Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“PENYAKIT POLIO”

Dosen Pengampu :
Zuhrupal Hadi, SKM., M.Kes

Disusun Oleh :
Kelompok 5

1. Meli Jumiarni (2207010015) 7. Reka Amelia (2207010094)


2. Adelia Marizka (2207010032) 8. Siti Mahfuzatun Amira (2207010113)
3. Alya Azzahra (2207010044 9. Muhammad Rikaz Al Akbar (2207010142)
4. Firnanda Pratiwi (2207010055) Aisha Nordila Safitri (2207010159)
5. Noor Halidah (2207010070) Bahtiar (2207010166)
6. Nadia Maulida (2207010078)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok kami
yang berjudul tentang “Penyakit Polio“ Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang Penyakit polio serta cara
pencegahan dan penanggulangan dengan memberikan imunisasi dasar polio.
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu,
memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan
maksimal, tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang baik dari pembaca sekalian. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih.

Banjarmasin, 17 November 2023

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………………
………………………..ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Tujuan.........................................................................................................................7
C. Manfaat......................................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Polio..............................................................................................................8
B. Etiologi......................................................................................................................10
C. Diagnosis..................................................................................................................11
D. Tanda-Tanda Dan Gejala........................................................................................12
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi/Determinan................................................15
F. Komplikasi................................................................................................................18
G. Pencegahan dan Penanggulangan.........................................................................20
BAB III EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
A. Host, Agent & Environment...................................................................................22
B. Distribusi Frekuensi (Orang, Tempat dan Waktu)..............................................25
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................28
B. Saran.........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai
"Polio" adalah virus yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan
permulaan program inisiatif global untuk pemberantasan polio pada tahun 1988.
Sebagian polio positif yang diakibatkan oleh enterovirus RNA ini dikenal dengan
kemampuannya untuk mempengaruhi sebuah bagian dari sumsum tulang
belakang, dan mengakibatkan terjadinya Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau
dapat menyebabkan kematian jika otot pernapasan atau tenggorokan mendapat
lumpuh tetapi untungnya tidak banyak kasus yang terjadi. Terdapat tiga serotypes
dari virus polio, di dunia kasus infeksi dari 1 per 200-2000 kasus tergantung pada
jenis serotype virus. Tingkat fatality biasanya dari 5 hingga 10% dalam kasus-
kasus lumpuh. World Health Organization (WHO) 27 tahun yang lalu telah
mencapai keberhasilan luar biasa dalam mengurangi jumlah polio di negara-
negara endemik, dari 125 negara di penjuru dunia hanya ada 3 negara termasuk
Pakistan, Afghanistan, dan Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV) transmisinya
belum terputus walaupun angka kasus terjadinya polio telah turun dibawah angka
99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per tahun kemudian (Ghafoor &
Sheikh, 2016). Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly (WHA)
mendeklarasikan bahwa eradikasi polio adalah salah satu isu kedaruratan
kesehatan masyarakat dan perlu disusun suatu strategi menuju eradikasi polio.
Indonesia telah berhasil menerima sertifikasi bebas polio bersama dengan negara
anggota WHO di South East Asia Region (SEAR) pada bulan Maret 2014,
sementara itu dunia masih menunggu negara lain yang belum bebas polio yaitu
Afganistan, Pakistan dan Nigeria. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut
dan untuk melaksanakan strategi menuju eradikasi polio di dunia, Indonesia
melakukan beberapa rangkaian kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Polio, penggantian vaksin trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) ke bivalent Oral
Polio Vaccine (bOPV) dan introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV). Pada akhir
tahun 2020 diharapkan penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh dunia
(KESMAS, 2016).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2018 ada sekitar
20 juta anak di dunia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap, bahkan ada
yang tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Padahal Untuk mendapatkan
kekebalan komunitas (herd Immunity) dibutuhkan cakupan imunisasi yang tinggi
(paling sedikit 95%) dan merata. Akan tetapi, masih banyak anak Indonesia belum
mendapatkan imunisasi lengkap. Bahkan ada pula anak yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi sama sekali sejak lahir.(Kemenkes, 2018). Pemberantasan
polio secara global dilaksanakan pada Negara-negara endemic polio seperti
Pakistan, Nigeria dan Afghanistan. Meskipun penurunan keseluruhan insiden
global kasus telah lebih dari 99% (Bandyopadhyay et al., 2015).
Virus polio disebarkan melalui feses-ke- oral dan oral-to-oral
penularan.Dimana sanitasi buruk, tinja ke mulut transmisi mendominasi, tetapi di
sebagian besar tempat, campuran pola penularan cenderung terjadi.Jika sanitasi
dan kebersihan pribadi tidak memadai, yang lainnya bisa terinfeksi melalui tangan
atau makanan yang kotor dan tercemar air. Jadi, imunitas usus penting agar bisa
mencegah penularan (WHO, 2016). Cakupan imunisasi dasar polio di negara-
negara anggota WHO baru mencapai 86% masih terdapat 4% bayi yang belum
sepenuhnya mendapatkan vaksinasi dan tetap berisiko terkena penyakit polio di
dunia (Susanti, 2021). Pada tahun 2018 di kawasan Asia Tenggara masih ada
kasus Polio di beberapa negara seperti Indonesia, Myanmar, Filipina, dan
Malaysia. Jumlah kasus Polio VDPV tipe 1 dari tahun 2018 sampai tahun 2020
berjumlah 12 kasus. Polio VDPV tipe 2 sebanyak 14 kasus dengan positif VDPV
1 sebanyak 19 kasus dan VDPV tipe 2 sebanyak 23 kasus (Kementerian
Kesehatan RI, 2020).
Imunisasi merupakan upaya Kesehatan pada masyarakat paling efektif dan
efisien dalam mencegah beberapa penyakit.Imunisasi terdapat konsep Herd
Immunity atau kekebalan kelompok (Diharja et al.,2020). Dalam program
imunisasi, pemberian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada bayi, merupakan suatu
keharusan.Segera setelah lahir (sebelum berusia tujuh hari), bayi harus diberikan
imunisasi hepatitis B 0–7 hari (HB 0) satu dosis. Kemudian, pada usia satu bulan,
diberikan satu dosis imunisasi BCG dan imunisasi polio. Usia dua, tiga, dan
empat bulan, diberikan imunisasi pentavalen dan imunisasi polio, masing-masing
satu dosis. Imunisasi campak satu dosis diberikan pada usia sembilan bulan.
(Kemenkes, 2014) Cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada tahun
2010 - 2015, mengalami penurunan dan tidak mencapai target. Pada tahun 2010
dan 2011 sebesar 93,3%, dan mengalami penurunan pada tahun 2012- 2014
sehingga menjadi sebesar 86,9% (Safitri et al., 2017). Menurut survei berdasarkan
Data terakhir terdapat total 295 kasus polio di 10 provinsi dan 22 kota di
Indonesia (Widoyono, 2005).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 cakupan pemberian imunisasi
lengkap sebesar 59,2%, imunisasi tidak lengkap sebesar 32,1%, dan tidak pernah
diimunisasi sebesar 8,7%. (Kemenkes RI, 2013) Imunisasi dapat pemberian
kekebalan kepada anak terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
sebelum berusia 12 bulan yaitu tuberkulosis, polio, hepatitis B, difteri, pertusis,
