Anda di halaman 1dari 42

PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN

FORENSIK PADA ANAK DAN PEREMPUAN YANG


MENGALAMI TINDAK KEKERASAN
DI INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAIFUL ANWAR
PROVINSI JAWA TIMUR

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR


PROVINSI JAWA TIMUR

2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II

BAB III

BAB IV

BAB V

Toski dermaleksana, suara jatimpost.com (Tahun 2023, Kasus Kekerasan


Seksual pada Anak di Kabupaten Malang Meningkat)

Monavia Ayu Rizaty, 2023 data Indonesia ada 25.0050 kasus kekerasan
perempuan di Indonesia pada 2022
ABSTRAK

Berdasarkan data dari Dinas Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan


Perempuan (DP3A) Kabupaten Malang, hingga Agustus 2023, terdapat 59 kasus
kekerasan seksual pada anak. Menurut kepala DP3A Kabupaten Malang, jumlah tersebut
mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Dermaleksana, 2023).
Pada bulan Januari sampai dengan September 2023, didapatkan data sebanyak 186
pasien anak dan perempuan yang mengajukan permintaan visum ke Instalasi Kedokteran
Forensik (IKF) RSSA yang mengalami kekerasan. Dengan rincian, KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga) sebanyak 32 kasus, kekerasan terhadap perempuan 80 kasus,
kekerasan pada anak 32 kasus, tindakan susila sebanyak 42 kasus. Dalam upaya
pengumpulan bukti di peradilan, perlu dilakukannya tindakan pemeriksaan medis oleh
dokter maupun ahli lain, yang selanjutnya hasil dari pemeriksaan disebut dengan Visum
Et Repertum. Selain dilakukan oleh dokter, pemeriksaan juga melibatkan perawat
forensik. Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan bersamaan dengan dokter di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) atau rawat inap. Dengan dilaksanakannya asuhan
keperawatan forensik, diharapkan pemeriksaan pada korban anak/perempuan dan
keluarga dapat dilakukan secara komprehensif, yaitu mencakup aspek biologis,
psikologis, sosial, maupun spiritual. Metode yang dilakukan sama dengan pelaksanaan
asuhan keperawatan pada umumnya, mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, menyusun rencana keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi,
dan evaluasi.Dengan diterapkannya asuhan keperawatan pada anak maupun perempuan
yang mengalami kasus kekerasan, data yang dikumpulkan dapat lebih lengkap baik
secara fisik maupun psikologis, kolaborasi antara dokter dengan perawat dapat
dilaksanakan dengan baik, sehingga tindak lanjut dapat disusun sesuai kondisi dan
kebutuhan korban/keluarga.
ABSTRAC

Based on data from the Malang District Office of Child Protection and Women's
Empowerment (DP3A), until August 2023, there were 59 cases of sexual violence against
children. According to the head of DP3A Malang District, this number has increased
compared to previous years (Dermaleksana, 2023). From January to September 2023,
data was obtained on 186 child and female patients who submitted requests for post
mortem to the Forensic Medicine Installation (IKF) of RSSA who experienced violence.
With details, domestic violence (domestic violence) as many as 32 cases, violence
against women 80 cases, violence against children 32 cases, moral acts as many as 42
cases. In an effort to collect evidence in court, it is necessary to carry out medical
examinations by doctors and other experts, the results of which are called Visum Et
Repertum. In addition to being carried out by doctors, the examination also involves
forensic nurses. The implementation of nursing care is carried out together with doctors in
the Emergency Room (IGD) or hospitalization. With the implementation of forensic
nursing care, it is hoped that the examination of child / female victims and families can be
carried out comprehensively, covering biological, psychological, social and spiritual
aspects. The methods used are the same as the implementation of nursing care in
general, starting from assessment, determining nursing diagnoses, developing nursing
plans, nursing interventions, implementation, and evaluation.By applying nursing care to
children and women who experience cases of violence, the data collected can be more
complete both physically and psychologically, collaboration between doctors and nurses
can be carried out properly, so that follow-up can be arranged according to the conditions
and needs of the victim / family.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara hukum yang sangat


menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Sejumlah undang –
undang disahkan dalam upaya untuk melindungi dan menghormati
hak warga negara terutama bagi anak dan perempuan. Dengan
adanya undang-undang tersebut diharapkan dapat mencegah dan
melindungi anak maupun perempuan dari pelanggaran HAM yang
didalamnya juga termasuk perlindungan dari tindak kekerasan.
Dengan disahkannya undang - undang tersebut seharusnya dapat
mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak maupun
perempuan, karena adanya konsekuensi hukum yang nyata.
Namun ironisnya, data yang dapat dikumpulkan oleh lembaga
pemerintah menunjukkan jumlah kasus kekerasan pada anak dan
perempuan mencapai angka yang tinggi dan cenderung naik setiap
tahunnya.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan


dan Perlindungan Anak (PPPA), terdapat 21.241 kasus pada anak
dan 20.050 pada perempuan yang menjadi korban kekerasan di
tahun 2022. Jumlah kekerasan pada perempuan setiap tahunnya
mengalami kenaikan, di tahun 2022 kekerasan pada perempuan
naik sebesar 15,2% dari tahun 2021 sebanyak 21.753 (Rizaty,
2023). Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi
juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga
eksploitasi. Secara rinci, terdapat 9.588 anak yang menjadi korban
kekerasan seksual. Jawa Timur menempati peringkat pertama
wilayah dengan jumlah korban kekerasan perempuan terbanyak,
yaitu 2.136 orang.
Berdasarkan data dari Dinas Perlindungan Anak dan
Pemberdayaan Perempuan Perempuan (DP3A) Kabupaten
Malang, hingga Agustus 2023, terdapat 59 kasus kekerasan
seksual pada anak. Menurut kepala DP3A Kabupaten Malang,
jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya (Dermaleksana, 2023). Berdasarkan data pasien yang
mengajukan permintaan visum ke Instalasi Kedokteran Forensik
RSSA periode Januari sampai dengan September 2023,
didapatkan data sebanyak 186 pasien anak dan perempuan yang
mengalami kekerasan. Dengan rincian, KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga) sebanyak 32 kasus, kekerasan terhadap
perempuan 80 kasus, kekerasan pada anak 32 kasus, tindakan
susila sebanyak 42 kasus.

Dalam upaya untuk mengumpulkan bukti pada kasus


kekerasan anak maupun perempuan, diperlukannya barang bukti
berupa dokumen pemeriksaan medis yang dilakukan oleh dokter.
Untuk kepentingan peradilan, kepolisian dalam hal ini penyidik
memiliki wewenang untuk mengajukan permintaan tertulis (resmi)
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter, atau ahli lainnya.
Dokumen yang dikeluarkan oleh dokter harus berdasarkan dari
pemeriksaan medis kepada manusia yang menjadi korban atau
diduga menjadi korban kekerasan, baik dalam kondisi hidup atau
mati, dokumen pemeriksaan tersebut selanjutnya disebut dengan
Visum Et Repertum (Afandi, 2017). Pihak yang terlibat dalam
pelayanan forensik klinik yaitu dokter, perawat, dan petugas
administrasi (Afandi, 2017)

Saat ini di Indonesia perawat forensik belum memiliki


lembaga dan profesi khusus di bidang keperawatan forensik,
namun di Amerika lembaga khusus untuk perawat forensik sudah
ada sejak 1992 yang bernama IAFN (International Assosiation of
Forensic Nursing). Walaupun di Indonesia belum memiliki lembaga
khusus untuk perawat forensik, pelatihan dan seminar sering
dilakukan oleh perawat-perawat yang memiliki fokus pada
keperawatan forensik. Diskusi intraprofesional juga dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan dalam pemeriksaan forensik klinik dan
memperluas pengetahuan dan skill. Sehingga hasil Visum Et
Repertum bisa lebih komprehensif, baik dari aspek biologis,
psikologis, sosial, maupun spirirtual.

Rumah Sakit Umum Daerah Dr Saiful Anwar Provinsi Jawa


Timur sebagai salah satu rumah sakit rujukan di tingkat provinsi
juga menyediakan pelayan kedokteran forensik yang dilakukan
oleh Instalasi Kedokteran Forensik (IKF). Pelayanan yang
dilakukan tidak hanya berfokus pada pasien yang meninggal,
melainkan juga pada pasien hidup. Pelayanan forensik untuk
pasien hidup merupakan bidang pelayanan forensik klinik, yang
mulai di jalankan oleh IKF RSSA sejak tahun 2017 hingga saat ini.
Kasus yang ditangani pun beragam, seperti penganiayaan, KDRT,
bullying, pelecehan seksual baik pada anak maupun
remaja/dewasa, pemerkosaan, dan lain sebagainya.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, variasi


