Anda di halaman 1dari 262

PEDOMAN KERJA

20
KOMITE PPIRS
i
PERATURAN DIREKTUR
Nomor : 109/07K/RSRI/I/2022
Tentang

KEBIJAKAN PELAYANAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI


(PPI) DI RUMAH SAKIT

DIREKTUR RUMAH SAKIT RESTU IBU BALIKPAPAN


Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit
Restu Ibu Balikpapan, maka diperlukan penyelenggaraan
pelayanan yang bermutu tinggi dari unit pelayanan yang ada.
b. Bahwa pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
merupakan salah satu unit pelayanan di Rumah Sakit Restu Ibu
Balikpapan yang harus mendukung pelayanan Rumah Sakit
secara keseluruhan maka diperlukan penyelenggaraan pelayanan
Pencegahan dan Pengendalian infeksi yang bermutu tinggi.
c. Bahwa agar pelayanan Pencegahan dan Pengendalian infeksi
dapat terlaksana dengan baik, perlu adanya peraturan kebijakan
Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
Restu Ibu. sebagai landasan bagi penyelenggaraan pelayanan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b dan c, perlu ditetapkan dengan Peraturan Direktur
Rumah Sakit Restu Ibu Balikpapan.

Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran.
2. Undang - Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Undang - Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
4. Undang - Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga

ii
Kesehatan.
5. Undang - Undang Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan
6. PMK Nomor 34 tahun 2017 tentang Akreditasi RS.
7. PMK Nomor 1144 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementrian Kesehatan RI.
8. PMK Nomor 27 tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.
01.07/MENKES/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah
Sakit.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR TENTANG KEBIJAKAN


PELAYANAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
(PPI) DI RUMAH SAKIT RESTU IBU BALIKPAPAN.

Ke Satu : Memberlakukan Kebijakan Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian


Infeksi (PPI) di Rumah Sakit sebagai acuan dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

Ke Dua : Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian infeksi di Rumah Sakit


Restu Ibu dilaksankan oleh Komite PPIRS yang ditetapkan oleh
Direktur.

Ke Tiga : Kebijakan Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)


Rumah Sakit Restu Ibu harus di evaluasi sekurang-kurangnya setiap 3
(tiga) tahun sekali apabila diperlukan dapat dilakukan perubahan
sesuai dengan perkembangan yang ada

Ke Empat : Kewaspadaan Isolasi berupa tata laksana administrative dalam


(mempercepat dan mempermudah akses diagnosis dan pelayanan RS,
pemisahan pelayanan dan penempatan pasien infeksi, pengendalian

iii
resiko transmisi serta kesehatan kerja untuk petugas), tata laksana
lingkungan dan tata laksana penggunaan alat pelindung diri secara
tepat dan efisien.

Ke Lima : Kewaspadaan Standar yang meliputi kebersihan tangan, penggunaan


alat pelindung diri (APD), pengolahan peralatan perawatan pasien,
pengolahan linen, pembersihan lingkungan dan pengolahan sampah
atau limbah infeksius dan non infeksius serta cairan tubuh dan benda
tajam, penyuntikan secara aman, kesehatan karyawan, dan
penempatan pasien

Ke Enam : Praktek kebersihan tangan di RS merupakan kunci dari PPIRS yang


menggambarkan mutu pelayanan yang berfokus pada keselamatan
pasien, petugas, pengunjung dan lingkungan RS. Kebersihan tangan
dilaksanakan melalui praktik kebersihan tangan menggunakan sabun
antiseptic dan air mengalir, atau handrub menggunakan antiseptic
berbasis alkohol.

Ke Tujuh : Surveilans sebagai kegiatan pengamatan sistematis aktif, dinamis dan


terus menerus terhadap timbul dan menyebarkan infeksi RS (IRS)
pada suatu waktu beserta proses investigasi terhadap factor-faktor
yang menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko kejadian
tersebut.

Ke Delapan : Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pelayan pencegahan dan


pengendalian infeksi Rumah Sakit Restu Ibu Balikpapan dilaksanakan
oleh Direktur RS. Restu Ibu Balikpapan.

Ke Sembilan : Segala anggaran yang timbul dari keputusan ini menjadi beban RBA
RS. Restu Ibu Balikpapan.

Ke Sembilan : Ketua Komite pencegahan dan penggendalian infeksi wajib


mensosialisasikan keputusan ini ke seluruh karyawan di pelayanan

iv
pencegahan dan pengendalian infeksi.

Ke Sepuluh : Surat keputusan ini berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan, apabila
dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan
diadakan perubahan dan perbaikan sebagai mana mestinya

Ditetapkan di : Balikpapan
Pada tanggal : 10 Januari 2022

Direktur RS Restu Ibu Balikpapan

Dr. Tekky P Jokom, MBA

Tembusan kepada yth :


1. Ka. Bid Pelayanan medis

2. Ka. Bid Keperawatan

3. Ka. Komite Medik

4. Ka. Komite Keperawatan

5. Arsip

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya
sehingga kami berhasil menyusun Buku Pedoman kerja Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit Restu Ibu Balikpapan.

Rumah Sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang saat ini makin berkembang seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilain pihak rumah sakit dihadapi
tantangan yang makin besar. Rumah sakit dituntut agar dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang bermutu, akuntabel dan transparan kepada masyarakat, khususnya bagi
jaminan keselamatan pasien (patient safety).

Buku pedoman kerja pelayanan pencegahan dan pengendalin infeksi ini sangat
penting bagi petugas yang bekerja di rumah sakit, pasien, keluarga pasien dan lingkungan
rumah sakit. Kami menyadari bahwa buku ini masih belum sempurna, dan kami
mengharapkan adanya masukan bagi penyempurnaan buku ini dikemudian hari.

Buku Pedoman kerja PPI ini tersusun atas kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak dan
Tim penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga buku ini dapat dipergunakan sebagai
acuan dengan sebaik - baiknya.

Balikpapan, Januari 2022

Tim Penyusun

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Umum Dan Tujuan Khusus .......................................................... 1
1.3. Ruang Lingkup .......................................................................................... 1
1.4. Batasan Operasional .................................................................................. 3
1.5. Landasan Hukum ...................................................................................... 15
BAB II PENGORGANISASIAN TIM KOMITE PPI RS RESTU IBU BALIKPAPAN
2.1. Gambaran Umum RS Restu Ibu Balikpapan ............................................ 17
2.2. Sejarah Institusi RS Restu Ibu Balikpapan ............................................... 17
2.3. Visi, Misi, dan Motto RS Restu Ibu Balikpapan ...................................... 20
2.4. Struktur Organisasi Rumah Sakit .............................................................. 21
2.5. Visi, Misi, Falsafah dan Tujuan Komite PPIRS ....................................... 22
2.6. Struktur Organisasi Komite/Tim PPI ........................................................ 23
2.7. Uraian Tugas, Tanggung Jawab, Wewenang dan Peran ........................... 24
2.8. Pola Ketenagaan Dan Kualifikasi Personal Di Komite PPI ...................... 37
BAB III SARANA DAN PRASARANA
3.1. Sarana Kesekretariatan .............................................................................. 39
3.2. Dukungan Manajemen .............................................................................. 40
3.3. Kebijakan Dan Prosedur SPO ................................................................... 40
3.4. Pengembangan Dan Pendidikan Pelatihan ................................................ 41
BAB IV KEGIATAN DAN RINCIAN KEGIATAN
4.1. Kegiatan Pokok ......................................................................................... 42
4.2. Rincian Kegiatan ....................................................................................... 42
BAB V TATA LAKSANA
5.1. Kewaspadaan Isolasi ................................................................................. 50
1. Kewaspadaan Standar ......................................................................... 50
a. Kebersihan Tangan ......................................................................... 50
b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) ........................................ 62

i
c. Pengolahan Limbah Dan Benda Tajam .......................................... 77
d. Pengendalian Lingkungan .............................................................. 82
e. Penempatan Pasien Di Kamar Isolasi .............................................. 93
f. Penatalaksanaan Linen Dan Laundry ............................................. 100
g. Perlindungan Petugas Kesehatan .................................................... 107
h. Pemprosesan Peralatan Perawatan Pasien ...................................... 113
i. Penatalaksanaan Etika Batuk .......................................................... 122
j. Penyuntikan Yang Aman ................................................................ 122
k. Praktek Lumbal Punksi ................................................................... 123
2. Kewaspadaan Transmisi ...................................................................... 125
a. Kewaspadaan Transmisi Kontak .................................................... 125
b. Kewaspadaan Transmisi Droplet .................................................... 126
c. Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara ......................................... 126
5.2. Surveilans HAI’s ....................................................................................... 132
1. Tata Laksana Surveilans HAI’s .......................................................... 132
2. Teknik Perhitungan ............................................................................. 133
3. Evaluasi, Pelaporan Dan Diseminasi .................................................. 134
4. Jenis – Jenis HAI’s Pencegahannya .................................................... 135
a. Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) ................... 135
b. Pencegahan Infeksi Aliran Darah (IAD) ........................................ 141
c. Pencegahan Infeksi Daerah Operasi (IDO) .................................... 145
d. Pencegahan Hospital Aquired Pneumonia (HAP) .......................... 153
e. Pencegahan Infeksi Saluran Kemih (ISK) ...................................... 154
5.3. Pencegahan Infeksi Di Unit Pelayanan ..................................................... 159
1. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di TB ...................................... 159
2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Instalasi Gizi ...................... 176
3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar bayi ........................ 179
4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Bersalin .................. 180
5. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Bedah ..................... 183
6. Pencegahan dan Pengendallian Infeksi di Instensive Care Unit ......... 187
7. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Hemodialisa ....................... 193
8. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Instalasi Rawat Inap .......... 202
9. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Klinik Gigi dan Mulut ....... 208

ii
10. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Jenazah ................ 209
11. Dekontaminasi Mobil Ambulance .................................................... 210
5.4. Pendidikan Dan Pelatihan PPI .................................................................. 213
5.5. Penggunaan Antimikroba Rasional ........................................................... 214
5.6. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) ........................................... 219
5.7. Penggunaan Cairan Desinfektan ............................................................... 224
5.8. Pengkajian Risiko Infeksi (ICRA) ............................................................ 226
5.9. Melakukan Audit ...................................................................................... 244
BAB VI MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
6.1. Monitoring ................................................................................................ 249
6.2. Evaluasi ..................................................................................................... 249
6.3. Pelaporan ................................................................................................... 250
BAB VII PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rumah sakit restu ibu mempunyai visi ― Menjadi Rumah Sakit Pilihan Utama di
Balikpapan ― Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di lain
pihak rumah sakit dihadapkan dengan tantangan yang makin besar, dimana pasien,
pengunjung, dan petugas kesehatan di rumah sakit, sangat berisiko terkontaminasi
penyakit / infeksi (Healthcare Associated Infection), sehingga perlu dilindungi dari
tertularnya penyakit/infeksi. Healthcare Associated Infection (HAIs) dapat dicegah bila
petugas kesehatan, pasien, pengunjung, patuh menjalankan program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI). Disamping itu rumah sakit juga dituntut agar dapat
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, akuntabel dan transparan kepada
masyarakat, khususnya bagi jaminan keselamatan pasien.

Upaya meminimalkan resiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya perlu diterapkan melalui kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta monitoring dan evaluasi.

Untuk hal tersebut diatas RS Restu Ibu perlu meningkatkan pelayanannya khususnya
dalam hal Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, maka disusunlah Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ini agar dapat digunakan sebagai acuan bagi
seluruh petugas yang memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi dokter, perawat,
dan profesi kesehatan lain dalam kegiatan pengendalian infeksi.

1.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Restu Ibu melalui Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi yang dilaksanakan oleh semua unit sehingga petugas, pasien,
keluarga dan pengunjung terlindungi dari penularan penyakit/infeksi.
2. Tujuan Khusus
a. Mempunyai kebijakan yang mengatur tentang Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI) di Rumah Sakit Restu Ibu

1
b. Mencegah infeksi nosokomial terhadap penggunaan alat-alat medik seperti
penggunaan ventilator, pemasangan chateter urin, IV kateter perifer dan central
c. Mencegah penularan infeksi melalui kontak, droplet dan airbone
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI

1.3. Ruang Lingkup Pelayanan


Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah Sakit Restu Ibu di fokuskan
pada upaya pemutusan mata rantai penularan mencakup:
1. Penerapan Kewaspadaan Isolasi
a) Kewaspadaan Standar
a. Kebersihan tangan
b. Alat pelindung diri
c. Pengolahan limbah dan benda tajam
d. Penempatan pasien
e. Penatalaksanaan linen dan laundry
f. Penatalaksanaan kesehatan karyawan
g. Pemprosesan perawatan peralatan habis pakai
h. Etika batuk
i. Praktek menyuntik yang aman
j. Praktek untuk lumbal punksi
b) Kewaspadaan Transmisi
a. Transmisi melalui kontak
b. Transmisi melalui droplet
c. Transmisi melalui airbone
2. Surveilans HAI’s
a. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
b. Hospital Acguired Pneumonia (HAP)
c. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)
d. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
e. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
f. Phlebitis
g. Dekubitus

2
3. Pencegahan Infeksi
a. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Instalasi Gizi
b. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di IPI
c. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar bedah
d. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Hemodialisa
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Perinatologi
f. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Bersalain
g. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Jenazah
h. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rawat Jalan
i. Dekontaminasi Mobil Ambulance
4. Pendidikan Dan Pelatihan PPI
5. Penggunaan Antimikroba Bijaksana
6. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
7. Penggunaan Cairan Disinfektan
8. Manajemen Pengkajian Risiko ICRA
9. Melakukan Audit

1.4. Batasan Operasional


1. Konsep Dasar Penyakit Infeksi
Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi masih merupakan salah satu masalah
kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Ditinjau dari asalnya infeksi dapat berasal
dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari lingkungan rumah
sakit (Hospital Acquired infection) sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi
nosokomial. Karena seringkali tidak bisa secara pasti ditentukan asal infeksi maka
sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital Acquired infeksi) diganti dengan
istilah baru yaitu Healthcare Assiciated Infection (HAIs) dengan pengertian yang
lebih luas tidak hanya dirumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan
yang lainnya. Juga tidak terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada
petugas kesehatan yang di dapat saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus
untuk infeksi yang terjadi atau didapat dirumah sakit, selanjutnya disebut sebagai
infeksi rumah sakit (Hospital Infection)
a. Kolonisasi: merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi,
dimana organisme tersebut hidup, tumbuh dan berkembang biak, namun tanpa

3
disertai adanya respon imun atau gejala klinis. Pada kolonisasi tubuh pejamu
tidak dalam keadaan suseptibel. Pasien atau petugas kesehatan bisa mengalami
kolonisasi dengan kuman patogen tanpa menderita sakit tetapi menularkan
kuman tersebut ke orang lain. Pasien atau petugas kesehatan tersebut dapat
bertindak sebagai ―carrier‖.
b. Carrier: pasien atau petugas kesehatan mengalamai kolonisasi dengan kuman
pathogen tanpa menderita sakit, tetapi dapat menularkan kuman tersebut ke
orang lain.
c. Infeksi: merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi
(organisme) dimana terdapat respon imun tetapi tidak disertai gejala klinik.
d. Penyakit infeksi: merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen
infeksi (organisme) yang disertai adanya respon imun dan gejala klinik.
e. Penyakit menular atau infeksius: adalah penyakit infeksi tertentu yang dapat
berpindah dari satu orang ke orang lain, secara langsung maupun tidak
langsung.
f. Inflamasi (radang atau peradangan lokal): merupakan bentuk respon tubuh
terhadap suatu agen (tidak hanya infeksi, dapat berupa trauma, pembedahan
atau luka bakar) yang ditandai dengan adanya sakit/nyeri (dolor) panas (kalor),
kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor) dan gangguan fungsi.
g. SIRS (Sistemic Inflamatory Response Syndrome) : sekumpulan gejala klinik
atau kelainan laboratorium yang merupakan respon tubuh (inflamasi) yang
bersifat sistemik. Kriteria SIRS bila ditemukan 2 atau lebih keadaan berikut: (1)
hipertermi atau hipotermia atau suhu yang tidak stabil, (2) takikardia (sesuai
usia), (3) takipnoe (sesuai usia), serta (4) leukositosis atau leukopenia (sesuai
usia) atau pada hitung jenis leukosit jumlah sel muda (batang ) lebih dari 10 %.
SIRS dapat disebabkan karena infeksi atau non infeksi seperti trauma,
pembedahan, luka bakar, pankreatitis atau gangguan metabolik. SIRS yang
disebabkan oleh infeksi disebut ―Sepsis‖.
2. Rantai Penularan Infeksi
Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu mengetahui
rantai penularan. Apabila salah satu rantai dihilangkan atau dirusak maka infeksi
dapat dicegah atau dihentikan.
Enam komponen rantai penularan infeksi adalah:

4
a. Agen Infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat
menyebabkan infeksi pada manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus,
ricketsia, jamur dan parasit. Ada 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi
yaitu : pathogenesis, virulensi, jumlah (dosis atau ―load‖).
b. Reservoir atau Wadah adalah tempat dimana agen infeksi dapat hidup,
tumbuh, berkembang biak dan siap ditularkan kepada orang lain. Reservoir
yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan
bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat permukaan kulit, selaput lendir,
saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir yang umum.
c. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan
reservoir. Pintu keluar meliputi saluran pernapasan ,pencernaan, saluran kemih
dan kelamin, kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan
tubuh lainnya.
d. Metode Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaiman transport
agen infeksi dari reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara
penularan yaitu : (1) kontak ; langsung dan tidak langsung, (2) droplet, (3)
airborne, (4) Vehicle ; makan/minuman, darah, (5) vektor (biasanya binatang
pengerat dan serangga).
e. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki
tubuh pejamu (yang suseptibel) dapat melalui saluran pernapasan, pencernaan,
saluran kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
f. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan
tubuh yang cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya
infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus dapat mempengaruhi adalah umur,
status gisi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma atau
pembedahan. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras
atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan herediter.

3. Faktor Resiko “Healthcare Associated Infection” (HAIs), meliputi:


a. Umur : neonatus dan lansia lebih rentan
b. Status imun yang rendah/terganggu (imuno-kompromais) : penderita dengan
penyakit kronik, penderita keganasan, obat-obat imunosupresan.
c. Gangguan / Interupsi barir anatomis

5
 Kateter urin : meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK)
 Prosedur operasi : dapat menyebabkan infeksi luka operasi (ILO) atau
―Surgical Site Infection‖ (SSI).
 Intubasi pernafasan : meningkatkan kejadian : ― Hospital Acquired
Pneumonia”
 Kanula vena dan arteri : menimbulkan infeksi luka infuse (ILI). Blood
Stream Infection” (BSI).
 Luka bakar dan trauma
d. Implantasi benda asing
 Pemakaian mesh pada operasi hernia
 Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu jantung
 Perubahan mikroflora normal : pemakaian antibiotic yang tidak bijak dapat
menyebabkan pertumbuhan jamur berlebihan dan timbulnya bakteri resisten
terhadap berbagai antimikroba.

4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu,
agen infeksi (patogenitas, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi
faktor resiko pada pejamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat
mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada
petugas kesehatan.

5. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi terdiri dari :


a. Peningkatan daya tahan pejamu
Daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (vaksin
Hepatitis B),atau pemberian imunisasi pasif (immunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
b. Inaktivasi agen penyebab infeksi
Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan menggunakan metode fisik
maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau
sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. metode kimia termasuk klorinasi
air, desinfeksi.

6
c. Memutus rantai penularan
Hal ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah penularan infeksi,
tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan
prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam
suatu Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua
pilar/tingkatan yaitu Standar Precaution (Kewaspadaan Standar) dan
Transmission based Precaution (kewaspadaan berdasarkan cara penularan).
d. Tindakan pencegahan paska pajanan
Hal ini terutama berkaitan dengan pecegahan agen infeksi yang ditularkan
melalui darah dan cairan tubuh lain yang sering terjadi karena tertusuk jarum
bekas pakai utamanya hepatitis B, C dan HIV.

6. Fakta Penting Penyakit Menular


1. AIDS
a. Pengertian : merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh
penurunan kekebalan tubuh akibat terserang virus Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
b. Penyebab : Human Immunodeficiency Virus, sejenis retrovirus yang terdiri
atas 2 tipe : tipe 1 (HIV-1) dan tipe 2 (HIV-2).
c. Cara Penularan HIV.
a) Penularan melalui hubungan seksual
b) Penularan melalui darah
c) Penularan secara perinatal
Cairan tubuh yang dapat mengandung HIV yaitu :
 Cairan vagina
 ASI
 Air mata
 Air liur
 Air seni
 Air ketuban
 Dan cairan cerebrospinal

7
d. Gejala dan Tanda
pada orang yang terinfeksi HIV dalam waktu 5 sampai 10 tahun,
Setelah terjadi penurunan sel CD 4 secara bermakna baru AIDS mulai
berkembang dan menunjukan gejala – gejala seperti :
 Diare yang berkelanjutan drastis
 Penurunan berat badan secara Biasanya tidak ada gejala klinis yang
khusus
 Pembesaran kelenjar limfe leher dan atau ketiak
 Batuk terus menerus.
e. Pengobatan
Pemberian antivirus (Highly Active Anti Retroviral Therapy, HAART)
dengan 3 obat atau lebih dapat meningkatkan prognosis dan harapan
hidup pasien HIV. Angka kematian di Negara maju menurun 80% sejak
digunakannya kombinasi obat anti virus.
f. Masa Penularan
g. Tidak diketahui pasti, diperkirakan mulai sejak segera setelah terinfeksi
dan berlangsung seumur hidup.
h. Kerentanan dan kekebalan
Diduga semua orang rentan, pada penderita PMS dan pria tidak dikhitan
kerentanan akan meningkat.
i. Cara Pencegahan
Menghindari perilaku risiko tinggi seperti seks bebas tanpa
perlindungan, menghindari penggunaan alat suntik bergantian,
melakukan praktek transfuse dan donor organ yang aman serta praktek
medis dan prosedur laboratorium yang memenuhi standar.
j. Profilaksis Pasca Pajanan
 Kemungkinann seorang individu tertular setelah terjadi pajanan
tergantung sifat pajanan dan kemungkinan sumber pajanan telah
terinfeksi. Luka tusukan jarum berasal dari pasien terinfeksi
membawa risiko rata-rata penularan 3/1000 ; risiko meningkat bila
luka cukup dalam, tampak darah dalam jarum suntik ditempatkan di
arteri atau vena. Pajanan mukokutan menimbulkan risiko 1/10.000.
cairan tubuh lain yang berisiko terjadi penularan adalah ludah, cairan

8
cerebrospinal, cairan pleura, cairan pericardial, cairan synovial dan
cairan genital. Feses dan muntahan tidak menimbulkan risiko
penularan.
 Penggunaan obat ARV untuk mengurangi risiko penularan HIV
terhadap petugas kesehatan setelah pajanan di tempat kerja telah
banyak dipraktekkan secara luas. Studi kasus kelola menyatakan
bahwa pemberian ARV segera setelah pajanan perkutan menurunkan
risiko infeksi HIV sebesar 80% (Cardo dkk. N Eng J Med 1007).
Efektifitas optimal PPP apabila diberikan dalam 1 jam setelah
pajanan. Sampel darah perlu segera diambil dan disimpan untuk
pemeriksaan dikemudian hari. Obat propilaksis sebaiknya diberikan
selama 28 hari, diikuti pemeriksaan antibody pada bulan ke 3 dan ke
6. Petugas yang terpajan perlu dimonitor dan tindaklanjut oleh
dokter yang berpengalaman dalam perawatan HIV dan perlu
mendapat dukungan psikologis.

2. Flu Burung
a. Dibagi menjadi 4 sebagai berikut :
a) Seseorang dalam penyelidikan
Diputuskan oleh pejabat berwenang untuk dilakukan penyelidikan
epidemiologi kemungkinan terinfeksi H5N1, misalnya orang sehat
namun kontak erat dengan kasus atau penduduk sehat namun tinggal
didaerah flu burung.
Adapun gejala yang ditimbulkan :
 Batuk
 Sakit tenggorokan
 Pilek
 Sesak napas dan terdapat satu atau lebih keadaan dibawah ini :
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
seperti merawat, berbicara atau bersentuhan dengan pasien dalam
jarak  1 meter.

9
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
seperti memasak, menyembelih atau membersihkan bulu.
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
seperti membersihkan kotoran , bahan atau produk lain.
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak
dengan sempurna.
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
memegang atau menangani sampel hewan atau manusia yang
dicurigai mengandung H5N1.
 Dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala mempunyai riwayat
kontak erat dengan penderita (suspek, probabel atau konfirm)
atau binatang selain unggas yang terinfeksi (babi atau kucing.)
 Ditemukan leukopeni
 Ditemukan titer antibodi terhadap H5 dengan pemeriksaan uji HI
menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA untuk influensa A
tanpa subtipe.
 Foto Rontgen dada menggambarkan pneumonia yang cepat
memburuk pada serial foto.
 Infeksi selaput mata
 Diare atau gangguan pencernaan
 Fatigue
b) Kasus Suspek
c) Kasus Probabel
Dengan kriteria :
 Ditemukan kenaikan titer antibodi terhadap H5 min 4 x dengan
pemeriksaan uji HI menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA.

10
 Hasil lab terbatas untuk influenza H5 (terdeteksi antibodi spesifik
H5dalam spesimen serum tunggal) menggunakan uji netralisasi
(dikirim kelab rujukan).
d) Kasus konfirmasi
Dengan kriteria :
 Isolasi virus H5N1 positif
 Hasil PCR H5N1 positif
 Peningkatan  4 x lipat titer antibodi netralisasi untuk H5N1 dari
spesimen
 Konvalesen dibandingkan dengan spesimen akut (diambil  7 hari
setelah awitan gejala penyakit) dan titer antibodi metralisasi
konvalesen harus pula  1/80
 Titer antibodi mikronetralisasi H5N1  1/80 pada spesimen serum
yang diambil pada hari ke  7 stelah awitan disertai hasil positif uji
serologi lain, mis titer HI sel darah merah kuda  1/160 atau western
blot spesifik H5 positif.
b. Pencegahan
1) Menghindari kontak dengan benda terkontaminasi, atau burung
terinfeksi
2) Menghindari peternakan unggas
3) Hati - hati ketika menangani unggas
4) Memasak dengan suhu 60C selama 30 menit, atau 80C selama 10
menit
5) Menerapkan tindakan untuk menjaga kebersihan tangan
 Setelah memegang unggas
 Setelah memegang daging unggas
 Setelah memasak
 Sebelum memasak
c. Pengobatan
Obat anti virus bekerja menghambat replikasi virus sehingga mengurangi
gejala dan komplikasi yang terinfeksi.
Macam obat : Amantadine, Rimatadine, Oseltamivir(tamiflu) dan
Zanavir(relenza)

11
3. Tuberculosis
a. Penyebab
TBC disebabkan oleh kuman /basil tahan asam (BTA) yakni mikobacterium
derium tuberkulosis. Kuman ini cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa hari ditempat yang lembab
dan gelap. Beberapa jenis micobakterium lain juga dapat menyebabkan
penyakit pada manusia (matipik). Hampir semua organ tubuh dapat
terserang bakteri ini seperti kulit, otak, ginjal, tulang dan paling sering paru.
b. Epidemiologi
Indonesia menduduki peringkat ke 3 dunia dalam jumlah pasien TB setelah
India dan Cina, diperkirakan penduduk dunia terinfeksi TB secara laten. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru dengan 140,000
kematian setiap tahun. Faktor resiko TB ; HIV, DM, Gizi kurang, kebiasaan
merokok.
c. Cara Penularan
Menular dari orang ke orang melalui droplet atau percikan dahak.
d. Masa Inkubasi
Sejak masuknya kuman sampai primer atau reaksi tes tuberculosis positif
memerlukan waktu antara 2 -10 minggu. Resiko menjadi TB paru dan TB
ekstrapulmuner progresif infeksi primer umumnya terjadi pada tahun
pertama dan kedua. Infeksi laten bisa terjadi seumur hidup. Pada pasien
dengan imun defisiensi seperti HIV masa inkubasi bisa lebih pendek.
e. Masa penularan
Berpotensi menular selama penyakitnya masih aktif dan dahaknya
mengandung BTA, penularan berkurang apabila pasien menjalani
pengobatan adekuat selama min 2 minggu, sebaliknya pasien yang tidak
diobati secara adekuat dan pasien dengan persisten AFB positif dapat
menjadi sumber penularan sampai waktu lama.
Tingkat penularan tergantung pada jumlah basil yang dikeluarkan, virulensi
kuman, terjadinya aerosolisasi waktu batuk/bersin dan tindakan medis
beresiko tinggi seperti intubasi dan bronkoskopi.
f. Gejala klinis
 Batuk terus menerus disertai dahak selama 3 minggu / lebih

12
 Sesak nafas
 Nyeri dada
 Sering demam
 Nafsu makan menurun
 Penurunan berat badan
 BTA (+)
g. Pengobatan
 Pengobatan spesifik dengan kombinasi obat anti tuberculosis (OAT)
dengan metoda DOTS (directly observed treatment shourtcore ) diawasi
poleh pengawas minum obat.
 Untuk pasien baru TB BTA (+) , WHO menganjurkan pemberian 4
macam obat setiap hari selama 2 bulan berturut terdiri rif, inh, pza dan
etambutol diikuti inh dan rif 3 kali seminggu selama 4 bulan.
h. Pencegahan
Penemuan dan pengobatan TB
1. Imunisasi BCG sedini mungkin terhadap mereka yang belum terinfeksi
2. Perbaikan lingkungan dan status gizi dan kondisi sosial ekonomi.

4. MRSA ( Methicilin Resistent Stapylococcus Aureus)


Adalah salah satu tipe bakteri stapyloccus yang ditemukan pada kulit dan
hidung dan kebal terhadap antibiotika. Jumlah kematian MRSA lebih banyak
dibandingkan AIDS.
Saat ini ada 2 tipe:
1. Health care asosiated (HA –MRSA)
Biasanya ditemukan difasilitas kesehatan terutama rumah sakit.
2. Community asosiated (CA-MRSA)
Yang baru ini ditemukan tempat – tempat umum, fitness, loker-loker,
sekolah dan perabotan rumah tangga.
Biasanya menginfeksi orang dan anak-anak yang daya tahan tubuhnya
lemah, jika daya tahan tubuh baik tidak akan menimbulkan gejala . Bakteri
yang dibawa si pasien menyebar dan berpindah pada orang lain dengan cara
kontak kulit dan menyentuh barang yang terkontaminasi. Stapylococcus
menimbulkan gejala seperti infeksi kulit, jerawat, bisul, abses atau gigitan

13
serangga, ini biasa menyebabkan bengkak, merah dan nyeri. Bakteri ini
dapat menembus kulit sampai dengan menimbulkan infeksi ditulang, sendi,
aliran darah, jantung dan paru yang bisa mengancam jiwa.
a. Penyebaran MRSA
Menyentuh kulit atau luka terinfeksi dari siapa saja yang MRSA
1) Berbagi objek seperti handuk atau peralatan atletik, peralatan rumah
tangga yang MRSA
2) Kontak fisik dapat juga disebarkan melalui batuk dan bersih
3) Menyentuh hidung dari penderita MRSA
b. Tanda dan Gejala
 Infeksi luka
 Bisul
 Folikel rambut yang terinfeksi
 Impetigo
 Kulit yang sakit seperti digigit seranga
c. Diagnosa
Contoh kulit, nanah, darah, urin atau bahan biopsi dikirim ke laboratorium
dan di kultur untuk S aureus. Jika S aureus yang diisolasi (tumbuh dipiring
pantry) bakteri tersebut kemudian terkena antibiotik yang berbeda termasuk
Meticilin dan S aureus tumbuh dengan baik di Meticilin dalam kultur yang
disebut MRSA. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk menentukan
apakah seseorang merupakan pembawa MRSA (Screning untuk carrier)
tetapi sample kulit atau selaput lendir hanya diswab tidak dibiopsi.
d. Pengobatan MRSA
Minor infeksi MRSA kadang - kadang dapat mengalami komplikasi serius
seperti menyebar infeksi ke jaringan sekitar darah, tulang dan jantung.
Karena MRSA yang tahan terhadap antibiotic banyak akan sulit untuk
mengobati namun beberapa antibiotic berhasil mengendalikan infeksi tapi
jarang.
e. Tindakan Pencegahan
1) Kebersihan tangan sesering mungkin terutama setelah menyentuh
hidung anda
2) Bila batuk terapkan etika batuk

14
3) Jika anda mengalami infeksi kulit jaga daerah yang terinfeksi dengan
ditutup kain kasa, ganti verban sesering mungkin terutama jika basah.
4) Bersihkan kamar mandi dengan baik karena penularan juga melalui
feces dan urine
5) Isolasikan peralatan mandi dan peralatan makan khusus untuk penderita
MRSA
6) Jangan berbagi handuk, pisau cukur, sikat gigi dan barang pribadi yang
lainnya
7) Isolasikan pasien, dikontaminasi semua peralatan pasien dengan sabun
dan clorin 0,5%.

1.5. Landasan Hukum


Dasar hukum yang digunakan dalam penyusunan pedoman ini adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran ( Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 4431 )
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (
Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 5064 )
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (
Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5072 ).
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2006
tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Di Lingkungan Departemen Kesehatan
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1333/
Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit.
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/III/2007 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit.

15
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
9. Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor
HK.03.01/III/3744/08 tentang Pembentukan Komite dan Tim Pecegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

16
BAB II
PENGORGANISASIAN KOMITE PPI
RS RESTU IBU BALIKPAPAN

2.1. Gambaran Umum RS Restu Ibu Balikpapan


Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Maha Kuasa Rumah Sakit
RESTU IBU Balikpapan telah 32 tahun melayani masyarakat Kalimantan timur pada
umumnya dan Balikpapan pada khususnya. Kami mengucapkan terima kasih atas
segala dukungan dan support yang diberikan dari seluruh pelanggan Rumah Sakit
Restu Ibu, sehingga kami telah mendapatkan kepercayan dalam melayani masyarakat
Balikpapan. Kepercayaan ini merupakan hadiah sekaligus tanggung jawab kami harus
pertahankan di masa mendatang.Kami memahami bahwa Rumah Sakit Restu Ibu masih
banyak kekurangan.Untuk itu kami tetap berharap seluruh pelanggan memaklumi dan
memberikan saran serta kritik yang membangun. Kami mohon dukungan dalam
melakukan inovasi dan pengembangan ,hal ini untuk merespon keluhan dan kebutuhan
dari semua pelanggan Rumah Sakit RESTU IBU.Sekali lagi kami mengucapkan
terimah kasih kepada seluruh masyarakat Balikpapan yang telah memberikan
kepercayaan kepada Rumah Sakit Restu Ibu sebagai mitra pelayanan kesehatan.
Semoga Rumah Sakit Restu Ibu selalu menjadi pilihan anda sebagai Rumah sakit yang
memberikan pelayanan dengan standart yang baik di Balikpapan.

2.2. Sejarah Institusi RS Restu Ibu Balikpapan


Pada awalnya Rumah Sakit RESTU IBU merupakan klinik bersalin yang berdiri
pada tahun 1976. Klinik tersebut diberi namaKlink Bersalin RESTU IBU yang
bertujuan untuk memberikan pelayanan kebidanan dan keluarga berencana melalui
klinik bersalinnya.Kemudian pada tahun 1979 klinik tersebut diresmikan dan berubah
nama menjadi Rumah Bersalin RESTU IBU.Rumah Bersalin RESTU IBU mampu
beroperasi dalam kurun waktu 10 tahun, namun kurang mengalami kemajuan. Sehingga
pada tanggal 5 oktober 1989, Rumah Bersalin RESTU IBU dialih kelolahkan dari
pemilik lama ke pemilik baru yaitu yayasan Restu Ibu. Dengan beralihnya kepemilikan
tersebut secara operasional Rumah Bersalin RESTU IBU berubah dari rumah sakit
bersalin menjadi rumah sakit yang bersifat umum dengan segala aktifitas yang bersifat
umum dengan nama Rumah Sakit RESTU IBU.Tujuan Yayasan adalah memberikan

17
pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara lengkap dalam bidang pelayanan medis.
Secara bertahap Rumah Sakit RESTU IBU dilengkapi, sehingga mampu berkembang
menjadi rumah sakit swasta type C yang tanggal 30 September 1992 disahkan dengan
ijin Depkes No. 0779/YM/RSKS/SK/VIII/92 menjadi rumah sakit RESTU IBU. Rumah
Sakit RESTU IBU terakreditasi penuh untuk lima layanan dasar pada tanggal 26 april
1999. Pada November 2003 kembali dilakukan perubahan menyangkut status badan
usaha yang semula bernama Yayasan Restu Ibu menjadi PT Restu Ibu Utama. Pada
Priode 2004-2005 Rumah Sakit RESTU IBU, melakukan pengembangan fasilitas
rumah sakit dengan membangun gedung baru dan menata gedung lama serta membeli
peralatan kesehatan yang memiliki teknologi lebih maju sehingga dapat memberikan
pelayanan yang lebih baik. Saat ini Rumah Sakit Restu Ibu yang berada ditengah kota
Balikpapan, tepatnya Gunung Sari Ilir, kecamatan Balikpapan Tengah, Kota
Balikpapan, sangat strategis dan mudah dijangkau oleh berbagai kalangan.
Rumah sakit RESTU IBU saat ini telah memiliki ruang perawatan umum dengan
161tempat tidur yang terdiri dari beberapa variasi ruang inap, ruang ICU, ruang
bersalin, OK dan Isolasi.Demikian juga unit rawat jalan dikembangkan dengan
penambahan poliklinik spesialis dalam berbagai bidang.Sejak tahun 2012 Rumah Sakit
Restu Ibu telah membuka pelayanan Hemodialisa untuk pasien gagal ginjal yang
terbuka untuk umum.10Pada tahun 2012 dan tahun 2013 secara berturut-turut Rumah
Sakit Restu Ibu mendapatkan penghargan Service Excellence Award dari MARKPLUS
INSIGHT yang dipimpin oleh Hermawan Kertajaya, pakar marketing tingkat nasional.
Ini semua berkat dukungan seluruh masyarakat Balikpapan khususnya dan Kalimantan
Timur pada umumnya setia menjadi pelanggan Rumah Sakit Restu Ibu selama ini.
Selain itu juga berkat usaha keras dari seluruh jajaran Rumah Sakit Restu Ibu, mulai
dari Dokter , Perawat, Staf Administrasi , dan Seluruh Staf pendukung lainnya.Rumah
sakit RESTU IBU bercita-cita ingin mengembangkan dirinya menjadi Rumah Sakit
Swasta yang bermutu untuk kota Balikpapan khususnya dan wilayah propinsi
Kalimantan Timur pada umumnya.
Rumah Sakit yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan , wajib memiliki sertifikat
Akreditasi untuk menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu bagi masyarakat.
Tepatnya pada tanggal 10 Desember 2019, Rumah Sakit Restu Ibu mendapatkan
Sertifikat Akreditasi dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) bahwa Rumah Sakit

18
telah memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit dan dinyatakan Lulus Tingkat
PARIPURNA dengan sertifikat Nomor : KARS – SERT/1282/XII/2019.
Dalam penanganan pandemic covid-19 sejak tahun 2020 sampai saat ini RS Restu
Ibu juga berpatisipasi menjadi Rumah sakit yang ikut melayani pasien covid-19,
Rumah Sakit RESTU IBU memberikan kontribusinya agar bersama-sama dengan
seluruh masyarakan bisa bangkit dari pandemic covid-19.

19
2.3. Visi, Misi, dan Motto RS Restu Ibu Balikpapan

1. VISI
Menjadikan Rumah Sakit Pilihan Utama di Balikpapan

2. MISI
a. Memberikan pelayanan dengan standar mutu terbaik
b. Memuaskan pelanggan internal maupun eksternal
c. Terus mengembangkan sarana dan prasarana
d. Menyehatkan kondisi keuangan

3. MOTTO
Rumah Sakit Restu Ibu Pilihanku

20
2.4. Struktur Organisasi Rumah Sakit

21
2.5. Visi, Misi, Falsafah dan Tujuan Komite PPIRS
1. VISI
Melaksanakan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di lingkungan rumah
sakit secara efektif dan efisien, berfokus pada keselamatan pasien.
2. MISI
1. Menyelenggarakan surveilans untuk mencegah dan mengendalikan infeksi di
RS. Restu Ibu
2. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien, petugas dan
pengunjung RS dengan pelaksanaan kewaspadaan standar yang baik.
3. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan kesehatan dengan memperhatikan
keamanan pasien dan petugas dari infeksi RS
4. Menjadi RS rujukan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di wilayah
kota Balikpapan dan sekitarnya
3. FALSAFAH
Kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan standar mutu pelayanan
yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit untuk melindungi pasien, petugas
kesehatan dan pengunjung dari kejadian infeksi dengan memperhatikan cost
effectiveness.
4. TUJUAN
Tujuan Umum
Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit melalui kegiatan pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit.
Tujuan Khusus
a. Memutus mata rantai penularan mikroorganisme
b. Menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial
c. Terciptanya kondisi lingkungan rumah sakit yang memenuhi persyaratan dan
menjamin pencegahan infeksi nosokomial
d. Menggerakkan sumber daya yang ada di RS dalam upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi
e. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI

22
2.6. Struktur Organisasi Komite / Tim PPIRS

DIREKTUR RS

KETUA KOMITE PPIRS

WAKIL KETUA KOMITE PPIRS

SEKRETARIS
ANGGOTA IPCN

TIM PPI :
IPCLN INST KAMAR OPERASI
DOKTER KSM
IPCLN INST KEBIDANAN & PENYAKIT
DOKTER PATOLOGI KLINIK KANDUNGAN

KEPERAWATAN IPCLN INST PERINATOLOGI

LABORATORIUM
IPCLN INST PERAWATAN INTENSIVE
FARMASI

IPCLN INST HAEMODIALISA


RADIOLOGI

RAHABILITAS MEDIK IPCLN INST GAWAT DARURAT

INSTALASI GIZI
IPCLN RUANG LANTAI IV
INSTALASI RAWAT JALAN

IPCLN RUANG LANTAI III


INSTALASI RAWAT INAP

CSSD DAN LOUNDRY


IPCLN RUANG LANTAI II

K3 - RS
IPCLN RUANG LANTAI I CORPORATE
IPS - RS

IT - RS
IPCLN RAWAT JALAN
REKAM MEDIK

BAGIAN UMUM

CLEANNING SERVICE

KAMAR JENAZAH

23
2.7. Uraian Tugas, Tanggung Jawab, Wewenang Dan Peran
1. Direktur
a. Hasil Kerja
1. Terbentuknya komite dan tim PPI di sertai SK
2. Tersedianya fasilitas yang di perlukan untuk kegiatan PPI
3. Kebijakan kegiatan PPI
4. Formularium pemakaian antibiotik

b. Uraian Tugas
1. Membentuk komite dan Tim PPI dengan Surat Keputusan
2. Mendukung penyelenggaraan upaya PPI
3. Menentukan kebijakan PPI
4. Mengesahkan Standar Prosedur Operasional (SPO) PPIRS
5. Menentukan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial

c. Tanggung Jawab
1. Bertanggung jawab dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap
penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
2. Bertanggung jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan prasarana
termasuk anggaran yang di butuhkan
3. Mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial berdasarkan saran dari KPPIRS
4. Mengadakan evaluasi kebijakan pemakaian antibiotik yang rasional dan
desinfektan di rumah sakit berdasarkan saran dari KPPIRS

d. Wewenang
Dapat menutup suatu unit perawatan atau instalasi yang dianggap potensial
menularkan penyakit untuk beberapa waktu sesuai kebutuhan berdasarkan saran
dari KPPIRS

24
2. Komite PPI-RS
a. Hasil Kerja
1. Kebijakan Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
(KPPIRS)
2. Standar Prosedur Operasional (SPO) dan Program PPI
3. Terselenggaranya pelatihan dan pendidikan PPI
4. Laporan kegiatan PPI

b. Uraian Tugas
1. Menetapkan definisi infeksi terkait pelayanan kesehatan di RS Restu Ibu
Balikpapan
2. Membuat metode pengumpulan data atau survailans
3. Menyusun dan menetapkan serta mengevaluasi kebijakan PPI
4. Membuat SPO PPI
5. Menyusun program PPI dan mengevalusi pelaksanaan program tersebut
6. Melakukan pertemuan berkala
7. Menerima laporan dari Tim PPI dan membuat laporan kepada direktur
8. Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau
KLB Healthcare Associated Infection (HAIs)
9. Mengidentifikasi temuan dilapangan yang berkaitan dengan kegiatan PPI
10. Melakukan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari
standar prosedur
11. Melakukan investigasi, menetapkan dan melaksanakan penanggulangan
infeksi bila ada KLB di rumah sakit

c. Tanggung Jawab
1. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat dipahami
dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan rumah sakit
2. Mengevaluasi pelaksanaan program PPI
3. Memberikan konsultasi pada petugas rumah sakit tentang PPI
4. Berkoordinasi dengan unit terkait

25
d. Wewenang
1. Mengembangkan dan meningkatkan cara pencegahan dan pengendalian
infeksi.
2. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan
aman bagi yang menggunakan.
3. Mengusulkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia (SDM) rumah sakit dalam PPI.
4. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunana dan
pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara pemrosesan
alat, penyimpanan alat dan linen sesuai dengan prinsip PPI.
5. Memberikan usulan kepada direktur untuk pemakaian antibiotik yang
rasional di rumah sakit berdasarkan hasil pemantauan kuman dan
resistensinya terhadap antibiotika dan meyebar-luaskan data resistensi
antibiotika.

3. Ketua Komite PPIRS  IPCD (INFECTION PREVENTION CONTROL


DOCTOR)
a. Hasil Kerja
1. Terlaksananya surveilans infeksi nasokomial
2. Pedoman pamakaian antibiotika
3. Laporan peta kuman dan resistensinya
4. Pengembangan prosedur kerja dan kebijakan yang mencakup semua
kegiatan dalam bidang pengendalian infeksi
b. Uraian Tugas
1. Turut menyusun pedoman penulisan resep antibiotika dan surveilens
2. Memonitor kejadian KLB dan kegiatan survailens
3. Memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat pasien
4. Mengidentifikasi dan melaporkan kuman pathogen dan pola resistensi
antibiotika
5. Bekerjasama dengan perawat PPI memonitor kegiatan surveilans infeksi dan
mendeteksi serta menyelidiki KLB
c. Tanggung Jawab
1. Berkontribusi dalam diagnosis dan terapi infeksi yang benar

26
2. Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang berhubungan
dengan prosedur terapi
3. Membantu semua petugas kesehatan untuk memahami pencegahan dan
pengendalian infeksi
4. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan
aman bagiyang menggunakan
5. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengsulkan pelatihan untuk
meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) rumah sakit
dalam PPI
6. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan.
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
2. Memberikan saran desain ruangan rumah sakit agar sesuai dengan prinsip
PPI
e. Syarat Jabatan
1. Dokter dan berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan dasar dan lanjutan PPI
3. Mempunyai kemampuan memimpin

4. Wakil Ketua Komite PPIRS  IPCD (INFECTION PREVENTION


CONTROL DOCTOR)
a. Hasil Kerja
1. Terlaksananya surveilans infeksi nasokomial
2. Pedoman pamakaian antibiotika
3. Laporan peta kuman dan resistensinya
4. Pengembangan prosedur kerja dan kebijakan yang mencakup semua
kegiatan
b. Uraian Tugas
a. Mengusulkan Kebijakan PPI-RS
b. Mensosialisasikan Kebijakan PPI-RS
c. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan
aman bagi yang menggunakan

27
d. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan
pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara pemrosesan
alat, penyimpanan alat dan linen sesuai dengan prinsip PPI
e. Mengusulkan penutupan ruangan rawat bila diperlukan karena potensi
penyebaran infeksi
f. Bekerjasama dengan perawat PPI memonitor kegiatan surveilans infeksi dan
mendeteksi serta menyelidiki KLB
c. Tanggung Jawab
1. Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang berhubungan
dengan prosedur terapi
2. Membantu semua petugas kesehatan untuk memahami pencegahan dan
pengendalian infeksi
d. Kewenangan.
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
2. Memberikan saran desain ruangan rumah sakit agar sesuai dengan prinsip
PPI
e. Syarat Jabatan
1. Dokter dan berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan dasar dan lanjutan PPI
3. Mempunyai kemampuan memimpin

5. Sekertaris  IPCN (INFECTION PREVENTION CONTROL NURSE)


a. Hasil Kerja
1. Laporan angka infeksi nosokomial
2. Audit standar dan kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di
unit kerja
3. Rekomendasi perbaikan kegiatan PPI di Rumah Sakit
b. Uraian Tugas
1. Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang
terjadi di rumah sakit.
2. Memonitor pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dan
penerapan Standar Prosedur Operasional (SPO), kepatuhan petugas dalam
menjalankan kewaspadaan isolasi.

28
3. Meminitor kesehatan petugas kesehatan untukm mencegah penularan infeksi
dari petugas kesehatan ke pasien atau sebaliknya
4. Melakukan audit pencegahan dan pengendalian infeksi termasuk terhadap
limbah, kebersihan lingkungan, laundry, gizi dan unit lain yang
berhubungan dengan kegiatan PPI.
5. Memberi konsultasi tentang pencegahan dan pengendalian Infeksi yang
diperlukan pada kasus yang terjadi di rumah sakit.
6. Memonitor kesehatan lingkungan.
7. Sebagai koordinator antara unit dalam mendeteksi, mencegah dan
mengendalikan infeksi di rumah sakit
c. Tanggung Jawab
1. Melaksanakan suveilans infeksi dan melaporkan kepada komite Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (KPPIRS)
2. Membuat laporan suveilans dan melaporkan ke KPPIRS
3. Bersama komite PPI Melakukan pelatihan petugas kesehatan tentang PPI
4. Melakukan investigasi terhadap KLB dan bersama-sama Komite PPI
memperbaiki kesalahan yang terjadi
5. Meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung rumah sakit tentang
PPIRS.
6. Memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan, pengunjung dan
keluarga tentang topik infeksi yang sedang berkembang di masyarakat,
infeksi dengan insiden tinggi
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
2. Memberikan saran desain ruangan rumah sakit agar sesuai dengan prinsip
PPI
3. Melakukan audit dan surveilens
e. Syarat Jabatan
1. Perawat D3 Keperawatan Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapatkan pelatihan dasar dan lanjutan PPI
3. Memiliki pengalaman sebagai kepala ruang atau setara
4. Memiliki kemampuan memimpin, inovatif dan percaya diri
5. Bekerja purna waktu

29
6. Penghubung IPCLN → (INFECTION PREVENTION CONTROL LINK
NURSE)
a. Hasil Kerja
1. Formulir surveilans terisi dengan baik, informative
b. Uraian Tugas
1. Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unit rawat
inap masing- masing.
2. Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan
bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang
harus dijalankan bila belum faham.
3. Memantau penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing,
konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum faham
c. Tanggung Jawab
1. Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya HAIS pada
pasien
2. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan
standar isolasi
3. Melakukan koordinasi dengan Kepala Instalasi untuk terlaksananya survey
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit
rawatnya masing-masing
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Perawat D3 Keperawatan
3. Mendapatkan pelatihan PPI dasar
4. Mempunyai kemampuan memimpin dan Inovatif

7. Penanggung Jawab PPI di Laboratorium


a. Hasil Kerja
1. Audit pelaksanaan PPI di unit kerjanya berdasarkan standar yang telah
ditetapkan
2. Laporan rekap biakan kuman

30
3. Laporan hasil penatalaksanaan pajanan benda tajam dan paparan cairan
tubuh
b. Uraian Tugas
1. Mengumpulkan data-data tentang : pola resistensi kuman, reaksi transfuse
2. Melaporkan hasil biakan kuman-kuman tertentu
3. Menjalankan kegiatan PPI di unit kerjanya
4. Menjalankan kegiatan koordinasi kultur peralatan dengan ruangan unit lain
5. Membuat laporan kegitan PPI di unit masing-masing
c. Tanggung Jawab
1. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan dalam menjalankan kegiatan PPI
2. Memonitor kepatuhan benda tajam dan pajanan
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil di unit
laboratorium
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan Inovatif

8. Penanggung Jawab PPI di Radiologi


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di radiologi
b. Uraian Tugas
1. Memonitor kegiatan PPI di unit radiologi
2. Membuat laporan bila ada masalah yang berkaitan dengan ppi kepada IPCN
dan kepala instalasi radiologi

c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di radilogi berjalan dengan baik
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI pada
setiap petugas di radiologi

31
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapatkan Pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

9. Penanggung Jawab PPI di Farmasi


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di instalasi farmasi
b. Uraian Kerja
1. Melakukan monitoring kegiatan PPI di faramasi
2. Melakukan monitoring pengolahan limbah dan benda tajam
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di farmasi berjalan dengan lancar
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil di farmasi
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapatkan Pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

10. Penanggung Jawab PPI di Gizi


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di instalasi gizi
b. Uraian Tugas
1. Melakukan monitoring kegiatan di instalasi gizi yang berhubungan dengan
kegiatan PPI (Pencucian bahan makanan, Penyimpanan makanan,
Pengolahan makanan, Distribusi makanan, Kebersihan lingkungan)
2. Melakukan evaluasi bila ada kejadian infeksi nosokomial akibat dari
penyediaan makanan yang kurang baik
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di instalasi Gizi berjalan dengan baik
d. Kewenangan

32
1. Memberikan motivasi dan tegurang tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
pada setiap petugas di instalasi gizi
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

11. Penanggung Jawab PPI di CSSD


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di instalasi CSSD
b. Uraian Tugas
1. Melakukan monitoring kegiatan di CSSD yang berhubungan dengan
kegiatan PPI ( Penerimaan peralatan, pencatatan, penstrilan alat dan
pengambilan alat dari ruangan)
2. Melakukan monitoring perlakuan alat-alat yang di Re Use
3. Melakukan monitoring dekontaminasi peralatan yang di rawat inap dan
rawat jalan
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di CSSD berjalan lancar
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan tegurang tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
pada setiap petugas di laundry
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

12. Penanggung Jawab PPI di Laundry


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di laundry
b. Uraian Tugas
1. Melakukan monitoring kegiatan di laundry yang berhubungan dengan
kegiatan PPI (Penerimaan linen, penghitungan dan pemilahan linen,

33
penatalaksanaan linen infeksius dan non infeksius, penyimpanan dan
distribusi linen)
2. Melakukan monitoring pengolahan alur linen
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di laundry berjalan baik
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan tegurang tentang pelaksanaan kepatuhan PPI
pada setiap petugas di laundry
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

13. Penanggung Jawab PPI di Pemeliharaan Sarana (IPS RS)


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan di IPS RS
b. Uraian Tugas
1. Melakukan monitoring kegiatan di pemeliharan sarana yang berhubungan
dengan kegiatan PPI ( Pengolahan limbah padat, cair dan benda tajam)
2. Melakukan monitoring kegiatan limbah dengan pihak ke tiga
3. Melakukan monitoring kegiatan dekontaminasi dan kebersihan lingkungan
RS
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di IPS RS berjalan dengan baik
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap petugas di instalasi
pemeliharaan sarana rumah sakit
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

34
14. Penanggung Jawab PPI di Rehabilitas Medik
a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di Rehabilitas Medik
b. Uraian Tugas
1. Menjalankan kegiatan PPI di unit kerjanya
2. Membuat laporan kegitan PPI di unit masing-masing
c. Tanggung Jawab
1. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan lain dalam menjalankan kegiatan
PPI
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap petugas di Rehabilitas
Medik
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan inovatif

15. Penanggung Jawab PPI di Kamar Jenazah


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di pemulasaran jenazah
b. Uraian Tugas
1. Memonitor kegiatan PPI di unit pemulasaran jenazah
2. Membuat laporan bila ada masalah yang berkaitan dengan PPI kepada IPCN
dan Kepala pemulasaran jenazah
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di pemulasaran jenazah berjalan dengan
baik
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap petugas di Rehabilitas
Medik
e. Syarat Jabatan

35
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan Inovatif

16. Penanggung Jawab PPI di Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3 RS)
a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring kegiatan PPI di K3
b. Uraian Tugas
1. Memonitor kegiatan PPI di k3
2. Membuat laporan bila ada masalah yang berkaitan dengan PPI kepada IPCN
dan kepala K3
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di K3 berjalan dengan lancar
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap petugas di K3
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan Inovatif

17. Penanggung Jawab PPI di Cleaning Service


a. Hasil Kerja
1. Data hasil monitoring di cleaning service
b. Uraian Tugas
1. Memonitor kegiatan PPI di Cleanning Service
2. Membuat laporan bila ada masalah yang berkaitan dengan PPI kepada IPCN
dan Kepala Cleanning Service
c. Tanggung Jawab
1. Memastikan bahwa kegiatan PPI di cleaning service berjalan dengan baik
d. Kewenangan
1. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI pada
setiap petugas di cleaning service

36
e. Syarat Jabatan
1. Berminat terhadap kegiatan PPI
2. Mendapat pelatihan PPI dasar
3. Memiliki kemampuan memimpin dan Inovatif

2.8. Pola Ketenagaan dan Kualifikasi Personal di Komite PPIRS


Pengorganisasian komite PPI disusun berdasarkan PERMENKES RI No 27 Tahun
2017 tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan. komite minimal terdiri dari ketua, sekretaris dan anggota. ketua sebaiknya
dokter, mempunyai minat, kepedulian dan pengatahuan, pengalaman, mendalami
infeksi, mikrobiologi klinik atau epidemiologi klinik dan sekretaris sebaiknya perawat
senior yang mempunyai minat, mampu memimpin dan aktif.
anggotalain terdiri dari :
1. Dokter wakil dari SMF
2. Penunjang PPI ( Laboratorium, Farmasi, Radiologi, Rehab Medik dan Rekam
Medik)
3. Instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan
4. Instalasi CSSD & Laundry
5. Instalasi Gizi
6. Kesehatan dan Keselamatan Kerja ( K3 RS)
7. Bagian Umum ( IPS RS, Kamar Jenazah dan Cleaning Service)

Tim PPI terdiri dari perawat PPI IPCN (Infection Prevention And Control Nurse) dan
IPCLN (Infection Prevention And Control Link Nurse), IPCN bekerja dengan rasio 1
IPCN untuk 100 tempat tidur di Rumah Sakit dalam bekerja dan dibantu oleh beberapa
IPCLN dari tiap ruangan / unit perawatan.

