Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER

"Dinamika Relasi Islam dan Negara di Indonesia: Kajian Pasca-Reformasi"

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Negara

Dosen Pengampu : Dra. Gefarina Djohan, MA

Oleh:

Nazara Fitri Arrazy 11201120000100

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memperkenankan
penulis untuk menyelesaikan makalah Perbandingan Politik dengan Judul “Dinamika Relasi
Islam dan Negara di Indonesia: Kajian Pasca-Reformasi”. Tujuan utama dari penulisan ini adalah
untuk memenuhi ujian akhir semester mata kuliah Islam dan Negara. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini, yaitu:

1. Dra. Gefarina Djohan, MA selaku dosen pengampu mata kuliah Islam dan Negara yang
telah berkenan memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.
2. Rekan-rekan Ilmu Politik 6C yang telah membantu kelancaran dalam penyelesaian
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
sumbangan pemikiran dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini besar manfaatnya untuk kita
semua.

Tangerang Selatan, 2023

Nazara Fitri Arrazy


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, merupakan negara dengan


dinamika yang unik dalam relasi antara Islam dan negara. Sejak kemerdekaannya pada tahun
1945, negara ini telah mengalami perjalanan panjang dalam mengatur hubungan antara agama
Islam dan lembaga negara. Namun, perubahan yang paling signifikan terjadi setelah masa
Reformasi pada tahun 1998, yang ditandai dengan jatuhnya rezim otoriter Orde Baru.

Reformasi membawa perubahan politik yang mendalam di Indonesia dan membuka ruang
yang lebih besar bagi partisipasi politik masyarakat. Hal ini juga mempengaruhi dinamika
hubungan antara Islam dan negara. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana
relasi ini berkembang pasca Reformasi dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia.

Sebelum Reformasi, negara Indonesia dikenal dengan konsep Pancasila sebagai ideologi
negara yang mencakup prinsip-prinsip agama, termasuk Islam. Namun, rezim Orde Baru
cenderung mengendalikan dan mengatur Islam melalui departemen agama dan membatasi
kebebasan beragama. Keterlibatan Islam dalam politik juga dibatasi, dengan pembubaran partai
politik Islam dan penekanan pada ideologi nasionalis yang sekuler.

Namun, setelah Reformasi, terjadi pergeseran paradigma yang signifikan dalam


hubungan antara Islam dan negara. Partai politik Islam semakin kuat, dan isu-isu agama menjadi
perhatian utama dalam politik nasional. Umat Islam Indonesia semakin aktif dalam
mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kerangka sistem politik yang lebih
demokratis. Gerakan-gerakan Islam yang lebih radikal juga muncul, yang menimbulkan
tantangan baru bagi negara dalam mengatur hubungan antara Islam dan negara.

Selain itu, perubahan juga terjadi dalam praktik keagamaan sehari-hari dan budaya
masyarakat. Ada peningkatan minat dan partisipasi dalam kegiatan keagamaan, serta munculnya
berbagai organisasi Islam yang berperan penting dalam masyarakat. Prinsip-prinsip Islam juga
semakin terlihat dalam hukum, pendidikan, dan bidang lainnya.
Dalam konteks ini, makalah ini bertujuan untuk mengkaji dinamika relasi Islam dan
negara di Indonesia pasca Reformasi. Dengan melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam
politik, sosial, budaya, dan aspek lainnya, diharapkan dapat dipahami secara lebih komprehensif
bagaimana agama Islam berinteraksi dengan lembaga negara dan bagaimana dinamika ini
mempengaruhi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika relasi Islam dan negara
pasca Reformasi, diharapkan dapat dikembangkan kerangka kerja yang lebih inklusif dan
seimbang dalam mengatur hubungan ini. Hal ini penting dalam menjaga keberagaman dan
memperkuat fondasi demokrasi di Indonesia, serta mempromosikan harmoni antara Islam dan
negara sebagai bagian integral dari identitas.