kasus, kebutuhan pemeriksaan, dan banyaknya kasus yang
ditangani oleh IKF RSSA, peran perawat forensik juga dibutuhkan
dalam proses pemeriksaan. Perawat sebagai salah satu petugas
yang melakukan pelayanan forensik klinik memiliki berbagai
macam peran, seperti memberikan perawatan untuk korban
kejahatan, melakukan pemeriksaan dan analisa terkait trauma fisik
atau psikologis yang dialami (korban atau pelaku), melakukan
pemeriksaan forensik dan evaluasi trauma seksual dengan
mengumpulkan bukti biologis, dan juga memberikan rujukan.
Pemeriksaan atau pengumpulan bukti harus dilakukan dengan hati-
hati dan tidak menimbulkan trauma pada pasien (Lynch dan Duval,
2011).
Pemeriksaan yang menyeluruh dengan pendekatan
biologis, psikologis, sosial, maupun spirirtual (bio-psiko-sosio-
spiritual) sangat diperlukan untuk mengetahui latar belakang
terjadinya suatu kejadian dan trauma psikologis dari tindak
kekerasan yang dialami saat ini atau yang terjadi di masa lampau.
Analisa mengenai trauma psikologis yang dialami pasien/korban
juga menjadi salah satu fokus dalam pemeriksaan, karena dalam
pelaksanaannya bukan hanya untuk mengejar pemenuhan barang
bukti secara fisik, melainkan juga untuk menjaga kestabilan emosi
pasien/korban, dan mencegah terjadinya tindakan yang
membahayakan pada pasien/korban.

Berdasarkan UU no 38 Tahun 2004 tentang keperawatan,


menyebutkan bahwa klien adalah individu, keluarga, kelompok,
atau masyarakat yang menggunakan jasa layanan keperawatan,
yang selanjutnya dapat disebut dengan pasien. Sehingga, dalam
asuhan keperawatan yang dilakukan pada forensik klinik, tidak
hanya dilakukan pada pasien yang menjadi korban langsung, tetapi
juga kepada keluarga. Seperti pada kasus pelecehan seksual pada
anak/remaja, orang tua menjadi salah satu korban tidak langsung
yang informasinya juga dibutuhkan untuk menentukan rencana
tindak lanjut.

Peran perawat, tidak hanya memberikan perawatan tetapi


juga sebagai advokat. Sebagai seorang advokat, perawat berperan
sebagai pembela untuk melindungi klien, penghubung antara
pasien/korban dengan tim kesehatan atau tim ahli lain dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dan melindungi hak-hak
pasien/korban/keluarga, membela kepentingan pasien, dan
membantu pasien memahami semua informasi dan upaya
kesehatan (Potter & Perry, 2010). Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien anak maupun
perempuan yang mengalami tindak kekerasan, perawat juga
berperan untuk memberikan rujukan kepada ahli lain atau lembaga
seperti psikolog, psikiater, atau lembaga pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak, atau dinas lain yang sesuai
dengan permasalahan yang sedang dihadapi pasien. Berdasarkan
data yang ada, variasi kasus yang ditangani, dan adanya dampak
yang nyata dari aspek psikologis/spiritual, maka dibutuhkannnya
kolaborasi intraprofesional antara dokter dengan perawat.
Sehingga hasil Visum Et Repertum dapat lebih lengkap, baik dari
pemeriksaan fisik maupun psikologis, serta rencana tindak lanjut
dapat disusun sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
korban/keluarga.
1.2. TUJUAN

Dengan dilaksanakannya asuhan keperawatan forensik,


diharapkan pemeriksaan pada korban anak/perempuan dan
keluarga dapat dilakukan secara komprehensif, yaitu mencakup
aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual. Sehingga hasil
visum dapat lebih lengkap, baik dari pemeriksaan fisik maupun
psikologis, serta rencana tindak lanjut dapat disusun sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan korban/keluarga.

1.3. MANFAAT

 Pelaksanaan asuhan keperawatan forensik dapat menjadi


rujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang
keperawatan khususnya ilmu keperawatan forensik.