37
Kualifikasi Personal Komite PPI

No Nama Jabatan Kualifikasi Jumlah


Formal Sertifikat Yang ada
1 Ketua Komite Dokter - Pelatihan PPI Dasar 1 orang
PPIRS Spesialis Bedah - Pelatihan IPCD
Anak - Pelatihan PPRA

2 Wakil Ketua Dokter Umum - Pelatihan PPI Dasar 1 orang


- Pelatihan IPCD

3 IPCN S1 Keperawatan - Pelatihan PPI Dasar 1 orang


- Pelatihan IPCN
- Pelatihan IPCN
Lanjutan
- Pelatihan TOT

4 IPCLN D III Keperawatan - Pelatihan PPI Dasar 11 orang


S1 Keperawatan - In House Traning

5 Penanggung Dokter Sp. PK - Pelatihan PPI Dasar 21 orang


Jawab PPI di Dokter Sp. B - Pelatihan PPRA
Unit Dokter Sp. A - Pelatihan CSSD
Dokter Sp. PD - In House Traning
Dokter Gigi - Workshop PPI
Dokter Umum
SKM
Apoteker
D III Gizi
S1 Keperawatan

38
BAB III
SARANA DAN PRASARANA PENUNJANG

3.1. Sarana Kesekretariatan


Ruangan PPIRS terletak di bagian rawat inap lantai II dan terintegrasi dengan
perkantoran dan komite lain Rumah Sakit.
No Fasilitas Jumlah Ket
A Fisik /bangunan
Ruang kerja sekretariat 1 Lantai II

B Peralatan
1 Komputer, mesin printer dan 1 Set
line internet
2 Lektop 1
3 Telepon 1
4 Meja kerja 2
5 Kursi 2
6 Almari berkas 1
7 Papan black boord 1
8 Alat tulis kantor 1

Fasilitas Pelayanan
1. Menyusun kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi petugas kesehatan dan petugas
non medis
2. Melindungi petugas kesehatan dengan memastikan SPO PPI sudah ada dan dipatuhi
3. Memastikan ketersediaan kelengkapan APD yang diperlukan untuk tindakan-
tindakan keamanan dalam penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi.
4. Mengembangkan strategi triage untuk pasien yang berpotensi berpenyakit menular
dilakukan pemeriksaan awal, identifikasi sebagai pengobatan darurat, pasien yang
perlu dirujuk untuk penatalaksaan selanjutnya.

39
3.2. Dukungan Manajemen
Anggaran dan pendanaan
Komite PPI menyusun perencanaan dan anggaran untuk :
1. Pendidikan dan Pelatihan
2. Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang
3. Untuk pelaksanaan program, monitoring, evaluasi, dan rapat rutin

3.3. Kebijakan Dan Standar Prosedur Operasional (SPO)


1. Tersedianya kebijakan yang menunjang pelaksanaan Program PPI
a. Kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan PPI sekaligus pengembangan SDM
komite PPI
b. Kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan untuk seluruh petugas di fasilitas
pelayanan kesehatan
c. Kebijakan tentang kewaspadaan isolasi meliputi kewaspadaan standard dan
kewaspadaan transmisi termasuk kebijakan tentang penempatan pasien
d. Kebijakan tentang pemakaian ulang peralatan bahan medis habis pakai (BMHP)
(Single Use yang di Re Use)
e. Kebijakan tentang pengadaan bahan dan alat yang melibatkan Tim PPI
f. Kebijakan tentang kesehatan karyawan
g. Kebijakan tentang pelaksananaan surveilans
h. Kebijakan penanganan kejadian luar biasa (KLB)
i. Kebijakan tentang pemeliharaan fisik dan sarana prasarana
j. Kebijakan tentang pengkajian risiko di fasilitas pelayanan kesehatan
k. Kebijakan tentang penggunaan Antibiotik yang bijak
2. Tersedianya SPO menunjang pelaksanaan kegiatan PPI
a. Kewaspadaan Standar :
1. Kebersihan Tangan
2. Alat Pelindung Diri (APD)
3. Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien
4. Pengendalian Lingkungan
5. Penatalaksanaan Limbah
6. Penatalaksanaan Linen
7. Perlindungan Petugas Kesehatan

40
8. Penempatan Pasien
9. Hiygiene Respirasi / Etika Batuk
10. Praktek Menyuntik Yang Aman
11. Praktek Lumbal Punksi
b. Kewaspadaan transmisi
1. Penanganan transmisi Kontak
2. Penanganan Transmisi Droplet
3. Penanganan Transmisi Airbone

3.4. Pengembangan Dan Pendidikan Pelatihan (DIKLAT)


1. Komite PPI
a. Wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar dan lanjutan PPI
b. Memiliki sertifikat PPI
c. Mengembangkan dan mengikuti seminar, lokakarya dan sejenisnya
d. Bimbingan teknis secara berkesinabungan
2. Karyawan Rumah sakit
a. Semua karyawan rumah sakit harus mengetahui prinsip-prinsip pencegahan dan
pengendalian infeksi
b. Semua staf rumah sakit yang berhubungan dengan pelayanan pasien harus
mengikuti pelatihan PPI
c. Rumah Sakit secara berkala melakukan sosialisasi / simulasi PPI

41
BAB IV
KEGIATAN DAN RINCIAN KEGIATAN

4.1. Kegiatan Pokok


Manajemen PPI yang merupakan kegiatan untuk mengendalikan infeksi terkait
dengan pelayanan kesehatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,
pembinaan, monitoring evaluasi serta pelaporan
Adapun program pokok terdiri dari :
1. Pelaksanaan kewaspadaan isolasi
2. Pelaksanaan surveilans dan bundle HAIS surveilans
3. Pengawasan penggunaan resisten antimikroba secara rasional dan aman
4. Pelaksanaan ICRA
5. Pelaksanaan ruang isolasi
6. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan
7. Investigasi wabah ( outbreak ) penyakit infeksi
8. Pelaksanaan sistem SIRS Rumah Sakit
9. Pelaksanaan supervisi monitoring ke semua unit yang terkait

4.2. Rincian Kegiatan


1. Membuat program kerja tahun 2022
2. Membuat kebijakan pelayanan pencegahan dan pengendalian infeksi di Rumah
Sakit Restu Ibu, antara lain :
a. Kebijakan tentang Kepemimpinan dan Tata Kelola
b. Kebijakan tentang Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
c. Kebijakan tentang Surveillance, Audit dan Monitoring
d. Kebijakan tentang Penerapan Kewaspadaan Standar
e. Kebijakan tentang Penerapan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi
f. Kebijakan tentang Penerapan PPI Terkait Di Pelayanan Kesehatan
g. Kebijakan tentang Strategi Penurunan Risiko Infeksi (ICRA)
h. Kebijakan tentang Pemakaian Ulang Peralatan Bahan Medis Habis Pakai (single
Use yang Di Re Use)
i. Kebijakan tentang Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB)
j. Kebijakan tentang Peningkatan Mutu dan Program Diklat

42
k. Kebijakan tentang Pengendalian Resisten Antibiotik
l. Kebijakan tentang Penggunaan Sarana Desinfektan
m. Kebijakan tentang Perbandingan Data Dasar Infeksi (BENCHMAKING)
n. Kebijakan tentang Pembinaan Pelasanaan PPI
o. Kebijakan tentang Rapat dan Sistem Pelaporan
p. Kebijakan tentang Laporan Komite PPI

3. Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) yang berkaitan dengan pencegahan


dan pengendalian infeksi nosokomial, antara lain:
a. SPO tentang Kebersihan Tangan
b. SPO tentang Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
c. SPO tentang Etika Batuk / Hygiene Respirasi
d. SPO tentang Pengendalian Lingkungan
e. SPO tentang Limbah Infeksius dan Non Infeksius
f. SPO tentang Penanganan Benda Tajam
g. SPO tentang Darah dan Komponen Darah
h. SPO tentang Paska Pajanan Luka Tusuk / Benda tajam / Alur Pajanan
i. SPO tentang Pelaksanaan Surveilans
j. SPO tentang Upaya Pencegahan dan Pengendalian Bundhle HAI’s
k. SPO tentang Penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB)
l. SPO tentang ICRA Bangunan / Renovasi
m. SPO tentang Pelaksananaan Dekontaminasi
n. SPO tentang Dekontaminasi Ambulance
o. SPO tentang Dekontaminasi Kamar Jenazah
p. SPO tentang Dekontaminasi Ruang Isolasi
q. SPO tentang Tata laksana Antiseptik dan Desinfektan
r. SPO tentang Desinfektan Ruangan Dengan Larutan Klorsept
s. SPO tentang Transfortasi Pasien TB Di Rumah Sakit
t. SPO tentang Penanganan Pasien Transmisi Droplet
u. SPO tentang Penanganan Pasien Transmisi Udara
v. SPO tentang Penanganan Pasien Transmisi Kontak
w. SPO tentang Penggunaan Spil Kit
x. SPO tentang Proses Use Sterilisasi dan Penyimpanan Ulang Masker N95

43
4. Melaksanakan Kewaspadaan Isolasi
1. Kewaspadaan Standar
a. Kebersihan Tangan
1. Handrub berbasis alkohol jika tangan tidak terlihat kotor
2. Handwash kebersihan tangan dengan air mengalir jika tangan terlihat kotor
b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
1. APD merupakan alat kesehatan yang terdiri dari masker, topi, sarung
tangan, pelindung wajah, sepatu yang di gunakan petugas maupun pasien
untuk melindungi diri dari kontaminasi penyakit infeksi.
2. Digunakan sesuai indikasi.
3. Segera dilepas jika sudah selesai tindakan
4. Monitoring ketersedian dan penempatan APD
c. Manajemen Limbah dan Benda Tajam
1. Limbah padat infeksius : limbah terkontaminasi dengan darah dan cairan
tubuh, sekresi dan ekskresi
2. Limbah padat non infeksius : limbah yang tidak terkontaminasi dengan
darah dan cairan tubuh, sekresi dan eksresi
3. Limbah benda tajam dan jarum
4. Limbah cairan tubuh, darah dan komponen darah
d. Pengendalian Lingkungan
1. Monitoring pengendalian lingkungan di rumah sakit/ pembersihan
lingkungan yang meliputi area :
 Area pelayanan pasien : kamar operasi, kamar rawat inap, ruang praktek
dokter, ruang pemeriksaan penunjang, laboratorium, dll.
 Area staf rumah sakit : area administrasi, ruang sekretariat, kantin, dll
 Area pengunjung : Lobby, kantin, ruang tunggu, dll.
 Angkutan : Ambulance setelah mengantar pasien menular.
2. Pemantauan pembuangan dan pengelolaan sampah oleh petugas cleaning
servis.
3. Pemantauan pembersihan ruangan pelayanan klinis antara lain ruang
praktek dokter, ruang pemeriksaan penunjang, ruang tindakan, ruang
perawatan pasien, kamar bedah.
4. Pemantauan pembersihan ruangan non klinis : Pantry, toilet, gudang, dll.

44
5. Monitoring pemantauan kebersihan permukaan lingkungan
e. Dekontaminasi Peralatan Kesehatan
1. Dekontaminasi di Central Sterilization Supply Departement (CSSD)
2. Dekontaminasi di luar CSSD
3. Pemantauan produk steril dari unit sterilisasi selama 1 tahun dengan
melakukan swab uji kultur
4. Monitoring peralatan kadaluwarsa, single-use menjadi re-use
Klasifikasi perawatan peralatan pasien menurut Spaulding
1. Peralatan Kritikal : masuk ke pembuluh darah, jaringan steril
2. Peralatan Semi Kritikal : masuk membrane mukosa
3. Peralatan Non Kritikal : hanya permukaan tubuh.
f. Penempatan Pasien
1. Penampatan pasien sesuai dengan jenis infeksi dan transmisinya
2. Tempatkan pasien yang potensial menkontaminasi lingkungan dengan
menempatkan diruang terpisah (isolasi) atau kohorting.
3. Monitoring dekontaminasi penggunaan Ruang Isolasi
g. Penatalaksanaan Manajemen Linen Laundry
1. Linen infeksius (linen yang terkontaminasi darah dan cairan tubuh).
2. Linen non infeksius (linen kotor bekas pakai tidak terkontaminasi darah
dan cairan tubuh).
3. Penanganan, transportasi dan proses linen yang terkena cairan tubuh, darah,
sekresi, ekskresi dengan prosedur yang benar.
4. Penggunaan APD
5. Penyortiran linen, hindari memanipulasi linen kotor.
h. Perlindungan Kesehatan Karyawan
1. Pemeriksaan kesehatan karyawan
2. Pemberian imunisasi dan vaksinasi pada petugas terutama di unit-unit
risiko tinggi
3. Pengadaan alat pelindung diri
4. Pencegahan kecelakaan kerja karyawan
5. Penatalasanaan pencatatan dan pelaporan kecelakaan luka tusuk jarum dan
tindak lanjutnya bekerja sama dengan K3 petugas
i. Penyuntikan Yang Aman

45
1. Lakukan tindakan aseptik dan antiseptic
2. Gunakan jarum suntik sekali pakai
3. Segera buang jarum suntik setelah digunakan
4. Sebaiknya gunakan obat / cairan sekali pakai, jika tidak memungkinkan
jaga kestreilannya
j. Etika Batuk
1. Menutup mulut dan hidung saat batuk/bersin pakai tissue/sapu tangan atau
lenga atas bagian dalam
2. Buang ketempat sampah (kuning) bila terkena secret saluran napas,
3. Lakukan kebersihan tangan dengan sabun antiseptic dan air mengalir, atau
handrub.
4. Pencegahan awal dengan skrining batuk dan penempatan ruang triase batuk
dan pemberian masker
k. Proses Lumbal Punksi
Masker harus dipakai klinis saat melakukan lumbal punksi . anastesi
spinal/epidural pasang kateter vena sentral
2. Kewaspadaan Transmisi
1. Melalui kontak: sarung tangan, gaun
2. Melalui droplet : Masker bedah, penutup wajah
3. Melalui udara (airborne): Masker N95/ Respiratorik
4. Melalui Common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan
5. Melalui vector (lalat, nyamuk, tikus)

5. Melaksanakan kegiatan surveilans dan bundles HAIs surveilans


1. Melakukan penginputan / pengumpulan data ke dalam tabel exsel di komputer
yang ada di ruangan oleh IPCLN
2. Membuat laporan bulanan
3. Melakukan analisa
a. Infeksi Rumah Sakit
 Infeksi Luka Operasi pada luka operasi
 Infeksi saluran kemih pada pemasangan alat kesehatan di saluran kemih.
 Infeksi saluran pernapasan pada pemasangan alat kesehatan saluran
pernapasan

46
 Infeksi Aliran Darah Primer pada pemasangan Peralatan Intravaskuler
 Infeksi Aliran Darah perifer
 Multi drug Resisten Organisme
b. Pola mikroorganisme HAIs
 Pola kuman Infeksi Luka Operasi
 Pola kuman Infeksi Saluran Kemih
 Pola Kuman Infeksi Saluran pernapasan
4. Melaksanakan penerapan pencegahan infeksi (BUNDLES) pada pemasangan
kateter intravaskuler, kateter urine menetap, ventilasi mekanik, tindakan
pembedahan.

6. Melaksanakan pengawasan penggunaan resisten antimikroba secara rasional dan


aman.
1. Ada kebijakan tentang penggunaan antimikroba
2. Berdasarkan empiric
3. Berdasarkan hasil kultur (definitive)
4. Pemberian antibiotik profilaksis dalam 24 jam

7. Melaksanakan pelaksanaan Infection Control Risk Assesment (ICRA)


1. ICRA HAIs kategori resiko pengendalian infeksi :IDO/ SSI/ ILO, ISK, IADP,
VAP dan sebagainya.
2. ICRA bangunan dan renovasi rumah sakit (Precautions for Construction &
Renovation).
3. Lakukan identifikasi risiko infeksi, analisa dan evaluasi risiko infeksi
4. Susun langkah-langkah pencegahan daan pengendalian infeksi
5. Monitoring pelaksanaan kebijakan, prosedur dan pedoman kerja PPI
6. Pengkajian Risiko tahunan RISK AASSESMENT terdiri dari :
a) Risk assesment HAIs surveilans
b) Risk assesment prosedur tindakan berisiko tinggi
c) Riks assesment peralatan yang berisiko timggi
d) Riks assesment area berisiko tinggi
e) Risk assesment pelayanan distribusi linen bersih dan kotor
f) Risk assesment pelayanan sterilisasi alat

47
g) Risk assesment kebersihan lingkungan
h) Riks assesment pengolahan linen laundry
i) Risk assesment pengolahan sampah
j) Risk assesment penyedian makanan
k) Risk assesment pengolahan kamar jenazah

8. Melaksanakan penempatan ruang isolasi


1. Penempatan pasien dengan kontak, Airborn Disease dan Droplet
2. Penempatan pasien dengan Immunocompromize
3. Transper pasien berdasarkan transmisi penempatan pasien
4. Melakukan supervise ruang isolasi

9. Melaksanakan Program Pendidikan dan Pelatihan PPI (DIKLAT PPI) :


1. Membuat TOR pelatihandan mengajukan ke bagian diklat RS
2. Pendidikan dan Pelatihan PPI kepada :
1) Semua staf (Dokter, Perawat, Bidan dan Non Medis)
2) Orientasi karyawan baru.
3. Sosialisasi PPI kepada :
1) Semua unit pelayanan
2) Staf RS
3) Pasien, keluarga
4) Pengunjung

10. Melaksanakan sistem Investigasi Outbreak dari penyakit infeksi


1. Mengumpulkan data
2. Melakukan analisa
3. Bersama tim koordinasi KLB mengusulkan kepada Direksi untuk segera
mengambil tindakan perbaikan apabila ada kejadian luar biasa (KLB).

11. Melaksanakan sistem INOVA-RS Rumah Sakit


1. Membuat rancangan data surveilans ke dalam sistem INOVA RS untuk
mempermudah pengimputan, pengolahan dan penyampain informasi ke dalam
rumah sakit

48
2. Membuat rancangan data terintegrasi dengan Mutu RS dalam proses pelaporan
indikator mutu Komite PPI ke Kemenkes

12. Melaksanakan supervisi dan monitoring ke semua unit terkait


1. Membuat form ceklit monitoring dan supervisi
2. Memberikan tindak lanjut rekomendasi dari hasil temuan

13. Mengadakan pertemuan rapat komite


1. Membuat undangan pertemuan, absen dan notulen rapat
2. Membahas hasil temuan, perubahan dan laporan hasil dari kegiatan

14. Mengajukan Diklat pelatihan dasar PPI untuk staf


1. Mencari jadwal kegiatan pelatihan, seminar dan workshop PPI
2. Membuat dan mengajukan TOR pelatihan ke bagian SDM
15. Melaksanakan evalusi pelaksanaan program PPI
Melakukan rancang ulang program yang belum dilaksanakan dan akan dimasukan
ke program tahun berikutnya

49
BAB IV
TATA LAKSANA KEGIATAN

5.1. PENERAPAN KEWASPADAAN ISOLASI


1. KEWASPADAAN STANDAR
a. KEBERSIHAN TANGAN
Hand hygiene atau kebersihan tangan adalah suatu tindakan membersihkan
tangan dengan menggunakan sabun/antiseptik di bawah air mengalir (cuci
tangan) atau dengan menggunakan cairan berbahan dasar alkohol (handrub).
Hand hygiene meliputi : handrub, membersihkan tangan dengan air mengalir,
dan cuci tangan bedah ( WHO Guidelineson Hand Hygiene in Health Care
2009).
Hand hygiene/kebersihan tangan adalah proses yang secara mekanik melepaskan
kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan cairan antiseptik atau
air. Mencuci tangan bedah adalah proses yang secara mekanik melepaskan
kotoran dan debris dari kulit tangan dan lengan sampai siku, dengan
menggunakan cairan antiseptik dan air serta dikeringkan dengan handuk steril
yang dilakukan oleh tim bedah sebelum melakukan tindakan pembedahan.
Langkah paling efektif melakukan hand hygiene adalah menggunakan cairan
handrub berbahan dasar alkohol sebagai antiseptik, karena memiliki kelebihan:
1. Mampu mengeliminasi berbagai mikroba (termasuk virus)
2. Waktu yang digunakan singkat (20 hingga 30 detik)
3. Dapat diletakkan di setiap area pelayanan
4. Toleransi pada kulit yang baik
5. Tidak perlu sarana cuci tangan (air bersih, washtafel, sabun, tissue).
Antikseptik adalah germisida kimia yang dikonfirmasikan untuk digunakan
pada kulit atau jaringanhidup dan tidak ditujukan untuk mendekontaminasikan
benda mati.
Tata Laksana :
1. Pelaksanaan Hand Hygiene
Seluruh petugas kesehatan yang secara langsung maupun tidak langsung
kontak dengan pasien dan lingkungan sekitar pasien selama beraktifitas harus
peduli terhadap hand hygiene.

50
a. Cara melakukan hand hygiene dengan cairan handrub
Kebersihan tangan dilakukan 20 – 30 detik, dengan cara 6 langkah
Prosedur kerja (Gambar 1):
1) Tuangkan cairan handrub berbasis alkohol secukupnya
2) Ratakan handrub pada kedua telapak tangan
3) Gosok punggung dan sela-sela jari dengan tangan kanan dan
sebaliknya
4) Gosok kedua telapak tangan dan sela sela jari tangan
5) Gosok jari-jari sisi dalam dan punggung tangan dengan jari saling
mengunci
6) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya
7) Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan
kiri dan lakukan sebaliknya
8) Tunggu tangan sampai kering, baru melakukan kegiatan selanjutnya

Gambar 1: Cara Kebersihan Hand Hygiene Dengan Cairan Handrub


51
b. Cara melakukan kebersihan tangan dengan air mengalir dan sabun
antiseptic, kebersihan tangan dilakukan selama 40 -60 detik Prosedur kerja
(Gambar 2) :
1) Buka kran
2) Basahi tangan dengan air mengalir
3) Tuangkan sabun secukupnya
4) Ratakan sabun pada kedua telapak tangan
5) Gosok punggung dan sela sela jari dengan tangan kanan dan
sebaliknya
6) Gosok kedua telapak tangan dan sela sela jari tangan
7) Gosok jari-jari sisi dalam dan punggung tangan dengan jari saling
mengunci
8) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya
9) Gosok dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak tangan
kiri dan lakukan sebalikya
10) Bilas kedua tangan dengan air mengalir
11) Keringkan tangan dengan tissue towel sampai kering
12) Tutup kran dengan tissue towel
13) Buang tissue towel kedalam tempat sampah non infeksius

52
Gambar 2: Cara Kebersihan Tangan Dengan Air Mengalir

c. Kebersihan Tangan Bedah ada dua cara, yaitu :


1) Kebersihan tangan bedah handrub menggunakan antiseptic berbasis
alkohol 70% & chlorhexidine 0.5 %:dan lakukan cuci tangan bedah
menggunakan cairan berbasis alkohol dengan langkah sesuai WHO
(gambar 3):
a. Lepas semua perhiasan yang ada ditangan seperti cincin, jam dan
gelang
b. Gulung lengan baju hingga diatas siku
c. Tuangkan cairan antiseptic sebanyak 5 ml ketelapak tangan kiri
dengan menggunakan siku kanan
d. Celupkan ujung jari tangan kanan ke cairan antiseptic berbasis
alkohol selama 5 detik untuk mendekontaminasi bagian bawah
kuku.

53
e. Gosok lengan kanan hingga siku dengan gerakan melingkar sampai
cairan antiseptik merata
f. Tuangkan cairan antiseptik sebanyak 5 ml ketelapak tangan kanan
dengan menggunakan siku kiri
g. Celupkan ujung jari tangan kiri ke cairan antiseptic berbasis
alkohol selama 5 detik untuk mendekontaminasi bagian bawah
kuku
h. Gosok lengan kiri hingga siku dengan gerakan melingkar sampai
cairan antiseptic merata
i. Tuangkan cairan antiseptic berbasis alkohol secukupnya
j. Ratakan antiseptic pada kedua telapak tangan
k. Gosok punggung dan sela-sela jari dengan tangan kanan dan
sebaliknya
l. Gosok kedua telapak tangan dan sela sela jari tangan
m. Gosok jari-jari sisi dalam dan punggung tangan dengan jari saling
mengunci
n. Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya.

54
HANDRUB KAMAR BEDAH

Gambar 3: Cara Kebersihan Tangan Handrub Di Kamar Bedah

2) Kebersihan tangan bedah Handwash dengan menggunakan antiseptic


yang mengandung cholrhexidine 4 % pada air yang mengalir (Air RO)
berikut langkahnya (gambar 4) :
a. Buka kran air menggunakan siku tangan
b. Basahi tangan dan lengan sampai dengan 10 cm diatas siku
c. Bersihkan kuku dengan menggunakan pembersih kukudi bawah air
mengalir
d. Buka larutan antiseptic tuangkan secukupnya (5 ml)

55
e. Lumuri dan gosok seluruh permukaan tangan sampai 5 cm diatas
siku dengan cairan chlorhexidine gluconat 4% dengan gerakan
memutar kearah siku
f. Sikat kuku jari pada masing-masing tangan selama satu menit
(menggunakan sikat disposibel yang ada sponnya)
g. Buang sikat dan bilas dengan air mengalir sampai bersih (spon
tetap dipegang)
h. Gosokkan spon yang sudah ada chlorhexidine 4% dengan gerakan
memutar dari lengan telapak kea rah siku sampai ¾ lengan,
lakukan pada kedua tangan. Gunakan spon/telapak tangan jika
tidak ada spon, untuk membersihkan kedua tangan dengan urutan ;
membersihkan telapak tangan selama 15 detik, punggung tangan
15 detik. Gosok setiap jari seolah mempunyai 4 sisi, masing-
masing tangan selama 1 menit, lakukan gerakan tersebut pada
tangan satunya
i. Bilas tangan diair mengalir sampai bersih, lakukan gerakan searah
(tidak bolak-balik)
j. Ambil cairan chlorhexidine 4% dan lumuri telapak t angan sampai
pergelangan tangan
k. Lakukan gerakan kebersihan tangan prosedural enam langkah
WHO selama 1 menit
l. Setelah selesai petugas menuju ruang operasi dengan posisi siku
tetap di bawah

56
HANDWASH KAMAR BEDAH

Gambar 4: Cara Kebersihan Tangan Handwash Di Kamar Bedah

57
2. Indikasi Melakukan Hand Hygiene ( Five Moment Hand Hygiene)
a. Sebelum kontak dengan pasien
b. Sebelum tindakan aseptic
c. Setelah terkena cairan tubuh pasien
d. Setelah kontak dengan pasien
e. Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

Gambar 5: Implementasi 5 Moment Hygiene


a. Sebelum kontak dengan pasien
Kapan: saat mendekati pasien, sebelum menyentuh pasien, dilakukan di
antara kontak dengan area perawatan dan kontak dengan pasien, Contoh:
1) Sebelum berjabat tangan dengan pasien, memegang dahi pasien
2) Sebelum membantu pasien untuk pindah, ke kamar mandi, makan,
berpakaian
3) sebelum melakukan perawatan non invasif: memakaikan masker
oksigen, memberi fisioterapi
4) Sebelum melakukan pemeriksaan fisik atau non invasif: mengukur
nadi, tekanan darah, merekam EKG
b. Sebelum prosedur bersih / aseptic (Pada tubuh pasien yang berisiko
infeksi)
Kapan: segera sebelum menyentuh bagian tubuh pasien yang berisiko
infeksi. Dilakukan setelah kontak dengan area perawatan dan zona pasien

58
(termasuk pasien dan lingkungannya), dan prosedur lain yang kontak
(langsung maupun tidak langsung) dengan membrane mukosa, kulit non
intak atau alat invasif. Contoh:
1) Sebelum menyikatkan gigi pasien, meneteskan obat tetes mata,
pemeriksaan vagina atau rectal, pemeriksaan mulut, hidung, telinga
dengan atau tanpa menggunakan instrumen, melakukan suppositoria,
suction mukosa.
2) Sebelum melakukan perawatan luka dengan atau tanpa menggunakan
instrument, memberikan krim, melakukan injeksi perkutan.
3) Sebelum memasang alat invasive (Nasal kanul, NGT, ETT, Kateter
urin, drainase), membuka sirkuit pada alat invasive (untuk makanan,
drain, obat, suction).
4) Sebelum menyiapkan makanan, obat-obatan, dan benda-benda steril.
c. Setelah menyentuh cairan tubuh pasien
Kapan: Segera setelah menyentuh cairan tubuh (dan setelah melepas sarung
tangan). Contoh:
1) Setelah kontak dengan membrane mukosa dan atau kulit non intak
2) Setelah melakukan injeksi, setelah memasang alat invasif (akses vaskuler,
kateter, tube, drain, dsb) setelah membuka sirkuit pada alat invasif.
3) Setelah melepas alat invasive.
4) Setelah melakukan perawatan luka.
5) Setelah menangani sampel organik; setelah membersihkan ekskresi dan
cairan tubuh lainnya; setelah membersihkan permukaan yang
terkontaminasi (linen, instrumen, pispot, dsb
d. Setelah menyentuh pasien
Kapan: Setelah menyentuh pasien, sebelum menyentuh lingkungan di area
perawatan Contoh:
1) Setelah berjabat tangan dengan pasien, memegang dahi pasien
2) Setelah membantu pasien pindah, ke kamar mandi, makan, berpakaian
dsb
3) Setelah melakukan perawatan non invasif: mengganti bed linen
sementara pasien tidak pindah, memakaikan masker oksigen, memberi
fisioterapi

59
4) Setelah melakukan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan non invasif:
mengukur nadi, tekanan darah, merekam EKG.
e. Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien
Kapan : Setelah menyentuh objek apapun atau furniture di sekitar pasien
(tanpa menyentuh pasien) sebelum menyentuk objek di area perawatan.
Contoh:
1) Setelah aktifitas pemeliharaan: mengganti bed linen dan pasien pindah
dari tempat tidur, memegang roda tempat tidur, membersihkan meja
pasien
2) Setelah aktifitas perawatan: mengatur kecepatan perfusi, membersihkan
alat monitoring pasien
3) Setelah kontak lain dengan objek (yang seharusnya dapat dihindari)
4) Hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukan hand hygiene
5) Kuku harus dijaga tetap pendek, tidak lebih dari 3 mm melebihi ujung
jari,karena kuku yang panjang baik yang alami maupun buatan dapat
berperan sebagai reservoir bakteri gram negatif (Psudomonas
aeruginosa), jamur dan patogen lain serta lebih mudah melubangi sarung
tangan
6) Bila jelas terlihat kotor/terkontaminasi oleh bahan yang mengandung
protein, tangan harus dicuci dengan antiseptik Chlorhexidine dan air
mengalir
7) Bila tangan tidak tampak kotor atau terkontaminasi, dapat digunakan
antiseptik berbahan dasar alkohol atau alkohol dan chlorhexidine 0.5%
8) Pastikan tangan kering sebelum melakukan kegiatan.

3. Penetapan Penggunaan Cairan Antiseptic Untuk Cuci Tangan


Cairan antiseptik untuk cuci tangan yang digunakan di RS Restu Ibu didasarkan
atas kriteria risiko, yaitu:
Nurse station dilengkapi dengan wastafel, cairan antiseptik cuci tangan
chlorhexsidine 2% - 4 %, tempat sampah non infeksius dan tissue towel.
a. Untuk area Highrisk
 Hand Wash menggunakan chlorhexidine 4 %;
 Hand Rub menggunakan cairan antiseptic berbasis alkohol 70% &
chlorhexidine 0,5%

60
b. Untuk area perawatan biasa
 Hand wash menggunakan chlorhexidine 2% - 4%
 hand Rub menggunakan cairan antiseptic berbasis alkohol 70% atau
berbasis alkohol 70% & Chlorhexidine 0,5%
c. Untuk perkantoran
 Hand Wash menggunakan sabun antiseptik biasa atau yang berbasis
chlorhexidine
 Hand Rub menggunakan cairan antiseptic berbasis alkohol 70 % atau
berbasis alkohol 70 % & chlorhexidine 0,5 %;

4. Pendistribusian Cairan Antiseptik Cuci Tangan


Pendistribusian cairan antiseptik cuci tangan maupun cairan berbahan dasar
alkohol dilaksanakan oleh Instalasi Farmasi, sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI).
Permintaan alkohol handrub sesuai perencanaan kebutuhan satuan kerja
diambil ke Instalasi Farmasi. Cairan antiseptik Chlorhexidine dilakukan
pengisian ulang dimana botol yang dipakai harus dicuci dan dikeringkan
kemudian disterilkan menggunakan ozone baru diisi kembali.

5. Monitoring Kepatuhan Hand Hygiene Dan Pelaporan


a. Monitoring kepatuhan hand hygiene
Dilakukan oleh infection prevention control link nurse (IPCLN) unit kerja
masing-masing setiap saat sesuai dengan five moment, dan oleh IPCN
melalui audit kepatuhan terhadap five moment pelaksanaan hand hygiene.
Hasil monitoring dilaporkan ke Komite Mutu sebagai monitoring indikator
sasaran keselamatan pasien.
b. Monitoring dan evaluasi sarana dan prasarana
Monitoring dan evaluasi kelengkapan sarana dan prasarana hand hygiene
di seluruh satuan kerja dilakukan oleh KPPI, dengan menggunakan
formulir pemantauan sarana prasarana yang diisi oleh IPCN.
Pelaporan kepada Direktur Utama dan umpan balik hasil monitoring dan
evaluasi ke satuan kerja dilakukan setiap tahun oleh Komite PPI.

61
b. PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD)
Pemakaian APD yang tepat menjadi sangat penting. Sebagai konsekuensinya
pengelola rumah sakit, penyedia dan petugas kesehatan harus mengetahui tidak
hannya kegunaan dan keterbatasan dari APD tertentu, tetapi juga peran APD
sesungguhnya dalam mencegah penyakit infeksi sehingga dapat di gunakan
secara efektif dan efisien. Alat pelindung diri (APD) sebagai barrier telah
digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme
yang ada pada petugas kesehatan. Namun saat ini pemakaian APD tidak hanya
berorentasi untuk melindungi pasien saja tetapi sangat penting juga untuk
melindungi petugas dari bahan yang dapat menjadi transmisi infeksi dari cairan
tubuh, secret dan kontak.
Tujuan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
a. Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari petugas ke pasien, pasien
ke pasien dan petugas ke pengunjung.
b. Menjelaskan ke semua petugas, pasien dan pengunjung dalam menerapkan
penggunaan alat pelindung diri (APD) secara efektif dan efisien selama berada
dilingkungan rumah sakit.
c. Untuk mengidentifikasi tingkat kepatuhan semua petugas dan pengunjung
dalam hal penggunaan alat pelindung diri (APD).
d. Mengajak dan menggerakkan seluruh sumber daya manusia di RS untuk
menerapkan APD yang benar.
Tata Laksana :
1. Pedoman Umum Alat Pelindung Diri
a. Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD
b. Lepas dan rusak atau sobek, segera setelah diketahui APD tersebut tidak
berfungsi optimal
c. Lepaskan semua APD sesegara mungkin setelah selesai memberikan
pelayanan dan hindari kontaminasi, lingkungan di luar ruang isolasi, para
pasien atau pekerja lain atau diri sendiri
d. Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera bersihkan
tangan
e. Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh atau area terkontaminasi sebelum
melakukan kegiatan perawatan kesehatan

62
f. Pilih APD sesuai dengan perkiraan risiko terjadi pajanan
g. Menyediakan sarana APD bila emergensi dibutuhkan untuk dipakai.
2. Jenis – Jenis Alat Pelindung Diri
a. Sarung tangan
b. Masker
c. Alat pelindung mata
d. Topi
e. Gaun pelindung
f. Apron / Celemek
g. Pelindung kaki

a. Sarung Tangan
Sarung tangan dapat melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan
penyakit dan melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada di
tangan petugas kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier)
fisik paling penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan
harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya,
untuk menghindari kontaminasi silang.
Hal yang perlu di perhatikan :
a) Meskipun efektifitas pemakaian sarung tangan dalam mencegah
kontaminasi dari petugas kesehatan telah terbukti (Tenorioetal.2001),
tetapi pemakaian sarung tangan tidak menggantikan kebutuhan untuk
mencuci tangan. Sebab sarung tangan bedah lateks dengan kualitas
terbaik sekalipun, mungkin mengalami kerusakan kecil yang tidak
terlihat, sarung tangan mungkin robek pada saat digunakan atau tangan
terkontaminasi pada saat melepas sarung tangan (Bagg, Jenkins dan
Barker 1990; Davis 2001).
b) Penggunaan sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan
komponen kunci dalam meminimalkan penyebaran penyakit dan
mempertahankan lingkungan bebas infeksi (Garner, Favero 1986).
c) Pemahaman mengenai kapan sarung tangan steril atau disinfeksi
tingkat tinggi diperlukan dan kapan sarung tangan tidak perlu

63
digunakan, penting untuk diketahui agar dapat menghemat biaya
dengan tetap menjaga keamanan pasien dan petugas.
d) Sebelum memakai sarung tangan dan setelah melepas sarung tangan
lakukan kebersihan tangan menggunakan antiseptik cair atau handrub
berbasis alkohol.
Tiga kesempatan petugas perlu memakai sarung tangan:
(1) Ada kemungkinan kontak tangan dengan darah atau cairan tubuh
lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas.
(2) Melakukan prosedur medis yangbersifat invasif misalnya
menusukkan sesuatu ke dalam pembuluh darah, seperti memasang
infus.
(3) Menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi
atau menyentuh permukaan yang tercemar
e) Menerapkan Kewaspadaan
Berdasarkan penularaan melalu kontak (yang diperlukan pada kasus
penyakit menular melalui kontak yang telah diketahui atau dicurigai).
yang mengahruskan petugas kesehatan menggunakan sarung tangan
bersih, tidak steril ketika memasuki ruang pasien.
Petugas harus melepas sarung tangan sebelum meninggalkan ruang
pasien, dan mencuci tangan dengan air dan sabun atau dengan handrub
berbasis alkohol, satu pasang sarung tangan digunakan untuk satu
pasien, sebagai upaya untuk menghindari kontaminasi silang
(CDC,1987).
Pemakaian sepasang sarung tangan yang sama atau mencuci tangan
yang masih bersarung tangan, ketika berpindah dari satu pasien ke
pasien ke pasien lain atau ketika melakukan perawatan di bagian tubuh
yang kotor kemudian berpindah ke bagian tubuh yang bersih, bukan
merupakan praktek yang aman. Doebbeling dan Colleagues (1988)
menemukan bakteri dalam jumlah bermakna pada tangan petugas yang
hanya mencuci tangan dalam keadaan masih memakai sarung tangan
dan tidak mengganti sarung tangan ketika berpindah dari satu pasien
ke pasaien lain.

64
(1) Jenis-Jenis Sarung Tangan
(a) Sarung tangan bersih
(b) Sarung tangan steril
(c) Sarung tangan rumah tangga
(2) Hal yang harus diperhatikan pada pemakaian sarung tangan :
(a) Gunakan sarung tangan dengan ukuran yang sesuai, khususnya
untuk sarung tangan bedah. Sarung tangan yang tidak sesuai
dengan ukuran tangan dapat mengganggu ketrampilan dan
mudah robek.
(b) Jaga agar kuku selalu pendek untuk menurunkan risiko sarung
tangan robek.
(c) Tarik sarung tangan ke atas manset gaun (jika anda
memakainya) untuk melindungi pergelangan tangan.
(d) Gunakan pelembab yang larut dalam air (tidak mengandung
lemak) untuk mencegah kulit tangan kering/berkerut.
(e) Jangan gunakan lotion atau krim berbasis minyak, karena akan
merusak sarung tangan bedah maupun sarung tangan periksa
(lateks).
(f) Jangan menggunakan cairan pelembab yang mengandung
parfum ka rena dapat menyebabkan iritasi pada kulit.
(g) Jangan menyimpan sarung tangan di tempat dengan suhu yang
terlalu panas atau terlalu dingin misalnya di bawah sinar
matahari langsung, di dekat pemanas, AC, cahaya ultraviolet,
cahaya fluoresen atau mesin Rontgen, karena dapat merusak
bahan sarung tangan sehingga mengurangi efektifitasnya
sebagai pelindung.
(3) Reaksi Alergi Terhadap Sarung Tangan
Reaksi alergi terhadap sarung tangan lateks semakin banyak
dilaporkan oleh berbagai petugas difasilitas kesehatan, termasuk
bagian rumah tangga, petugas laboratorium dan dokter gigi. Jika
memungkinkan, sarung tangan bebas lateks (nitril )atau sarung
tangan lateks rendah alergen harus digunakan, jika ada kecurigaan
alergi (reaksi alergiterhadapnitril jugaterjadi,tetapi lebih jarang).

65
Selain itu, pemakaian sarung tangan bebas bedak juga
direkomendasikan. Sarung tangan dengan bedak dapat
menyebabkan reaksi lebih banyak, karena bedak pada sarung
tangan membawa partikel lateks keudara. Jika hal ini tidak
memungkinkan, pemakaian sarung tangan kain atau vinil dibawah
sarung tangan lateks dapat membantu mencegah sensitifitas kulit.
Meskipun demikian, tindakan ini tidak akan dapat mencegah
sensitifitas pada membran nemukosa mata dan hidung.(Garner dan
HICPAC,1996). Pada sebagian besar orang yang sensitive, gejala
yang muncul adalah warna merah pada kulit, hidung berair dan
gatal-gatal pada mata, yang mungkin berulang atau semakin parah
missalnya menyebabkan gangguan pernapasan seperti asma.
Reaksi alergi terhadap lateks dapat muncul dalam waktu 1 bulan
pemakaian. Tetapi pada umumnya reaksi baru terjadi setelah
pemakaian yang lebih lama, sekitar 3–5tahun, bahkan sampai 15
tahun (Baumann,1992), meskipun pada orang yang rentan. Belum
ada terapi atau desentisasi untuk mengatasi alergi lateks, satu-
satunya pilihan adalah menghindari kontak.

b. Masker
Masker harus cukup besar untuk menutup hidung, mulut, bagian
bawah dagu, dan rambut pada wajah(jenggot). Masker dipakai untuk
menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau petugas
bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan darah
atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan.
Bila masker tidak terbuat dari bahan tahan cairan, maka masker tersebut
tidak efektif untuk mencegah kedua hal tersebut. Masker yang ada, terbuat
dari berbagai bahan seperti katun ringan, kain kasa, kertas dan bahan
sintetik yang beberapa diantaranya tahan cairan. Masker yang dibuat dari
katun atau kertas sangat nyaman tetapi tidak dapat menahan cairan atau
efektif sebagai filter. Masker yang dibuat dari bahan sintetik dapat
memberikan perlindungan dari tetesan partikel berukuran besar (>5μm)
yang tersebar melalui batuk atau bersin ke orang yang berada didekat

66
pasien (kurang dari 1 meter). Namun masker bedah terbaik sekalipun tidak
dirancang untuk benar-benar menutup secara erat (menempel sepenuhnya
pada wajah) sehingga mencegah kebocoran udara pada bagian tepinya.
Dengan demikian, masker tidak dapat secara efektif menyaring udara yang
dihisap. Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang
digunakan harus dapat mencegah partikel mencapai membran emukosa
dari petugas.

Gambar 6: Masker Bedah


Ketika melepas masker, pegang bagian talinya, karena bagian tengahnya
merupakan bagian yang paling banyak terkontaminasi (Rothrock,McEwen
dan Smith 2003).
a) Masker Dengan Efisiensi Tinggi
Masker dengan efisiensi tinggi merupakan jenis masker khusus
yang direkomendasi-kan bila penyaringan udara dianggap penting,
misalnya pada perawatan seseorang yang telah diketahui atau dicurigai
menderita flu burung atau SARS.
Masker dengan efisiensi tinggi misalnya N-95 melindungi dari
partikel dengan ukuran <5 mikron yang dibawa oleh udara. Pelindung
ini terdiri dari banyak lapisan bahan penyaring dan harus dapat
menempel dengan erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Di sisi
lain,pelindung ini juga lebih mengganggu pernapasan dan lebih mahal
dari pada masker bedah. Sebelum petugas memakai masker N-95 perlu
dilakukan fittest untuk menjamin bahwa perangkat tersebut pas dengan
benar pada wajah pemakainya.

67
Gambar 7: Masker Efisiensi Tinggi N-95
Masker, goggle dan visor melindungi wajah dari percikan darah.
Untuk melindungi petugas dari infeksi saluran napas maka diwajibkan
mengenakan masker sesuai aturan standar. Pada fasilitas kesehatan
yang memadai, petugas dapat memakai respirator sebagai pencegahan
saat merawat pasien multidrug resistance (MDR) atau extremely drug
resistance (XDR) TB.
b) Pemakain Masker Efisiensi Tinggi
Petugas Kesehatan harus memeriksa sisi masker yang menempel
pada wajah untuk melihat apakah lapisan utuh dan tidak cacad. Jika
bahan penyaring rusak atau kotor, buang masker tersebut. Selain itu,
masker yang ada keretakan, terkikis, tepotong atau terlipat pada sisi
dalam masker, juga tidak dapat digunakan. Memeriksa tali-tali masker
untuk memastikan tidak terpotong atau rusak. Tali harus menempel
dengan baik disemua titik sambungan. Memastikan bahwa klip hidung
yang terbuat dari logam (jika ada) berada pada tempatnya dan berfungsi
dengan baik.
c) Fittest Untuk Masker Efisiensi Tinggi
Fungsi masker akan terganggu / tidak efektif, jika masker tidak dapat
melekat secara sempurna pada wajah, seperti pada keadaan dibawah
ini:
(1) Adanya janggut, cambang atau rambut yang tumbuh pada wajah
bagian bawah atau adanya gagang kacamata.
(2) Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.
(3) Apabila klip hidung dari logam dipencet/dijepit, dapat
menyebabkan kebocoran. Ratakan klip diatas hidung tersebut

68
setelah memasang masker, menggunakan kedua telunjuk dengan
cara menekan dan menyusuri bagian atas masker.
(4) Jika mungkin, dianjurkan fittest dilakukan setiap saat sebelum
memakai masker efisiensi tinggi
d) Cara Fittest Respirator Particulat
(1) Langkah 1
Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan
bagian hidung pada ujung jari-jari Anda, biarkan tali pengikat
respirator menjuntai bebas dibawah tangan Anda.
(2) Langkah 2
Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung
berada diatas.
(3) Langkah 3
 Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali
agak tinggi dibelakang kepala Anda diatas telinga.
 Tariklah tal ipengikat respirator yang bawah dan posisikan tali
dibawah telinga.
(4) Langkah 4
 Letakkan jari-jari kedua tangan Anda diatas bagian hidung
yang terbuat dati logam.
 Tekan sisi logamt ersebut (gunakan dua jari dari masing-
masing tangan) mengikuti bentuk hidung Anda. Jangan
menekan respirator dengan sapu tangan karena dapat
mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif.
(5) Langkah 5
Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, hati-hati agar
posisi respirator tidak berubah.
Langkah Pemeriksaan Segel positif :
(a) Hembuskan napas kuat-kuat
(b) Tekanan positif didalam respirator menandakan tidak ada
kebocoran

69
(c) Bila ada kebocoran atur posisi dan / atau ketegangan tali. Uji
kembali kerapatan respirator. Ulangi langkah ini, sampai
respirator benar-benar tertutu prapat.
Langkah Pemeriksaan Segel Negative :
(a) Tarik napas dalam-dalam
(b) Bila tidak ada kebocoran, tekanan negative akan membuat
respirator menempel kewajah
(c) Kebocoran menyebabkan hilangnya tekanan negative di dalam
respirator akibat udara masuk melalui celah-celah pada segelnya.
e) Kewaspadaan
Beberapa masker mengandung komponen lateks dan tidak bias
digunakan oleh individu yang alergi terhadap lateks. Petugas harus
diberi cukup waktu untuk menggunakan dan melepaskan masker
dengan baik sebelum bertemu dengan pasien
c. Alat Pelindung Mata
Alat pelindung mata melindungi petugas dari percikandarah atau
cairan tubuh lain dengan cara melindungi mata. Pelindung mata mencakup
kacamata (goggles) plasticbening, kacamata pengaman, pelindung wajah
dan visor. Kacamata koreksi atau kacamata dengan lensa polos juga dapat
digunakan, tetapi hanya jika ditambahkan pelindung pada bagian sisi
mata. Petugas kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata
atau pelindung wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya
percikan cairan secara tidak sengaja kearah wajah. Bila tidak tersedia
pelindung wajah, petugas kesehatan dapat menggunakan kacamata
pelindung atau kacamata biasa serta masker.

Gambar 8: Alat Pelindung Mata

d. Topi
Digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan
kulit dan rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan. Topi
70
harus cukup besar untuk menutup semua rambut. Meskipun topi dapat
memberikan sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi tujuan utamanya
adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang
terpercik atau menyemprot.

