Anda di halaman 1dari 20

Makalah Studi Al-Qura’an Hadits

Praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil Secara Manual Dengan
Menggunakan Kitab-Kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, Al Tarajim, dll.

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Al-Qur’an Hadits

Dosen Pengampu:
Kivah Aha Putra, M.Pd. I

Disusun Oleh:
1. Laely Ayu Siti Fatonah (220602110026)
2. Nyoman Hafidz Maulana (220602110119)

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

2023

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb,

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya makalah yang berjudul “Praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil
Secara Manual Dengan Menggunakan Kitab-Kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, Al Tarajim
dll.” ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan
kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang
telah menuntun kita menuju zaman terang benderang.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fiqih
yang diberikan oleh bapak Kivah Aha Putra, M.Pd. I selaku dosen pengampu mata kuliah
Studi Al-Qur’an Hadits. Dalam penyusunannya kami mengambil sumber dari beberapa
lieratur seperti buku, artikel, dan jurnal. Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan para pembaca, khususnya dalam bidang ilmu Al-Qur’an Hadits.

Sadar akan kurangnya pengetahuan dan wawasan yang kami miliki, mungkin akan
ditemukan banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran, dan kritik yang membangun dari pembaca demi
terciptanya makalah yang lebih baik lagi dikemudian hari.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam proses belajar dan proses penyusunan makalah ini, sehingga dapat terselesaikan
dan kedepannya dapat menyusun makalah lebih baik lagi.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Malang, 27 Oktober 2023


DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR..................................................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................................

BAB 1..................................................................................................................

PENDAHULUAN...................................................................................................................

1.1 Latar
Belakang...................................................................................................................

1.2 Rumusan
Masalah..................................................................................................................

1.3 Tujuan..................................................................................................................

BAB II..................................................................................................................

2.1 Definisi Takhrij Al Hadits dan Jarh Wa Al


Ta’dil...........................................................

2.1.1 Definisi Takhrij Al Hadits .......................................................................................

2.1.2 Definisi Jarh Wa Al Ta’dil….......................................................................................

2.2 Implementasi dari praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil terhadap
kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, dan kitab Al Tarajim

2.3 Pengelompokan hadist berdasarkan sumber nash nya

BAB III

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................