B. Rumusan Masalah

Makalah ini akan menjawab beberapa pertanyaan pokok untuk mengkaji dinamika relasi
Islam dan negara di Indonesia pasca Reformasi. Adapun rumusan masalah yang akan dijawab
adalah:

1. Bagaimana perubahan politik pasca Reformasi mempengaruhi relasi antara Islam dan
negara di Indonesia?
2. Bagaimana dinamika relasi Islam dan negara pasca Reformasi mempengaruhi identitas
dan nilai-nilai masyarakat Indonesia secara keseluruhan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsepsi Pemikiran Islam mengenai Hubungan antara Islam dan Negara

Dalam pandangan beberapa pakar, Islam hanya memberikan prinsip-prinsip kehidupan


politik yang harus diikuti oleh umatnya, seperti yang terlihat dari pengalaman Nabi Muhammad
di Madinah. Al-Qur'an juga dengan tegas menegaskan prinsip-prinsip tersebut. Beberapa prinsip
etis yang telah ditetapkan meliputi prinsip keadilan (al-adl), prinsip kesamaan (al-musawah), dan
prinsip musyawarah atau negosiasi (syura). Meskipun jumlah prinsip yang secara tegas
dijelaskan ini terbilang sedikit, ajaran-ajaran tersebut sering kali disampaikan berulang-ulang
dalam al-Qur'an. Terkadang, substansi doktrin ini diungkapkan dalam terminologi lain yang
bersifat komplementer atau berlawanan, seperti larangan terhadap perbuatan zalim sebagai lawan
dari kewajiban untuk berlaku adil. 1 Sejauh prinsip-prinsip ajaran atau prinsip-prinsip Islam
mengenai masalah sosial-kemasyarakatan diungkapkan secara menyeluruh, maka relevansi Islam
dan demokrasi akan menjadi jelas. Contoh klasik dari hal ini adalah pengalaman "negara"
Madinah, yang hanya mengalami kegagalan karena infrastruktur yang lemah (sehingga lebih
berkaitan dengan permasalahan dalam pengorganisasian politik) yang tersedia bagi para
pendukungnya.

Dalam konteks ini, Bahtiar Effendi menegaskan bahwa perlu dicatat bahwa Islam tidak
memberikan panduan yang detail untuk setiap hal. Jika memahami ayat-ayat dalam Al-Qur'an
dengan benar, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan panduan nilai, moral, dan etika dalam
bentuk yang global. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan penggunaan akal melalui proses
ijtihad. Islam dan kekuasaan memiliki hubungan yang fungsional dan bersifat simbiotik,
meskipun hakikat keduanya berbeda secara diametral. Agama mendorong terbentuknya
kekuasaan yang bermoral, dan sebaliknya, moralitas kekuasaan juga memperkokoh jiwa
keagamaan. Memisahkan agama dari wawasan kekuasaan dalam pandangan Islam tidak
memiliki landasan yang kuat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kenyataan ini dapat
dilihat dari dua kecenderungan utama Islam, yaitu: [1] Partisipasi politik yang luas di kalangan

1
Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essayson Religion in a Post Traditional ist Word (Berkeley: University of
California Press, 1991).
penduduk Muslim. [2] Secara teologis, agama (Islam) dapat dipandang sebagai instrumen ilahi
untuk memahami dunia.2

Beberapa konsepsi pemikiran Islam yang relevan termasuk konsep "Khilafah" atau
kepemimpinan Islam, di mana negara dilihat sebagai institusi yang harus dipimpin oleh seorang
khalifah yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, ada juga pemikiran tentang "Negara
Islam" yang mencita-citakan pendirian negara yang sepenuhnya didasarkan pada hukum-hukum
Islam. Selain itu, konsep-konsep seperti "amanah" (tanggung jawab) dan "syura" (musyawarah)
dalam Islam menekankan pentingnya pemerintah dan otoritas politik untuk bertindak dengan
integritas, konsultasi dengan masyarakat, dan mengutamakan kepentingan umum. Terdapat juga
prinsip "adil" dan "amar ma'ruf nahi munkar" yang menunjukkan tugas negara untuk menjaga
keadilan sosial dan mencegah kemungkaran dalam masyarakat.3

Hubungan antara Islam dan negara adalah hubungan fungsional yang mencakup
bagaimana Islam dapat menjalankan perannya dalam wilayah dan komunitas sebuah negara,
serta bagaimana negara dapat menjalankan fungsinya sebagai badan organisasi yang memiliki
mayoritas penduduk yang menganut Islam. Secara normatif dan yuridis, negara Indonesia telah
mengakomodasi prinsip-prinsip keagamaan yang kuat, yang tercantum dalam undang-undang
dan peraturan pemerintah.4 Sejarah Islam di Indonesia juga menunjukkan bahwa sejak awal
pembentukan Indonesia hingga era reformasi saat ini, pemikiran dan cita-cita yang
mengintegrasikan negara dan agama masih mendominasi, dibandingkan dengan pandangan
sekularistik yang dianut di Turki. Pertanyaannya, apakah telah terjadi relasi fungsional antara
agama dan negara di Indonesia?