Gambar 9: Pelindung Kepala

e. Gaun Pelindung
Digunakan untuk menutupi atau mengganti pakaian biasa atau seragam
lain, pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita
penyakit menular melalui droplet/airborne. Pemakaian gaun pelindung
terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari
sekresi respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus
mengenakan gaun pelindungsetiap memasuki ruangan untuk merawat
pasien karena ada kemungkinan terpercik atau tersemprot darah, cairan
tubuh, sekresi atau ekskresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi ujung
lengan gaun sepenuhnya.Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area
pasien. Setelah gaun dilepas, pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak
kontak dengan bagian yang potensial tercemar, lalu cuci tangan segera
untuk mencegah berpindahnya kuman. Kontaminasi pada pakaian yang
dipakai saat bekerja dapat diturunkan 20-100x dengan memakai gaun
pelindung. Perawat yang memakai apron plastic saat merawat pasien
bedah abdomen dapat menurunkan transmisi Stafilokokus aureus 30x
dibandingkan perawat yang memakai baju seragam dan ganti tiap hari.

f. Apron
Apron yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang
tahan air untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan
(Gambar5). Petugas kesehatan harus mengenakan apron di bawah gaun
penutup ketika melakukan perawatan langsung pada pasien,
71
membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada risiko
tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi. Hal ini penting jika gaun
pelindung tidak tahan air. Apron akan mencegah cairan tubuh pasien
mengenai baju dan kulit petugas kesehatan.

Gambar 10: Apron

g. Pelindung Kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau
benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja keatas kaki. Oleh
karena itu, sandal jepit atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain)
tidak boleh dikenakan. Sepatu boot karet atau sepatu kulit tertutup
memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga tetap bersih
dan bebas kontaminasi darah atau tumpahancairan tubuh
lain.Penutupsepatu tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan
terhadap benda tajam atau kedap air harus tersedia dikamar bedah. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain atau kertas dapat
meningkatkan kontaminasi karena memungkinkan darah merembes
melalui sepatu dan seringkali digunakan sampai diluar ruang operasi.
Kemudian dilepas tanpa sarung tangan sehingga terjadi pencemaran
(summer setal 1992)

Gambar 11: Pelindung Kaki

72
3. Faktor-Faktor Penting Pada Pemakaian APD
a. Kenakan APD sebelum kontak dengan pasien,umumnya sebelum
memasuki ruangan
b. Gunakan dengan hati-hati, jangan menyebarkan kontaminasi.
c. Lepasdan buang secara hati-hati ketempat limbah infeksius yang telah
disediakan di ruangganti khusus.Lepas masker diluar ruangan
d. Segera lakukan pembersihan tangan dengan langkah-langkah
membersihan kantangan sesuai pedoman
4. Cara Memakai dan Melepas APD
a. Langkah-langkah mengenakan APD di Ruang Rawat Isolasi Kontak &
Airborne adalah sebagai berikut :
1) Kenakan baju kerja sebagai lapisan pertama pakaian pelindung.
2) Kenakan pelindung kaki
3) Kenakan sepasang sarung tangan pertama
4) Kenakan gaun luar
5) Kenakan celemek plastik
6) Kenakan sepasang sarung tangan kedua
7) Kenakan masker
8) Kenakan penutup kepala
9) Kenakan pelindung mata
b. Langkah-langkah melepaskan APD di Ruang Rawat Isolasi Kontak dan
Airborne adalah sebaga iberikut :
1) Disinfeksi sepasang sarung tangan bagian luar
2) Disinfeksi celemek dan pelindung kaki
3) Lepaskan sepasang sarung tangan bagian luar
4) Lepaskan celemek
5) Lepaskan gaun bagian luar
6) Disinfeksi tangan yang mengenakan sarung tangan
7) Lepaskan pelindung mata
8) Lepaskan penutup kepala
9) Lepaskan masker
10) Lepaskan pelindung kaki
11) Lepaskan sepasang sarung tangan bagian dalam
12) Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir bersih
73
5. Prinsip-Prinsip PPI Yang Diperhatikan Pada Pemakaian APD
a. Gaun Pelindung
1) Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian
pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung
2) Ikat dibagian belakang leher dan pinggang

Gambar 12: Cara Menggunakan Gaun Pelindung


b. Masker
1) Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher
2) Paskan klip hidung dari logam fleksibel pada batang hidung
3) Paskan dengan erat pada wajah dan dibawah dagu sehingga melekat
dengan baik
4) Periksa ulang pengepasan masker

Gambar 13: Cara Menggenakan Maske


c. Kaca Mata Dan Pelindung Wajah
1) Pasang pada wajah dan mata,sesuaikan agar pas

Gambar 14: Cara Memasang Kaca Mata

74
2) Ingatlah bahwa bagian luar kacamata atau pelindung wajah telah
terkontaminasi
3) Untuk melepasnya, pegang kareta tau gagang kacamata.
4) Letakkan diwadah yang telah disediakan untuk diproses ulang atau
dalam tempat limbah infeksius

Gambar 15: Cara Melepas kaca Mata Dan Pelindung Wajah


d. Sarung Tangan
1) Tarik hingga menutupi bagian pergelangan tangan gaun

Gambar 16: Cara Memasang Sarung Tangan


2) Cara melepas sarung tangan
Hal-hal yang perlu diingat mengenai sarung tangan adalah:
(1) Bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi
(2) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainya dan
lepaskan
(3) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan
tangan yang masih memakai sarung tangan
(4) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di
bawah sarung tangan yang belum dilepas dipergelang antangan
(5) Lepaskansarung tangan diatas sarung tangan pertama
(6) Buang sarung tangan ditempat limbah infeksius

75
Gambar 16: Cara Melepas Sarung Tangan

e. Gaun Pelindung
1) Ingatah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah
terkontaminasi
2) Lepas tali
3) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun
pelindung saja
4) Balik gaun pelindung
5) Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah yang telah
disediakan untuk diproses ulang atau buang ditempat limbah infeksius

Gambar 17: Cara Melepas Gaun Pelindung

f. Masker
1) Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi–
JANGAN SENTUH!
2) Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali atau karet bagian
atas
3) Buang ketempat limbah infeksius
g. Monitoring
Monitoring penggunaan Alat Pelindung Diri dilakukan dengan
observasi saat melakukan suatu prosedur oleh IPCLN atau IPCN.

76
Dilakukan Audit kepatuhan kelengkapan penggunaan alat pelindung
diri dalam suatu prosedur setiap 3 bulan.

c. PENGOLAHAN LIMBAH DAN BENDA TAJAM


Limbah rumah sakit adalah limbah yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan
rumah sakit. Limbah terbanyak adalah limbah infeksius yang memerlukan
penanganan khusus. Diharapkan seluruh staf dan masyarakat rumah sakit
mengetahui dan menerapkan prosedur penanganan dengan jelas dan sesuai
kaidah yang ditetapkan. Limbah rumah sakit harus dikendalikan karena limbah
merupakan sumber penularan penyakit infeksi. Untuk menerapkan prosedur
penanganan limbah perlu dukungan pihak manajemen Rumah Sakit
a. Tujuan pengendalian limbah
1) Melindungi pengelola limbah dari cedera yang tidak disengaja
2) Mencegah penyebaran infeksi ke pasien, personil rumah sakit, petugas
pengelola limbah dan masyarakat sekitar
3) Dengan pengendalian limbah yang baik dan benar akan meningkatkan citra
rumah sakit, dan juga dapat mengurangi biaya yang tinggi, dan pasien serta
masyarakat sekitar rumah sakit merasa aman dan nyaman.
b. Ruang lingkup penanganan limbah meliputi:
1) Klasifikasi limbah
2) Persyaratan tempat/wadah limbah
3) Pemisahan limbah
4) Pengemasan dan pelabelan limbah
5) Alur transportasi dan Waktu pengangkutan Limbah
6) Pengumpulan, pengemasan dan pengangkutan limbah ke luar RS
7) Pengolahan dan pemusnahan limbah
8) Berusaha melakukan kerja sama pihak ketiga untuk daur ulang
Tata Laksana :
1. Jenis Limbah Rumah Sakit
a. Limbah Padat
1) Limbah B3 Medis
a) Limbah Benda Tajam adalah semua benda yang mempunyai
permukaan tajam dan dapat melukai atau memotong jaringan
permukaan kulit atau bagian tubuh sehingga menyebabkan luka.
77
Jarum suntik, pisau cukur, stilet, pecahan ampul, objek gelas,
sampah yg memiliki permukaan/ujung yg tajam, Benda tajam yang
terkontaminasi cairan tubuh pasien mis: spuit dengan jarum,
surgikal blades, pecahan ampul.
b) Limbah Infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme
pathogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organisme
tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan
penyakit pada manusia rentan ( segala limbah yang berkaitan
dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular dan
limbah laboratorium dengan pemeriksaan mikrobiologi dari
poliklinik dan ruang perawatan / isolasi penyakit menular.
c) Limbah Patologi adalah limbah yang berasal dari pasien berupa
jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta,darah dan cairan
tubuh lain yang dibuang saat tindakan, pembedahan atau autopsy.
2) Limbah B3 Non Medis
a) Limbah Farmasi adalah limbah yang berasaldari instalasi farmasi
berupa obat kadaluarsa, obar yang dibuang (terkontaminasi), sisa
peracikan dan sisa pembuatan obat.
b) Limbah Bahan Kimia adalah limbah yang berasal dari
penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterinary,
laboratorium, sterilisasi dan riset.
c) Limbah B3 lainnya seperti limbah lampu, batu baterei, tinta
printer, oli, cairan developer, dsb.
3) Limbah Non B3
Adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang tidak
mengandung virus, penyakit menular, dan tidak mengandung logam
berat lainnya. Contohnya plastic bungkus makanan, daun kering, sisa
makanan, dsb
b. Limbah Cair
Adalah semua air buangan yang termasuk tinja yang berasal dari kegiatan
rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.

78
c. Limbah Gas
Adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan
pembakaran di rumah sakit seperti incinerator, dapur, perlengkapan
generator, anestesi, dan pembuatan obat citotoksik.
2. Penanganan Limbah
a. Minimisasi Limbah
Minimisasi limbah adalah suatu langkah meminimalkan produksi limbah
dengan cara mereduksi dari sumber penghasil limbah, mengawasi
penggunaan bahan – bahan yang dapat memperbanyak produksi limbah
b. Pemilihan dan Pewadaan Limbah
1) Pemilahan limbah dilakukan mulai dari sumber penghasil
2) Limbah benda tajam dipisahkan sendiri ke dalam wadah tanpa
memperhatikan terkontaminasi atau tidaknya, dan harus menggunakan
wadah yang anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka
3) Limbah dipisahkan berdasarkan karakteristiknya menggunakan
kantung plastik yang kuat, tidak mudah bocor, lentur dan yang berbeda
warna,
a. Kuning : untuk limbah infeksius, patologi dan anatomi
b. Hitam : untuk limbah domestik / Non B3
c. Coklat : untuk limbah farmasi
3. Palebelan Limbah
Pelabelan limbah dilakukan untuk mengetahui sumber limbah berasal dan
waktu pengemasan, sehingga mempermudah petugas dalam mengelola limbah.
Pelabelan limbah berisi jenis limbah, sumber penghasil, waktu pengemasan,
nama operator.
4. Pengumpulan, Pengangkutan, dan Penyimpanan Limbah
a. Limbah harus ditempatkan di tempat sampah yang memenuhi syarat,
yaitu: kuat, ringan, tahan karat, mudah dibersihkan, kedap air, berpenutup,
dan merupakan tempat sampah
b. Tempat sampah yang berada di ruangan dilakukan pencucian minimal 1
minggu sekali dan lebih jika tempat sampah terkontaminasi atau kotor
c. Jarak antar tempat sampah adalah 10 – 20 meter

79
d. Sampah di ruangan pasien dikemas sebelum penuh, yaitu setiap ¾ kantung
plastik, dilakukan ikat kepang, diberi label dan dipindahkan ke TPS
ruangan dengan memegang leher plastik
e. Tidak diperbolehkan membuaka ikatan kantung plastic atau melakukan
pemilahan kembali limbah yang sudah berada di kantung plastik
f. Sampah/limbah padat yang berada di TPS ruangan diangkut ke TPS LB3
rumah sakit sehari sebanyak 3 kali, yaitu pada jam:
 Pagi : Jam 06.00 - 07.00 WIB
 Siang : Jam 13.00 - 14.00 WIB
 Malam : Jam 18.00 - 19.00 WIB
5. Pengumpulan, Pengemasan dan Pengangkutan ke Luar RS
a. Limbah padat dari semua ruangan di rumah sakit dikumpulkan di TPS
rumah sakit
b. Limbah di TPS dikumpulkan di tempat terpisah sesuai dengan karakteristk
dan jenisnya
c. Sistemetika pengumpulan limbah di TPS:
1) Limbah dari TPS ruangan diangkut ke TPS sentral rumah sakit
menggunakan wheel bins
2) wheel bins yang digunakan adalah wheel bins yang tertutup, beroda
dan teripsah antara sampah infeksius dan non infeksius
3) Limbah sampai di TPS rumah sakit dilakukan penimbangan dan
pencatatan oleh cleaning service, kemudian dimasukkan ke dalam
wheel bins yang sudah tersedia di TPS
4) Segera tutup kembali wheel bins setelah limbah dimasukkan
5) Limbah benda tajam dan jerigen tidak dimasukkan ke dalam wheel
bins tetapi diletakkan di TPS benda tajam dan jerigen
6) TPS dibersihkan setiap hari setelah pengumpulan limbah selesai
dilakukan
7) Limbah infeksius diangkut oleh pihak ke 3 setiap 48 jam
8) Limbah domestic diangkut setiap hari sekali
9) Setelah limbah diangkut wheel bins dicuci
10) TPS limbah B3 harus selalu dalam keadaan tertutup

80
6. Pengolahan dan Pemusnahan Limbah
Pengolahan dan pemusnahan limbah RS Restu Ibu Balikpapan dilakukan oleh
pihak ke 3 baik limbah medis, maupun non medis. Untuk limbah domestic
pengolahan akhir dilakukan di TPA setempat.
7. Petugas Kebersihan
a. Semua petugas penanganan limbah harus pernah mendapat sosialisasi
dalam Pencegahan Pengendalian Infeksi
b. Semua petugas yang menangani limbah harus menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD)
c. Semua kejadian kecelakaan dalam penanganan limbah harus di catat, di
tindak lanjuti & diketahui atasan yang bersangkutan.
8. Penanganan Limbah Cairan Tubuh, Faeces, Sisa Obat dan Darah
a. Cairan tubuh dan darah : spoelhoek
b. Secreta : spoelhoek
c. Sisa Cairan Infus : spoelhoek
d. Sisa obat cair : spoelhoek
e. Feces dan urine : ke dalam closet lalu gelontor dengan banyak air/air yang
mengalir, hindari cipratan dengan menggunakan jarak yang aman
9. Syarat Penampungan Benda Tajam
a. Tahan bocor dan tahan tusukan.
b. Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu tangan
c. Mempunyai penutup yang tidak bisa dibuka kembali
d. Ditutup dan diganti setelah teris 3/4 bagian
e. Lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
10. Strategi Pencegahan Resiko Infeksi / Kecelakaan Kerja
a. Gunakan baki/ bengkok bila memberikan benda tajam
b. Pendidikan & latihan
c. Gunakan APD sesuai jenis tindakan
d. Jangan memanipulasi jarum bekas pakai
e. Tidak menyarungkan kembali jarum yang telah dipakai
f. Segera buang jarum bekas pakai pada kontainer yang telah disediakan.
Jangan pernah memberikan jarum bekas pakai kepada orang untuk
dibuang

81
g. Buang kontainer jarum jika sudah ¾ penuh, segera tutup jangan
membiarkan jarum keluar, buang sampah sesuai pada tempatnya (ke
dalam limbah infeksius)
h. Jaga kebersihan lingkungan
i. Jaga permukaan lantai tetap kering
j. Lepaskan jarum memakai alat yang tepat,atau buang jarum bersama
syringe.
k. Semua petugas pembersih menyadari dan memahami tata cara penanganan
limbah.
11. Monitoring dan Dokumentasi
a. Monitoring
Penanganan limbah rumah sakit perlu diadakan monitoring agar limbah
sebagai hasil aktifitas ruangan tidak mencemari lingkungan. Monitoring
meliputi saat
pemilahan, pengumpulan, pengemasan, pengangkutan dari ruangan
sampai dengan saat pengangkutan ke TPS, serta saat penimbangan dan
pengangkutan oleh pihak ketiga.
b. Dokumentasi
Dokumentasi dan pencatatan dilakukan oleh intalasi kesehatan lingkungan

d. PENGENDALIAN LINGKUNGAN
Lingkungan sarana kesehatan jika tidak dipelihara dengan baik dan benar
dapat menjadi sarana transmisi penyakit, khususnya pada pasien
imunokompromais. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pengendalian
lingkungan rumah sakit seperti ruang bangunan, ventilasi, kebersihan dan lain
lain. Untuk mencegah infeksi akibat lingkungan dapat diminimalkan dengan
pembersihan lingkungan, disinfeksi permukaan yang terkontaminasi oleh darah
dan cairan tubuh pasien, mempertahankan mutu air bersih dan mempertahankan
ventilasi udara.
a. Tujuan Pengendalian Lingkungan
1) Meminimalkan atau mencegah terjadinya transmisi mikroorganisme dari
lingkungan kepada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat di sekitar
sarana kesehatan sehingga infeksi nosokomial dapat di cegah

82
2) Menciptakan lingkungan bersih aman dan nyaman
3) Mencegah terjadinya kecelakaan kerja
b. Ruang Lingkup Pengendalian Lingkungan Meliputi:
1) Struktur bangunan
a) Dinding dan langit-langit
b) Lantai
c) Furniture
d) Fixture & Fitting
e) Gorden
2) Lingkungan
a) Udara
b) Sistem ventilasi
c) Air
d) Permukaan lingkungan
e) Pakaian kotor dan bedding (sprei, selimut, sarung bantal)
f) Binatang
g) Penanganan sampah

Tata Laksana :
1. Struktur Bangunan
2. Dinding dan Langit – Langit
Sebaiknya dinding dibuat rata dan kedap air sehingga mudah dibersihkan
secara periodik dengan jadwal yang tetap 6 – 1 tahun sekali, cat dinding
berwarna terang, mudah dibersihkan dan tidak luntur. Langit langit berwarna
terang mudah dibersihkan, tinggi minimal 2,7 meter dari lantai.
3. Lantai
Sebaiknya halus, kedap air, tidak bergelombang, tidak licin berwarna terang,
sehingga mudah dibersihkan secara rutin 2 kali sehari atau kalau perlu, tidak
bernat sehingga tidak menyimpan debu, pertemuan lantai dan dinding harus
berbentuk lengkung agar mudah dibersihkan.
4. Furniture Mebel
Dibersihkan secara rutin setiap hari, khusus tempat tidur pasien gunakan
disinfektan, tidak menggunakan bahan yang dapat menyimpan debu,

83
sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dari debu, tumpahan
air, darah dan cairantubuh pasien.

a. Fixture & Fitting


Peralatan yang menetap di dinding hendaknya didesain sedemikian rupa
sehingga mudah untuk dibersihkan
b. Gorden
1) Dibuat dari bahan yang mudah dibersihkan
2) Tidak bergelombang
3) Berwarna terang (tidak banyak corak/ polos)
4) Tidak menyentuh lantai (minimal 30 cm jarak dari lantai)
5) Pencucian dilakukan setiap 1-3 bulan dan jika kotor
c. Atap
Atap harus kuat, tidak mudah bocor, tidak menjadi sarang serangga/ lainnya.
d. Pintu
Harus kuat, cukup tinggi,cukup lebar dapat mencegah masuknya serangga,
tikus dan binatang pengganggu lain
e. Jaringan Instalasi
Pemasangan jaringan instalasi air bersih, air limbah, gas, listrik, sistem
ventilasi, sarana komunikasi, harus aman dan nyaman, mudah dibersihkan
dari debu.
f. Disain Ruangan diatur sesuai dengan memfasilitasi kewaspadaan standar
g. Wastafel :
1) Harus ada 1 wastafel pada setiap kamar pasien dan 1 wastafel setiap 4
tempat tidur di ruang intensif
2) Alkohol base handrub ditempatkan di setiap tempat tidur, di setiap pintu
masuk ruang rawat pasien dan di setiap trolley tindakan
h. Jarak Tempat Tidur Minimal :
1) Jarak 1,5 meter di ruang perawatan biasa
2) Jarak 2 meter di ruang intermediate
3) Jarak 2,5 meter di ruang intensif, 1 kamar tidur untuk 1 – 2 pasien
i. Lingkungan
1) Udara
2) Pastikan bahwa ada struktur sistem ventilasi

84
3) Monitor sistem ventilasi
a) Pastikan bahwa pemasangan dan pemeliharaan heating, ventilasi,
air conditioning (HVAC) filter, tepat untuk mencegah kebocoran
udara dan debu berlebihan
b) Monitor area yang memerlukan ventilasi khusus seperti ruang
operasi (filtrasi dan perbedaan tekanan)
c) Rencanakan dan implementasikan jadual monitoring HVAC:
perbedaan tekanan, filtrasi
d) Dokumentasikan parameternya, khususnya beda tekanan
e) Kontrol sistem HVAC dan monitor untuk memastikan
pembersihan uap
f) Pastikan bahwa pengambilan udara dan pembuangan gas keluar
ditempatkan dengan tepat pada konstruksi
g) Lokasi exhaust outlets> 25 ft dari air-intake system
h) lokasi outdoor air-intakes> 6 ft diatas tanah atau 3 ft diatas
atap(roof level)
i) lokasi exhaust outlets dari area kontaminasi diatas roof level untuk
meminimalkan recirculation
j) Pelihara pengambilan udara dan periksa filter secara periodik
untuk pengoperasian yang tepat
k) Cegah terjadinya akumulasi debu dengan membersihkan saluran
udara saat kamar tidak di tempati pasien
l) Monitor fungsi sistem, bersihkan saluran ventilasi sebagai bagian
rutin dari pemeliharaan HVAC
m) Jangan matikan sistem HVAC di area pasien, kecuali saat
pemeliharaan, perbaikan, testing
n) Sistem HVAC di perkantoran administrasi boleh dimatikan untuk
hemat energy, tetapi tidak mengganggu area perawatan
o) Bila memungkinkan buat backup untuk sistem ventilasi
p) Tidak ada rekomendasi pemeriksaan rutin mikrobiologi udara
sebelum, selama, setelah pembangunan

85
4) Sistem ventilasi
Mikro organisme yang ada diudara merupakan salah satu sumber
infeksi nosokomial termasuk juga mesin pendingin (AC), contoh :
Micobacterium tuberculosis, aspergillus spp, virus measle dan
varicella. Tipe sistem AC yang dibutuhkan tergantung dari keadaan
pasien yang dirawat dan kualitas udara disekitarnya. Penanganan dan
perawatan AC dilakukan minimal 1x setiap bulan, lakukan kultur swab
di ruangan OK dan ICU bila diperlukan.
1) Ruang Operasi
a. Ruang operasi sebaiknya terpisah dari lalu lalang aliran udara
rumah sakit
b. Ruangan harus didesain sedemikian rupa sehingga kondisi dari
pintu masuk hingga ke ruang operasi dan area steril kualitasnya
semakin steril
c. Aliran udara berasal dari ruangan bersih ke ruangan yang
kurang bersih
d. Masuknya udara melalui diffuser ( alat penyebar ) pada
ruangan melalui exhaust yang berada di dinding
e. Persyaratan ventilasi :
a) Temperatur berkisar antara 20o – 24oC
b) Kelembaban udara antara 50 - 60 %
c) Tekanan udara dijaga agar tetap positif di bagian dalam
d) Alat yang menunjukan tekanan udara dalam ruangan, seluruh
dinding, langit-langit maupun lantai benar-benar tertutup agar
tekanan udara tetap terjaga
e) Ada indikator kelembaban dan termometer yang mudah
terlihat
f) Ada filter sekunder 2 um atau kurang dengan efisiensi 95%.
diletakan di dalam sebuah kisi kisi/ lubang masuk; terminal
hepa filter 0,3 um dengan effisiensi 99,7% untuk hasil sangat
bersih
g) Suplai udara dari langit – langit dan di buang atau
dikembalikan melalui exhaust yang letaknya 30 cm diatas
lantai. Tipe diffuser sebaiknya tipe satu arah
86
h) Minimum udara diganti sebanyak 15 kali perjam untuk sistem
udara bersih 100% dan 25 kali perjam untuk sistem udara
sirkulasi
i) Harus ada jadwal kontrol dan pemeliharaan rutin dan
dikoordinasikan untuk menjamin dijalankanya standar
perlindungan kesehatan
j) Udara segar dari ceiling dan exhaust dekat lantai
k) Tidak menggunakan UV lights untuk mencegah infeksi
l) Senantiasa menutup pintu ruang operasi kecuali untuk arus
keluar masuk petugas, peralatan, dan pasien
m) Batasi personil yang masuk, hanya petugas ruang operasi
Petunjuk prosedur untuk pasien TB yang memerlukan operasi
emergensi
(a) Pakai masker N95
(b) Intubasi pasien di aII room atau di ruang operasi
(c) Gunakan HEPA filter sementara untuk suplai udara bersihselama
intubasi untuk pasien TB yang memerlukan operasi
(d) Posisikan alat sedemikian rupa sehingga udara melewati filter
(e) Matikan portable unit sepanjang operasi
(f) Jika memungkinkan jadualkan operasi pasien TB sebagai kasus
operasi terakhir
2) Ruang Perawatan Intensif (intensive care)
Tidak ada standar khusus untuk sistem ventilasi/AC, penggantian
udara minimum 6 kali dalam satu jam akan menjamin udara bersih
dan partikel. Jika pengaturan ventilasi dengan AC tidak bisa
dilakukan, perhatian harus ditekankan pada prosedur penanganan
pasien yang sesuai dengan prinsip pencegahan infeksi.
3) Ruang Isolasi
Sistem ventilasi dengan tekanan negatif diperlukan untuk pasien yang
terinfeksi virus, tuberculosis, virus measles dan varicellla. Tekanan
negatif diciptakan dengan memasang “Exhaust exceeding supply”
sekitar 15% atau 50 feet udara dari ruangan langsung dialirkan ke
luar.Resirkulasi boleh dilakukan tetapi perlu filter HEPA sebelum
masuk kembali ke ruangan. Paling sedikit 6 – 12 kali dalam satu jam
mengganti udara yang menjamin udara bersih dari partikel
87
4) Pengendalian Air
Yang dimaksud dengan mutu air bersih adalah suatu keadaan air yang
dinyatakan bebas dari bakteri, tidak berbau, berwarna jernih dengan
nilai kandungan mineral tertentu.
Syarat pemeriksaan air
(a) Dilakukan pemeriksaan air setiap 6 bulan sekali
(b) Sampel pemeriksaan air dikirim ke Laboratorium
(c) Pengambilan sampel dikerjakan sesuai SPO
5) Penanganan Air
(a) Lakukan kebersihan tangan dan gunakan sarung tangan
(b) Batasi kontaminasi air atau sumber lingkungan cairan
(c) Bersihkan dan disinfeksi sink dan cuci basin
(d) Evaluasi untuk kemungkinan sumber air terkontaminasi
(e) Hindari penempatan dekorasi air mancur dan kolam ikan di
area perawatan pasien
(f) Pertahankan temperatur air, panas 51° C, dingin 20° C
(g) Pertahankan recirculasi tetap panas air didistribusikan ke unit
perawatan
(h) Anjurkan pasien, keluarga, pengungjung memakai dari air
keran
(i) Untuk di kamar operasi, jangan memegang es langsung dengan
tangan dan cuci tangan sebelum mengambilnya
(j) Gunakan scoop ketika mengambil es
6) Permukaan Lingkungan
(a) Bersihkan & disinfeksi permukaan lingkungan di area
perawatan
(b) Lakukan pembersihan 1 kali sehari atau bila kotor
(c) Pilih disinfektan yang terdaftar, gunakan sesuai petunjuk
pabrik
(d) Ikuti petunjuk pabrik untuk pembersihan dan pemeliharaan
peralatan non kritikal
(e) Jika tidak ada petunjuk pembersihan dari pabrik ikuti prosedur
tertentu

88
(f) Jangan gunakan alkohol untuk disinfeksi permukaan
lingkungan yg luas
(g) Gunakan sarung tangan bersih untuk pembersihan/disinfeksi
lingkungan
(h) Bersihkan permukaan non perawatan seperti perkantoran
administrasi dengan cairan sesuai petunjuk pabrik
(i) Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh
seperti pegangan pintu, bed rails, light switch
(j) Bersihkan dinding, blinds dan jendela, curtain di area
perawatan pasien setiap 6 bulan dan jika ruangan / kamar
kosong
(k) Pemberihan dengan menggunakan lap yang sudah dibasahi
dengan disinfektan, pembersihan lantai dengan menggunakan
lobby duster, sapu ijuk digunakan di area umum
(l) Ikuti prosedur tepat yang efektif menggunakan mops, cloths
dan solution :
(i) Siapkan cairan pembersih setiap hari atau jika diperlukan
dan gunakan cairan yang baru
(ii) Ganti mop setiap hari dengan yang bersih
(iii)Bersihkan mop dan kain pembersih setelah dipakai dan
biarkan kering sebelum dipakai lagi
(iv) Gunakan lap pel sesuai dengan peruntukannya:
 Lap pel bergagang merah untuk kamar isolasi
 Lap pel bergagang biru untuk area umum
 Lap pel bergagang hijau untuk area dapur
 Lap pel bergagang kuning untuk area perawatan
(m) Jangan gunakan mats di pintu masuk ruang operasi
(n) Tutup pintu pasien imunokompromais saat vacum, waxing atau
buffing lantai koridoruntuk meminimalkan kontak
(o) Segera bersihkan dan dekontaminasi tumpahan darah atau
material lain yang potensial infeksi
(p) Ikuti prosedur tepat untuk pembersihan dan dekontaminasi
tumpahan darah atau cairan yang terkontaminasi dengan darah

89
(q) Pemeliharaan bunga dan tanaman pot kepada petugas khusus
(r) Tidak mengizinkan bunga segar atau kering atau tanaman pot
di area perawatan pasien imunokompromais
(s) Lakukan pest control strategies di dapur, laundry, CSSD,
Loading dock dan saat kamar perawatan kosong
(t) Pasang screens pada jendela untuk privasi pasien
(u) Pakai APDyang sesuai saat prosedur pembersihan dan
disinfeksi
(v) Berikan perhatian ketat untuk pembersihan dan disinfeksi
permukaan yang sering disentuh di area perawatan seperti bed
rails, carta, charts, bedside commode, pegangan pintu
(i) Pastikan kepatuhan petugas kebersihan untuk pembersihan
dan disinfeksiperalatan menggunakan disinfektan yang
sesuai
(ii) Jika perlu lakukan kultur permukaan lingkungan untuk
klarifikasi dan efikasi kebijakan rumah sakit; prosedur
dilakukan sebelum dan sesudah pembersihan dan disinfeksi
ruangan
(iii)Ajarkan pasien, keluargadan pengunjung tentang
pentingnya kebersihan tangan untuk meminimalkan
penyebaran kuman
(iv) Batasi sampling mikrobiologi untuk maksud jaminan
kualitas saja
j. Pakaian Kotor dan Bedding
1) Tanggung jawab petugas
(a) Petugas harus mencuci pakaiannya yang terkontaminasi darah atau
material infeksius
(b) Pakai dan pelihara peralatan laundry sesuai instruksi pabrik
(c) Tangani pakaian kontaminasi dengan tidak mengibaskan, untuk
menghindari kontak udara, permukaan dan personal
(d) Gunakan kantong plastik kuning untuk linen kotor infeksius dan
kantong hitam untuk linen non infeksius di dalam trolley
(e) Simpan linen agar terhindar dari debu

90
(f) Dalam transportasi harus di bungkus, sehingga tidak kena debu
(g) Jangan lakukan pemeriksaan kultur rutin untuk pakaian bersih
(h) Lakukan pemeriksaan kultur selama outbreak jika ada
(i) Gunakan tekstil steril, surgical drapes dan gown untuk kondisi
yang memerlukan steril
(j) Jaga kasur tetap kering
(k) Bersihkan dan disinfeksi tutup kasur dan bantal menggunakan
disinfektan
2) Binatang
(a) Anjurkan pasien menghindari dari kotoran, air liur, urine binatang
(b) Jangan membiarkan binatang anjing kucing, tikus dan serangga
berkeliaran di sekitar rumah sakit
(c) Bersihkan lingkungan rumah sakit dari kotoran binatang
3) Mencegah terjadinya infeksi akibat lingkungan dilakukan dengan :
(a) Melakukan pembersihan dan disinfeksi dengan
pembersih/disinfektan yang tepat
(b) Melakukan Pemeliharaan peralatan medik dengan tepat
(c) Mempertahankan mutu air bersih
(d) Mempertahan ventilasi udara yang baik
4) Mentaati aturan bagi pengunjung :
(a) Kunjungan tamu kepada pasien harus dibatasi jumlahnya, ini untuk
tindakan pencegahan. Kebijakan harus menentukan bahwa tidak
dibenarkan kehadiran lebih dari 2 atau 3 tamu dalam waktu
bersamaan
(b) Pengunjung harus mengenakan pengenal (name tags)
(c) Waktu berkunjung sebaiknya dibatasi sesuai dengan ketentuan
tentang jam berkunjung yang diatur rumah sakit, yaitu 10.00 –
12.00 WIB dan 16.00 – 18.00 WIB sehingga tidak mengganggu
pelayanan perawatan dan gawat darurat pasien
(d) Untuk pasien tertentu dan unit tertentu, jam kunjungan dapat diatur
sesuai keadaan dan kondisi pasien
(e) Pasien dalam proses kematian, keluarga mendampingi disamping
tempat tidur pasien

91
(f) Pasien dalam keadaan gawat
(g) Pasien anak, orang tua diizinkan satu orang untuk menunggu
disamping tempat tidur
(h) Pengujung lain ( seperti peserta pendidikan )harus mendapat izin
dari pihak RS dan penanggung jawab keperawatan
(i) Anak-anak di bawah umur 12 tahun sebaiknya tidak diizinkan
berkunjung ke tempat atau unit perawatan
Perhatian
1) Tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang mengganggu kerja
petugas rumah sakit
2) Tidak diperkenankan merokok disekitar area rumah sakit
3) Tidak diperkenankan berkerumun atau duduk/tidur di tempat tidur
pasien
4) Tidak diperkenankan membawa makanan dari luar kecuali sudah
diizinkan oleh dokter/perawat sepengetahuan petugas gizi
5) Tidak diperkenankan membawa peralatan makan, alat keperluan
tidur (tiker, selimut, bantal) kedalam rumah sakit; diperkenankan
makan di tempat yang telah ditentukan
6) Sedapat mungkin toilet pasien tidak dibenarkan untuk dipakai oleh
pengunjung
7) Membuang sampah di tempat yang telah ditetapkan
8) Penunggu tidak di perkenankan gelaran di lantai
9) Tidak boleh melakukan penjemuran diruang rawat
Monitoring
Dalam pelaksanaan penanganan lingkungan area rumah sakit perlu
adanya kerjasama antara rumah tangga, penanggung jawab unit
masing masing, K3RS dan komite PPI.
Pengawasan sehari-hari dilakukan oleh penanggung jawab unit dengan
bukti checklist yang ditandatangani oleh penanggung jawab atau
Kepala Ruangan/ Tim unit tersebut

92
e. PENEMPATAN PASIEN DI KAMAR ISOLASI
Pasien dengan infeksi penularan melalui udara harus dirawat di ruangan
khusus atau secara kohort pada ruang isolasi penularan melalui udara (air borne
transmission) karena pasien tersebut merupakan sumber penyakit yang dapat
menyebarkan mikroba ke lingkungan sekitar dan bertahan lama di udara.
Sementara pasien yang mempunyai penyakit yang menyebabkan imunitas
rendah atau keadaan imunitas rendah ditempatkan di ruang isolasi bertekanan
positif karena pasien tersebut sangat berisiko tertular infeksi dari pasien lain,
petugas, pengunjung maupun lingkungan dengan berbagai cara transmisi.
Skrining dilakukan mulai pasien datang di rawat jalan, IGD dan rawat inap. Jika
ada pasien dengan gejala batuk lebih dari 2 minggu disertai dengan batuk darah
langsung di beri masker bedah.
Tata Laksana :
1. Standar Ruang Isolasi
a. Standar ruang isolasi penularan melalui udara
1) Desain ruang isolasi penularan melalui udara dilengkapi dengan ruang
antara (anteroom)
2) Bertekanan negatif dilengkapi dengan HEPA filter
3) Suhu dan kelembaban udara dimonitor dengan menggunakan
hygrometer thermometer dan didokumentasikan
4) Pintu ruang isolasi harus kedap terhadap pertukaran udara dan pintu
kearah dalam, pintu harus selalu tertutup dan dipasang door closer
5) Harus dilakukan evaluasi tekanan udara secara berkala atau permanen
dengan test sederhana (menggunakan tissue/ magnahelic)
6) Ruang perawatan isolasi pasien ada di IGD, ICU,HD, Cempaka dan
VK.
b. Standar ruang isolasi pasien imunocompromais
1) Desain ruang isolasi pasien imunosupresi harus dilengkapi dengan ruang
antara (anteroom)
2) Bertekanan positif dengan menggunakan air conditioner sehingga udara
dalam kamar lebih dingin dibanding dengan udara luar kamar
3) Tekanan udara di monitor dengan menggunakan magnehellic, suhu dan
kelembaban udara dimonitor dengan menggunakan hygrometer
thermometer dan didokumentasikan
93
4) Pintu ruang isolasi harus kedap terhadap pertukaran udara dan pintu
kearah luar, pintu harus selalu tertutup
5) Harus dilakukan evaluasi tekanan udara secara berkala dengan test
sederhana (menggunakan tissue)

2. Kriteria Pasien Masuk Ruang Isolasi


a. Kriteria pasien ruang isolasi penularan melalui udara
Penyakit infeksi yang ditularkan melalui udara adalah penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang mempunyai partikel < 5 mikron
dan melayang dapat bertahan lama di udara hingga 24 jam. Penyakit
tersebut adalah:
1) TB Paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis
2) Flu burung
3) Penyakit cacar air yang disebabkan oleh virus Varicella Zoster
4) Penyakit campak disebabkan oleh virus measles ( rubeola)
5) HIV dengan TB
Diagnosis tersebut di tegakan di IGD, Instalasi rawat jalan atau Instalasi
rawat inap oleh dokter yang bertugas dan telah dikonfirmasi ke dokter
penanggung jawab pasien serta dokter ahli paru atau ahli penyakit dalam.
Pasien dengan TB paru masuk ke kamar isolasi tekanan negatif apabila
didapatkan hasil sputum BTA positif, suspek TB paru yang klinis dan
radiologs mengarah adanya TB infeksius. Semua pasien yang memerlukan
perawatan di ruang isolasi penularan melalui udara jika kondisi kasus
jantungnya sudah stabil akan di rujuk ke rumah sakit rujukan ke rumah
sakit yang dapat memberikan pelayanan dengan kasus tersebut.
b. Kriteria pasien yang masuk ke ruang isolasi imunocompromais
Penyakit immunokompromais adalah pasien yang mempunyai defisiensi
mekanisme imun yang disebabkan oleh gangguan imunologi seperti
Human Immunodefisiensi Virus ( HIV) /AIDS.
c. Petugas yang berwenang
Petugas yang berwenang menentukan pasien dirawat dikamar isolasi atau
keluar kamar isolasi adalah dokter penanggung jawab pasien (DPJP)

94
3. Cegah Kontaminasi Silang
a. Lakukan kebersihan tangan sesuai five moment dengan 6 langkah
kebersihan tangan dan segera setelah melepas alat pelindung diri.
b. Tanda peringatan kewaspadaan standar dan kewaspadaan transmisi harus
terpasang di pintu masuk ruang isolasi.
c. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
1) APD untuk mencegah penularan melalui transmisi udara yaitu:
a) Petugas menggunakan masker respiratori atau masker N95
b) Pengunjung menggunakan masker bedah
c) Jika pasien keluar kamar isolasi menggunakan masker bedah.
2) APD yang lain digunakan sesuai risiko pajanan
3) Perlengkapan APD diletakan di ruang antara (anteroom)
4) APD digunakan dalam konteks strategi dan rekomendasi pencegahan
dan pengendalian infeksi berdasarkan kewaspadaan standar, transmisi
kontak, droplet dan airborne
5) Hindari penggunaan berulang APD sekali pakai
6) Pemilihan APD harus sesuai dengan risiko pajanan, perkiraan risiko
pajanan, area terkontaminasi sebelum melakukan perawatan
7) Pemakaian APD sebelum kontak dengan pasien, yaitu sebelum
memasuki ruangan.
8) Gunakan APD dengan hati hati, hindari terkontaminasi atau
mengkontaminasi
9) Lepaskan atau ganti bila perlu segala kelengkapan APD yang sudah
rusak atau sobek
10) Lepaskan semua APD sesegera mungkin setelah selesai melakukan
prosedur atau member pelayanan dan hindari kontaminasi lingkungan
luar isolasi, pasien lain atau pekerja.
11) Buang semua kelengkapan APD dengan hati hati dan segera lakukan
kebersihan tangan.
d. Pemprosesan peralatan pasien dan penataan linen
1) Bila peralatan digunakan kembali ikuti prosedur umum disinfeksi dan
sterilisasi sesuai dengan jenis penggunaannya (kritikal, semi-kritikal
dan non kritikal).

95
2) Peralatan makan dan minum dicuci dengan menggunakan airpanas dan
detergent.
3) Peralatan sekali pakai harus dibuang sebagai limbah.
4) Semua linen dari ruang isolasi yang tidak terpapar dengan darah dan
cairan tubuh dikelola sebagai linen non infeksius dan semua linen yang
terpapar darah dan cairan tubuh dikelola sebagai linen infeksius.
5) Tidak memilah linen diruang perawatan memanipulasi minimal, tidak
mengibas-ibas untuk menghindari kontaminasi udara dan orang.
6) Semua petugas yang menangani peralatan yang sudah dipakai dan
linen kotor harus menerapkan kewaspadaan standar dan harus
menerapkan kewaspadaan standar dan membersihkan tangan setelah
melepas APD.
e. Pembersihan lingkungan kamar isolasi selama pasien ditempatkan dan
sesudah pasien pindah atau pulang
1) Pembersihan noda (sekresi, eksresi pasien, kotoran, noda dll) harus
dilakukan sebelum dilakukan disinfeksi menggunakan detergen & air
2) Setelah dilakukan pembersihan dengan detergen dan air, dilap dengan
larutan hipoklorit 0.05% - 0.5%, NaDCC
3) Permukaan horizontal terutama tempat tidur dan barang yang sering
disentuh oleh pasien harus dibersihkan setiap hari dan setelah pasien
pindah atau pulang
4) Pembersihan harus dilakukan dengan metode pembersihan lembab,
jangan menggunakan pembersihan kering
5) Alat yang digunakan untuk pembersihan dan disinfeksi harus
dibersihkan dan dikeringkan setelah digunakan
6) Singkirkan semua persediaan dan peralatan yang tidak perlu dari
lokasi disekitar pasien
7) Petugas yang membersihkan kamar isolasi harus menggunakan sarung
tangan danmasker N95

96
4. Edukasi Bagi Pengunjung dan Pasien Ruang Isolasi
a. Pengunjung harus menggunakan APD sesuai standar di fasilitas pelayanan
kesehatan, diberi petunjuk mengenai pemakainnya dan dianjurkan untuk
melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah masuk ruangan.
b. Pemberian informasi tentang kewaspadaan standar kebersihan tangan,
etika batuk dan strategi pencegahan infeksi rutin lainnya, disediakan di
tempat pasien masuk rumah sakit dalam bentuk leaflet & cetakan lainnya.
c. Penyuluhan pencegahan infeksi di rumah sakit terhadap pengunjung
secara rutin dan terjadwal

5. Edukasi Staf Tentang Penanganan Pasien Infeksi


a. Setiap petugas harus mengikuti pelatihan pencegahan dan pengendalian
infeksi terutama petugas yang memiliki kesempatan untuk kontak dengan
pasien dan peralatan medis.
b. Pelatihan PPI Dasar untuk perawat & dokter diadakan selama 3 hari .
c. Pelatihan PPI Umum untuk petugas penunjang medik, pekarya, dll
diadakan selama 3 hari

6. Penempatan Pasien
a. Airborne Transmission (Penularan / tranmisi penyakit melalui udara)
1) Ruangan dengan tekanan negatif termonitor
2) Minimal pergantian udara 6 - 12 kali perjam
3) Udara langsung dibuang keluar (exhaust) atau dengan menggunakan
bantuan kipas angin diatas pintu masuk kearah jendela/ exoust
4) Jagalah pintu tetap tertutup dan pasien tetap dalam rungan
5) Bila pasien akan dimobilisasi keluar kamar, pasien harus dipasang
masker bedah
6) Gunakan masker N95 saat masuk keruang pasien yang menderita
tuberculosis dan belum mendapat terapi
b. Droplet Transmission (Penularan / tranmisi melalui percikan)
1) Tempatkan pasien diruang tersendiri atau bersama pasien lain dengan
infeksi aktif organism yang sama,tetapi tidak ada infeksi lain
(kohorting).

97
2) Bila ruang untuk kohort tidak ada, tempatkanlah dalam satu ruangan,
jarak antar tempat tidur harus lebih dari 2 meter dengan memakai
pemisah/ sekat.
c. Contact Transmission (Penularan melalui kontak)
1) Tampatkan pada kamar sendiri atau bersama pasien lain dengan
infeksi aktif organosme yang sama tetapi tanpa ada infeksi lain
2) Bila tidak memungkinkan, tempatkan dalam satu ruangan secara
Kohort
3) Gunakan alat pelindung diri saeung tangan dan gaun, lepas alat
pelindung diri sebelum meninggalkan ruangan
4) Batasi pasien hanya jika diperlukan saja
5) Usahakan agar peralatan dan permukaan lingkungan sekitar pasien
dibersihkan setiap hari
6) Bila mungkin gunakan peralatan pasien non kritis
(stetoskop,tensimeter, thermometer) masing masing satu atau
sekelompok pasien kohort.

7. Penempatan Pasien Menular Sementara Kamar Isolasi Belum Ada


a. Tempatkan pasien dikamar untuk satu pasien dengan ventilasi memadai
b. Gabungkan pasien dengan didiagnosa infeksidengan penyebab sama
c. Tempatkan pasien dengan jarak terpisah minimal 2 meter dari pasien lain
d. Lakukan pengendalian sumber infeksi pada pasien saat batuk, kabersihan
tangansetelah kontak dengan sekresi pernafasan.

8. Transfortasi Pasien dan Pemindahan Pasien


a. Dibatasi, bila perlu saja
b. Bila mikroba pasien virulen
c. Pasien diberi alat pelindung diri ( masker, gaun)
d. Petugas diarea tujuan harus diingatkan akan kedatangan pasien tersebut
dan melaksanakan kewaspadaan standar yang sesuai
e. Pasien dan keluarga diberi informasi untuk dilibatkan kewaspadaannya
agar tidak terjadi transmisi kepada orang lain
f. Semua permukaan yang kontak dengan pasien harus dibersihkan

98
g. Jika pasien dipindahkan menggunakan ambulans maka sesudahnya harus
segera dibersihkan dengan menggunakan disinfektan.
h. Jika akan dilakukan tindakan, usahakan agar dijadualkan merawat pasien
yang mengalami infeksi menular.
i. Pemantauan kesehatan petugas khususnya yang memberikan pelayanan
kepada pasien menular yang mengkhawatirkan,dan segera melapor diri
bila memperlihatkan gejala
j. Berikan akses segera untuk mendapatkan diagnosis, konsultasi dan
perawatan.

9. Penanganan Spesimen
a. Petugas kesehatan pengambil spesimen pasien harus memakai APD sesuai
dengan kewaspadaan standar
b. Spesimen yang dibawa harus dimasukan kedalam kotak streofom yang
tersedia atau dimasukan kedalam dompet pelindung dan dikirim melalui
PTS

10. Kesehatan Petugas


Petugas yang berisiko tinggi mengalami komplikasi (wanita hamil, daya tahan
tubuh rendah, orang yang mengalami penyakit jantung atau pernafasan)
sebaiknya diberikan informasi medis dan dibebas tugaskan dalam

Monitoring
Dilakukan pemantauan terhadap kepatuhan dan kelengkapan fasilitas hand
hygiene, pemantauan tekanan, suhu dan kelembaban udara, kepatuhan
penggunaan APD, kesediaan APD yang sesuai, edukasi etika batuk, pembuangan
sputum. Pemantauan ini dilakukan oleh Komite PPI setiap ada pasien dengan
kriteria perawatan di kamar isolasi terakhir.

99
f. PENATALAKSANAAN LINEN DAN LAUNDRY
Salah satu usaha pencegahan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit
adalah penyehatan laundry dan linen. Penyehatan laundry dan linen juga
menambah kenyamanan bagi pasien untuk tinggal di rumah sakit, sebab pasien
hampir selama 24 jam berada di tempat tidurnya. Selain itu juga dengan
tersedianya linen yang baik dalam arti bebas kuman patogen, bersih dan rapi akan
menambah citra suatu rumah sakit. Untuk menjaga kualitas linen yang baik
sangat tergantung pada pengelolanya. Juga sangat dipengaruhi oleh sarana dan
prasarana yang ada pada suatu rumah sakit. Oleh karena itu penyehatan laundry
dan linen perlu ditangani secara profesional oleh pengelolanya.
Tata Laksana :
1. Penanganan Linen Kotor
a. Di Ruang Perawatan
Penanganan linen kotor sudah harus dilakukan sejak dari ruang perawatan
1) Pemisahan linen kotor
a) Pakai alat pelingung diri: sarung tangan sesuai indikasi, masker
kalau perlu.
b) Segera setelah dilepas dari tempat tidur, pisahkan linen kotor
infeksius, linen kotor ternoda atau kontaminasi dan linen kotor
tidak terinfeksi / ternoda.
c) Segera masukkan dalam kontainer : linen kotor infeksius ke dalam
kantong kuning dan diberi tanda infeksius, linen kotor
ternoda/tercemar kedalam kontainer dekontaminasi yang telah
dibersihkan terlebih dahulu, linen kotor tidak ternoda/kontaminasi
dalam kontainer linen kotor atau masukkan ke dalam keranjang
linen kotor.
d) Setelah tiga perempat penuh ikat/tutup kirim ke laundry dengan
menggunakan trolley linen kotor tertutup
2) Penempatan linen kotor
a) Penempatan linen kotor harus dibedakan antara linen kotor
terinfeksi dan yang tidak terinfeksi.

100
b) Linen kotor harus dimasukkan kedalam kantong yang kedap air
untuk mencegah kebocoran, kontaminasi lingkungan dan petugas
yang membawanya.
c) Linen terinfeksi dimasukkan kedalam kantong plastik kuning
untuk mencegah kontaminasi lingkungan dan petugas yang
membawanya , kemudian diikat dan linen yang tidak terinfeksi
diletakkan dalam trolley yang ditutup
3) Pengangkutan linen kotor
a) Pengangkutan linen kotor dilakukan dengan kereta dorong yang
tertutup
b) Kereta dorong yang digunakan harus dibedakan dengan
pengangkutan linen bersih dan kotor untuk mencegah kontaminasi
c) Jangan menyeret linen di lantai
d) Jangan melindas linen dengan trolley
4) Klasifikasi linen kotor
a) Linen Kotor ternoda / Infeksius
Linen yang terkontaminasi dengan pasien darah atau cairan tubuh
pasien.
b) Linen kotor non infeksius
Linen kotor yang sudah dipakai, berasal dari ruang perawatan,
administrasi, ruang tunggu, ruang pemeriksaan, ruang perawatan
yang tidak berpenyakit menular
5) Penanganan linen kotor ternoda
c) Bersihkan linen kotor bernoda / terkontaminasi dengan
menggunakan air mengalir diruang cuci ( Spoelhok )
d) Angkat linen, masukkan dalam kantong plastik kuning dan ikat
rapat jangan sampai ada kebocoran.
6) Penanganan linen infeksius
a) Pakai sarung tangan bersih
b) Segera setelah dilepas dari tempat tidur, masukkan dalam kantong
kuning beri tanda infeksius
c) Pisahkan dari linen kotor

101
d) Kirim ke laundry dalam keadaan tertutup dengan menggunakan
trolley kain kotor
7) Pengiriman linen kotor ke laundry
a) Petugas laundry mengambil ke ruangan
b) Pintu masuk linen kotor di laundry harus di bedakan antara linen
kotor dan bersih
c) Laundry melakukan pencatatan jumlah linen, harus memaraf pada
buku expedisi.

b. Di Loundry
1) Penilaian linen kotor
a) Tingkat kotoran ( berat atau ringan )
b) Jenis linen ( tebal, tipis , berwarna atau tidak berwarna , wool atau
katun )
c) Infeksius atau non infeksius
2) Pengumpulan/pemisahan linen kotor
a) Pengumpulan / pemisahan linen kotor harus menggunakan alat
pelindung diri (sarung tangan, masker dan gaun ).
b) Pisahkan jenis linen kotor antara linen terkontaminasi dan yang
tidak terkontaminasi.
c) Linen kotor dipegang dengan menggunakan sarung tangan dan
digerak-gerakkan sesedikit mungkin untuk mencegah kontaminasi
udara dan petugas.
d) Bila linen kena darah atau cairan tubuh,maka linen tanpa dilakukan
perendaman langsung dimasukan mesin cuci infeksius.
e) Tuliskan juga jenis linen dan jumlahnya.
3) Proses pencucian
a) Dekontaminasi
b) Lakukan penimbangan linen
c) Masukkan linen kotor ke dalam mesin cuci
d) Gunakan detergent berdasarkan tingkat cucian :
infeksius,berat,sedang, ringan , khusus dan linen berwarna
e) Waktu pencucian (tergantung mesin cuci )

102
4) Proses pengeringan
a) Periksa linen yang perlu di cuci ulang sebelum pengeringan
b) Keluarkan linen, pres sebelum pengeringan
c) Jangan meletakkan linen panas di trolley
5) Proses penyeterikaan
Pada proses penyeterikaan dikelompokkan linen yang lembaran dan
bukan lembaran. Penyeterikaan dilakukan dengan menggunakan Roll
Press dan Rotary Press.
Roll Press digunakan untuk jenis lenen lembaran, sedangkan Rotary
Press untuk linen yang bukan lembaran seperti piyama, baju pasien,
gordyn. Pada proses penyeterikaan petugas harus dalam keadaan
bersih.
6) Proses pelipatan
Pada proses pelipatan, dilakukan pensortiran terhadap linen yang
rusak. Tempat pelipatan harus bersih dan jauh dari daerah kotor agar
linen tidak terkontaminasi. Pelipatan dilakukan sesuai yang sudah
ditentukan.
7) Proses penyimpanan
Pada proses penyimpanan linen yang sudah rapi disimpan ke dalam
rak-rak sesuai dengan jenis linen. Sebaiknya pengelolaan linen
dilakukan secara sentralisasi. Tapi bila pengelolaan belum sentralisasi
maka linen disimpan ke dalam rak-rak sesuai dengan ruangan dan
sertakan kartu tanda terima jenis linen. Dilarang memasuki ruang
gudang penyimpanan linen bersih, kecuali oleh petugas laundry.
8) Pendistribusian
Dalam pendistribusiannya tergantung pada sistem pengelolaannya.
Apabila pengelolaan linen sistem sentralisasi, maka pendistribusiannya
di sesuaikan dengan permintaan/ kebutuhan ruangan berdasarkan bon
permintaan. Akan tetapi bila pengelolaan linen belum sistem
sentralisasi, maka pendistribusiannya, maka pendistribusiannya
berdasarkan kartu pengiriman.

