akibat
antara perbuatan dengan kerugian penderita. Jika dikaitkan dengan kasus
lingkungan hidup, maka si penggugat harus dapat membuktikan bahwa kerugian
yang diterimanya disebabkan oleh aktifitas industri atau pabrik menjadi tergugat.
Pembuktian hal ini sangat sulit karena kompleksnya sifa-sifat zat kimiawi dan
reksinya satu sama lain maupun reaksinya dengan komponen abiotik dan biotik
didalam suatu ekosistem yang akhirnya berpengaruh pada kesehatan manusia.

2. Gugatan Perwakilan

UULH 1997 maupun UUPPLH mengenal gugat perwakilan kelompok gugatan


perwakilan merupakan penyerapan dari konsep Class action yang dikenal
dalam sistem hukum Anglo Saxon. Pengertian class action dalam pasal 23
hukum acara perdata Amerika Serikat (the US Rules of Civil Procedure)
adalah:“one or more members of a class to sue or to be sued as

84
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

representative parties on the behalf of all“. Prasarat untuk mengajukan


gugatan class astion adalah sebagai berikut:
1) The class is so numerous that joinder of all members is impracticable;
2) There are question of law or fact common to the class;
3) The claims or defenses of the representatives parties are typical of the
claims or defenses of the class, and representative parties will fairly and
adequately protect the interests of the class.
UULH 1997 memuat pengertian dari gugatan perwakilan, sebagaimana
dirumuskan dalam penjelasan pasal 37 ayat 1, adalah: hak kelompok kecil
masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang
dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan fakta, hukum dan tuntutan. Jadi,
menurut konsep gugatan perwakilan kelompok terdapat dua unsure gugatan,
yaitu: (1) wakil kelompok yang jumlahnya kecil, mungkin satu atau beberapa
orang dan (2) anggota kelompok yang mungkin jumlahnya puluhan, ratusan,
atau ribuan. Sebaliknya, UUPPLH tidak memuat pengertian gugatan pengerian
kelompok baik dalam batng tubuh maupun penjelasan pasal. Meski UULH 1997
mengakui keberadaan gugatan perwakilan dan juga memuat pengertiannya,
tetapi tidak mengatur lebih lanjut bagaimana cara gugatan perwakilan ini
diajukan ke pengadilan, sedangkan hukum acara yang berlakutidak megatur hal
itu. Oleh sebab itu, adalah penting untuk melakukan kajian banding, yaitu
bagaimana class action diajukan didua Negara Anglo Saxon, yaitu Amerika
Serikat dan Australia. Selain itu, mahkamah agung telah menerbitkan peraturan
mahkamah agung No.1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok.
Di Amerika Serikat untuk menentukan apakah suatu gugatan dapat
dilangsungkan berdasarkan class action harus lebih daulu melewati prosedur
yang dinamakn sertivikasi (preliminary certification test) di awal persidangan.
Melalui prosedur sertifikasi-sertifikasi hakim dapat memeriksa dan memutuskan
apakah memang dalam gugatan yang diajukan terdapat anggota k elas yang
banyak (numerousity), ada masalah hukum, fakta dan tuntutan yang sama.
Di Australia, ketentuan tentang class action tidak mewajibkan seorang
penggugat yang menyebutkan class action untuk menyebutkan nama-nama
orang yang diwakilinya diawal persidangan, tetapi cukup menyebutkan secara
umum siapa-siapa anggota klasnya, misalnya penduduk yang tinggal di sekeliling
sungai X, atau penduduk yang tinggal di sekeliling danau Y, atau mereka yang
suka berenang di danau Y. namun, hakim mempunyai kewenangan untuk
menentukan apakah sebuah kasus dapat diguugat atas dasar class action. Dalam
menentukan apakah penggugat bethak atau memenui syarat untuk mengajukan
class action, hakim berwenang memerintahkan penggugat untuk menjelaskan
bahwa dalam kasus itu mengandung persamaan permasalahan hukum, fakta dan