tetanus dan campak (Simatupang, 2020). Data Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, sejak tahun 2014-2016
terdapat 1,7 juta anak belum mendapatkan imunisasi serta belum lengkap status
imunisasinya, dan hanya mencapai 86,8% dan perlu ditingkatkan hingga
mencapai target 93% di tahun 2019. (Rakhmawati et al., 2018).
Penelitian Astuti dan Fitri, (2017), hasinya adalah masih rendah
pencapaian imunisasi dasar lengkap di sebabkan factor tempat pelayanan
imunisasi yang jauh dan sulit terjangkau, jadwal pelayanan tidak teratur, tidak
sesuai dengan kegiatan masyarakat, tidak tersedianya kartu imunisasi, rendahnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang waktu pemberian imunisasi.
Selain itu faktor budaya dan pendidikan serta kondisi sosial ekonomi. Penelitian
Hidayati dan Lidiawati, (2020), hasilnya pengetahuan ibu sangat penting untuk
mengetahui efek samping pemberian imunisasi serta tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi efek samping pada anaknya.Selain itu orang tua harus memiliki
kepatuhan dalam pemberian imunisasi pada anak agar vaksin dapat bekerja secara
maksimal. Penelitian Hartati et al., (2019).
Menurut Sofyan, masalah ini menjadi catatan tersendiri untuk segera
diatasi. Sebab itu Semua Pihak harus mendukung upaya pemberantasannya
melalui gerakan imunisasi nasional melalui Imunisasi Nasional di North Carolina
(PIN). Keberhasilan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2006 di daerah sangat
tergantung pada peranan pemerintah daerah. Oleh karena itu, demi menyongsong
hari depan anak Indonesia yang berkualitas.
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit. Imunisasi sendiri sebetulnya sudah
berlangsung cukup lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus, sang raja
melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik,
sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis
pendekatan pembuatan vaksin rabies (Proverawati, 2010:1)
Poliomyelitis (polio) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dan sebagian besar menyerang anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Polio tidak
ada obatnya, pertahanan satu-satunya adalah imunisasi. Virus polio masuk ke
tubuh melalui mulut, dari air atau makanan yang tercemar kotoran penderita polio.
Juga disebabkan kurang terjaganya kebersihan diri dan lingkungan. Virus ini
menyerang system syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan seumur hidup
dalam waktu beberapa lama (Viasofiana, 2013).
Indonesia pernah bebas polio selama 10 tahun sebelum kembali terjangkit
oleh suatu virus yang dibawa masuk dari luar negeri ke tanah air. Indonesia telah
melaksanakan program eradikasi polio dengan melakukan program imunisasi
polio secara intensif di seluruh Indonesia melalui program pengembangan
imunisasi/PPI sejak tahun 1980. Tahun 1980 program vaksinasi polio dimulai dan
pada tahun 1990 cakupan imunisasi rutin > 90%. Jumlah kasus polio di Indonesia
telah berhasil diturunkan sebesar 97% yaitu dan 773 kasus pada tahun 1988
menjadi 23 kasus yang dilaporkan pada tahun 1993. Tahun 1995 virus polio liar
terakhir ditemukan di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap, Palembang, dan
Medan. Sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi kasus polio liar di
Indonesia dan direncanakan bebas polio tahun 2005 oleh WHO.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang kejadian ikutan pasca imunisasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Erfandi (2009), faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, media massa/informasi, social
budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia. Faktor kekurangtahuan
menimbulkan kekhawatiran dan keengganan orang tua untuk mengikut sertakan
anaknya dalam program imunisasi. Kekhawatiran tersebut akhirnya tidak saja
ditujukan pada efek samping vaksin yang memang merupakan bagian dari
mekanisme kerja vaksin tetapi telah meluas pada semua morbiditas serta kejadian
yang terjadi pada imunisasi yang sangat mungkin sebetulnya tidak terhubung
dengan vaksin dan tindakan imunisasi. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya imunisasi menyebabkan penolakan program imunisasi serta akan
enggan mengimunisasikan bayinya karena setelah imunisasi bayi akan demam.
Walaupun orangtua dan dokter sering khawatir bila terjadi Kejadian Ikutan
Paska Imunisasi. Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI
(KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI
dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau
bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi
pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain
pada resipien nonimunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi
polio.
Pada 27 Februari 2023, WHO dan UNICEF mendampingi Dinas
Kabupaten (Dinkes) Kota Banda Aceh dalam sebuah pertemuan dengan para
kepala sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) di Banda Aceh. Banyak
sekolah masih belum mencapai target, dan banyak PAUD belum melakukan
imunisasi sama sekali. Beberapa hambatan yang dihadapi adalah tidak
didapatkannya izin dari orang tua untuk imunisasi dan terkait pemberian obat
cacing secara bersamaan. Selain itu, pada 28 Februari, UNICEF dan WHO
mengadakan pertemuan koordinasi dengan asisten wali kota Banda Aceh, Dinas
Kesehatan Kota Banda Aceh, camat, dan puskesmas. Pertemuan ini bertujuan
membahas tantangan dan solusi mencapai cakupan yang tinggi dan merata.
Setelah kegiatan tersebut, cakupan sub-Pekan Imunisasi Nasional (PIN) di Banda
Aceh pada anak usia 0-59 bulan mengalami peningkatan dari 44.9% per 27
Februari menjadi 58.7% per 12 Maret.
Pada tanggal 7-10 Maret 2023, Kementerian Kesehatan dan WHO
mengadakan workshop penguatan surveilans AFP di Sumatra Utara, yang dihadiri
lebih dari 130 peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi, 33 Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota, dan 33 rumah sakit. Dalam kegiatan ini, WHO memaparkan
bagaimana penemuan kasus, pencatatan, dan pelaporan di rumah sakit dapat
ditingkatkan. Salah satu tindak lanjut utama adalah menunjuk tim surveilans
rumah sakit untuk meningkatkan penemuan kasus, khususnya untuk rumah sakit
rumah sakit yang menghadiri kegiatan ini.
Pada 27 Februari 2023, petugas surveilans, kepala pencegahan dan
pengendalian penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra, dan WHO
mengadakan rapat koordinasi untuk membahas strategi peningkatan kinerja
surveilans AFP dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi daerah-daerah yang
tidak melaporkan kasus AFP dalam waktu 6 sampai 12 bulan atau lebih (silent
district). Pada hari berikutnya, pertemuan daring diadakan untuk mengingatkan
kembali mengenai surveilans AFP dan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) lain, penguatan komitmen, dan sosialisasi tentang peningkatkan
angka AFP non polio di atas target >3 per 100 000 penduduk. Dalam pelatihan ini
sekitar 140 petugas surveilans dari 33 kabupaten/kota hadir.
Berdasarkan data per 15 Maret 2023, angka non-polio AFP (NPAFP)
adalah 4,9 per 100 000 penduduk usia <15 tahun dengan spesimen adekuat tahun
2022 sebesar 56,3%. Terdapat empat kabupaten/kota yang termasuk silent
districts1 di Aceh yaitu Kota Lhokseumawe, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten
Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam. Pada 2023, terdapat 25 kasus AFP yang
dilaporkan dari sembilan kabupaten/kota di Aceh, dengan angka annualized
(disetahunkan) NPAFP 2,3 per 100 000 populasi <15 tahun dengan keadekuatan
spesimen 86,7%.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Frekuensi (jumlah) dari penyakit polio menjadi salah satu masalah
kesehatan di provinsi aceh dan provinsi jawa barat. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan tentang imunisasi/vaksin polio.
2. Distribusi (penyebaran) masalah penyakit polio menujukkan kepada semua
kelompok seperti (umur, jenis kelamin, pekerjaan yang beresiko).
3. Determinan (faktor yang mempengaruhi) penyakit polio lebih merujuk
kepada faktor-faktor terjadinya polio baik membahas frekuensi, distribusi
dan determinan.

C. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini ialah sebagai berikut:
Makalah ini bermanfaat agar masyarakat dapat mengetahui seberapa pentingnya
pemberian imunisasi dasar sejak lahir serta mengetahui bagaimana mekanisme
terjadinya penyakit Polio dan bagaimana upaya pencegahan penanggulangan virus
Poliomyelitis.
Dengan demikian, diharapkan agar masyarakat dapat ikut serta dalam mengikuti
imunisasi yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan sehingga virus polio ini
dapat dicegah sebelum menyerang anak-anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Polio
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Penyakit polio dapat menyerang
semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah 1-15
tahun dari semua kasus polio.
Penelitian Soemiatno dalam Apriyatmoko (1999) menyebutkan bahwa
33,3% dari kasus polio adalah anak-anak di bawah 5 tahun. Infeksi oleh golongan
enterovirus lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada wanita (1,5-2,5 : 1).

GAMBAR I. PENYAKIT POLIO

Poliomielitis atau yang lebih dikenal dengan polio adalah kelumpuhan


akut
yang disebabkan oleh infeksi virus polio. Kata poliomeilitis berasal dari istilah
medis untuk menggambarkan dampak virus polio pada medula spinalis. Polio
berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu-abu dan saraf tulang belakang
(myelon) (Jesus, 2007). Polio diduga pertama kali dikenal kira-kira 6000 tahun
yang lalu. Pada mumi dari zaman Mesir kuno di tahun 1580 – 1350 sebelum
Masehi yang digambarkan pendeta muda dengan sebelah kaki atrofi dan telapan
kaki ada posisi equinus (Soedarmo, 2008). Deskripsi klinis pertama mengenai
poliomielitis dibuat oleh Michael Underwood, seorang dokter dari Inggris yang
melaporkan penyakit yang terutama menyerang anak-anak dan menyebabkan
kelumpuhan menetap pada extremitas bawah. Pada awal abad ke-19 dilaporkan
kejadian luar biasa polio di Eropa dan pertama kali dilaporkan di Amerika Serikat
pada tahun 1843. Namun angka kejadian polio terus meningkat menjadi epidemi
di awal abad ke-20 (Jesus, 2007).
Mengingat penyakit ini menyebabkan kelumpuhan, maka polio menjadi
salah satu penyakit yang penting dieradikasi secara global. Pada tahun 2018, para
ilmuwan telah bergabung untuk mendukung program eradikasi polio melalui
Eradication and endgame strategic plan, suatu strategi gerakan Global Polio
Eradication Initiative (GPEI) (Bhutta, 2013).
Virus penyebab polio pertama kali ditemukan di tahun 1809 oleh Karl
Landsteiner dan Erwin Popper, dua orang dokter dari Austria (Jesus, 2007) Virus
Polio (VP) adalah virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk genus Enterovirus,
dalam famili Picornaviridae (Soedarmo, 2008). Virus single stranded 30% terdiri
dari virion, protein mayor (VP 1 sampai 4) dan satu protein minor (VPg). Virus
terdiri dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, Mahoney, Serotipe 2, Lansing dan serotipe
3, Leon. Perbedaan ketiga jenis strain terletak pada segmen nukleotida. Virus
polio serotipe 1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk antibodi
netralisasi. Serotipe 1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan
KLB, sedangkan serotipe 3 adalah yang paling tidak imunogenik (Jesus, 2007;
Soedarmo, 2008).
B. Etiologi
Virus poliomyelitis (virus RNA) tergolong dalam genus enterovirus dan
familipicornaviridae, mempunyai 3 Strain yaitu, tipe 1 (Brunhilde), tipe 2
(Lansing) dan tipe 3 (Leon). Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan
oleh virus tipe 1. Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunisasi
bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe. Virus poliomyelitis dapat
hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun dalam deep freeze. Tipe
I adalah tipe yang paling mudah diisolasi. Tipe yang sering menyebabkan wabah
juga adalah tipe 1.

GAMBAR 2. TYPE VIRUS POLIO I, II, III


Sedangkan kasus yang dihubungkan dengan vaksin disebabkan oleh tipe 2
dan 3, di alam bebas, virus polio dapat bertahan hingga 48 jam pada musim
kemarau dan dua minggu pada musim hujan. Di dalam usus manusia, virus dapat
bertahan hidup sampai 2 bulan. Virus polio tahan terhadap sabun, detergen,
alcohol, eter dan klorofrom, tetapi virus ini akan mati dengan pemberian
formaldehida 0,3%, klorin, pemanasan dan sinar ultraviolet.
Polio-virus dominan di sel tanduk anterior sumsum tulang belakang,
bagian core motorik brainstem (batang otak), dan bagian motorik korteks serebral,
sehingga berakibat pada kelumpuhan dan atrofi otot. Polio-virus dapat bertahan
hidup selama beberapa bulan pada suhu kamar, tahan dengan alkohol 70%, eter,
dan dapat mati jika terkena klorin, formaldehid, serta suhu di atas 50 °C serta
paparan sinar UV (Irwan, 2019).