103
9) Pencegahan kontaminasi pada saat penanganan linen kotor
a) Menyediakan fasilitas alat pelindung diri (sarung tangan rumah
tangga, masker, gaun pelindung dan alas kaki) untuk mencegah
kontaminasi pada petugas.
b) Gunakan kantong yang berbeda untuk linen terinfeksi dan yang tidak
terinfeksi
c) Jangan menyeret linen dilantai
d) Jangan meletakan linen diarea yang lembab

2. Penanganan Linen Bersih


a. Penyimpanan linen
a) Linen bersih selama dalam pengangkutan dari laundry ke tempat
penyimpanan harus dibawa dengan kereta yang tertutup atau diberi
penutup / dibungkus untuk mencegah kontaminasi.
b) Cuci tangan sebelum memegang linen
c) Pastikan semua permukaan dalam keadaan bersih / kering
d) Jangan mencampur linen bersih dengan linen steril
e) Jangan menyimpan peralatan / bahan kimia di ruang linen
f) Linen dalam penyimpanannya hendaknya diberi pelindung sampai
dengan digunakan oleh pasien.
b. Pemakaian linen
a) Cuci tangan sebelum memegang linen
b) Gunakan linen pertama masuk (FIFO= First in First out)
c) Pastikan semua peralatan dalam keadaan bersih / kering
d) Jaga linen jangan sampai jatuh ke lantai
e) Jangan meletakkan linen bersih pada permukaan kotor / berdebu

3. Persyaratan Pengelolahan Linen


Sesuai dengan Permenkes 986/ Menkes/Per/1992 tentang persyaratan Kesling
Rumah Sakit dan Keputusan Dirjen PPM & PLP No.HK.00.06.6.44 tentang
Petunjuk Teknis Tata Cara Pelaksanaan Penyehatan Lingkungan Rumah
Sakit.

104
a. Tata cara pelaksanaannya sebagai berikut :
1) Lokasi tempat pencucian umum atau laundry hendaknya pada lokasi
yang mudah dijangkau oleh unit yang memerlukan. Penempatan
laundry jauh dari ruangan pasien dan tidak berada di jalan lintas.
2) Lantai harus terbuat dari beton atau plester yang kuat, rata, dan tidak
licin dengan kemiringan memadai (2-3 %).
3) Harus disediakan saluran pembuangan air kotor sistem tertutupdengan
ukuran, bahan dan kemiringan yang memadai (2-3 %).
4) Disediakan kran air bersih dengan kualitas dan tekanan yang memadai.
5) Untuk laundry perlu disediakan jugaair panas ( steam) untuk keperluan
disinfeksi.
6) Peralatan cuci dipasang permanan dan dibuat saluran pembuangan air
kotor.
7) Apabila memungkinkan laundry dilengkapi dengan perlengkapan
disinfeksi lainnya.
8) Perlu disediakan ruang sarana/ pengeringan untuk alat-alat yang telah
dicuci.
9) Tempat cucian harus selalu dijaga kebersihannya.
10) Bangunan laundry perlu disediakan ventilasi dan pencahayaan
minimal 200 lux
b. Pada laundry harus disediakan ruang-ruang yang terpisah sesuai
dengan kegunaannya:
1) Ruang linen kotor
2) Ruang linen bersih
3) Gudang kereta linen
4) Kamar mandi / WC tersendiri untuk petugas pencucian umum
5) Ruang cuci hendaknya dilengkapi dengan alat cuci yang mampu
bekerja satu hari habis .
6) Ruang-ruang diatur penempatannya sehingga perjalanan linen kotor
sampai menjadi linen bersih terhindar dari kontaminasi ulang.
7) Hendaknya disediakan mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis linen
berbeda yang dipergunakan di rumah sakit. Dibedakan mesin pencuci
infeksius dengan non infeksius.

105
8) Harus disediakan tempat cuci tangan dengan air yang mengalir bagi
petugas untuk mencegah dekontaminasi linen bersih.
9) Dalam melakukan proses pencucian harus dihindari tumpahan air.
c. Standarisasi laundry
1) Bangunan laundry harus terpisah dari bagian pengolaan makanan
2) Loket penerimaan linen kotor dengan loket pendistribusian linen
bersih harus dibedakan.
3) Mesin pencuci linen infeksi dengan non infeksi harus di bedakan
4) Ruang pengolaan linen bersih dan kotor harus dibedakan
5) Tekanan udara pada ruang penatalaksanaan linen kotor harus negatif
untuk mencegah sirkulasi udara menuju ruang linen bersih
6) Pencahayaan harus cukup, sirkulasi udara harus baik
7) Sanitasi lingkungan yang baik / bersih
8) Petugas pengolaan linen kotor di ruangan pelayanan dan di ruangan
laundry harus menggunakan alat pelindung diri seperti tutup kepala,
masker, kaca mata, sarung tangan rumah tangga, sepatu boat, apron
9) Linen kotor tidak boleh di kibas-kibaskan atau diletakkan di lantai
10) Dilarang memasuki gudang penyimpanan linen bersih kecuali oleh
petugas laundry
11) Kain kotor diantar setiap hari ke laundry
12) Kereta dorong harus di pisaahkan antara linen kotor infeksius dengan
non infeksius.

106
g. PERLINDUNGAN PETUGAS KESEHATAN
Saat menjadi karyawan baru seorang petugas kesehatan harus diperiksa
riwayat pernah infeksi apa saja, status imunisasinya. Imunisasi yang dianjurkan
untuk petugas kesehatan adalah hepatitis B, dan bila memungkinkan A,
influenza, campak, tetanus, difteri, rubella. Mantoux test untuk melihat adakah
infeksi TB sebelumnya, sebagai data awal. Pada kasus khusus, dapat diberikan
varicella. Alur paska pajanan harus dibuat dan pastikan dipatuhi untuk HIV,
HBV, HCV, Neisseria meningitidis, MTB, Hepatitis A, Difteri, Varicella zoster,
Bordetella pertusis, Rabies.
Tata Laksana :
1. Pajanan terhadap virus H5N1
Bila terjadi pajanan H5N1 diberikan oseltamivir 2x75mg selama 5 hari.
Monitor kesehatan petugas yang terpajan sesuai dengan formulir yang
tersedia.
2. Pajanan terhadap virus HIV
Risiko terpajan 0,2 – 0,4% per injuri
Upaya menurunkan risiko terpajan patogen melalui darah dapat melalui:
a. Rutin menjalankan Kewaspadaan Standar, memakai APD yang sesuai
b. Menggunakan alat dengan aman, membuang limbah pada wadah yang
tepat
c. Edukasi petugas tentang praktek aman menggunakan jarum, benda tajam.
d. Faktor yang dapat meningkatkan terjadinya infeksi paska pajanan:
1) Tusukan yang dalam
2) Tampak darah pada alat penimbul pajanan
3) Tusukan masuk ke pembuluh darah
4) Sumber pajanan mengandung virus kadar tinggi
Tindakan pencegahan harus terinformasi kepada seluruh petugas.
Peraturannya harus termasuk memeriksa sumber pajanan, penatalaksanaan
jarum dan alat tajam yang benar, alat pelindung diri, penatalaksanaan luka
tusuk, sterilisasi dan disinfeksi.
Alur penatalaksanaan pajanan di rumah sakit harus termasuk pemeriksaan
laboratorium yang harus dikerjakan, profilaksis paska pajanan harus telah
diberikan dalam waktu 4 jam paska pajanan, dianjurkan pemberian

107
antiretroviral (ARV) kombinasi AZT (zidovudine), 3TC (lamivudine) dan
Indinavir atau sesuai pedoman lokal.
Paska pajanan harus segera dilakukan pemeriksaan HIV serologi dan
dicatat sampai jadwal pemeriksaan monitoring lanjutannya kemungkinan
serokonversi. Petugas terinformasi tentang sindroma ARV akut,
mononukleosis akut pada 70-90% infeksi HIV akut, melaporkan semua
gejala sakit yang dialami dalam 3 bulan.
Kemungkinan risiko pajanan dapat terjadi kapan saja tetapi konseling,
pemeriksaan laboratorium dan pemberian ARV harus difasilitasi dalam 24
jam. Penelusuran paska pajanan harus standar sampai waktu 1 tahun.
Diulang tiap tiga bulan sampai sembilan bulan ataupun 1 tahun.
3. Pajanan terhadap virus Hepatitis B
Probabilitas infeksi Hepatitis B paska pajanan antara 1,9 – 40% per pajanan.
Segera paska pajanan harus dilakukan pemeriksaan. Petugas dapat terjadi
infeksi bila sumber pajanan positif HBsAg atau HbeAg.
Profilaksis Paska Pajanan :
a. Tidak perlu divaksinasi bila petugas telah mengandung Anti HBs lebih
dari 10mIU/ml.
b. HB imunoglobulin IM segera, dianjurkan dalam waktu 48 jam dan >1
minggu PP, dan 1 seri vaksinasi Hepatitis B dan dimonitor dengan tes
serologik.
c. Hepatitis B timbul pada individu dengan Hepatitis B, ditransmisikan
dengan cara yang sama demikian dengan cara memonitornya.
4. Pajanan terhadap virus Hepatitis C
Transmisi sama dengan Hepatitis B. Belum ada terapi profilaksis paska
pajanan yang dapat diberikan, tetapi perlu dilakukan monitoring pemeriksaan
adakah serokonversi dan didokumentasikan. Sumber pajanan juga harus
diperiksa.
Segala pajanan patogen yang terjadi saat okupasi harus dilakukan konseling,
pemeriksaan klinis dan harus dimonitor dengan pemeriksaan serologis.
5. Infeksi Neisseria Meningkitis
N meningitidis dapat ditransmisikan lewat sekresi respiratorik, jarang terjadi
saat okupasi. Perlu terapi profilaksis bila telah terjadi kontak erat petugas

108
dengan pasien misal saat resusitasi mulut ke mulut, diberikan Rifampisin 2 X
600 mg selama 2 hari atau dosis tunggal Cyprofloxasin 500 mg atau Cefriaxon
250 mg IM.
6. Mycobacterium Tuberculosis
Transmisi kepada petugas lewat airborne droplet nuclei biasanya dari pasien
TB paru. Sekarang perlu perhatian hubungan antara TB, Infeksi HIV dan
MDR TB. Petugas yang paska terekspos perlu di tes Mantoux bila indurasinya
> 10 mm perlu diberikan profilaksis INH sesuai rekomendasi lokal.
7. Infeksi lain (Varicella, Hepatitis A, Hepatitis E, Influensa, Pertusis,
Difteria dan Rabies)
Transmisinya tidak biasa, tetapi harus dibuat penatalaksanaan untuk petugas.
Dianjurkan vaksinasi untuk petugas terhadap Varicella dan Hepatitis A,
Rabies untuk daerah yang endemis.

109
8. Alur Pajanan
a. Alur laporan paparan benda tajam infeksius bagi petugas

Tertusuk benda tajam


infeksius

Cuci di bawa air


mengalir dengan cairan
antiseptik

Tutup luka dengan


alcohol swab dan
plester

Lapor ke IPCN / Ketua


K3 dalam jam kerja /
Duty diluar jam kerja

Lengkapi From A & B


Laporan Paparan

Ikuti Advis IPCN / Ketua


K3 / Duty Dokter IGD

110
b. Tindakan pertama pada pajanan bahan kimia atau cairan tubuh
1) Pada mata : Bilas dengan air mengalir – 15 menit
2) Pada kulit : Bilas dengan air mengalir – 1 menit
3) Pada mulut : Segera kumur-kumur – 1 menit
4) Lapor ke Komite PPI, Panitia K3RS atau ke dokter karyawan
c. Tindakan pada petugas yang tertusuk limbah benda tajam bekas
pakai :
1) Cuci luka dengan air mengalir selama ± 10 menit dan tidak boleh
dipijat pijat
2) Beri cairan antiseptic biarkan sampai kering
3) Lapor ke penanggung jawab unit/ Ketua Tim, dan penanggung jawab
unit/ketua tim segera melapor ke Komite PPI
4) Lakukan pemeriksaan laboratorium (HbSAg, Anti HCV, Anti HIV)
baik pasien maupun petugas yang terpajan
5) Jika hasil pemeriksaan pasien HbSAg positif, hasil petugas negatif
maka petugas diberikan vaksin Hepatitis B. Pasien dilaporkan ke DPJP
untuk ditindak lanjuti
6) Jika hasil HbSAg petugas positif maka dikonsulkan ke DPJP dan
Komite K3RS
7) Jika hasil anti HCV dan anti HIV pasien dan petugas positive maka
petugas di konsulkan ke DPJP
8) Jika hasil laboratorium pasien positive dan hasil petugas negative
dikonsulkan ke DPJP
9) Petugas dilakukan pemeriksaan laboratorium ulang dalam waktu 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun (ALUR penanganan terlampir)
10) Semua pembiayaan dibebankan ke rumah sakit dan untuk karyawan
pihak ke 3 (outsourching) dibebankan kepada perusahaan penyedia.
d. Program pemberian vaksin terhadap petugas
Pemberian vaksin dilakukan terhadap smua petugas yang bekerja di
Rumah Sakit (semua perawat, bidan,dokter,CS,sopir, tukang kebun,
sanitarian, radiographer,analis, petugas kamar jenazah,fisioterapis).
Apabila dana terbatas, maka perlindungan yang minimal bagi petugas

111
adalah imunisasi Hepatitis B, imunisasi masal yang diulang tiap 5 tahun
pasca imunisasi.
Pemberian vaksin lainya tergantung kebutuhan dan sistuasi ,jika ada
kejadian luar biasa yang mengharuskan pemberian vaksin yang sesuai;
misal ada KLB difteri.
e. Strategi pencegahan terhadap infeksi yang dapat ditranmisikan
dalam kegiatan pelayanan kesehatan, antara lain:
1) Monitoring dan support kesehatan petugas
2) Vaksinasi bila dibutuhkan
3) Vaksinasi terhadap infeksi saluran napas akut bila memungkinkan
4) Menyediakan antivirus profilaksis
5) Terapi dan follow up epi/pandemic infeksi saluran napas akut pada
petugas
6) Rencanakan petugas diizinkan masuk, sesuai pengukuran risiko pasca
infeksi
7) Upayakan support psikososial
f. Evaluasi sebelum dan setelah penempatan petugas
1) Status imunisasi
2) Riwayat kesehatan yang lalu
3) Terapi saat ini
4) Pemeriksaan fisik
5) Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi
g. Edukasi
Sosialisasi SPO pencegahan dan pengendalian infeksi misal:
Kewaspadaan Isolasi, Kewaspadaan standar dan Kewaspadaan berbasis
transmisi, Kebijakan Departemen Kesehatan tentang Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (PPI) terkini.
h. Monitoring dan Dokumentasi
a. Monitoring
Pengawasan terhadap petugas dilakukan setiap saat dan setiap petugas
yang terkena pajanan melaporkan ke penanggung jawab unit / ketua
Tim, atau ke Duty Manager jika kejadian di sore dan malam hari yang

112
kemudian dilaporkan ke IPCN/ KomitePPI dan mengisi formulir
laporan terpajan
b. Dokumentasi
Semua kejadian terkena pajanan didokumentasikan dan dilaporkan
setiap triwulan ke Komite Mutu dan Manajemen Risiko

h. PEMPROSESAN PERALATAN PERAWATAN PASIEN


( Pembersihan, Disenfeksi dan Sterilisasi )
Tata Laksana :
1. Klasifikasi alat-alat medis menurut Dr. Earl Spaulding
a. Peralatan Critical
1) Perlatan medis yang masuk/kontak kedalam jaringan tubuh steril atau
sistem pembuluh darah.
Contoh: Instrument bedah, kateter jantung, kateter intra vena
2) Pegelolaan peralatan medis dengan Sterilisasi
b. Peralatan Semi Critical
1) Peralatan medis yang masuk /kontak dengan membrana mucosa tubuh.
Contoh: Endotracheal tube, endoscopi, nasogastric tube 110
2) Pengelolaan peralatan medis dengan desinfeksi tingkat tinggi
c. Peralatan Non Kritis
1) Peralatan medis yang kontak hanya dengan permukaan kulit yang
utuh. Contoh: Tensimeter,bedpan,urinal,linen, stetoscope
2) Pengelolaan peralatan medis dengan desinfeksi intermediate/tingkat
rendah
2. Pengolahan alat-alat medis habis pakai
a. Dekontaminasi
Indikasi :
1) Alat medis habis pakai
2) Permukaan meja/permukaan lain yang tercemar/tumpahan darah atau
cairan tubuh pasien
3) Linen bekas pakai yang tercemar darah/atau cairan tubuh pasien
a) Prosedur dekontaminasi alat medis habis pakai
(1) Cuci tangan

113
(2) Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,
kaca mata) kalau perlu
(3) Segera rendam peralatan medis setelah dipakai dalam larutan
klorin 0.5 % selama 10-15 menit (desinfektan)seluruh alat
medis harus terendam dalam larutan klorin
(4) Lanjutkan dengan pembersihan
(5) Buka sarung tangan
(6) Cuci tangan
b) Prosedur dekontaminasi permukaan meja/permukaan lain
yang tercemar/tumpahan darah atau cairan tubuh pasien
(1) Cuci tangan
(2) Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,
kaca mata) kalau perlu
(3) Serap darah/cairan tubuh sebanyak-banyaknya dengan
kertas/koran bekas/tissue
(4) Buang kertas/tissue penyerap kedalam kantong sampah medis
(5) Bersihkan daerah bekas tumpahan dengan larutan klorin 0.5 %
(desinfektan)
(6) Buka sarung tangan
(7) Cuci tangan
c) Prosedur dekontaminasi linen bekas pakai yang tercemar
darah/atau cairan tubuh pasien
(1) Cuci tangan
(2) Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,
kaca mata) kalau perlu
(3) Segera rendam alat tenun yang terkontaminasi setelah dipakai
dalam larutan klorin 0.5 % selama 10-15 menit (desinfektan).
Alat tenun yang terkontaminasi harus terendam semua
(4) Peras alat tenun dan masukkan dalam kantong alat tenun kotor
(5) Buka sarung tangan
(6) Cuci tangan

114
b. Pembersihan
Cara pembersihan di RS Restu Ibu Balikpapan menggunakan manual
 Prosedur pembersihan dengan cara manual
(1) Cuci tangan
(2) Pakai sarung tangan dan alat pelindung diri (apron, masker,kaca
mata) kalau perlu
(3) Keluarkan alat-alat medis yang telah didekontaminasi, bilas
dengan air mengalir
(4) Lepaskan/buka alat medis yang dapat dilepas pada saat dibersihkan
(5) Sikat perlahan-lahan alat medis dari setiap permukaan termasuk
gerigi dan lekukan
(6) Bilas sampai bersih dalam air hangat
(7) Bersihkan sikat dan bak pencuci
(8) Keringkan alat medis dengan kain atau di udara
(9) Buka sarung tangan dan alat pelindung diri dan lakukan cuci
tangan

c. Desinfeksi
Selain pengklasifikasian peralatan medis, Dr. Earl Spaulding juga
mengklasifikasikan desinfeksi menjadi tiga, yaitu:
1) Desinfeksi Tingkat Tinggi (DTT)
Sterilisasi peralatan medis kritikal seharusnya disterilkan tetapi apabila
tidak memungkinkan HDL merupakan perlakuan minimun yang
direkomendasikan oleh CDC. HDL dapat membunuh semua
mikroorganisme, kecuali endospora.
Cara: Merebus dalam air mendidih selama 20 menit.
Rendam dalam larutan kimiawi: Glutaraldehyde, Hydrogen Peroksida
2) Desinfeksi Tingkat Sedang (DTS)
Desinfektan ini akan membunuh mikroorganisme bakteri, fungi, virus,
namun tidak mempunyai aktivitas membunuh spora.
Contoh: Ethyl atau Isporopyl alkohol 70-90 % Mudah menguap dan
terbakar
Natrium Hipoklorit bersifat korosif terhadap metal

115
3) Desinfeksi Tingkat Rendah (DTR)
Disinfektan ini tidak mempunyai daya untuk membunuh
mikroorganisme, fungi, bakteri, virus,
Contoh: Formaldehid pada konsentrasi kurang dari 4 %, Ethyl atau
iSPOropyl alkohol 70-90 %, namun tidak mempunyai aktivitas
membunuh spora.
d. Pengemasan
Untuk dapat memenuhi tujuan tersebut diatas bahan pengemas harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Bahan kemasan harus tahan terhadap kondisi fisik yang akan dialami
pada saat proses sterilisasi berlangsung, seperti suhu tinggi,
kelembaban, tekanan dan kondisi vakum.
2) Harus memungkinkan terjadinya penetrasi dan kontak langsung dari
agen sterilan baik steam (uap), ethylene oksida, maupun panas kering,
terhadap setiap aspek kemasan dan isinya.
3) Harus memungkinkan pengeluaran dan pemindahan agen sterilan dari
kemasan pada akhir proses sterilisasi.
4) Memastikan bahwa sterilitas kemasan dapat terjamin sampai waktu
kemasan tersebut dibuka.
5) Bahan pengemasan harus efisien untuk dapat digunakan pada semua
prosedur pengemasan.
6) Harus mudah ditangani, dan cukup fleksibel terhadap ukuran alat yang
akan dikemas.
7) Bahan pengemas tidak boleh mengandung materi toksik atau zat
pewarna toksik
a) Penyegelan kemasan
Penyegelan kemasan juga mempunyai andil memberikan proteksi
terhadap isi kemasan. Isi kemasan dalam pembungkus datar, dapat
disegel dengan menggunakan tape indikator. Kantong terbuat dari
plastik, kombinasi kertas/dengan plastik, atau kertas dan harus
disegel secara rapat menggunakan segel panas atau segel kertas.
Segel harus dibuat sedemikian rupa sehingga apabila dibuka fungsi
segel menjadi hilang, hal ini untuk menjaga kepastian bahwa

116
kemasan memang masih utuh dan belum dibuka sebelum saatnya
penggunaaan.
b) Jenis bahan kemasan
(1) Linen
(2) Plastik film
(3) Kertas
(4) Kombinasi plastik film dan kertas
c) Prosedur pengemasan
Linen merupakan pengemasan tradisionil, dan saat ini banyak
sekali dipakai di Indonesia. Keuntungan dari pengemas ini adalah
dapat dipakai ulang, relatif murah, cukup kuat. Namun ada
beberapa kelemahannya antara lain kurang memberikan proteksi
mikroorganisme yang baik karena biasanya dapat menyerap air,
pemanasan berlebihan menyebabkan hilangnya daya rentang dan
warna menjadi kecoklatan, linen bersih harus diperiksa terhadap
lubang, sobekan dan kerusakan lain yang menghilangkan daya
proteksinya. Sebaiknya linen yang digunakan tidak di bleach
karena relatif lebih kuat,. Jenis kain kanvas tidak semestinya
digunakan karena menghambat penetrasi steam. Plastik tidak dapat
ditembus oleh air baik dalam bentuk cair maupun dalam bentuk
uap, sehingga plastik tidak dapat digunakan untuk sterilisasi uap,
kecuali dikombinasi dengan kertas. Untuk sterilisasi ethyline
oksida jenis plastik polyethelene dapat digunakan karena dapat
ditembus oleh molekul ethyline oksida. Untuk jenis pengemas
kertas perlu diperhatikan bahwa pemakaiannya adalah untuk satu
kali pakai. Beberapa persyaratan kertas yang dapt digunakan
sebagai pengemas kertas adalah:
(1) Harus bersifat menolak/tidak mengabsorpsi air
(2) Mempunyai daya rentang
(3) Harus mempunyai sifat penghalang bakteri yang baik
(4) Harus bebas dari materi toksik
Prosedur tertulis mengenai pengemasan harus disiapkan untuk
dapat dimanfaatkan bagi seluruh personil pengemasan. Prosedur
pengemasan harus mencakup hal-hal berikut seperti: nama alat
117
yang akan dikemas, langkah-langkah penyiapan dan inspeksi alat,
metode sterilisasi yang digunakan, cara penempatan item secara
benar dalam kemasan, cara penempatan indikator kimia internal
dan eksternal, metode penyegelan kemasan, maupun cara
penempatan kemasan dalam chamber dan cara penyimpanan yang
benar.
e. Sterilisasi
Pengelolaaan alat medis dengan dekontaminasi, pembersihan dan
disinfeksi dapat dilakukan di CSSD, sterilisasi dilaksanakan di pelayanan
sterilisasi sentral.
Pelayanan sterilisasi central merupakan suatu unit di rumah sakit yang
memberikan pelayanan sterilisasi semua kebutuhan rumah sakit seperti
alat instrumen bedah, linen dan bahan lain yang diperlukan dalam kondisi
steril.
a) Tujuan pelayanan sterilisasi sentral adalah:
a) Menyediakan alat-alat medis yang steril
b) Membantu mencegah terjadinya infeksi nosokomial
c) Menjamin kualitas sterilisasi
d) Efisiensi tenaga
b) Untuk mencapai tujuan pelayanan sterilisasi ini perlu adanya :
a) Bagan organisasi yang jelas, menggambarkan alur tanggung jawab
dan komunikasi dengan unit-unit yang memerlukan pelayanan
sterilisasi.
b) Unit sterilisasi harus dipimpin oleh seorang yang memahami
tentang dekontaminasi, desinfeksi, pembersihan, disinfeksi dan
sterilisasi.
c) Ada prosedur tertulis mengenai proses dekontaminasi, pencucian,
pengemasan dan sterilisasi semua alat-alat medis.
d) Ada loket yang terpisah penerimaan alat-alat medis kotor dan loket
penyerahan alat-alat medis steril
e) Ada ruangan tempat penyimpanan peralatan kotor, bersih dan
peralatan steril yang terpisah.

118
f) Ruangan peralatan steril harus mempunyai tekanan positif dari
ruangan lain, aliran udara dari dalam ke luar. Kelembaban harus
dijaga 20-23 C. Upayakan tidak ada pipa, kabel yang menonjol
untuk menghindari timbunan kuman. Hanya petugas penyimpanan
barang yang boleh masuk. Distribusi stok barang dengan sistem
FIFO.
g) Ruangan sterilisasi dirancang sedemikian rupa sehingga udara dari
ruangan kotor tidak mengalir ke ruangan bersih.
h) Lantai dan dinding mudah dibersihkan.
i) Ada tempat cuci tangan dengan air mengalir
j) Kualitas air baik
k) Mesin sterilisator diperiksa secara teratur. Sebaiknya memiliki dua
pintu depan dan belakang.
l) Tersedia alat-alat pelindung diri
m) Ada pemeriksaan secara berkala dengan indikator fisik dan
kimiawi serta secara mikrobiologik terhadap alat-alat yang
disterilkan.
n) Jadwal dan tata kerja diatur sedemikian rupa agar unit sterilisasi
dapat berfungsi di luar jam kerja.
o) Pengorganisasian pelayanan sterilisasi sentral sebaiknya dibawah
Direktur Penunjang Medik. Dan merupakan anggota dari Sub
Komite Pengendalian Infeksi Nosokomial.
Tata Laksana :
1) Proses Sterilisasi
Proses sterilisasi terjadi dengan memaparkan energi thermal dalam
bentuk panas kering/basah, zat kimia dalam wujud cair/gas maupun
bentuk radiasi terhadap suatu benda dalam waktu tertentu. Sterilisasi
adalah keadaan/kondisi bebas dari semua mikroorganisme termasuk
spora
2) Metode Streilisasi
a) Sterilisasi dengan suhu tinggi

119
(1) Sterilisasi Uap (Steam Heat)
Pemaparan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan
suhu tertentu pada auatu objek, sehingga terjadi pembunuhan
mikroorganisme secara irreversibel akibat dari denaturasi atau
koagulasi protein sel.
Sterilisasi uap adalah metode sterilisasi paling tua, aman,
efektif, relatif tidak mahal, bersifat non toksik, dan sangat
dikenal untuk digunakan di sarana kesehatan. Temperatur
waktu 120 ° C dalam 30-45 menit untuk karet, 132 ° C dalam
35 menit untuk logam /linen.
Sterilisasi uap direkomendasikan untuk peralatan yang tahan
panas dan tahan uap.
(2) Sterilisasi panas kering (Dry Heat)
Proses sterilisasi panas kering terjadi melalui mekanisme
konduksi pada benda padat, konveksi pada cairan dan gas, dan
radiasi yaitu transfer panas tanpa menyebabkan panas
didalamnya. Keuntungan steriliasi panas kering dapat
mensterilkan bahan yang tidak dapat ditembus steam, tidak
bersifat korosi, mencapai seluruh permukaan alat. Namun
sterilisasi panas kering ini punya kelemahan penetrasi bahan,
sangat lambat, waktu pemaparan panas lama, perlu suhu tinggi,
dan dapat merusak bahan karet.
Penggunaan sterilisasi panas kering : minyak, serbuk halus,
syringe, kaca, gelas.Waktu temperaturnya adalah 170° C
selama 60 menit, 160° C selama 120 menit, 150 ° C selama
150 menit
b) Sterilisasi dengan suhu rendah
Kriteria sterilan ideal:
 Daya bunuh yang kuat
 Daya penetrasi yang baik
 Aman /tidak toksik
 Bisa digunakan untuk semua alat Indikator
 Proses cepat

120
(1) Ethylene Oxide
Proses sterilisasi suhu rendah /Ethylene Oxide (ETO)
digunakan untuk sterilkan alat-alat medis yang sensitif
terhadap panas dan uap.
ETO tidak berwarna, mudah terbakar, dan tidak berbau. Suhu
37 ℃ / 55 ℃ . Keuntungan dari ETO ini non korosi terhadap
plastik, metal, karet.
Mempunyai kelemahan; waktunya lama 2.5 – 6 jam, biaya
tinggi, bersifat toksik, mutagenik, karsinogenik, iritasi saluran
pernapasan, dalam konsentrasi tinggi dapat menimbulkan
pusing, mual, muntah.
(2) Hydrogen Peroxide
Sterilisasi Plasma Hydrogen Peroksida. Gas plasma
sterilization (Sterrad) mengalami dua fase difusi H2O2 dan
Plasma Konsentrasi 58 % .
Kekurangannya: linen dan kertas tidak dapat disterilkan dengan
metode ini.
(3) Liquid Paracetic Acid
Keuntungan Sterilisaasi ini adalah tidak merusak
lingkungan/aman (asetic, O2, H2O), waktu cepat 30-45 menit,
otomatis.
Isu pengolahan alat –alat medis
 Pembersihan tidak adekuat pada saat pembersihan
 Konsentrasi larutan disinfektan tidak tepat
 Penyimpanan tidak benar
 Penyimpanan basah setelah sterilisasi
3) Faktor – factor yang mempengaruhi proses sterilisasi
a) Suhu
b) Tekanan
c) Waktu
d) Kejenuhan uap, Kontak uap dengan objek

121
i. PENATALAKSANAAN ETIKA BATUK
Tata Laksana :
1) Bahwa etika batuk dan bersin Diterapkan untuk semua orang terutama pada
kasus infeksi dengan jenis transmisi airborne dan droplet.
2) Rumah sakit menyediakan sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air
mengalir, tisu, sabun cair, tempat sampah infeksius dan masker bedah sebagai
sarana penunjang pelaksanaan etika batuk dan bersin yang benar.
3) Bahwa langkah etika batuk dan bersin mengacu pada sumber yang sesuai
4) Petugas, pasien dan pengunjung dengan gejala infeksi saluran napas, harus
melaksanakan dan mematuhi langkah-langkah etika batuk sebagai berikut.
5) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau lengan atas.
6) Tisue dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian mencuci tangan.
7) Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) tentang etika batuk dan
bersin dapat dilakukan melalui audio visual, leaflet, poster, benner, radio,
video melalui TV di ruang tunggu atau lisan oleh petugas.

Gambar 18: Cara Etika Batuk

j. PENYUNTIKAN YANG AMAN


Tata Laksana :
1) Bahwa semua praktek menyuntik harus dijalankan dengan benar dan aman
sesuai prosedur yang ada
2) Pakai jarum yang steril, sekali pakai, pada tiap suntikan untuk mencegah
kontaminasi pada peralatan injeksi dan terapi

122
3) Vial/ampul/botol infus untuk single use harus dapat digunakan dengan cara
yang dapat menjaga syarat aseptic
4) setiap proses menyuntik memperhatikan kaidah pembersihan peralatan dan
lingkungan baik selama persiapan, pelaksanaan dan setelah selesai tindakan
menyuntik
5) Multi dose vial digunakan
a) Hanya digunakan untuk satu orang pasien
b) Setiap mengakses vial multi dose harus menggunakan jarum dan spuit
yang steril
c) Tidak disimpan atau dibawa ke kamar pasien atau ruang tindakan kecuali
vial tersebut hanya diperuntukkan untuk satu orang pasien tertentu
d) Setelah digunakan untuk pertama kali, harus dicantumkan tanggal pertama
kali vial dibuka dan tanggal beyond use date pada etiket obat :
(1) Cairan infus dalam botol (plastik atau kaca) tidak dapat digunakan
bersama sama untuk beberapa pasien
(2) Insulin flexpen hanya dapat digunakan untuk satu orang pasien dan
tidak dapat digunakan untuk bersama - sama untuk beberapa pasien
(3) Setiap kali penyuntikan insulin dengan menggunakan flexpen harus
menggunakan jarum baru

k. PRATEK LUMBAL PUNKSI


Tata Laksana :
Indikasi pemeriksaan lumbal punksi:
1) Diagnosa
a) Infeksi : Myelitis Encephalitis
b) Tumor : Medula Spinalis
2) Terapi : Intra Thekal
3) Evaluasi : Penyakit meningitis
Langkah - langkah :
a) Dokter dan perawat melakukan kebersihan tangan
b) Dokter dan perawat memakai APD (Masker dan Sarung tangan)
c) Pasien diberitahu tindakan yang akan dilakukan

123
d) Pasien miring ke kiri, tarik garis lurus yang menghubungkan Krista illiaca
kiri dan kanan
e) Jarum Lumbal Punksi ditusukkan dititik ini / satu celah diatas, satu celah
dibawah
f) Lakukan tindakan aseptik atau desinfeksi lokasi tusukan dan area sekitar
tusukan
g) Berikan injeksi obat anastesi secara intra kutan, subkutan kedalam
ligamentum intenspinalis kiri dan kanan tunggu sekitar 2 menit
h) Lakukan penusukan jarum Lumbal Punksi pada media tegak lurus
i) Setelah melewati ligamentum inten spinalis stilitel dicabut dan
diperhatikan kondisi cairan (jernih, keruh atau berdarah)
j) Apabila tidak ada cairan yang menetes, jarum ditusukkan beberapa meli
meter, lebih dalam dan di putar sedikit sampai cairan menetes
k) Untuk mengukur Tekanan Intra Kranial (TIK) dipasang manometer, ukur
tinggi permukaan cairan (TIK adalah ukuran tinggi tersebut dalam satuan
centimeter air
l) Teteskan 3 (tiga) tetes cairan liquor kedalam tabung reagen Nonne, dan
dapat diliat adanya reaksi reagen tersebut
m) Selanjutnya teteskan 3 cc sampai 5 cc cairan liquor pada botol steril untuk
pemeriksaan sellen, protein, glucose dan elektrolit untuk biakan kuan,
kemudian kirim ke laboratorium
n) Tutup luka dengan balutan dan plester
o) Setelah selesai tindakan, dokter dan perawat melepas APD
p) Dokter dan perawat melakukan kebersihan tangan

124
2. KEWASPADAAN TRANSMISI
Kewaspadaan berdasarkan transmisi ini dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun
kombinasi dengan Kewaspadaan Standar seperti kebersihan tangan dengan mencuci
tangan sebelum dan sesudah tindakan menggunakan sabun, antiseptik ataupun
antiseptik berbasis alkohol, memakai sarung tangan sekali pakai bila kontak dengan
cairan tubuh, gaun pelindung dipakai bila terdapat kemungkinan terkena percikan
cairan tubuh, memakai masker, goggle untuk melindungi wajah dari percikan cairan
tubuh.
a) Kewaspadaan Transmisi Kontak
Cara transmisi yang terpenting dan tersering menimbulkan HAIs. Ditujukan
untuk menurunkan risiko transmisi mikroba yang secara epidemiologi
ditransmisikan melalui kontak langsung atau tidak langsung. Kontak langsung
meliputi kontak permukaan kulit terluka/abrasi orang yang rentan/petugas dengan
kulit pasien terinfeksi atau kolonisasi. Misal perawat membalikkan tubuh pasien,
memandikan, membantu pasien bergerak, dokter bedah dengan luka basah saat
mengganti verband, petugas tanpa sarung tangan merawat oral pasien HSV atau
scabies. Transmisi kontak tidak langsung terjadi kontak antara orang yang rentan
dengan benda yang terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan, instrumen
yang terkontaminasi, jarum, kasa, tangan terkontaminasi dan belum dicuci atau
sarung tangan yang tidak diganti saat menolong pasien satu dengan yang lainnya,
dan melalui mainan anak. Kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi yang
ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda mati dilingkungan pasien
sebagai cara transmisi tambahan melalui droplet besar pada patogen infeksi
saluran napas misal: para influenza, RSV, SARS, H5N1.
Pada pedoman Isolation tahun 2007, dianjurkan juga kenakan masker saat
dalam radius 6-10 kaki dari pasien dengan mikroba virulen. Diterapkan terhadap
pasien dengan infeksi atau terkolonisasi (ada mikroba pada atau dalam pasien
tanpa gejala klinis infeksi) yang secara epidemiologi mikrobanya dapat
ditransmisikan dengan cara kontak langsung atau tidak langsung. (Kategori IB)
Petugas harus menahan diri untuk menyentuh mata, hidung, mulut saat masih
memakai sarung tangan terkontaminasi ataupun tanpa sarung tangan. Hindari
mengkontaminasi permukaan lingkungan yang tidak berhubungan dengan
perawatan pasien misal: pegangan pintu, tombol lampu, telepon.

125
b) Kewaspadaan Transmisi Droplet
Diterapkan sebagai tambahan Kewaspadaan Standar terhadap pasien dengan
infeksi diketahui atau suspek mengidap mikroba yang dapat ditransmisikan
melalui droplet (>5,5m) Droplet yang besar terlalu berat untuk melayang di udara
dan akan jatuh dalam jarak 1-2m dari sumber. Transmisi droplet melibatkan
kontak konjungtiva atau mucus membrane hidung/mulut, orang rentan dengan
droplet partikel besar mengandung mikroba berasal dari pasien pengidap atau
carrier dikeluarkan saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction,
bronkhoskopi.
Dibutuhkan jarak dekat antara sumber dan resipien < 3 kaki. Karena droplet
tidak bertahan diudara maka tidak dibutuhkan penanganan khusus udara atau
ventilasi, Misal: Adenovirus.Transmisi droplet langsung, dimana droplet
mencapai mucus membrane atau terinhalasi. Transmisi droplet ke kontak, yaitu
droplet mengkontaminasi permukaan tangan dan ditransmisikan ke sisi lain misal:
mukosa membrane. Transmisi jenis ini lebih sering terjadi daripada transmisi
droplet langsung, misal: commoncold, respiratory syncitial virus (RSV).Dapat
terjadi saat pasien terinfeksi batuk, bersin, bicara, intubasi endotrakheal, batuk
akibat induksi fisioterapi dada, resusitasi kardiopulmoner.
c) Kewaspadaan Transmisi Airbone
Kewaspadaan transmisi melalui udara (kategori IB) diterapkan sebagai
tambahan Kewaspadaan Standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui
terinfeksi mikroba yang secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui
jalur udara. Seperti misalnya transmisi partikel terinhalasi (varicella zoster)
langsung melalui udara.
Ditujukan untuk menurunkan risiko transmisi udara mikroba penyebab infeksi
baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa partikel kecil < 5 m
evaporasi dari droplet yang bertahan lama di udara) atau partikel debu yang
mengandung mikroba penyebab infeksi. Mikroba tersebut akan terbawa aliran
udara > 2m dari sumber, dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama
dan jauh dari pasien sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan, misal
penanganan udara dan ventilasi yang penting dalam pencegahan transmisi melalui
udara, droplet nuklei atau sisik kulit luka terkontaminasi (S. aureus).

126
KEWASPADAAN BERBASIS TRANSMISI
Kontak Droplet Udara / Airbone
Penempatan Tempatkan di ruang rawat terpisah, bila tidak Tempatkan pasien di ruang terpisah, Tempatkan pasien di ruang
Pasien mungkin kohorting. bila ke2nya tidak mungkin bila tidak mungkin kohorting. Bila terpisah yang mempunyai
maka pertimbang kan epidemiologi mikroba ke2nya tidak mungkin, buat pemisah 1. Tekanan negatif
nya dan populasi pasien. Bicarakan dengan dengan jarak >1 meter antar TT dan 2. Aliran udara 6-12 X / jam
petugas PPI. jarak dengan pengunjung. Pengeluaran udara terfiltrasi
Tempatkan dengan jarak >1 meter antar TT. Pertahankan pintu terbuka, tidak perlu sebelum udara mengalir ke ruang
penanganan khusus thd udara dan atau tempat lain di RS.
ventilasi .
Usahakan pintu ruang pasien
tertutup. Bila ruang terpisah tidak
memungkinkan, tempat kan pasien
dengan pasien lain yang mengidap
mikroba yang sama, jangan
dicampur dengan infeksi lain
(kohorting) dengan jarak ≥ 1
meter.

126
Konsultasikan dengan petugas
PPIRS sebelum menempatkan
pasien bila tidak ada ruang isolasi
dan khorting tidak memungkinkan

Transport Batasi gerak, transport pasien hanya kalau Batasi gerak dan transportasi untuk Batasi gerakan dan transport
Pasien perlu saja. Bila diperlukan pasien keluar batasi droplet dari pasien dengan pasien hanya kalau diperlukan
ruangan perlu kewaspadaan agar risiko minimal mengenakan masker pada pasien dan saja.
transmisi ke pasien lain atau lingkungan. menerapkan hygiene respirasi dan Bila perlu untuk pemeriksaan
etika batuk. pasien dapat diberi masker bedah
untuk cegah menyebarnya droplet
nuklei.

Alat Pelindung Sarung Tangan dan Cuci Tangan Masker Perlindungan Saluran Nafas
Diri Memakai sarung tangan bersih non steril, lateks Pakailah bila bekerja dalam radius 1 Kenakan masker respirator (N95 /
saat masuk ke ruang pasien, ganti sarung tangan meter terhadap pasien saat kontak erat. pada efisiensi 95%) saat masuk
setelah kontak dengan bahan infeksius (darah, Masker seyogyanya melindungi ruang pasien atau suspek TB paru.
cairan drain), lepaskan sarung tangan sebelum hidung dan mulut, dipakai saat
keluar dari kamar pasien dan cuci tangan memasuki ruang rawat pasien dengan Orang yang rentan seharusnya
dengan antiseptik. infeksi saluran napas. tidak boleh masuk ruang pasien

127
Gaun Tidak perlu penanganan udara secara yang diketahui atau suspek
Pakai gaun bersih, tidak steril saat masuk khusus karena mikroba tidak bergerak campak, cacar air kecuali petugas
ruangan pasien untuk melindungi baju dari jarak jauh. yang telah imun.
kontak dengan pasien, permukaan
lingkungan, barang diruang pasien, cairan diare Bila terpaksa harus masuk maka
pasien, ileostomy, colostomy, luka terbuka. harus mengenakan masker
Lepaskan gaun sebelum keluar ruangan. Jaga respirator untuk pencegahan.
agar tidak ada kontaminasi silang ke lingkungan
dan pasien lain. Orang yang telah pernah sakit
campak atau cacar air tidak perlu
Apron memakai:
Bila gaun permeable, untuk mengurangi Masker bedah / Prosedur (min)
penetrasi cairan, tidak dipakai sendiri. Sarung Tangan
Gaun
Goggel
Bila memungkinkan tindakan
dengan kemungkinan timbulnya
aerosol.

128
Peralatan Untuk Bila memungkinkan peralatan non critical
Perawatan dipakai untuk 1 pasien atau pasien dengan
Pasien infeksi mikroba yang sama.
Bersihkan dan disinfeksi sebelum dipakai untuk
pasien lain. (Kategori 1B).

Contoh MDRO, MRSA, VRSA, VISA, VRE, MDRSP Hepatitis B, Pertussis, SARS, RSV Transmisi Pada TB
(Strep pneumoniae) Influenza, Adenovirus, Rhinovirus, N. Sesuai pedoman TB CDC
Virus Herpes simplex, SARS, RSV(indirek mel Meningitidis, Streptococ grup A, Guideline for Preventing of
mainan), S. aureus, C. difficile, P. aeruginosa, Mycoplasma Pneumoniae, Tuberculosis in Healthcare
Influenza, Norovirus. Facilities‖ dan referensi nomor 10.
(juga makanan dan air)
MTB (obligat airborne)
campak, cacar air (kombinasi
transmisi) Norovirus (partikel
feses, vomitus), Rotavirus melalui
partikel kecil aerosol

129
Penempatan Pasien Positif
Penempatan pasien seharusnya sesuai temuan klinis sambil menunggu hasil kultur
laboratorium.
Pertimbangan pada saat penempatan pasien:
1) Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan, misal: luka
lebar dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol.
2) Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke kontak,
misal: luka dengan infeksi kuman gram positif.
3) Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi dibuang keluar dengan exhaust ke area tidak
ada orang lalu lalang, missal.
4) Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne luas, misal:
varicell.
5) Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan (anak, gangguan mental).
6) Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting.
7) Bila pasien terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien, petugas dan pengunjung
menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi.
a. Transport pasien infeksius
Dibatasi, bila perlu saja
Bila mikroba pasien virulen, 3 hal perlu diperhatikan:
(1) Pasien diberi APD (masker, gaun)
(2) Petugas di area tujuan harus diingatkan akan kedatangan pasien tersebut
melaksanakan kewaspadaan yang sesuai
(3) Pasien diberi informasi untuk dilibatkan kewaspadaannya agar tidak terjadi
transmisi kepada orang lain
b. Petugas, peralatan dan permukaan
Tujuan terpenting PPI adalah menjaga petugas, peralatan dan permukaan tetap bersih.
Bersih diartikan :
(1) Bebas dari kotoran
(2) Telah dicuci setelah terakhir dipakai
(3) Penjagaan kebersihan tangan personal
(4) Bebas polutan dan bahan tidak diinginkan
(5) Disinfeksi tangan adalah kewaspadaan isolasi yang terpenting.

130
c. Peraturan untuk Kewaspadaan Isolasi Harus dihindarkan transfer mikroba patogen
antar pasien dan petugas saat perawatan pasien rawat inap. Perlu dijalankan hal
berikut:
1) Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari
seluruh pasien untuk meminimalisir risiko transmisi infeksi
2) Dekontaminasi tangan sebelum kontak diantara pasien
3) Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)
4) Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan untuk menghindari
menyentuh bahan infeksius
5) Pakai sarung tangan saat harus atau mungkin kontak dengan darah dan cairan
tubuh serta barang yang terkontaminasi. Disinfeksi tangan segera setelah melepas
sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien
6) Penanganan limbah faeses, urine, dan sekresi pasien yang lain dalam lubang
pembuangan yang disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan
container pasien yang lain
7) Tangani bahan infeksius sesuai prosedur
8) Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen infeksius pasien telah dibersihkan
dan didisinfeksi dengan benar antar pasien.

131
5.2. SURVEILANS HAI’S
Surveilans infeksi rumah sakit adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus
menerus dalam pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi data kesehatan yang
penting pada suatu populasi spesifik dan didiseminasikan secara berkala kepada pihak
pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan, serta evaluasi
suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan (Pedoman Surveilans Kemkes
2011).
1. Tata Laksana :
a. Perencanaan surveilans
1) Kaji populasi
Siapa yang masuk dalam program surveilans (semua pasien, sekelompok
pasien, Pasien resiko tinggi saja)
2) Seleksi hasil
a) Kejadian yang paling sering terjadi, dampak biaya, diagnosis paling sering
b) Gunakan definisi surveilans infeksi akibat pemasangan alat HAIs,
National Healthcare Safety Network (NHSN), CDC.
b. Identifikasi kasus
Ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam identifikasi kasus
1) Kasus didapatkan secara pasif atau aktif
2) Kasus didapatkan secara temuan atau laboratorium
3) Kasus didapatkan secara prospektif atau retrospektiof
c. Pengumpulan dan pencatatan data
Komite PPI bertanggung jawab atas pengumpulan data, karena mereka yang
memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi infeksi rumah sakit sesuai dengna
kriteria yangtelah ditentukan sedangkan pelaksanaannya adalah IPCN dibantu
oleh IPCLN. Data yang dikumpulkan terdiri dari data numerator dan data
denumerator.
1) Pengumpulan Data Numerator (angka kejadian infeksi)
a) Data Demografi: Nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor catatan medic.
b) Tanggal masuk RS Infeksi: tanggal infeksi, lokasi infeksi, ruang
perawatan saat infeksi muncul
c) Data Laboratorium: jenis mikroba, serologi, patologi
d) Data Radiologi: X-ray, CTScan, MRI dll

132
2) Pengumpulan Data Denumerator (tabulasi dari data pada kelompok pasien
yang memiliki risiko untuk mendapat infeksi).
Jumlah populasi pasien yang berisiko terkena infeksi rumamah sakit untuk
data laju densitas insiden infeksi rumah sakit yang berhubungan dengan
pemasangan alat. Catatan harian jumlah total pasien dan jumlah total hari
pemasangan alat pada area yang dilakukan surveilans. Untuk laju infeksi luka
operasi atau untuk mengetahui indeks risiko: catat informasi untuk prosedur
operasi yang dipilih untuk surveilans.
d. Analisa
Perhitungan dan analisa rate surveilans:
1) Melakukan cek ulang apakah data sudah valid.
2) Menjumlahkan lama hari pemakaian alat dari semua jenis alat yang tercatat
dalam formulir tersebut untuk menentukan denominator.
3) Menjumlahkan semua kasus infeksi sesuai jenisnya untuk menentukan
numerator.
4) Merekapitulasi jenis kuman yang ada pada pasien yang dilakukan
pemeriksaan kultur sesuai jenis spesimen dan masing – masing ruangan.
5) Dilakukan penghitungan sesuai rumus untuk menentukan insiden rate.
6) Mambuat tabel / grafik dari data yang didapatkan.
7) Membandingkan dengan databulansebelumnya dan data CDC. 8) Membuat
dugaanfaktorfaktor kemungkinan kejadian infeksi (dilihat secara intrinsik dan
ekstrinsik).

2. Teknik Perhitungan
a. Catat data secara manual atau komputerisasi sebagai data dasar Tentukan
numerator dan denumerator.
Numerator
Rate: --------------------------- x 100/1000
Denominator
b. Numerator: Jumlah yang terinfeksi pada pasien yang berisiko
c. Denominator: Tabulasi dari kohort pasien yang beresiko infeksi.
d. Angka infeksi VAP adalah jumlah VAP dibagi jumlah hari pemakaian alat
ventilasi mekanik.