85
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

tuntutan. Selain hakim menentukan bahwa gugatan itu dapat diajukan atas
dasar class action, hakim kemudian kemerintahkan penggugat atau wakil kelas
untuk membuat pengumuman terbuka (public notice) selama waktu tertentu
melalui masa media cetak, elektronik atau sarana-sarana lain kepada mereka
yang dinyatakan sebagai anggota class. Tujuan dari pengumuman melalui mass
media adalah untuk member kesempatan untuk setiap orang atau anggota class
untuk menyampaikan kenyataan tertulis pada pengadilan bahwa ia tidak ikut
serta (opt out) menjadi anggota klas dari gugatan itu. Jika seseorang
menyatakan tidak ikut serta (opt out) dalam pengejuan gugatan itu, maka
putusan hakim dalam perkara itu tidak mengikat dirinya. Bagi siapa yang tidak
menyampaikan pernyataan tertulis tidak ikut, maka mereka menjadi anggota-
anggota kelas dan terikat dengan putusan pengedilan dalam perkara itu.
Setelah proses pengumuman terbuka dan pernyataan tidak ikut serta
(opt out) dalam pengajuan gugatan dipenuhi, maka barulah hakim memeriksa
pokok perkara. Apabila dalam pemeriksaan pokok perkara, hakim memutuskan,
bahwa tergugat harus bertanggung jawab (liable) atas kerugian yang timbul,
kemudian hakim memanggil para anggota kelas. Hakim kemudian memeriksa
apakah orang-orang yang menghadap ke pengadilandan mengaku sebagai
anggota kelas adalah memang orang yang memenuhi persyaratan sebgai
anggota kelas. Setelah hakim memastikan, bahwa orang yang menghadap
adalah memang angota kelas, maka orang itu layak un tuk menerima ganti
kerugian.
Prosedur gugatan perwaklan kelompok berdasarkan perma No.1 tahun
2002 juga mengadopsi aturan-aturan yang dikenal di Australia dan Amerika
Serikat. Gugatan kelompok merupakan sarana hukum yang tepat untuk
digunakan dalam perkara-perkara lingkungan dan perlindungan konsumen
karena masalah-masalah lingkungan, seperti pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan seringkali mengancam kepntingan banyak orang akibat perbuatan
ateu kegiatan usaha. Misalkan, masalah pencemaran air sungai atau udara
begitu terjadi tidak mudah untuk dilokalisir karena sifat-sifat air dan udara
bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Menurur perma No.1 tahun
2002 agar sebuah gugatan dapat dilakukan melalui acara gugatan perwakilan
kelompok harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Jumlah anggota kelompok atau orang yang merasa mengalami kerugian
begitu banyak sehingga tidak efektif dn efisien apabila gugatan dilakukan
secara sendiri-sendiri atau secrara bersama dalam suatu gugatan menurut
prosedur biasa.

86
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang
digunakan bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan
diantara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
Kedua syarat ini dapat dipahai maknanya melalui contoh kasus. Jika,
misalkan terjadi pencemaran lingkungan disebabkan oleh satu atau lebih
perusahaan yang merugikan penduduk dibeberapa kabupaten atau kota maupun
dua atau lebih propinsi, masing-masing kelompok yang tinggal di kabupaten atau
kota yang berada mengajukan gugatan di beberapa pengadilan negeri sekaligus,
maka kemungkinan yang terjadi akibat-akibat berikut. Pertama, sumber daya
dan tenaga aparatur negara, kususnya hakim atau pengadilan menjadi boros,
tidak efisien karena beberapa pengadilan memeriksa perkara yang
permasalahannya sama dan tuntutanny sama dengan tergugatnya sama pula.
Kedua, pengadilan negeri yang berbeda itu mungkin sdekali akan menghasilkan
putusan-putusan yang berbeda. Putusan-putusan yang berbeda untuk perkara
yang sejenis atau terdapat persamaan pokok gugatan tidak mencerminkan
adanya kepastian hukum dan juga bertentangan dengan rasa keadilan. Ketiga,
melalui gugatan-gugatan yang berbeda itu dapat mengakibatkan kebangkrutan
tergugat yang telah dihukum bersalah melakukan perbuatan melawan hukum
dan harus mengganti kerugian. Harta kekayaan tergugat mungkin sudah habis
untuk membayar penggugat dari satu gugatan saja, sedangkan penggugat
dalam gugatan di pengadilan lain tidak memperoleh bagian lagi. Hal ini tentu
juga bertentangan dengan rasa keadilan karena ada penggugat yang
memperoleh ganti rugi, tetapi adapula yang tidak mendapatkan ganti kerugian,
meskipun gugatannya dikabulkan. Jika diajukan satu gugatan perwakilan
kelompok, ganti kerugian dapat dibagi secara adil diantara para penggugat yang
jumlahnya banyak. Ooleh sebab itu, alangkah bermanfaatpraktis dan efisien jika
gugatan itu dilakukan melalui gugatan perwakilan yang dapat melindungi
kepentingan hukum ratusan dan ribuan atu jutaan warga yang tingga l
dikabupaten atau provinsi yang berbeda dalam sebuah negara.
Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dalam gugatan
perwakilan kelompok terdapat wakil kelompok dan anggota kelompok yang
mungkin anggotanya ratusan, ribuan atau jutaan. Perma No.1 Tahun 2002 tidak
menyebut beberapa jumlah maksimal wakil kelompok. Pasal 1 huruf b perma
No.1 Tahun 2002 hanya menyebutkan wakil kelompok adalah ’’satu orang atau
lebih yang menderita kerugian yng mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili
kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.” Untuk bertindak sebagai wakil
kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan untuk memperoleh surat kuasa
dari anggota-anggota kelompok. Hakim sebelum memutuskan untuk menerima