3.2 Saran.......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur'an, secara resmi ditulis dan
dikumpulkan dalam suatu kitab pada masa pemerintahan khalifab Umar bin Abd. Azis. 1
Umat Islam wajib menjadiikan hadist sebagai pedoman dalarn segalah aktifitas, baik dalam
melaksankan pengabdiannya sebagai hamba Allah maupun sebagai khalifah di bumi. Hadits
sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an menjadi sangat penting untuk dibuktikan
ke shahihannya. Hadits menjadi rujukan yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan), sifat fisik dan psikis, baik sebelum Nabi
wafat maupun setelah Nabi wafat. (Yusuf, 2015).2
Hadist dalam jangka waktu cukup lama dari saat wafatnya Rasulullah SAW hingga
saat ini sangat memungkinkan untuk munculnya pemalsuan-pemalsuan yang menyebabkan
kesahihan hadits teracam. Pemalsuan hadist rnulai berkembang pada masa pemerintahan
Khalifah Ali bin Abi Thalib (W. 40.H.), sebagai akibat dari adanya pertentangan politik
yang terjadi dikalangan urnat Islam karena maksud dan tujuan tertentu. 3 Kesahihan suatu
hadits menjadi sangat penting untuk dijaga, sebab dengan terjaminnya kesahihan suatu
hadist maka ajaran yang dihasilkan pun akan dapat dipertanggung jawabkan. Apabila suatu
hadts tidak dapat dipertanggung jawabkan kesahihannya, maka ajaran-ajaran yang
berpedoman pada hadits tersebut tidak dapat dipastikan kebenanrannya, apakan sesuai
dengan ajaran Rasullulah atau justu menyesatkan.
Ulama-ulama hadist dalarn lawatannya mencari hadist, tidak hanya terbatas pada
usaha mengumpulkan hadist yang diperolehnya semata, tetapi juga melakukan pene1itian
terhadap hadist-hadist yang mereka perolch. Karena itu, proses pengumpulan hadist
memakan wakru yang cukup lama barn berhasil menghimpun hadist-hadisr dalam suatu
kirab, di samping para nJJlhorrij rnasing-masing mempunyai merode dalam rnenyusun kitab
mereka, sehingga muncul berbagaj jenis kitab hadist.4
Ulama dalam melakukan penelitian hadist, menitikberatkan perhatiannya pada sanad
dan rnatan hadist. Oleh karena itu, para ulama menetapkan kaedah-kaedah yang berkenaan
dengan kedua hal tersebut sebagai syarat untuk diterimanya suaru hadist. Suatu hadist
dikategorikan sahib apabila rnemenuhi ketenruanketentuan/kaedah-kaedah kesahihan sanad
dan matan hadist.5 Cara yang dilakukan untuk memastikan kualitas suatu hadits disebut
dengan Tahkrij Al-Hadist. Takhrij Al- Hadits adalah cara untuk mengetahui asal usul
1
Akib, N. (2009). Kesahihan Sanad Dan Matan Hadits: Kajian Ilmu-Ilmu Sosial. Shautut Tarbiyah, 15(1), 102-
119
2
Yusuf, N. (2015). HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Telaah Terhadap Penetapan Kesahihan Hadis
Sebagai Sumber Hukum Menurut Syafi’iy), 19(1).
3
Ibid
4
Ibid
5
Ibid
riwayat suatu hadits yang akan diteliti, mengetahui seluruh riwayat bagi hadits yang akan
diteliti, dan untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi pada sanad yang diteliti. Hal
ini agar bisa di ketahui bahwa hadits tersebut datangnya dari Nabi saw. 6 Takhrij al Hadits
dirasa sangat penting untuk dilakukan agar dapat memberikan kemudahan bagi seseorang
untuk tahu bahwa suatu hadits maqbul atau mardud.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil ?
2. Bagaimana implementasi dari praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil
terhadap kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, dan kitab Al Tarajim?
3. Bagaimana pengelompokan suatu hadits berdasarkan sumber nashnya?

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil.
2. Mengetahui implementasi dari praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil
terhadap kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, dan kitab Al Tarajim.
3. Mengetahui pengelompokan hadits berdasarkan sumber nashnya.

6
Ibid
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al-Ta’dil

2.1.1 Definisi Takhrij Al-Hadits

Takhrij Al-Hadits adalah proses deskripsi suatu hadits hingga sampai pada kolektor
haditsnya. Secara bahasa hadits diserap dari kata kerja ‫ خرج‬yang memiliki tiga arti. Pertama,
penetapan sumber-sumber hadits (Istinbath). Kedua, pemaparan atau penjelasan terkait
sumber-sumber hadits melalui metode yang benar (Taujih). Ketiga, sebuah cara dan
pengetahuan untuk menemukan sumber-sumber Hadits (Tadrib). Sedangkan secara
terminologi, pengertian takhrij Hadits sendiri juga dibagi menjadi 3 definisi:
a. Meriwayatkan dan menjelaskan Hadits beserta matan dan sanadnya, secara sempurna dan
terperinci (ibroz & ikhroj)
b. Meneliti dan meriwayatkan Hadits dari kitab-kitab tertentu, dengan menyebutkan sanad
dari kolektor Hadits yang sesuai dengan kitab-kitab tersebut.
c. Mengarahkan dan meneliti suatu Hadits menurut sumber-sumber dari kitab basalnya
besertaan dengan menyebutkan sanad periwayatannya, sekaligus menerangkan kualitas
Hadits-Hadits yang telah di takhrij apabila memang dibutuhkan.7