C. Diagnosis
Diagnosis polio biasanya dilakukan oleh dokter sesuai dengan gejalanya.
Seperti leher dan punggung yang kaku sehingga orang yang tekena virus ini akan
mengalami kesulitan menelan dan bernapas. Dalam memastikan diagnosis ini,
dokter perlu mengambil sampel yang akan diuji di laboraturium untuk
mendiagnosis ada tidaknya keberadaan virus polio.
Virus polio dapat terdeteksi di dalam sampel spesimen yang telah diambil
melalui tenggorokan, feses (tinja), dan terkadang cairan serebrospinal. Dari
spesismen tersebut, dokter akan mampu mendeteksi keberadaan virus melalui
beberapa metode, yaitu:

1. Isolasi dan Deteksi Virus


Isolasi virus merupakan metode paling untuk mendiagnosis infeksi virus polio.
Virus polio kemungkinan besar diisolasi dari pengambilan sampel tinja, hal ini
juga dapat dipisah dari faring. Untuk meningkatkan kemungkian mengisolasi
virus polio. Dengan cara mengumpulkan setidaknya 2 sampel tinja dalam
jarak 24 jam dari pasien yang diagnosis poliomyelitis, hal ini harus
dikumpulkan sedini mungkin dalam perjalanan penyakit idealnya dalam kurun
waktu 14 hari setelah timbulnya penyakit.

2. Kultur Tenggorokan
Dengan menggunakan sampel tenggorokan mungkin berguna dalam
mendiagnosis poliomyelitis, terutama jika pasien diketahui tidak pernah
menerima vaksinasi polio dengan pengambilan sampel serum akut yang harus
diperoleh sedini mungkin dalam perjalanan penyakit, dan sampel tersebut
dalam masa pemulihan dapat diperoleh setidaknya dalam kurun waktu 3
minggu kedepan.
3. Cairan Serebrospinal (CSF)
Diagnosis dengan menggunakan cairan serebrospinal ini dokter akan
menyuntik bagian tulang belakang dan mengambil cairan yang ditemukan.
Cairan ini mengelilingi selururh sistem saraf pusat, mengelilingi otak, dan
juga melapisis saraf tulang belakang.Metode pengambilan sampel cairan
serebrospinal ini adalah cara yang paling akurat, perlu diingat bahwa myelitis
merupakan peradangan pada bagian tulang belakang.

D. Tanda-Tanda Dan Gejala


Manifestasi klinis muncul 7 – 21 hari setelah virus pertama kali
menginfeksi tubuh. Masa inkubasi virus ini berkisar 3-6 hari. Manifestasi klinis
bergantung pada sel saraf yang dirusak oleh virus. Pada kerusakan sel saraf di
medulla spinalis, terjadi kelumpuhan akut yang disertai atrofi otot, sementara
kerusakan sel saraf batang otak akan menimbukan kelumpuhan persarafan
kanialis dan -otot pernafaan. Spektrum penyakit polio terbagi atas gejala ringan
(minor illness) dan gejala berat (major illness) (Ropper dan Robertson, 2005).

GAMBAR 3. TANDA DAN GEJALA POLIO


1. Gejala ringan (minor illness)
Kumpulan gejala ringan yang muncul ini menandakan telah terjadinya infeksi
akut virus polio dalam tubuh, muncul bergantung pada lokasi kolonisasi virus.
Gejala yang timbul dapat berupa nyeri tenggorakan, rasa tidak nyaman di perut,
demam ringan, nyeri kepala atau letargis. Gejala timbul 1-4 hari dan ditemukan
pada 90-95% kasus polio. Umumnya kondisi ini akan hilang dengan sendirinya
dan tidak berakibat fatal (Soedarmo, 2008).
2. Gejala berat (major illness)
Kumpulan gejala berat inilah yang sangat ditakutkan terjadi pada infeksi virus
polio. Diawali dengan gejala ringan, perjalanan penyakit yang berlanjut hingga
gejala berat tentunya memiliki prognosis yang lebih buruk. Berikut ini adalah
berbagai gejala berat pada polio:
a) Asimtomatis (silent infection)
Setelah menjalani masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka
tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada saut daerah epidemic
diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas
virus tersebut.

b) Poliomyelitis Abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemis. Terutama
yang diketahui pernah berkontak langsung dengan penderita poliomyelitis
yang jelas diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemic.
Gejala yang timbul berupa infeksi virus, seperti:
1) Malaise
2) Anoreksi
3) Nausea
4) Muntah
5) Nyeri kepala
6) Nyeri tenggorokan
7) Konstipasi
8) Nyeri abdomen
Gejala ini biasanya menghilang dalam seminggu. Pada beberapa kasus,
virus polio dapat menyerang saraf tulang belakang dan dasar otak. Kondisi
ini akan menyebabkan kelumpuhan, yang muncul dalam kurun waktu
beberapa jam sampai beberapa hari. Kelumpuhan biasanya tidak bersifat
permanen, dan membaik dalam beberapa minggu atau bulan.

c) Gejala Poliomyelitis Non-Paralitik ( Tanpa Kelumpuhan )


Ada beberapa gejala yang ditimbulkan dalam polio non-paralisis, gejala-
gejala ini timbul 1-2 hari, kadang diikuti penyembuhan sementara untuk
kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri pada
otot.
1) Demam
2) Sakit tenggorokan
3) Sakit kepala
4) Muntah
5) Kelelahan
6) Sakit punggung
7) Sakit pada leher ( kaku leher )
8) Nyeri ( kaku pada lengan dan kaki )
9) Kelemahan otot

d) Gejala Polio Paralitik (Kelumpuhan )


Tanda dan gejala awal dari polio ini mirip dengan gejala dari polio non-
paralitik, seperti demam dan sakit kepala. Yang membedakan adalah gejala
tambahan berupa:
1) Kehilangan refleks
2) Otot terasa sangat nyeri dan lemah
3) Tungkai yang lemas dan lumpuh ( flaccid paralysis)
e) Sindrom Post-Polio
Sindrom ini merupakan kumpulan dari gejala dan tanda yang dialami
bertahun-tahun setelah sembuh dari polio. Gejala yang dialami dapat
berupa:
1) Nyeri otot yang bertambah parah
2) Kelelahan
3) Pengecilan otot
4) Kesulitan bernapas dan menelan
5) Gangguan pernapasan saat tidur, seperti sleep apnea ( perhentian napas
sementara saat tidur )
6) Penurunan toleransi terhadap suhu dingin.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi/Determinan