Dalam konteks ini, penulis perlu mengkaji ulang berbagai teori yang berkaitan dengan
hubungan agama dan negara yang mempengaruhi kehidupan umat Islam. Setidaknya ada tiga
paradigma yang memandang pola hubungan agama dan negara, yang dikemukakan dan
dipertahankan oleh tokoh inspirasinya sebagai dasar pemahaman tentang relasi Islam dan Negara
di Indonesia. Ketiga paradigma tersebut meliputi integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

2
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Democracy Project, 2011).
3
A Jufri, “Konsepsi Politik Islam Dan Realitas Relasi Islam Dan Negara Di Indonesia Pasca reformasi,” FARABI
Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18, no. 2 (2018): 42–55.
4
Hamsah Hasan, “HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA: Merespons Wacana Politik Islam Kontemporer di
Indonesia,” Al-Ahkam 1, no. 25 (2015): 19.
1. Paradigma Integralistik

Pandangan ini menyatakan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan yang
terintegrasi, di mana politik atas nama negara juga merupakan bagian dari agama, dan negara
berperan sebagai lembaga politik dan agama sekaligus. Teori ini kemudian menghasilkan konsep
bahwa Islam adalah "dīn wa dawlah" (agama dan negara). Sebagai akibatnya, muncul istilah
"negara agama" atau "negara Islam". Dalam konsep ini terdapat beberapa pemahaman yang
kontroversial, antara lain: 1) kehidupan negara dapat diatur oleh agama; 2) kepala negara
memiliki kekuasaan agama dan kekuasaan politik; 3) taat kepada negara berarti taat kepada
agama; 4) melawan negara berarti melawan agama (Tuhan); dan 5) negara berfungsi sebagai
lembaga politik dan agama secara bersamaan.5

Beberapa pemikir kontemporer Indonesia, seperti Rumadi, Marzuki, dan Jaih Mubarak,
mengadopsi pandangan ini sebagai warisan pola pemikiran Islam tradisional dan fundamentalis
dalam era negara-negara modern dan kontemporer. Pemikir-pemikir tersebut termasuk Rasyid
Ridha (1865-1935) dalam kalangan tradisional, serta Khursyid Ahmad, Muhammad Asad,
Muhammad Husayn Fadlullah, Sayyid Qutb, Abu al-A'la al-Maududi, dan Hasan Turabi dalam
kalangan fundamentalis.6 Paradigma ini juga berpengaruh besar pada pemikir-pemikir Islam
Indonesia, seperti M. Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan K.H.
Masykur. Contohnya, Mohammad Natsir mewariskan pemikiran tentang hubungan antara negara
dan Islam yang oleh beberapa cendekiawan Islam lain dianggap sebagai pemikiran yang
memiliki dua wajah. Di satu sisi, ia menerima Pancasila, namun di sisi lain ia menolak Pancasila.
Natsir pernah mengungkapkan dalam pidatonya: "Dan saya katakan, Indonesia juga adalah
negara Islam, karena kenyataannya, Islam diakui sebagai agama dan keyakinan jiwa Indonesia,
meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam itu adalah agama negara."7

Secara sejarah, hubungan antara agama dan negara di Indonesia telah menghasilkan
berbagai bentuk ketegangan dan kecemasan di satu sisi, dan kemesraan serta phobia di sisi lain.
Ketegangan yang kuat terjadi pada masa kepemimpinan Soekarno. Hal ini dapat dimengerti
karena Indonesia masih relatif baru dalam menghadapi pembahasan mengenai hubungan

5
Ibid.
6
Marzuki Wahid dan Abd Maqsith Ghazali, “Relasi Agama dan Negara,” Istiqra’, Jurnal Penelitian Ditpertais 04,
no. 01 (2005).
7
Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara (Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 2000).
fungsional antara negara dan agama. Di era reformasi, terjadi fenomena lahirnya partai-partai
yang secara tegas menyatakan diri sebagai partai Islam. Fenomena ini mencerminkan dua sisi
yang berbeda, yaitu sisi kemesraan dan sisi ketegangan. Sisi kemesraan terlihat dari hubungan
positif antara negara dan agama (terutama Islam), karena adanya kebebasan pendirian partai
politik tanpa pembatasan atas kinerja agama atau tidak. Namun, sisi ketegangan juga terlihat dari
partai-partai itu sendiri, yang pada akhirnya melibatkan negara dalam ketegangan di antara
partai-partai yang berselisih atau mengalami perpecahan internal.