Definisi takhrij secara bahasa, berarti istinbath (mengeluarkan), tadrib


(memperdalam), dan taujih (menampakkan). Maksudnya yaitu menampakkan sesuatu yang
masih tersembunyi, mengeluarkan yang tidak terlihat dan memperdalam yang masih samar.
Maksud dari pengeluaran di sini tidak harus berbentuk fisik secara nyata, tetapi mencakup
nonfisik yang cukup menggunakan pikiran, seperti makna kata istikhraj yang mempunyai
7
Birbik, M. H. (2020). Takhrij Hadits (Metode Penelitian Sumber-sumber Hadits untuk Meminimalisir
Pengutipan Hadits secara Sepihak). Jurnal Ilmiah Ar-Risalah: Media Ke-Islaman, Pendidikan dan Hukum
Islam, 18(1), 174-192.
kesamaan dengan kata istinbath yang artinya mengeluarkan hukum dari nash Al-qur’an dan
hadits.8 Sedangkan istilah Muhadisin mengartikan takhrij dalam beberapa hal, seperti:
1) Sebagai padanan kata ikhtiraj, artinya perawi yang menyampaikan suatu hadits dengan
menyebutkan sumber hadits tersebut
2) Mengeluarkan hadits hadits dari berbagai kitab yang kemudian menyebutkan sanadnya
secara lengkap
3) Mengutip hadits dari kitab induk dengan menyebutkan mudawin dan menjelaskan
keutamaan hadits
4) Menampilkan silsilah hadits yang disusun oleh pelaku takheij dalam kedudukannya
sebagai pewarta
5) Menunjukkan letak hadis pada kitab sumber yang asli, yakni kitab yang menyebutkan
sanad dan matan hadis tersebut.9
Takhrij Al Hadits memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Tujuan pokok
Takhrij Al Hadits antara lain:
a. Mengetahui keberadaan suatu hadis yang akan di-takhrij apakah benar hadis tersebut
terdapat dalam kitab-kitab hadis yang dimaksud atau tidak.
b. Mengetahui sumber otentik hadis-hadis yang diteliti terkait dari mana saja hadis-hadis
tersebut didapatkan
c. Mengetahui keragaman sanad dalam satu hadis yang ditemukan di kitab-kitab sumber
hadis yang berbeda
d. Mengetahui kualitas suatu hadis dari segi diterima (maqbul) dan ditolak (mardud).10

2.1.2 Definisi Al-Jarh wa Al-Ta’dil

Jarh terambil dari kata dasar ja-ra-ha, artinya melukai. Sedang menurut pengertian ahli
hadits, jarh artinya mencela atau mengkritik perawi hadits dengan ungkapan-ungkapan yang
menghilangkan keadilan ataupun kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama
hadits adalah memuji perawi (tazkiyah alrawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang
adil dan dhabit.11 Adil dalam konteks ini tentu saja tidak sama dengan adil dalam konteks
hukum dan kejahatan sebagaimana dalam sastra berbahasa Indonesia kontemporer;
8
Maulana, A. (2021). Peran Penting Metode Takhrij dalam Studi Kehujjahan Hadis. Jurnal Riset Agama,
Volume 1, Nomor 1 : 233-246.
9
Lubis, R. (2019). Ilmu Takhrij Al-Hadis dalam Sorotan. Universum, 85-96.

10
Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
11
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hlm. 92
Sebaliknya, ini mengacu pada sifat moral, spiritual, dan keagamaan narator. Sementara itu,
kata "dhabit" mengacu pada bakat intelektual narator yang sungguh luar biasa. Naratornya,
Tazkiyah Al-rawi, dipuji oleh para ulama yang menggambarkannya sebagai orang yang adil
dan biasa.12

