“PENYAKIT POLIO”
Dosen Pengampu :
Zuhrupal Hadi, SKM., M.Kes
Disusun Oleh :
Kelompok 5
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok kami
yang berjudul tentang “Penyakit Polio“ Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang Penyakit polio serta cara
pencegahan dan penanggulangan dengan memberikan imunisasi dasar polio.
Kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu,
memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan
maksimal, tidak menutup kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang baik dari pembaca sekalian. Akhir kata,
kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................................i
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………………
………………………..ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Tujuan.........................................................................................................................7
C. Manfaat......................................................................................................................7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Polio..............................................................................................................8
B. Etiologi......................................................................................................................10
C. Diagnosis..................................................................................................................11
D. Tanda-Tanda Dan Gejala........................................................................................12
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi/Determinan................................................15
F. Komplikasi................................................................................................................18
G. Pencegahan dan Penanggulangan.........................................................................20
BAB III EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
A. Host, Agent & Environment...................................................................................22
B. Distribusi Frekuensi (Orang, Tempat dan Waktu)..............................................25
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................28
B. Saran.........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Polio merupakan (keluarga Picornaviridae), sering disingkat sebagai
"Polio" adalah virus yang paling ditakuti abad ke-20 di dunia yang menghasilkan
permulaan program inisiatif global untuk pemberantasan polio pada tahun 1988.
Sebagian polio positif yang diakibatkan oleh enterovirus RNA ini dikenal dengan
kemampuannya untuk mempengaruhi sebuah bagian dari sumsum tulang
belakang, dan mengakibatkan terjadinya Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau
dapat menyebabkan kematian jika otot pernapasan atau tenggorokan mendapat
lumpuh tetapi untungnya tidak banyak kasus yang terjadi. Terdapat tiga serotypes
dari virus polio, di dunia kasus infeksi dari 1 per 200-2000 kasus tergantung pada
jenis serotype virus. Tingkat fatality biasanya dari 5 hingga 10% dalam kasus-
kasus lumpuh. World Health Organization (WHO) 27 tahun yang lalu telah
mencapai keberhasilan luar biasa dalam mengurangi jumlah polio di negara-
negara endemik, dari 125 negara di penjuru dunia hanya ada 3 negara termasuk
Pakistan, Afghanistan, dan Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV) transmisinya
belum terputus walaupun angka kasus terjadinya polio telah turun dibawah angka
99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per tahun kemudian (Ghafoor &
Sheikh, 2016). Pada bulan Mei 2012, World Health Assembly (WHA)
mendeklarasikan bahwa eradikasi polio adalah salah satu isu kedaruratan
kesehatan masyarakat dan perlu disusun suatu strategi menuju eradikasi polio.
Indonesia telah berhasil menerima sertifikasi bebas polio bersama dengan negara
anggota WHO di South East Asia Region (SEAR) pada bulan Maret 2014,
sementara itu dunia masih menunggu negara lain yang belum bebas polio yaitu
Afganistan, Pakistan dan Nigeria. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut
dan untuk melaksanakan strategi menuju eradikasi polio di dunia, Indonesia
melakukan beberapa rangkaian kegiatan yaitu Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Polio, penggantian vaksin trivalent Oral Polio Vaccine (tOPV) ke bivalent Oral
Polio Vaccine (bOPV) dan introduksi Inactivated Polio Vaccine (IPV). Pada akhir
tahun 2020 diharapkan penyakit polio telah berhasil dihapus dari seluruh dunia
(KESMAS, 2016).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2018 ada sekitar
20 juta anak di dunia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap, bahkan ada
yang tidak mendapatkan imunisasi sama sekali. Padahal Untuk mendapatkan
kekebalan komunitas (herd Immunity) dibutuhkan cakupan imunisasi yang tinggi
(paling sedikit 95%) dan merata. Akan tetapi, masih banyak anak Indonesia belum
mendapatkan imunisasi lengkap. Bahkan ada pula anak yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi sama sekali sejak lahir.(Kemenkes, 2018). Pemberantasan
polio secara global dilaksanakan pada Negara-negara endemic polio seperti
Pakistan, Nigeria dan Afghanistan. Meskipun penurunan keseluruhan insiden
global kasus telah lebih dari 99% (Bandyopadhyay et al., 2015).