133
Jumlah kasus VAP
Angka infeksi VAP = --------------------------------------------X 1000 ‰
Jumlah lama hari pakai alat
e. Angka infeksi saluran kemih (ISK) adalah jumlah kasus terjadi infeksi saluran
kemih akibatpemasangan kateter urin menetap dalam waktu ≥ 24 jam
Jumlah kasus ISK
Angka infeksi ISK = -------------------------------------------- X 1000 ‰
Jumlah lama hari pasang kateter
f. Angka infeksi aliran darah primer (IADP) adalah infeksi yang terjadi akibat
pemasangan central vena kateter
Jumlah kasus IADP
Angka IADP = --------------------------------------------------X 1000 ‰
Jumlah lama hari pasang katete

g. Infeksi luka operasi adalah jumlah kasus infeksi daerah operasi akibat
pembedahan
Jumlah kasus IDO
Angka IDO = ------------------------------------------------X 100 %
Jumlah operasi sesuai jenisnya
h. Infeksi luka infuse perifer (perifer) adalah jumlah kasus infeksi akibat
pemasangan infus
Jumlah kasus plebitis
Angka IDO = -----------------------------------------------X 1000 ‰
Jumlah lama hari pasang infus

3. Evaluasi, Pelaporan dan Diseminasi


a. Evaluasi
Hasil surveilans dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan program PPI
rumah sakit dalam kurun waktu tertentu
b. Pelaporan
1) Laporan hendaknya sistematik, tepat waktu, dan informatif.
2) Penyajian data harus jelas, sederhana, dapat menjelaskan diri sendiri.
3) Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk: tabel, grafik, pie.

134
4) Laporan dibuat secara periodik, setiap bulan, triwulan, semester, tahunan.
c. Diseminasi
Surveilans belum selesai apabila hasilnya tidak didiseminasikan kepada yang
berkepentingan untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi
karenanya hasil surveilans sebaiknya disampaikan keseluruh anggota komite,
direktur rumah sakit, unit terkait secara berkesinambungan.

4. Jenis – Jenis HAI’S Dan Pencegahannya


a. Pencegahan Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
Batasan Pneumonia
Pneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan bagian bawah (ISPB). Seorang
pasien dikatakan menderita pneumonia bila ditemukan satu diantara kriteria
berikut:
1) Untuk dewasa dan anak > 12 bulan.
Pada pemeriksaan fisik terdapat ronki basah atau pekak (dullnes) pada perkusi
dan salah satu diantara keadaan berikut:
a) Baru timbulnya sputum purulen atau terjadinya perubahan sifat sputum
b) Isolasi kuman positif pada biakan darah
c) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea, sikatan /cuci bronkus /
biopsy
d) Foto rontgen dada menunjukkan adanya infiltrat, konsolidasi, kavitasi,
efusipleurabaru atau progresif, dan salah satu diantara keadaan berikut:
(1) Sputum purulen baru timbul atau terjadinya perubahan sifat sputum
(2) Isolasi kuman positif dan biakan darah
(3) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea, sikatan/cuci bronkus
atau biopsy
(4) Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran
nafas
(5) Titer IgM atau IgG spesifik meningkat pada pemeriksaan histopatologi
2) Untuk pasien umur ≤ 12 bulan didapatkan 2 diantara keadaan berikut : apnea,
takipnea,bradikardia, mengi (wheezing), ronki basah atau batuk dan salah satu
diantara keadaan berikut :
a) Produksi dan sekresi saluran nafas meningkat

135
b) Baru timbul sputum purulen atau terjadi perubahan sifat sputum
c) Isolasi kuman positif pada biakan darah
d) Isolasi kuman patogen positif dari aspirasi trakea, sikatan/cuci bronkus/
biopsy
e) Virus dapat diisolasi atau terdapat antigen virus dalam sekresi saluran
nafas
f) Titer IgM atau IgG spesifik meningkat 4 x lipat dalam dua pemeriksaan
g) Terdapat tanda-tanda pneumonia pada pemeriksaan histopatologi atau
gambaran radiologi torak serial pada penderita umur < 12 bulan
menunjukkan infiltrat baru atau progresif, konsolidasi, kavitasi, atau efusi
pleura.

 Mekanisme Terjadinya VAP


Tindakan pada saluran nafas seperti intubasi endotrakeal, suction, dan ventilasi
mekanik mempermudah perpindahan mikroorganisme dari alat (humidifier,
nebulizer, ventilator, yang terkontaminasi) kepada pasien dan memindahkan
mikroorganisme pada tangan petugas kesehatan dari pasien ke pasien lain. VAP
paling sering terjadi karena aspirasi koloni bakteri dari orofaring atau saluran
cerna bagian atas pasien. Intubasi dan ventilasi mekanik meningkatkan risiko
terbesar terjadinya infeksi karena:
1) Mengubah lapis pertama mekanisme pertahanan tubuh seperti: batuk, bersin,
gag reflex, dan gerakan membersihkan oleh silia dan mukus.
2) Menciptakan hubungan langsung ke paru-paru.
a) Pneumonia yang disebabkan oleh Legiolla sp., Aspergillus sp., dan virus
influenza sering disebabkan oleh karena inhalasi aerosol yang
terkontaminasi.
b) Respiratory septial virus ditularkan melalui inokulasi virus pada
konjungtiva atau mukosa nasal oleh tangan terkontaminasi.
c) Basilus gram negatif patogen dengan Staphylococcus aureus cukup tinggi
di rumah sakit, terutama di Unit Perawatan Intensif. Penularan pada pasien
seringkali terjadi melalui tangan petugas yang terkontaminasi atau
mengandung koloni mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab infeksi
pneumonia berasal dari endogen atau eksogen seperti alat atau cairan obat

136
terkontaminasi, kurangnya teknis aseptik atau organisme yang terbawa
tangan petugas kesehatan.

 Faktor Risiko VAP


1) Instrumentasi sistem saluran nafas misalnya pada pemasangan pipa
endotrakea, ventilasi mekanis, dan trakeostomi.
2) Tindakan operasi terutama operasi torak dan abdomen.
3) Kondisi yang mudah menyebabkan aspirasi misalnya pada pemasangan pipa
lambung (nasogastric tube), penurunan kesadaran dan disfagia.
4) Usia tua.
5) Obesitas
6) Penyakit obstruksi paru menahun
7) Uji fungsi paru abnormal (terutama dengan penurunan kecepatan ekspirasi)
8) Intubasi dalam waktu lama
9) Gangguan fungsi imunologi

137
Perawatan Pasien Pernafasan :
PENULARAN  Terapi O2
INFEKSI  Suction endotrakeal
 Ventilator

Strategi Pengendalian Infeksi Perubahan mekanisme pertahan “ by Pass’


 Cuci tangan Melewati sillia dan selaput mukosa
 Teknik Aseptik Ekspleksi : Batuk, Gangguan bersin
 Pembersihan alat, desinfeksi Flora endogen
 Sterilisasi produk steril Penyakit dasar

Cara Penularan: Agen Infeksi


Langsung : Tangan, Sekret Pernafasan INGAT ! Stafilokokus aureus, Pseudomonas sp.
Tidak Langsung : Humidifier, Nebulezer, Selang, Legionella sp, Non tuberculosis
Ambu bag, Selang endotrakeal, Selang suction, Mikobacteria, Aspergillus sp.
Cairan tubuh. Respiratory syncytial, Candida albicans
Vehilce : Cairan

Reservoir : Cairan tubuh (mucus, pus, darah)


Alat : Humidifier, Nebulezer, Ventilator selang,
Ambu bag, Selang endotrakeal, Selang suction,
Cairan tubuh

138
a. Tata Laksana :
Strategi Pencegahan VAP
(1) Kebersihan Tangan
 Lakukan kebersihan tangan dengan air mengalir dan antiseptik jika
tanganterlihatkotor dan dengan handrub jika tangan tidak terlihat kotor
 Kebersihan tangan dilakukan sesuai dengan five moment dan 6 langkah
kebersihan tangan
(2) Posisi Pasien
Posisi 30 – 45 º C setiap saat, kecuali ada kontra indikasi
(3) Kebersihan Mulut
 Menjaga kebersihan mulut pasien secara rutin, dengan cara menyikat gigi
setiap 12 jam untuk mencegah terjadinya plaque
 Oral Hygiene setiap 4-6 jam dengan oral antiseptik yang bebas dari
alkohol (chlorhexidin 0.2 %)
(4) Manajemen Sekresi Orafrangeal Dan Trakheal
 Pengisapan lendir jika diperlukan
 Lakukan tindakan aseptic
- Gunakan cairan steril untuk membersihkan jika kateter dimasukkan
kembali ke ETT
- Sebaiknya dengan sistem tertutup
- Gunakan APD
(5) Pengkajian Sehari – hari Sedasi dan Ekstubasi
 Indikasi pemberian sedasi
 Pengurangan dosis sedasi setiap hari
 Penilaian secara rutin terhadap respons terapi
 Bangunkan pasien setiap hari (kecuali kontra indikasi)
(6) Kebersihan Lingkungan
 Pembersihan lingkungan sekali sehari/jika kotor termasuk tempat tidur,
meja pasien, monitor dll.Kebersihan permukaan lingkungan sekitar pasien
 Tempat tidur, Jarak tempat tidur,Single room/jarak minimal 1m
(7) Dekontaminasi Peralatan
 Peralatan kritikal di sterilkan
 Peralatan semi kritikal disinfeksi tingkat tinggi

139
 Peralatan non kritikal dibersihkan, kecuali terkontaminasi darah atau
cairan tubuhlakukan disinfeksi
 Semua peralatan pasien sebelum didisinfeksi atau disterilkan harus
dibersihkan terlebih dahulu
(8) Pergantian Sirkuit Ventilator
 Ganti sirkuit pernapasan jika terlihat kotor atau tidak berfungsi (tidak ada
rekomendasi waktu penggantian breathing circuit
 Tidak membuka sirkuit ventilator secara rutin
 Segera buang kodensasi air dalam sirkuit ketempat penampungan
 Sebelum intubasi, laringoscope blade terlebih dahulu di alkoholise
 Secepat mungkin extubasi, tetapi hindari re-intubasi
(9) Obat – Obatan
 Gunakan antimikroba rasional jika ada indikasi
 Selective digestive decontamination (SDD)
 H2 blockers and antacids menurunkan insiden kejadian stress ulkus
dengan cara meningkatkan PH karena itu kuman dari GI naik ke trachea
 Sukralfat dapat melindungi lambung tanpa meningkatkan PH
 DVT Profilaksis.
(10) Surveilans
Melakukan pengawasan terhadap populasi VAP pada pasien ICU Dewasa,
ICU A nak dan CVCU, memantau kejadian infeksi dan mengindentifikasi
perubahan yang terjadi dalam praktek pengawasan/pengendalian infeksi.

b. Monitoring dan Pelaporan


Monitoring terjadinya VAP Pemantauan terhadap kejadian VAP dilakukan
dengan surveilans:
(1) Setiap pasien yang terpasang alat bantu nafas (Ventilator)
(2) Catat dalam lembar pengumpulan data (lembar surveilans harian)
(3) Jika terjadi infeksi lakukan kultur sputum sesuai dengan SPO
(4) Pelaporan dilakukan sesuai dengan hasil surveilans, di buat setiap bulan,
semester dan tahunan.

140
b. Pencegahan Infeksi Aliran Darah (IAD)
Ditemukannya organisme dari hasil kultur darah semi/ kuantitatif sertai tanda
klinis yang jelas dan dokter yang merawat menyatakan telah terjadi infeksi.
Kriteria terdapat patogen (mikroba yang tidak termasuk kontaminan kulit) dari
satu atau lebih kultur darah pasien.
Terdapat setidaknya satu tanda dan gejala sebagai berikut:
- Demam (>38⁰C)
- Menggigil
- Hipotensi Dan setidaknya satu dari berikut:
a. Kontaminan kulit biasa didapatkan (misal: Diphtheroids, Bacillus spp
Propionibacterium spp. Coagulase Negative Staphylococcus aureus, or
micrococci) terkultur dari dua atau lebih kultur darah yg diambil pada
waktu yang berbeda.
b. Kontaminan kulit umum terkultur dari setidaknya satu kultur darah
pasien dengan line intravena dan dokter memberikan terapi antibiotik
yg sesuai.
c. Tesantigen darah positif (misal: Hemophilus influenzae, Streptococcus
pneumonia Neisseria meningitidis, atau grup B Streptococcus).
 Faktor Risiko IAD
1) Perawatan di rumah sakit yang lama sebelum dilakukan insersi kateter.
2) Durasi pemasangan kateter yang lama
3) Kolonisasi hebat pada tempat tusukan kateter
4) Jenis jalur pemasangan tusukan pada vena Jugularis, vena perifer atau
vena femoral
5) Teknik pemasangan baik dari segi teknik aseptic, jenis antiseptic dan
bahan peralatan yang terpasang
6) Penggunaan antibiotik selama pemasangan kateterisasi
7) Perlindungan yang tidak cukup diperhatikan selama pemasangan kateter
8) Kondisi pasien dari segi usia dan penyakit yang mendasari

141
a. Tata Laksana :
Strategi Pencegahan IAD
(1) Hand Hygiene dan Aseptik Technique
a. Lakukan prosedur kebersihan tangan, baik mencuci tangan dengan
sabun dan air atau dengan antiseptik berbasis alkohol (ABHR).
b. Kebersihan tangan harus dilakukan sesuai dengan five moment dan
6 langkah kebersihan tangan.
c. Pertahankan teknik aseptik untuk pemasangan dan perawatan
kateter intravascular.
(2) Maximal Sterile Barrier Precaoutions ( Penggunaan APD)
a. Gunakan alat pelindung diri lengkap, termasuk tutup kepala,
masker, gown steril, sarung tangan steril, dan area steril pada
daerah insersi saat pemasangan central vena.
b. Kenakan sarung tangan bersih atau steril ketika melakukan
perawatan kateter intravaskular.
(3) Skin Preparation Antiseptic
a. Skin preparasi dngan klorheksidin 0.5%, 2%atau 4% dengan
alkohol sebelum pemasangan central kateter vena, IABP, CVVH.
b. Jika ada kontraindikasi untukklorheksidin, tinktur yodium,
iodophor atau alkohol 70%dapat digunakan sebagai alternatif.
c. Tidak ada rekomendasi untuk pemakaian chlorhexidine pada bayi
gunakan octaniceft atau bethadine kemudian alkohol 70%.
d. Antiseptik harus dibiarkan kering sesuai dengan rekomendasi
pabrik sebelummenempatkan kateter.
e. Aplikasikan antiseptik paling sedikit 30 detik.
f. Biarkan antiseptik mengering sebelum insersi dilakukan
(4) Pemilihan Lokasi Pemasangan Kateter Central Vena
a. Gunakan vena subklavia, bukan jugular atau femoral, pada pasien
dewasauntuk meminimalkan risiko infeksi pada nontunneled CVC.
b. Hindari pemasangan venafemoralis padapasien dewasa. Kecuali
jika pemasangan kontra indikasi pada tempat lain.
c. Hindari vena subklavia pada pasien hemodialisis dan pasien
dengan penyakit ginjal lanjut, untuk menghindari stenosis.

142
d. Gunakan CVC dengan jumlah minimum port atau lumen penting
untuk pengelolaan pasien.
e. Tidak ada rekomendasi mengenai penggunaan lumen ditujukan
untuk nutrisi parenteral masalah yang belum teratasi, segera lepas
kateter intravaskular yang tidak lagi penting.
f. Ganti kateter sesegera mungkin, ketika kepatuhan terhadap teknik
aseptik tidak dapat (kateter dipasang selama keadaan darurat
medis), yaitu dalam waktu 48 jam.
g. Gunakan kasa steril atau perban transparan untuk menutup lokasi
pemasangan.
h. Pada pasien yang memakai perban tebal sehingga susah diraba atau
dilihat, lepas perban terlebih dahulu,periksa secara visual setiap
hari dan pasang perban baru
(5) Surveilans
Melakukan pengawasan terhadap populasi infeksi aliran darah pada
pasien ICU dantempat lainnya, memantau kejadian infeksi dan
mengindentifikasi perubahan yang terjadi dalam praktek
pengawasan/pengendalian infeksi.
(6) Pendidikan dan Pelatihan Petugas
Laksanakan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi petugas
medis yang materinya menyangkut indikasi pemakaian alat
intravaskuler, prosedur pemasangan kateter, pemeliharaan peralatan
intravaskuler dan pencegahan infeksi saluran darah sehubungan
dengan pemakaian kateter.
Metode audio – visual dapat digunakan sebagai alat bantu efektif
dalam pendidikan.
(7) Perawatan Luka Kateterisasi
Antiseptik Kulit
a. Bersihkan kulit di lokasi dengan antiseptik yang sesuai, sebelum
pemasangan kateter; biarkan antiseptik mengering pada lokasi
sebelum prosedur.
b. Bila dipakai iodine tincture untuk membersihkan kulit sebelum
pemasangan kateter, maka harus dibilas dengan alkohol.

143
c. Jangan melakukan palpasi pada lokasi setelah kulit diberi
antiseptic
d. Perban Kateter
 Gunakan kasa steril atau perban transparan untuk menutup
lokasi pemasangan kateter.
 Ganti perban bila alat dilepas atau diganti, atau bila perban
basah, longgar atau kotor.
 Hindari sentuhan yang mengkontaminasi lokasi kateter saat
mengganti perban.
e. Transparan dressing diganti setiap 3 x 24 jam atau jika kotor, untuk
infus perifer dressing diganti setiap penggantian pemasangan infus
atau jika kotor
(8) Pemilihan dan Pergantian Alat Intravaskular
a. Lepas semua jenis peralatan intravaskuler bila sudah tidak ada
indikasi klinis
b. Penggantian central vena tidak ada batasan waktu hanya jika ada
tanda infeksi baiklokal maupun sistemik
c. Ganti semua selang infus setiap 72 jam untuk cairan dan obat
d. Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan darah, setiap selesai
tranfusi komponendarah dan untuk emulsi lemak dalam 24 jam
e. Port injeksi: bersihkan port injeksi dengan alkohol 70% setiap akan
memberikan injeksi: Port injeksi yang digunakan adalah yang
tanpa jarum.
(9) Persiapan Pelarutan Cairan Intravena
a. Pelarutan cairan dan obat obatan intravena dilakukan oleh perawat
pelaksana yangbertanggung jawab terhadap pasien dengan
memperhatikan teknik aseptic.
b. Periksa semua kontainer cairan parentral, apakah ada kekeruhan,
kebocoran,keretakan,partikel dan tanggal kadaluarsa dari pabrik
sebelum penggunaan.
c. Pakai vial dosis tunggal bila mungkin.Bila harus pakai vial multi
dosis:
 Simpan sisa obat dalam kulkas, bila direkomendasikan oleh
pabrik.
144
 Bersihkan karet penutup vial multidosis dengan alkohol
sebelum menusukkan alat ke vial.
 Gunakan alat steril setiap kali akan mengambil cairan dari vial
multi dosis, dan hindari kontaminasi alat sebelum menembus
karet vial.
 Buang vial multi dosis bila sudah kosong, bila dicurigai atau
terlihat adanya kontaminasi, atau bila telah mencapai tanggal
kadaluarsa.
(10) Profilaksis Antimikroba
Jangan memberikan anti-mikroba sebagai prosedur rutin sebelum
pemasangan atau selama pemakaian alat intravaskuler, untuk
mencegah kolonisasi kateter atau infeksi bakterimia.

b. Monitoring dan Pelaporan


1) Monitoring terhadap kejadian infeksi aliran darah dilakukan dengan
surveilans
a. Setiap pasien yang terpasang central vena kateter, IABP, TPM,
CVVH
b. Catat dalam lembar pengumpulan data / surveilans harian(Terlampir)
c. Jika terjadi infeksi, lakukan kultur/ swab luka sesuai dengan SPO
pemeriksaan kulturdarah.
2) Laporan bulanan, trimester, semester dan tahunan dilakukan sesuai hasil
surveilans.

c. Pencegahan Infeksi Daerah Operasi (IDO)


Faktor – Faktor Risiko Terjadi Infeksi Daerah Operasi:
Karateristik Pasien
- Usia (Bayi,Anak-anak,Lanjut Usia - Obesity
- Status gizi buruk - Kolonisasi mikroorganisme
- Diabetes Melitus - Daya tahan tubuh lemah
- Gula darah rendah - Lama rawat inap pra bedah
- Merokok
Karateristik Operasi
a. Pre operasi

145
(a) Skin Antiseptik
(b) Pencukuran rambut
(c) Antiseptik pencukuran di ruang opersi
(d) Surgical scrub / cuci tangan bedah: tipe antiseptic, lamanya scrub
(e) Tim bedah terinfeksi atau kolonisasi
(f) Propilaksis antibiotik
b. Intra Operasi lingkungan ruang operasi
(a) Ventilasi ruang operasi
(b) Permukaan lingkungan ruang operasi
(c) Inadekuat sterilisasi instrument
(d) Teknik asepsisluka dan jahitan operasi
c. Post operasi
(a) Perawatan luka operasi

Kriteria Infeksi Daerah Operasi


1) Infeksi Daerah Operasi Superfisial
Infeksi daerah operasi superfisial harus memenuhi paling sedikit satu kriteria
berikut:
a. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 30 hari pasca bedah
dan hanya meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain diatas fascia.
b. Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut:
 Pus keluar dari daerah operasi atau drain yang dipasang diatas fascia
 Biakan positif dari cairan yang keluar dari luka atau jaringan yang
diambil secara aseptic.
 Terdapat tanda–tanda peradangan (paling sedikit terdapat satu dari
tanda-tanda infeksi berikut: nyeri, bengkak lokal, kemerahan dan
hangat lokal), kecuali jika hasil biakan negative.
 Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi.
2) Infeksi Daerah Operasi Dalam
Infeksi daerah operasi profunda harus memenuhi paling sedikit satu kriteria
berikut:
a. Infeksi yang terjadi pada daerah insisi dalam waktu 90 hari pasca bedah
(bila ada implant berupa non human derived implant yang dipasang

146
permanen) dan meliputi jaringan lunak yang dalam ( mis, lapisan fascia
dan otot) dari insisi.
b. Terdapat paling sedikit satu keadaan berikut:
 Pus keluar dari luka insisi dalam tetapi bukan berasal dari komponen
organ/rongga dari daerah pembedahan.
 Insisi dalam secara spontan mengalami dehisens atau dengan sengaja
dibuka oleh ahli bedah bila pasien mempunyai paling sedikit satu dari
tanda-tanda atau gejala gejala berikut: demam ( > 38o C), atau nyeri
lokal, terkecuali biakan insisi negative.
 Diketemukan abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai
insisi dalam pada pemeriksaan langsung, waktu pembedahan ulang,
atau dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis.
 Dokter yang menangani menyatakan terjadi infeksi
3) Infeksi Daerah Operasi Organ / Rongga
Infeksi daerah Operasi Organ/ Rongga memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Infeksi timbul dalam waktu 90 hari setelah prosedur pembedahan, infeksi
tampaknya ada hubungannya dengan prosedur pembedahan
b. Infeksi tidak mengenai bagian tubuh manapun, kecuali insisi kulit, fascia
atau lapisanotot yang dibuka atau dimanipulasi selama prosedur
pembedahan
c. Pasien paling sedikit menunjukkan satu gejala berikut:
 Drainase purulen dari drain yang dipasang melalui luka tusuk ke dalam
organ/rongga
 Diisolasi kuman dari biakan yang diambil secara aseptik dari cairan
atau jaringan dari dalam organ atau rongga :
 Abses atau bukti lain adanya infeksi yang mengenai organ/rongga
yang ditemukan pada pemeriksaan langsung waktu pembedahan ulang
atau dengan pemeriksaan histopatologis atau radiologis
 Dokter menyatakan sebagai IDO organ/rongga

147
a. Tata Laksana :
Strategi Pencegahan IDO
a. Pra Bedah
a) Persiapan Pasien Sebelum Operasi
(a) Jika ditemukan ada tanda-tanda infeksi, sembuhkan terlebih
dahulu infeksi nyasebelum hari operasi elektif, dan jika perlu
tunda hari operasi sampai infeksi tersebut sembuh.
(b) Rawat inap sebelum operasi diusahakan sesingkat mungkin dan
cukup waktu untuk persiapan operasi yang memadai (1 hari
sebelum operasi kecuali pasien yang sedang dirawat)
(c) Mencukur rambut, kecuali bila rambut terdapat pada sekitar
daerah operasi dan atau akan mengganggu jalannya operasi ,di
ruang persiapan operasi beberapa saat sebelum dibawa ke
kamar operasi, menggunakan pencukur listrik /electric clipper
oleh perawat.
(d) Kendalikan kadar gula darah pada pasien diabetes dan hindari
kadar gula darah yang terlalu rendah sebelum operasi.
(e) Pasien untuk berhenti merokok, minimun 30 hari sebelum hari
elektif operasi.
(f) Mandikan pasien dengan zat antiseptik chlorhexidine 4%
malam hari dan setelah pencukuran sebelum operasi.
(g) Lakukan skin preparasi sebelum operasi dengan menggunakan
chlorhexidine 0.5%, 2% atau 4% lalu dengan alkohol 70%
untuk pasien dewasa dan dengan antiseptik octaniceft untuk
pasien pediatrik.
(h) Bubuhkan zat antiseptik pada kulit dengan gerakan melingkar
mulai dari bagian tengah menuju ke arah luar. Daerah yang
dipersiapkan haruslah cukup luas untuk memperbesar insisi,
jika diperlukan membuat insisi baru atau memasang drain bila
diperlukan. Aplikasikan antiseptik paling sedikit 30 detik.
Biarkan antiseptik mengering lebih kurang 2 menit.
(i) Tidak ada rekomendasi mengenai :
 Penghentian atau pengurangan steroid sistemik sebelum
operasi
148
 Makanan tambahan yang berhubungan dengan pencegahan
infeksi
 Pemberian mupirocin melalui lubang hidung untuk
mencegah IDO
 Oksigenisasi pada luka untuk mencegah IDO.
b) Persiapan Tim Bedah: Antiseptik Tangan dan Lengan
(a) Jaga agar kuku selalu pendek dan jangan memakai kuku palsu
(b) Lakukan kebersihan tangan bedah sesuai langkah langkah
(surgical scrub) denganantiseptik yang sesuai chlorhexidine
4%
(c) Setelah cuci tangan, lengan harus tetap mengarah ke atas dan di
jauhkan dari tubuhsupaya air mengalir dari ujung jari ke siku.
(d) Keringkan tangan dengan handuk steril dan kemudian pakailah
gaun dan sarung tangan
(e) Bersihkan sela-sela dibawah kuku setiap hari sebelum cuci
tangan bedah yang pertama
(f) Jangan memakai perhiasan di tangan atau lengan
(g) Tidak ada rekomendasi mengenai pemakaian cat kuku, namun
sebaiknya tidak memakai
(h) Didiklah dan biasakan anggota tim bedah agar melapor jika
mempunyai tanda dan gejala penyakit infeksi dan segera
melapor kepada petugas pelayan kesehatan karyawan
(i) Kebijakan mengenai perawatan pasien bila karyawan mengidap
infeksi yang kemungkinan dapat menular. (Kategori II)
Kebijakan ini mencakup:
 Tanggung jawab karyawan untuk menggunakan jasa
pelayanan medis karyawan dan melaporkan penyakitnya
 Pelarangan bekerja
 Ijin untuk kembali bekerja setelah sembuh penyakitnya
 Petugas yang berwenang untuk melakukan pelarangan
bekerja
 Ambil sampel untuk kultur dan berikan larangan bekerja
untuk anggota tim bedah yang memiliki luka pada kulit,

149
hingga infeksi sembuh atau menerima terapi yang
memadai.
 Bagi anggota tim bedah yang terkolonisasi mikro
organisme seperti S. Aureus Bagi anggota tim bedah yang
terkolonisasi mikro organisme seperti S. Aureus atau
Stertococcus grup A tidak perlu dilarang bekerja, kecuali
bila ada hubungan epidemiologis dengan penyebaran
mikroorganisme tersebut di rumah sakit
Profilaksis Anti mikroba
 Pemberian profilaksis antimikroba hanya bila di indikasikan,
dan pilihlah jeni antimikroba yang paling efektif terhadap
patogen yang umum menyebabkan IDO pada operasi jenis
tersebut atau sesuai dengan rekomendasi.
 Profilaktik Antibiotik diberikan untuk pasien operasi
menggunakan antibiotik cefalosporin generasi I atau II, kecuali
pada pasien yang sedang dirawat kemudian operasi
menggunakan cefalosporin generasi III, diberikan 1 jam
sebelum insisi dan diberikan 6 kali /2 x 24 jam.
 Jangan menggunakan vancomycin secara rutin untuk profilaksis
antimikroba.
c) Selama Operasi Berlangsung
a. Ventilasi
(a) Pertahankan tekanan lebih positif dalam kamar bedah
dibandingkan dengan koridordan ruangan di sekitarnya
(b) Pertahankan minimun pergantian udara 15 x per jam ,
dengan minimun 3 di antaranya adalah udara segar
(c) Semua udara harus disaring, baik udara segar maupun
udara hasil resirkulasi
(d) Semua udara masuk harus melalui langit-langit & keluar
melalui dekat lantai
(e) Jangan menggunakan fogging dan sinar ultra violet di
kamar bedah untuk mencegah infeksi IDO
(f) Pintu kamar bedah harus selalu tertutup, kecuali bila di
butuhkan untuk lewatnya peralatan, petugas dan pasien.
150
(g) Batasi jumlah orang yang masuk dalam kamar bedah
b. Membersihkan dan Desinfeksi Permukaan Lingkungan
(a) Bila tampak kotoran atau darah atau cairan tubuh lainnya
pada permukaan benda atau peralatan, gunakan desinfektan
untuk membersihkannya sebelum operasi dimulai.
(b) Tidak perlu mengadakan pembersihan khusus atau
penutupan kamar bedah setelah selesai operasi kotor.
(c) Jangan menggunakan keset berserabut untuk kamar bedah
ataupun daerah sekitarnya.
(d) Pel dan keringkan lantai kamar bedah dan desinfeksi
permukaan lingkungan atau peralatan dalam kamar bedah
setelah selesai operasi terakhir setiap harinya dengan
desinfektant.
(e) Tak ada rekomendasi mengenai desinfeksi permukaan
lingkungan / peralatan dalam kamar bedah di antara dua
operasi bila tidak tampak adanya kotoran.
c. Sterilisasi Instrumen Kamar Bedah
(a) Sterilkan semua instrumen bedah sesuai petunjuk
(b) Jangan melaksanakan sterilisasi kilat dengan alasan
kepraktisan, untuk menghemat pembelian instrumen baru
atau untuk menghemat waktu.
d. Pakaian Bedah dan Drape
(a) Pakai masker bedah dan tutupi mulut dan hidung secara
menyeluruh bila memasukikamar bedah saat operasi akan
di mulai atau sedang berjalan, atau instrumen steril sedang
dalam keadaan terbuka.
(b) Pakai masker bedah selama operasi berlangsung.
(c) Pakai tutup kepala untuk menutupi rambut di kepala dan
wajah secara menyeluruh bila memasuki kamar bedah,
semua rambut yang ada di kepala dan wajah harus tertutup.
(d) Jangan menggunakan pembungkus sepatu untuk mencegah
Infeksi daerah operasi.
(e) Bagi anggota tim bedah yang telah cuci tangan bedah,
pakailah sarung tangan steril.
151
(f) Sarung tangan dipakai setelah memakai gaun steril.
(g) Gunakan gaun dan drape yang kedap air
(h) Ganti gaun bila tampak kotor, terkontaminasi percikan
cairan tubuh pasien.
(i) Sebaiknya gunakan gaun yang disposable
e. Teknik Aseptik dan Bedah
(a) Lakukan tehnik aseptic saat memasukkan peralatan
intravaskuler (CVP), kateter anastesi spinal atau epidural,
atau bila menuang atau menyiapkan obat-obatan intra vena.
(b) Siapkan peralatan dan larutan steril sesaat sebelum
penggunaan.
(c) Perlakukan jaringan dengan lembut, lakukan hemostatis
yang efektif, minimalkan jaringan mati atau ruang kosong
(dead space) pada lokasi operasi.
(d) Biarkan luka operasi terbuka atau tertutup dengan tidak
rapat, bila ahli bedah menganggap luka operasi tersebut
sangat kotor atau terkontaminasi.
(e) Bila diperlukan drainase, gunakan drain penghisap tertutup,
Letakkan drain pada insisi yang terpisah dari insisi bedah.
Lepas drain sesegera mungkin bila drain sudah tidak
dibutuhkan lagi
f. Merawat Luka Operasi
(a) Lindungi luka yang sudah di jahit dengan perban steril
selama 24 sampai 48 jam paska bedah
(b) Cuci tangan sebelum dan sesudah mengganti perban atau
bersentuhan dengan lukaoperasi
(c) Bila perban harus diganti gunakan tehnik aseptic
(d) Berikan pendidikan pada pasien dan keluarganya mengenai
perawatan luka operasi yang benar, gejala-gejala IDO, dan
pentingnya melaporkan gejala IDO
(e) Tidak ada rekomendasi mengenai perlunya menutup luka
operasi yang sudah dijahit lebih dari 48 jam ataupun kapan
waktu yang tepat untuk mulai di perbolehkan mandi dengan
luka tanpa tutup.
152
(f) Boleh mandi bila luka sudah kering
(g) Perawatan luka dilakukan sesuai dengan SPO

b. Monitoring dan Pelaporan


Monitoring Pemantauan terhadap kejadian infeksi daerah operasi
dilakukan dengan surveilans.
a. Setiap pasien paska bedah kecuali diluar operasi jantung dan
pembuluh darah dilakukan surveilans.
b. Catat dalam lembar pengumpulan data (lembar surveilans harian).
c. Jika terjadi infeksi lakukan kultur / swab luka sesuai dengan SPO
pemeriksaan kultur luka.
Pelaporan dilakukan sesuai dengan hasil surveilans, di buat setiap bulan,
triwulan, semester dan tahunan.

d. Pencegahan Hospitsl Aquired Pneumonia (HAP)


a. Tata Laksana :
Strategi Pencegahan HAP
Rekomendasi pencegahan infeksi Pneumonia sesuai CDC 2013 meliputi:
(1) Pendidikan Staf
Memberikan pendididkan kepada staf mengenai infeksi pneumonia dan
prosedur pengendalian infeksi
(2) Surveilans
Melaksanakan surveilens pneumonia bagi pasien ICU yang beresiko,
Masukan data tentang mikroorganisme yang menyebabkannya dan pola
ketahanannya terhadap antimikroba. Data disajikan berupa jumlah pasien
yang terinfeksi per lama hari tirah baring.
(3) Kebersihan Tangan
a. Lakukan kebersihan tangan dengan air mengalir dan antiseptik jika
tangan terlihat kotor dan dengan handrub jika tangan tidak terlihat
kotor.
b. Kebersihan tangan dilakukan sesuai dengan five moment dan 6 langkah
kebersihan tangan.
(4) Posisi kepala lebih tinggi 30-45 °C setiap saat, kecuali ada kontra indikasi

153
(5) Menjaga kebersihan mulut pasien secara rutin, dengan cara menyikat gigi
setiap 12 jam untuk mencegah terjadinya plaque.

b. Monitoring dan Pelaporan


Monitoring Pemantauan terhadap kejadian HAP dilakukan dengan surveilans
a. Setiap pasien yang berisiko terjadi HAP dengan tirah baring lebih dari 48
jam
b. Catat dalam lembar pengumpulan data ( lembar surveilans harian)
c. Jika terjadi infeksi lakukan kultur sputum sesuai dengan SPO
Pelaporan dilakukan sesuai dengan hasil surveilans, di buat setiap bulan,
semester dan tahun.

e. Pencegahan Infeksi Saluran Kemih (ISK)


Klasifikasi dan Definisi ISK
1) Infeksi Saluran Kemih Simtomatis
Kriteria :
a. Ditemukan paling sedikit satu dari tanda-tanda berikut tanpa ada sebab
lain:
 Demam ( > 38 º C )
 Anyang –anyangan ( nikuri )
 Polakisuri
 Disuri
 Nyeri Supra Pubik
 Hasil biakan urin aliran tengah ( midstream ) > 10 kuman per ml urin
dengan jumlah kuman tidak dari 2 spesies.
Selain dari tanda – tanda diatas juga ditemukan paling sedikit satu dari
tanda berikut :
 Tes carik celup ( dipstick ) positif untuk lekosit esterase dan / atau
nitrit.
 Piuri (terdapat ≥10 lekosit per ml atau terdapat ≥3 lekosit per LPB dari
urin tanpa dilakukan sentrifugasi).
 Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak
disentrifugasi.Biakan urin paling sedikit dua kali berturut-turut
memperlihatkan jenis kuman yang sama (kuman gram – negatif atau S.
154
Saphophyticus) dengan jumlah > 100 koloni kuman per ml urin yang
diambil dengan kateter.
 Biakan urin menunjukkan satu jenis uro patogen dengan jumlah > 10
per ml pada pasien yang telah mendapat pengobatan antimikroba yang
sesuai.
 Di diagnosis Infeksi Saluran Kemih oleh dokter yang menangani dan
telahmendapat obat antimikroba yang sesuai
b. Pada pasien berumur ≤1 tahun didapatkan paling sedikit satu dari tanda-
tanda/gejala berikut tanpa penyebab lain :
 Demam > 38 °C
 Hipotermi ( < 37 °C )
 Apnea
 Bradicardia < 100 x / menit
 Letargia
 Biakan urine menunjukkan satu jenis uropatogen dengan jumlah > 10
per ml pada penderita yang telah mendapat pengobatan antimikroba
yang sesuai.
 Di diagnosa ISK oleh dokter yang menangani dan telah mendapat
pengobatan antimikroba yang sesuai.
2) Infeksi Saluran Kemih Asimtomatik
ISK asimtomatik harus memenuhi criteria sebagai berikut :
a. Pasien pernah memakai kateter urine dalam waktu tujuh hari sebelum
biakan urine.
b. Ditemukan dalam biakan > 10 kuman per ml urine dengan kuman
maksimal dua jenis.
c. Tidak terdapat gejala –
polakisuria, nikuriadiuria dan nyeri supra pubik.
d. Pasien tanpa kateter urine menetap dalam 7 hari sebelum biakan pertama
positif.
e. Kultur urine 2 x berturut – turut ditemukan tidak > 2 jenis kuman yang
sama denganjumlah < 10 per ml.
f.
nikuria,diuria dan nyeri supra pubik.

155
3) Infeksi Saluran Kemih Lainnya
Harus memenuhi paling sedikit satu criteria berikut:
a. Ditemukan kuman yang tumbuh dari biakan cairan bukan urin atau
jaringan yang diambil dari lokasi yang dicurigai terinfeksi.
b. Ada abses atau tanda infeksi lain yang dapat dilihat, secara pemeriksaan
langsung selama pembedahan atau melalui pemerikasaan histopatologis
Terdapat dua dari tanda berikut :
 Demam ( > 38 °C )
 Nyeri lokal
 Nyeri tekan pada daerah yang dicurigai terinfeksi
dan terdapat paling sedikit satu gejala berikut :
c. Keluar pus atau aspirasi purulen dari tempat yang dicurigai terinfeksi.
d. Ditemukan kuman pada biakan darah yang sesuai dengan tempat yang
dicurigai.
e. Pemeriksaan radiology, misalnya ultrasound, CT Scan, MRI, radiolabel
scan (gallium, technetium abnormal, memperlihatkan gambar infeksi.
f. Dokter yang menangani memberikan pengobatan antimikroba yang sesuai
 Faktor Risiko Terjadinya ISK
a. Metode kateterisasi
b. Lamanya kateterisasi
c. Jenis kateter
d. Kualitas pemeliharaan kateter
e. Status immunologi pasien
a. Tata Laksana :
Strategi Pencegahan ISK
Rekomendasi CDC tentang pencegahan ISK meliputi :
a. Personil
a. Pemasangan kateter hanya dilakukan oleh personil yang trampil dan
memahami dan tehnik pemasangan kateter secara aseptik dan
perawatan kateter yang benar.
b. Tenaga yang memberikan asuhan keperawatan pasien dengan kateter
urin sudah mendapatkan pelatihan secara berkala dengan tehnik yang
benar mengenai prosedur pemasangan kateter urin dan kompilaksi
potensi yang mungkin terjadi pada kateter urin.
156
b. Penggunaan Kateter
a. Pemasangan kateter urin dilakukan hanya kalau diperlukan saja dan
segera dilepas bila tidak diperlukan lagi. Alasan pemasangan kateter
bukan karena untuk mempermudah personil dalam memberikan
asuhan pada pasien.
b. Segera dilepas jika tidak perlu lagi.
c. Untuk pasein – pasien tertentu dapat digunakan alternatif dari kateter
menetap,seperti: drainase dengan kondom kateter, kateter supra pubik,
kateter selang seling.
c. Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah manipulasi
lokasi kateter atau peralatannya.
d. Pemasangan Kateter
a. Pemasangan kateter harus menggunaka tehnik aseptik dan peralatan
steril.
b. Untuk membersihkan daerah sekitar uretra harus menggunakan sarung
tangan, kapas dan larutan antiseptik yang sesuai dan pakai jelly
pelumas sekali pakai.
c. Gunakan kateter sekecil mungkin dengan laju drainase yang konsisten
untuk meminimalkan trauma uretra.
d. Kateter menetap harus terpasang dengan baik dan menempel pada
badan untuk mencegah pergerakan dan tegangan pada uretra
e. Dranase Sistem Tertutup dan Steril
a. Sistem drainase yang tertutup dan steril harus dipertahankan.
b. Kateter dan selang / tube drainase tidak boleh dielepas sambungannya
kecuali bila kateter akan dilakukan irigasi.
c. Bila tehnik aseptik terganggu, sambungan terlepas atau terjadi
kebocoran, sistem penampungan harus diganti dengan sistem tehnik
aseptic setelah sambungan antara kateter dan pipa didesinfeksi.
d. Tidak ada kontak antara urine bag dengan lantai.
f. Laju Aliran Urine
a. Laju aliran yang tidak terhambat harus dipertahankan
b. Untuk memperoleh aliran lancar :
 Jaga kateter dan pipa drainase dari lekukan.
157
 Kantong drainase harus dikosongkan secara teratur dengan
menggunakan kontainer terpisah untuk setiap pasien (jangan ada
kontak antara lubang pengosong pada kantong penampung dengan
kontainer non steril.
 Kateter yang berfungsi kurang baik atau tersumbat harus dirigasi
atau kalau perlu diganti.
 Kantong penampung diletakkan lebih rendah dari kantong kemih.
g. Perawatan Meatus
Bersihkan dua kali sehari dengan antiseptik dan setiap hari bersihkan
dengansabun dan air.
h. Monitoring Bakteriologi
Monitoring rutin bakteriologi pada pasien dengan kateter urine tidak
dianjurkan.
i. Pemisahan Pasien Infeksi
Untuk mengurangi kemungkinan infeksi silang, pasien dengan kateter
yang terinfeksi tidak boleh bersebelahan tempat tidur atau sama dalam
satu kamar dengan pasien berkateter yang tidak terinfeksi.
j. Pengambilan Spesimen
(1) Jika kebutuhan urine sedikit dan baru untuk pemeriksaan, diambil dari
akhir distal kateter atau lebih baik dari sampling port jika ada, dan
dibersihkan dengan disinfektan, kemudian urine diaspirasi dengan
syringe steril.
(2) Jika kebutuhan urine banyak untuk analisis dengan tehnik aseptik
diambil darikantong urine.

1. Monitoring dan Pelaporan


Monitoring
a. Pemantauan terhadap kejadian infeksi saluran kemih dilakukan dengan
surveilans dan pengawasan terhadap penerapan bundle
b. Catat dalam lembar pengumpulan data ( lembar surveilans harian)
c. Jika terjadi infeksi lakukan kultur / swab luka sesuai dengan SPO
pemeriksaan kultur luka
Pelaporan dilakukan sesuai dengan hasil surveilans, di buat setiap bulan,
triwulan, semester dan tahunan
158
5.3. PENCEGAHAN INFEKSI DI UNIT PELAYANAN
1. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di TB
Tata Laksana :
Terdiri dari 4 pilar yaitu :
a. Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi
terkait.
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa
penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB meliputi:
(a) Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB yang merupakan bagian dari
program PPI Fasyankes dengan mengeluarkan SK penunjukkan Tim /
Penanggung jawab.
(b) Membuat kebijakan dan SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk,
alur pelaporan dan surveilans.
(c) Memberi pelatihan PPI TB bagi petugas yang terlibat dalam program PPI TB
(d) Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif.
(e) Membuat dan memastikan desain, konstruksi dan persyaratan bangunan serta
pemeliharaannya sesuai PPI TB.
(f) Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB meliputi
tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan termasuk aspek
kesehatan kerja.
(g) Monitoring dan Evaluasi.
(h) Melakukan kajian di unit terkait penularan TB dengan menggunakan daftar
tilik, menganalisa dan memberikan rekomendasi untuk perbaikan.
(i) Melaksanakan Advokasi, Komunikasi, Mobilisasi dan Sosialisasi terkait PPI
TB.
(j) Surveilans petugas (kepatuhan menjalankan SPO dan kejadian infeksi).
(k) Memfasilitasi kegiatan riset operasional.
b. Pengendalian Administratif
Pengendalian Administratif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah /
mengurangi pajanan M.Tb kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan
lingkungan dengan menyediakan, mensosialisasikan dan memantau pelaksanaan
standar prosedur dan alur pelayanan.
159
Upaya ini mencakup:
(a) Melaksanakan triase dan pemisahan pasien batuk, mulai dari "pintu masuk"
pendaftaran fasyankes.
(b) Mendidik pasien mengenai etika batuk.
(c) Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai
ventilasi baik, diupayakan 12 ACH dan terpisah dengan pasien umum.
(d) Menyediaan tisu dan masker, serta tempat pembuangan tisu maupun
pembuangan dahak yang benar.
(e) Memasang poster, spanduk dan bahan untuk KIE.
(f) Mempercepat proses penatalaksanaan pelayanan bagi pasien suspek dan TB,
termasuk diagnostik, terapi dan rujukan sehingga waktu berada pasien di
fasyankes dapat sesingkat mungkin.
(g) Melaksanakan skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
(h) Menerapkan SPO bagi petugas yang tertular TB.
(i) Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB bagi semua
petugas kesehatan.

Secara ringkas, upaya pengendalian administratif ini dapat dicapai dengan


melaksanakan lima langkah penatalaksanaan pasien sebagai berikut:
Lima Langkah Penatalaksanaan pasien
Untuk Mencegah Infeksi TB
Pada empat Pelayanan
Langkah Kegiatan Keterangan
I Triase Pengenalan segera pasien suspek atau
konfirm TB adalah langkah pertama.
Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan
petugas untuk menyaring pasien dengan
batuk lama segera pada saat datang di
fasilitas. Pasien dengan batuk 2 minggu, atau
yang sedang dalam investigasi TB tidak
dibolehkan mengantri dengan pasien lain
untuk mendaftar atau mendapatkan kartu.
Mereka harus segera dilayani mengikuti
langkah-‐langkah dibawah ini.

II Penyuluhan Menginstruksikan pasien yang tersaring


diatas untuk melakukan etika batuk. Yaitu
untuk menutup hidung dan mulut ketika

160
batuk atau bersin. Kalau perlu berikan
masker atau tisu untuk menutup mulut dan
mencegah terjadinya aerosol.

III Pemisahan Pasien yang suspek atau kasus TB melalui


pertanyaan penyaringan harus dipisahkan
dari pasien lain, dan diminta menunggu di
ruang terpisah dengan ventilasi baik serta
diberi masker bedah atau tisu untuk menutup
mulut dan hidung pada saat menunggu
IV Pemberian Pasien dengan gejala batuk segera
pelayanan mendapatkan pelayanan untuk mengurangi
waktu tunggu sehingga orang lain tidak
segera
terpajan lebih lama.
Ditempat pelayanan terpadu TB - HIV,
usahakan agar jadwal pelayanan HIV
dibedakan jam atau harinya dengan
pelayanan TB atau TB-‐HIV

V Rujuk untuk Untuk mempercepat pelayanan, pemeriksaan


investigasi / diagnostik TB sebaiknya dilakukan ditempat
pelayanan itu, tetapi bila layanan ini tidak
pengobatan
tersedia, fasilitas perlu membina kerjasama
TB baik dengan sentra diagnostik TB untuk
merujuk/melayani pasien dengan gejala TB
secepat mungkin. Selain itu, fasilitas perlu
mempunyai kerjasama dengan sentra
pengobatan TB untuk menerima rujukan
pengobatan bagi pasien terdiagnosa TB.

Adaptasi dari: Tuberculosis Infection Control in The Era of Expanding HIV Care and
Treatment -‐ Addendum to WHO Guidelines for the Prevention of Tuberculosis in Health
Care Facilities in Resource-‐Limited Settings

Edukasi dan penerapan etika batuk


Petugas harus mampu memberi pendidikanyang adekuat mengenai pentingnya
menjalankan Etika Batuk kepada pasien untuk mengurangi penularan. Pasien
yang batuk diinstruksikan untuk memalingkan kepala dan menutup mulut / hidung
dengan tisu.
Kalau tidak memiliki tisu maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau
pangkal lengan. Sesudah batuk, tangan dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat

161
sampah yang khusus disediakan untuk ini. (kantong kuning / infeksius). Petugas
yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap merawat pasien,
maka petugas harus mengenakan masker bedah. Terutama apabila petugas bersin
atau batuk, dan harus melaksanakan etika batuk.
c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian Lingkungan adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran
udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi / menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian
dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow)
dan atau ditambah dengan radiasi utraviolet sebagai germisida.
Pemanfaatan Sistem Ventilasi
Sistem Ventilasi adalah sistem yang menjamin terjadinya pertukaran udara di
dalam gedung dan luar gedung yang memadai, sehingga konsentrasi droplet
nuklei menurun.
Secara garis besar ada dua jenis sistem ventilasi yaitu:
(a) Ventilasi Alamiah: adalah sistem ventilasi yang mengandalkan pada pintu
dan jendela terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan yang bisa
dibuka/terbuka) untuk mengalirkan udara dari luar kedalam gedung dan se
bali knya. Indonesia sebaiknya menggunakan ventilasi alami dengan
menciptakan aliran udara silang (cross ventilation) dan perlu dipastikan arah
angin yang tidak membahayakan petugas atau pasien lain.
(b) Ventilasi Mekanik: adalah sistem ventilasi yang menggunakan peralatan
mekanik untuk mengalirkan dan mensirkulasi udara di dalam ruangan secara
paksa untuk menyalurkan/menyedot udara ke arah tertentu sehingga terjadi
tekanan udara positif dan negatif. Termasuk exhaust fan, kipas angin berdiri
(standing fan) atau duduk.
(c) Ventilasi campuran (hybrid): adalah sistem ventilasi alamiah ditambah
dengan penggunaan peralatan mekanik untuk menambah efektifitas
penyaluran udara.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan
setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes
berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan, iklim - cuaca, peraturan
bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu dilakukan
monitoring dan pemeliharaan secara periodik. Pengaturan tata letak ruangan
162
seperti antara ruangan infeksius dan non infeksius, pembagian area (zoning)
tempat pelayanan juga perlu memperoleh perhatian untuk PPI TB.
Pemantauan sistem ventilasi harus memperhatikan 3 unsur dasar, yaitu:
(d) Laju ventilasi (Ventilation Rate): Jumlah udara luar gedung yang masuk ke
dalam ruangan pada waktu tertentu.
(e) Arah aliran udara (airflow direction): Arah aliran udara dalam gedung dari
area bersih ke area terkontaminasi.
(f) Distribusi udara atau pola aliran udara (airflow pattern): Udara luar perlu
terdistribusi ke setiap bagian dari ruangan dengan cara yang efisien dan udara
yang terkontaminasi dialirkan keluar dengan cara yang efisien.
Kebutuhan ventilasi yang baik, bervariasi tergantung pada jenis ventilasi yang
digunakan, seperti resirkulasi udara atau aliran udara segar. Harus ada dua hasil
pengukuran untuk mengukur laju ventilasi, yaitu (1) dengan menghitung volume
ruangan dan (2) menghitung kecepatan angin Dari hasil perhitungan akan didapat
pertukaran udara per jam (ACH = airhanges per hour).
Pertukaran udara yang memenuhi persyaratan PPI-TB minimal 12 x / Jam.

Alat bantu untuk menghitung ACH:


1 Alat ukur / meteran Untuk mengukur volume ruangan dan luas jendela

2 Veneometer Untuk mengukur kecepatan udara masuk/keluar

3 Smoke Tube Untuk mengetahui arah aliran udara

4 Kalkulator Untuk menghitung

5 Kertas Catatan Untuk melakukan pencatatan/perhitungan

163
Gambar 19: Alat Bantu Menghitung ACH

Contoh Perhitungan ACH :


Bila suatu ruangan dengan volume 45m3 dan luas jendela 0.25m2, sedangkan
hasil pengukuran kecepatan udara adalah 0.5 m/detik
luas jendela x ACH
ACH = ___________________________ X 3600 detik
Volume Ruangan
0,25 m2 X 0,5 m/detik X 3600 detik
ACH = 45 m3
ACH = 10
Atau dengan memperhitungkan jumlah orang dalam ruangan:
Liter/detik/orang. Penggunaan ukuran berdasarkan jumlah orang dalam ruangan,
berdasarkan pada fakta, bahwa setiap orang dalam ruangan memerlukan sejumlah
udara segar tertentu. Sudah terbukti, bahwa ruangan non‐isolasi dengan rate
ventilasi dibawah 2 ACH, berhubungan dengan angka konversi TST (Tuberculin
Skin Test) yang lebih tinggi pada petugas kesehatan. Rate ventilasi yang lebih
tinggi memiliki kemampuan mendilusi patogen airborne lebih tinggi, sehingga
menurunkan risiko penularan infeksi melalui udara.
Fasyankes perlu memasang ventilasi yang mengalirkan udara dari sumber
penularan ke titik exhaust atau ke tempat dimana dilusi udara adekuat.