87
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

sebuah gugatan perwakilan kelompok haruslah menguji atau menentukan


apakah wakil kelompok memenuhi persyaratan.
Tahapan pengajuan gugatan perwakilan kelompok berdasarkan perma
No.1 Tahun 2002 adalah sebagai berikut. Pertama, majelis hakim harus
memastikan bahwa wakil kelompok memenuhi kualifikasi atau syarat untuk
bertindak sebagai wakil kelompok. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhoi
untuk dapat menjadi wakil kelompok yaitu :
1. Wakil kelompok sesuai ruusan pasal 1 huruf b perma No.1 Tahun 2002
harus sebagai pihak yang juga mengalami kerugian akibat tindakan
tergugat seperti halnya para anggota kelompok.
2. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi
kepentingan anggota kelompok.
Untuk menentukan syarat pertama, hakim mungkin tidak mengalami
kesulitan, karena ia dapat meminta bukti awal, misalkan apakah wakil kelompok
memang tinggal atau beralamat di daerah yang diduga telah mengalami
kerugian akibat pencemaran, misalkan dengan memastikan kartu tanda
penduduk. Namus, untuk menentukan syarat kedua, yaitu : apakah wakil
kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan, memerlukan kearifan dan
kebijaksanaan hakim. Pembuat perma menyerahkan penilaian syarat itu kepada
diskresi dan kearifan hakim. Misalkan, hakim dapat melihat atau meminta rekam
jejak seorang atau para wakil kelompok, misalkan apakah wakil kelompok pernah
dikenai hukuman pidana menipu atau dengan melihat riwayat pendidikan
seorang.
Tahap Kedua adalah setelah wakil kelompok lulus uji prsyaratan
sebagai wakil kelompok, majelis hakim harus memeriksa persyaratan formal
surat gugatan selain sesuai dengan hukum acar perdata, juga harus memenuhi
persyaratan menurut perma, yaitu:
a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok, misalkan nama, tempat
tinggal, pekerjaan dan umur.
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walau tanpa menyebutkan
nama-nama dari para anggota kelompok, tetapi cukup dengan, misalkan
dalam surt gugatan menyatakan “semua penduduk yang tinggal di
sepanjang sugai X yang menderita akibat pencemaran air yang terjadi
pada tanggal atau bulan dan tahun tertentu akibat dari kegiatan PT z”,
atau “semua penduduk yang tinggal di propinsi x, dan y menderita akibat
kabut asap yang terjadi pada tanggal, bulan dan tahun yang diakibatkan
oleh PT z”.
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan
dengan kewajiban melakukan pemberitahuan.