Virus polio disebarkan melalui feses-ke- oral dan oral-to-oral
penularan.Dimana sanitasi buruk, tinja ke mulut transmisi mendominasi, tetapi di
sebagian besar tempat, campuran pola penularan cenderung terjadi.Jika sanitasi
dan kebersihan pribadi tidak memadai, yang lainnya bisa terinfeksi melalui tangan
atau makanan yang kotor dan tercemar air. Jadi, imunitas usus penting agar bisa
mencegah penularan (WHO, 2016). Cakupan imunisasi dasar polio di negara-
negara anggota WHO baru mencapai 86% masih terdapat 4% bayi yang belum
sepenuhnya mendapatkan vaksinasi dan tetap berisiko terkena penyakit polio di
dunia (Susanti, 2021). Pada tahun 2018 di kawasan Asia Tenggara masih ada
kasus Polio di beberapa negara seperti Indonesia, Myanmar, Filipina, dan
Malaysia. Jumlah kasus Polio VDPV tipe 1 dari tahun 2018 sampai tahun 2020
berjumlah 12 kasus. Polio VDPV tipe 2 sebanyak 14 kasus dengan positif VDPV
1 sebanyak 19 kasus dan VDPV tipe 2 sebanyak 23 kasus (Kementerian
Kesehatan RI, 2020).
Imunisasi merupakan upaya Kesehatan pada masyarakat paling efektif dan
efisien dalam mencegah beberapa penyakit.Imunisasi terdapat konsep Herd
Immunity atau kekebalan kelompok (Diharja et al.,2020). Dalam program
imunisasi, pemberian Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada bayi, merupakan suatu
keharusan.Segera setelah lahir (sebelum berusia tujuh hari), bayi harus diberikan
imunisasi hepatitis B 0–7 hari (HB 0) satu dosis. Kemudian, pada usia satu bulan,
diberikan satu dosis imunisasi BCG dan imunisasi polio. Usia dua, tiga, dan
empat bulan, diberikan imunisasi pentavalen dan imunisasi polio, masing-masing
satu dosis. Imunisasi campak satu dosis diberikan pada usia sembilan bulan.
(Kemenkes, 2014) Cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia pada tahun
2010 - 2015, mengalami penurunan dan tidak mencapai target. Pada tahun 2010
dan 2011 sebesar 93,3%, dan mengalami penurunan pada tahun 2012- 2014
sehingga menjadi sebesar 86,9% (Safitri et al., 2017). Menurut survei berdasarkan
Data terakhir terdapat total 295 kasus polio di 10 provinsi dan 22 kota di
Indonesia (Widoyono, 2005).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 cakupan pemberian imunisasi
lengkap sebesar 59,2%, imunisasi tidak lengkap sebesar 32,1%, dan tidak pernah
diimunisasi sebesar 8,7%. (Kemenkes RI, 2013) Imunisasi dapat pemberian
kekebalan kepada anak terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
sebelum berusia 12 bulan yaitu tuberkulosis, polio, hepatitis B, difteri, pertusis,
tetanus dan campak (Simatupang, 2020). Data Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, sejak tahun 2014-2016
terdapat 1,7 juta anak belum mendapatkan imunisasi serta belum lengkap status
imunisasinya, dan hanya mencapai 86,8% dan perlu ditingkatkan hingga
mencapai target 93% di tahun 2019. (Rakhmawati et al., 2018).
Penelitian Astuti dan Fitri, (2017), hasinya adalah masih rendah
pencapaian imunisasi dasar lengkap di sebabkan factor tempat pelayanan
imunisasi yang jauh dan sulit terjangkau, jadwal pelayanan tidak teratur, tidak
sesuai dengan kegiatan masyarakat, tidak tersedianya kartu imunisasi, rendahnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang waktu pemberian imunisasi.
Selain itu faktor budaya dan pendidikan serta kondisi sosial ekonomi. Penelitian
Hidayati dan Lidiawati, (2020), hasilnya pengetahuan ibu sangat penting untuk
mengetahui efek samping pemberian imunisasi serta tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi efek samping pada anaknya.Selain itu orang tua harus memiliki
kepatuhan dalam pemberian imunisasi pada anak agar vaksin dapat bekerja secara
maksimal. Penelitian Hartati et al., (2019).