164
a) Ventilasi Campuran
Gedung yang tidak menggunakan sistem pendingin udara sentral, sebaiknya
menggunakan ventilasi alamiah dengan exhaust fan atau kipas angin agar
udara luar yang segar dapat masuk ke semua ruangan di gedung tersebut.
Pintu, jendela maupun langit-‐langit di ruangan di mana banyak orang
berkumpul seperti ruang tunggu, hendaknya dibuka selebar mungkin. Sistem
ventilasi campuran (alamiah dengan mekanik), yaitu dengan penggunaan
exhaust fan/Kipas angin yang dipasang dengan benar dan dipelihara dengan
baik, dapat membantu untuk mendapatkan dilusi yang adekuat, bila ventilasi
alamiah saja tidak dapat mencapai rate ventilasi yang cukup. Ruangan dengan
jendela terbuka dan exhaust fan/kipas angin cukup efektif untuk mendilusi
udara ruangan dibandingkan dengan ruangan dengan jendela terbuka saja atau
ruangan tertutup.

Gambara 20: Jenis-jenis kipas angin (Yang menggunakan baling-baling)


Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection
Control: A Practical Manual for Preventing TB , hal 17

Dengan ventilasi campuran, jenis ventilasi mekanik yang akan digunakan


sebaiknya di sesuaikan dengan kebutuhan yang ada dan diletakkan pada tem
pat yang tepat. Kipas angin yang dipasang pada langit‐langit (ceiling fan)
tidak dianjurkan. Sedangkan kipas angin yang berdiri atau diletakkan di meja
dapat mengalirkan udara ke arah tertentu, hal ini dapat berguna untuk PPI TB
bila dipasang pada posisi yang tepat, yaitu dari petugas kesehatan ke arah
pasien.

165
Pemasangan Exhaust fan yaitu kipas yang dapat langsung menyedot udara
keluar dapat meningkatkan ventilasi yang sudah ada di ruangan. Sistem
exhaust fan yang dilengkapi saluran udara keluar, harus dibersihkan secara
teratur, karena dalam saluran tersebut sering terakumulasi debu dan kotoran,
sehingga bisa tersumbat atau hanya sedikit udara yang dapat dialirkan.
Optimalisasi ventilasi dapat dicapai dengan memasang jendela yang dapat
dibuka dengan ukuran maksimal dan menempatkan jendela pada sisi tembok
ruangan yang berhadapan, sehingga terjadi aliran udara silang (cross
ventilation). Meskipun fasyankes mempertimbangkan untuk memasang sistem
ventilasi mekanik, ventilasi alamiah perlu diusahakan semaksimal mungkin.
Yang direkomendasikan adalah ventilasi campuran:
1) Usahakan agar udara luar segar dapat masuk ke semua ruangan.
2) Dalam ventilasi campuran, Ventilasi alami perlu diusahakan semaksimal
mungkin.
3) Penambahan dan penempatan kipas angin untuk meningkatkan laju
pertukaran udara harus memperhatikan arah aliran udara yang di hasilkan.
4) Mengoptimalkan aliran udara.
5) Menyalakan kipas angin selama masih ada orang-orang di ruangan
tersebut (menyalakan kipas angin bila ruangan digunakan)
6) Pembersihan dan perawatan :
a. Gunakan lap lembab untuk membersihkan debu dan kotoran dari kipas
angina.
b. Perlu ditunjuk staf yang ditugaskan dan bertanggung jawab terhadap
kondisi kipas yang masih baik, bersih dll.

166
c. Periksa ventilasi alamiah secara teratur (minimal sekali dalam
sebulan)atau dirasakan ventilasi sudah kurang baik.
d. Catat setiap waktu pembersihan yang dilakukan dan simpan dengan
baik.
Penggunaan ventilasi alamiah dengan kipas angin masih ada beberapa
kelemahan, selain keuntungan yang sudah dijelaskan diatas.
Beberapa keuntungan dan kelemahan penggunaan sistem ventilasi ini.
Kelebihan Kelemahan
Murah dan mudah direalisasikan Ventilasi alamiah sering agak sulit
dikendalikan
Diaktifkan hanya dengan membuka Dipredisi karena tergantung pada
pintu, jendela dan skylight cuaca, kondisi, angin dan suhu
Tidak hanya mengurangirisiko Arah dan laju aliranudara dapat
transmisi TB, tetapi juga berubah sewaktu-waktu
meningkatkan kualitas udara secara
umum
Kipas angin cukup murah dan mudah Udara yang masuk ruangan dari luar
digunakan tanpa disaring dapata membawa
palutan udara lainnya
Kipas angin berdiri (Standing Fan) Jendela /pintu yang selalu di buka
dapat dengan mudah dipindahkan dapat berdampak pada keamanan,
sesuai kebutuhan kenyaman, dan privasi.
Hal ini terutama terjadi pada malam
hari atau bila cuaca dingin

Pada keadaan tertentu diperlukan sistem ventilasi mekanik, bila Sistem


Ventilasi Sentral pada gedung tertutup adalah sistem mekanik yang
mensirkulasi udara didalam suatu gedung. Dengan menambahkan udara segar
untuk mendilusi udara yang ada, sistem ini dapat mencegah penularan TB.
Tetapi dilain pihak, sistem seperti ini juga dapat menyebarkan partikel yang
mengandung M.Tb ke ruangan lain dimana tidak ada pasien TB, karena sistem
seperti ini meresirkulasi udara keseluruh gedung. Persyaratan sistem ventilasi
mekanik yang dapat mengendalikan penularan TB adalah:
 Harus dapat mengalirkan udara bersih dan menggantikan udara yang
terkontaminasi di dalam ruangan.

167
 Harus dapat menyaring (dengan pemasangan filter) partikel yang infeksius
dari udara yang di resirkulasi.
 Bila perlu ditambahkan lampu UV untuk mendesinfeksi udara yang di
resirkulasi

Gambar 21. Bagan Sistem Ventilasi Tertutup


Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis Infection
Control: A Practical Manual for Preventing TB, hal 25

b) Ventilasi dengan Tekanan Negatif


Tekanan negatif terjadi, dengan menyedot udara dari dalam ruangan lebih
banyak daripada memasukkan udara kedalam suatu ruangan, sehingga partikel
infeksius tetap berada di dalam ruangan dan tidak bisa pindah ke ruangan lain.
Ruangan dengan tekanan negatif harus kedap udara, sehingga tidak ada udara
yang masuk. Berarti ruangan harus di seal dan hanya membiarkan udara
masuk dari bawah pintu.
Ada beberapa komponen yang perlu ada, bila menggunakan sistem ventilasi
dengan tekanan negative :
a. Komponen Filter Udara
Filter digunakan untuk menyaring udara, sehingga menghilangkan
partikel. Udara yang telah bersih, kemudian di sirkulasi ulang. Saat ini
banyak jenis filter telah tersedia dan harus dipilih yang dapat menyaring
partikel MTb. Jenis filter yang dianjurkan adalah pleated filter (bahan
filter di lipit2) bukan filter yang lembaran rata (lint filter). Suatu sistem
ventilasi dapat mempunyai satu atau lebih filter, bila terpasang lebih dari 1
filter disebut sebagai filter bank.

168
Perbedaan 3 jenis filter terdapat pada efisiensi menyaring udara yang
mengandung percik renik MTb berukuran 1 — 5 mikron:
a) Filter HEPA (High Efficiency Particulate Air): dapat menyaring
partikel yang berukuran sebesar percik renik MTb (tetapi filter HEPA
merupakan alat khusus, yang tidak sesuai untuk sebagian besar sistem
ventilasi sentral yang ada di Indonesia).
b) Filter pleated ASHRAE dengan efisiensi 25% (MERV= Minimum
Efficiency Reporting Value 7 atau 8): hanya dapat menyaring separuh
dari partikel yang berukuran sebesar percik renik bakteri TB.
c) Filter Lint: tidak dapat menyaring partikel yang berukuran sebesar
percik renik bakteri TB

Gambar 22: Jenis-Jenis Filter Udara


Sumber: Francis J. Curry National Tuberculosis Center, 2007: Tuberculosis
Infection Control: A Practical Manual for Preventing TB , hal 21

Filter pleated tersedia dengan berbagai ukuran sehingga dapat disesuaikan


untuk sebagian besar sistem ventilasi yang ada, namun harganya lebih
mahal daripada filter lint. Obstruksi aliran udara juga terjadi lebih banyak
pada penggunaan filter pleated oleh karena itu perawatan yang baik sangat
diperlukan.
Penggantian filter dilakukan bila terlihat seluruh permukaan filter tertutup
dengan debu, untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan filter secara teratur,
paling sedikit sekali sebulan.
b. Komponen Udara Luar
Untuk pengendalian penularan TB, sistem terbaik adalah sistem ventilasi
tanpa resirkulasi udara - berarti 100% bergantung pada aliran udara luar
yang satu arah. Dalam hal ini pasokan udara seluruhnya adalah udara luar

169
segar yang dialirkan kedalam ruangan melalui filter udara dan bila
diperlukan dapat didinginkan terlebih dahulu. Sistem aliran udara satu
arah ini cukup mahal, apalagi bila harus didinginkan terlebih dahulu
sehingga biasanya gedung - gedung tertutup hanya menggunakan sebagian
kecil udara luar. Proporsi udara luar yang digunakan biasanya hanya
berkisar antara 10 - 30% dan sisanya adalah udara resirkulasi.
Udara luar yang akan dialirkan kedalam ruangan, biasanya melalui saluran
udara yang dipasang penyaring udara.
Sumber: Bahan Pelatihan TOT Pengendalian dan Pencegahan Infeksi TB

Rekomendasi
WHO Tentang Ventilasi Ruangan :
REKOMENDASI UTAMA:
1. Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi yang ditransmisikan
melalui airborne, perlu diupayakan ventilasi yang adekuat di semua
area pelayanan pasien di fasilitas kesehatan
2. Untuk fasilitas yang menggunakan ventilasi alamiah, perlu dipastikan
bahwa angka rata-‐rata ventilation rate per jam yang minimal tercapai,
yaitu:
a. 160/l/detik/pasien untuk ruangan yang memerlukan
kewaspadaan airborne (dengan ventilation rate terendah
adalah 80/l/detik/pasien) contoh: Bangsal perawatan MDR TB.
b. 60/l/detik/pasien untuk ruangan perawatan umum dan
poliklinik rawat jalan.
c. 2,5/l/detik untuk jalan/selasar (koridor) yang hanya dilalui
sementara oleh pasien. Bila pada suatu keadaan tertentu ada
pasien yang terpaksa dirawat di selasar Rumah Sakit, maka
berlaku ketentuan yang sama untuk ruang kewaspadaan
airborne atau ruang perawatan umum.
d. Desain ruangan harus memperhitungkan adanya fluktuasi
dalam besarnya ventilation rate.
e. Bila ventilasi alamiah saja tidak dapat menjamin angka
ventilasi yang memadai sesuai standar diatas, maka
dianjurkan menggunakan ventilasi campuran
170
3. Rancangan ventilasi alamiah di rumah sakit, perlu memperhatikan,
bahwa aliran udara harus mengalirkan udara dari sumber infeksi ke
area di mana terjadi dilusi udara yang cukup dan lebih diutamakan ke
arah luar gedung.
4. Di ruangan dimana di lakukan prosedur yang menghasilkan aerosol
berisi patogen potensial menular, maka ventilasi alamiah harus paling
sedikit mengikuti rekomendasi nomor 2 diatas. Bila agen infeksi
ditransmisikan melalui airborne, hendaknya di ikuti rekomendasi 2
dan 3.

e. Pengendalian Dengan Alat Pelindung Diri


Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat
pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar percik
renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan perlu menggunakan respirator pada saat melakukan prosedur
yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi
sekret saluran napas, dan pembedahan paru. Selain itu, respirator ini juga perlu
digunakan saat memberikan perawatan kepada pasien atau saat
menghadapi/menangani pasien tersangka MDR-‐TB dan XDR-‐TB di poliklinik.
Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika berada
bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak perlu
menggunakan respirator partikulat tetapi cukup menggunakan masker bedah
untuk melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet.
a. Pemakaian Respirator Partikulat
Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health
care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi
untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang dibawa
melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan penyaring dan harus
dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada kebocoran. Masker ini membuat
pernapasan pemakai menjadi lebih berat. Harganya lebih mahal daripada
masker bedah. Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu
melakukan fit test.

171
Hal yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test :
1) Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat adanya
cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat lapisan yang
tidak utuh, maka tidak dapat digunakan dan perlu diganti.
2) Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik di semua
titik sambungan.
3) Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat disesuaikan bentuk
hidung petugas
b. Fungsi Alat
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan aman bila tidak menempel erat
pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan keadaan demikian,
yaitu:
1) Adanya janggut atau rambut diwajah bagian bawah
2) Adanya gagang kacamata
3) Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat mempengaruhi
perlekatan bagian wajah masker.
c. Langkah – Langkah Melakukan Fit Test Respirator
1) Genggamlah respirator dengan satu tangan, posisikan sisi depan bagian
hidung pada ujung jari-‐jari Anda, biarkan tali pengikat respirator
menjuntai bebas di bawah tangan Anda.
2) Posisikan respirator di bawah dagu Anda dan sisi untuk hidung berada di
atas.
3) Tariklah tali pengikat respirator yang bawah dan posisikan tali di bawah
telinga. Tariklah tali pengikat respirator yang atas dan posisikan tali agak
tinggi di belakang kepala Anda, di atas telinga.
4) Letakkan jari-jari kedua tangan Anda di atas bagian hidung yang terbuat
dari logam. Tekan sisi logam, dengan dua jari untuk masing-masing
tangan, mengikuti bentuk hidung Anda. Jangan menekan dengan satu
tangan karena dapat mengakibatkan respirator bekerja kurang efektif.
5) Tutup bagian depan respirator dengan kedua tangan, dan hati-‐hati agar
posisi respirator tidak berubah
d. Pemeriksaan Segel Positif
1) Hembuskan napas kuat-kuat
2) Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak ada kebocoran
172
3) Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/ atau ketegangan tali
4) Uji kembali kerapatan respirator
5) Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar-‐benar tertutup rapat
e. Pemeriksaan Segel Negatif
1) Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di
dalam respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran
akan menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat
udara masuk melalui celah-celah pada segelnya.
2) Lamanya penggunaan maksimal 1 minggu dengan pemeliharaan yang
benar
3) Cara pemeliharaan dan penyimpanan yang benar (setelah dipakai
diletakkan di tempat yang kering dan dimasukkan dalam kantong
berlobang)

Gambar 23: Macam Masker

f. Edukasi dan Penerapan Etika Batuk


Petugas harus mampu memberi edukasi yang adekuat mengenai
pentingnya menjalankan etika batuk kepada pasien untuk mengurangi
penularan. Pasien yang batuk / bersin diinstruksikan untuk memalingkan
kepala dan menutup mulut / hidung dengan tisu. Kalau tidak memiliki tisu
maka mulut dan hidung ditutup dengan tangan atau pangkal lengan. Sesudah
batuk, tangan dibersihkan, dan tisu dibuang pada tempat sampah yang khusus
disediakan untuk ini.
Petugas yang sedang sakit sebaiknya tidak merawat pasien. Apabila tetap
merawat pasien, maka petugas harus mengenakan masker bedah. Apabila
petugas bersin atau batuk, maka etika batuk dan kebersihan tangan seperti di
atas harus diterapkan.

173
g. Keselamatan dan Keamanan Laboratorium TB
Konsep perlindungan diri petugas Laboratorium tetap mengacu pada
Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi melalui
udara (airborne) dan Transmisi melalui Kontak apabila sedang memproses
spesimen. Petugas Lab yang menangani pemeriksaan BTA dan kultur BTA
berhak mendapatkan pemeriksaan kesehatan rutin setiap tahun. Kehati‐hatian
dalam melakukan prosedur laboratorium perlu ditekankan terutama apabila
kemungkinan menimbulkan aerosol.
Pekerjaan harus dilakukan dalam lemari Biologic Safety Cabinet kelas I
atau IIA dengan keamanan tingkat 2 (Biosafety level 2) yang dilengkapi
laminar-airflow dan filter HEPA. Sebelum bekerja, meja kerja kabinet dialasi
dengan bahan penyerap yang sudah dibasahi larutan disinfektans. Setiap
selesai bekerja, permukaan kabinet harus dibersihkan dengan disinfektans.
Lampu UV harus selalu dinyalakan apabila kabinet dalam keadaan tidak
digunakan. Untuk pemeliharaan biosafety cabinet perlu dilakukan pengecekan
berkala minimal 1 (satu) kali dalam setahun oleh teknisi yang kompeten dan
tersertifikasi. Untuk pemeriksaan kultur dan resistensi perlu dilakukan dengan
tingkat keamanan BSL 2 menggunakan BSC 2B dengan akses yang sangat
dibatasi.
Sistem ventilasi udara laboratorium Tb harus diatur sedemikian rupa
sehingga udara mengalir masuk sesuai area bersih ke area tercemar dan keluar
ke udara bebas yang tidak dilalui lalu lintas manusia. Ruang pemrosesan
dianjurkan selalu terpasang dan dinyalakan lampu UV bila dalam keadaan
tidak digunakan. Lampu harus selalu dalam keadaan bersih dan efek
germisidal lampu diperiksa secara rutin setiap bulan menggunakan alat
pengukur.

Gambar 24: Penempatan BSC dengan posisi jendela


174
h. Keamanan Cara Pengumpulan Sputum
1) Pengumpulan sputum
Pengumpulan sputum oleh pasien harus dilakukan dalam ruangan
terbuka, sputum collection booth, atau ruangan dengan pengaturan sistem
ventilasi yang benar. Udara dalam booth dialirkan ke udara bebas di
tempat yang bebas lalu lintas manusia. Apabila didampingi, pedamping
harus menggunakan respirator partikulat. Pasien harus tetap dalam
ruangan sampai batuk mereda dan tidak batuk lagi.
Ruangan harus dibiarkan kosong sampai diperkirakan udara sudah
bersih sebelum pasien berikutnya diperbolehkan masuk. Untuk sarana
dengan sumber daya terbatas, pasien diminta mengumpulkan sputum di
luar gedung, di tempat terbuka, bebas lalu lintas manusia, jauh dari orang
yang menemani atau orang lain, jendela atau aliran udara masuk. Jangan
menggunakan toilet atau WC sebagai tempat penampungan sputum.
Untuk pengumpulan sputum yang baik, pasien perlu mendapat
penjelasan oleh petugas. Pasien diminta menarik napas dalam sebanyak 3
kali kemudian pada tarikan ke 3 menahan napas kemudian batuk dengan
tekanan. Wadah sputum harus bermulut lebar dan bertutup ulir. Wadah
tidak perlu steril tetapi harus bersih dan kering. Selalu menggunakan
wadah yang disediakan khusus oleh laboratorium. Waktu pengumpulan
dilakukan dengan metode SPS yaitu sewaktu saat berobat ke fasyankes,
pagi hari keesokannya di rumah dan sewaktu saat kontrol dan membawa
sputum pagi hari ke fasyankes.

Gambar 25: Tempat Pengumpulan Dahak Diluar Gedung

175
2) Kebersihan tangan setelah penampungan sputum
Pasien perlu diberitahu untuk membersihkan tangan setelah menampung
sputum baik dengan air mengalir dan sabun, atau dengan larutan
handrubs. Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan sarana
tersebut.
3) Proteksi saat transportasi pasien
Apabila pasien akan ditransportasikan keluar dari ruang isolasi, maka
pasien harus dipakaikan masker bedah untuk melindungi lingkungan
sekitar.

2. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Instalasi Gizi


a. Tata Laksana :
1. Pencegahan Kontaminasi
a. Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menghidangkan makanan
b. Cuci panci, wajan, peralatan masak dan baki dengan seksama
menggunakan air dan sabun setelah digunakan
c. Segera hidangkan makanan setelah siap masak
d. Hindari kontak dengan makanan
e. Sediakan tempat yang cukup untuk menyimpan makanan. Sisakan 10
sampai 15 cm diatas lantai agar bisa dibersihkan
f. Ciptakan prosedur pembersihan yang baik untuk daerah penyimpanan
makanan dan bahan untuk mencegah kontaminasi tikus, serangga dan
kelembaban
g. Jangan gunakan telur yang retak atau busuk untuk menghindari salmonella
h. Atur jadual untuk pemeriksaaan karyawan yang bekerja didapur
i. Tidak perlu penanganan baki dan peralatan pasien penyakit menular
terpisah. Gunakan detergen dengan air panas untuk mencuci peralatan
j. Buang semua sisa makanan dalam kantong plastik hitam
k. Gunakan kompor yang tidak berasap
l. Jangan biarkan karyawan yang mengidap penyakit menular seperti infeksi
kulit menangani makanan dan peralatan
2. Proses Persiapan
a. Proses pembersihan makanan sebelum proses pengolahan
b. Pengupasan, menyiangi, memotong, mencuci
176
c. Tempat persiapan, meja peracikan dan alat harus higienis dan berbeda
3. Penyimpanan
a. Penerimaan barang diperiksa secara organoleptic
b. Penempatan barang terpisah menurut jenisnya
c. Tempat rapi, tidak padat dan ada sirkulasi udara
d. Pintu tidak boleh sering dibuka
e. Bahan makanan yang berbau tajam harus tertutup
f. Sistem FIFO (First In Frist Out)
4. Pengolahan Makanan
a. Tempat pengolahan/dapur yang bersih, bebas dari asap/panas/hama
b. Peralatan masak & perabotan bersih, utuh dan mempunyai fungsi yang
berbeda
c. Tempat sampah tertutup
d. Tempat pencucian tangan, bahan makanan dan perabotan berbeda
e. Petugas menggunakan alat pelindung diri
f. Prosedur peracikan bahan makanan yang benar
g. Prioritas dalam memasak
5. Penyimpanan Makanan Matang
a. Wadah/tempat yang terpisah dan tertutup
b. Suhu penyimpanan harus sesuai
c. Waktu tunggu singkat
6. Distribusi Makanan
a. Distribusi makanan tidak bersamaan dengan bahan yang berbahaya
b. Kendaraan makanan tidak dipergunakan untuk mengangkat bahan lainnya
c. Kebersihan kendaraan pengangkut terjaga
d. Kendaraan pengangkut harus dikonstruksi khusus dan higienis
e. Penggangkutan makanan harus tertutup dan disertai lubang ventilasi udara
7. Penyajian Makanan
a. Masing-masing ditempatkan terpisah & tertutup
b. Pencampuran masakan yang mengandung air pada makanan dilakukan
saat akan dihidangkan
c. Hindari menyajikan dengan klip, tusuk gigi dan bunga plastik
d. Hidangkan makanan sesuai dengan syarat menghidangkan
e. Peralatan harus dalam keadaan bersih dan baik
177
f. Penanganan makanan harus higienis
g. Penyajian harus sesuai dengan menu, waktu, volume dan tata hidang
8. Pencucian Alat
a. Alat makan dan bekas masak setiap kali digunakan
b. Buang sisa makanan
c. Bila perlu rendam air panas
d. Gunakan Sabun, bilas dan keringkan
9. Pembersihan Dapur
a. Segera setelah proses pengolahan makanan dan distribusi makan
b. Pembersihan lantai, meja persiapan, meja pembagian
c. Penanganan alat makan pasien penyakit menular seperti biasa
d. Tempat sampah selalu tertutup
10. Prinsip-Prinsip Kebersihan Perorangan
a. Berpakaian bersih dan rapi
b. Kuku tangan tidak panjang dan bersih
c. Rambut ditata rapi dan tertutup
d. Pakai alat pelindung diri
e. Cuci tangan
f. Tidak merokok
g. Kulit bebas luka
h. Tidak mencicipi makanan dengan tangan/jari/sendok masak

b. Monitoring dan Dokumentasi


(a) Monitoring
Monitoring dalam pelaksanaan penyediaan makanan diinstalasi gizi dilakukan
oleh penanggung jawab bagian instalasi gizi, dan Komite PPI. Petugas Gizi
harus dilakukan pemeriksaan swab anal setiap 12 bulan.
(b) Dokumentasi
Semua hasil pekerjaan dan monitoring harus di dokumentasikan secara
terstruktur dan dilaporkan setiap bulan sebagai indicator kinerja unit.

178
3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Kamar Bayi
Tata Laksana :
a. Rumah sakit menetapkan pengendalian ruangan/lingkungan di ruang bayi
adalah:
(a) Lantai dipel dua kali sehari atau jika diperlukan dengan menggunakan cairan
yang direkomendasikan oleh kesling
(b) Ruangan di bongkar ( general cleaning ) satu kali dalam seminggu
(c) Sirkulasi udara mencukupi
(d) Ruang bayi sehat harus terpisah dengan ruangan bayi sakit
(e) Suhu dan kelembaban kamar terukur dan terdokumentasikan dengan
ketentuan: suhu 22 – 24 °C & kelembaban 35 – 60 %
(f) Kulkas obat di check temperaturnya dan terdokumentasikan
b. Rumah sakit menetapkan bahwa pengolahan peralatan di ruang bayi
adalah:
(a) pengelolaan peralatan kotor bekas pakai pasien dilakukan di ruang spoel hoek
(b) Tempat tidur /box bayi,timbangan, peralatan photo terapi, dibersihkan setiap
hari dengan kain lembab menggunakan disinfektan yang direkomendasikan
(c) kamar mandi dan peralatan penunjangnya dibersihkan dengan detergen dan air
bersih setiap hari
c. Rumah sakit menetapkan bahwa persyaratan beraktivitas di kamar bayi
adalah :
Petugas
(a) Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah tindakan / memberi
susu bayi, dari toilet (sesuai moment yang ada)
(b) Perawat kamar bayi harus mengikuti program perlindungan karyawan berupa
pemberian vaksinasi yang ditentukan oleh komite K3RS ( hepatitis )
(c) Tidak boleh memelihara kuku ( panjang kuku maksimal 2 mm) , cat kuku atau
memakai perhiasan saat bekerja
(d) Jilbab petugas diatur sedemikian rupa saat melakukan tindakan ke pasien
(e) Mengganti popok tidak harus mengunakan sarung tangan , namun selalu
melakukan kebersihan tangan sesuai moment kecuali ada resiko paparan darah
dan cairan tubuh.

179
Ibu yang menyusui di kamar bayi
(a) Melakukan kebersihan tangan pada air yang mengalir sebelum dan sesudah
menyusui bayi, tidak diperkenankan menggunakan handrub
(b) Membersihkan puting susu menggunakan air hangat sebelum menyusui bayi
(c) Petugas yang menerima ASI yang dipompa dari ibu / keluarga, maka pada
botol harus ditutup, beri label, tanggal dan waktu pengambilan ASI
Bayi
(a) Bayi yang sehat harus dipisahkan dari bayi yang sakit
(b) Pemberian vaksin Hepatitis B diberikan 24 jam setelah lahir dengan ketentuan
yang ditetapkan DPJP
(c) Bayi dengan riwayat ibu dengan Hepatitis diberikan immunisasi pasif dalam
waktu 12 jam setelah lahir
(d) Bayi dengan berat badan normal dimandikan 2x sehari sebelum putus tali
pusat
(e) Perawatan tali pusat dengan menggunakan air bersih, dikeringkan dan ditutup
dengan kassa steril serta segera diganti apabila basah terkena urine
(f) Bayi yang dirawat dengan blue light, matanya harus ditutup dan dibuka saat
diberi susu.
(g) Setiap bayi mempunyai perlengkapan masing-masing dan disimpan ditempat
yang sudah disediakan (kontainer)serta selalu dijaga kebersihanya dengan
pembersihan rutin tiap hari.

4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Kamar Bersalin


Tata Laksana ;
a. Rumah sakit menetapkan langkah pencegahan infeksi di kamar bersalin
meliputi :
(a) Baju/gaun panjang/apron dan sarung tangan harus digunakan pada semua
prosedur yang bersentuhan dengan darah atau cairan tubuh pasien, termasuk
juga kebersihan peralatan dan lingkungan, pemeriksaan plasenta
(b) Pelindung mata (goggles) dipakai pada setiap prosedur persalinan
(c) Semua benda tajam bekas pakai pasien harus langsung dibuang kedalam
safety box yang telah tersedia
(d) Semua linen yang terkena noda darah dimasukkan kedalam kantong berwarna
kuning
180
(e) Staff yang mempunyai lesi/luka terbuka atau goresan pada tangan mereka
harus menutup luka tersebut dengan plester kedap air dan selalu menggunakan
sarung tangan saat menangani persalinan
(f) Staff yang bekerja dikamar bersalin harus ikut dalam program vaksinasi
Hepatitis
(g) Semua sampah yang terkontaminasi dengan darah harus dibuang ke dalam
tempat sampah infeksius
b. Rumah sakit menetapkan persyaratan beraktivitas di kamar bersalin:
(a) Petugas Kamar Bersalin
 Menggunakan APD lengkap (sarung tangan, masker, goggle, apron, topi,
sepatu boot) sebelum menolong persalinan
 Memakai alas kaki tertutup atau sepatu boot yang telah disediakan khusus
untuk kamar bersalin
 Melaksanakan praktek kewaspadaan standar sesuai ketentuan
(b) Pasien
 Keluarga yang masuk ke kamar bersalin dibatasi
 Pasien dengan infeksi harus ditempatkan diruang tersendiri (isolasi)
 Kebutuhan personal hygiene pasien tercukupi;
(c) Bayi
 Perawat/bidan yang menerima bayi baru lahir harus menggunakan APD
lengkap
 Penghisap lendir bayi harus menggunakan yang sekali pakai
 Bayi lahir, tali pusat diikat dengan klem tali pusat steril , kemudian di
balut dengan kasa steril kering
 Bayi baru lahir dibersihkan dengan minyak goreng/ kelapa, kemudian bayi
diberikan baju dan dirapikan
 Plasenta dimasukan ke dalam tempat yang sudah tersedia
c. Rumah sakit menetapkan pengolahan lingkungan di kamar bersalin adalah:
(a) Ruang Bersalin
 Pembersihan ruang bersalin dilakukan 2x sehari dan setiap selesai
tindakan oleh petugas kebersihan.
 Pembersihan umum (general cleaning) dilakukan seminggu sekali pada
hari tidak ada tindakan / persalinan.

181
 Semua tumpahan darah dan cairan tubuh harus dibersihkan sesuai
prosedur penanganan tumpahan cairan infeksius.
 Tempat tidur, meja pasien, lemari harus dibersihkan dengan menggunakan
disinfektan yang direkomendasikan setiap selesai digunakan.
(b) Alat dan Linen
 Instrumen yang telah dipakai dicuci dengan air mengalir hanya untuk
menghilangkan noda darah (proses pre cleaning) di spoel hoek kemudian
segera dikirim ke CSSD menggunakan container alat kotor.
 Kemasan steril tidak boleh robek, tidak boleh terbuka dan tidak kotor, dan
lihat tanggal kadaluarsa.
 Semua peralatan medik steril yang akan dipakai dibatasi secukupnya
sesuai dengan keperluaan saat itu.
 Kain gorden harus dibersihkan setiap 1-3 bulan sekali atau jika perlu bila
terkena darah dan kain gorden berbahan plastik lakukan dekontaminasi
secara rutin dengan cara di lap dengan menggunakan larutan klorsep.
 Linen pasien harus diganti segera setelah pasien selesai tindakan.
 Linen yang telah terkontaminasi dengan darah harus dimasukkan ke dalam
kantong plastik warna kuning.

d. Penanganan terhadap ibu yang positif terpapar virus yang ditularkan


melalui darah – Hepatitis B, C dan HIV :
Untuk meminimalkan risiko kelahiran bayi dengan kelainan darah karena ibunya
positif terkena virus yang ditularkan melalui darah, beberapa langkah yang harus
dilakukan:
(a) Pertahankan selaput ketuban tetap utuh selama mungkin.
(b) Tali pusat diklem/ditutup sesegera mungkin untuk menghindari tranfusi janin
maupun ibu yang tidak perlu.
(c) Suntikan dan contoh darah bayi ditunda sampai darah yang berasal dari ibu
dibersihkan.
(d) Dalam keadaan ibu positif menderita Hepatitis B, maka dorongan untuk
imnunisasi terhadap bayi sebaiknya aktif dilakukan.
(e) Pada saat bayi di bersihkan, harus dilakukan secara hati - hati sehingga semua
darah menempel bisa dibersihkan, semua peralatan yang digunakan dibuang
diplastik warna kuning atau dibersihkan sehingga semua yang mengandung
182
protein terangkat. Segera setelah prosedur ini selesai dilakukan, bayi bisa
ditangani dengan normal, tidak perlu diambil tindakan pengisolasian.
(f) Lakukan segera imunisasi bayi baru lahir dengan ibu yang positif hepatitis B.
(g) Plasenta pada bayi dengan ibu ODHA dan hepatitis ditempatkan pada wadah /
kendil serta tidak boleh dibuka/dibersihkan oleh keluarga, keluarga di edukasi
untuk langsung mengubur tanpa dibersihkan.

5. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Kamar Bedah


Tata Laksana :
a. Pencegahan dan pengendalian Infeksi di Kamar Bedah berfokus pada pasien,
petugas, teknik pembedahan, lingkungan, dan peralatan.
b. PPI di Kamar Bedah meliputi:
(a) Kebersihan Tangan
 Kebersihan tangan dilaksanakan melalui praktek mencuci tangan
menggunakan sabun antiseptik (chlorhexidin 4 %) dan air mengalir, atau
handrub menggunakan antiseptic berbasis alkohol dan chlorhexidine.
Kebersihan tangan wajib diimplementasikan di kamar bedah oleh setiap
petugas kamar bedah sesuai dengan kebijakan kebersihan tangan di RS
Restu Ibu.
 Penerapan praktik kebersihan tangan oleh seluruh petugas kamar bedah
berpedoman pada sumber terpecaya dari organisasi bedah atau dari WHO
2009.
(b) Pengendalian Alat Pelindung Diri
 Penggunaan alat pelindung diri mengacu pada prinsip penerapan
kewaspadaan standar
 Cuci tangan sebelum dan setelah melepas sarung tangan
 Pakai sarung tangan bila ada kemungkinan akan terkontaminasi darah,
cairan tubuh, sekret, ekskret, bahan/benda terkontaminasi
 mukosa, kulit yang tidak utuh, atau kulit utuh yang potensial
terkontaminasi
 Alat Pelindung Diri dipakai selama tindakan operasi dan diganti dengan
masker baru pada saat akan operasi berikutnya
 Kenakan apron / gaun plastik sebelum akan memakai gaun steril
 Kenakan gaun steril untuk tindakan operasi
183
 Kenakan gaun bersih tidak steril untuk melindungi kulit dari
 kontaminasi dan mencegah baju menjadi kotor, selama tindakan /merawat
pasien yang memungkinkan terjadinya percikan cairan tubuh pasien
 Masker dan tutup kepala digunakan mulai pintu masuk zona 3, dan diganti
setiap kali selesai operasi
 Gunakan alas kaki yang tertutup bagian depan, dan tidak bolong bolong
 Gunakan sepatu boot saat tindakan operasi dengan resiko paparan cairan
dan darah dalam jumlah yang banyak
 Alas kaki dan sepatu tidak boleh bergantian antar petugas, masing masing
petugas menggunakan alas kaki atau sepatu sendiri sendiri dan dilakukan
pembersihan setelah di gunakan
 Untuk kasus operasi pada pasien dengan penyakit airborne disease
petugas menggunakan masker N 95 dan pasien menggunakan masker
bedah
 Untuk petugas putri tidak boleh menggunakan jilbab yang dipakai dari
luar kamar operasi
 Rumah sakit menyediakan jilbab untuk petugas putri di ruang ganti
(c) Penanganan Peralatan Perawatan Pasien
 Pembersihan dan desinfeksi dilakukan segera setelah alat - alat
dipergunakan
 Instrument setelah digunakan dilakukan tahapan precleaning sebelum di
serahkan ke CSSD
 Peralatan untuk ventilasi dan pernapasan yang digunakan pada penderita
TB yang dioperasi digunakan alat yang sekali pakai
 Semua peralatan anastesi sehabis digunakan dikelola dengan baik menurut
kualifikasinya ( non kritis, semi kritis atau kritis )
(d) Managemen Lingkungan dan Limbah
 Menggunakan cairan desinfektan sesuai dengan pedoman RS
 Tempat tidur/kursi, meja, permukaan meja operasi, permukaan meja
instrument dibersihkan setiap selesai dipakai pasien dengan menggunakan
clorin 0,05 % atau desinfektan yang lain sesuai kebijakan Rumah Sakit
 Penanganan Limbah
 Limbah medis infeksius di masukan kantong kuning
 Limbah benda tajam masuk ke dalam safety box
184
 Limbah umum (non infeksius) dimasukan ke kantong warna hitam
 Limbah cair di buang ke spoelhoek
 Penanganan tumpahan darah atau bahan infeksi harus dibersihkan sesuai
SPO Tumpahan cairan infeksius
 Dilakukan pembersihan rutin harian di area kamar operasi
 Dilakukan pembersihan besar tiap minggu di area dalam ( zona 4 ) kamar
operasi
(e) Kesehatan Petugas
 Apabila terkena pajanan barang infeksius maka dilakukan penatalaksanaan
sesuai alur dan SPO pajanan benda infeksius
 Petugas yang terkena pajanan langsung dilakukan pemerikasaan sesuai
SPO serta membuat laporan pajanan
 Petugas yang sakit menular dilarang untuk bekerja di kamar bedah
 Petugas yang sedang sakit sementara tidak bekerja sesuai rekomendasi
dokter
 Dilakukan pemberian vaksinasi hepatitis untuk semua petugas kamar
operasi
(f) Praktik Menyuntik Yang Aman
 Tidak melakukan re caping jarum
 Satu pasien menggunakan satu spuit dan sekali pakai
 Menggunakan tehnik aseptik selama proses penyiapan hingga pemberian
obat
 Menggunakan alkohol swab dengan cara memutar dari arah dalam keluar
untuk membersihkan area yang akan di lakukan injeksi
(g) Managemen Linen
 Linen yang ternoda darah segera dimasukan ke kantong kuning
 Linen yang tidak ternoda darah di masukan kantong hitam
 Tidak boleh meletakan linen dilantai
 Tidak boleh mencampur linen infeksius dan non infeksius
 Gunakan underpad untuk pengalas pasien
 Lakukan pergantian alas meja operasi (sprei) setiap selesai operasi

185
(h) Pasien
 Pasien berhenti merokok 1 bulan sebelum operasi
 Pasien menggunakan baju khusus, semua baju dari luar harus dilepas
di ruang persiapan
 Sebelum operasi pasien mandi menggunakan antiseptik yang
mengandung chlorhexidine
 Mandi guyur dengan chlorhexidine untuk pasien yang masih bisa
mobilisasi
 Menggunakan towel yang mengandung chlorhexidine bagi pasien
yang immobilisasi
 Cukur rambut, dilakukan bila benar - benar diperlukan dan dilaksanakan
mendekati jam operasi dengan menggunakan clipper bukan razor di
bangsal atau ruang persiapan kamar operasi.
 Post operasi, meliputi pencegahan dan perawatan pasien sebelum, selama
pasien dan sesudah pasien operasi.
 Penderita TB sewaktu dibawa masuk kamar operasi segera langsung
masuk kamar operasi tidak diperbolehkan menunggu di lingkungan kamar
operasi. Masker bedah harus dipakai pasien selama pasien dipindah ke
kamar operasi.
 Pasien TB harus dipulihkan kesadarannya diruang kamar operasi/ruang
anastesi, tidak boleh diruangan pemulihan untuk mengurangi resiko
paparan.
(i) Petugas Kamar Bedah
 Menerapkan praktek kewaspadaan standar dengan sebaik baiknya
 Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petugas kamar bedah
 Memberikan motivasi kepada petugas lain
 Petugas tidak memakai jam tangan, gelang, cincin
 Tidak berkuku panjang dan memakai kutek
 Pembatasan jumlah petugas di ruang bedah selama operasi berlangsung

186
6. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Instensive Care Unit
Tata Laksana :
(a) Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan yang sering merupakan salah satu cara yang paling penting
sebagai ukuran pengendalian infeksi di Rumah sakit. Tangan harus dicuci
sebelum dan sesudah merawat pasien atau menangani peralatan medis yang
digunakan oleh pasien.
Tangan juga harus dicuci jika terkontaminasi dengan cairan tubuh pasien,
sebelum melakukan tindakan invasive, sebelum dan setelah melepas sarung
tangan, sebelum memulai kerja dan setelah tugas kerja selesai, setelah kontak
dengan lingkungan sekitar pasien.
(b) Pengendalian Alat Pelindung Diri
 Pemakaian sarung tangan untuk melindungi petugas, sarung tangan harus
digunakan jika akan kontak dengan cairan tubuh lainnya dan sarung tangan
harus dilepas setelah selesai melakukan tindakan untuk meminimalkan
terjadinya kontaminasi silang, kemudian segera lakukan kebersihan tangan.
 Sarung tangan tidak perlu dipakai jika tidak ada resiko kontaminasi dengan
cairan tubuh pasien cukup dengan melakukan kebersihan tangan sesuai
moment petugas sudah terlindungi.
(c) Konsultasi
Komite pencegahan dan pengendalian infeksi harus dapat dijadikan sebagai
narasumber dalam melakukan surveilans dan pengkajian pengendalian infeksi di
IPI. Disamping itu komite PPI juga harus menetapkan dan melakukan monitoring
terhadap prosedur sterilisasi dan desinfeksi terhadap peralatan yang digunakan di
IPI, juga terhadap penanganan bila terjadi luka tertusuk jarum.
(d) Prosedur Invasive
 Jika prosedur invasive digunakan sebagai pilihan untuk menyelamatkan jiwa
pasien dan sangat bermanfaat dalam penanganan pasien, maka prosedur
pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan di atas dapat diabaikan.
 Prosedur invasive harus dilakukan dengan menerapkan teknik aseptik. Teknik
aseptik harus diterapkan untuk semua prosedur invasive dan penggantian
balutan perlu memakai sarung tangan steril. Dalam situasi emergency dimana
prosedur yang dilakukan tidak cukup baik dalam teknik aseptik, maka seperti

187
penggantian kateter urine, kateter yang mungkin dapat terkontaminasi maka
sebaiknya diganti setelah kondisi pasien stabil.
 Kanulasi pembuluh darah
Bagian yang dipasang kanulasi merupakan tempat masuknya mikroorganisme
ke dalam jaringan subkutan dan sirkulasi darah yang sangat potensial. Oleh
karena itu staff yang akan melakukan pemasangan kanulasi harus terlebih
dahulu melakukan kebersihan tangan dan memakai sarung tangan serta
tindakan mendisinfeksi kulit sebelum pemasangan kanulasi.
 Kanulasi vena sentral
Pemasangan kanulasi vena sentral harus dilakukan dengan menerapkan teknik
aseptik termasuk memakai sarung tangan steril, melakukan persiapan kulit
yang akan ditusuk dengan antiseptik dan memasang doek steril pada area yang
telah disiapkan. Cari bagian yang mempunyai risiko yang rendah
sepertisubclavicula, internal jugularis.
 Penggantian kanulasi
Kanulasi intravena harus diganti secara reguler (72 jam).
Khusus bayi, kanulasi umbilical kateter dipasang dengan teknik steril
menggunakan jas operasi, sarung tangan steril, masker dan doek steril.
Penggantian posisi kanulasi umbilical kateter dilakukan tidak melebihi 5 – 7
hari.
(e) Peralatan
Tingkat sterilitas yang benar, desinfektan dan dekontaminasi harus dilakukan
pada semua perlatan yang akan digunakan. Setiap pasien harus mempunyai
peralatan sendiri - sendiri dan bisa dipakai ulang atau menggunakan alat yang
sekali pakai;
 Item sekali pakai
Item yang sekali pakai seperti peralatan airway yang kontak langsung dengan
saluran pernafasan seperti ETT dan airway, canule suction dimana dari
manufakturnya telah diberi label sekali pakai, maka tidak boleh dipakai ulang
atau didaur ulang.
 Item yang dapat dipakai ulang
Item yang dapat dipakai ulang harus dilakukan dekontaminasi dan disinfeksi
yang benar sebelum digunakan kembali dan apabila prosedur yang akan

188
dilakukan melibatkan bagian tubuh yang steril, maka peralatan tersebut harus
dalam keadaan steri.
 Circuit ventilator
Untuk setiap pasien, breathing circuit, humidifier harus diganti setiap 5-7 hari
atau dapat diganti jika kotor, circuit dapat dilindungi dengan posisi filter yang
benar, sedangkan bacterial filter dipakai satu pasien satu bacterial filter.
(f) Suplai
 Area penyimpanan
Item yang bersih dan steril tidak boleh disimpan dalam area yang sama.
Lokasi atau ruangan terpisah harus digunakan untuk area bersih dan kotor.
 Item steril
Semua item yang telah steril harus disimpan di area yang bersih dan kering.
Jika bungkusan steril mengalami kerusakan atau bocor, maka kemasan
tersebut dinyatakan tidak steril lagi dan item didalamnya tidak boleh
digunakan. Pengecekan item steril pada stok steril harus dilakukan secara
reguler. Semua item steril harus dicek keutuhan kemasannya sebelum
digunakan (dibuka).
(g) Pengelolaan Linen
 Linen kotor adalah merupakan sumber kontaminasi mikroorganisme yang
signifikan linen kotor saat penggantian linen (oleh karena itu penggantian
linen tidak boleh dilakukan dengan mengibaskan linen ke udara).
 Linen disimpan di tempat yang bersih, kering dan tertutup untuk mencegah
kontaminasi kuman dari udara. Jika linen bersih tidak jadi digunakan, maka
tidak boleh disimpan di area penyimpanan stok linen ruangan, tetapi harus
dikembalikan ke laundry untuk dicuci ulang.
 Tidak boleh meletakkan linen kotor di lantai, di kursi atau di meja. Linen
kotor dimasukkan ke dalam kantong plastik trolly linen kotor yang telah
tersedia. Trolly linen yang digunakan untuk mengangkut linen kotor tidak
boleh digunakan untuk membawa linen bersih.
(h) Praktek Menyuntik Yang Aman
 Obat - obatan harus disiapkan dengan menggunakan teknik tanpa sentuhan,
obat - obat parenteral harus disiapkan secara aseptik menggunakan spuit dan
jarum steril. Cairan intravena dan cairan irigasi steril harus diberi label

189
tanggal, waktu dibuka dan dibuang setelah 24 jam (jika setelah dibuka dan
tidak digunakan lagi)
 Antibiotika
Pemberian antibiotika pada pasien ICU yang tidak memperhatikan pola
sensitivitas kuman akan memberikan andil terjadinya KLB infeksi serius
dengan konsekuensi yang fatal. Adanya kebijakan penggunaan antibiotika di
rumah sakit akan lebih rasional dalam pemberiannya dan merupakan
keputusan yang dapat diterima secara hukum dibandingkan mereka yang tidak
mempunyai kebijakan tentang pemberiaan antibiotika yang benar
 Pemberian Multi Dose
Karena adanya potensi terjadi infeksi silang, maka penggunaan vial untuk
multi dose dan ampul untuk pasien lebih dari satu sangat tidak dianjurkan
diterapkan di RS. Restu Ibu oleh karena itu isi vial atau ampul hanya
digunakan oleh satu pasien saja dengan alternatif lainnya yaitu dengan
memisahkan isi vial ke dalam beberapa spuit steril, beri tanggal dan jam buka
vial pada spuit dan disimpan dalam lemari pendingin obat untuk selama 24
jam.
 Tidak melakukan re caping jarum
 Satu pasien menggunakan satu spuit dan sekali pakai
 Menggunakan tehnik aseptik selama proses penyiapan hingga pemberian
obat
 Menggunakan alkohol swab dengan cara memutar dari arah dalam keluar
untuk membersihkan area yang akan di lakukan injeksi
(i) Faktor Pasien dan Petugas
 Isolasi
 Setiap pasien yang dicurigai atau dinyatakan mempunyai penyakit
menular, maka harus ditempatkan terpisah dari pasien lain (kamar isolasi)
 Pengelolaan pasien di isolasi memperhatikan prinsip prinsip penerapan
kewaspadaan isolasi
 Tata udara, cahaya dan ventilasi harus termonitor dengan baik
 Hygiene
Pasien yang dirawat di ICU secara rutin harus dilakukan personal hygiene
dengan baik. Dengan melakukan personal hygiene yang baik akan mencegah

190
terjadinya infeksi silang dan memberikan kesegaran dan mengurangi stres
bagi pasien.
 Petugas
1. Semua staff yang bertugas di ICU harus memakai seragam yang bersih.
2. Staf ICU tidak diperbolehkan memakai asesoris tangan termasuk cincin
kawin saat mereka tugas, hal ini karena potensial menyebarkan kuman
atau mengakibatkan kolonisasi kuman
3. Menerapkan praktek kewaspadaan standar dengan sebaik baiknya
4. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petugas sesame petugas
5. Memberikan motivasi kepada petugas lain
6. Tidak berkuku panjang dan memakai kutek
7. Kesehatan Petugas :
 Apabila terkena pajanan barang infeksius maka dilakukan
penatalaksanaan sesuai alur dan SPO pajanan benda infeksius
 Petugas yang terkena pajanan langsung dilakukan pemerikasaan sesuai
SPO serta membuat laporan pajanan
 Petugas yang dengan sakit menular airborne dilarang untuk bekerja di
ICU sampai dengan dinyatakan sembuh kembali
 Staf yang diketahui mengidap penyakit menular baik melalui
pembuluh darah maupun melalui udara harus berobat dan melaporkan
keatasan
 Petugas yang sedang sakit sementara tidak bekerja sesuai rekomendasi
dokter
 Dilakukan pemberian vaksinasi hepatitis untuk semua petugas
(j) Pengendalian Lalu Lintas Di ICU
 Dalam kasus tertentu pengunjung harus dibatasi sesuai dengan keperluannya,
hal ini untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pasien, cukup
sampai batas yang telah ditentukan kecuali pada kondisi pasien kritis ,namun
tetap diatur.
 Jika pasien dirawat di kamar isolasi IPI, maka pengunjung harus diberi
penjelasan untuk menerapkan kewaspadaan standar termasuk pengunaan APD
 anak-anak di bawah umur 12 tahun tidak boleh masuk melakukan kunjungan
ke pasien.
 Khusus untuk bayi pengunjung yang diperbolehkan hanya orang tua.
191
 Pengunjung wajib melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah
mengunjungi pasien ICU.
 Pengunjung tidak perlu memakai baju ganti pada saat mengunjungi pasien di
ICU.
 Penunggu dan pengunjung tidak perlu menggunakan alas kaki khusus atau
melepas alas kaki saat masuk ICU.
(k) Managemen Lingkungan dan Limbah
 Menggunakan cairan desinfektan sesuai dengan pedoman RS
 Tempat tidur/kursi, meja, permukaan meja operasi, permukaan meja operasi,
permukaan meja instrument dibersihkan setiap selesai dipakai pasien dengan
menggunakan clorin 0,05 % atau desinfektan yang lain sesuai kebijakan
Rumah Sakit.
 Penanganan limbah :
1. Limbah medis infeksius di masukan kantong kuning
2. Limbah benda tajam masuk ke dalam safety box
3. Limbah umum (non infeksius) dimasukan ke kantong warna hitam
4. Limbah cair di buang ke spoelhoek
 Penanganan tumpahan darah atau bahan infeksi harus dibersihkan sesuai SPO
Tumpahan cairan infeksius
 Suhu dan kelembapan udara
Pengecekan suhu dan kelembapan udara harus dilakukan setiap hari
 Petugas kebersihan :
1. Pembersihan harian lantai harus dibersihkan setiap hari dengan
menggunakan kain pel dan desinfektan, dilakukan 2x sehari atau sewaktu-
waktu
2. Pembongkaran dilakukan 1 bulan sekali atau melihat jumlah pasien
3. Pembersihan permukaan lingkungan dan peralatan menggunakan
disinfektan yang tepat sesuai yang di tentukan

192
7. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Hemodialisa
Tata Laksana :
Rumah sakit menetapkan semua petugas untuk menjalankan langkah langkah
pencegahan dan pengendalian infeksi di ruang hemodialisa yang meliputi :
(a) Kebersihan Tangan
Hal-hal yang perlu diingat saat membersihkan tangan :
1. Melakukan kebersihan tangan seuai moment yang ada
2. Bila jelas terlihat kotor atau terkontaminasi oleh bahan yang mengandung
protein, tangan harus dicuci dengan sabun dan air mengalir
3. Bila tangan tidak jelas terlihat kotor atau terkontaminasi, harus digunakan
antiseptic berbasis alkohol untuk dekontaminasi tangan rutin
4. Pastikan tangan kering sebelum memulai kegiatan
(b) Pengendalian Alat Pelindung Diri
1. Sarung Tangan
 Melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan
melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada di tangan petugas
kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling
penting untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti
setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya untuk menghindari
kontaminasi silang (Depkes, 2008).
 Penggunaan sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen
kunci dalam meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan
suatu lingkungan bebas infeksi. Selain itu pemahaman mengenai kapan
sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi diperlukan dan kapan
sarung tangan tidak perlu digunakan, penting untuk diketahui agar dapat
menghemat biaya dengan tetap menjaga keamanan pasien dan petugas
(Depkes, 2008).
 Rekomendasi praktis penggunaan sarung tangan pada saat kontak dengan
pasien dan peralatannya akan membutuhkan jumlah sarung tangan yang
banyak sekali bahkan mungkin tidak realistik di unit HD. Namun, jika
area yang akan disentuh terlihat kotor atau ada indikasi contact
precaution, memakai sarung tangan menjadi suatu keharusan. Sarung
tangan steril digunakan pada saat melakukan prosedur dengan teknis
aseptic seperti pada saat insersi kateter atau memanipulasi kateter.
193
Jenis-jenis sarung tangan :
a. Sarung tangan bersih
b. Sarung tangan steril
c. Sarung tangan rumah tangga

Apakah kontak dengan Tanpa sarung tangan


Tidak
darah dan cairan tubuh ?