Semakin hari penyakit semakin berkembang dan mulai bermutasi, tetapi
ada juga penyakit yang sudah menghantui masyarakat dunia sejak dulu, salah
satunya disebut sebagai Poliomyelitis atau populer dengan nama penyakit polio.
Berdasarkan kasus terdahulu, polio banyak memakan korban khususnya anak-
anak.
Penyakit ini menular dan disebabkan oleh virus polio, biasanya penderita
dapat tertular dari air atau makanan yang sudah terkontaminasi bisa juga melalui
kontak dengan penderita polio lainnya serta melalui percikan cairan batuk/bersin
penderita di udara. Virus ganas ini menyerang bagian tulang belakang manusia
dan juga otak yang mengakibatkan kelumpuhan serta kematian.
Terlepas dari berbagai masalahnya, pemerintah Indonesia sejak lama
gencar untuk memberikan vaksin pada bayi atau anak-anak untuk mencegah virus
polio menyerang tubuhnya. Kita tidak pernah tahu di mana dan kapan virus
tersebut ada, tetapi selama tubuh sudah dibekali antibodi yang kuat maka akan
mengurangi kemungkinan wabah polio dan nyatanya pemerintah berhasil
mengurangi angka penderita
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran polio:
1. Serumah dengan Penderita
Beberapa orang mungkin terkendala akan biaya rumah sakit atau tempatnya
yang terpencil karena Indonesia masih mengalami masalah fasilitas kesehatan
di tempat-tempat seperti pelosok atau desa, sehingga banyak orang tua atau
keluarga yang merawat penderita polio sendiri di rumah dengan obat seadanya
dan perawatan yang seadanya.
Padahal jika dipaksakan seperti ini virus akan menyebar ke anggota keluarga
yang melakukan kontak fisik, terutama orang tua yang biasanya merawat
anaknya dan tidak ingin meninggalkan jika tidak perlu. Jika sudah tahu ada
salah satu keluarga yang menderita baiknya langsung dibawa ke rumah sakit.

2. Gizi Buruk dan Kekurangan Protein


Bagi anak-anak perbekalan utama untuk menghindari penyakit apapun adalah
gizi yang terpenuhi dan nutrisi yang baik. Nutrisi bayi didapatkan dari ASI dan
orang tua khususnya ibu harus mengonsumsi makanan yang bernutrisi agar
bayi mendapatkan asupan makanan yang tepat. Berikan asupan yang bergizi
dan berprotein tinggi pada anak yang sudah bisa makan sendiri.
Beberapa kasus menjabarkan bahwa gizi buruk memudahkan virus polio masuk
dan menyerang pasien. Sehingga anak-anak yang terkena polio akan
mengalami kelumpuhan dan kondisi tubuhnya juga mengalami kekurangan
nutrisi yang menyedihkan. Polio disertai gizi buruk banyak terjadi di Afrika.

3. Sanitasi yang Buruk


Ketika sanitasi sebuah rumah atau lingkungan buruk maka bukan masalah
bakteri atau sekedar diare saja yang akan melSobat, tetapi virus
dan bakteriofage (virus plus bakteri) akan menyerang siapa saja terutama anak-
anak yang rentan terhadap penyakit. Apalagi virus polio yang bisa menular
hanya dari udara ataupun dari cairan. Air yang tidak bersih dan terkontaminasi
virus bila digunakan sehari-hari dapat menyebabkan penyakit polio.
4. Berkunjung ke Area Wabah
Faktor risiko selanjutnya tentu yang sedang berkunjung ke area yang sedang
terkena wabah polio. Biasanya para tenaga medis yang bertugas maupun para
tentara dan petugas yang sedang dinas dari negara lain. Mereka bisa saja
mengonsumsi makanan di sana dan mendapatkan minuman ataupun makanan
kemudian tertular dari bersin ataupun batuknya.
Sangat mudah menularkan virus hanya dengan berada di sekeliling tempat
tersebut. jika terjadi wabah maka Sobat yang sedang berkunjung baiknya
menghindari dan gunakan alat perlindungan diri lengkap, seperti masker
standar khusus medis dan sarung tangan. Setelah itu segera pergi ke rumah
sakit dan minta untuk diisolasi serta diberikan pertolongan pertama agar tidak
menulari siapapun dan juga bisa segera tertangani sebelum menjadi parah.

5. Terkena Luka Penderita Polio


Luka bisa menyebabkan masalah pada sebagian orang termasuk penderita
polio. Luka terutama di bagian tenggorokan, mata dan juga mulut merupakan
area terlarang di sentuh pada penderita polio. Sehingga jika terjadi luka pada
penderita maka harus ditangani dalam bentuk isolasi dan juga penanganan
khusus. Meskipun hanya luka kecil tetapi penderita bisa menyebabkan virus
menular kemana saja bahkan petugas medis sekalipun.

6. Daya tahan tubuh buruk


Ketika seorang anak atau seseorang yang dewasa mengalami daya tahan tubuh
yang sedang buruk bisa jadi mereka terpapar virus polio yang entah dari mana,
untuk itu daya tahan tubuh benar-benar harus dijaga. Daya tahan tubuh dijaga
dengan nutrisi yang cukup, olahraga yang teratur serta memiliki lingkungan
yang bersih agar terhindar dari paparan virus, bukan hanya polio tapi juga virus
yang lainnya.
7. Tidak Vaksin
Vaksin merupakan salah satu program pemerintah yang berhasil menurunkan
wabah dari penyakit polio, dan vaksin ini diberikan ketika masih bayi atau
anak-anak. Sayangnya beberapa orang memutuskan untuk tidak melakukan
vaksin yang akhirnya menyebabkan virus mudah menular. Jika sudah seperti
ini jelas terjadi masalah karena akan menulari orang lain khususnya keluarga
atau orang-orang terdekat.

F. Komplikasi
Equinus foot (club foot), deformitas, hambatan gerak sendi, skoliosis,
osteoporosis, neuropati dan dampak lainnya sebagai akibat tirah baring lama
merupakan komplikasi yang sering ditemukan (Pontoh and Angliadi, 2015).
Pada sebagian penderita Poliomyelitis biasanya ringan dan tidak
menimbulkan komplikasi. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan
secara penuh. Komplikasi paralisis yang dialami penderita sering terjadi dan
keadaannya bisa menimbulkan kerusakan otot dalam waktu yang panjang.
Komplikasi yang sering terjadi (Nuramdani and Satriyo, 2019), yaitu:
1. Paralisis
Poliomyelitis paralitik mampu menimbulkan paralisis otot sesaat ataupun
permanen. Kondisi paralisis tergantung pada banyaknya sel saraf yang dirusak
oleh virus. Paralisis biasanya menyerang individu yang berusia sekitar 5 tahun
atau di bawah 5 tahun akan menderita paralisis pada satu kaki. Sedangkan jika
terjadi pada usia antara 5 dan 15 tahun umunya akan menderita paralisis satu
atau kedua kaki. Jika terjadi pada usia dewasa lebih berisiko mengalami
paralisis di kedua kaki dan kedua lengan. Poliomyelitis menimbulkan rusaknya
sel-sel yang berfungsi mengontrol otot, sehingga mampu menimbulkan
kecacatan otot. Dampaknya dapat terjai pada inggul, pergelangan kaki dan
kaki. Dapat menyakitkan dan memengaruhi mobilitas akibat kelainan bentuk
otot.
2. Edema Paru
Terjadi kenaikan tekanan di pembuluh darah paru-paru dapat menimbulkan
edema paru. Masuknya cairan ke paru- paru akibat peningkatan tekanan dan
terhentinya penyerapan oksigen. Hal tersebut akan mengganggu fungsi otot
pernapasan dan sebagian orang membutuhkan alat bantu napas berupa
ventilator.