Menurut Sofyan, masalah ini menjadi catatan tersendiri untuk segera
diatasi. Sebab itu Semua Pihak harus mendukung upaya pemberantasannya
melalui gerakan imunisasi nasional melalui Imunisasi Nasional di North Carolina
(PIN). Keberhasilan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2006 di daerah sangat
tergantung pada peranan pemerintah daerah. Oleh karena itu, demi menyongsong
hari depan anak Indonesia yang berkualitas.
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit. Imunisasi sendiri sebetulnya sudah
berlangsung cukup lama, misalnya menurut hikayat Raja Pontus, sang raja
melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik,
sedangkan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies menjadi basis
pendekatan pembuatan vaksin rabies (Proverawati, 2010:1)
Poliomyelitis (polio) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dan sebagian besar menyerang anak-anak berusia di bawah 5 tahun. Polio tidak
ada obatnya, pertahanan satu-satunya adalah imunisasi. Virus polio masuk ke
tubuh melalui mulut, dari air atau makanan yang tercemar kotoran penderita polio.
Juga disebabkan kurang terjaganya kebersihan diri dan lingkungan. Virus ini
menyerang system syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan seumur hidup
dalam waktu beberapa lama (Viasofiana, 2013).
Indonesia pernah bebas polio selama 10 tahun sebelum kembali terjangkit
oleh suatu virus yang dibawa masuk dari luar negeri ke tanah air. Indonesia telah
melaksanakan program eradikasi polio dengan melakukan program imunisasi
polio secara intensif di seluruh Indonesia melalui program pengembangan
imunisasi/PPI sejak tahun 1980. Tahun 1980 program vaksinasi polio dimulai dan
pada tahun 1990 cakupan imunisasi rutin > 90%. Jumlah kasus polio di Indonesia
telah berhasil diturunkan sebesar 97% yaitu dan 773 kasus pada tahun 1988
menjadi 23 kasus yang dilaporkan pada tahun 1993. Tahun 1995 virus polio liar
terakhir ditemukan di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap, Palembang, dan
Medan. Sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi kasus polio liar di
Indonesia dan direncanakan bebas polio tahun 2005 oleh WHO.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang kejadian ikutan pasca imunisasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Erfandi (2009), faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan, media massa/informasi, social
budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia. Faktor kekurangtahuan
menimbulkan kekhawatiran dan keengganan orang tua untuk mengikut sertakan
anaknya dalam program imunisasi. Kekhawatiran tersebut akhirnya tidak saja
ditujukan pada efek samping vaksin yang memang merupakan bagian dari
mekanisme kerja vaksin tetapi telah meluas pada semua morbiditas serta kejadian
yang terjadi pada imunisasi yang sangat mungkin sebetulnya tidak terhubung
dengan vaksin dan tindakan imunisasi. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya imunisasi menyebabkan penolakan program imunisasi serta akan
enggan mengimunisasikan bayinya karena setelah imunisasi bayi akan demam.
Walaupun orangtua dan dokter sering khawatir bila terjadi Kejadian Ikutan
Paska Imunisasi. Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI
(KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI
dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau
bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi
pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain
pada resipien nonimunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi
polio.
Pada 27 Februari 2023, WHO dan UNICEF mendampingi Dinas
Kabupaten (Dinkes) Kota Banda Aceh dalam sebuah pertemuan dengan para
kepala sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) di Banda Aceh. Banyak
sekolah masih belum mencapai target, dan banyak PAUD belum melakukan
imunisasi sama sekali. Beberapa hambatan yang dihadapi adalah tidak
didapatkannya izin dari orang tua untuk imunisasi dan terkait pemberian obat
cacing secara bersamaan. Selain itu, pada 28 Februari, UNICEF dan WHO
mengadakan pertemuan koordinasi dengan asisten wali kota Banda Aceh, Dinas
Kesehatan Kota Banda Aceh, camat, dan puskesmas. Pertemuan ini bertujuan
membahas tantangan dan solusi mencapai cakupan yang tinggi dan merata.
Setelah kegiatan tersebut, cakupan sub-Pekan Imunisasi Nasional (PIN) di Banda
Aceh pada anak usia 0-59 bulan mengalami peningkatan dari 44.9% per 27
Februari menjadi 58.7% per 12 Maret.