2. Paradigma Simbiotik

Paradigma ini memandang bahwa hubungan antara agama dan negara dapat dikatakan
sebagai hubungan simbiotik, yang berarti saling menguntungkan dan timbal balik. Dalam
konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai media untuk mengembangkan ajaran agama,
sementara negara juga membutuhkan agama karena negara dapat berkembang dengan bimbingan
dan etika moral agama. Dalam hubungan ini, agama dan negara saling melengkapi dan saling
bergantung satu sama lain. Paradigma ini mengemukakan adanya hubungan simbiosis
mutualisme atau hubungan saling menguntungkan dan saling melengkapi antara agama dan
negara, yang memungkinkan keduanya mempertahankan eksistensinya secara bersama-sama.
Tokoh-tokoh yang menjadi inisiator dari paradigma ini meliputi Husayn Haykal (1888-1956),
Muhammad Abduh (1849-1905), Fazlurrahman (1919-1988), dan Qamaruddin Khan.8

3. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara
agama dan negara. Sebagai alternatifnya, paradigma sekularistik mengusulkan pemisahan antara
agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak dasar negara yang
berlandaskan pada Islam atau setidaknya menolak penentuan Islam terhadap bentuk negara
tertentu. Menurut paradigma ini, Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Sementara itu, hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
diberikan sepenuhnya kepada umat manusia. Setiap entitas dari keduanya memiliki tanggung

8
Effendy, Islam dan Negara.
jawab dalam bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, keberadaan keduanya harus dipisahkan
dan saling tidak boleh melakukan intervensi.9

Para pemikir aliran ini, didominasi oleh para pemikir dari Mesir, seperti Ali Abdur Raziq
(1888-1872), Thaha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi al-Sayyid (1872-1963), dan terakhir
Muhammad Sa’id Asymawi (1932). Ali Abdur Raziq menyatakan bahwa Islam hanya merupakan
agama dan tidak mencakup urusan negara. Sementara itu, Thaha Husein, yang aktif dalam
menulis dari tahun 50-an hingga 80-an, berpendapat bahwa agama adalah persoalan individu
dengan Tuhan. Dia lebih lanjut berpendapat bahwa konsep waḥdat al-dīn (kesatuan agama),
waḥdat al-lughāt (kesatuan bahasa), dan waḥdat al-siyāsī (kesatuan politik) sejak dulu tidak
dapat dijadikan dasar dan pilar bagi pembentukan pemerintahan. Dalam kesimpulannya, ia
menyatakan bahwa "politik adalah sesuatu yang berbeda dan agama adalah sesuatu yang
berbeda, dan sistem pemerintahan dan pembentukan negara didasarkan pada manfaat amaliyah,
bukan pada hal lain."10

B. Menyelami Fakta Hubungan Islam dan Negara dalam Konteks Politik Indonesia
Setelah Era Reformasi

Terdapat minimal dua perspektif dalam melihat hubungan antara Islam dan politik di
Indonesia di masa lalu, serta mungkin hingga menjelang dan setelah era reformasi. Pertama,
Islam digunakan sebagai kerangka dan tujuan untuk mengatur kehidupan bangsa dan negara
secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Perspektif ini kemudian dikenal sebagai 'Islam politik'.
Kedua, Islam dianggap sebagai salah satu komponen yang membentuk, memperkuat, dan
mengarahkan bangsa dan negara. Pendekatan ini sering disebut sebagai 'Islam kultural'. Dalam
kenyataannya, perkembangan politik Islam di Indonesia dapat diamati melalui dua manifestasi
yang nyata: pertama, sebagai ideologi, dan kedua, sebagai perilaku dan praktik budaya yang
tetap memiliki dimensi politik. Kedua bentuk manifestasi politik Islam ini dipengaruhi oleh nilai-
nilai eksternal dan respons pragmatis terhadap kondisi politik yang ada. Keterbelahan dalam
manifestasi politik Islam ini dapat terlihat dalam bentuk partai politik pasca-reformasi.