88
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil maupun anggota kelompok yang
teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas
dan rinci.
e. Dalam suatu surat gugatan kelompok, anggota elompok dapat
dikelompokkan ke dalam dua atau lebih sub kelompok, misalkan kelompok
yang sawahnya tercemar, kelompok yang kesehatannya saja terganggu,
kelompok yang rumahnya saja tercemar, kelompok yang rumah dan
kesehatannya tercemar.
f. Tuntutan dan petitum tentang ganti kerugian harus dikemukakan secara
jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara
pembagian ganti kerugian kepada seluruh anggota kelompok, misalkan
usulan pembentukan panel ahli untuk memperlancar pembagian ganti
kerugian secara adil.
Menurut pasal 5 ayat 2 perma No.1 Tahun 2002, hakim memiliki
kewenangan untuk memberikan nasehat kepada para pihak mengenai
persyaratan gugatan kelompok. Menurut penulis nasihat hakim terutama
diberikan kepada pengugat untuk memperbaiki surat gugatan guna menjamin
hak-hak para anggota kelompok terlindungi.
Tahap Ketiga adalah setelah majelis hakim memastikan bahwa wakil
kelompok memenuhi kualifikasi dan surat ggatan juga memenuhi syarat-syarat
formal, majelis hakim mnerbitkan penetapan bahwa perkara yang bersangkutan
dapat diajukan mellalui gugatan kelompok, sebaliknya jika menurut
pertimbangan hakim, perkara yang bersangkutan tidak syah atau tidak
memenuhi persyaratan untuk diajukan melalui gugatan kelompok, pemeriksaan
perkar dihentikan dengan sebuah putusan hakim . Keempat, majelis hakim
memerintahkan wakil kelompok untuk mengajukan usulan pemberitahuan (public
notification) kepada para anggota kelompok potensial. Menurut pasal 7 ayat 1
pemberitahuan kepada anggota-anggota kelompok potensial dilakukan melalui
media cetak atau elektronik, kantor-kantor pemerintah, seperti kecamatan,
kelurahan/desa, pengadilan. Majelis hakim berwenang menentukan dan
memerintahkan wakil kelompok tentang bagaimana pemberitahuan dilakukan,
yaitu melalui sarana apa misalkan melalui surt kabar, radio atau selebaran
danlama waktu, misalkan satu minggu, atau dua minggu atau satu bulan untuk
memberikan kesempatan para calon anggota kelompok menyampaikan
pernyataan keluarkepada pengadilan negeri yang mengadili. Biaya
pemberitahuan kepada para calon anggota kelompok ini harus lebih dahulu
ditanggung oleh wwakil kelompok. Pemberitahuan ini (public notice) harus
memuat hal-hal berikut:

89
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

a. Normor gugatan dan identitas para penggugat sebagai wakil kelompok,


serta pihak tergugat.
b. Penjelasan singkat tentang kasus.
c. Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.
d. Penjelasan dan implikasi keikutsertaan sebagai anggota kelompok, yaitu,
antara lain, jika gugatan ditolak, maka hak untuk menggugat secara
perseorangan para anggota kelompok tidak lagi ada, tetapi jika gugatan
dikabulkan berhak untuk memperoleh ganti kerugian secara proporsional
sesuai dengan besar ganti kerugian berbanding jumlah ganti kerugian
yang dikabulkan.
e. Penjelasan bagi orang-orang yang termasuk dalam definisi kelompok
bahwa mereka memiliki hak untuk keluar (opt out) dari keanggotaan
kelompok.
f. Penjelasan tentang batas waktu, yakni berkaitan dengan bulan, tanggal,
jam dari pernyataan keluar sudah harus diterima oleh pengadilan negeri
yang mengadili.
g. Penjelasan tentang alamat (Pengadilan Negeri) untuk menyampaikan
pernyataan keluar.
h. Apabila dibutuhkan oleh angot kelompoktntang siapa dan tempat yang
tersedia bagi informasi tambahan.
i. Formulir isian tentang persyaratan keluar dari anggota kelompok.
j. Penjelasan tentang jumlah ganti kerugian yang diajukan.
Tahap Kelima adalah dibukanya kembali persidangan ooleh majelis
hakim setelah masa penundaan sidang selama waktu menunggu masuknya
pernyataan-parnyataan keluar telah berakhir dan jumlah orang yang
menyampaikan pernyataan keluar telah diketahui. Proses persidangan
selanjutnya adalah dilaksanakan sesuai dengan prosedur HIR maupun Rbg.
Jika gugatan ganti kerugian dikabulkan, majeli Hakim wajib memutuskan
jumlah gnti kerugian secra rinci, penentuan kelompok atau sub kelompokyang
berhak dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam
proses penetapan dan pendistribusian atau pembagian ganti kerugian secara
adil. Pengajuan gugatan kelompok dilaksanakan melalui prosedur yang agak
rumit karena mnyangkut kepentingan banyak orang yang mengalami kerugian
dan mereka mungkin tinggal di satu atau lebih kota/kabupaten atu di provinsi-
provinsi yang berbeda. Oleh sebab itu, hakim haruslah kreatif dan bijaksana
untuk menjamin bahwa keadilan bagi banyak orang dapat dipenuhi, sehingga
pada tahap awal persidangan hakim dapat memberi nasihat kepada penggugat
wakil kelompok, terutama untuk memperbaiki surat gugatan, misalkan