Jarh Wa Al Ta’dil merupakan cabang ilmu yang mengkaji atau membahas kebaikan
orang orang yang tercantum dalam sanad suatu hadits. Menilai baik dari segi kebaikan
(ta’dil), maupun menilai dari segi keburukan (jarh). Tidak sembarangan orang dapat
melakukan Jarh wa Al-Ta’dil, hanya mereka yang memenuhi syarat yang dapat
melakukannya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk melakukan arh wa Al-
Ta’dil adalah sebgai berikut:
1. Seseorang yang alim, wara, bertakwa, dan jujur
2. Mengeahui sebab-sebab seseorang di jarh maupun di ta’dil
3. Menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak meletakkan
kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan jarh dengan kalimat
yang bukan kalimat jarh.13
Faktor yang Membuat Peerawi Dinilai Cacat
Dua regulasi kaidah yang berlaku pada jarh dan ta’dil yaitu kritik eksternal dan
internal. Kritik eksternal ialah kritik yang didasarkan pada cara periwayat Hadits, sahnya
periwayatan, keadaan perawi, dan kadar kepercyaan kepada mereka. 14 Sedangkan kritik
internal adalah kritik mengenai isi Hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak,
serta apa yang menyebabkan shahih dan tidaknya hadits tersebut.Faktor-faktor yang
menyebabkan sesorang perawi dinilai Cacat adalah:
1. Bidah (melakukan tindakan tercela di luar ketentuan syariah)
2. Mukhalafah (pertentangan dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)
3. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)
4. Jahalat al-hal (identitas tidak dikenal)
5. Da’wah al- Inqitha’ (diduga keras sanad tidak bersambung)15

12
Imron, A. (2017). Dasar Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil, MUKADDIMAH: Jurnal Studi Islam, 2(2),
2287-302
13
Ibid
14
TM . Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), hlm. 359.
15
Ibnu Hajar al-Asqalani, M izan al-I ’tidal, (India: t.p., 1331 H), hlm. 130
Selain itu, terdapat perbedaan pendapat mengenai minimalnya jumlah
individu yang wajib melakukan ta'dil dan tajrih pada perawi, yang meliputi:

1. Minimal dua orang baik dalam syahadat maupun riwayah. Mayoritas ahli hukum
Islam di Madinah dan di tempat lain menganut pandangan ini.

2. Cukup satu orang untuk riwayah, bukan syahadat; Hal ini karena perawi ta'dil dan
tajrih tidak diharuskan memiliki nomor tertentu untuk menerima hadis.
3. Dalam riwayah dan syahadat cukup satu orang saja16

2.2 Implementasi dari praktek Takhrij Al-Hadits dan Al- Jarh wa Al- Ta’dil terhadap
kitab Ma’jim Jarh Wa Al- Ta’dil, dan kitab Al Tarajim

Kitab al-Tarajim" adalah salah satu kitab yang memuat daftar perawi dan informasi
tentang mereka. Berikut adalah langkah-langkah umum untuk melakukan takhrij hadis dari
kitab al-Tarajim:
1.Pemilihan Hadis:
Pilih hadis yang akan di-takhrij dari kitab al-Tarajim. Pastikan hadis tersebut memiliki
keterkaitan dengan kitab al-Tarajim dan relevan untuk tujuan penelitian atau pembelajaran.
2.Pelacakan Sanad (Rantai Perawi): Identifikasi sanad hadis yang terdapat dalam kitab al-
Tarajim. Catat setiap perawi dalam rantai perawi hadis beserta informasi seperti nama,
kehidupan, keandalan, dan karakteristik lainnya.

3.Penelusuran Sumber: Telusuri sumber-sumber asli dari kitab al-Tarajim yang membahas
hadis tersebut. Catat referensi lengkap dari sumber-sumber tersebut. Evaluasi Rantai Perawi:
Evaluasi keandalan setiap perawi dalam rantai hadis. Tinjau riwayat hidup, kejujuran, dan
integritas mereka. Catat keterangan tambahan tentang setiap perawi yang dapat membantu
menilai kekuatan atau kelemahan hadis.