Pada tanggal 7-10 Maret 2023, Kementerian Kesehatan dan WHO
mengadakan workshop penguatan surveilans AFP di Sumatra Utara, yang dihadiri
lebih dari 130 peserta dari Dinas Kesehatan Provinsi, 33 Dinas Kesehatan
Kabupaten/kota, dan 33 rumah sakit. Dalam kegiatan ini, WHO memaparkan
bagaimana penemuan kasus, pencatatan, dan pelaporan di rumah sakit dapat
ditingkatkan. Salah satu tindak lanjut utama adalah menunjuk tim surveilans
rumah sakit untuk meningkatkan penemuan kasus, khususnya untuk rumah sakit
rumah sakit yang menghadiri kegiatan ini.
Pada 27 Februari 2023, petugas surveilans, kepala pencegahan dan
pengendalian penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra, dan WHO
mengadakan rapat koordinasi untuk membahas strategi peningkatan kinerja
surveilans AFP dan mengidentifikasi tantangan yang dihadapi daerah-daerah yang
tidak melaporkan kasus AFP dalam waktu 6 sampai 12 bulan atau lebih (silent
district). Pada hari berikutnya, pertemuan daring diadakan untuk mengingatkan
kembali mengenai surveilans AFP dan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) lain, penguatan komitmen, dan sosialisasi tentang peningkatkan
angka AFP non polio di atas target >3 per 100 000 penduduk. Dalam pelatihan ini
sekitar 140 petugas surveilans dari 33 kabupaten/kota hadir.
Berdasarkan data per 15 Maret 2023, angka non-polio AFP (NPAFP)
adalah 4,9 per 100 000 penduduk usia <15 tahun dengan spesimen adekuat tahun
2022 sebesar 56,3%. Terdapat empat kabupaten/kota yang termasuk silent
districts1 di Aceh yaitu Kota Lhokseumawe, Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten
Aceh Tenggara, dan Kota Subulussalam. Pada 2023, terdapat 25 kasus AFP yang
dilaporkan dari sembilan kabupaten/kota di Aceh, dengan angka annualized
(disetahunkan) NPAFP 2,3 per 100 000 populasi <15 tahun dengan keadekuatan
spesimen 86,7%.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Frekuensi (jumlah) dari penyakit polio menjadi salah satu masalah
kesehatan di provinsi aceh dan provinsi jawa barat. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan tentang imunisasi/vaksin polio.
2. Distribusi (penyebaran) masalah penyakit polio menujukkan kepada semua
kelompok seperti (umur, jenis kelamin, pekerjaan yang beresiko).
3. Determinan (faktor yang mempengaruhi) penyakit polio lebih merujuk
kepada faktor-faktor terjadinya polio baik membahas frekuensi, distribusi
dan determinan.
C. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini ialah sebagai berikut:
Makalah ini bermanfaat agar masyarakat dapat mengetahui seberapa pentingnya
pemberian imunisasi dasar sejak lahir serta mengetahui bagaimana mekanisme
terjadinya penyakit Polio dan bagaimana upaya pencegahan penanggulangan virus
Poliomyelitis.
Dengan demikian, diharapkan agar masyarakat dapat ikut serta dalam mengikuti
imunisasi yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan sehingga virus polio ini
dapat dicegah sebelum menyerang anak-anak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Polio
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan
melemahnya otot dan kadang kelumpuhan. Penyakit polio dapat menyerang
semua kelompok umur, namun kelompok umur yang paling rentan adalah 1-15
tahun dari semua kasus polio.
Penelitian Soemiatno dalam Apriyatmoko (1999) menyebutkan bahwa
33,3% dari kasus polio adalah anak-anak di bawah 5 tahun. Infeksi oleh golongan
enterovirus lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada wanita (1,5-2,5 : 1).
C. Diagnosis
Diagnosis polio biasanya dilakukan oleh dokter sesuai dengan gejalanya.
Seperti leher dan punggung yang kaku sehingga orang yang tekena virus ini akan
mengalami kesulitan menelan dan bernapas. Dalam memastikan diagnosis ini,
dokter perlu mengambil sampel yang akan diuji di laboraturium untuk
mendiagnosis ada tidaknya keberadaan virus polio.