90
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

memperjelas rumusan kelompok dan bagian petitum, khususnya tentang tata


cara pembagian ganti kerugian yang adil sekiranya gugatan dikabulkan.
Beberapa contoh kasus gugatan perwakilan kelompok adalah perkara
antara yayasan lembaga bantuan hukum riau mandiri (YLBHM) lawan PT Adei
Plantation, PT Jati Jaya Perkasa, PT Inti Indo Sawit Subur, PT Musim Mas. Dalam
perkara ini YLBHM bertindak sebagai wakil kelompok mengatasnamakan diri
mereka sendiri dalam kepentingan 6000 penduduk kota pekan baru yang
menderita akibat kabut asap yang terjadi antara tanggal 1 februari 2000 hingga
10 maret 2000 yang bersumber dari aktifitas para tergugat mengajukan gugatan
kepada para tergugat melalui Pengadilan Negeri Pekan Baru. Hakim dalam
putusannya menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima kerena penggugat
sebagai wakil kelompok tidak melaksanakan perintah hakim untuk melakukan
pengumuman atau notifikasi kepada penduduk kota pekanbaru (putusan
no.32/Pdt/G/200/PN PBR). Putusan ini dapat dibenarkan karena memang dalam
salah satu tahapan dalam prosedur gugatan perwakilan adalah bahwa pengggat
sebagi wakil kelompok diwajibkan untuk menyampaikan notifikasi atau
pemberitahan kepada anggota-anggota kelompok agar anggota-anggota
kelompok dapat menggunakan haknya untuk melakukan opt out. Namun, sebuah
lembaga mengajukan gugatan sebagai wakil kelompok dapat merancukan
dengan gugatan LSM. Semestinya, pribadi-pribadi pengurus YLBHM selaku warga
kota pekan baru untuk kepentingan diri sendiri dan kepentingan warga kota
pekan baru mengajukan gugatan perwakilan kelompok.
Kasus kedua adalah perkara gugatan yang diajukan oleh lukman dan
kawan-kawan, sebanyak 27 orang mengatasnamakan diri mereka sendiri dan
kepentingan penduduk 11 desa disekitar daerah aliran sungai (DAS) Way Sepatik
kabupaten lampung tengah terhadap PT Verwong Budi Indonesia, PT sinar
bambu mas, PT budi jaya yang didalikan telah mencemari sungai Way sepatik.
Hakim pengadilan negeri metro dalam putusannya berpendapat bahwa gugatan
kurang pihak karena semestinya pemerintah sebagai pihak yang berwenang
dalam pengawasan diikutsertakan sebagai tergugat sehingga gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima (Putusan No.04/Pdt.g/2000/PNM, 31 Agustus 2000).
Kasus ketiga adalah perkara gugatan yang diajukan oleh gun subari,
penduduk kecamatan penjaringan, jakarta, dan kawan-kawan sebanyak 15 orang
sebagai wakil kelompok demi kepentingan diri merka sendiri dan kepentingan
warga DKI Jakarta yang mengalami kerugian akibat banjir. Gugatan diajukan
terhadap presiden Republik Indonesia, gubernur DKI, Gubernur provinsi banten
yang didalilkan telah lalai mencegah dan menanggulangi banjir. Namun, hakim
dalam putusannya (Putusan No.83/Pdt.G/2002/PN Jkt.Pst) menyatakan menolak