4.Penelusuran Matan (Teks Hadis): Telusuri matan hadis dalam kitab al-Tarajim dan
bandingkan dengan sumber asli atau kitab-kitab lain yang mencantumkan hadis tersebut.
Catat perbedaan atau variasi dalam teks hadis, jika ada. Analisis dan

16
Badran Abu al-Ainaiyain, al-Hadits al-Nabawy al-Syarif: Tarikh wa M usthalahuh, (Iskandariyah: M u’assasah
al-Su’bah al-Jami’ah, 1983), hlm. 83.
Kesimpulan: Analisis keandalan hadis berdasarkan informasi yang ditemukan selama
takhrij. Buat kesimpulan tentang apakah hadis tersebut sahih (kuat), dhaif (lemah), atau
memiliki status lainnya dalam ilmu hadis. Penulisan Takhrij: Tulis takhrij hadis dengan
format yang sesuai, mencakup informasi sanad dan matan, serta evaluasi keandalan hadis.
Referensi: Cantumkan referensi lengkap dari kitab al-Tarajim dan sumber-sumber lain yang
digunakan dalam takhrij. Perlu diingat bahwa implementasi takhrij hadis memerlukan
pemahaman mendalam tentang ilmu hadis, termasuk kriteria-kriteria keandalan perawi dan
metode evaluasi hadis. Selain itu, berbagai sumber ilmu hadis dan kitab-kitab terkait harus
diakses untuk mendukung penelusuran dan analisis yang akurat.

Implementasi takhrij hadis dari kitab "Ma'jim Jarh wa al-Ta'dil" melibatkan


serangkaian langkah-langkah untuk menelusuri sanad (rantai perawi) dan matan (teks) suatu
hadis, serta mengevaluasi status perawi dalam hal kritik dan pujian (jarh wa al-ta'dil).
Berikut adalah langkah-langkah umum yang dapat diambil:

Pemilihan Hadis:
● Pilih hadis yang akan di-takhrij dari kitab "Ma'jim Jarh wa al-Ta'dil".
Pastikan hadis tersebut relevan dengan fokus penelitian atau pembelajaran
Anda.
Pelacakan Sanad (Rantai Perawi):
● Identifikasi sanad hadis yang terdapat dalam kitab tersebut.
● Catat setiap perawi dalam rantai perawi hadis beserta informasi seperti nama,
kehidupan, keandalan, dan karakteristik lainnya.
Evaluasi Rantai Perawi:
● Gunakan kriteria jarh wa al-ta'dil (kritik dan pujian terhadap perawi) untuk
mengevaluasi keandalan setiap perawi dalam rantai hadis.
● Catat informasi yang relevan tentang perawi yang dapat digunakan untuk
menilai kekuatan atau kelemahan hadis.
Penelusuran Matan (Teks Hadis):
● Telusuri matan hadis dalam kitab "Ma'jim Jarh wa al-Ta'dil" dan bandingkan
dengan sumber asli atau kitab-kitab lain yang mencantumkan hadis tersebut.
● Catat perbedaan atau variasi dalam teks hadis, jika ada.
Analisis dan Kesimpulan:
● Analisis keandalan hadis berdasarkan informasi yang ditemukan selama
takhrij.
● Buat kesimpulan tentang apakah hadis tersebut sahih (kuat), dhaif (lemah),
atau memiliki status lainnya dalam ilmu hadis.
Penulisan Takhrij:
● Tulis takhrij hadis dengan format yang sesuai, mencakup informasi sanad dan
matan, serta evaluasi keandalan hadis.
Referensi:
● Cantumkan referensi lengkap dari kitab "Ma'jim Jarh wa al-Ta'dil" dan
sumber-sumber lain yang digunakan dalam takhrij.
Keselamatan Integritas Hadis:
● Pastikan bahwa selama proses takhrij, integritas dan otentisitas hadis tetap
terjaga, dan sumber yang digunakan dapat dipercaya.

Selama proses implementasi takhrij hadis, sangat penting untuk memiliki pemahaman yang

kuat tentang ilmu hadis, kriteria keandalan perawi, serta metode evaluasi hadis.