9
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi, Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994).
10
Hasan, “HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA: Merespons Wacana Politik Islam Kontemporer di Indonesia.”
Pengunduran diri Soeharto dari kekuasaan pada tahun 1998, yang kemudian diikuti oleh
pemerintahan BJ Habibi, menandai awal dari proses liberalisasi politik di Indonesia. Menurut
Azyumardi Azra, Habibie memberikan kontribusi signifikan dalam liberalisasi politik. Ini terlihat
dari kebijakannya yang memberikan kebebasan kepada tahanan politik, mengatur kebebasan
pers, menghapus kebijakan penerapan Pancasila sebagai asas tunggal, dan mengakhiri
pembatasan jumlah partai politik. Kebijakan politik ini secara signifikan memengaruhi dinamika
politik dan peran umat Islam dalam arena politik di Indonesia.11

Pada era Soeharto, jumlah partai politik dibatasi menjadi tiga. Namun, setelah reformasi,
partai politik tumbuh dengan cepat. Hampir semua politisi memanfaatkan semangat reformasi ini
dengan mendirikan partai politik baru. Organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah,
yang sebelumnya lebih fokus pada dakwah dan pendidikan, juga ikut mendukung dan
mensponsori pendirian partai politik baru. Yang menarik adalah sekitar sepertiga dari jumlah
total partai yang mendaftar dan berhasil menjadi peserta pemilihan umum tahun 1999 adalah
partai-partai Islam. Terdapat 42 partai Islam dari total partai yang mendaftar untuk Pemilu.

Partai-partai yang dianggap sebagai partai Islam adalah yang memiliki dasar Islam seperti
PBB (Partai Bulan Bintang), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PK (Partai Keadilan), Partai
Masyumi, PUI (Partai Umat Islam), dan sebagainya. Beberapa partai memiliki dasar Pancasila
namun berbasis organisasi Islam, seperti PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan PAN (Partai
Amanat Nasional). Dari 42 partai Islam yang mendaftar, hanya 20 yang berhasil ikut dalam
Pemilu 1999. Perlu dicatat bahwa ini adalah era di mana umat Islam dapat mengekspresikan
aspirasinya secara formal setelah hampir empat dekade (1959-1998) di mana keinginan mereka
untuk terlibat dalam politik melalui partai politik formal terkekang oleh rezim. 12

Selain terlihat dengan munculnya partai-partai Islam, era reformasi yang dimulai pada
kepemimpinan Habibie juga ditandai dengan pertumbuhan berbagai organisasi Islam radikal di
Indonesia. Banyak organisasi Islam radikal yang muncul memanfaatkan peluang yang diberikan
oleh kebijakan rezim yang memberikan kebebasan luas bagi masyarakat untuk mendirikan
organisasi, baik berdasarkan sentimen keagamaan, etnis, profesi, maupun hobi. Keberadaan

11
Azyumardi Azra, “Islamic Perspective on the Nation State,” al-Jami’ah 39, no. December (2001),
https://scholar.google.co.id/scholar?start=90&q=AZYUMARDI+AZRA&hl=id&as_sdt=0,5#5.
12
Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory,” Asian Survey 44, no. 5
(2004).
organisasi Islam radikal ini menjadi tantangan serius bagi proses transisi demokrasi di Indonesia.
Meskipun keberadaan organisasi radikal tersebut merupakan konsekuensi logis dari demokrasi
dan mereka memiliki hak untuk memanfaatkan proses demokrasi, namun organisasi-organisasi
ini seringkali digunakan untuk mencapai tujuan yang tidak demokratis.

Tujuan-tujuan yang tidak demokratis tersebut termasuk keinginan untuk mendirikan


negara Islam, memaksakan pandangan dan paham keagamaan mereka, melakukan intimidasi
terhadap kelompok lain, atau berusaha mendirikan khilafah Islamiyah serta menolak mengakui
keabsahan negara yang ada. Beberapa kelompok yang dikategorikan sebagai gerakan Islam
radikal antara lain: FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HTI (Hizbut
Tahrir Indonesia), Laskar Jihad, Front Hizbullah, Jama'ah al-Ikhwan al-Muslimin Indonesia, dan
lain sebagainya.13

Meskipun partai-partai Islam pasca-Orde Baru tumbuh dengan cepat, harapan mereka
untuk memenangkan Pemilihan Umum 1999 ternyata tidak terwujud. Dari total 21 partai Islam
yang berhasil lolos dalam pemilu tersebut, hanya 10 partai Islam yang berhasil meraih minimal 1
kursi atau lebih di parlemen. Secara keseluruhan, partai-partai Islam memperoleh 37% suara atau
172 kursi di DPR. Rincian hasilnya adalah: PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB
(13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PPII Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi).
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, partai
Islam tidak mendapatkan dukungan yang signifikan dari konstituennya.14

Sebaliknya, partai-partai nasionalis yang diperkirakan tidak akan mendapatkan banyak


suara justru mendapatkan dukungan yang signifikan. PDI Perjuangan meraih 33,7% suara atau
154 kursi. Partai Golkar, yang sebelumnya dianggap mengalami penurunan popularitas dan
kekalahan yang telak, malah berhasil meraih 22,4% suara atau 120 kursi di DPR.15