91
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

gugatan karena para tergugat tidak terbukti melakukan perbuatan melawan


hukum dan telah melakukan daya upaya penanggulangan banjir.
Kasus keempat adalah gugatan oleh dedi dan kawan-kawan (sebanyak
delapan orang termasuk Dedi) terhadap presiden RI, menteri kehutanan, perum
perhutani, pemerintah propinsi jawa barat dan pemerintah kabupaten garut di
pengadilan negeri bandung. Para penggugat dan orang-orang yang diwakili
mereka adalah korban tanah longsor gunungMandalawangi kecamatan
kadungora kabupaten garutdan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta
benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan
rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis hakim
pengadilan negeri dalam pertimbangannya (No.49/Pdt.G/2003/PN.BDG, tanggal
28 Agustus 2003), antara lain, mengatakan bahwa negara memilikitanggung
jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu
dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh presiden RI, tetapi karena
presiden telah membentuk menteri kehutanan, maka pengelolaan kehutanan
sepenuhnya telah menjadi tanggung jawab menteri kehutanan. Menteri
kehutanan telah memberikan kewenangan pada gunung mandalawangi.
Pemerintah provinsi jawa barat dan pemerintah kabupaten garut sesuai dengan
lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kususnya UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang
berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor dan gunung mandalawangi
juga memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan
digunung mandalawangi yang dilakukan ooleh menteri kehutanan, yaitu dengan
mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan
lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK
Menteri Kehutanan No.419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti
berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan
hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya
majelis hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materil
pada penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor digunung
mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum
yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu prubahan fungsi
kawasan hutan gunung mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi
kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan
sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan No.419/KPTS/II/1999 telah
menyebabkan banjir dan longsor.
Hal yang menarik majelis hakim juga dalam pertimbanggannya
merujuk pada prinsip keberhati-hatian (precauteonary principle) yaitu prinsip ke-
15 dalam Deklarasi Reo sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang

92
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

‘‘kurangnya ilmu pengetahuan“ yang diperlihatkan dengan keterangan-


keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan
sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk
menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di gunung
Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk kedalam
perundang-undangan indonesia, tetapi karena indonesia adalah sebagai salah
satu negara peserta konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan
diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik.
Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (No.49/Pdt.G/2003/PN.BDG,
Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok
masyarakat korban longsor gunung mandalawangi kecamatan kadungora,
kabupaten garut untuk sebagainya.
2. Mengatakan bahwa trgugat I (direksi prum perhutani unit III jawa barat),
tergugat III, (menteri kehutanan), Tergugat IV (pemerintah propinsi jawa
barat) dan tergugat V (pemerintah kabupaten garut) bertanggung jawab
secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya
longsor dikawasan hutan gunung mandalawangi, kecamatan kedungora
kabupaten garut.
3. Menghukum tergugat I, tergugat III, tergugat IV dan tergugat V tersebut
untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di aral hutan gunung
mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pertama: pemulihan (recovery) dikawasan gunung mandalawangi
dibebankan kepada tergugat I dan tergugat III dengan perintah supaya
dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan,
mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung system penyangga kehidupan telah
terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh tergugat I dan
tergugat III secara langsung renteng, yang apabila akan diserahkan
pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan penyelanggaraan
hutan kemasyarakatan berpedoman pada menteri kehutanan No.31/KPTS-
II/2001 tanggal 12 februari 2001tentang penyelenggaraan hutan
kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp
20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada
Tim yang akan ditetapka dibawah ini.
Kedua: meghukum tergugat I, tergugat III, tergugat IV dan tergugat V
secara tanggung renteng mengganti kerugian kepada korban longsor
gunung mandalawangi tersebut sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh

93
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

miliar rupiah) dengan disetorkan kepada tim yang akan ditetapkan


dibawah ini.
Ketiga: menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan
kawasan longsor di gunung mandalawangi kecamatan kadungora serta
tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan
masyarakat korban yang tergabung kedalam anggota kelompok gugatan
perwakilan ini melalui satu tim/panel yang dikoordinasikan oleh badan
perencanaan pembangunan daerah pemerintah kabuaten garut sebagai
ketua tim perwakilan BAPEDALPA pemerintah kabupaten garut, kuasa
para wakil kelompok serta dua orang perwakilan dari pusat studi
lingkungan hidup UNPAD bandung masing-masing sebagai anggota.
Keempat: memerintahkan kepada gubernur jawa barat (tergugat IV)
untuk mengeluarkan surat keputusan tentang pembentukan tim tersebut
lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum
putusan ini.
Kelima: memerintahkan kepada tim/panel tersebut untuk melakukan
pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan
pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini
serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat
korban yang tergabung dalam wakil dan anggota kelompoknya yang
jumlah dan identitasnya tercatat dalam berita acara persidangan ini,
secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugin berdasarkan jenis
kerugian yang dideritanya.
Keenam: menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan
tim/panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan, maka
pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya paksa)
dikoordinasikan oleh panitera pengadilan negeri kelas I Bandung.
4. Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu
walaupun ada upaya hukum dari para tergugat (Uit voorbaar bij voorrad).
5. Menolak gugatan selain dan selebihnya.
Putusan pengadilan negeri bandung ini kemudian dikuatkan oleh
pengadilan tinggi bandung (putusan No.507/PDT/2003/PT.bdg tanggal 5 februari
2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (putusan No.1794 K/Pdt/2004, tanggal 22
januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para
pembanding yang berarti mahkamah agung republik indonesia memperkuat
putusan pengadilan negeri bandung tersebut.

94
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

3. Peran Sanksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara Lingkungan Hidup

Sanksi ahli dalam proses pengadilan kasus-kasus lingkungan diperlukan untuk


memperjelaskan hal-hal berikut:
a. ‘‘causal connection“ (hubungan sebab akibat aktifitas dengan peristiwa
pencemaran dan perusakan lingkungan hidp).
b. ‘‘pollution control technology“ (teknologi pengendali pencemaran).
c. ‘’breach of standard’’ (pelanggaran baku mutu, kriteria baku perusakan
lingkungan).
d. ‘’injury’’ (kerugian).
e. ‘’money damage’’ (ganti kerugian).
Upaya menemukan, mengungkapkan dan memperjelas hubungan
antara suatu kegiatan yang diduga sebagai sumber pencemmaran lingkungan
dengan tercemarnya media lingkungan tertentu sering kali melibatkan masalah-
masalah teknis ilmiah. Oleh sebab itu, tugas saksi ahli adalah memberi kejelasan
tentang apakah memang terdapat hubungan sebab akibat antara suatu kegiatan
tertentu dengan pencemaran lingkungan. Saksi ahli juga sering diperlukan dalam
proses pengadilan untuk memperjelas ketersediaan teknologi pencemaran
lingkungan yang dapat dipergunakan oleh industry tertentu. Keterangan ahli itu
diharapkan dapat membantu hakim dalam membuat putusan yang
mengharuskan industry memasang teknologi pengendali pencemaran
lingkungan.
Untuk menentukan apakah telah terjadi pelanggaran terhadap baku mutu
diperlukan bantuan saksi ahli. Saksi ahli dapat memperjelas ada tidaknya
pelanggaran terhadap baku mutu, antara lain, melalui pengambilan sampel dan
pemeriksaan sampel di laboratorium. Kegiatan-kegiatan ini tunduk pada metode
tertentu, sehingga keobjektifan sampel sebagi alat bukti dapat dipertahankan
dalam proses pengadilan. Kerugian akibat pencemaran lingkungan tidak selalu
tampak jelas. Oleh sebab itu, saksi ahli dapat dihadirkan ntuk memperjelas
tentang kerugian yang terjadi, misalnya kerugian kesehatan, kerugian harta
benda, kerugian estetika lingkungan dan kerugian di bidang konservasi
lingkungan. Saksi ahli juga lazim dihadirkan untuk menjelaskan jumlah ganti
kerugian akibat pencemaran lingkungan akibat B3. Sesuai dengan adanya bentuk
kerugian, misalnya kerugian kesehatan, kerugian harta benda atau kerugian
estetika lingkungan, maka masing-masing kerugian memerlukan keterangan
keterangan ahli.