Konsultasikan dengan ahli hadis atau sumber-sumber ilmiah terpercaya untuk memastikan

ketepatan dan keakuratan proses takhrij. 17

2.3 Pengelompokan Hadits Berdasarkan Sumber Nashnya

Hadits berdasarkan kuantitasnya hadis dibagi menjadi 2 antara lain:18


a. Hadits Mutawir
b. Hadits Ahad

1) Hadits Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi”
artinya beruntun atau beriring-iringan, maksudnya beriring-iringan antara satu
dengan yang lain tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka
bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.19

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadis

yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya

dapat memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka

beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari

awal sanad sampai pada akhir sanad.

17
Rahman, A. (2017). Pengenalan Atas Takhrij Hadis. Riwayah, 2(1), 146-161.
18
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 3
19
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,... hal 2
Dalam hadis mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan,

sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing,

diantaranya ialah:

1. Ahli hadits muttaqadimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan

bahasan, sebab hadis mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke

dalam pembahasan masalah-masalah:

- Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu

yang hanya membahas masalah shahih tidaknya, diamalkan dan

tidaknya.

- Ilmu rijal al-hadist, artinya semua pihak yang terkait dalam soal

periwayatan hadis dan metode penyampaian hadis. Oleh sebab itu,

jika status hadis itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib

di yakini dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib

diamalkan.

2. Ahli hadis mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadis dapat

disebut dengan mutawatir jika memiliki kriteria-kriterianya, sebagai berikut:

- Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi20

Maksudnya hadis itu diriwayatkan oleh banyak perawi, dimana jumlah

banyak ini menjadikan mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Ulama

berbeda pendapat tentang berapa jumlah perawi yang banyak tersebut,

sebagai batasan minimaL perawi hadis mutawatir.

- Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi)

pertama dengan thabaqat (generasi) berikutnya8.

Jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus berkisinambungan

atau seimbang, artinya jika pada generasi pertama berjumlah 20 orang,


20
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal 97
maka pada generasi berikutnya juga harus 20 orang atau lebih. Akan

tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi

kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau

kurang, maka tidak dapat dikatakan seimbang.

- Berdasarkan Tanggapan Panca Indra21

Maksudnya hadis yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil

dari pendengaran atau penglihatan mereka sendiri. Bukan dari mimpi

atau mereka buat sendiri, kemudian menjadikan hadisnya. Adapun

contoh hadits muttawatir adalah:

“ Barang siapa yang berbuat dusta pada diriku, hendaklah ia menempati

neraka”.

Menurut Abu Bakar al-Sairi, bahwa hadis ini diriwayatkan secara

marfu‟ oleh 60 Sahabat. Menurut Ibnu al-Shalah hadis ini

diriwayatkan oleh 62 Sahabat, termasuk 10 Sahabat yang masuk surge.22

Hadis ini terdapat pada shahih Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Musnad

Ahmad dan lain-lain.

2) Arti Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (‫ )ﺍحﺩ‬, artinya satu,
atau wahid (‫ )ﻭﺍحﺩ‬artinya khabar wahid, jadi artinya suatu kabar yang diriwayatkan
oleh satu orang. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis ahad menurut istilah
yaitu:23

1. Hadis Ahad Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan tiga orang atau lebih (dalam
suatu thabaqahnya) namun tidak mencapai derajat mutawatir. Hadis masyhur
disebut juga hadis mustafidh walaupun terdapat perbedaan, yaitu hadis mustafidh
21
Ibid
22
Yang dimaksud dengan 10 sahabat adalah: Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Usman bin „Affan, Ali
bin Abi Thalib, Tholhah bin „Ubaidillah, Zubair bin Awwab, Sa‟ad bin Abi Waqas, Said bin Zaid,
Abdurrahman bin “Auf dan „Ubaidah bin Zarrah. Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal 103
23
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,... hal 139
jumlah rawinya tiga orang atau lebih, mulai dari thabaqat pertama hinggah
thabaqat akhir. Sedangkan hadis masyhur jumlah rawinya untuk tiap thabaqat
tidak harus tiga orang, bahkan sebuah hadis yang diriwayatkan seorang rawi pada
awalnya tetapi pada thabaqat selanjutnya diriwayatkan banyak orang, juga
termasuk hadis masyhur.