3.Pneumonia Aspirasi
Timbul sebagai akibat adanya peradangan pada jaringan paru dan masuknya
benda asing (cairan lambung) ke jaringan paru. Penderita jenis pneumonia ini
saat otot-otot pernapasan yang dirusak oleh virus. Pada keadaan tersebut yang
memumingkan cairan lambung masuk ke dalam paru- paru.

4. Miokarditis
Miokarditis diakibatkan adanya miokardium yang terinfeksi. Kedaan ini timbul
akibat virus yang merusak beberapa sel saraf otot jantung. Miokarditis ditandai
adanya nyeri dada, detak jantung abnormal (aritmia) dan bisa mengakibatkan
gagal jantung.

5. Depresi
Sebagai dampak polio dapat menimbulkan kelemahan, sebagian penderita bisa
terjadi depresi, terutama bila sudah timbul paralisis. Paralisis atau kelainan otot
bisa mengganggu kekuatan penderita dalam beraktivitas. Penderita polio dapat
mengalami kesulitan menerima kondisi cacat fisik ataupun mental. Oleh karena
itu penderita yang mengalami lumpuh harus diberikan supporting emosional
dan fisik untuk membantu penyembuhan.
G. Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan terhadap penyakit polio dibedakan menjadi tiga
tahapan, yakni sebagai berikut.
1. Pencegahan primer
Beberapa upaya yang dapat dilakukan pada tahap primer dalam mencegah
kasus polio adalah sebagai berikut.
a) Edukasi dan promosi kesehatan, dilakukan dengan cara memberi informasi
tentang polio kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan kepedulian mereka untuk menjaga kesehatan, misalnya dengan
menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene,
memantau status gizi anak, dan edukasi terkait imunisasi polio pada anak.
b) Surveilans acute flaccid paralysis (AFP), yakni bentuk perlindungan
terhadap penyakit polio yang sangat penting bagi keluarga, dan menjadi
program kewaspadaan terhadap penyakit polio di daerah di seluruh
Indonesia dan dunia. Apabila terdapat tanda-tanda lemah pada bagian
ekstremitas atas (lengan) atau bawah (kaki) anak, maka segera
menghubungi petugas kesehatan agar dapat dilakukan pengambilan
spesimen feses untuk dapat diperiksa lebih lanjut, sehingga dapat
menegakkan diagnosis untuk selanjutnya dilakukan perawatan. Spesimen
feses yang sesuai dan memenuhi syarat yakni diambil ≤14 hari setelah
kelumpuhan dan temperatur spesimen berkisar 0-8°C sampai diambil
laboratorium (Kemenkes, 2014).
c) Imunisasi polio reguler dan tambahan menuju eradikasi polio. Jenis vaksin
yang digunakan untuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah monovalent
OPV (mOPV) yang hanya mengandung polio-virus tipe 1 dan lebih aman
karena lebih imunogenik daripada trivalent OPV (tOPV) yang umumnya
digunakan pada imunisasi dasar. Polio-virus ada yang disebut dengan P1,
P2, dan P3 yang menyebabkan penyakit, dengan tipe P1 yang paling
dominan. Sehubungan dengan eradikasi polio, maka dibutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak dan olehnya itu terdapat empat strategi dalam
pemberantasan polio. Pertama, imunisasi polio dilakukan pada semua anak
sebelum usia satu tahun dengan
frekuensi empat kali. Kedua, PIN pada semua anak di bawah lima tahun.
Ketiga, sistem pengamatan dibuat sesuai standar sertifikasi sehingga tidak
ada kasus yang tidak teridentifikasi. Keempat, mengirim tim untuk
melakukan imunisasi secara door to door di daerah suspek polio (Najmah,
2016).

2. Pencegahan sekunder
Upaya yang dapat dilakukan pada tahap sekunder dalam pencegahan kasus
polio adalah sebagai berikut.
a) Isolasi di rumah sakit bagi penderita polio akibat polio-virus liar. Isolasi di
rumah sakit lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan di rumah karena
anggota keluarga sudah terinfeksi terlebih dahulu sebelum diagnosis polio
ditegakkan, mengingat penyakit ini sangat mudah menular.
b) Pengobatan khusus
c) Desinfeksi tenggorokan. Keadaan di Indonesia, di mana beberapa orang
masih memiliki toilet tanpa tangki septik, sangat diperlukan disinfeksi pada
tempat pembuangan ekskreta yang terbuka. Dalam komunitas dengan
sistem pembuangan yang modern dan dilengkapi dengan baik, ekskreta
dapat dialirkan langsung ke sistem pembuangan tanpa terlebih dahulu
dilakukan disinfeksi.
d) Penyakit polio tidak dapat sembuh, oleh karena itu merawat pasien polio
akut perlu pengetahuan dan keterampilan yang tepat, serta peralatan yang
cukup, terutama bagi pasien yang butuh alat bantu napas (Hulu et al.,
2020).

3. Pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier terhadap penyakit polio yakni dengan melakukan
fisioterapi yang dapat membantu dalam rehabilitasi fungsi tubuh pasca lumpuh
akibat polio dan mencegah kelainan bentuk tubuh yang biasanya terjadi
kemudian.
BAB III
EPIDEMIOLOGI

A. Host, Agent & Environment


Pendekatan epidemiologi dalam proses terjadinya penyakit polio
dijelaskan dalam konsep triad epidemiologi berikut.
1. Pejamu (host)
Host dari polio-virus adalah manusia, dimana kelompok yang rentan terkena
virus ini adalah anak usia di bawah lima tahun. Manusia merupakan satu-
satunya reservoir dan sumber penularan pada umumnya adalah penderita tanpa
gejala. Di sebagian besar negara endemik, sekitar 70-80% penderitanya berusia
di bawah 3 tahun, dan 80-90% berusia di bawah 5 tahun. Kelompok resisten
vaksin, minoritas, migran musiman, anak-anak yang tidak terdaftar,
pengembara, pengungsi, dan orang miskin perkotaan berisiko tinggi terinfeksi
vaksin. Anak-anak yang tidak memiliki imunitas yang cukup dapat terinfeksi,
dan hanya sebagian kecil dari mereka yang lumpuh atau meninggal (1 dari
100). Sekitar 100 sampai 1000 anak yang lumpuh karena infeksi polio
terinfeksi tetapi tidak lumpuh. Namun, anak-anak ini dapat menginfeksi anak-
anak lain dengan polio-virus (Hulu et al., 2020).