Ya

Apakah kontak dengan Sarung tangan


Tidak rumah tangga atau
pasien ?
Sarung tangan bersih
Ya

Apakah kontak dengan


Tidak Sarung tangan bersih
jaringan di bawa kulit?

Ya

Sarung Tangan Steril


atau
Sarung Tangan Bersih

Gambar 26: Bagan Alur Pemilihan Alur Jenis Sarung Tangan

 Ketentuan penggunaan sarung tangan di ruang hemodialisa (APIC 2010):


a. Dipakai saat merawat pasien
b. Dipakai saat menyentuh peralatan medis pasien atau sampel
laboratorium atau dialiser reuse
c. Dipakai saat membersihkan mesin, membersihkan ruang perawatan,
membersihkan tumpahan darah
d. Diganti pada saat merawat pasien lain atau menangani mesin lain
e. Diganti pada saat berpindah dari area kotor ke area bersih pada pasien
yang sama
f. Diganti setelah melakukan kanulasi
g. Membuang sarung tangan diikuti dengan cuci tangan

194
2. Masker
 Maker harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah
dagu dan rambut pada wajah (jenggot). Masker dipakai untuk menahan
cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, batuk atau
bersin serta untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya
memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan.
 Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai menderita
penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang digunakan
harus dapat mencegah partikel mencapai membran mukosa dari petugas
kesehatan (Depkes, 2008)
3. Alat Pelindung Mata
 Alat pelindung mata melindungi petugas dari percikan darah atau cairan
tubuh lain dengan cara melindungi mata. Petugas kesehatan harus
menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah jika
melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan cairan secara tidak
sengaja ke arah wajah (Depkes, 2008).
 Ketentuan penggunaan alat pelindung mata di ruang hemodialisa (APIC
2010), pelindung wajah digunakan pada saat :
a. Memasang dan melepas peralatan HD
b. Reprocessing dialiser atau pada saat mencuci peralatan medis yang
lain
c. Digunakan ketika petugas dan pasien yang batuk dan tidak bermasker
berjarak kurang dari 6 kaki
4. Topi
 Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan
kulit dan rambut tidak masuk ke area perawatan. Tujuan utama pemakaian
topi adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh
yang terpercik atau menyemprot.
5. Apron
 Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit
petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Kontaminasi pada pakaian yang
dipakai saat bekerja dapat diturunkan 20 -100x dengan memakai gaun
pelindung.

195
6. Pelindung Kaki
 Digunakan untuk melindungi kaki dari cidera akibat benda tajam atau
benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Sepatu
boot karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak
perlindungan tetapi harus dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah
atau tumpahan cairan tubuh lain.
(c) Kebersihan dan Disinfeksi Lingkungan
 Semua permukaan horizontal ditempat dimana pelayanan yang disediakan
untuk pasien harus dibersihkan setiap hari dan bila terlihat kotor, permukaan
tersebut juga harus dibersihkan bila pasien sudah keluar dan sebelum pasien
baru masuk (Depkes, 2008).
 Untuk mencegah dan mengontrol perkembangbiakan mikroorganisme,
pembersihan dan disinfeksi lingkungan luar di unit HD sangat penting untuk
dilakukan (mesin HD, bed atau kursi HD, troli) dan permukaan peralatan lain
yang sering di sentuh oleh pasien dan staf harus dibersihkan sebelum dipakai
pasien berikutnya. Di lingkungan pelayanan hemodialisa, lingkungan akan
terkontaminasi dengan berbagai macam pathogen dimana transmisi terbesar
pathogen tersebut melalui tangan tenaga kesehatan.
 Lingkungan hemodialisa cenderung terkontaminasi oleh ―blood borne
phatogen‖ berupa HBV, HCV dan HIV dan agen infeksius lainnya seperti
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant
Enterococci (VRE) dan Clostridium difficile (Karkar, 2014). Mikroorganisme
dapat bertahan hidup dengan berbagai macam periode dari hari sampai dengan
bulan, temperatur yang rendah, kelembaban yang tinggi merupakan media
yang baik bagi mikroorganisme untuk berkembang biak. Virus dapat
dinonaktifkan oleh alkohol 70% dan klorin 0.5% atau produk pabrikan yang
direkomendasikan.
 Hal-hal penting mengenai pembersihan dan disinfeksi permukaan
lingkungan :
1. Lingkungan yang digunakan oleh pasien harus dibersihkan dengan teratur
2. Hanya permukaan yang bersentuhan dengan kulit/mukosa pasien dan
permukaan yang sering disentuh oleh petugas kesehatan yang memerlukan
disinfeksi setelah dibersihkan
3. Lakukan pembersihan dua kali sehari atau bila kotor
196
4. Jangan melakukan disinfeksi fogging di ruang perawatan
5. Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti
pegangan pintu, bed rails, light switch
6. Bersihkan dinding, blinds dan jendela, tirai di area perawatan pasien
7. Petugas kesehatan harus menggunakan APD untuk melakukan
pembersihan dan disinfeksi peralatan dan harus membersihkan tangan
setelah APD dilepas
8. Lakukan pembersihan dan disinfeksi untuk pengendalian lingkungan yang
terkontaminasi sesuai prosedur
9. Larutan disinfeksi pada bagian permukaan yang terkena tumpahan (catatan
: sodium hipoklorit dapat digunakan untuk disinfeksi, dengan konsentrasi
yang dianjurkan berkisar dari 0,05% sampai 0,5%) atau menggunakan
produk pabrikan yang direkomendasikan
10. Pastikan kepatuhan dari petugas kebersihan untuk pembersihan dan
disinfeksi
11. Anjurkan keluarga, pengunjung, pasien tentang kebersihan tangan untuk
meminimalkan penyebaran mikroorganisme (Depkes, 2008).

 Rumah sakit menetapkan terkait peralatan medis/non medis untuk tempat


sampah adalah :
a. Tempat sampah untuk benda tajam
a) Wadah harus tahan tusukan
b) Jarum suntik bekas pakai, potongan kemasan obat yang tajam (ampul)
atau sampah tajam lainnya di taruh di tempat sampah ini. Wadah tidak
boleh diisi sampai penuh, maksimal sampai 3/4 bagian.
c) Bila sudah terisi cukup, pastikan wadah tertutup dengan aman, taruh
ditempat khusus pengumpulan pengambilan sampah
d) Bila terdapat percikan darah pada permukaan tempat sampah, segera
bersihkan dengan cairan klorin 0,5%.
b. Tempat sampah Infeksius untuk benda tidak tajam:
a) Wadah berupa kantong plastik yang dapat diikat kencang
b) Kasa bekas, dialiser, blood line bekas pakai dibuang pada wadah ini
c) Blood line dibuang dalam keadaan klem tertutup agar sisa darah tidak
berceceran
197
c. Tempat sampah non infeksius
Berfungsi untuk menampung sampah yang tidak tercemar darah dan
cairan tubuh, seperti kertas, pembungkus kemasan dan lain-lain.
(d) Kebersihan dan Desinfeksi Permukaan Luar Mesin
Rumah sakit menetapkan :
 Untuk membersikan dan mendisinfeksi lingkungan luar/badan mesin HD
setelah dipakai. Disinfektan level rendah dan cairan desinfektan yang sudah
diregistrasi oleh EPA untuk pelayanan kesehatan direkomendasikan untuk
dipakai pada
Bagian-bagian non kritikal (termasuk mesin HD) dan bisa juga menggunakan
disinfektan sesuai dengan perusahaan yang memproduksi mesin tersebut.
 Ketika ada percikan atau tumpahan darah, maka disinfektan level sedang
digunakan untuk melakukan disinfeksi (1:100 cairan hipoklorite) (Karkar,
2014). Perhatian khusus ditujukan pada bagian control mesin dialisis, seperti
dialysate port”, “pressure tranducer arterial-vena”, “air detector”, “heparin
pump” dan ―blood pump” pada setiap kali prosedur HD selesai dilakukan.
 Disinfektan pembersihan permukaaan menggunakan yang di rekomendasikan
oleh instalasi kesehatan lingkungan
(e) Pembersihan dan Disinfeksi Bagian Dalam Mesin
Rumah sakit menetapkan :
 Bahwa Bagian dalam mesin HD harus didisinfeksi setiap kali prosedur dialisis
selesai (prosedur rutin meliputi draining, disinfection, rinsing) menggunakan
cairan clorin 0,5%, Bila terjadi kebocoran darah pada sistem resirkulasi,
dilakukan prosedur rutin disinfeksi dan pembilasan sebanyak 2 kali sebelum
mesin tersebut dipakai kembali.
(f) Penanganan Alat-Alat Habis Pakai dan Re Use
Rumah sakit menetapkan mengacu kepada kebijakan penggunaan alat single use
& re use di CSSD.
(g) Water Treatment : Tes dan Purity
Rumah sakit menetapkan:
 Air yang digunakan unit HD dalam menjalankan proses HD harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain bebas dari kuman dan kontaminan atau
minimal mengandung konsentrasi terendah sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
198
 Air yang digunakan untuk HD diperlakukan menggunakan reverse osmosis
dan atau deionisasi untuk menghasilkan air sesuai dengan standar AAMI.
 Pemeriksaan terhadap kualitas air harus dilakukan secara teratur setiap
minimal 6 bulan sekali dan harus sesuai dengan standar AAMI.
 Pemeliharaan water treatment dilakukan untuk memelihara pengelolaan air
reverse osmosis di unit hemodialisa.
 Hitung kuman dialisat harus kurang dari 200/ml setelah inkubasi 48 jam
(AAMI,1981)
 Hitung kuman total harus menggunakan pemeriksaan mikrobiologi
konvensional (pour plate, spread plate). Alternatif lain adalah konsentrasi
lipopolisakarida bakteri dalam air kurang dari 1 ng/ml atau 5 unit endotoksin
yang diukur dengan pemeriksaan Limulus amebocyte lysate.
Microorganisme AAMI : RD52
CFU/ml Max 200
CFU/ml Max 50
Endotoxcin
EU/ml or IU/ml Max 2
EU/ml or IU/ml Action 1

(h) Praktik Menyuntik Yang Aman


Rumah sakit menetapkan untuk praktik menyuntik yang aman (Rekomendasi
CDC 2011) adalah :
1. Gunakan teknik aseptic pada saat menyiapkan dan pemberian pengobatan
2. Bersihkan bagian atas vial dengan 70% alcohol sebelum memasukkan syringe
ke vial
3. Jangan memberikan obat dengan syringe yang sama pada pasien yang
berbeda, walaupun jarum sudah diganti atau obat dimasukkan ke dalam tubing
cairan
4. Jangan mereuse syringe
5. Jangan memberikan pengobatan dari dosis tunggal atau vial sekali pakai,
ampul atau kantong atau botol dari cairan intravena untuk lebih dari satu
pasien.
6. Jangan memakai cairan infus atau infus set untuk lebih dari satu pasien.

199
7. Gunakan vial yang multidose untuk satu pasien jika mungkin, jika vial
multidose untuk beberapa pasien, maka vial tersebut harus disimpan di tempat
pengobatan dan tidak diperbolehkan berada di ruang perawatan.
8. Buang vial, syringe dan jarum di container yang tertutup, tahan terhadap
tusukan dan tahan pecah.
9. Ketaatan tenaga kesehatan terhadap paparan ―blood borne pathogen‖

(i) Akses Vaskuler : Perawatan dan Pencegahan Infeksi


 Kejadian infeksi pada kateter dialisis dengan tunnel 10 kali lebih besar
daripada pada AVF atau AV graft dan hal ini akan berkembang menjadi
bakterimia pada pasien HD (Karkar, 2014).
 Rekomendasi Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) untuk
pencegahan Infeksi pada Akses Vaskuler
Pencegahan Infeksi Pada Akses Vaskuler
Insersi Kateter :
1. Hindari akses femoral
2. Insersi kateter menggunakan teknisk aseptik
3. Penggunaan APD maksimal (masker, tutup kepala, gaun steril, sarung tangan steril
serta penggunaan duk steril)
Perawatan Kateter :
1. Hanya perawat yang terlatih yang dapat melakukan dressing dan memanipulasi
kateter.
2. Kateter ―exit site‖ diperiksa posisinya, ada tidaknya infeksi sebelum akses
3. Teknik aseptik selalu digunakan untuk mencegah kontaminasi
4. Gunakan masker bedah baik pada staf maupun pada pasien
5. Manipulasi kateter sebaiknya diminimalkan
Teknik persiapan pada akses AV shunt
1. Lengan yang diakses dicuci dengan sabun antimikroba
2. Palpasi dan pastikan lokasi kanulasi sebelum diakses
3. Untuk membersihkan kulit yang akan di kanulasi dengan menggunakan alkohol
based chlorhexidine atau 10% povidone iodine atau 70% alkohol

(j) Screening Rutin Pasien


Rumah sakit menetapkan :
1. Pasien baru atau pasien pindah ke/ datang dari pusat HD lain harus dilakukan
pemeriksaan HbsAg, anti HCV dan anti HIV.
2. Pasien dengan HBsAg dan Anti HCV negatif, pemeriksaan diulang kembali
setiap 6 bulan.

200
3. Pemeriksaan tes HIV pada pasien HD lama hanya dilakukan bila ada
kecurigaan menderita penyakit HIV.

(k) Imunisasi Pasien dan Petugas Kesehatan


Rumah Sakit menetapkan :
1. Pasien dengan HbsAg negatif, disarankan dilakukan vaksinasi untuk virus
hepatitis B
2. Semua staf yang aktif melayani pasien HD, harus diperiksa HBsAg dan anti
HCV setiap 6 bulan
3. Imunisasi dengan vaksin hepatitis B harus dilakukan pada setiap staf di ruang
HD

(l) Protokol Hemodialisa dengan Kateter


Rumah sakit menetapkan :
1. Pemilihan dan penggunaan antiseptic
Sesuai dengan guideline CDC/HICPAC tahun 2011 tentang pencegahan
infeksi pada kateter, sebelum melakukan akses, bagian ―hub‖ dilakukan
disinfeksi dengan antiseptic (clorhexidine + alkohol > 0,5%, 70% alcohol).
Tidak ada bukti ilmiah yang cukup untuk merekomendasikan salah satu
antiseptic dibandingkan antiseptic yang lain
2. Soaking caps
CDC dan HICPAC tidak merekomendasikan perendaman caps
3. Penanganan cateter hubs
Kateter hubs harus diperlakukan aseptik. Setelah dilakukan disinfeksi, kateter
hubs” tidak diperbolehkan untuk bersentuhan dengan area non steril. Pada
saat melakukan disinfeksi kateter ―hubs’, prinsip bersih, penggunaan sarung
tangan non steril digunakan asalkan teknik aseptik benar-benar dijaga
4. Penggunaan masker
Penggunaan masker untuk staf dan pasien direkomendasikan oleh KDOQI,
CMS tahun 2000
5. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan APD yang tepat menghindari paparan darah dan cairan tubuh
6. Teknik aseptic

201
(m)Edukasi Pasien, Keluarga dan Tenaga Kesehatan
Rumah sakit menetapkan Pendidikan, pelatihan pencegahan dan pengendalian
infeksi diberikan kepada tenaga kesehatan dan diulangi secara rutin misalnya
setiap tahun. Pasien dan caregivers juga diedukasi tentang perawatan akses baru,
perubahan akses dan hal ini diulangi setiap tahunnya. Area kunci edukasi pasien
menurut CDC adalah sebagai berikut :
 Pasien dengan kateter :
1. Cuci tangan
2. Perawatan dirumah
3. Tanda dan gejala infeksi
4. Cara mengatasi masalah ketika ada permasalahan dengan kateter
5. Resiko pemasangan kateter
6. Pelaksanaan dasar-dasar kontrol infeksi selama proses akses kateter
(mengikut sertakan pasien)
 Pasien dengan akses permanen :
1. Cuci tangan
2. Mencuci area akses sebelum dilakukan kanulasi
3. Perawatan di rumah
4. Tanda dan gejala infeksi
5. Cara mengatasi masalah ketika ada permasalahan dengan AVF
6. Pelaksanaan dasar-dasar control infeksi selama proses kanulasi (mengikut
sertakan pasien)

8. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Di Instalasi Rawat Inap


Tata Laksana :
1. Petunjuk Umum
a. Hand Hygiene (Kebersihan Tangan)
Kebersihan tangan yang sering merupakan salah satu cara yang paling penting
sebagai ukuran pengendalian infeksi di Rumah sakit. Tangan harus dicuci
sebelum dan sesudah merawat pasien atau menangani peralatan medis yang
digunakan oleh pasien. Tangan juga harus dicuci jika terkontaminasi dengan
cairan tubuh pasien, sebelum melakukan tindakan invasive, sebelum dan
setelah melepas sarung tangan, sebelum memulai kerja dan setelah tugas kerja
selesai, setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.
202
b. Pengendalian Alat Pelindung Diri
APD digunakan sesuai resiko paparanya
Untuk melindungi petugas, sarung tangan harus digunakan jika akan kontak
dengan cairan tubuh lainnya dan sarung tangan harus dilepas setelah selesai
melakukan tindakan untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi silang,
kemudian segera lakukan kebersihan tangan.
Sarung tangan tidak perlu dipakai jika tidak ada resiko kontaminasi dengan
cairan tubuh pasien cukup dengan melakukan kebersihan tangan sesuai
moment petugas sudah terlindungi.
c. Konsultasi
Komite pencegahan dan pengendalian infeksi harus dapat dijadikan sebagai
narasumber dalam melakukan surveilans dan pengkajian pengendalian infeksi
di IRI. Disamping itu komite PPI juga harus menetapkan dan melakukan
monitoring terhadap prosedur sterilisasi dan desinfeksi terhadap peralatan
yang digunakan di IRI, juga terhadap penanganan bila terjadi luka tertusuk
jarum.
- Prosedur Invasive
 Jika prosedur invasive digunakan sebagai pilihan untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan sangat bermanfaat dalam penanganan
pasien, maka prosedur pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan di
atas dapat diabaikan
 Prosedur invasive harus dilakukan dengan menerapkan teknik aseptik.
Teknik aseptik harus diterapkan untuk semua prosedur invasive dan
penggantian balutan perlu memakai sarung tangan steril. Dalam situasi
emergency dimana prosedur yang dilakukan tidak cukup baik dalam
teknik aseptik, maka seperti penggantian kateter urine, kateter yang
mungkin dapat terkontaminasi maka sebaiknya diganti setelah kondisi
pasien stabil.
- Kanulasi Pembuluh Darah
 Bagian yang dipasang kanulasi merupakan tempat masuknya
mikroorganisme ke dalam jaringan subkutan dan sirkulasi darah yang
sangat potensial. Oleh karena itu staff yang akan melakukan
pemasangan kanulasi harus terlebih dahulu melakukan kebersihan

203
tangan dan memakai sarung tangan serta tindakan mendisinfeksi kulit
sebelum pemasangan kanulasi.
 Penggantian kanulasi
Kanulasi intravena harus diganti secara reguler (72 jam).
d. Peralatan
Tingkat sterilitas yang benar, desinfektan dan dekontaminasi harus dilakukan
pada semua perlatan yang akan digunakan. Setiap pasien harus mempunyai
peralatan sendiri - sendiri dan bisa dipakai ulang atau menggunakan alat yang
sekali pakai.
 Item sekali pakai
Item yang sekali pakai seperti peralatan airway yang kontak langsung
dengan saluran pernafasan seperti ETT dan airway, canule suction dimana
dari manufakturnya telah diberi label sekali pakai, maka tidak boleh
dipakai ulang atau didaur ulang.
 Item yang dapat dipakai ulang
Item yang dapat dipakai ulang harus dilakukan dekontaminasi dan
disinfeksi yang benar sebelum digunakan kembali dan apabila prosedur
yang akan dilakukan melibatkan bagian tubuh yang steril, maka peralatan
tersebut harus dalam keadaan steril.
e. Suplai
 Area penyimpanan
Item yang bersih dan steril tidak boleh disimpan dalam area yang sama.
Lokasi atau ruangan terpisah harus digunakan untuk area bersih dan kotor.
 Item steril
Semua item yang telah steril harus disimpan di area yang bersih dan
kering. Jika bungkusan steril mengalami kerusakan atau bocor, maka
kemasan tersebut dinyatakan tidak steril lagi dan item didalamnya tidak
boleh digunakan. Pengecekan item steril pada stok steril harus dilakukan
secara reguler. Semua item steril harus dicek keutuhan kemasannya
sebelum digunakan (dibuka).
f. Pengolahan Linen
 Linen kotor adalah merupakan sumber kontaminasi mikroorganisme yang
signifikan linen kotor saat penggantian linen (oleh karena itu penggantian
linen tidak boleh dilakukan dengan mengibaskan linen ke udara).
204
 Linen disimpan di tempat yang bersih, kering dan tertutup untuk
mencegah kontaminasi kuman dari udara. Jika linen bersih tidak jadi
digunakan, maka tidak boleh disimpan di area penyimpanan stok linen
ruangan, tetapi harus dikembalikan ke laundry untuk dicuci ulang.
 Tidak boleh meletakkan linen kotor di lantai, di kursi atau di meja. Linen
kotor dimasukkan ke dalam kantong plastik trolly linen kotor yang telah
tersedia. Trolly linen yang digunakan untuk mengangkut linen kotor tidak
boleh digunakan untuk membawa linen bersih.
g. Praktek Menyuntik Yang Aman
 Obat - obatan harus disiapkan dengan menggunakan teknik tanpa
sentuhan, obat - obat parenteral harus disiapkan secara aseptik
menggunakan spuit dan jarum steril. Cairan intravena dan cairan irigasi
steril harus diberi label tanggal, waktu dibuka dan dibuang setelah 24 jam
(jika setelah dibuka dan tidak digunakan lagi)
 Antibiotik
Pemberian antibiotika pada pasien IRI yang tidak memperhatikan pola
sensitivitas kuman akan memberikan andil terjadinya KLB infeksi serius
dengan konsekuensi yang fatal. Adanya kebijakan penggunaan antibiotika
di rumah sakit akan lebih rasional dalam pemberiannya dan merupakan
keputusan yang dapat diterima secara hukum dibandingkan mereka yang
tidak mempunyai kebijakan tentang pemberiaan antibiotika yang benar.
 Pemberian multi dose
Karena adanya potensi terjadi infeksi silang, maka penggunaan vial untuk
multi dose dan ampul untuk pasien lebih dari satu sangat tidak dianjurkan
atau diterapkan oleh karena itu isi vial atau ampul hanya digunakan oleh
satu pasien saja dengan alternatif lainnya yaitu dengan memisahkan isi
vial ke dalam beberapa spuit steril, beri tanggal dan jam buka vial pada
spuit dan disimpan dalam lemari pendingin obat untuk selama 24 jam.
- Tidak melakukan re caping jarum
- Satu pasien menggunakan satu spuit dan sekali pakai
- Menggunakan tehnik aseptik selama proses penyiapan hingga
pemberian obat
- Menggunakan alkohol swab dengan cara memutar dari arah dalam
keluar untuk membersihkan area yang akan di lakukan injeksi
205
h. Faktor Pasien dan Petugas
a) Penempatan pasien
 Setiap pasien yang dicurigai atau dinyatakan mempunyai penyakit
menular, maka harus ditempatkan terpisah dari pasien lain (kamar
isolasi)
 Pengelolaan pasien di isolasi memperhatikan prinsip prinsip penerapan
kewaspadaan isolasi
 Tata udara, cahaya dan ventilasi harus termonitor dengan baik
b) Hygiene
Pasien yang dirawat di IRI secara rutin harus dilakukan personal hygiene
dengan baik. Dengan melakukan personal hygiene yang baik akan
mencegah terjadinya infeksi silang dan memberikan kesegaran dan
mengurangi stres bagi pasien
c) Petugas
1. Semua staff yang bertugas di IRI harus memakai seragam yang bersih.
2. Staf IRI tidak diperbolehkan memakai asesoris tangan termasuk cincin
kawin saat mereka tugas, hal ini karena potensial menyebarkan kuman
atau mengakibatkan kolonisasi kuman.
3. Menerapkan praktek kewaspadaan standar dengan sebaik baiknya
4. Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada petugas sesame petugas
5. Memberikan motivasi kepada petugas lain
6. Tidak berkuku panjang dan tidak memakai kutek
7. Kesehatan Petugas ;
1) Apabila terkena pajanan barang infeksius maka dilakukan
penatalaksanaan sesuai alur dan SPO pajanan benda infeksius
2) Petugas yang terkena pajanan langsung dilakukan pemerikasaan
sesuai SPO serta membuat laporan pajanan
3) Staf yang diketahui mengidap penyakit menular baik melalui
pembuluh darah maupun melalui udara harus berobat dan
melaporkan keatasan
4) Petugas yang sedang sakit sementara tidak bekerja sesuai
rekomendasi dokter
5) Dilakukan pemberian vaksinasi hepatitis untuk semua petugas

206
2. Pengendalian Lalu Lintas di Rawat Inap
 Dalam kasus tertentu pengunjung harus dibatasi sesuai dengan keperluannya,
hal ini untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pasien, cukup
sampai batas yang telah ditentukan kecuali pada kondisi pasien kritis, namun
tetap diatur.
 Jika pasien dirawat di kamar isolasi, maka pengunjung harus diberi penjelasan
untuk menerapkan kewaspadaan standar termasuk pengunaan APD.
 Anak-anak di bawah umur 12 tahun tidak boleh masuk melakukan kunjungan
ke pasien.
 Pengunjung wajib melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah
mengunjungi pasien.
 Pengunjung tidak perlu memakai baju ganti pada saat mengunjungi pasien.
 Penunggu dan pengunjung tidak perlu menggunakan alas kaki khusus atau
melepas alas kaki saat masuk bangsal pasien.
3. Managemen Lingkungan dan Limbah
 Menggunakan cairan desinfektan sesuai dengan pedoman RS
 Tempat tidur/kursi, meja, permukaan meja operasi, permukaan meja
instrument dibersihkan setiap selesai dipakai pasien dengan menggunakan
clorin 0,05 % atau desinfektan yang lain sesuai kebijakan Rumah Sakit
 Penanganan limbah :
a. Limbah medis infeksius di masukan kantong kuning
b. Limbah benda tajam masuk ke dalam safety box
c. Limbah umum (non infeksius) dimasukan ke kantong warna hitam
d. Limbah cair di buang ke spoelhoek
 Penanganan tumpahan darah atau bahan infeksi harus dibersihkan sesuai SPO
Tumpahan cairan infeksius.
 Suhu dan kelembapan udara
Pengecekan suhu dan kelembapan udara harus dilakukan setiap hari
1) Petugas kebersihan;
a. Pembersihan harian : lantai harus dibersihkan setiap hari dengan
menggunakan kain pel dan desinfektan, dilakukan 2x sehari atau sewaktu-
waktu
b. Pembongkaran : dilakukan 1 bulan sekali atau melihat jumlah pasien

207
c. Pembersihan permukaan lingkungan dan peralatan menggunakan
disinfektan yang tepat sesuai yang di tentukan
4. Penerapan Bundels Pencegahan Infeksi
Setiap petugas wajib menjalankan bundles pencegahan infeksi dengan benar
sesuai surveilans yang sudah dijalankan di ruang perawatan.

9. Pencegahan dan Pengendalain Infeksi Di Klinik Gigi & Mulut


Tata Laksana :
a. Jalur utama penyebaran mikroorganisme pada praktek dokter gigi adalah melalui:
a) Kontak langsung dengan luka infeksi atau saliva dan darah yang terinfeksi
b) Kontak tidak langsung dari alat-alat yang terkontaminasi
c) Percikan darah, saliva atau sekresi nasofaring langsung pada kulit yang
terluka maupun utuh atau mukosa
d) Aerosol atau penyebaran mikroorganisme melalui udara
b. Semua pasien yang datang harus dianggap carrier dari mikroorganisme pathogen.
a) Evaluasi pasien : mengetahui riwayat kesehatan yang lengkap
b) Perlindungan diri :
 Hindari memegang sesuatu yang tidak dibutuhkan pada waktu merawat
pasien, hindari kontak dengan mata, hidung, mulut dan rambut serta
hindari memegang luka atau abrasi
 Tutupi luka atau lecet-lecet pada jari dengan plester kedap air
 Melakukan kebersihan tangan sebelum dan setelah merawat pasien dengan
chlorhexidine 2 %- 4 % pada air mengalir atau handrub berbasis alkohol
c) Dokter gigi dan perawat gigi harus menggunakan :
 Sarung tangan : sarung tangan lateks bersih digunakan pada saat
memeriksa pasien tanpa kemungkinan terjadinya perdarahan, sarung
tangan steril digunakan pada saat melakukan tindakan bedah, sarung
tangan rumah tangga digunkan pada saat membersihkan alat/permukaan
kerja atau bila menggunakan bahan kimia.
 Kacamata pelindung : melindungi mata dari splatter dan debris yang
diakibatkan oleh high speed handpiece, pembersihan karang gigi.
 Masker : mencegah terhirupnya aerosol yang dapat menginfeksi saluran
pernafasan atas maupun bawah.
 Apron: mencegah terjadinya kontak cairan ke baju petugas
208
c. Sterilisasi instrumen :
 Sebelum disterilkan alat-alat harus dibersihkan terlebih dahulu (pre cleaning)
dari debris organik, darah dan saliva
 Setelah dibersihkan, instrumen harus dibungkus untuk sterilisasi
 Proses sterilisasi dilakukan di CSSD
 Instrumen harus tetap steril hingga saat dipakai, pembungkus instrumen
hanya boleh dibuka segera sebelum digunakan.
d. Pembuangan barang-barang bekas pakai seperti sarung tangan, masker, penutup
permukaan yang terkontaminasi darah atau cairan tubuh ke dalam tempat sampah
infeksius sedangkan benda tajam seperti jarum atau pisau scalpel dimasukkan ke
dalam tempat sampah benda tajam.
e. Berkumur antiseptic sebelum tindakan kedokteran gigi, efektif mereduksi jumlah
oral mikroorganisme rongga mulut.

10. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Kamar Jenazah


Tata Laksana :
a. Rumah Sakit menetapkan area dan kegiatan di kamar jenazah berdasar peraturan
perundang undangan yang berlaku untuk meminimalisasi risiko penularan.
b. Rumah sakit menetapkan pelaksanaan kewaspadaan standard pada saat
melakukan proses pemulasaraan jenazah ( tanpa memandang penyakit atau
diagnosa pasien ).
c. Rumah sakit menetapkan ketersediaan alat pelindung diri yang lengkap sesuai
kebutuhan di kamar jenazah :
1. Pemindahan jenazah dari ruang perawatan:
 Proses pemindahan harus sesuai dengan prinsip-prinsip Kewaspadaan
isolasi
 Aspek budaya dan agama harus diperhatikan. Keluarga pasien yang ingin
melihat jenazah setelah dipindahkan dari ruang perawatan juga harus
menerapkan Kewaspadaan Standar
 Penanganan semua jenazah ,petugas harus menggunakan APD yang sesuai
2. Perawatan jenazah di kamar jenazah:
 Petugas kamar jenazah harus melakukan Kewaspadaan Standar;
melakukan kebersihan tangan yang benar dan menggunakan APD yang
sesuai dengan risiko pajanan sekret/cairan tubuh pasien.
209
 RS Restu Ibu melaksanakan kegiatan pengawetan pada jenazah yang
meninggal di RS Restu Ibu Balikpapan.
 Pemulasaraan jenazah secara higienis (membersihkan badan, merapikan
rambut, memotong kuku dan mengkafani untuk jenazah muslim,
sedangkan untuk non muslim dimandikan, memberikan pakaian yang
sudah disiapkan keluarga pasien untuk penatalaksanaan selanjutnya sesuai
keyakinanya) semua proses tersebut harus dilakukan dengan menerapkan
Kewaspadaan Standar.
 Setelah selesai perawatan jenazah tempat dan ruangan wajib dilakukan
dekontaminasi.
 Pembersihan dan disinfeksi kamar jenazah sesuai dengan ketentuan
panduan Pengelolaan Kamar Jenazah.
d. Pemeriksaan post-mortem
Pemeriksaan post-mortem belum dilaksanakan di RS Restu Ibu mengingat sarana
penunjang dan sdm belum memadai.
e. Penatalaksanaan limbah dan linen kamar jenazah sesuai dengan ketentuan
panduan Pengelolaan Kamar Jenazah dan pedoman kesehatan lingkungan.
f. Pemulasaraan jenazah berpenyakit menular harus dilakukan sesegera mungkin,
setelah didiamkan dalam waktu 2 jam.
g. Semua peralatan yang habis dipakai untuk kegiatan pemulasaran jenazah
dilakukan pembersihan menggunakan disinfekstan yang sesuai.

11. Dekontaminasi Mobil Ambulance


Tata Laksana :
a. Suatu proses tindakan untuk membunuh mikro organisame pada ambulan beserta
kelengkapanya setelah selesai digunakan
b. Ambulance yang didekontaminasi adalah ambulan yang selesai digunakan
mengantar pasien, pasien menular atau pasien yang dicurigai menular ke dan
keluar RS Restu Ibu Balikpapan.
c. Dekontaminasi ambulance dapat dilakukan secara rutin yaitu setiap pagi sebelum
ambulance digunakan dan setiap selesai mengantar pasien serta segera setelah
digunakan mengantar pasien infeksius atau dicurigai infeksius.
d. Larutan yang digunakan untuk dekontaminasi adalah larutan klorin 0,05 % dan
0,5 % atau cairan disinfektan yang setara yang direkomendasikan.
210
e. Pencucian ambulance tidak boleh dilakukan diluar rumah sakit, apabila terpaksa
dilakukan diluar rumah sakit harus mengikui prosedur dekontaminasi ambulance
yang ada.
f. Tujuan di lakukan dekontaminasi ambulance adalah sebagai acuan untuk
menetapkan langkah langkah pembersihan dan dekontaminasi ambulance untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi setelah ambulance digunakan
g. Langkah langkah dekontaminasi amobil ambulance :
1. Siapkan ambulance ke tempat pencucian yang tersedia untuk dilakukan
pembersihan dan dekontaminasi ambulance
2. Siapkan kontainer peralatan pembersihan yang berisi : larutan detergen,
larutan khlorine 5,25 % atau cairan disinfektan pabrikan yang
direkomendasikan, lap bersih,Alat Pelindung Diri
3. Lakukan kebersihan tangan
4. Petugas memakai APD (sarung tanganrumah tangga , masker, skort,goegle/
kaca mata, sepatu boot)
5. Seluruh pintu ambulance di buka
6. Keluarkan semua peralatan yang bisa dikeluarkan untuk dibersihkan diluar
ambulance; tempat sampah dll
7. Buat larutan disiinfektan yang dibutuhkan dengan cara:
1) Jika permukaan ambulance terkena darah dan cairan tubuh
Maka gunakan larutan klorine 0,5% dengan perbandingan 1 bagian
chlorine 5,25% (yang tersedia) : 9 bagian air.
2) Jika tidak terkena cairan tubuh atau darah
Gunakan larutan khlorine 0,05% dengan perbandingan 1 bagian chlorin
0,5% : 9 cc air, atau menggunakan disinfektan pabrikan yang di
rekomendasikan
8. Lakukan proses pembersihan dan dekontaminasi bagian dalam ambulance:
1) Siapkan ember berisi air detergen, larutan disinfektan dan air bersih sesuai
kebutuhan
2) Lakukan Pembersihan ke seluruh permukaaan ambulance secara merata
menggunakan lap yang telah direndam di larutan detergen kemudian di
lakukan pembilasan menggunakan air bersih
3) Lakukan dekontaminasi ke seluruh permukaaan ambulance secara merata
menggunakan lap yang telah direndam di larutan diisinfektan
211
4) Lakukan pembilasan dengan lap kain bersih yang telah direndam
menggunakan air bersih
9. Lakukan proses pembersihan bagian luar ambulance dengan cara
menyemprotkan air ke bagian dinding ambulance dan membersihkanya
menggunakan detergent secara merata.
10. Lakukan pembilasan dengan air bersih dan kemudian mengeringkan kembali
menggunakan lap yang menyerap.
11. Apabila menggunakan lap sekali pakai, maka setelah selesai digunakan buang
lap tersebut kekantong kuning dan apabila menggunakan lap bukan sekali
pakai maka lap dicuci kembali sesuai prosedur dan dikeringkan kembali.
12. Bersihkan dan dekontaminasi peralatan penunjang ambulance menggunakan
disinfektan, kemudian masukan kembali ke dalam ambulance.
13. Rapikan kembali peralatan dan masukan pada kontainer peralatan.
14. Lepas Alat Pelindung Diri
15. Lakukan kebersihan tangan

212
5.4. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PPI
Pendidikan dan Latihan Staf Di RS Restu Ibu meliputi :
1. Pendidikan dan latihan bagi staf dan karyawan baru
2. Pendidikan dan latihan bagi pasien, penunggu pasien dan pengunjung
Tata Laksana :
1. Pendidikan dan Latihan Bagi Staf dan Karyawan Baru
a. Program pendidikan dan latihan PPI direncanakan dan dilaksanakan secara
periodik dan berkesinambungan oleh bagian kepegawaian dan diklat rumah sakit
bekerjasama dengan Komite PPI RS untuk menjamin tenaga yang berada di KPPI
dan setiap petugas yang berada dan bekerja di RS (termasuk dokter interhinsip dan
karyawan kontrak) memahami dan mampu melaksanakan program PPI RS,
khususnya kewaspadaan standar dan kewaspadaan berbasis transmisi.
b. Program pendidikan dan latihan PPI bisa dilaksanakan secara eksternal dengan
cara mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di luar rumah sakit atau pun secara
internal dengan cara mengadakan in house training berdasarkan kebutuhan yang
ada.
c. Bahwa seluruh karyawan baru di RS wajib mengikuti program orientasi, termasuk
materi PPI di rumah sakit.
d. Monitoring dan evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan dilakukan oleh diklat
bersama Komite PPI sesuai ketentuan yang berlaku sebagai dasar perencanaan
program selanjutnya.
e. Seluruh staf di unit terkait di didik tentang pengelolaan pasien infeksius
2. Pendidikan dan Latihan Bagi Pasien, Penunggu Pasien dan Pengunjung
a. Salah satu Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di rumah sakit adalah kepedulian
terhadap pasien, keluarga dan pengunjung rumah sakit.
b. Pasien, keluarga dan pengunjung harus diberikan edukasi tentang PPI.
c. Pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit di RS Restu Ibu di koordinasi
oleh Komite PPI yang tergabung dalam unit rawat jalan dan rawat inap.
d. Masing – masing dari tenaga kesehatan ( Dokter, Perawat, Fisioterapi, Gizi,
Farmasi dll) maupun non kesehatan (Pekarya, Petugas Kebersihan, dll) pasien,
keluarga dan pengunjung turut ambil bagian dalam pencegahan dan pengendalian
infeksi.
e. Pasien, keluarga dan pengunjung yang dirawat di RS Restu Ibu harus mentaati
peraturan yang ada di RS Restu Ibu sesuai dengan peraturan tata tertib pasien
213
sesuai yang tercantum dalam Buku Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
di rumah sakit dan fasilitas lainya tahun 2017, Tentang kebersihan tangan dan
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) di fasilitas kesehatan.
f. Pasien dapat mengingatkan petugas kesehatan (Dokter, Perawat, Fisioterapi,
Pekarya, Gizi dll) bila tidak melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah
menyentuh pasien dan lingkungan pasien.
g. Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit adalah tanggung jawab
bersama antara pihak rumah sakit, pasien, keluarga dan pengunjung.
h. Pasien, keluarga dan pengunjung berperan penting di dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit. Setiap ruangan/unit harus menyediakan
fasilitas wastafel, tempat sampah non infeksius (kantong hitam), sabun biasa
(handsoap), masker bagi pasien, keluarga dan pengunjung.
i. Untuk edukasi pasien rawat inap disampaikan oleh perawat saat orientasi pasien
baru masuk meliputi:
- Kebersihan tangan
- Etika batuk dan bersin
- Larangan membawa anak kecil
- Larangan mencuci dan menjemur pakaian di rumah sakit
- Larangan melepas alas kaki
- Larangan duduk, tidur atau tiduran dilantai rumah sakit;

5.5. PENGGUNAAN ANTIMIKROBA RASIONAL


a. Tata Laksana :
1. Antibiotik Profilaksis
Terapi penggunaan antibiotik di bagian bedah kardiovaskular dan ICU adalah
sebagai antibiotik profilaksis. Pilihan antibiotik profilaksis yaitu golongan
sefalosporin generasi I, sefasloporin generasi II. Apabila pasien pernah dirawat
sebelumnya pasien yang masih dalam terapi antibiotik empirik atau definitif
maka lanjutkan penggunaannya selama tindakan bedah. Seperti pasien dengan
Infective Endocarditis yang mendapatkan terapi ceftriaxon dan gentamisin, maka
antibiotik yang sama tetap digunakan untuk profilaksis saat tindakan bedah.
Lama penggunaan antibiotik profilaksis adalah enam kali dosis pemberian.
diberikan parenteral 1 jam pra-operasi dan dapat diulang apabila penderita diduga
mendapat infeksi pasca bedah, maka antibiotik yang digunakan dikonversikan
214
atau diubah pada antibiotik untuk mengatasi penyebab atau berdasarkan data panduan
pola kuman dan resistensi yang diisolasi dari spesimen klinik di ICU (sebagai terapi
empirik). Penyesuaian dosis antibiotik harus dilakukan pada pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal / hati.
2. Antibiotik Empirik
a. Penggunaan antibiotik awal untuk terapi empirik di ruang rawat diberikan
pada pasien-pasien dengan tanda-tanda infeksi atau adanya dugaan terjadinya
infeksi. Tanda-tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium
(minimal 3 atau lebih kriteria) untuk memulai terapi antibiotik:
1) Demam (suhu >37,5˚C) atau hipotermia (Suhu < 37,5˚C) dengan suhu
lingkungan yang telah optimal.
2) Takikardia atau bradikardia
3) Leukositosis (Leukosit > 10.000) atau leukopenia (leukosit <4000) dengan
pergeseran netrofil ke kiri
4) Trombosit < 100.000 (tanpa riwayat trombositopenia sebelumnya).
5) CRP yang meningkat, nilai yang dievaluasi adalah peningkatan trend.
6) Gambaran granulasi toksik pada hapusan darah tepi.
7) Hasil kultur darah/ sputum/ urin/ yang ditunjang dengan penemuan klinis.
8) Khusus untuk Ventilator Associated Pneumoniae (VAP), Infeksi Saluran
Kemih (ISK) Infeksi Daerah Operasi (IDO), dan Infeksi Aliran Darah
Primer (IADP) kriteria mengacu pada Bab terdahulu dalam Buku Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS. Restu Ibu ini.
b. Sebelum pemberian antibiotik:
1) Cek kriteria indikasi pemberian antibiotik, apakah sudah memenuhi ?
2) Kultur darah/ sputum ETT/ urin diambil sebelum pemberian antibiotik.
3) Pilihan antibiotik empirik untuk ruang intensif di ICU Dewasa dan Anak,
adalah golongan Carbapenem ± aminoglikosida, atau golongan
Carbapenem ± quinolonbila ada gangguan fungsi ginjal.
4) Pilihan antibiotik empirik untuk ruang Intermediate Medical (IW), Instalasi
Gawat Darurat (IGD), dan Ruang Rawat lain adalah golongan Sefalosporin
Generasi III ± aminoglikosidaatau golongan Sefalosporin Generasi III ±
quinolon bila ada gangguan fungsi ginjal.
5) Lama pemberian antibiotik empiris untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan
215
kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC 2010; Komite
PPRA Kemenkes RI 2010).
6) Evaluasi penggunaan antibiotik empirik:
a) Penggunaan antibiotik diberikan berdasarkan konsep de-eskalasi.
b) Penyesuaian dosis harus dilakukan bila ada penurunan fungsi ginjal.
c) Penggunaan antibiotik harus memperhatikan berat ringannya penyakit
utama/dasar serta penyakit penyerta.
d) Memperhatikan anamnesa pasien dirawat di rumah sakit, pemakaian
antibiotik, tindakan invasif, tempat dan lama pasien dirawat sebelumnya.
3. Antibiotik Definitif
Penggunaan antibiotik awal sebagai terapi definitif pada pasien-pasien di ruang
intensif dan ruang rawat RS Restu Ibu adalah berdasarkan:
a. Hasil kultur terapi diberikan dengan menggunakan konsep de-eskalasi.
b. Target patogen menggunakan antibiotik spektrum sempit, bila kondisi klinis
pasien stabil infus dicabut dan antibiotik diberikan dalam bentuk oral.
c. Monitor keberhasilan terapi. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan
pada efikasiklinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC.
2010; Komite PPRA, Kemenkes RI., 2010).
d. Antibiotik parenteral dapat diganti peroral, bila setelah 24-48 jam (NHS2009):
1) Kondisi klinis pasien membaik
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat)
3) Kesadaran baik
4) Tidak demam (suhu 36˚C - 38˚ C), disertai tidak lebih dari satu kriteria
berikut
 Nadi > 90 kali/menit
 Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
 Tekanan darah stabil
 Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropenia)

216
b. Monitoring dan Pelaporan
1. Monitoring
Monitoring efektivitas dan efek samping penggunaan antibiotik dengan
memperhatikan kondisi klinis pasien dan data penunjang yang ada. Apabila setelah
pemberian antibiotik selama 72 jam kondisi klinis pasien tidak ada perbaikan,
maka perlu dilakukan evaluasi ulang tentang diagnosis klinis pasien, dan dapat
dilakukan diskusi dengan Komite PPRA RS Restu Ibu untuk mencarikan solusi
masalah tersebut.
Jika terjadi efek samping obat (ADRs/ Adverse Drug Reaction) sebaiknya segera
dilaporkan kepusat MESO, dengan menggunakan form MESO. Pelaporan ADRs
dapat dilakukan oleh dokter, apoteker, maupun perawat, dan sebaiknya di bawah
koordinasi Komite Farmasi dan Terapi yang ada di RS. Restu Ibu (sesuai pedoman
Komite PPRA Kemenkes RI 2011). ADRs antibiotik yang perlu diwaspadai
menurut Aronson, 2005; Koda Kimble, 2009; Pedoman MESO Nasional; Lacy,
2010; WHO, 2004, antara lain adalah:
a. ADRs akibat penggunaan antibiotik yang perlu diwaspadai seperti syok
anafilaksis, Steven Johnson’s Syndrome. Antibiotik yang perlu diwaspadai
penggunaannya terkait kemungkinan terjadinya ADRs ini adalah golongan
sulfonamide (kotrimoksazol), penisilin/ampisilin, sefalosporin, quinolon,
rifampisin, tetrasiklin, dan eritromisisn.
b. Penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida dapat menyebabkan efek
samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas.
c. Penggunaan vankomisin perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya efek
samping Redman’s Syndrome karena pemberian injeksi yang terlalu cepat,
sehingga harus diberikan secara drip minimal selama 60 menit.
2. Pelaporan
Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian
antibiotik atau Lembar Antibiotik/Antifungal Rumah Sakit umum Universitas
Kristen Indonesia , yang dikeluarkan oleh Komite PPRA RS. Restu Ibu Perawat
atau dokter harus mengisi dan melengkapi Lembar Antibiotik/Antifungal sebagai
rekaman penggunaan antibiotik parenteral pasien. Lembar Antibiotik/Antifungal
ini akan dikumpulkan oleh ners link disetiap ruang rawat yang telah ditunjuk.
Kemudian lembar ini akan dikumpulkan oleh Komite PPRA dan akan dinilai
217
kerasionalannya dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis,
hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan, dan harga.
Alur penilaian menggunakan kategori/klasifikasi Gyssens. Kategori hasil penilaian
kualitatif penggunaan antibiotik sebagai berikut (Gyssens IC, 2001).
 Kategori I : Penggunaan antibiotik tepat / bijak
 Kategori IIA : Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis
 Kategori IIB : Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian
 Kategori IIC : Penggunaan antibiotik tidak tepat cara / rute pemberian
 Kategori IIIA : Penggunaan antibiotik terlalu lama
 Kategori IIIB : Penggunaan antibiotik terlalu singkat
 Kategori IVA : Ada antibiotik lain yang lebih efektif
 Kategori IVB : Ada antibiotik lain yang kurang toksik / lebih aman
 Kategori IVC : Ada antibiotik lain yang lebih murah
 Kategori V : Tidak ada indikasi penggunaan antibiotic
 Kategori VI : Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat di evaluasi
Dari hasil analisa dengan kriteria Gyssens akan terlihat persentase rasionalitas
penggunaanantibiotik tiap ruang rawat, hasil analisa data ini akan dilaporkan tiap
tiga bulan untuk kemudian dievaluasi seberapa besar tingkat rasionalitas
penggunaan antibiotik di RS. Restu Ibu.