Kegagalan partai-partai Islam dalam memenangkan Pemilu pertama di era reformasi ini
memberikan dampak serius bagi tokoh dan pimpinan partai Islam. Harapan mereka untuk
mendapatkan posisi kepemimpinan nasional tampaknya sulit tercapai. Secara keseluruhan,

13
Bahtiar Effendy, “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postscript,” in Islam & the State in Indonesia
(Singapore: ISEAS Publishing, 2003), 199–229, https://doi.org/10.1355/9789812305084-009.
14
Indra Pahlevi, “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi di Indonesia,” Politica 5, no. 2 (2014): 111–135,
file:///C:/Users/HENDRIK/Downloads/339-658-1-SM.pdf.
15
Ibid.
terjadi demoralisasi dalam tubuh partai Islam pasca Pemilu 1999. Namun, kondisi ini tidak
berlangsung lama, karena partai-partai Islam sepakat untuk berkoalisi dan mengambil
momentum polarisasi dukungan politik dalam pemilihan presiden antara Habibie (Partai Golkar)
dan Megawati (PDIP). Dengan membentuk Poros Tengah, mereka memainkan isu dan sentimen
Islam dengan mengusung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden alternatif.
Setelah melalui serangkaian atraksi dan dinamika politik pasca Pidato Pertanggungjawaban
Habibie yang ditolak oleh MPR, Gus Dur kemudian terpilih sebagai Presiden RI ke-4 pada
tanggal 20 Oktober 1999. Sebelumnya, Akbar Tanjung terpilih sebagai Ketua DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) dan M. Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat).16

Kejayaan partai-partai Islam dalam panggung kekuasaan tidak berlangsung lama. Setelah
Gus Dur menjadi Presiden RI, terjadi konflik di antara tokoh-tokoh Islam dan partai Islam itu
sendiri. Konflik tersebut semakin memanas dan tidak dapat didamaikan, sehingga akhirnya Gus
Dur diimpeach oleh MPR melalui Sidang Istimewa pada tahun 2001. Gerakan impeachment
terhadap Gus Dur dilakukan oleh koalisi Poros Tengah yang tidak melibatkan PKB, bersama PDI
Perjuangan dan Partai Golkar. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra, naik
turunnya Gus Dur sebenarnya didukung oleh partai-partai Islam dan organisasi Islam mainstream
seperti NU dan Muhammadiyah.17

Kemudian, keberhasilan Megawati naik menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-5
dengan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden menunjukkan kebangkitan Partai Islam dalam
politik nasional. Seperti yang diungkapkan oleh Rizal Sukma, fakta politik ini menunjukkan
bahwa Islam telah memainkan peran penting dalam sistem politik dan suksesi politik di
Indonesia pasca Soeharto. Politik Islam juga semakin diakui dalam panggung politik nasional.

Selanjutnya, pada Pemilu 2004, suara partai-partai Islam secara keseluruhan mengalami
peningkatan sedikit dibandingkan dengan Pemilu 1999. Jika pada Pemilu 1999 mereka
mendapatkan total suara sebesar 36,3%, pada tahun 2004 mereka berhasil memperoleh 41%.
Namun, Pemilu 2004 juga menandai kejatuhan banyak partai Islam di parlemen karena sebagian
besar dari mereka tidak mencapai ambang batas suara di parlemen (parliamentary threshold). Di
16
Ibid.
17
Saifuddin, “Masa Depan Partai Politik Islam di Indonesia Refleksi Kesejarahan,” Jurnal Ilmu Politik dan
Pemerintah 1, no. 3 (2013): 310–322, http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jipp/article/view/SSS/1396.
antara banyak partai Islam, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan wajah baru
dari PK (Partai Keadilan) yang mengalami lonjakan suara yang luar biasa.

Pemilu tahun 2009 menjadi Pemilu yang paling mengecewakan bagi partai-partai Islam.
Pada Pemilu tersebut, total suara partai-partai Islam mencapai angka terburuk jika dibandingkan
dengan Pemilu tahun 1955 (44%) dan Pemilu-pemilu selanjutnya. Setelah memperoleh 41%
suara pada Pemilu 2004, suara mereka turun secara drastis menjadi hanya 29,2% pada tahun
2009. Ironisnya, hanya 4 partai Islam yang berhasil melewati ambang batas suara di parlemen
pada Pemilu 2004, yaitu PKS, PAN, PKB, dan PPP. Keadaan ini semakin memperkuat
pandangan bahwa meskipun mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, kenyataannya tidak
ada hubungan positif antara jumlah penduduk Muslim dan tingkat dukungan terhadap partai-
partai Islam. Selain itu, peningkatan ekspresi keislaman di Indonesia setelah tahun 1998 melalui
berbagai aspek seperti ekonomi, spiritualitas, budaya, dan politik, seperti yang dijelaskan oleh
Greg Fealy dan Sally White, tampaknya tidak berdampak signifikan pada perolehan suara partai-
partai Islam.18