2. Agen (agent)
Agent polio yakni polio-virus, yaitu golongan virus dari genus Enterovirus.
Ada tiga jenis polio-virus, yaitu tipe 1, 2, dan 3, dan ketiganya dapat menjadi
penyebab kelumpuhan. Polio-virus tipe 1 merupakan tipe yang paling mudah
untuk diisolasi, kemudian diikuti polio-virus tipe 3. Tipe 2 polio-virus adalah
jenis yang paling jarang untuk diisolasi. Adapun kasus polio yang sering
dihubungkan dengan vaksin yakni yang disebabkan oleh polio-virus tipe 2 dan
3 (WHO, 2014).
Tipe 1, 2 dan 3 polio-virus tersusun dari materi RNA yang tertutup oleh kapsid
(bagian terluar virus). Pada prinsipnya, terdapat dua jenis polio-virus yakni
polio-virus liar dan polio-virus bersumber dari imunisasi polio. Polio-virus tipe
1 diisolasi dari hampir semua kelumpuhan dan menyebabkan perkembangan
polio. Polio-virus liar tipe 2 diberantas pada tahun 1999, sedangkan kasus
polio-virus liar tipe 3 sangat jarang terjadi. Sebagian besar kasus yang terkait
dengan atau disebabkan oleh vaksin polio itu sendiri disebabkan oleh tipe 2 dan
3. Polio-virus hanya bisa hidup di usus manusia, yang nantinya akan
bereplikasi memenuhi dinding usus dalam waktu ± 8 minggu. Beberapa virus
dikeluarkan setiap hari melalui feses. Makanan dan minuman yang
terkontaminasi feses dapat menulari orang lain secara langsung atau melalui
tangan yang terkontaminasi oleh feses (Najmah, 2016).

3. Lingkungan (environment)
Epidemi polio terutama disebabkan oleh konsentrasi feses dari pasien polio.
Secara khusus, kasus polio terjadi di daerah dengan kondisi sanitasi buruk
melalui rute faecal-oral dan droplet dari oral ke oral. Infeksi melalui rute
faecal-oral adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi polio-virus
dari feses penderita dan masuk ke mulut orang sehat. Sementara untuk infeksi
dengan rute oral ke oral adalah penyebaran saliva pada pasien yang masuk ke
mulut orang yang sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penularan polio-virus jika infeksi dari oral
ke oral terus meningkat (Polio Eradication Organization, 2015).

GAMBAR 4 TRIAD EPIDEMIOLOGI PENYAKIT POLIO


Riwayat alamiah penyakit polio dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap pre-
patogenesis, patogenesis, dan pasca-patogenesis.

1. Tahap pre-patogenesis
Infeksi berulang dapat terjadi pada berbagai jenis polio-virus. Polio-virus dapat
bertahan pada pengaruh fisik dan kimia serta mampu bertahan hidup kurang
lebih 90-100 hari dalam feses penderita polio. Polio-virus mampu bertahan
lama di air limbah dan air permukaan, bahkan beberapa kilometer dari sumber
penularan. Infeksi utamanya disebabkan oleh kontaminasi (Hulu et al., 2020).

2. Tahap patogenesis
Tahapan patogenesis terdiri atas dua, yaitu masa inkubasi, dan masa penyakit
dini. Masa inkubasi penyakit polio umumnya berlangsung selama 6-20 hari,
dengan rentang waktu antara 3-35 hari (Simbolon, 2019). Pada masa penyakit
dini, kebanyakan orang yang terinfeksi polio biasanya tanpa gejala atau hanya
memperlihatkan gejala seperti flu ringan seperti malaise, demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, dan muntah (Irwan, 2019).Tingkat virulensi menurun 90%
setiap 20 hari di media tanah ketika musim dingin, setiap 1,5 hari di musim
panas, setiap 26 hari di air limbah dengan temperatur 23°C, setiap 5,5 hari di
air bersih, dan setiap 2,5 hari di air laut (Soegijanto, 2016).

3. Tahap pasca-patogenesis
Pada masa penyakit lanjutan, polio-virus dapat bereplikasi di sistem
pencernaan dan dapat dapat menyerang sistem saraf yang menyebabkan
kerusakan sel-sel saraf secara permanen pada beberapa orang. Virus ini
pertama kali menyebar di dinding faring (di dalam tenggorokan) atau di saluran
pencernaan bagian bawah, menyebar ke jaringan limfoid baik lokal maupun
regional, dan menyebar ke aliran darah sebelum menyerang dan menyebar di
jaringan saraf. Pada stadium lanjut ini tidak semua orang biasanya mengalami
kelumpuhan atau bahkan kematian. Satu dari 200 anak polio akan lumpuh
secara permanen, dan 5-10% orang yang lumpuh tersebut meninggal ketika
otot-otot pernapasannya juga lumpuh (Polio Eradication Organization, 2015).

B. Distribusi Frekuensi (Orang, Tempat dan Waktu)


1. Orang : Virus polio tidak memandang siapa orang yang akan dijangkit nya,
tetapi virus ini lebih rentang menjangkit anak-anak yang berusia dibawah
lima tahun.
2. Tempat : Tempat terjadinya virus ini biasanya terjadi apabila lingkungan
orang yang tidak mempunyai sanitasi yang baik, yang mana virus akan
lebih mudah masuk ke dalam air atau makanan.
3. Waktu : Virus ini bisa menjangkit siapapun itu kapan saja.

Onset jenis Status


No Sumber Lokasi Usia
Kelumpuhan kelamin Vaksin
Kasus AFP/ Kab. Pide,
1 9 Oktober 2022 7 Tahun Laki-laki
Lumpuh layuh Prov. Aceh 0
Kasus AFP/ Kab.Aceh Utara,
2 3 Januari 2023 3 Tahun
Lumpuh layuh Prov. Aceh Laki-laki 0
Kasus AFP/ Kab. Bireuen, Prov.
3 13 januari 2023 4 Tahun Laki-laki
Lumpuh layuh Aceh 0
Kasus AFP/ Kab. Purwakarta 16 Februari
4 4 Tahun Perempuan
Lumpuh layuh Prov. Jawa Barat 2023 0
Virus Polio jenis cVDPV2 yang terdampak di provinsi Aceh dan Jawa Barat

1. Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun dari Desa Mane, Kecamatan Mane,
Provinsi Aceh mengalami lumpuh layuh (acute flaccid paralysis/AFP) dengan
onset kelumpuhan pada 09 Oktober 2022. Anak ini tidak memiliki riwayat
perjalanan dan belum menerima vaksin polio (IPV maupun OPV). Konfirmasi
laboratorium VDPV2 didapatkan pada 12 November 2022. Hasil sekuensing
genetik menunjukkan VDPV2 dengan 25 perubahan nukleotida. Hasil
sekuensing genom utuh masih belum tersedia. Pemeriksaan imunoglobulin
kuantitatif menunjukkan bahwa anak ini imunokompeten.