 Manfaat yang dapat dirasakan pada dunia kerja, yaitu adanya


kolaborasi intraprofesional antara dokter dengan perawat
dalam pemeriksaan forensik klinik.
1.4 PERSETUJUAN DARI KEPALA INSTALASI
BAB II

LANDASAN TEORI
BAB III

PERMASALAHAN DAN METODE PENYELESAIAN MASALAH

Untuk melaksanakan asuhan keperawatan, pedoman yang dapat


digunakan yaitu Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI),
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia (SIKI). Berikut akan dijabarkan mengenai
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, luaran yang diharapkan,
dan intervensi yang dapat dilakukan.

a. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada tiap masing –
masing kasus berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
(SDKI) sebagai berikut :
1. Penganiayaan oleh orang yang tidak dikenal
 Nyeri akut
 Gangguan itegritas kulit
 Ansietas
 Sindrom pasca trauma
 Koping defensif
 Koping tidak efektif
 Resiko perdarahan
 Resiko distress spiritual
2. Penganiayaan oleh orang terdekat
 Nyeri akut
 Gangguan itegritas kulit
 Ansietas
 Gangguan pola tidur
 Distress spiritual
 Koping tidak efektif
 Sindrom pasca trauma
 Resiko bunuh diri
 Keputusasaan
 Harga diri rendah situasional
 Isolasi sosial
 Koping tidak efektif
 Penurunan koping keluarga
 Resiko harga diri rendah situasional
 Resiko perdarahan
 Resiko difisit nutrisi
 Resiko distress spiritual
3. Penganiayaan dalam rumah (KDRT)
 Nyeri akut
 Gangguan itegritas kulit
 Ansietas
 Gangguan pola tidur
 Koping tidak efektif
 Distress spiritual
 Harga diri rendah situasional
 Sindrom pasca trauma
 Penurunan koping keluarga
 Resiko perdarahan
 Resiko difisit nutrisi
 Resiko bunuh diri
 Resiko distress spiritual
 Resiko harga diri rendah situasional
4. Persetubuhan
 Nyeri akut
 Gangguan itegritas kulit
 Ansietas
 Gangguan pola tidur
 Harga diri rendah situasional
 Keputusasaan
 Isolasi sosial
 Distress spiritual
 Koping tidak efektif
 Sindrom pasca trauma
 Kesiapan peningkatan koping keluraga
 Ketidakmampuan koping keluarga
 Penurunan koping keluarga
 Gangguan proses keluarga
 Gangguan interaksi sosial
 Resiko difisit nutrisi
 Resiko Harga diri rendah situasional
 Resiko kehamilan yang tidak dikehendakisa
 Resiko bunuh diri
 Resiko distress spiritual
 Resiko disfungsi seksual
 Resiko proses pengasuhan tidak efektif
5. Perzinahan
 Ansietas
 Gangguan itegritas kulit
 Gangguan pola tidur
 Harga diri rendah situasional
 Distress spiritual
 Takut terhadap dampak dari kasus tersebut
 Penurunan atau hilangnya dukungan keluarga
 Penurunan koping keluarga
 Gangguan proses keluarga
 Resiko difisit nutrisi
 Resiko harga diri rendah situasional
 Resiko kehamilan yang tidak dikehendaki
 Resiko bunuh diri
 Resiko distress spiritual
 Resiko disfungsi seksual
6. Pencabulan
 Ansietas
 Gangguan integritas kulit
 Gangguan pola tidur
 Harga diri rendah situasional
 Keputusasaan
 Isolasi sosial
 Gangguan interaksi sosial
 Distress spiritual
 Kesiapan peningkatan koping keluraga
 Ketidakmampuan koping keluarga
 Penurunan koping keluarga
 Gangguan proses keluarga
 Gangguan interaksi social
 Resiko difisit nutrisi
 Resiko Harga diri rendah situasional
 Resiko bunuh diri
 Resiko distress spiritual
 Resiko disfungsi seksual
 Resiko proses pengasuhan tidak efektif
7. Pemerkosaan
 Ansietas
 Gangguan itegritas kulit
 Resiko difisit nutrisi
 Harga diri rendah situasional
 Keputusasaan
 Isolasi sosial
 Gangguan interaksi sosial
 Distress spiritual
 Resiko distress spiritual
 Resiko disfungsi seksual
 Resiko harga diri rendah situasional
 Resiko bunuh diri
8. Berduka
 Berduka
 Distress spiritual
 Gangguan proses keluarga
 Penurunan koping keluarga
 Koping tidak efektif
 Resiko distress spiritual
b. Luaran dan Intervensi Keperawatan