218
5.6. PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
Tata Laksana :
Langkah – Langkah Investigasi KLB

c. Persiapan Lapangan b. Memastikan KLB a. Verifikasi Diagnosa

d. Membuat Hipotesa e. Pengolahan Data f. Definisi & Penemuan


Deskriptif Kasus

h. Evaluasi Hipotesa g. Memperbaiki Hipotesa j. Komunikasi Hasil


temuan

i. Pencegahan &
Pengendalian

Gambar 27: Langkah – Langkah Investigasi

a. Penanganan KLB merupakan kerjasama terstruktur dari 3 unsur (tergantung


Kebijakan rumah sakit) sebagai Tim KLB, yang terdiri dari:
a) Ahli penyakit dalam/infeksi
b) IPCN
c) Dokter PPI
b. Tugas dan tanggung jawab:
a) Dengan difasilitasi oleh Manajemen RS dan bekerjasama dengan Komite -komite,
Tim KLB
b) Menjamin keterlaksananya semua kegiatan di setiap langkah investigasi KLB
c) Menjamin keterlaksanaan (tepat waktu) setiap tindakan penangulangan KLB
c. Manajemen
a) Direktur
b) Kepala Bidang Pelayanan
c) Kepala Bidang Keperawatan
d) Kepala Ruangan

219
a. Tugas Manajemen RS
a) Menetapkan kebijakan berkaitan dengan kebutuhan penanganan KLB (antara lain:
sistim kewaspadaan KLB, sistim komunikasi dgn pihak luar RS
b) Menetapkan SPO penanganan KLB (setelah menerima masukan dari Komite PPI
dan unit terkait)
c) Menjamin tersedianya fasiltas bagi penanganan kasus KLB (ruang isolasi,
kelengkapan peralatan dll)
d) Menjamin kecukupan petugas kesehatan RS yang kompeten menangani KLB
petugas sudah mendapat pelatihan khusus/terkait)
b. Komite
a) Terdiri dari :
- Komite Mutu dan Manajemen Risiko
- Komite PPI
- KomiteKeselamatan pasien
- Komite Medik
- Komite Perawatan
b) Tugas komite
- Memberikan masukan pada direktur, yang berkaitan dengan kebijakan
penanganan KLB
- Menetapkan diagnosis klinik kasus – kasus KLB
- Menberikan konsultasi kepada petugas klinik yang langsung menangani kasus
diruang rawat
c. Langkah – Langkah Investigasi
1) Persiapan Lapangan
 Komite PPI dan para ahli mempersiapkan investigasi KLB
 Persiapan ATK (Laptop, kamera) dan prosedur administrasi, bahan literature
untuk sebagai reviuw literature
 konsultasi dengan tim ahli terkait
 Menganilisa masalah
 Konsultasi dengan lab (Jenis specimen)
 Bentuk tim investigasi KLB dan pengendalian yang terdiri dari :
- Komite PPIRS dan Unit terkait
- Direktur Pelayanan Medik
- Bidang Keperawatan
220
- Komite Medik
- Dokter SMF yang terkait
- Dokter patologi klinik
Tentukan ketua Tim
 Siapa yang memimpin investigasi
 siapa yang membantu
 siapa yang ditugaskan dan berwewenang untuk menyampaikan informasi
ke media jika diperlukan
2) Pastikan Adanya KLB
 Bandingkan kasus yang ada (current) dengan baseline insidence (dari bulan-
bulan/tahun-tahun sebelumnya). Jika data tidak tersedia, banding-kan dengan
data dari RS lain atau data Sistem Survei Nasional.
 Perhatikan hal-hal yang mungkin menyebabkan peningkatan kasus yang
melampaui ―normal‖ , misal: definisi kasus yang beda, unit yangmelapor-kan
bertambah peningkatan kegiatan surveilans, dan lain lain
3) Verifikasi Diagnose Kasus
 Untuk memastikan Diagnosa: Review temuan klinis, Telusuri hasil Lab,
Rekammedik pasien
 Diskusi dengan dokter/perawat yang merawat
 Evaluasi besar masalah:Apakah yang terkena akan banyak, Morbiditas dan
mortalitastinggi
4) Definisi dan penemuan kasus
Definisi Kasus:
 Tetapkan kriteria kasus secaraklinis dan lab
 Bedakan menurut orang, tempat dan waktu kapan terjadi kasus
 Terapkan secara konsisten dan tanpa bias terhadap seluruh kasus yang diteliti
 Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap individu dengan faktor risiko seperti :
dokter, perawat, keluarga
Penemuan kasus, mencakup informasi :
 Identitas : nama, alamat
 Demografi : Umur, sex, pekerjaan
 Klinis
 Faktor risiko

221
 Pelapor
5) Pengolahan Data Deskriptif
 Mengolah Data: berdasarkan waktu, tempat, orang
 Menggunakan Curve Epidemik (epi curve) dapat menggambarkan:
- Jumlah kasus menurut tanggal onset
- Common source break/Sumber tunggal
- Propagated dan karakteristik KLB dan informasi tentang karakteristik
KLB :
 Pola penyebaran penyakit
 Besarnya masalah
 Trend/kecendrungan waktu pajanan dan masa inkubasi
Cara membuat kurva epidemik
 Kurva berbentuk histogram
 Axis diberi label
 Beri judul deskriptif meliputi Kejadian pre-epidemik period untuk
memperlihatkan data dasar kasus
6) Membuat Hipotesa
 Buatlah dugaan terbaik untuk menjelaskan observasi.
 Hipotesa harus menjelaskan mayoritas kasus.
 Dari info Time, Place, Person kembangkan hipotesa yang mengarahkan ke:
- Sumber penularan
- Cara transmisi
- Exposure / Pajanan
- Evaluasi Hipotesa
 Bandingkan dengan fakta yg ditemukan
 Studi Laboratorium dan lingkungan yang dapat menjelaskan mengapa KLB
terjadi
7) Implementasi Pencegahan dan Pengendalian
 Secepatnya dilakukan
 Tidak perlu menunggu sampai investigasi selesai
 Jangka pendek dan jangka panjang
 Tindakan intervensi disesuaikan dengan karakteristik penyebab dan
penyebaran KLB(mis, karakteristik patogen, model transmisi)

222
 Umumnya, garis besar hal-hal yang dilakukan terdiri atas:
- Mengendalikan sumber pathogen
- Memusnahkan sumber pathogen
- Host menghindari pemaparan
- Treatment orang yg terinfeksi
- Disinfeksi peralatan dan lingkungan
- Memutus transmisi
- Isolasi kasus
- Memodifikasi respons host terhadap pemaparan
8) Mengkomunikasikan Temuan Kepada
 Direktur/pimpinan RS
 Kepala Instalasi Laboratorium
 Unit terkait
 Ketua Komite Mutu dan Manajemen Risiko
 Jika perlu melakukan pertemuan dengan media
9) Pengakhiran Kasus KLB
 Pengakhiran KLB ditimbulkan beberapa factor :
- Tidak ada individu yang rentan
- Tidak ada pemaparan ke sumber infeksi/penyakit
- Tidak ada lagi sumber kontaminasi
- Berkurang kerentanan individu
- Patogenitas patogen berkurang
 Segera umumkan bila KLB sudah berakhir
 Buat laporan lengkap KLB untuk pelaporan
Pelaporan Dan Dokumentasi
1) Pelaporan akhir dan dokumentasi incestigasi KLB meliputi:
a. Deskripsi wabah
b. Intervensi yang dilakukan
c. Efektifitas keberhasilan intervensi, dan ringkasan kontribusi tiap anggota tim
d. Rekomendasi pencegahan wabah
2) Laporan KLB dibuat dan dilaporkan
a. Direktur
b. Ketua Komite PPI
c. Ketua Komite Keselamatan Pasien
223
d. Unit Terkait
e. Ketua Mutu
f. Bidang Pelayanan
Laporan di publikasikan di jurnal ilmiah dan dapat di gunakan sebagai legal dokumen

5.7. PENGGUNAAN CAIRAN DESINFEKTAN


a. Rumah sakit menetapkan bahwa Proses desinfeksi alat dapat dikategorikan
menjadi:
 Peralatan Kritis/risiko tinggi: adalah peralatan medis yang masuk kedalam
jaringan tubuh steril atau sirkulasi darah. Contoh isntrumen bedah, kateter
intravena, kateter jantung. Pengelolaannya dengan cara sterilisasi
 Peralatan Semikritis/risiko sedang: adalah peralatan yang kontak dengan
membrana mukosa tubuh. Pada peralatan semikritis, proses sterilisasi disarankan
namun tidak mutlak, jadi bisa dilakukan disinfeksi tingkat tinggi
 Peralatan Nonkritis/risiko rendah: adalah peralatan yang kontak dengan
permukaan kulit utuh contoh: tensimeter, stetoskop, linen, alat makan, lantai,
perabot, tempat tidur. untuk jenis peralatan ini dapat digunakan disinfeksi tingkat
sedang sampai tingkat rendah.
b. Rumah sakit menetapkan bahwa disinfeksi lingkungan rumah sakit meliputi:
 Permukaan lingkungan : lantai, dinding, dan permukaan meja, trolly di disenfeksi
dengan detergen netral. Lingkungan yang tercemar darah atau cairan tubuh
lainnya dibersihkan dengan desinfektan tingkat menengah.
c. Rumah sakit menetapkan bahwa penggunaan disinfektan di ruang infeksi
(menular) dan Area kritis meliputi :
 Untuk mengepel/membersihkan lantai dan wc menggunakan Creolin
 Untuk area yang sering disentuh (High touch area) menggunakan disinfektan:
Lysol 1:100 (permukaan logam), Chlorine 0.05 % (permukaan bukan logam)
 Untuk area yang jarang disentuh (Non High touch area) menggunakan sabun PH
netral
d. Penggunaan disinfektan di area banyak tumpahan darah/cairan tubuh: menggunakan
disinfektan Chlorine 0.5%.
e. Rumah sakit menetapkan bahwa cairan desinfektan yang digunakan di RS. Restu Ibu
adalah :

224
NO ISI MERK PENGGUNAAN
1 Etanol 96%, Sanitizer RSRI Antiseptik kulit kebersihan
Gliserol 98%, tangan daerah kritis (Petugas)
Hidrogen Peroksida 3%
dan Aquadest
2 Etanol 96%, Gliserol Sanitizer RSRI Antiseptik kulit kebersihan
98%, Hidrogen tangan (pasien, keluarga dan
Peroksida 3% dan pengunjung)
Aquadest
3 Chlorhexidine Mil scrub Sabun antiseptic kebersihan
digluconat 4% tangan ruang perawatan
Solution
4 Chlorhexidine Dermanios scrub Sabun antiseptic kebersihan
digluconat 4% Solution tangan kamar operasi

5 Povidone lodine 7,5% Bethadine solution Antiseptik kulit dan luka operasi

6 Alkohol 70 % Medika Antiseptik Kulit

7 Hydrogen Peroxide 6% Nocospray Dekontaminasi ruang berisiko


OXY Pharm Isolasi, IGD, IKB, IPI, VK dan
ruang perawatan bila diperlukan.
Drymist digunakan untuk :
 Ruangan perawatan biasa
minimal 30 menit (Preventive)
 Ruangan isolasi tekanan
negative dan positip minimal 1
jam (Curative dan Infeksius )

8 Chlorine 0,5% Klorsept 10.000 ppm Desinfektan tumpahan darah dan


(1,0 %) cairan tubuh lainnya.
Penggunaan dikamar bersalin
untuk wabah (mis: C difficile)
Multi drug resisten organisem
(mis: MRSA)

9 Chlorine 0,05% Klorsept 1000 ppm High level dekontaminasi semi


(0,1%) kritikal
10 Chlorine Klorsept 140 ppm High level dekontaminasi
(0,014%) Non Kritikal

225
5.8. PENGKAJIAN RISIKO INFEKSI ( Infection Risk Control Assesment ) ICRA
Salah satu program dalam pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan adalah melakukan pengkajian risiko. Pengkajian risiko sebaiknya dilakukan
setiap awal tahun sebelum memulai program dan dapat setiap saat ketika dibutuhkan.
a. Definisi Infection Control Risk Assesment (ICRA)
1. Risiko adalah potensi terjadinya kerugian yg dapat timbul dari proses kegiatan
saat sekarang atau kejadian dimasa datang (ERM, Risk Management Handbook
for Health Care Organization).
2. Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai
dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau
meminimalkan dampaknya. Suatu proses penilaian untuk menguji sebuah proses
secara rinci dan berurutan, baik kejadian yang aktual maupun yang potensial
berisiko ataupun kegagalan dan suatu yang rentan melalui proses yang logis,
dengan memprioritaskan area yang akan di perbaiki berdasarkan dampak yang
akan di timbulkan baik aktual maupun potensial dari suatu proses perawatan,
pengobatan ataupun pelayanan yang diberikan.
3. Pencatatan risiko adalah pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi, untuk
kemudian dilakukan pemeringkatan (grading) untuk menentukan matriks risiko
dengan kategori merah, kuning dan hijau.
4. ICRA adalah proses multidisiplin yang berfokus pada pengurangan infeksi,
pendokumentasian bahwa dengan mempertimbangkan populasi pasien, fasilitas
dan program:
1) Fokus pada pengurangan risiko dari infeksi
2) Tahapan perencanaan fasilitas, desain, konstruksi, renovasi, pemeliharaan
fasilitas, dan
3) Pengetahuan tentang infeksi, agen infeksi, dan lingkungan perawatan, yang
memungkinkan organisasi untuk mengantisipasi dampak potensial.
ICRA merupakan pengkajian yang di lakukan secara kualitatif dan kuantitatif
terhadap risiko infeksi terkait aktifitas pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan serta mengenali ancaman/bahaya dari aktifitas tersebut.
b. Tujuan adalah untuk mencegah dan mengurangi resiko terjadinya HAIs pada
pasien, petugas dan pengunjung RS dengan cara:
a) Mencegah dan mengontrol frekuensi dan dampak risiko terhadap :
(a) Paparan kuman patogen melalui petugas, pasien dan pengunjung
226
(b) Penularan melalui tindakan/prosedur invasif yang dilakukan baik melalui
peralatan,tehnik pemasangan, ataupun perawatan terhadap HAIs.
b) Melakukan penilaian terhadap masalah yang ada agar dapat ditindak lanjuti
berdasarkan hasil penilaian skala prioritas
c. Infection Control Risk Assesment terdiri atas:
1. External
a) Terkait dengan komunitas: Kejadian KLB dikomunitas yang berhubungan
dengan penyakit menular: Influenza, Meningitis.
b) Penyakit lain yang berhubungan dengan kontaminasi pada makanan, air
seperti hepatitis A dan salmonela.
c) Terkait dengan bencana alam : tornado, banjir, gempa, dan lain-lain.
d) Kecelakaan Massal : pesawat, bus, dan lain-lain.
2. Internal
a) Risiko terkait pasien : Jenis kelamin, usia, populasi kebutuhan khusus
b) Risiko terkait petugas kesehatan
- Kebiasaan kesehatan perorangan
- Budaya keyakinan tentang penyakit menular
- Pemahaman tentang pencegahan dan penularan penyakit
- Tingkat kepatuhan dalam mencegah infeksi (Kebersihan tangan,
pemakaian APD, teknik isolasi)
- Skrening yang tidak adekuat terhadap penyakit menular
- Kebersihan tangan
- NSI
c) Risiko terkait pelaksanaan prosedur invasif
- Prosedur invasif yang dilakukan :
 Pencampuran Obat suntik
Pencampuran Obat atau senyawa campuran untuk mengurangi gejala
untuk menyembuhkan penyakit. Sediaan parenteral adalah salah satu
teknik pemberian obat. Keuntungan sediaan parenteral yang diingikan
adalah obat dapat memeberikan efek lebih cepat dari obat sediaan lain.
Salah satu penyiapan obat parenteral adalah dengan pencampuran ,
pencampuran obat suntik dilakukan oleh apoteker dengan latar
belakang pengetahuan antara lain sterilitas, sifat fisikokimia, stabilitas
obat, dan ketidaktercampuran obat. Selain itu diperlukan juga sarana
227
dan prasarana khusus yang menunjang pekerjaan hingga tujuan
sterilitas, stabilitas dan ketercampuran obat dapat tercapai dengan baik.
Cara pencampuran obat :
1. Penyiapan
a. Petugas farmasi melakukan screning resep meliputi :
kelengkapan resep / kartu terapi dengan prinsip 7 benar
b. Memeriksa kondisi obat yang akan di campur
c. Menghitung ksesuaian dosis
d. Memilih jenis pelarut yang sesuai
e. Menghitung volume pelarut
2. Pencampuran
Proses pencampuran obat suntik secara aseptik maka dilakukan
langkah langkah
a. Menggunakan alat pelindung diri (APD)
b. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70%
c. Menghidupkan Laminer Air Flow sesuai SPO
d. Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk bekas
obat
e. Mengambil alat kesehatan dan obat – obatan dari box
f. Melakukan pencampuran secara aseptik
 Pemberian Suntikan
Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap suntikan,
berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk mencegah
timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada pasien lain.
Jangan lupa membuang spuit dan jarum suntik bekas pakai ke
tempatnya dengan benar.
1. Menerapkan tehnik aseptic untuk mencegah kontaminasi alat- alat
injeksi
2. Tidak menggunakan spuit yang sama untuk penyuntikan lebih dari
1 pasien walaupun jarum suntiknya diganti
3. Semua alat suntik yang dipergunakan harus satu kali pakai untuk
satu pasien dan satu prosedur
4. Gunakan cairan pelarut hanya untuk satu kali.
5. Gunakan single dose untuk obat injeksi (bila memugkinkan)
228
6. Tidak memberikan obat- obat single dose kepada lebih dari satu
pasien atau mencampur obat- obat sisa dari vial/ ampul untuk
pemberian berikutnya.
7. Bila harus menggunakan obat- obat multi dose, semua alat yang
digunakan harus steril.
8. Simpan obat- obat multi dose sesuai dengan rekomendasi dari
pabrik yang membuat.
9. Tidak menggunakan cairan pelarut untuk lebih dari 1 pasien
 Terapi Cairan
1. Ganti selang IV, termasuk selang piggyback dan stopcock, dengan
interval yang tidak kurang dari 72 jam, kecuali bila ada indikasi
klinis.
2. Ganti selang yang dipakai untuk memasukkan darah, komponen
darah atau emulsi lemak dalam 24 jam
3. Waktu pemakaian cairan IV, termasuk juga cairan nutrisi
parenteral yang tidak mengandung lemak sekurang- kurangnya 96
jam.
4. Infus harus diselesaikan dalam 24 jam untuk satu botol cairan
parenteral yang mengandung lemak.
5. Bila hanya emusi lemak yang diberikan, selesaikan infus dalam 12
jam setelah botol emulsi mulai digunakan.
Port injeksi intravena
Bersihkan port injeksi dengan alkhohol 70% sebelum digunakan.
Persiapan dan pengendalian mutu campuran larutan
intravena
1. Campurkan seluruh cairan parenteral di bagian farmasi dalam
laminar- flow hood menggunakan tehnik aseptic.
2. Periksa semua container cairan parenteral, apakah ada
kekeruhan, kebocoran, keretakan, partikel dan tanggal
kadaluwarsa dari pabrik sebelum penggunaan.
3. Pakai vial dosis tunggal aditif parenteral atau obat- obatan
bilamana mungkin.
4. Bila harus mengunakan vial multi dosisi :

229
- Dinginkan dalam kulkas vial multi dosis yang sudah
dibuka, bila direkomendasikan oleh pabrik.
- Bersihkan karet penutup vial multi dosis dengan alkhohol
sebelum memasukkan alat ke vial.
- Gunakan alat steril setiap kali akan mengambil cairan dari
vial multi dosis, dan hindari kontaminasi alat sebelum
menembus karet vial.
- Buang vial multi dosis bila sudah kosong, bila dicurigai
atau terlihat adanya kontaminasi, atau bila telah mencapai
tanggal kadaluwarsa
 Punksi lumbal
Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung
tangan steril saat melakukan tindakan lumbal pungsi, anestesi spinal/
epidural/ pasang kateter vena sentral.
Penggunaan masker bedah pada petugas dibutuhkan agar tidak terjadi
droplet flora orofaring yang dapat menimbulkan meningitis bacterial
- Peralatan yang dipakai
- Pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan suatu tindakan
- Persiapan pasien yang memadai
- Kepatuhan terhadap tehnik pencegahan yang direkomendasikan
d) Risiko terkait peralatan
Pembersihan, desinfektan dan sterilisasi untuk proses peralatan:
- Instrumen bedah
- Prostesa
- Pemrosesan alat sekali pakai
- Pembungkusan kembali alat
- Peralatan yang dipakai
e) Risiko terkait infeksi pada fasilitas pengendalian mekanis teknis
(mechanical dan engineering control)
- Kontrol monitoring sistem ventilasi tekanan positip di Ruang Isolasi dan
Kamar Bedah.
- Biological safety cabinet
- Laminary airflow hood (RS Restu Ibu tidak ada)
- Monitoring thermostat di lemari pendingin
230
- Monitoring air untuk sterilisasi piring dan alat dapur
f) Risiko terkait lingkungan
- Pembangunan / renovasi
- Kelengkapan peralatan
- Pembersihan lingkungan
g) Risiko terkait pengolahan kamar jenazah
1. Kebersihan ruangan dan peralatan dan upaya pelayanan
- Fife moment hand hygiene
- Lantai bersih tidak licin
- Permukaan tidak berdebu
- Tidak ada lawa lawa
- Tempat sampah infeksius dan non infeksius tertutup
- Wastafel cuci tangan selalu bersih dan bebas dari peralatan
- Keran selalu bersih dan tidak berkarat
- Mobil jenazah di bersihkan setiap habis di pakai ( Tidak ada MUO pihak ke
3 dari RS )
- Pembersihan lingkungan dengan disinfektan setiap habis dipakai dan
seminggu sekali sesuai jadwal
- Pengendalian lingkungan
- Penanganan limbah
- Pemulasaran jenazah
2. Fasilitas
- Tersedia APD lengkap, (sarung tangan, masker, googles, tutup kepala,
celemek/apron, sepatu boot)
- Tersedia alat cuci tangan lengkap di ruangan, wastafel, sabun antiseptik,
tisue dan hundsrub
- Tersedia handsrub di mobil jenazah
- Tersedia Spillkiit di mobil jenazah
- Tersedia tempat sampah infeksius dan non infeksius
- Tersedia tempat linen kotor tertutup
- Meja memandikan
- Ruang pemulasaraan
- Almari penyimpana BHP

231
d. Pengkajian ICRA terdiri dari 4 (empat) langkah yaitu :
1. Identifikasi Risiko
Proses manajemen risiko bermula dari identifikasi risiko dan melibatkan :
a) Penghitungan beratnya dampak potensial dan kemungkinan frekuensi
munculnya risiko
b) Identifikasi aktivitas-aktivitas dan pekerjaan yang menempatkan pasien, tenaga
kesehatan dan pengunjung pada risiko
c) Identifikasi agen infeksius yang terlibat
d) Identifikasi cara transmisi
2. Analisa Risiko
a) Mengapa hal ini terjadi ?
b) Berapa sering hal ini terjadi ?
c) Siapa saja yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut ?
d) Dimana kejadian tersebut terjadi ?
e) Apa dampak yang paling mungkin terjadi jika tindakan yang sesuai tidak
dilakukan?
f) Berapa besar biaya untuk mencegah kejadian tersebut ?
3. Kontrol Risiko
a) Mencari strategi untuk mengurangi risiko yang akan mengeliminasi atau
mengurangi risiko atau mengurangi kemungkinan risiko yang ada menjadi
masalah.
b) Menempatkan rencana pengurangan risiko yang sudah disetujui pada masalah.
4. Monitoring Risiko
a) Memastikan rencana pengurangan risiko dilaksanakan
b) Hal ini dapat dilakukan dengan audit dan atau surveilans dan memberikan
umpan balik kepada staf dan manajerterkait
c) Dalam bentuk skema langka-langkah ICRA digambarkan sebagai berikut:

232
Sumber: Basic Consept Of Infection Control, IFEC. 2011

Di bawah ini ada Tabel yang menerangkan cara membuat perkiraan resiko, derajat
keparahan dan frekuensi terjadinya masalah :
Peringkat Peluang Uraian
4 1 : 10 Hampir pasti atau sangat mungkin untuk terjadi
3 1 : 100 Tinggi kemungkinan akan terjadi
2 1 : 1000 Mungkin hal tersebut akan terjadi pada suatu waktu
1 1 : 10000 Jarang terjadi dan tidak diharapkan untuk terjadi

Tabel Derajat Keparahan :


Peringkat Deskripsi Uraian Keterangan
20 – 30 Tinggi atau Dampak yang besar bagi pasien Tindakan segera
Mayor yang dapat mengarah kepada sangat dibutuhkan
kematian atau dampak jangka
panjang
10 – 19 Menengah Dampak yang dapat Dibutuhkan
menyebabkanefek jangka pendek penanganan
1-9 Rendah atau Dampak minimal dengan/tanpa Dinilai ulang
Minor efek minor secara berkala

Tabel Keparahan dan Frekuensi Terjadi Masalah :


Keparahan 2 – keparahan Rendah 1 – keparahan Tinggi
Tinggi Frekuensi rendah (infeksi aliran Frekuensi tinggi (infeksi dalam
darah disebabkan oleh darah akibat penggunaan alat
kontaminasi akses intravena) dan jarum suntik ulang)

233
Keparahan 4 – keparahan rendah 3 - keparahan Rendah
Rendah (infeksi dari linen rumah sakit) Frekuensi tinggi (infeksi
saluran kemih)
Frekuensi Rendah Frekuensi Tinggi

Jenis risiko dan tingkat risiko berbeda di setiap unit fasilitas pelayanan kesehatan, seperti
di IGD, ICU, instalasi bedah, rawat inap, laboratorium, renovasi/pembangunan, dan
lainnya. Pencatatan risiko adalah pencatatan semua risiko yang sudah diidentifikasi,
untuk kemudian dilakukan pemeringkatan (grading) untuk menentukan matriks risiko
dengan kategori merah, kuning dan hijau.
Pemeringkatan (grading) dalam bentuk table sebagai berikut :
Tabel Penilaian Probabilitas/Frekuensi :
Tingkat Risk Deskripsi Frekuensi Kejadian
0 Never Tidak pernah
1 Rare Jarang ( Frekuensi 1 – 2 x/tahun )
2 Maybe Kadang ( Frekuensi 3 – 4 x/tahun )
3 Likely Agak Sering ( Frekuensi 4 – 6 x/tahun )
4 Expectit Sering ( Frekuensi > 6 – 12 x/tahun )

Tabel Penilaian Dampak Risiko :


Tingkat Risiko Deskripsi Dampak
1 Minimal Clinical Tidak ada cidera
2 Moderat Clinical - Cidera ringan, misal luka lecet
- Dapat diatasi dengan P3K
3 Prologed Length of - Cidera sedang, misal luka robek
stay - Berkurangnya fungsi motorik/ sensorik/ psikologis
atau intelaktual (reversible). Tidak berhubungan
dengan penyakit
- Setiap kasus yang memperpanjang perawatan
4 Temporer loss of - Cidera luas/ berat, misalnya cacar, lumpuh
function - Kehilangan fungsi motorik/ sensorik/ psikologis
atau intelektual (irreversible). Tidak berhubungan
dengan penyakit.
5 Katatropik Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan
penyakit

234
Tabel Sistem Yang Ada :
Tingkat Risiko Deskripsi Kegiatan
1 Solid Peraturan ada, fasilitas ada, dilaksanakan
2 Good Peraturan ada, fasilitas ada, tidak
3 Fair Peraturan ada, fasilitas ada, tidak dilaksanakan
4 Poor Peraturan ada, fasilitas ada, tidak dilaksanakan
5 None Tidak ada peraturan
Skor : Nilai Probabilitas x Nilai Risiko/Dampak x Nilai Sistem yang ada

Untuk Kasus Yang Membutuhkan Penanganan Segera Tindakan Sesuai Tingkat dan
Bands Resiko
Level / Bands Tindakan
Ekstreem Resiko ekstreem, dilakukan RCA paling lama 45 hari,
(Sangat Tinggi) membutuhkan tindakan segera, perhatian sampai ke
direktur, perlu pengkajian yang sangat dalam.
High ( Tinggi ) Resiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari, kaji
dengan detail dan perlu tindakan segera serta membutuhkan
tindakan top manajemen, perlu penanganan Segera
Moderat ( Sedang ) Resiko sedang, dilakukan investigasi sederhana paling lama 2
minggu, manajer / pimpinan klinis sebaiknya menilai
dampak terhadap bahaya dan kelola resiko menggunakan
monitoring audit spesifik
Low ( Rendah ) Resiko rendah, dilakukan investigasi sederhana paling lama 1
minggu, diselesaikan dengan prosedur rutin.

Tabel : Tindakan Yang Diperlukan, Tingkat Keterlibatan dan Tindakan Waktu


Risiko Kritikal: Stop Aktivitas
- Manajemen resiko harus diinformasikan kepada staf dimulai dari staf administrasi senior
- Rekomendasi tertulis disampaikan kepada direksi
- Rencana tindakan dibuat tertulis dengan batas waktu tertentu
- Rencana tindakan yang sudah dibuat segera dikerjakan
Risiko Tinggi: Stop Aktivitas
- Manajemen resiko harus diinformasikan kepada staf dimulai dari staf administrasi
senior
- Rekomendasi tertulis disampaikan kepada direksi dalam waktu 48 jam

235
- Rencana tindakan dibuat tertulis dengan batas waktu tertentu
- Rencana tindakan yang sudah dibuat segera dikerjakan dalam waktu 48 jam
Risiko Sedang
- Rekomendasi tertulis dibuat kepada direksi
- Membuat rencana tindak lanjut dalam bentuk time line
- Rencana tindakan: 3 bulan
Risiko Rendah
- Rekomendasi tertulis untuk manejer
- Membuat rencana tindak lanjut dalam bentuk time line
- Rencana tindakan: 6 bulan atau waktu yang lama

Contoh Formulir Pengkajian Risiko Terhadap Infeksi


Kategori Skor Dampak (D) Probabilitas (P) Skor Risiko
Masalah 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 DXP
Kebersihan Tangan
Managemen Limbah
Managemen Linen
CSSD
Lain-lain

Pengkajian Risiko pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan


didapatkan melalui masukan dari lintas unit yaitu :
a. Pimpinan
b. Anggota Komite PPIRS, IPCN / IPCN-link
c. Staf medik
d. Laboratorium
e. Unit Produksi Makanan
f. Unit Pelayanan Laundri
g. Unit Perawatan Intensif
h. Unit Rawat Jalan
i. Unit Sanitasi dan Lingkungan
j. Instalasi Sterilisasi Pusat
k. Instalasi Laboratorium
l. Instalasi Farmasi

236
m. Instalasi Jenazah
n. Komite Mutu
o. Staf Keperawatan
p. IPSRS
q. Administrasi

1. Infection Control Risk Assesment (ICRA) Renovasi / Pembangunan Gedung


Penilaian Risiko Dampak Renovasi atau Konstruksi yang dikenal sebagai Infection
Control Risk Assessment (ICRA) adalah suatu proses terdokumentasi yang dilakukan
sebelum memulai kegiatan pemeliharaan, perbaikan, pembongkaran, konstruksi, maupun
renovasi untuk mengetahui risiko dan dampaknya terhadap kualitas udara dengan
mempertimbangkan potensi pajanan pada pasien. Sistem HVAC (heating, ventilation, air
conditioning) adalah sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara di sarana pelayanan
kesehatan yang dirancang untuk:
a) Menjaga suhu udara dan kelembaban dalam ruangan pada tingkat yang nyaman untuk
petugas, pasien, dan pengunjung
b) Kontrol bau
c) Mengeluarkan udara yang tercemar
d) Memfasilitasi penanganan udara untuk melindungi petugas dan pasien dari patogen
airborne
e) Meminimalkan risiko transmisi patogen udara dari pasien infeksi.
Sistem HVAC mencakupudara luar inlet, filter, mekanisme modifikasi kelembaban
(misalnya kontrol kelembaban musim panas, kelembaban musim dingin), pemanas dan
pendingin peralatan, exhaust, diffusers, atau kisi-kisi untuk distribusi udara. Penurunan
kinerja sistem fasilitas kesehatan HVAC, inefisiensi filter, pemasangan yang tidak benar,
dan pemeliharaan yang buruk dapat berkontribusi pada penyebaran infeksi airborne.
Ruang lingkup penilaian kriteria risiko akibat dampak renovasi atau konstruksi
menggunakan metode ICRA adalah:
Tata Laksana :
Langkah – langkah ICRA Renovasi
1. Identifikasi tipe proyek konstruksi
Tahap pertama dalam kegiatan ICRA adalah melakukan identifikasi tipe proyek
konstruksi dengan menggunakan tabel di bawah ini. Tipe proyek konstruksi ditentukan

237
berdasarkan banyaknya debu yang dihasilkan, potensi aerosolisasi air, durasi kegiatan
konstruksi, dan sistem sharing HVAC.
Tipe A Kegiatan pemeriksaan konstruksi dengan resiko rendah, termasuk namun
tidak terbatas pada :
a. Pemindahan plafon untuk pemeriksaan visual (debu minimal).
b. Pengecatan (bukan pemlesteran).
c. Merapikan pekerjaan listrik, pemasangan pipa kecil dan aktivitas lain
yang tidak menimbulkan debu atau mengakses ke langit- langitselain
untuk pemeriksaan visual.
Tipe B Kegiatan non invasive skala kecil, durasi pendek dengan resiko debu
minimal, termasuk namun tidak terbatas pada:
a. Instalasi kabel untuk telephone dancomputer
b. Mengakses ―chase spaces‖
c. Pemotongan dinding atau plafon dimana penyebaran debu dapat
dikontrol.
Tipe C Kegiatan pembongkaran gedung dan perbaikan gedung yang menghasilkan
debu tingkat tinggi dengan resiko sedang sampai tinggi, termasuk namun
tidak terbatas pada:
a. Pemlesteran dinding untuk pengecatan atau melindungi dinding
b. Pemindahan untuk pemasangan lantai danplafon
c. Konstruksi dinding baru
d. Pekerjaan pipa kecil atau pemasangan listrik di atasplafon
e. Kegiatan pemasangan kabel besar
f. Kegiatan tipe A, B, atau C yang tidak dapat diselesaikan dalam satu
shift kerja saja
Tipe D Kegiatan pembangunan proyek konstruksi dan pembongkaran gedung
dengan skala besar:
a. Kegiatan yang menuntut pembongkaran gedung secara besar- besaran
b. Adanya kegiatan pemasangan/ pemindahan sistem perkabelan.
c. Konstruksi baru atau pembangunan gedungbaru

2. Identifikasi Kelompok Pasien Berisiko


Selanjutnya identifikasi kelompok pasien beresiko yang dapat terkena dampak
konstruksi. Bila terdapat lebih dari satu kelompok pasien beresiko, pilih kelompok
beresiko yang paling tinggi. Pada semua kelas konstruksi, pasien harus dipindahkan
saat perkerjaan dilakukan.

238
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Area Perkantoran - Fisioterapi - Instalasi Gawat - Area untuk pasien
Administrasi - Instalasi Rawat Darurat immunocom
Jalan - VK promised
- Instalasi Gizi - Laboratorium - ICU
- Poli Bedah - NICU/ PICU
- Instalasi Bedah - Ruang Isolasi
Sentral tekanan negative
- Ruang perawatan - Onkologi
pasien - Ruang Operasi

3. Menentukan Kelas Kewaspadaan dan Intervensi PPI


Kelas kewaspadaan ditentukan melalui pencocokan kelompok pasien beresiko (R, S, T,
ST) dengan tipe proyek konstruksi (A, B, C, D).
berdasarkan matriks pencegahan dan pengendalian infeksi.
Kelompok Pasien Tipe Proyek Kontruksi
Berresiko Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D
Rendah I II II III / IV
Sedang II II III IV
Tinggi III II III / IV IV
Sangat Tinggi IV III / IV III / IV IV

4. Menentukan Intervensi Berdasarkan Kelas Kewaspadaan


Penentuan intervensi PPI dilakukan setelah kelas kewaspadaan diketahui. Apabila kelas
kewaspadaan berada pada kelas III dan IV, maka diperlukan perizinan kerja dari
komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan dilakukan identifikasi dampak lain
daerah sekitar area proyek.
Kelas Selama Proyek Kontruksi Setelah Proyek Kontruksi
Kelas I 1. Lakukan pekerjaan konstruksi 1. Pembersihan lingkungan kerja
dengan metode debuminimal.
2. Segera mengganti plafon yang
digunakan untuk pemeriksaan visual.
Kelas II 1. Menyediakan sarana aktif untuk 1. Bersihkan permukaan kerja
mencegah penyebaran debu ke dengan pembersih/ desinfektan.

239
udara. 2. Letakkan limbah kontruksi dalam
2. Memberikan kabut air pada wadah yang tertutup rapat
permukaan kerja untuk sebelum di buang.Lakukan
mengendalikan debu saat memotong. pengepelan basah dan/ atau
3. Menyegel pintu yang tidak terpakai vacum dengan HEPA filter
dengan lakban. sebelum meninggalkan area kerja.
4. Menutup ventilasi udara. 3. Setelah pekerjaan selesai, rapikan
5. Letakkan dust mat (keset debu) di kembali sistem HVAC
pintu masuk dan keluar area kerja.
6. Menutup sistem Heating Ventilation
Air Conditioning (HVAC)
Kelas III 1. Mengisolasi sistem HVAC di area 1. Pembatas area kerja harus tetap
kerja untuk mencegah kontaminasi dipasang sampai proyek selesai
sistem saluran. diperiksa oleh Komite K3,
2. Siapkan pembatas area kerja atau Komite PPI dan dilakukan
terapkan metode control kubus pembersihan oleh petugas
(menutup area kerja) sebelum kebersihan.
konstruksi dimulai. 2. Lakukan pembongkaran bahan -
3. Menjaga tekanan udara negative bahan pembatas area kerja dengan
dalam tempat kerja dengan hati- hati untuk meminimalkan
menggunakan unit penyaringan penyebaran kotoran dan puing-
udara HEPA. puing konstruksi.
4. Letakkan limbah kontruksi dalam 3. Vakum area kerja dengan
wadah yang tertutup rapat sebelum penyaring HEPA.
dibuang. 4. Lakukan pengepelan basah
5. Tutup wadah atau gerobak dengan pembersih/ desinfektan.
transportasi 5. Setelah pekerjaan selesai, rapikan
kembali sistem HVAC.
Kelas IV 1. Mengisolasi sistem HVAC di area 1. Pembatas area kerja harus tetap
kerja untuk mencegah kontaminasi dipasang sampai proyek selesai
sistem saluran. diperiksa oleh K3, Komite PPI
2. Siapkan pembatas area kerja atau dan dilakukan pembersihan oleh
terapkan metode kontrol kubus petugas kebersihan.
(menutup area kerja dengan plastic 2. Lakukan pembongkaran bahan-
dan menyegel dengan vakum HEPA bahan pembatas area kerja dengan
untuk menyedot debu keluar) hatihati untuk meminimalkan
sebelum konstruksi dimulai. penyebaran kotoran dan puing –

240
3. Menjaga tekanan udara negatif puingkonstruksi.
dalam tempat kerja dengan 3. Letakkan limbah konstruksi
menggunakan unit penyaringan dalam wadah yang tertutup rapat
udara HEPA. sebelum dibuang.
4. Menyegel lubang, pipa dan saluran. 4. Tutup wadah atau gerobak
5. Membuat anteroom dan mewajibkan transportasi limbah.
semua personel untuk melewati 5. Vakum area kerja dengan
ruangan ini dan melepas APD yang penyaring HEPA.
digunakan serta mengganti pakaian 6. Lakukan pengepelan basah
kerja di ruang anteroom. dengan pembersih/ desinfektan.
6. Semua personil memasuki tempat 7. Setelah pekerjaan selesai, rapikan
kerja diwajibkan untuk memakai kembali sistem HVAC
penutup sepatu. Sepatu harus diganti
setiap kali keluar dari area kerja.

a. Identifikasi Area di Sekitar Area Kerja dan Menilai Dampak Potensial


Pada kelas kewaspadaan III dan IV, perlu dilakukan identifikasi daerah sekitar proyek
dan tingkat resiko lokasi tersebut. Identifikasi dampak potensial lain dapat diketahui
dengan mengisi tabel di bawah ini:
Melakukan identifikasi area dengan aktifitas khusus, misalnya kamar pasien, ruang obat-
obatan dan lain- lain.
Melakukan identifikasi masalah yang berkaitan dengan ventilasi, pipa air, dan kemungkinan
pemadaman listrik akibat konstruksi.
Melakukan identifikasi tindakan pembatasan, menggunakan penilaian sebelumnya. Apakah
jenis pembatas yang digunakan ? (misalnya dinding pembatas solid) Apakah HEPA filter
diperlukan ? (catatan: area renovasi/ konstruksi harus diisolasi dari area sekitarnya).
Pertimbangkan potensi resiko kerusakan air. Apakah ada resiko akibat perubahan struktur ?
(misalnya dinding, plafon, atap)
Apakah perkerjaan dapat dilakukan diluar jam perawatan pasien ?
Apakah perencanaan memungkinkan jumlah kamar isolasi/tekanan negative yang cukup ?
Apakah perencanaan memungkinkan jumlah dan jenis wastafel untuk cuci tangan ?
Apakah PPI menyetujui jumlah minimal wastafel untuk proyek ini ?
Apakah PPI setuju dengan rencana relative terhadap bersih dan kotor kamar utilitas ?
Lakukan perencanaan untuk membahas masalah pembatasan dengan tim proyek ?
Misalnya, arus lalu lintas, rumah tangga, pembuangan puing (bagaimana dan kapan) ?

241
2. Infection Control Risk Assesment HAI’S (ICRA)
Tata Laksana :
Langkah – Langkah ICRA HAI’S
1) Hindari Risiko, jika tidak dapat dihindari berarti harus di lakukan tindakan.
2) Mengidentifikasi mikroorganisme penyebab infeksi, bagaimana transmisi nya, siapa
yang berisiko (pasien atau petugas kesehatan).
3) Mengidentifikasi risiko untuk tertular dan menularkan infeksi berdasarkan transmisi
infeksi (memilih target atau kelompok yang di kaji).
a. Eksternal :
 Berhubungan dengan komunitas
 Berhubungan dengan disaster
 Regulasi, syarat akreditasi
b. Internal :
 Berhubungan dengan pasien
 Berhubungan dengan petugas
 Berhubungan dengan prosedur tindakan
 Berhubungan dengan alat-alat yang digunakan
 Berhubungan dengan lingkungan
 Berhubungan dengan treatment
(1) Identifikasi Risiko
Identifikasi risiko dibagi menjadi dua yaitu identifikasi risiko proaktif adalah kegiatan
identifikasi yang dilakukan dengan cara proaktif mencari resiko yang berpotensi
menghalangi RS mencapai tujuannya dan Identifikasi risiko reaktif adalah kegiatan
yang dilakukan setelah risiko muncul dan bermanifestasi dalam bentuk insiden atau
gangguan. Setiap unit melakukan resiko di unit-unit masing-masing yang kemudian di
kumpulkan menjadi identifikasi risiko rumah sakit.
(2) Analisa Risiko
Analisa risiko dilakukan dengan cara menilai seberapa sering peluang risiko itu
muncul, berat ringannya dampak yang ditimbulkan, serta ketersedian sistem yang
mengatur di RS dan manfaat biaya yang dikeluarkan (setelah diranking, biaya untuk
mengurangi resiko dibandingkan dengan biaya kalau terjadi resiko).
Pastikan risiko yang ditimbulkan bisa di terima atau tidak.
(3) Evaluasi Risiko
a. Apa yang dapat dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan resiko
242
b. Lakukan tindakan terhadap risiko
 Apa yang dapat dilakukan
 Siapa yang bertanggung jawab
(4) Penanganan Risiko
Proses untuk memodifikasi risiko antara lain :
 Menghindari risiko dengan memutuskan untuk tidak memulai atau melanjutkan
aktivitas yang dapat menimbulkan risiko
 Menghilangkan sumber risiko
 Mengubah konsekuensi
(5) Tindakan dilakukan sesuai Tingkat dan Bands Risiko
LEVEL / BANDS TINDAKAN
Ekstrem Resiko ekstrem, dilakukan RCA paling lama 45 hari, membutuhkan
(Sangat Tinggi) tindakan segera, perhatian sampai di Direksi RS: perlu pengkajian
yang sangat dalam
High (Tinggi) Resiko tinggi, dilakukan RCA paling lama 45 hari, kaji dengan detail
dan perlu tindakan segera, serta membutuhkan tindakan top
manajemen : perlu penanganan segera
Moderat (Sedang) Resiko sedang dilakukan investigasi sederhana paling lama 2 minggu.
Manajer klinis sebaiknya menilai dampak terhadap bahaya dan kelola
risiko : menggunakan monitoring / audit spesifik
Low (Rendah) Resiko rendah dilakukan investigasi sederhana paling lama 1 minggu
, diselesaikan dengan prosedur rutin

ASSESMENT RISIKO PENGENDALIAN INFEKSI


Risiko / Probabilitas Dampak Kesiapan Score
Masalah Potensial Risiko Sistem Saat Ini
4 3 2 1 0 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

243
Petunjuk Cara Pengisian Tabel :
 Penilaian Probilitas / Frekuensi
a. Nilai 4 : Sering (frekuensi > 6-12x/tahun)
b. Nilai 3 : Agak sering ( Frekuensi 4-6x/tahun)
c. Nilai 2 : Kadang –kadang (Frekuensi 3-4x/tahun)
d. Nilai 1 : Jarang (Frekuensi 1-2x/tahun)
e. Nilai 0 : Tidak pernah
 Penilaian Dampak Risiko
a. Nilai 5 : Kehilangan nyawa/ekstermitas
b. Nilai 4 : Hilangnya fungsi
c. Nilai 3 : Masa rawat panjang
d. Nilai 2 : Klinis dan keuangan sedang
e. Nilai 1 : Klinis dan keuangan minimal
 Sistem Yang Ada
a. Nilai 5 : Tidak ada peraturan
b. Nilai 4 : Peraturan ada, fasilitas tidak ada, tidak dilaksanakan
c. Nilai 3 : Peraturan ada, fasilitas ada, tidak dilaksanakan
d. Nilai 2 : Peraturan ada, fasilitas ada, tidak selalu dilaksanakan
e. Nilai 1 : Peraturan ada, fasilitas ada, dilaksanakan
Penentuan score = Nilai Probilitas X Nilai Dampak X Nilai Sistem yang ada.

5.9. MELAKUKAN AUDIT


Audit berarti melakukan pengecekan terhadap praktik aktual terhadap standar yang
ada, termasuk tentang membuat laporan ketidakpatuhan atau isu-isu yang
dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan lainnya atau oleh Komite PPI. Pemberitahuan
hasil audit kepada staf dapat membantu mereka untuk mengidentifikasi dimana
perbaikan yang diperlukan. Audit internal termasuk melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap efektifitas proses manajemen risiko RS. Manajemen risiko dibuat untuk
menciptakan obyektifitas kemudian mengidentifikasi, melakukan analisis, dan respon
terhadap risiko-risiko tersebut yang secara potensial akan mempengaruhi kemampuan
RS untuk menyadari keobyektifannya.
Auditor internal dapat memberikan nasihat dan membantu mengidentifikasi risiko-
risiko yang bersifat darurat. Standar audit internal membutuhkan perkembangan suatu
rencana dari proyek audit berdasarkan pada pengkajian risiko yang diperbaharui setiap
244
tahun dengan memakai konsep PDSA yaitu Plan, Do,Study, dan Act. Siklus PDSA
merupakan cara pintas untuk mengembangkan suatu rencana untuk melakukan
pengetesan perubahan (Plan), melaksanakan rencana (Do), mengobservasi dan belajar
dari konsekuensi yang ada (Study), dan menentukan modifikasi apa yang harus dibuat
(Act).

Siklus PDSA

Diambil tindakan Pengumpulan


/ perubahan data audit lokal
praktis

Analisa data audit


dan timbal balik

Pedoman Audit PPI harus dibuat berdasarkan referensi terbaru, dapat diterima dan mudah
diterapkan, bertujuan untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur PPI. Umpan balik
hasil audit PPI kepada staf diharapkan akan mewujudkan perbaikan melalui perubahan
pemahaman (mind set) dan perilaku petugas yang secara tidak langsung akan berdampak
pada upaya perubahan perilaku pasien dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan.
Audit dapat dilakukan oleh Komite PPI atau petugas terpilih lainnya.
1. Metode Audit
Prioritas dilakukan pada area yang sangat penting di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain area risiko tinggi, yang dievaluasi melalui hasil surveilans atau KLB. Audit
yang efektif terdiri dari suatu gambaran lay out fisik, kajian ulang atau alur traffic,
protocol dan kebijakan, makanan dan peralatan dan observasi dari praktik PPI yang
sesuai.
Audit harus dilaksanakan pada waktu yang sudah ditentukan, dapat dilakukan dengan
wawancara staf dan observasi keliling, audit ini sederhana namun menghabiskan
banyak waktu, sehingga disarankan menggunakan siklus cepat rencana audit.
2. Persiapan Tim Audit
Semua tenaga kesehatan dan staf pendukung harus dimasukkan dalam persiapan suatu
audit. Tim harus diberi pemahaman bahwa tujuan audit adalah untuk memperbaiki
praktik PPI yang telah dilaksanakan. Pertemuan sebelum audit sangat penting untuk
245
menjelaskan dan mendiskusikan target dan objektif dari audit, bagaimana hal tersebut
akan dilakukan, dan bagaimana hasilnya akan dilaporkan. Hal ini bukan berarti untuk
menghukum atau mencari kesalahan.
Staf harus memahami bahwa pendekatan objektif dan audit akan dilakukan secara
konsisten dan kerahasiaannya akan dilindungi. Tim audit harus mengidentifikasi para
pemimpin di setiap area yang di audit dan terus berkomunikasi dengan mereka.
Pengambil keputusan dan pembimbing perlu untuk mendukung tim audit jika terdapat
perubahan yang diperlukan setelah audit. Pengisian kuisioner oleh pegawai tentang
praktik PPI yang aman harus dibagikan dan disosialisasikan sebelum adanya audit.
Kuisioner dapat dikembangkan terus-menerus membantu penentuan praktik area yang
harus diaudit. Responden mencantumkan identitas dengan pekerjaan (contoh: perawat,
dokter, radiographer, costumer services).
Kuisioner bisa kembali tepat waktu. Satu orang pada setiap area survei harus
ditanyakan untuk memastikan kuisioner lengkap dan aman untuk pengumpulan dan
tabulasi oleh tim audit. Hasil dapat mempersilahkan Komite PPI untuk menentukan
dimana edukasi tambahan diperlukan.Diseminasi hasil dan diskusi jawaban yang benar
dapat digunakan sebagai alat edukasi. dimodifikasi agar sesuai dengan departemen atau
area yang diaudit.Suatu tenggat waktu harus diberikan sehingga kuisioner
3. Prinsip – Prinsip Audit
Bundles adalah kumpulan proses yang dibutuhkan untuk perawatan secara efektif dan
aman untuk pasien dengan treatment tertentu dan memiliki risiko tinggi. Beberapa
intervensi di bundle bersama, dan ketika dikombinasikan dapat memperbaiki kondisi
pasien secara signifikan. Bundles sangat berguna dan telah dikembangkan untuk VAP,
ISK dan IADP.
Suatu Set Bundles termasuk :
a. Suatu komitmen pernyataan dari tim klinis
b. Chart sebab akibat yang menggambarkan bukti untuk praktik yang optimal dan
digunakan juga untuk RCA dari ketidaksesuaian, dalam hubungannya dengan
standar
c. SPO untuk bundle termasuk kriteria spesifik
d. Lembar pengumpul data
e. Penjelasan bundle kepada staf klinik (grup diskusi, presentasi slide).
Bundles secara khusus terdiri atas set kritikal kecil dari suatu prosedur (biasanya 3-5),
semuanya ditentukan oleh bukti kuat, dimana ketika dilakukan bersama - sama
246
menciptakan perbaikan yang bagus. Secara sukses dalam melengkapi setiap langkah
adalah suatu proses langsung dan bisa diaudit.
Jenis Audit :
a. Toolkit audit dari ―the Community and Hospital Infection Control Association‖
Kanada
b. Toolkit audit WHO
c. Audit dilaksanakan pada :
- Kebersihan tangan (kesiapan dan praktik, suplai seperti sabun, tissue, produk
handrub berbasis alkohol).
- Memakai kewaspadaan standar/praktik rutin.
- Menggunakan kewaspadaan isolasi.
- Menggunakan APD.
- Monitoring peralatan sterilisasi
- Pembersihan, disinfeksi, dan sterilisasi peralatan pakai ulang seperti bronkoskopi,
dan instrument bedah.
- Pembersihan area lingkungan perawatan.
- Praktik HD, peralatan dan fasilitas.
- Praktik PPI di OK,aseptik, dan antiseptik pra-bedah, kontrol alur, persiapan kulit
pasien, pencukuran (pada daerah khusus), kebersihan tangan bedah, dan
antibiotika profilaksis.
- Praktik dan alat medis yang diproses ulang di klinik dan kantor dokter.
- Isu-isu keselamatan kerja seperti tertusuk benda tajam/jarum, vaksinasi petugas.
- Manajemen KLB.
d. Alat audit sendiri untuk Komite PPI. Data audit dapat digunakan sebagai
tujuan/target tahunan program PPI. Juga dapat membantu dalam pengambilan
keputusan pemenuhan standar di fasyankes.
4. Laporan Audit
Hasil audit yang telah lengkap dikaji ulang bersama pihak manajemen dan staf di area
yang diaudit sebelum dilaporkan. Di dalam laporan harus diinformasikan bagaimana
audit dilakukan, metode yang dipakai, data kepatuhan, temuan, dan rekomendasi.
Laporan audit bisa tercakup di dalam :
a. Laporan Mingguan: memberikan umpan balik yang cepat (contoh selama KLB atau
setelah terjadi kejadian tertusuk jarum).

247
b. Laporan Bulanan: berisikan tentang surveilans, hasil audit, edukasi, pelatihan dan
konsultasi.
c. Laporan Triwulan: merupakan laporan formal termasuk rekomendasi.
d. Laporan Tahunan: suatu ringkasan audit yang dilaksanakan selama setahun dan
menghasilkan perubahan atau perbaikan, biasanya diilustrasikan dengan grafik.

248
BAB V
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

6.1. Monitoring
Kegiatan monitoring kejadian infeksi dan kepatuhan terhadap pelaksanaan PPI
dilakukan oleh IPCN dan IPCLN yang sudah dilatih kegiatan tersebut meliputi :
a. Pelaksanaan monitoring surveilans menggunakan formulir harian dan formulir
bulanan yang di masukan dalam sistem exsel melalui media komputer
b. Kegiatan monitoring dilakukan dengan melaksanakan surveilans dan kunjungan
lapangan di bantu oleh IPCLN dan IPCN dan ketua komite jika diperlukan
c. Monitoring dilakukan oleh Komite PPI baik dalam pengukuran, pengawasan,
pengamatan kegiatan yang berkaitan dengan program PPI dengan frekuensi minimal
setiap bulan

6.2. Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan kegiatan memerlukan adanya data yang berisikan hasil kegiatan
yaitu dokumen yang berisikan data yang berhubungan dengan kegiatan secara rinci
untuk menunjang kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan agar data yang sudah dihasilkan
dapat menjadi nilai tambah bagi rumah sakit dan pelayanan secara umum dan pada
proses selanjutnya.
Dari hasil evaluasi terhadap data-data pelaksanaan kegiatan pencegahan dan
pengendalian infeksi, kita dapat menentukan langkah selanjutnya terhadap:
 Rencana kegiatan selanjutnya
 Evaluasi terhadap program yang telah dibuat untuk tahun berikutnya
Tim PPI melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian
infeksi dalam bentuk:
 Laporan surveilans yang dibuat setiap bulan
 Laporan hasil monitoring audit PPI
 Laporan kegiatan PPI berdasarkan program setiap bulan
 Laporan secara menyeluruh dalam semua kegiatan tahunan komite ppi yang
diserahkan kepada Direktur RS untuk rekomendasi berikutnya

249
6.3. Pelaporan
IPCN membuat laporan secara tertulis kepada ketua komite PPI laporan kegiatan
merupakan laporan internal yang terbagi secara periodic yaitu laporan bulanan,
triwulan dan semester yang mencakup
a. Laporan hasil survielans HAI’s berdasarkan dari unit kerja
b. Laporan hasil pencegahan HAI’s karena pemakaian alat
c. Laporan hasil audit kepatuhan terhadap kewaspadaan standar
d. Laporan hasil pendidikan dan pelatihan
e. Laporan dari supervisi di setiap kunjungan unit kerja
f. Laporan penggunaan antimikroba RS

Setiap kegiatan program dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring


evaluasi, yang semua itu di laporkan kepada direktur RS dan di desiminasikan kepada
seluruh ruangan yang berkepentingan disertai dengan rekomendasi untuk perbaikan
rumah sakit secara keseluruhan.

250
BAB VI
PENUTUP

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan aspek penting dalam pelayanan di


rumah sakit demi tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu dan mengutamakan
keselamatan pasien. Hal ini menjadi semakin penting dengan peningkatan pasien yang
berisiko terinfeksi dan di lain pihak terdapat peningkatan mikroorganisme multiresisten.
Pencegahan pengendalian infeksi di rumah sakit bukan merupakan tanggung jawab komite
PPIRS atau beberapa pihak saja, tapi merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat
di rumah sakit, mulai dari manajemen, klinisi, perawatan atau petugas lain yang bekerja di
rumah sakit.
Dengan di buatnya pedoman kerja komite PPI ini diharapkan pelaksanaan PPI oleh semua
pihak menjadi lebih terarah, tepat dan lebih baik. Perubahan dari pedoman ini akan
mengikuti perkembangan yang ada.

251
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI , Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasiltas Pelayanan


Kesehatan, SK Menkes No:27/Menkes/2017. Jakarta.

Kemenkes RI Kemenkes 2011, Pedoman Surveilanns Infeksi, Jakarta : Kemenkes RI

Dir Jend Pelayanan Medik. Standar Kamar Jenazah, Jakarta 2004 : Depatermen Kesehatan
RI

Kemenkes RI Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak, Jakarta 2014 : kementrian
Kesehatan Republic Indonesia.

CDC guideline for prevention of surgical site infection. CDC 1999.

Depkes RI. Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja, SK Menkes No 56 Tahun


2016. Jakarta : Kemenkes RI.

WHO, Global Guidelines For The Prevention Of Surgical Site Infection : Geneva,
Switzeland WHO 2016.

252

Anda mungkin juga menyukai