Virus polio dapat terdeteksi di dalam sampel spesimen yang telah diambil
melalui tenggorokan, feses (tinja), dan terkadang cairan serebrospinal. Dari
spesismen tersebut, dokter akan mampu mendeteksi keberadaan virus melalui
beberapa metode, yaitu:
2. Kultur Tenggorokan
Dengan menggunakan sampel tenggorokan mungkin berguna dalam
mendiagnosis poliomyelitis, terutama jika pasien diketahui tidak pernah
menerima vaksinasi polio dengan pengambilan sampel serum akut yang harus
diperoleh sedini mungkin dalam perjalanan penyakit, dan sampel tersebut
dalam masa pemulihan dapat diperoleh setidaknya dalam kurun waktu 3
minggu kedepan.
3. Cairan Serebrospinal (CSF)
Diagnosis dengan menggunakan cairan serebrospinal ini dokter akan
menyuntik bagian tulang belakang dan mengambil cairan yang ditemukan.
Cairan ini mengelilingi selururh sistem saraf pusat, mengelilingi otak, dan
juga melapisis saraf tulang belakang.Metode pengambilan sampel cairan
serebrospinal ini adalah cara yang paling akurat, perlu diingat bahwa myelitis
merupakan peradangan pada bagian tulang belakang.
b) Poliomyelitis Abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemis. Terutama
yang diketahui pernah berkontak langsung dengan penderita poliomyelitis
yang jelas diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemic.
Gejala yang timbul berupa infeksi virus, seperti:
1) Malaise
2) Anoreksi
3) Nausea
4) Muntah
5) Nyeri kepala
6) Nyeri tenggorokan
7) Konstipasi
8) Nyeri abdomen
Gejala ini biasanya menghilang dalam seminggu. Pada beberapa kasus,
virus polio dapat menyerang saraf tulang belakang dan dasar otak. Kondisi
ini akan menyebabkan kelumpuhan, yang muncul dalam kurun waktu
beberapa jam sampai beberapa hari. Kelumpuhan biasanya tidak bersifat
permanen, dan membaik dalam beberapa minggu atau bulan.
F. Komplikasi
Equinus foot (club foot), deformitas, hambatan gerak sendi, skoliosis,
osteoporosis, neuropati dan dampak lainnya sebagai akibat tirah baring lama
merupakan komplikasi yang sering ditemukan (Pontoh and Angliadi, 2015).
Pada sebagian penderita Poliomyelitis biasanya ringan dan tidak
menimbulkan komplikasi. Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan
secara penuh. Komplikasi paralisis yang dialami penderita sering terjadi dan
keadaannya bisa menimbulkan kerusakan otot dalam waktu yang panjang.
Komplikasi yang sering terjadi (Nuramdani and Satriyo, 2019), yaitu:
1. Paralisis
Poliomyelitis paralitik mampu menimbulkan paralisis otot sesaat ataupun
permanen. Kondisi paralisis tergantung pada banyaknya sel saraf yang dirusak
oleh virus. Paralisis biasanya menyerang individu yang berusia sekitar 5 tahun
atau di bawah 5 tahun akan menderita paralisis pada satu kaki. Sedangkan jika
terjadi pada usia antara 5 dan 15 tahun umunya akan menderita paralisis satu
atau kedua kaki. Jika terjadi pada usia dewasa lebih berisiko mengalami
paralisis di kedua kaki dan kedua lengan. Poliomyelitis menimbulkan rusaknya
sel-sel yang berfungsi mengontrol otot, sehingga mampu menimbulkan
kecacatan otot. Dampaknya dapat terjai pada inggul, pergelangan kaki dan
kaki. Dapat menyakitkan dan memengaruhi mobilitas akibat kelainan bentuk
otot.
2. Edema Paru
Terjadi kenaikan tekanan di pembuluh darah paru-paru dapat menimbulkan
edema paru. Masuknya cairan ke paru- paru akibat peningkatan tekanan dan
terhentinya penyerapan oksigen. Hal tersebut akan mengganggu fungsi otot
pernapasan dan sebagian orang membutuhkan alat bantu napas berupa
ventilator.
3.Pneumonia Aspirasi
Timbul sebagai akibat adanya peradangan pada jaringan paru dan masuknya
benda asing (cairan lambung) ke jaringan paru. Penderita jenis pneumonia ini
saat otot-otot pernapasan yang dirusak oleh virus. Pada keadaan tersebut yang
memumingkan cairan lambung masuk ke dalam paru- paru.
4. Miokarditis
Miokarditis diakibatkan adanya miokardium yang terinfeksi. Kedaan ini timbul
akibat virus yang merusak beberapa sel saraf otot jantung. Miokarditis ditandai
adanya nyeri dada, detak jantung abnormal (aritmia) dan bisa mengakibatkan
gagal jantung.
5. Depresi
Sebagai dampak polio dapat menimbulkan kelemahan, sebagian penderita bisa
terjadi depresi, terutama bila sudah timbul paralisis. Paralisis atau kelainan otot
bisa mengganggu kekuatan penderita dalam beraktivitas. Penderita polio dapat
mengalami kesulitan menerima kondisi cacat fisik ataupun mental. Oleh karena
itu penderita yang mengalami lumpuh harus diberikan supporting emosional
dan fisik untuk membantu penyembuhan.
G. Pencegahan dan Penanggulangan
Upaya pencegahan terhadap penyakit polio dibedakan menjadi tiga
tahapan, yakni sebagai berikut.
1. Pencegahan primer
Beberapa upaya yang dapat dilakukan pada tahap primer dalam mencegah
kasus polio adalah sebagai berikut.
a) Edukasi dan promosi kesehatan, dilakukan dengan cara memberi informasi
tentang polio kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran
dan kepedulian mereka untuk menjaga kesehatan, misalnya dengan
menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene,
memantau status gizi anak, dan edukasi terkait imunisasi polio pada anak.
b) Surveilans acute flaccid paralysis (AFP), yakni bentuk perlindungan
terhadap penyakit polio yang sangat penting bagi keluarga, dan menjadi
program kewaspadaan terhadap penyakit polio di daerah di seluruh
Indonesia dan dunia. Apabila terdapat tanda-tanda lemah pada bagian
ekstremitas atas (lengan) atau bawah (kaki) anak, maka segera
menghubungi petugas kesehatan agar dapat dilakukan pengambilan
spesimen feses untuk dapat diperiksa lebih lanjut, sehingga dapat
menegakkan diagnosis untuk selanjutnya dilakukan perawatan. Spesimen
feses yang sesuai dan memenuhi syarat yakni diambil ≤14 hari setelah
kelumpuhan dan temperatur spesimen berkisar 0-8°C sampai diambil
laboratorium (Kemenkes, 2014).
c) Imunisasi polio reguler dan tambahan menuju eradikasi polio. Jenis vaksin
yang digunakan untuk Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah monovalent
OPV (mOPV) yang hanya mengandung polio-virus tipe 1 dan lebih aman
karena lebih imunogenik daripada trivalent OPV (tOPV) yang umumnya
digunakan pada imunisasi dasar. Polio-virus ada yang disebut dengan P1,
P2, dan P3 yang menyebabkan penyakit, dengan tipe P1 yang paling
dominan. Sehubungan dengan eradikasi polio, maka dibutuhkan kerjasama
dari berbagai pihak dan olehnya itu terdapat empat strategi dalam
pemberantasan polio. Pertama, imunisasi polio dilakukan pada semua anak
sebelum usia satu tahun dengan
frekuensi empat kali. Kedua, PIN pada semua anak di bawah lima tahun.
Ketiga, sistem pengamatan dibuat sesuai standar sertifikasi sehingga tidak
ada kasus yang tidak teridentifikasi. Keempat, mengirim tim untuk
melakukan imunisasi secara door to door di daerah suspek polio (Najmah,
2016).
2. Pencegahan sekunder
Upaya yang dapat dilakukan pada tahap sekunder dalam pencegahan kasus
polio adalah sebagai berikut.
a) Isolasi di rumah sakit bagi penderita polio akibat polio-virus liar. Isolasi di
rumah sakit lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan di rumah karena
anggota keluarga sudah terinfeksi terlebih dahulu sebelum diagnosis polio
ditegakkan, mengingat penyakit ini sangat mudah menular.
b) Pengobatan khusus
c) Desinfeksi tenggorokan. Keadaan di Indonesia, di mana beberapa orang
masih memiliki toilet tanpa tangki septik, sangat diperlukan disinfeksi pada
tempat pembuangan ekskreta yang terbuka. Dalam komunitas dengan
sistem pembuangan yang modern dan dilengkapi dengan baik, ekskreta
dapat dialirkan langsung ke sistem pembuangan tanpa terlebih dahulu
dilakukan disinfeksi.
d) Penyakit polio tidak dapat sembuh, oleh karena itu merawat pasien polio
akut perlu pengetahuan dan keterampilan yang tepat, serta peralatan yang
cukup, terutama bagi pasien yang butuh alat bantu napas (Hulu et al.,
2020).
3. Pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier terhadap penyakit polio yakni dengan melakukan
fisioterapi yang dapat membantu dalam rehabilitasi fungsi tubuh pasca lumpuh
akibat polio dan mencegah kelainan bentuk tubuh yang biasanya terjadi
kemudian.
BAB III
EPIDEMIOLOGI
2. Agen (agent)
Agent polio yakni polio-virus, yaitu golongan virus dari genus Enterovirus.
Ada tiga jenis polio-virus, yaitu tipe 1, 2, dan 3, dan ketiganya dapat menjadi
penyebab kelumpuhan. Polio-virus tipe 1 merupakan tipe yang paling mudah
untuk diisolasi, kemudian diikuti polio-virus tipe 3. Tipe 2 polio-virus adalah
jenis yang paling jarang untuk diisolasi. Adapun kasus polio yang sering
dihubungkan dengan vaksin yakni yang disebabkan oleh polio-virus tipe 2 dan
3 (WHO, 2014).
Tipe 1, 2 dan 3 polio-virus tersusun dari materi RNA yang tertutup oleh kapsid
(bagian terluar virus). Pada prinsipnya, terdapat dua jenis polio-virus yakni
polio-virus liar dan polio-virus bersumber dari imunisasi polio. Polio-virus tipe
1 diisolasi dari hampir semua kelumpuhan dan menyebabkan perkembangan
polio. Polio-virus liar tipe 2 diberantas pada tahun 1999, sedangkan kasus
polio-virus liar tipe 3 sangat jarang terjadi. Sebagian besar kasus yang terkait
dengan atau disebabkan oleh vaksin polio itu sendiri disebabkan oleh tipe 2 dan
3. Polio-virus hanya bisa hidup di usus manusia, yang nantinya akan
bereplikasi memenuhi dinding usus dalam waktu ± 8 minggu. Beberapa virus
dikeluarkan setiap hari melalui feses. Makanan dan minuman yang
terkontaminasi feses dapat menulari orang lain secara langsung atau melalui
tangan yang terkontaminasi oleh feses (Najmah, 2016).
3. Lingkungan (environment)
Epidemi polio terutama disebabkan oleh konsentrasi feses dari pasien polio.
Secara khusus, kasus polio terjadi di daerah dengan kondisi sanitasi buruk
melalui rute faecal-oral dan droplet dari oral ke oral. Infeksi melalui rute
faecal-oral adalah makanan atau minuman yang terkontaminasi polio-virus
dari feses penderita dan masuk ke mulut orang sehat. Sementara untuk infeksi
dengan rute oral ke oral adalah penyebaran saliva pada pasien yang masuk ke
mulut orang yang sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penularan polio-virus jika infeksi dari oral
ke oral terus meningkat (Polio Eradication Organization, 2015).
1. Tahap pre-patogenesis
Infeksi berulang dapat terjadi pada berbagai jenis polio-virus. Polio-virus dapat
bertahan pada pengaruh fisik dan kimia serta mampu bertahan hidup kurang
lebih 90-100 hari dalam feses penderita polio. Polio-virus mampu bertahan
lama di air limbah dan air permukaan, bahkan beberapa kilometer dari sumber
penularan. Infeksi utamanya disebabkan oleh kontaminasi (Hulu et al., 2020).