Luaran yang diharapkan dan intervensi keperawatan yang akan


diterapkan pada pasien harus sesuai dengan diagnosa keperawatan dan
data yang didapatkan saat pengkajian. Luaran yang diharapkan dibuat
berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), sedangkan
intervensi yang akan dilakukan pada pasien dibuat berdasarkan Standar
Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Beberapa luaran dan intervensi
yang dapat diterapkan pada kasus kekerasan anak maupun perempuan
adalah sebagai berikut :
Diagnosa Keperawatan (SDKI) Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan
(SLKI) (SIKI)
Gangguan integritas Pengumpulan Data Forensik
kulit/jaringan Observasi
Definisi : • Identifikasi lokasi luka
Kerusakan kulit (dermis dana tau • Identifikasi lintasan luka
epidermis) atau jaringan Teraupetik
(membrane mukosa, kornea, • Gambarkan luka fisik dengan ukuran,
fasia, otot, tendon, tulang, warna, jenis luka,lokasi
kartilago, kapsul sendi dan/atau • Dapatkansemuaaspek yang
ligament) teridentifikasi
Penyebab: • Ambil foto awalsebagai foto tubuh
1. Perubahan sirkulasi secara keseluruha
2. Perubahan status nutrisi • Gambarkan pakaian,perhiasan
(kelebihan atau Edukasi
kekurangan) • Jelaskan tujuan dan prosedur
3. Kelebihan/kekurangan pengambilan data forensik
volume cairan
4. Penuruna mobilitas • Berikan konseling yang tepat dan
5. Bahan kimia iritatif perawatan tindaklanjut bagi korban
6. Suhu lingkungan yang dan keluarga
ekstrem
7. Faktor mekanis (mis.
penekanan pada tonjolan
tulang,gesekan)
8. Efek samping terapi
radiasi
9. Kelembaban
10. Proses penuaan
11. Neuropati perifer
12. Perubahan pigmentasi
13. Perubahan hormonal
14. Kurang terpapar
informasi tentang upaya
mempertahankan/melind
ungi integritas jaringan
Resiko disfungsi seksual Edukasi seksualitas
Definisi : Observasi
Berisiko mengalami perubahan • Identifikasi tingkat pengetahuan,
fungsi seksual selama fase masalah system reproduksi, masalah
respon seksual berupa hasrat, seksualitas dan penyakit menular
terangsang, orgasme dan seksual
relaksasi yang dipandang tidak • Monitor stres, kecemasan, depresi
memuaskan, tidak dan penyebab disfungsi seksual
bermakna/tidakadekuat Terapeutik
Faktor Risiko • Berikan kesempatan pada pasien
Biologis untuk menceritakan permasalahan
1. Gangguan neurologi seksual
2. Gangguan urologi Edukasi
3. Gangguan endokrin • Jelaskan efek pengobatan,
4. Keganasan kesehatan dan penyakit terhadap
5. Faktor ginekologis (mis. disfungsi seksual
kehamilan, pasca • Kolaborasi dengan spesialis jika
persalinan) diperlukan
6. Efek agen farmakologis
Psikologis Management trauma perkosaan
1. Depresi Observasi
2. Kecemasan • Identifikasi kebersihan diri setelah
3. Penganiayaan pemerkosaan
psikologis/seksual • Identifikasi status mental , kondisi
4. Penyalahgunaan obat/zat fisik (pakaian, kotoran, kejadian,
Situasional bukti kekerasan, riwayat ginekologis)
1. Konflik hubungan • Identifikasi adanya luka, memar,
2. Kurangnya privasi perdarahan, laserasi, tanda cedera
3. Pola seksual pasangan fisik
menyimpang Terapeutik
4. Ketiadaan pasangan • Berikan pendampingan selama
5. Ketidakadekuatan perawatan
edukasi Kolaborasi
6. Konflik nilai personal  Kolaborasi prosedur pemeriksaan
dalam keluarga, budaya pemerkosaan
dan agama • Amankan sempel sebagai bukti
proses hukum
• Dokumentasikan
Edukasi
• Jelaskan prosedur pemeriksaan
pemerkosaan dan informed consent
Ansietas Observasi
Definisi • Identifikasi kemampuan mengambil
Kondisi emosi dan pengalaman keputusan
subyektif terhadap objek yang • Monitor tanda-tanda ansietas (verbal
tidak jelas dan spesifik akibat & nonverbal)
antisipasi bahaya yang • Identifikasi pilihan teknik distraksi yg
memungkinkan individu diinginkan
melakukan tindakan untuk Terapeutik