95
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

4. Pilihan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan didalam kepustakaan asing


disebut dengan istilah alternative dispute resolution dan disingkat dengan
sebutan ADR. Padanan istilah ADR dalam kepustakaan Indonesia adalah pilihan
penyelesaian sengketa (PPS), atau mekanisme alternative penyelesaian
sengketa.
Untuk memperkaya pengetahuan dan juga sebagai bahan
perbandingan, perlu pula dipahami bentuk-bentuk dari ADR yang dikenal di
Amerika Serikat. Bentuk-bentuk ADR yang dikenal di Amerika Serikat dan Kanada
adalah negosiasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, pencari fakta. Untuk dapt
membedakan satu sama lainnya, definisi bentuk-bentuk PPS akan disajikan
berikut ini:
a. Negosiasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa di mana para pihak
yang berbeda kepentingan mengadakan perundingan langsung, tanpa
perantaraan atau bantuan pihak lain. Para pihak mengadakan tawar-
menawar tentang bentuk penyelesaian sengketa.
b. Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengket dimana para pihak meminta
bantuan dari pihak lain yang netral guna membantu para pihak yang
bersengketa dalam mencarikan bentuk penyelesaian sengketa.
c. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak meminta
bantuan dari pihak lain yang netral guna membantu para pihak yang
bersengketa dalam mencari bentuk penyelesaian sengketa. Pihak ketiga
itu tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil suatu putusan, tetapi
hanya berwenang memberikan bantuan atau saran-saran yang
berhubungan dengan soal-soal procedural dan substansial. Dengan
demikian, putusan akhir tetap di tangan para pihak yang bersengketa.
d. Arbitrasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang
bersengketa menyerhkan pertikaian mereka itu kepada pihak lain yang
netral guna mendapatkan keputusan yang menyelesaikan sengketa.
e. Pencari fakta adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak
menyerahkan pertikaian mereka kepada pihak lain yang biasanya terdiri
dari para pakar untuk mencari fakta-fakta yang berkaitan dengan
sengketa. Para pencari fakta mempunyai kewenangan untuk memberikan
rekomendasi tentang tata cara penyelesaian sengketa yang
bersangkutan.
Akan tetapi, menutur simkin secara konseptual tidak ada perbedaan
pokok antara konsiliasi, mediasi dan pencari fakta. Menurut Simkin, dalam
pengertian yang lebih luas, definisi mediasi meliputi pula konsiliasi dan pencari

96
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

fakta. Perbedaan pokok hanya dapat dilihat antara mediasi dengan arbitrasi.
Dalam proses mediasi, seorang mediator tidak mempunyai kewenangan untuk
membuat suatu keputusan gunamenyelesaikan sengketa. Sebaliknya, dalam
proses arbitrase, seorang arbitrator mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan guna menyelesaikan pokok sengket. Bentuk-bentuk ADR tersebut
diatas sesungguhnya telah dikenal dalam konteks hukum internasional dan
hukum perburuan. Hanya saja ADR, terutama mediasi, baru diterapkan dalam
kontek lingkungan hidup sejak tahun 1973 di Amerika Serikat. Sejak itulah
mediasi lingkungan menjadi bahan studi atau kajian diantara kalangan akademisi
dan profesi hukum. Perhatian kalangan akademisi dan profesi hukum terhadap
mediasi semakin meningkat sejak keberhasilan Cormick dan McCarty berhasil
sebagai mediator penyelesaian sengketa lingkungan. Proses mediasi juga
digunakan untuk menyelesaikan kasus Strom King pada tahun 1980.
Keberhasilan ini telah mendorong semakin populernya penggunaan mediasi
sebagai cra penyelesaian sengketa-sengketa lingkungan sehingga lahirlah istilah
environmental mediation (mediasi lingkungan).

97
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
HUKUM LINGKUNGAN
2014

98
HUKUM LINGKUNGA N
FAKULTAS HUKUM UNISSULA
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Anda mungkin juga menyukai