Pada Pemilu 2014, performa partai-partai Islam tampaknya juga tidak mengalami
peningkatan. Jika dibandingkan dengan partai-partai yang dikategorikan sebagai nasionalis,
suara partai Islam pada Pemilu 2014 justru mengalami penurunan yang signifikan. Dari total
suara yang diperoleh, partai-partai nasionalis seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai
Demokrat, Nasdem, Hanura, dan Gerindra memperoleh sekitar 70%, sementara partai Islam
memperoleh sisanya. Berdasarkan survei LSI Network pada bulan Maret 2013, diperkirakan
Partai Golkar mendapatkan suara sebesar 22,2%, PDI Perjuangan 18,8%, Partai Demokrat
17,7%, Partai Gerindra 7,3%, dan perkiraan suara Partai Nasdem hampir sama dengan PKB.19

Jika kita memperhatikan dengan seksama perkembangan partai Islam pasca-reformasi,


terlihat bahwa tidak ada keseimbangan antara jumlah pemilih Muslim dengan pencapaian partai-
partai Islam dalam perolehan suara. Hal ini menegaskan adanya fakta politik baru bahwa
manifestasi politik Islam kontemporer di Indonesia semakin beragam dan telah melampaui
politik yang bersifat simbolis. Selanjutnya, pelaku politik Islam semakin banyak mengambil
posisi strategis dalam partai-partai nasionalis, yang pada gilirannya juga mempengaruhi wajah

18
Pahlevi, “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi di Indonesia.”
19
Ibid.
partai-partai nasionalis yang semakin religius. Kondisi ini secara sadar tercatat dalam ingatan
politik pemilih Muslim, di mana platform ideologis partai Islam dan partai nasionalis dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lagi menjadi pertimbangan utama
dalam menentukan pilihan politik. Faktor kesadaran politik baru umat Islam ini tampaknya
menjadi variabel dominan dalam menurunnya pencapaian elektoral partai-partai Islam.

Fenomena ini menunjukkan bahwa saat ini terjadi islamisasi tidak hanya di ruang publik,
tetapi juga di dalam partai dan ruang politik Indonesia. Dalam situasi seperti ini, suara umat
Islam tidak lagi dapat dimonopoli oleh partai Islam. Partai Islam tidak dapat lagi mengklaim diri
sebagai satu-satunya partai yang memperjuangkan aspirasi Islam, karena hampir semua partai
mengakui dan mengakomodasi aspirasi yang sama. Sepertinya, pemikiran yang dikemukakan
oleh Cak Nur pada tahun 1970-an dengan pernyataan "Islam Yes, Partai Islam No!" memiliki
relevansi dan kontekstualisasi dalam konteks saat ini. Menurut MC Ricklefs, kecenderungan
pendirian sayap Islam dalam partai-partai nasionalis adalah bentuk nyata dari islamisasi yang
terjadi di Indonesia yang tidak dapat dicegah.

Islamisasi dalam arti yang luas, yaitu peningkatan penggunaan simbol-simbol Islam dan
identitas Islam dalam politik, tentu memiliki dampak yang signifikan pada pencapaian suara
partai Islam di masa depan. Mereka perlu memikirkan strategi untuk menjaga identitas mereka
sebagai partai Islam agar tetap menjadi daya tarik bagi para pemilih. Partai-partai Islam juga
harus merumuskan pendekatan baru agar dapat bersaing dengan partai-partai nasionalis lainnya
dan berkontribusi pada masa depan negara.

Ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan pemikiran dalam politik Islam di
Indonesia untuk mencari format politik yang baru. Pertama, terdapat upaya rekayasa politik yang
melibatkan seluruh komponen bangsa dalam membangun politik yang inklusif dengan
pandangan kebangsaan. Rekayasa ini merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang ada
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kedua, terjadi perubahan dalam pemahaman agama
Islam oleh umat Islam sendiri, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi negara dan
kebangsaan.
BAB III

KESIMPULAN

Satu dekade setelah era Orde Baru, kepemimpinan politik Islam di panggung nasional
terasa semakin jauh dari harapan umat Islam di Indonesia. Kepemimpinan politik Islam yang
ideal, yang mencakup legitimasi, efektivitas kinerja, dan akuntabilitas kepemimpinan, belum
terwujud. Kepemimpinan dari kalangan politik Islam gagal memainkan peran utama dalam
panggung politik yang mereka sendiri ikut membangun. Kondisi tersebut menuntut adanya
reafirmasi pemikiran politik Islam untuk menemukan jalan baru yang relevan dan kompatibel
antara Islam dan demokrasi di Indonesia. Reafirmasi tersebut melibatkan perumusan visi
strategis Islam tentang bangsa dan bagaimana partai-partai dan intelektual Islam dapat
merespons masalah-masalah kebangsaan.

Dalam rangka menggagas pemikiran politik Islam yang baru, terdapat lima hal pokok
yang perlu dipertimbangkan. Pertama, Islam sebagai sumber etika politik perlu didekati secara
transformatif melalui penerapan ilmu sosial profetik. Dengan demikian, Islam menjadi kekuatan
transformatif yang mampu menggerakkan rakyat untuk berubah dan berperan dalam perubahan
sosial yang mendasar. Kedua, diperlukan rekayasa politik yang melibatkan seluruh kekuatan
Islam sebagai komponen utama bangsa dalam membangun politik integratif dengan wawasan
kebangsaan. Rekayasa ini merupakan konsekuensi historis dari berbagai perkembangan dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Ketiga, terdapat kebutuhan akan perubahan wawasan
keagamaan umat Islam, terutama dalam hubungannya dengan konsepsi negara dan kebangsaan,
yang mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila sebagai bentuk final dari
perjuangan umat Islam di Indonesia. Keempat, perlu merumuskan corak kebangsaan di Indonesia
yang melibatkan perubahan tujuan politik Islam menjadi "cita-cita Islam inheren dengan cita-cita
Indonesia". Corak kebangsaan ini juga membutuhkan sikap politik yang tidak sektarian,
menerima pluralisme, dan menghilangkan kecurigaan berdasarkan sentimen agama, ras, dan
suku. Kelima, perlu adanya lapisan profesional di segala bidang kehidupan, yang menjadi
tanggung jawab organisasi-organisasi Islam untuk memberikan arahan dan peluang bagi
terciptanya lapisan elit tersebut. Kehadiran lapisan profesional minimal ini perlu
dipertimbangkan sebelum mengumumkan "Islam tanpa partai politik".
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. “Islamic Perspective on the Nation State.” al-Jami’ah 39, no. December
(2001). https://scholar.google.co.id/scholar?
start=90&q=AZYUMARDI+AZRA&hl=id&as_sdt=0,5#5.

Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory.” Asian
Survey 44, no. 5 (2004).

Bellah, Robert N. Beyond Belief: Essayson Religion in a Post Traditional ist Word. Berkeley:
University of California Press, 1991.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara. Jakarta: Democracy Project, 2011.

———. “Political Islam in Post-Soeharto Indonesia: A Postscript.” In Islam & the State in
Indonesia, 199–229. Singapore: ISEAS Publishing, 2003.
https://doi.org/10.1355/9789812305084-009.

Harahap, Syahrin. Al-Qur’an dan Sekularisasi, Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Hasan, Hamsah. “HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA: Merespons Wacana Politik Islam
Kontemporer di Indonesia.” Al-Ahkam 1, no. 25 (2015): 19.

Jufri, A. “Konsepsi Politik Islam Dan Realitas Relasi Islam Dan Negara Di Indonesia Pasca
reformasi.” FARABI Jurnal Pemikiran Konstruktif Bidang Filsafat dan Dakwah 18, no. 2
(2018): 42–55.

Natsir, Mohammad. Islam sebagai Dasar Negara. Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia,
2000.

Pahlevi, Indra. “Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi di Indonesia.” Politica 5, no. 2 (2014):
111–135. file:///C:/Users/HENDRIK/Downloads/339-658-1-SM.pdf.

Saifuddin. “Masa Depan Partai Politik Islam di Indonesia Refleksi Kesejarahan.” Jurnal Ilmu
Politik dan Pemerintah 1, no. 3 (2013): 310–322.
http://jurnal.unsil.ac.id/index.php/jipp/article/view/SSS/1396.
Wahid, Marzuki, dan Abd Maqsith Ghazali. “Relasi Agama dan Negara.” Istiqra’, Jurnal
Penelitian Ditpertais 04, no. 01 (2005).

Anda mungkin juga menyukai