menghadapi ancaman. • Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
Penyebab. • Berikan empati, kehangatan, dan
1. Krisis situasional. kejujuran
2. Kebutuhan tidak • Berikan privasi dan pertahankan
terpenuhi. kerahasiaan
3. Krisis maturasional. • Pahami situasi yg membuat ansietas
4. Ancaman terhadap • Gunakan pendekatan yg tenang dan
konsep diri. meyakinkan
5. Ancaman terhadap • Diskusikan perencanaan realistis
kematian. tentang peristiwa yg akan dating
6. Kekhawatiran mengalami • Gunakan teknik distraksi
kegagalan. Edukasi
7. Disfungsi sistem keluarga. • Anjurkan mengungkapkan perasaan
8. Hubungan orang tua-anak dan persepsi
tidak memuaskan. • Anjurkan keluarga untuk tetap
9. Faktor keturunan bersama pasien, jika perlu
(temperamen mudah • Latih teknik relaksasi
teragitasi sejak lahir) • Anurkan berlatih teknik distraksi
10. Penyalahgunaan zat.
11. Terpapar bahaya
lingkungan (mis. toksin,
polutan, dan lain-lain).
12. Kurang terpapar
informasi.
Sindrom pasca trauma Observasi
Definisi • identifikasi perasaan khawatir
Respon maladaptif yang kesepian dan ketidakberdayaan
berkelanjutan terhadap kejadian • Identifikasi pandangan tentang
trauma hubungan antara sepiritual dan
Kesehatan
Penyebab • Identifikasi ketaatan beragama
1. Bencana Terapeutik
2. Peperangan • Berikan kesempatan
3. riwayat korban perilaku mengekspresikan dan meredakan
kekerasan marah secara tepat
4. Kecelakaan • Yakinkan bahwa perawat bersedia
5. Saksi pembunuhan mendukung Selama masa
ketidakberdayaan
• Sediakan privasi dan waktu tenang
untuk aktivitas spiritual
Edukasi
• Anjurkan interaksi dengan kelarga
teman dan orang lain
• Ajarkasn metode relaksasi, meditasi
dan imajinasi terbimbing
Ketidakmampuan koping Dukungan perlindundungan
keluarga penganiayaan pasangan
Definisi Observasi
• Identifikasi factor resiko kdrt (riwayat
Penyebab kdrt, pelecehan, penolakan, dll)
1. Hubungan keluarga • Identifikasi riwayat kdrt
ambivalen • Identifikasi tanda gejala kekerasan
2. Pola koping yang berbeda • Identifikasi kesesuaian jenis cedera
diantara klien dan orang dan gambaran penyebab
terdekat Teraupetik
3. Resistensi keluarga • Dokumentasikan bukti kekerasan
terhadap fisik atau seksual dengan foto, video
perawatan/pengobatan • Tegaskan secara positif bahwa
yang komplek pasien berharga
• Dengarkan saat pasien menceritakan
masalahnya
• Buat rencana keselamatan yang
digunakan jika terjadi kekerasan
Edukasi
• Anjurkan mengekspresikan
ketakutan, kekhawatiran, rasa malu,
rasa bersalah,
• Informasikan lembaga yang dapat
didatangi jika membutuhkan bantuan
Kolaborasi
• Kolaborasi dengan pihak yang
berwenang secara hokum, LSM,
komnas
Kesiapan peningkatan koping Dukungan koping keluarga,
keluraga Observasi
• Identifikasi respon
Definisi
emosional terhadap
Pola adaptasi anggota keluarga peristiwa saat ini
dalam mengatasi situasi yang • Identifikasi kesesuaian
dialami klien secara efektif dan antara harapan pasien,
keluarga, dan tenaga
menunjukan keinginan serta
kesehatan
kesiapan untuk meningkatkan Teraupetik
kesehatan keluarga dan klien. • Fasilitasi pengungkapan
perasaan
• Fasilitasi pengambilan
keputusan hargai dan
dukung mekanisme koping
adaptif yang digunakan
Edukasi
• Informasikan fasilitas
kesehatan atau lembaga
yang tersedia
Pelibatan keluarga
Observasi
 Identifikasi kesiapan
keluarga untuk terlibat
dalam perawatan
Teraupetik
• Diskusikan cara perawatan
di rumah
• Fasilitasi keluarga membuat
keputusan perawatan
• Motivasi keluarga
mengembangkan aspek
positif rencana perawatan
Edukasi
• Jelaskan kondisi pasien
kepada keluarga
• Informasikan harapan
pasien terhadap keluarga
• Anjurkan keluarga terlibat
dalam perawatan
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
TERAKREDITASI SNARS ED-1 INTERNASIONAL