2. Kasus kedua dilaporkan dari Kabupaten Aceh Utara. Seorang anak laki-laki
berusia tiga tahun dari Desa Teupin Gadjah, Kecamatan Tanah Jambo Aye,
Provinsi Aceh mengalami AFP dengan onset kelumpuhan pada 03 Januari
2023. Anak ini belum pernah menerima vaksin polio (IPV maupun OPV) dari
imunisasi rutin tetapi menerima vaksin nOPV2 pada 13 Desember 2022.
Konfirmasi laboratorium didapat pada tanggal 26 Januari 2023. Hasil
sekuensing genom menunjukkan VDPV2 dengan 27 perubahan nukleotida.
Hasil sekuensing genom utuh masih belum tersedia. Hasil pemeriksaan
imunoglobulin kuantitatif masih belum tersedia.

3. Kasus ketiga dilaporkan dari Kabupaten Bireuen. Seorang anak laki-laki


berusia empat tahun dari Desa Meunasah Keutapang, Kecamatan Jeunieb,
Provinsi Aceh mengalami AFP dengan onset kelumpuhan pada 13 Januari
2023. Anak ini tidak memiliki riwayat perjalanan dan belum pernah menerima
vaksin polio (IPV maupun OPV) dari imunisasi rutin tetapi menerima vaksin
nOPV2 pada 6 Desember 2022 dalam Sub PIN putaran pertama. Konfirmasi
laboratorium didapat pada tanggal 7 Februari 2023. Hasil sekuensing genetik
menunjukkan cVDPV2 dengan 34 perubahan nukleotida. Hasil sekuensing
genom utuh dan pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif masih belum tersedia.

4. Kasus keempat dari Kabupaten Purwakarta adalah anak perempuan berusia


empat tahun dari Desa Tegaldatar, Kecamatan Maniis, Provinsi Jawa Barat
mengalami AFP dengan onset kelumpuhan pada 16 Februari 2023. Anak ini
tidak memiliki riwayat perjalanan dan belum pernah menerima vaksin polio
(IPV maupun OPV). Hasil sekuensing genetik menunjukkan cVDPV2 dengan
30 dan 31 perubahan nukleotida. Hasil sekuensing genom utuh dan
pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif masih belum tersedia. Menindaklanjuti
teridentifikasinya kasus terbaru di Jawa Barat, dilakukan penyelidikan
lapangan. Investigasi melibatkan pengumpulan dan analisis 30 sampel feses

5. dari anak-anak sehat di daerah sekitar yang tidak kontak dengan kasus
tersebut. Sampel diuji untuk virus polio. Hasil laboratorium masih belum
tersedia.

Berdasarkan pemeriksaan CDC Atlanta, Kementerian Kesehatan (Kemenkes)


melaporkan bahwa VDPV2 yang diidentifikasi di Kabupaten Pidie tidak memiliki
hubungan genetik dengan VDPV2 yang sebelumnya telah disekuensing dan akan
diidentifikasi sebagai INO-ACE-1. Hasil positif dari anak-anak sehat tersebut juga
telah diperiksa dan memiliki hubungan genetik dengan INO-ACE-1. Dengan
demikian, virus polio tipe 2 ini diklasifikasi sebagai cVDPV2.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Penyakit polio dapat menyerang
semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah 1-15
tahun dari semua kasus polio.
Pengobatan pada penderita polio tidak spesifik. Pengobatan ditujukan
untuk meredakan gejala dan pengobatan suportif untuk meningkatan stamina
penderita. Perlu diberikan pelayanan fisioterapi untuk meminimalkan kelumpuhan
dan menjaga agar tidak terjadi atrofi otot. Perawatan ortopedik tersedia bagi
mereka yang mengalani kelumpuhan menetap. Pengendalian penyakit yang paling
efektif adalah pencegahan melalui vaksinasi dan surveilans AFP (Yungbluth M,
Costello M, 2007).
Dapat disimpulkan dari paparan diatas adalah:
1. Polio merupakan virus yang bisa menyerang siapa saja dan kapan saja tetapi
poliovirus ini lebih rentan menjangkit anak-anak yang berumur 0-12 bulan.
2. Sanitasi dan Lingkungan yang kurang baik adalah salah satu faktor yang
bisa
menyebabkan munculnya poliovirus ini.
3. Tingginya tingkat kurang pengetahuan masyarkat mengenai pentingnya
pemberian imunisasi dasar polio yang dapat menyebabkan anak-anak lebih
mudah dijangkit oleh virus ini.
B. Saran
1. Agar Dinas Kesehatan Prop/Kab/Kota sebagai pembina dan pengawas
fasilitas pelayanan kesehatan untuk berperan aktif dalam membina dan
mengawasi penyelenggaraan imunisasi di setiap sarana kesehatan, karena
tujuan imunisasi selain memberikan perlindungan terhadap penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi, juga mewujudkan penghargaan setiap
orang nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yakni menjadi manusia
yang seutuhnya bebas dari kecacatan.
2. Agar Tenaga Kesehatan selalu memberikan pelayanan imunisasi sesuai
dengan wewenangnya sebagai profesional dan tidak membeda-bedakan
klien berdasarkan baik kedudukan ekonomi maupun kedudukan sosial,
karena hak asasi dari setiap manusia untuk mendapatkan perlindungan
preventif sehingga dapat hidup sebagai manusia sehat yang sesuai dengan
perikemanusiaan yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
bangsa dan Negara sesuai dengan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3. Agar para pengguna jasa imunisasi selalu sadar akan konsekuensi dari
bahaya pandemik yang dapat menyebabkan cacat dan kematian dengan cara
secara berkesinambungan melakukan proses imunisasi yang teratur dan
efektif, karena nilai mewujudkan kehidupan yang sehat menyebabkan juga
terbentuk kehidupan yang sehat mental dan spriritual, sehingga pengguna
jasa imunisasi dapat meningkatkan kesejahteraan sosio ekonomi yang akan
memberikan kebahagiaan pada diri dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Masriadi, S. S. 2014. Buku Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT. Raja Grafindo
Persada. Jawa Barat

Khariri, Puji. 2020. Buku Epidemiologi Penyakit Menular. Medan: PT Yayasan Kita Menulis.
Sumatera Utara.

Solehudin. 2022. Buku Epidemiologi Penyakit Menular. Padang: PT Global Eksekutif


Teknologi. Sumatera Barat.

Maksum Septian Tri, S.KM., M.Kes. 2022. Buku epidemiologi Penyakit Menular. Sukoharjo:
PT. Tahta Media Group. Jawa Tengah.

Yasin, Ahmad. 2016. Asuhan Keperawatan Polio. Prodi D3 Keperawatan. Kabupaten Poso.
Politeknik Kesehatan Palu. Sulawesi Tengah.

Rafiqua Nurul. 2021. Polio. Retrieved from SehatQ.

Sicca Pradita Shintaloka. 2022. Tanda-tanda Penyakit Polio. Retrieved from Kompas.com.

Kementerian Kesehatan (KemenKes. RI). 2023. Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Polio jenis
cVDPV2 di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai