Anda di halaman 1dari 31

Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah 1

Penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Disusun Oleh

Kelompok 1

Nama : 1. Fadila Anggraini (PO.71.20.1.20.001)


2. Rini Widyastuti (PO.71.20.1.20.002)
3. Tasyah Bella Octavia (PO.71.20.1.20.003)
4. Imadatul Biladiah (PO.71.20.1.20.004)
5. Afifah Kristianti Nur Asri (PO.71.20.1.20.005)
6. Surya Tirta Samudra (PO.71.20.1.20.006)
7. Desti Aliah Faradika (PO.71.20.1.20.007)
8. Maharani (PO.71.20.1.20.008)
9. Fiona Fitria Farera (PO.71.20.1.20.009)
10. Nadinda Nathania (PO.71.20.1.20.010)
11. Sisilia Khusnul Khotimah (PO.71.20.1.20.011)
Kelas/Semester : Tingkat II (A)/Semester III
Dosen Pengampu : Sulaiman, M. Pd., M.Kes

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2020-2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulilah puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah I yang berjudul “Penyakit Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS)” dengan baik.

Dalam penyusunan makalah ini, dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai
pihak, kami telah berusaha untuk memberikan yang terbaik, walaupun didalam
pembuatannya kami mengalami kesulitan, karna keterbatasan kemampuan dan
ilmu yang kita miliki. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin
mengucapkan terima kasih terkhusus kepada Bapak Sulaiman, M. Pd., M.Kes
selaku dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Kami juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sekalian yang telah
memberi dorongan dan dukungan kepada kami.

Kami menyadari bahwa penulisan studi literatur ini masih banyak kekurangan,
oleh karna itu kami membutuhkan saran dan kritik yang membangun saat kami
butuhkan agar dapat memperbaikinya di masa yang akan datang. Semoga apa
yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi tema-teman yang
berkepentingan.

Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.

Palembang, 13 September 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi HIV/AIDS ............................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ........................................................................................ 5
2.3 Masa Inkubasi ....................................................................................... 7
2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 10
2.5 Tanda dan Gejala .................................................................................. 11
2.6 Faktor Penyebab.................................................................................... 12
2.7 Stadium Penyakit .................................................................................. 13
2.8 Penularan HIV/AIDS ............................................................................ 14
2.9 Penatalaksanaan .................................................................................... 15
2.10 Progam Pemerintah dalam Menanggulangi HIV/AIDS .......................... 20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 26
3.2 Saran .................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah penyakit yang


disebabkan oleh virus HIV dan menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sindrom atau kumpulan
gejala yang timbul karena sangat turunnya kekebalan tubuh penderita HIV dan
merupakan stadium akhir dari HIV. Menurut WHO, total penderita HIV lebih
dari 35 juta jiwa. Pada tahun 2017, 940.000 orang meninggal karena penyebab
HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2017
dengan 1,8 juta orang terinfeksi baru pada tahun 2017.

Pada tahun 2017 diperkirakan 47% infeksi baru terjadi diantara populasi kunci
dan pasangannya.Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017 terdapat
33.660 kasus baru HIV di Indonesia. Di Indonesia jumlah kumulatif AIDS dari
tahun 1987-2017 terdapat 97.942 kasus, untuk kasus baru AIDS pada tahun 2017
terdapat 4.555 kasus. Jumlah kasus AIDS di DIY dari tahun 1987-2017 terdapat
1.403 kasus, dan pada tahun 2017 terdapat 42 kasus baru AIDS.Menurut
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, data kasus HIV dan
AIDS di Yogyakarta periode 1993 – Maret 2015 berjumlah 3.106 orang. Pada
tahun 2013 di DIY ditemukan orang dengan HIV/AIDS sebanyak 2.422 orang.
Pada tahun 2014 sebanyak 2.933 orang dan pada tahun 2015 sebanyak 3.106.4
Profil Kesehatan Kabupaten DIY tahun 2017 mengungkapkan bahwa total
penderita HIV di DIY tahun 2013 adalah 1.323 orang dan total penderita AIDS
di DIY adalah 965 orang. Kejadian HIV pada tahun 2014 untuk laki-laki 1.118
dan perempuan 377 kasus, sedangkan AIDS untuk laki-laki 802 kasus dan
perempuan 366 kasus. Kasus HIV laki-laki di tahun 2015 adalah 2.078 orang,
perempuan 1.000 orang, sedangkan AIDS laki-laki 830 orang dan perempuan
409 orang. .

Pada tahun 2017 kasus HIV meningkat menjadi 2.676 pada laki-laki dan 1.261
pada perempuan. Kemudian yang sudah positif AIDS adalah 985 pada laki-laki

1
dan 490 pada perempuan. Faktor risiko HIV/AIDS yang paling banyak
ditemukan di DIY adalah heteroseksual (51%). Hanya sebagian kecil HIV/AIDS
yang disebabkan oleh transfusi darah dan biseksual (1%). Selain itu, masih
banyak kasus HIV/AIDS yang belum diketahui penyebab pastinya (25%).1
Jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di DIY terdapat di Kabupaten Sleman yaitu
pada tahun 2015 berjumlah 1.038 kasus dan pada tahun 2016 berjumlah 1.220
kasus. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Sleman tahun 2018 surveilans
HIV/AIDS dalam kurun waktu 2004 sampai tahun 2017, didapatkan jumlah total
penderita HIV/AIDS sebanyak 945 kasus. Jumlah tersebut sudah termasuk kasus
baru HIV/AIDS di tahun 2017, sebanyak 105 kasus, dari 868 kasus tersebut
jumlah yang masih hidup 873 orang, meninggal 63 orang, tidak diketahui 9
orang, sehingga prevalensi HIV/AIDS di Kabupaten Sleman 0,08%.
Berdasarkan jenis kelamin, penderita laki-laki 656 orang, perempuan 264 orang,
dan tidak diketahui jenis kelaminnya sebanyak 25 orang. Faktor resiko penularan
terbesar adalah heteroseksual 489 (51,74%), tidak diketahui 162 orang (17,14%),
homoseksual 167 orang (17,67%), penasun 88 orang (9,31%), perinatal 17 orang
(1,73%), biseksual 19 orang (1,79%), serta transfusi 2 kasus (0,21%), dengan
persentase terbanyak adalah umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 355 orang (37,35
%).

Virus HIV menghancurkan dan merusak fungsi sel kekebalan, sehingga individu
yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi. Imunodefisiensi
menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap berbagai macam infeksi, kanker
dan penyakit lain yang orang dengan sistem kekebalan yang sehat dapat
melawan. Tahap paling lanjut dari infeksi HIV adalah AIDS, yang dapat
berlangsung dari 2 hingga 15 tahun untuk berkembang tergantung pada individu.
AIDS didefinisikan oleh perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi
klinis berat lainnya. Penyakit HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih
di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh
manusia dan membuatnya lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh
dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan bisa menyebabkan kematian.

WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu tentang posisi


mereka di konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan dalam

2
kaitannya dengan tujuan, harapan, standar, dan kekhawatiran.Kualitas hidup
dapat didefinisikan sebagai evaluasi multidimensi subjektif dari fungsi dan
kesejahteraan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat berbagai faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup diantaranya kepatuhan penggunaan obat
antriretroviral. Meningkatnya ketersediaan antiretroviral (ARV) dan akses ke
diagnosis HIV dini menyebabkan kualitas hidup pasien HIV menjadi
membaik.Berdasarkan penelitian Ma Liping et al. di China pada tahun 2015,
ARV ditemukan menjadi faktor terkuat pertama yang mempengaruhi kualitas
hidup orang dengan HIV/AIDS.Menurut penelitian Charles, orang dengan
HIV/AIDS yang menerima kurang atau sedang dukungan sosial tahun 2011
dijelaskan bahwa ODHA mengalami stigma yang lebih tinggi memperoleh skor
yang lebih rendah secara psikologis, lingkungan dan spiritualitas/ agama/
kepercayaan pribadi domain dari kualitas hidup. Faktor-faktor demografi juga
mempengaruhi kualitas hidup seperti hasil penelitian Akinboro et al. di Nigeria
pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ODHA yang berusia ≤30 tahun memiliki
kualitas hidup yang lebih baik. Kemudian kualitas hidup yang lebih baik
ditemukan pada orang yang berpendidikan baik, pada subjek dengan pendidikan
tersier atau tinggi didapatkan kualitas hidup yang lebih baik, dan analisis
multivariat menunjukkan bahwa kualitas hidup lebih buruk pada pekerja
lepas.Berdasarkan penelitian Kusuma di Jakarta pada tahun 2011
mengungkapkan bahwa responden dengan penghasilan keluarga rendah beresiko
untuk memiliki kualitas hidup kurang baik. Penelitian Ethel di Semarang pada
tahun 2016 mengungkapkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara lama
menderita dengan kualitas hidup pada domain psikologis pasien HIV/AIDS
RSUP Dr. Kariadi. Berdasarkan adanya permasalahan di atas, peneliti ingin
mengadakan penelitian tentang hubungan antara lama terdiagnosa dengan
kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS di Yayasan Victory Plus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu penyakit HIV/AIDS?
2. Bagaimana epidemiologi dari HIV/AIDS?
3. Apa itu masa inkubasi serta patofiologi?

3
4. Bagaimana tanda dan gejala HIV/AIDS?
5. Apa saja faktor penyebab HIV/AIDS?
6. Apa itu stadium penyakit?
7. Bagaimana penularan HIV/AIDS?
8. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS?
9. Bagaimana program pemerintah dalam penanggulangan penyakit
HIV/AIDS?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa itu penyakit HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi dari HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui apa itu masa inkubasi serta patofiologi
4. Untuk mengetahui bagaimana tanda dan gejala HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui apa saja faktor penyebab HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui apa itu stadium penyakit
7. Untuk mengetahui bagaimana penularan HIV/AIDS
8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS
9. Untuk mengetahui bagaimana program pemerintah dalam penanggulangan
penyakit HIV/AIDS

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi HIV/AIDS


HIV adalah sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
AIDS adalah kependekan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. Acquired
berarti didapat, bukan keturunan. Immuno terkait dengan sistem kekebalan tubuh
kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti penyakit
dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan
gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk
setelah kita lahir. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan
tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. HIV (Human
Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang dapat menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan
tubuh individu akibat HIV.
Ketika individu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan tubuh maka semua
penyakit dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Karena sistem kekebalan
tubuhnya menjadi sangat lemah, penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan
menjadi sangat berbahaya. Orang yang baru terpapar HIV belum tentu menderita
AIDS. Hanya saja lama kelamaan sistem kekebalan tubuhnya makin lama
semakin lemah, sehingga semua penyakit dapat masuk ke dalam tubuh. Pada
tahapan itulah penderita disebut sudah terkena AIDS.

2.2 Epidemiologi
Sindrom AIDS pertama kali dilaporkan dari Amerika Serikat pada tahun 1981.
Sejak saat itu jumlah Negara yang melaporkan kasus AIDS meningkat yaitu 8
negara pada tahun 1981 ada 53 negara, dan 153 pada tahun 1996, begitu pula
halnya dengan jumlah kasus AIDS meningkat cepat, pada tahun 1981 sebanyak
185 kasus menjadi 237.100 kasus pada tahun 1990 dan tahun 2013 sebanyak
35,3 juta kasus. Menurut para ahli epidemiologi Internasional, di Amerika

5
Serikat dan Eropa bagian Utara epidemi terutama terdapat pada pria yang
berhubungan seksual dengan pria, sementara di Eropa bagian Selatan dan Timur,
Vietnam, Malaysia, India Timur Laut, dan Cina insidensi tertinggi adalah pada
pengguna obat suntik. Di Afrika, Amerika Selatan dan sebagian besar Negara di
Asia Tenggara jalur penularan yang dominan adalah secara heteroseksual dan
vertical. Pada epidemiologi AIDS akan diuraikan mengenai faktor agent, faktor
host dan faktor environment.
a) Penyebab penyakit (Agent)
HIV merupakan virus penyebab AIDS termasuk golongan retrovirus
yang muda mengalami mutasi, sehingga sulit membuat obat yang dapat
membunuh virus tersebut. Virus HIV sangat lemah dan muda mati di luar
tubuh. HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan
seperti air mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.
b) Tuan rumah (Host)
Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika, Eropa,
Afrika maupun di Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada
pada umur 15-45 tahun, mereka termasuk kelompok umur yang aktif
melakukan hubungan seksual. Hal ini membuktikan bahwa transmisi
seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi
utama.
c) Faktor lingkungan (Environment)
Faktor lingkungan adalah agregat dari seluruh kondisi luar yang
mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu organisasi,seperti
halnya penyakit HIV/AIDS. Faktor lingkungan sosial yang
mempengaruhi kejadian HIV/AIDS pada laki-laki umur 25-44 tahun
adalah: transfusi darah (pendonor maupun penerima), penggunaan
narkoba, kebiasaan konsumsi alkohol, ketersediaan sarana di pelayanan
kesehatan (kondom), faktor sosial budaya dukungan keluarga, dukungan
tenaga kesehatan, akses ke tempat PSK, akses ke pelayanan kesehatan.

6
2.3 Masa Inkubasi
Orang yang terjangkit human immunideficiency virus (HIV) kerap disamakan
dengan penderita acquired immunodeficiendy syndrome (AIDS). Padahal, AIDS
merupakan penyakit yang muncul pada tahap akhir masa inkubasi HIV sehingga
orang yang terkena AIDS sudah pasti mengidap HIV, tapi pengidap HIV belum
tentu terkena AIDS.

HIV adalah virus yang menyerang daya tahan tubuh dengan cara merusak atau
menghancurkan fungsi dari imunitas tersebut. Namun, virus ini tidak
menghilangkan fungsi sistem kekebalan tubuh sekaligus, melainkan secara
progresif yang disebut sebagai masa inkubasi HIV.

Terdapat tiga tahap inkubasi HIV ini. Penting bagi Anda mengenali gejala dari
masing-masing tahapan tersebut agar Anda bisa langsung memeriksakan diri ke
dokter dan mendapat perawatan, salah satunya agar HIV tidak mencapai tahap
akhir inkubasi, yakni AIDS.

Waktu yang dibutuhkan oleh virus HIV untuk menjadi AIDS pada tubuh
manusia bergantung dari kondisi masing-masing individu. Jika Anda sudah
merasakan gejala awal masa inkubasi HIV, tapi tidak melakukan apa-apa, virus
itu bisa menyebabkan AIDS dalam kurun 10 tahun hingga 15 tahun setelah Anda
pertama kali terjangkit.

Meski memiliki rentang yang cukup lama, jangan tunggu hingga HIV berubah
menjadi AIDS untuk menjalani pengobatan. Sebaliknya, kenali gejala Anda
terkena virus HIV sejak dini dan jalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter.

1. Masa inkubasi HIV tahap awal


Kebanyakan orang yang terkena HIV tidak menyadari bahwa mereka
mengidap virus yang menyerang sistem imun ini. Gejala pada awal masa
inkubasi HIV ini memang biasanya baru muncul 2-6 minggu setelah
Anda terkena virus. Gejala tersebut meliputi:
a) Sakit kepala
b) Kelelahan
c) Nyeri otot

7
d) Radang tenggorokan
e) Kelenjar getah bening membengkak
f) Bercak merah yang tidak gatal, biasanya di dada
g) Demam

Untuk memastikan bahwa Anda terkena HIV atau bukan, coba ingat
apakah Anda melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi HIV dalam
2-6 minggu belakangan sebelum gejala ini muncul, kemudian periksakan
diri ke dokter untuk menjalani tes darah.

Selain itu, jika Anda termasuk ke dalam orang-orang berisiko HIV,


segera lakukan tes HIV. Anda bisa menjalani tes antibodi, yang
merupakan tes paling cepat untuk mendeteksi infeksi sekitar tiga atau
empat minggu.

Meski Anda merasa melakukan kontak dengan penderita HIV, namun


tidak muncul gejala di atas, tidak ada salahnya memeriksakan diri di
dokter. Pasalnya pada masa inkubasi HIV tahap awal ini, kandungan
virus dalam tubuh Anda cukup tinggi sehingga mudah dideteksi, tapi
sekaligus sangat mudah menular ke orang lain.

Dokter akan merekomendasikan Anda mengonsumsi serangkaian


pengobatan, seperti obat HIV dan terapi antiretroviral. Tujuannya adalah
melawan virus HIV, menjaga sistem imun Anda tetap sehat, dan
mencegah virus masuk ke dalam tubuh orang lain. Jika Anda terus
mengonsumsi obat, menjalani terapi, dan melakukan pola hidup sehat,
HIV tidak akan berkembang menjadi lebih parah.

2. Masa inkubasi HIV tahap kedua (HIV kronis)


Ketika gejala HIV di masa inkubasi awal tidak diobati, Anda memang
akan merasa lebih baik karena gejala mirip flu itu hilang dengan
sendirinya. Tetapi, justru kondisi itu mencerminkan sistem imun Anda
sudah kalah oleh virus HIV sehingga kondisi ‘tenang’ ini disebut juga
dengan periode asimtomastis atau infeksi HIV kronis.

8
Meski demikian, belum terlambat jika Anda ingin memulai pengobatan
HIV. Jika Anda menjalani terapi antiretroviral, Anda bisa berada di fase
ini selama beberapa dekade. Anda masih bisa menularkan virus kepada
orang lain, tapi kasusnya sangat jarang terjadi jika Anda rutin
mengonsumsi obat HIV.

3. Masa inkubasi HIV tahap akhir (AIDS)


Ketika Anda mengidap HIV, sangat penting untuk melakukan kontrol ke
dokter karena dokter juga akan terus memantau level CD4 di dalam
darah Anda.
Ketika level CD4 ini berada di bawah 200 sel per milimeter kubik darah
(normalnya 500-1.600 sel/milimeter kubik), maka itu adalah pertanda
Anda tengah memasuki masa inkubasi HIV tahap akhir atau AIDS.
Kadang kala, AIDS juga menimbulkan gejala fisik yang Anda rasakan,
misalnya:
a) Demam tinggi dengan suhu di atas 37,8 derajat celcius yang tidak
sembuh-sembuh
b) Berat badan turun drastis
c) Menggigil disertai keringat dingin
d) Sakit kepala yang tidak mereda
e) Muncul bercak putih pada mulut
f) Rasa kebas di area kemaluan atau anus
g) Kelelahan yang parah
h) Bercak yang bisa berwarna pink, merah, ungu, atau cokelat
i) Batuk terus-menerus dan susah bernapas
j) Mudah lupa
k) Pneumonia.

Ketika terkena AIDS, Anda akan sangat rentan terkena infeksi. Kondisi
ini bisa mengancam nyawa mengingat sistem imun Anda sudah tidak
berfungsi lagi sehingga tubuh tidak bisa melawan bakteri atau virus
penyebab infeksi tersebut sehingga Anda nyaris selalu membutuhkan
pertolongan medis.

9
Tanpa pengobatan, penderita AIDS diprediksi hanya dapat bertahan
hidup selama 3 tahun, bahkan bisa lebih pendek jika kondisi penyakitnya
sudah parah. Oleh karena itu, jangan tunggu Anda tiba pada masa
inkubasi HIV terakhir ini sebelum mencari pertolongan dokter.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi HIV (human immunodeficiency virus) dimulai dari transmisi virus
ke dalam tubuh yang menyebabkan infeksi yang terjadi dalam 3 fase:
serokonversi, asimtomatik, dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Infeksi HIV terdiri dari 3 fase: serokonversi, asimtomatik, dan AIDS.

1. Serokonversi
Fase serokonversi terjadi di masa awal infeksi HIV. Pada fase ini, terjadi
viremia plasma dengan penyebaran yang luas dalam tubuh, selama 4-11
hari setelah virus masuk melalui mukosa tubuh. Kondisi ini dapat
bertahan selama beberapa minggu, dengan gejala yang cukup ringan dan
tidak spesifik, umumnya berupa demam, flu-like syndrome,
limfadenopati dan ruam-ruam. Kemudian, keluhan akan berkurang dan
bertahan tanpa gejala mengganggu. Pada masa ini, umumnya akan mulai
terjadi penurunan nilai CD4, dan peningkatan viral-load.
2. Fase Asimtomatik
Pada fase asimtomatik, HIV sudah dapat terdeteksi melalui pemeriksaan
darah. Penderita infeksi HIV dapat hidup bebas gejala hingga 5-10 tahun
walau tanpa intervensi pengobatan. Pada fase ini, replikasi virus terus
berjalan, virulensi tinggi, viral load stabil tinggi, serta terjadi penurunan
CD4 secara konstan.
3. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
Pada fase AIDS, umumnya viral-load tetap berada dalam kadar yang
tinggi. CD4 dapat menurun hingga lebih rendah dari 200/µl.

Infeksi oportunistik mulai muncul secara signifikan. Infeksi oportunistik ini


bersifat berat, meliputi dan mengganggu berbagai fungsi organ dan sistem dalam

10
tubuh. Menurunnya CD4 mempermudah infeksi dan perubahan seluler menjadi
keganasan. Infeksi oportunistik berupa:

a) Demam > 2 minggu


b) Tuberkulosis paru
c) Tuberkulosis ekstra paru
d) Sarkoma kaposi
e) Herpes rekuren
f) Limfadenopati
g) Candidiasis orofaring
h) Wasting syndrome

2.5 Tanda dan Gejala


HIV adalah merupakan singkatan dari Human Immununodeficiency Virus yaitu
yang merusak system kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari
Aquired Immunodeficiency Syndrome yaitu kumpulan gejala dan tanda penyakit
akibat ketidakmampuan system pertahanan tubuh yang diperoleh atau didapat.
HIV dalam tubuh manusia hanya berada di sel darah putih tertentu yaitu sel
tempat yang terdapat pada cairan tubuh. HIV juga dapat ditemukan dalam
jumlah kecil pada air mata, air liur, cairan otak, keringat, air susu ibu (Wahyuny
& Susanti, 2019).

Seseorang yang menderita AIDS pertama kali akan mengalami gejala - gejala
umum seperti influenza. Kemudia penyakit AIDS ini akan menjadi bervariasi
pada kurun waktu antara 6 bulan sampai 7 tahun, atau rata - rata 21 bulan pada
anak - anak dan 60 bulan pada orang dewasa (HASRA HARTINA, 2017). Di
samping itu perlu diperhatikan pula gejala - gejala non spesifik dari penyakit
AIDS yaitu yang disebut ARC (AIDS Related Complex) yang berlangsung lebih
dari 3 bulan, dengan gejala - gejala sebagai berikut

a) Berat badan turun lebih dari 10%.


b) Demam lebih dari 38 derajat celcius
c) Berkeringat di malam hari tanpa sebab
d) Diare kronis tanpa sebab yang jelas lebih dari 1 bulan

11
e) Rasa lelah berkepanjangan
f) Bercak - bercak putih pada lidah (hairy leukoplakia)
g) Penyakit kulit (herpes zoster) dan penyakit jamur (candidiasis) pada mulut
pembesaran kelenjar getah bening (limfe), anemia (kurang darah),
leukopenia (kurang sel darah putih), limfopenia (kurang sel - sel limphosit)
dan trombositopenia (kurang sel - sel trombosit / sel pembekuan darah
h) Ditemukan antigen HIV atau antibodi terhadap HIV
i) Gejala klinis lainnya antara lain kelainan pada
1) Kulit dan rambut kepala
2) Kulit muka dan kulit bahagian tubuh lainnya
3) Mata
4) Hidung
5) Rongga mulut (langit - langit, gusi dan gigi)
6) Paru – paru
7) Alat kelamin

2.6 Faktor Penyebab


Secara umum penyebab terinfeksinya seseorang oleh virus HIV dibagi menjadi
beberapa kategori umum, yaitu :

a) Merajalelanya seks bebas dan homoseksual Berhubungan intim yang bebas


dan tidak sehat serta tidak menggunakan alat pengaman adalah hal salah
satu penyebab menularnya virus HIV.
b) Penggunaan jarum suntik yang sembarangan dan tidak steril Penggunaan
jarum suntik tanpa menjaga ke sterilan dan penggunaan yang berulang-
ulang dapat mendorong seseorang terkena virus HIV.
c) Transfusi darah tanpa melalui screening bebas HIV Dalam hal transfusi
darah, cairan dalam tubuh seseorang penderita HIV sangat rentan menular
sehingga diperlukan pemeriksaan yang sangat teliti saat akan melakukan
donor darah.
d) Seorang ibu positif HIV yang sedang mengandung Seorang ibu yang positif
HIV akan sangat mudah menurunkan penyakitnya kepada janin yang sedang

12
ia kandung, hal ini karena ada penularan HIV melalui Rahim (Fadhila et al.,
2020)

2.7 Stadium Penyakit


Infeksi HIV bisa menimbulkan gejala yang berbeda-beda, ini bergantung dari
stadium infeksi HIV. Jika HIV tidak segera diobati, infeksi HIV dapat
berkembang dalam empat stadium atau tahapan. Perjalanan penyakit HIV/AIDS
ini dibagi dalam tahap - tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD4
(Cluster of Differentiaton). Menurut WHO (2006) tahapan infeksi HIV/AIDS
terbagi menjadi 4 stadium klinis :
a. Stadium klinis I
1) Sejak virus masuk sampai terbentuk anti body (berlangsung 15 hari –
3
bulan).
2) Keluhan yang sering muncul seperti sakit flu biasa dan bila diberi
obat akan berkurang atau sembuh, kadang terdapat limfadenopati
generalisata.
3) Hasil tes negatif, namun orang yang sudah terinfeksi ini sudah dapat
menularkan pada orang lain.
4) CD4-nya 500 – 1000.
b. Stadium klinis II
1) Waktunya antara 3 bulan s/d 5-10 tahun.
2) Hasil tes positif.
3) Tidak ada keluhan.
4) CD4-nya 500 – 750.
c. Stadium klinis III (pra AIDS)
1) Sudah tampak gejala tetapi masih umum seperti penyakit lainnya.
2) Keluhan yang sering muncul : sariawan, kandidiasis mulut persisten,
selera makan hilang, demam berkepanjangan > 1 bulan, diare kronis
> 1 bulan, kehilangan BB > 10%, timbul bercak-bercak merah di
bawah kulit, TB paru,

13
3) anemia yang tidak diketahui sebabnya, trombositopenia,
limfisitopenia, pneumobakterial.
4) CD4-nya 100 – 500.
d. Stadium klinis IV
1) Penderita tampak sangat lemah sekali.
2) Daya tahan tubuh menurun.
3) Munculnya beberapa penyakit yang sangat fatal seperti pneumonia
bacterial berulang, herpes simpleks kronis, toksoplasmosis otak, cito
megalo virus, mikobakteriosis, tuberkolosis luar paru, ensefalopati
HIV, timbul tumor atau kanker (limfoma dan sarkoma kaposi).

2.8 Penularan HIV/AIDS


Empat prinsip dasar penularan HIV/AIDS (KPAD, 2010) adalah :
a. Exit, yakni terdapat virus yang keluar tubuh
b. Survival, yakni virus bertahan hidup
c. Suffient, yakni jumlah virus yang cukup
d. Enter, yakni terdapat pintu masuk bagi virus ke dalam tubuh.
Menurut Martono (2006) virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara yaitu
a. Hubungan seksual
Dengan orang yang menderita HIV/AIDS baik hubungan seksual secara
vagina, oral maupun anal, karena pada umumnya HIV terdapat pada
darah, sperma dan cairan vagina. Ini adalah cara penularan yang paling
umum terjadi. Sekitar 70-80% total kasus HIV/AIDS di dunia (hetero
seksual >70% dan homo seksual 10%) disumbangkan melalui penularan
seksual meskipun resiko terkena HIV/AIDS untuk sekali terpapar kecil
yakni 0,1-1,0%.
b. Tranfusi darah yang tercemar HIV
Darah yang mengandung HIV secara otomatis akan mencemari darah
penerima. Bila ini terjadi maka pasien secara langsung terinfeksi HIV,
resiko penularan sekali terpapar >90%. Transfusi darah menyumbang
kasus HIV/AIDS sebesar 3-5% dari total kasus sedunia.
c. Tertusuk atau tubuh tergores oleh alat yang tercemar HIV

14
Jarum suntik, alat tindik, jarum tattoo atau pisau cukur yang sebelumnya
digunakan oleh orang HIV (+) dapat sebagai media penularan. Resiko
penularannya 0,5-1-1% dan menyumbangkan kasus HIV/AIDS sebesar
5-10% total seluruh kasus sedunia.
d. Ibu hamil yang menderita HIV (+)
kepada janin yang dikandungnya dengan resiko penularan ±30% dan
berkontribusi terhadap total kasus sedunia sebesar 5-10%

2.9 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan keperawatan
Aspek Psikologis, meliputi :
1. Perawatan personal dan dihargai
2. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-
masalahnya
3. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya
4. Tindak lanjut medis
5. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
6. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

Aspek Sosial.

Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk


dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial meliputi 3
hal:

1) Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan


diperhatikan
2) Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat.
3) Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu
barang dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007) Dukungan
sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas
hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber
dukungan sosial yang paling penting.

15
House (2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan social :
a) Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap
pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan
b) Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang
lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang
lain
c) Dukungan Instrumental
\Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman
uang, kepada penderita HIV AIDS yang membutuhkan untuk
pengobatannya
d) Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

b. Penatalaksaan Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka
terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
1) Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi
yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi
penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan
perawatan kritis.
2) Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim
pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah
sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human

16
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 >
500 mm3
3) Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi
virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a) Didanosin
b) Ribavirin
c) Diedoxycytidine
d) Recombinant CD 4 dapat larut
4) Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

c. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012), Tujuan Umum
Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
1) Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan
seluruh aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi
HIV.

a) Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi


tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).

b) Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.

c) Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan


relaksasi.

2) Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

a) Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.

17
b) Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang
terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia,

3) Perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan kesulitan menelan.

a) Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.

b) Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama


jaringan otot).

c) Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang


adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang
diberikan.

Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:

1. Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor


stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi
sebanyak 13% untuk setiap kenaikan Suhu 1°C.
2. Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti
jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada
kelainan ginjal dan hati.
3. Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak,
digunakan lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain
Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam lemak omega 3) diberikan
bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
4. Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 1⁄2 kali (150%) Angka Kecukupan
Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin A,
5. B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan Selenium. Bila perlu
dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi megadosis harus
dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
6. Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
7. Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan
gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan

18
bertahap dengan konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa
cairan kental (thick fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin
fluid).
8. Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium, kalium dan klorida).
9. Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini
sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat
kondisi dan toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang
cepat, maka dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde
sebagai makanan utama atau makanan selingan.
10. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering
11. Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik,
termik, maupun kimia.

Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah
terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan:

a) Infeksi HIV positif tanpa gejala.


b) Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan
menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
c) Infeksi HIV dengan gangguan saraf
d) Infeksi HIV dengan TBC.
e) Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.

Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya
dievaluasi secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan
enteral atau parental sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga
macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III.

1. Diet AIDS

Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas
tinggi, sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran
menurun, atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan

19
dan bubur susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien,
dalam porsi kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan
dalam bentuk sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan
sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral
komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin
dan vitamin bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa
polimer (misalnya polyjoule).

2. Diet AIDS II

Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi
kebutuhan energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai
tambahan atau sebagai makanan utama.

3. Diet AIDS III

Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa,
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin
dan mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih
terjadi penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde
sebagai makanan tambahan atau makanan utama. Pasien Hiv tidak boleh
memakan makanan seperti :

a. Makanan yang dipanggang


b. Makanan yang mentah
c. Sayur – sayuran mentah
d. Kacang – kacanga

2.10 Progam Pemerintah dalam Menanggulangi HIV/AIDS


Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS(“Permenkes 21/2013”) menyatakan

20
bahwa strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan penanggulangan
HIV dan AIDS meliputi:

1. Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan HIV Dan


AIDS Melalui Kerja Sama Nasional, Regional, Dan Global Dalam Aspek
Legal, Organisasi, Pembiayaan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dan Sumber
Daya Manusia;
2. Memprioritaskan Komitmen Nasional Dan Internasional;
3. Meningkatkan Advokasi, Sosialisasi, Dan Mengembangkan Kapasitas;
4. Meningkatkan Upaya Penanggulangan HIV Dan AIDS Yang Merata,
Terjangkau, Bermutu, Dan Berkeadilan Serta Berbasis Bukti, Dengan
Mengutamakan Pada Upaya Preventif Dan Promotif;
5. Meningkatkan Jangkauan Pelayanan Pada Kelompok Masyarakat Berisiko
Tinggi, Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan Dan Kepulauan Serta
Bermasalah Kesehatan;
6. Meningkatkan Pembiayaan Penanggulangan HIV Dan AIDS;
7. Meningkatkan Pengembangan Dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Yang Merata Dan Bermutu Dalam Penanggulangan HIV Dan AIDS;
8. Meningkatkan Ketersediaan, Dan Keterjangkauan Pengobatan, Pemeriksaan
Penunjang HIV Dan AIDS Serta Menjamin Keamanan, Kemanfaatan, Dan
Mutu Sediaan Obat Dan Bahan/Alat Yang Diperlukan Dalam
Penanggulangan HIV Dan AIDS; Dan Meningkatkan Manajemen
Penanggulangan HIV Dan AIDS Yang Akuntabel, Transparan, Berdaya
Guna Dan Berhasil Guna.

Tingginya kasus HIV dan AIDS saat ini adalah karena, salah satunya,
ketidakpedulian masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS selama ini.
Peningkatan kasus ini bisa dicermati dari beberapa sudut pandang. Salah
satunya, dari sudut pandang kesehatan. Infeksi HIV dan AIDS melewati
perjalanan infeksi tanpa gejala berkisar 7 – 10 tahun. Mereka yang terinfeksi
terlihat seperti orang sehat, padahal dalam tubuhnya sudah ada HIV yang bisa
menular kepada orang lain dan kepada mereka yang belum memiliki gejala dari
penyakit tersebut. Sehingga bagi mereka yang berperilaku berisiko, tanpa

21
menyadari, mereka telah menularkan virus tersebut pada orang lain, termasuk
pasangannya.

Maka dalam hal ini, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan untuk
menanggulangi HIV sebagai penyakit menular melalui Pasal 11 ayat
(1) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular:

1. Upaya Pencegahan, Pengendalian, Dan Pemberantasan Dalam


Penanggulangan Penyakit Menular Dilakukan Melalui Kegiatan Promosi
Kesehatan;
2. Surveilans Kesehatan;
3. Pengendalian Faktor Risiko;
4. Penemuan Kasus;
5. Penanganan Kasus;
6. Pemberian Kekebalan (Imunisasi)
7. Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal; Dan
8. Kegiatan Lainnya Yang Ditetapkan Oleh Menteri.

Selain itu, jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin
meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan
hubungan seksual secara tidak aman, yang menularkan pada pasangan
seksualnya.

Secara khusus, infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu
serta bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui
proses penularan dari ibu ke anak atau Mother to Child HIV Transmission.

Hal ini sebagaimana kami kutip dari artikel Turunkan Risiko Penularan HIV dari
Ibu ke Bayi, Dinkes Riau Adakan Kegiatan Pertemuan Penanganan Persalinan
ARV Dokter Spesialis Anak dan Kepala Kamar Operasi dari laman Dinas
Kesehatan Provinsi Riau. HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV
kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Maka,
berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun
2013 tentang Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak:

22
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilakukan melalui 4 (empat)
prong/kegiatan, sebagai berikut:

1. Pencegahan Penularan HIV Pada Perempuan Usia Reproduksi;


2. Pencegahan Kehamilan Yang Tidak Direncanakan Pada Ibu HIV Positif;
3. Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Hamil HIV Positif Ke Bayi Yang
Dikandung; Dan
4. Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial Dan Perawatan Kepada Ibu HIV
Positif Beserta Anak Dan Keluarganya.

Sistem kesehatan nasional yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 4 ayat
(1) Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasionalsebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menegaskan bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan
oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung
guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya serta dilaksanakan secara berjenjang dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

Tanggung jawab pemerintah pusat juga telah dituangkan dalam Pasal 6 huruf a –
c Permenkes 21/2013: Tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam
penanggulangan HIV dan AIDS meliputi:

1. Membuat kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif,


diagnosis, pengobatan/perawatan, dukungan, dan rehabilitasi;.

2. Bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan


kebijakan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan;

3. Menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam


penanggulangan hiv dan aids secara nasional.

Kemudian, sesuai dengan semangat desentralisasi yang dinyatakan


dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (“UU 23/2014”) dan perubahannya, maka pemerintah daerah memiliki
ruang kebijakan yang luas untuk mengatasi berbagai masalah, termasuk masalah

23
kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat melalui pembentukan peratuan daerah
yang disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang.

Berdasarkan UU 23/2014 dan perubahannya, maka Perda diakui sebagai salah


satu sarana percepatan keberhasilan pembangunan serta kesejahteraan
masyarakat di daerah.

Selain itu, terkait keterlibatan pemerintah daerah juga tertuang dalam Pasal
2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman
Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan
Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di
Daerah (“Permendagri 20/2007”)yang menyatakan bahwa:

1. Dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi dibentuk Komisi


Penanggulangan AIDS Provinsi.

2. Dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten/Kota dibentuk


Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.

3. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

4. Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud


pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

Misalnya di tingkat provinsi, Pasal 5 Permendagri 20/2007 menerangkan bahwa:


Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) mempunyai tugas:

1) Mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan


langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV
dan AIDS sesuai kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional;

2) Memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi


pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi;

24
3) Menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber
daya yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri
secara efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan
AIDS;

4) Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing


instansi yang tergabung dalam keanggotaan Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi;

5) Mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan


AIDS;

6) Menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan


AIDS kepada aparat dan masyarakat;

7) Memfasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota;

8) Mendorong terbentuknya LSM/kelompok Peduli HIV dan AIDS;


dan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan
HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan secara berkala dan
berjenjang kepada Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

25
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. AIDS disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu
suatu lentivirus dari golongan retroviridae. Transmisi infeksi HIV dapat
melalui hubungan seksual, darah atau produk darah yang terinfeksi, jarum
yang terkontaminasi, serta transmisi vertikal dari ibu ke anak Gejala klinis
pada infeksi HIV meliputi stadium: Serokonversi, periode inkubasi, AIDS –
related complex atau persistent generalized lymphadenopathy, periode AIDS
Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan penderita dengan
infeksi HIV atau AIDS meliputi pengobatan suportif, pengobatan infeksi
oportunistik dengan antibiotik, antijamur, antiparasit, antivirus dan
glukokortikoid, pengobatan neoplasma, serta pengobatan dengan
antiretroviral (ARV). Dalam penatalaksanaan infeksi HIV, saat ini digunakan
kombinasi dari beberapa obat sekaligus, yang disebut highly active
antiretroviral therapy (HAART). WHO menganjurkan pemberian ARV untuk
negara yang mempunyai dana yang terbatas dengan kombinasi: 2NRTI +
INNRTI atau abacavir atau PI.

2. Penderita HIV/AIDS seringkali tidak mau membuka status mereka ke orang


lain karena mereka takut dan khawatir orang-orang akan menjauhi bahkan
mengucilkan mereka dari lingkungan sekitarnya. Sebaliknya bagi mereka
yang bersedia untuk open status, biasanya mereka yang telah mendapatkan
dukungan dari keluarga dan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka
tidak khawatir akan pengakuan keberadaan mereka. 62 Universitas Kristen
Maranatha

3. Penatalaksanaan HIV secara klinis pada kehamilan terus dikembangkan untuk


menekan transmisi secara vertikal. Salah satunya dengan pemberian

26
antiretrovirus yang bertujuan untuk mengurangi viral load serendah mungkin.
Penatalaksanaan yang efektif untuk mengurangi risiko penularan HIV dari ibu
ke anak tergantung pada saat kapan wanita tersebut mengetahui status HIV-
nya sehingga dapat ditentukan penatalaksanaan secepatnya. Oleh karena itu,
peranan konseling dan tes HIV bagi ibu hamil sangat penting sebagai deteksi
dini terhadap infeksi HIV.

4. Untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA


perlu diadakannya penyuluhan dan edukasi yang benar tentang apa itu
HIV/AIDS dan bagaimana cara penularannya sehingga masyarakat tidak
perlu sampai mengucilkan ODHA tetapi justru dapat memberikan dukungan
dan motivasi kepada mereka untuk dapat bertahan hidup dan berdaya di
lingkungan masyarakat.

5. Pemerintah telah menetapkan program nasional berupa Kebijakan dan


Strategi dalam mencegah dan menberantas AIDS di Indonesia. Dan hal ini
tentunya dapat lebih disosialisasikan lagi, ditambah dengan adanya subsidi
pemerintah berupa pemberian obat-obatan ARV bagi penderita HIV/AIDS

3.2 Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi
penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abednego, H.M., 1996, Beberapa Pandangan Dan Harapan Pemerintah


Terhadap LSM Peduli AIDS, Program Book, Abstrak, Pertemuan Nasional
Pencegahan & Penatalaksanaan HIV/AIDS, Jakarta.
Ahmad, M., Gaash, B., Kasur, R., And Bashir, S., 2003. Knowledge, Attitude
And Belief On HIV/AIDS Among The Female Senior Secondary Students In
Srinagar District Of Kashmir, Health And Population, 26 (3): 101-109.
Asdie, A.H., 2005. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Dapertemen kesehatan RI. 2007 . Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada
orang dewasa dan Remaja Edisi Kedua, Jakarta

Dinas kesehatan kota Bukittinggi 2016.Gambaran kasus HIV dan AIDS di


Sumatra Barat Sampaidengan2016.

Dirjen. PP & PL. Kemenkes. RI. (2012). Laporan Kasus Hiv-Aids Di Indonesia
Triwulan IV, bulan Januari sampai bulan Desember tahun 2011

Fadhila, M. N., Salsabila, R. N., Rahayu, S., Dyah, L., & Arini, D. (2020).
Perlindungan Masyarakat Terhadap Anak Penderita HIV / AIDS Di Kota
Surakarta. Terapan Informatika Nusantara, 1(2), 79–82.

HASRA HARTINA. (2017). Identifikasi Karakteristik Dan Faktor Penyebab


Hiv/Aids Di Kabupaten Sukoharjo. Manajemen Asuhan Kebidanan Pada
Bayi Dengan Caput Succedaneum Di Rsud Syekh Yusuf Gowa Tahun,
4(02), 9–15.

Wahyuny, R., & Susanti, D. (2019). Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Tentang


Hiv/Aids Di Universitas Pasir Pengaraian Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal
Maternal Dan Neonatal, 2(6), 341–349.

Anda mungkin juga menyukai