30 November 2022 s.d. 20 November 2026

Jl. Jaksa Agung Suprapto No.2 MALANG 65111


Telp. ( 0341 ) 362101, Fax. ( 0341 ) 369384
E-mail : staf-rsu-drsaifulanwar@jatimprov.go.id
Website : www.rsusaifulanwar.jatimprov.go.id

PENGKAJIAN AWAL KEPERAWATAN


NO. RM : 11570502
I. ALASAN MASUK RUMAH SAKIT : Pasien mengatakan telah menerima
NAMA PASIEN : SAFINA NUR SUSILAWATI
tindakan pencabulan pada bulan November, dan saat ini dalam kondisi hamil.
TANGGAL LAHIR : 18/09/2004
II. RIWAYAT KESEHATAN/: Depresi berat, pernah melakukan
TANGGAL MASUK : 23/03/2023
PENGOBATAN/PERAWATAN pengobatan di psikiater namun saat ini
JAM MASUK : 11.00 WIB
putus obat

1. Pengalaman traumatis masalalu : √ YA TIDAK

2. Pengobatan sebelumnya :  BERHASIL √ KURANG BERHASIL

 TIDAK BERHASIL

3. RIWAYAT TRAUMA : Pelaku/ Usia Korban/Usia


Saksi/Usia
a. Aniaya Fisik teman SMP SMP

b. Aniaya Seksual ± 23 th 19 th -

c. Penolakan  

d. Kekerasan dalam Keluarga  


Jelaskan :

 Pada bulan November korban diajak jalan-jalan oleh pelaku. Setelah


jalan-jalan, pelaku mengajak korban beristirahat di salah satu
penginapan dan menyewa 1 kamar. Saat di kamar pelaku meminta
korban untuk istirahat di Kasur, dan korban sempat menolak tapi
akhirnya menyetujuinya. Pelaku memaksa korban untuk membuka
seluruh bajunya kemudian pelaku melakukan tindakan pencabulan.
Korban mengatakan pelaku tetap meneruskan walaupun korban sudah
mengeluh kesakitan.

 Pada bulan Desember sampai Februari korban tidak haid, namun koban
berpikir bahwa hal itu karena gangguan hormon. Pada awal bulan
maret korban dan ibunya melakukan pemeriksaan ke dokter
kandungan, dan didapati jika korban telah hamil.

 Sesampainya di rumah korban minum obat anti depresi yang pernah


diberikan oleh psikiater sebanyak 3 tablet. Menurut korban efeknya
hanya tidur dalam waktu yang tidak lama, kemudian korban kembali
terbangun.

4. Pernah melakukan upaya/ percobaan/ bunuh diri √ YA TIDAK

Jelaskan : korban mengatakan saat SMP menjadi korban bullying sehingga mengalami
depresi berat. Orang tua korban tidak mengantar korban untuk melakukan pemeriksaan
ke psikiater, sehingga korban diam-diam melakukan pemeriksaan sendiri ke psikiater
dan mendapatkan obat untuk depresinya.
5. Pernah mengalami penyakit fisik  YA √ TIDAK

Jelaskan :

6. Riwayat Pengguna NAPZA  YA √ TIDAK

Sebutkan ……………………………………………………………………………

……………………………………………………………………………………....

III. PEMERIKSAAN FISIK :

Keadaan umum: Baik

Pemeriksaan tanda- tanda vital

Kesadaran : Compos mentis

Pernapasan : ……20……x/menit Tekanan darah : …139/88…


mmHG

Nadi :……118.……x/menit Suhu Tubuh : ……36….. ◦C

Tinggi Badan : ……150….. Cm Berat Badan : ……50…… Kg

Skala Nyeri untuk Umur > 9 Tahun Skala Nyeri untuk Umur < 9 Tahun
NILAI SKALA NYERI:

 0 (Tidak Nyeri)

 1-3 (Ringan)

 4-6 (Sedang)

 7-10 (Berat

Diagram
kode diagram

A : Abrasi

B: Bruise

Bu : Burn

E : eritema

L : laserasi

P : Ptekie

Pu : Pressure ulcer

R : Rash

S : Scar

ST: stoma

U : Ulcer

1. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan

 Saat SMP menjadi korban bullying, sempat mencoba bunuh diri dengan
melukai pergelangan tangannya dan minum obat PCT dalam jumlah
banyak.