2. Hadis Ahad „Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan dua orang pada setiap thabaqat
rawinya, atau hadis yang diriwayatkan oleh kurang dari dua orang dari dua orang
perawi pertama. Bahkan, jika ada sebuah hadis dimana pada salah satu thabaqat
sanadnya terdapat di dalamnya dua orang perawi maka hadis tersebut dapat
dinamakan hadis „aziz.

3. Hadis Ahad Gharib, yaitu hadis yang terdapat di antara mata rantai perawinya
satu orang (penyendirian). Hadis gharib terbagi dua yaitu :

1. Hadis Gharib Mutlak, yaitu hadis yang terdapat penyendirian sanad menurut

jumlah personilnya.

2. Hadis Gharib Nisbi, yaitu hadis yang terdapat penyendirian dalam sifat,

tempat tinggal, atau golongan tertentu misalnya antara Ayah dan Anak.

Hadis ahad dari segi kualitasnya juga dibagi tiga bagian yaitu hadis shahih, hadis

hasan24 dan hadis dha‟if

Hadits dari segi kualitasnya dibagi menjadi beberapa jenis, Ulama ahli hadis membagi

hadis dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadis shahih, hadis hasan,

dan hadis dhaif. Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadis muatawatir memberikan

pengertian yang yaqin bi alqath 25, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat

atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para Sahabat berdasarkan sumber-sumber

yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya

sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu
24
Hadis hasan ialah hadis yang dinukilkan oleh seorang yang adil (tetapi) tidak begitu kokoh ingantannya,
bersambung sanadnya, dan tidak terdapat „illat (cacat) serta tidak ada kejanggalan pada matannya. Totok
Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis,... hal 72
25
Fatih Muhammad Salim, Al-Istidlal Az-Zhanny Fil-Aqidah, Beirut, 1998, Diterjemah oleh Marzuki, Hadis
Ahad dalam Aqidah, Al-Izzah, Jawa Timur, hal 143
diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang

hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan

kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga

status hadis tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.

1. Hadits Shahih

Kata shahih dalam bahasa arab berarti orang sehat antonim dari orang

yang sakit, jadi maksudnya hadis shahih adalah hadis yang sehat dan benar tidak

terdapat penyakit dan cacat. Sedangkan secara istilah menurut Ulama hadis,

misalnya Ibn ash-Shalah26 yaitu:

”Hadis yang muttashil (bersambung) sanadnya (sampai kepada Nabi),

diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith (kuat daya ingatannya) sempurna dari

sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz) dan cacat („illat).”

Dari defenisi di atas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih

adalah:1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat

dhabith, 4) matannya tidak syazdz, dan 5) matannya tidak mengandung „illat.

2. Hadits Hasan

Dari segi bahasa hasan berasal dari kata al-husnu bermakna al-jamal yang
artinya keindahan. Menurut istilah para Ulama memberikan definisi
hadishasansecara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam an-Nukhbah127 yaitu:
“Hadis hasan adalah bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhobithannya, tidak ada keganjilan (syadz), dan tidak ada „illat.

26
Yunahar Ilyas, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
(LPPI), Yogyakarta, Cet. Pertama, hal.6

27
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,... hal 159
Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi kedhabithannya. Hadis shahih kedhabithannya seluruh perawinya
harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadis hasan, kurang sedikit
kedhabihtannya jika dibanding dengan hadis shahih. Hadis hasan terbagi menjadi
dua macam19, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighayriy. Hasan lidzatih adalah hasan
dengan sendirinya, karena memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditentukan.
Sedangkan hasan lighayrih ada beberapa pendapat , diantarannya:

“adalah hadits dha‟if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama
atau lebih kuat”.

“adalah hadits dha‟if jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedha‟ifan
bukan karena fasik atau dustanya perawi”.

Dari dua definisi tersebut di atas dapat dipahami bahwa hadis dho‟if bisa naik
menjadi hasan lighayrih dengan dua syarat yaitu:
1. Harus ditemukan periwayat sanad lain yang seimbang atau lebih kuat
2. Sebab kedhoifannya hadits tidak berat seperti sanandnya atau tidak diketahui
dengan jelas (majhul) identitas perawinya.

Dari penjelasan hadis di atas, hadis hasan dapat dijadikan hujjah walaupun
kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan
Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat
dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian
Muhaddisin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahhilin)
memasukannya ke dalam hadis shahih, seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu
Khuzaimah.28

3. . Hadis dho‟if

Hadits dha‟if 21
bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dha‟if ( ‫)ﺍلضعيف‬

berarti lemah lawan dari al-Qawi (‫ )ﺍلقوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadis dha‟if
28
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,... hal 161
ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi kriteria hadis kuat yang diterima

sebagian hujjah. Dalam pengertian hadits dha‟if secara istilah adalah :

“Adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi”.

Kriteria hadis dha‟if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagain atau semua

persyaratan hadis hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung

(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik

dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi („Illat) pada

sanad atau matan. Sedangkan hukum periwayatan hadis dho‟if tidak identik dengan

hadis mawdhu (hadis palsu), diantaranya terdapat kecacatan para perawinya yang

tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.

Sedangkan apabila hadis mawdhu perawinya seorang pendusta, maka para Ulama

memperbolehkan meriwayatkan hadis dha‟if dengan dua syarat yaitu:

1. Tidak berkaitan dengan aqidah seperti sifat-sifat Allah.

2. Tidak berkaitan dengan hukum syara‟ yang berkaitan dengan halal dan haram,

tetapi berkaitan dengan masalah mau‟izhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis

tentang ancaman dan janji), kisah-kisah dan lain-lain.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis.

Akib, N. (2009). Kesahihan Sanad Dan Matan Hadits: Kajian Ilmu-Ilmu Sosial. Shautut
Tarbiyah, 15(1), 102-119.

Badran Abu al-Ainaiyain, al-Hadits al-Nabawy al-Syarif: Tarikh wa M usthalahuh,


(Iskandariyah: M u’assasah al-Su’bah al-Jami’ah, 1983), hlm. 83.

Birbik, M. H. (2020). Takhrij Hadits (Metode Penelitian Sumber-sumber Hadits untuk


Meminimalisir Pengutipan Hadits secara Sepihak). Jurnal Ilmiah Ar-Risalah: Media Ke-
Islaman, Pendidikan dan Hukum Islam, 18(1), 174-192.

Fatih Muhammad Salim, Al-Istidlal Az-Zhanny Fil-Aqidah, Beirut, 1998, Diterjemah oleh
Marzuki, Hadis Ahad dalam Aqidah, Al-Izzah, Jawa Timur, hal 143

Hudaya, H. (2016). Takhrij Al-Hadits Tentang Peralatan Makan Nabi SAW. Al-Banjari: Jurnal
Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman, 15(2), 127-146.

Ibnu Hajar al-Asqalani, M izan al-I ’tidal, (India: t.p., 1331 H), hlm. 130.

Imron, A. (2017). Dasar Dasar Ilmu Jarh Wa Ta’dil, MUKADDIMAH: Jurnal Studi Islam, 2(2),
2287-302

Khon, A. M. (2008). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.

Lubis, R. (2019). Ilmu Takhrij Al-Hadis dalam Sorotan. Universum, 85-96.

Maulana, A. (2021). Peran Penting Metode Takhrij dalam Studi Kehujjahan Hadis. Jurnal Riset
Agama, Volume 1, Nomor 1 : 233-246.

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 3

Rahman, A. (2017). Pengenalan Atas Takhrij Hadis. Riwayah, 2(1), 146-161.

Yusuf, N. (2019). HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Telaah Terhadap Penetapan
Kesahihan Hadis Sebagai Sumber Hukum Menurut Syafi’iy), 19(1),

TM . Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 1979), hlm. 359

Anda mungkin juga menyukai