2. Tahap patogenesis
Tahapan patogenesis terdiri atas dua, yaitu masa inkubasi, dan masa penyakit
dini. Masa inkubasi penyakit polio umumnya berlangsung selama 6-20 hari,
dengan rentang waktu antara 3-35 hari (Simbolon, 2019). Pada masa penyakit
dini, kebanyakan orang yang terinfeksi polio biasanya tanpa gejala atau hanya
memperlihatkan gejala seperti flu ringan seperti malaise, demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan, dan muntah (Irwan, 2019).Tingkat virulensi menurun 90%
setiap 20 hari di media tanah ketika musim dingin, setiap 1,5 hari di musim
panas, setiap 26 hari di air limbah dengan temperatur 23°C, setiap 5,5 hari di
air bersih, dan setiap 2,5 hari di air laut (Soegijanto, 2016).
3. Tahap pasca-patogenesis
Pada masa penyakit lanjutan, polio-virus dapat bereplikasi di sistem
pencernaan dan dapat dapat menyerang sistem saraf yang menyebabkan
kerusakan sel-sel saraf secara permanen pada beberapa orang. Virus ini
pertama kali menyebar di dinding faring (di dalam tenggorokan) atau di saluran
pencernaan bagian bawah, menyebar ke jaringan limfoid baik lokal maupun
regional, dan menyebar ke aliran darah sebelum menyerang dan menyebar di
jaringan saraf. Pada stadium lanjut ini tidak semua orang biasanya mengalami
kelumpuhan atau bahkan kematian. Satu dari 200 anak polio akan lumpuh
secara permanen, dan 5-10% orang yang lumpuh tersebut meninggal ketika
otot-otot pernapasannya juga lumpuh (Polio Eradication Organization, 2015).
1. Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun dari Desa Mane, Kecamatan Mane,
Provinsi Aceh mengalami lumpuh layuh (acute flaccid paralysis/AFP) dengan
onset kelumpuhan pada 09 Oktober 2022. Anak ini tidak memiliki riwayat
perjalanan dan belum menerima vaksin polio (IPV maupun OPV). Konfirmasi
laboratorium VDPV2 didapatkan pada 12 November 2022. Hasil sekuensing
genetik menunjukkan VDPV2 dengan 25 perubahan nukleotida. Hasil
sekuensing genom utuh masih belum tersedia. Pemeriksaan imunoglobulin
kuantitatif menunjukkan bahwa anak ini imunokompeten.
2. Kasus kedua dilaporkan dari Kabupaten Aceh Utara. Seorang anak laki-laki
berusia tiga tahun dari Desa Teupin Gadjah, Kecamatan Tanah Jambo Aye,
Provinsi Aceh mengalami AFP dengan onset kelumpuhan pada 03 Januari
2023. Anak ini belum pernah menerima vaksin polio (IPV maupun OPV) dari
imunisasi rutin tetapi menerima vaksin nOPV2 pada 13 Desember 2022.
Konfirmasi laboratorium didapat pada tanggal 26 Januari 2023. Hasil
sekuensing genom menunjukkan VDPV2 dengan 27 perubahan nukleotida.
Hasil sekuensing genom utuh masih belum tersedia. Hasil pemeriksaan
imunoglobulin kuantitatif masih belum tersedia.
5. dari anak-anak sehat di daerah sekitar yang tidak kontak dengan kasus
tersebut. Sampel diuji untuk virus polio. Hasil laboratorium masih belum
tersedia.
Dr. H. Masriadi, S. S. 2014. Buku Epidemiologi Penyakit Menular. Depok: PT. Raja Grafindo
Persada. Jawa Barat
Khariri, Puji. 2020. Buku Epidemiologi Penyakit Menular. Medan: PT Yayasan Kita Menulis.
Sumatera Utara.
Maksum Septian Tri, S.KM., M.Kes. 2022. Buku epidemiologi Penyakit Menular. Sukoharjo:
PT. Tahta Media Group. Jawa Tengah.
Yasin, Ahmad. 2016. Asuhan Keperawatan Polio. Prodi D3 Keperawatan. Kabupaten Poso.
Politeknik Kesehatan Palu. Sulawesi Tengah.
Sicca Pradita Shintaloka. 2022. Tanda-tanda Penyakit Polio. Retrieved from Kompas.com.
Kementerian Kesehatan (KemenKes. RI). 2023. Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Polio jenis
cVDPV2 di Indonesia.