2. Konsep diri

Gambaran diri : tidak dapat dikaji

Identitas diri : tidak dapat dikaji

Peran : tidak dapat dikaji

Ideal diri : tidak dapat dikaji,

Harga diri : tidak dapat dikaji.

3. Hubungan social
Orang yang berarti/terdekat : keluarga (ayah dan ibu)

4. Peran serta dalam kegiatan :

Kelompok/masyarakat/ :

Hubungan social : menurut orang tua korban memiliki sedikit teman bermain
dan cenderung sering bermain di rumah sendirian

5. Hambatan dalam berhubung : saat pengkajian korban lebih sering diam,


tidak jujur dalam menjawab pertanyaan.

6. Spiritual

Nilai keyakinan dan agama : baik

Kegiatan beribadah : baik

7. PEMERIKSAAN STATUS MENTAL

8. Penampilan :  Tidak rapih  Penggunaan pakaian tidak


sesuai

 Cara berpakaian tidak seperti biasanya

9. Pembicaraan :  Cepat  Keras  Gagap  Lambat 


Apatis

 Koheren  Inkoheren  Tidak mampu memulai

pembicaraan

10. Akivitas : √ Lesu  Tegang  Gelisah  Agitasi 


Gremice

 Tremor
11. Afek :  Datar  Tumpul  Labil  Tidak sesuai

 Sesuai

Mood : √Sedih  Ketakutan  Putusasa  Kesepian

 Khawatir  Gembira Berlebihan

12. Interaksi selama :  Curiga  Kontak mata (+)  Mudah


tersinggung

Wawancara  Tidak kooperatif  Defensif

13. Proses Pikir :  Tangensial √ Koheren  Inkoheren

 Main kata kata  Blocking

14. Isi Pikir :  Obsesif  Phobia  Fantasi

 Pikiran bunuh diri  Pesimisme

 Pikiran isolasi social  Pikiran rendah diri

15. Bentuk pikir : √ Realistik  Non realistic

16. PERENCANAAN PULANG (DISCHARGE PLANNING)

KETERANGAN YA TIDAK

Tempat Tinggal Rumah orang tua

Pemberi Pelayanan

Layanan Kesehatan Puskesmas terdekat


Masyarakat

Dukungan Kelompok Keluarga dan saudara

ASPEK MEDIS

1. Diagnosa Medis
2. Terapi yang diberikan
MASALAH KEPERAWATAN

NO TANGGAL DIAGNOSA KEPERAWATAN


MUNCUL

1. 05/02/2023 Nyeri akut b.d luka akibat dari tindakan kekerasan yang
diterima
2. 05/02/2023
Gangguan proses keluarga b.d transisi situasional
(perpisahan)

IMPLEMENTASI

JAM IMPLEMENTASI TTD

15.00 Memberikan privasi pada pasien (menutup tirai)

Melakukan BHSP dan komunikasi teraupetik

15.10 Melakukan pengkajian kronologi kejadian

Mengeksplorasi perasaan pasien terhadap tindakan yang telah


dialami

Menenangkan pasien

15.40 Memberikan dukungan kepada pasien untuk mengambil


keputusan yang tepat

Memberikan dukungan untuk tetap memperjuangkan haknya


dan anaknya dalam mendapat nafkah
15.45
Memberikan dukungan keyakinan bahwa tindakan untuk
melapor ke polisi adalah hal yang benar

Melakukan validasi perasaan dan harapan pasien terkait


masalah yang dihadapi

EVALUASI Tanggal : 05/01/2023

JAM EVALUASI TTD

15.45 S :

- Pasien mengatakan tidak takut pelaku akan melakukan


hal yang sama atau tindak kekerasan yang lain

- Pasien mengatakan lebih tenang karena sudah melapor


ke polisi

- Pasien berharap pelaku jera dan mau menafkahi anaknya

- Pasien mengatakan kecewa terhadap tindakan pelaku

O : k/u baik, mata nampak lingkaran hitam dan sayu, intonasi


suara rendah

RR : ……20……x/menit

BP : ……100/60 mmHG

N :…….80……x/menit

Tax : ………..36,2 ◦C

A :

Masalah teratasi

P :

Kolaborasi dengan dokter dalam pembuatan visum forensik


klinik

Kolaborasi dengan dokter bedah


BAB IV

HASIL UJI COBA , IMPLEMENTASI DAN PEMBAHASAN

Contoh Askep :
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Anda mungkin juga menyukai