PENDAHULUAN
Penyakit hipertensi dapat disebabkan oleh pola makan yang buruk dan kurangnya
aktivitas fisik. Hipertensi adalah salah satu penyakit degenerative yang menjadi salah satu
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Semakin bertambah usia dapat meningkatkan
resiko terjangkitnya penyakit hipertensi yang disebabkan oleh adanya perubahan alami pada
jantung, pembuluh darah dan hormon (Rihiantoro dkk., 2018). Selain itu, penggunaan obat
hipertensi di masyarakat masih banyak yang tidak sesuai dengan resep dokter, masyarakat
sering mengkonsumsi berdasarkan pengalaman yang dialaminya atau orang di sekitarnya,
sehingga beresiko tidak mendapatkan efek terapi yang optimal dan juga sangat
memungkinkan terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan. Penggunaan obat yang tidak
sesuai dosis dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, salah satunya adalah resiko
toksisitas akut (Saputri dkk., 2022).
II. ISI
A. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah diatas normal lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari
sama dengan 90 mmHg. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu : Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya. Hipertensi sekunder, penyebabnya dapat diketahui anatara lain kelainan
pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme).
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme (ACE) yang memegang peran
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen
yang diproduksi di hati. Selanjutnya hormone renin akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel
jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG merupakan modifikasi dari sel-sel otot
polos yang terletak pada dinding arteriol aferen tepat di proksimal glomeruli. Bila
tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak
molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin. Angiotensin II adalah
vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki efek lain yang juga mempengaruhi
sirkulasi. Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama yaitu
vasokonstriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan
sedikit lemah pada vena.
B. Labetolol
D. Penggunaan Labetolol
Labetolol memiliki waktu paruh eliminasi 5,5 jam dan perlu diminum 3-4 kali
sehari. dosis yang diizinkan hingga batas atas 300 mg per hari. Dosis awal labetalol
dimulai dari 20 mg, diikuti dengan dosis tambahan berulang 20-80 mg dengan interval
10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Alternatif lain, setelah
pemberian dosis inisial, dapat diberikan infus 1-2 mg/menit dan dititrasi sampai efek
hipotensi yang diinginkan tercapai. Injeksi bolus 1-2 mg/kg labetalol telah dilaporkan
menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis, sehingga harus dihindari. Obat ini
memiliki onset 5-10 menit dengan durasi kerja 3-6 jam.
Pemberian secara oral pada dewasa yaitu pada awal sebanyak 100 mg dua kali
sehari, dosis ditingkatkan dengan interval 14 hari; dosis biasa 200 mg dua kali sehari,
ditingkatkan jika perlu hingga 800 mg setiap hari dalam 2 dibagi dosis, untuk diminum
bersama makanan, dosis yang lebih tinggi untuk diberikan dalam 3-4 dosis terbagi;
maksimal 2,4 g per hari. Sedangkan pada lansia, diberikan di awal sebanyak 50 mg dua
kali sehari, dosis ditingkatkan dengan interval 14 hari; dosis biasa 200 mg dua kali
sehari, ditingkatkan jika perlu hingga 800 mg setiap hari dalam 2 dibagi dosis, untuk
diminum bersama makanan, dosis yang lebih tinggi untuk diberikan dalam 3-4 dosis
terbagi; maksimal 2,4 g per hari. Dosis pemberian dengan injeksi intravena yaitu untuk
dewasa sebanyak 50 mg, dosis diberikan minimal 1 menit. kemudian 50 mg setelah 5
menit jika diperlukan; maksimum 200 mg untuk sekali pemberian.
Kontraindikasi labetalol antara lain pasien gagal jantung, COPD/penyakit paru
obstruktif kronik, asma, bradikardia sinus berat, AV blok derajat 2 dan 3. Efek samping
Hipotensi, impotensi, penurunan libido. Selain itu, Efek samping lainnya yang dapat
ditimbulkan yaitu Bronkokonstriksi, Bradikardia pada janin. Diindikasikan untuk terapi
pasien hipertensi, penyakit arteri coroner, dan jantung kongestif. Selain itu, untuk
mengobati hipertensi arteri, yang berkisar dari krisis hipertensi akut (mendesak/darurat)
hingga hipertensi kronis yang stabil (Panggabean, 2023).
E. Toksisitas Labetolol
- Hepatotoksisitas
Terapi labetalol dikaitkan dengan peningkatan kadar aminotransferase serum
ringan hingga sedang pada hingga 8% pasien, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan β-blocker lainnya [20]. Namun, peningkatan ini seringkali bersifat sementara,
tanpa gejala, dan dapat diatasi bahkan dengan terapi lanjutan. Cedera hati yang terlihat
secara klinis dan khas akibat labetalol jarang terjadi, namun banyak kasus telah
dilaporkan dalam rangkaian kasus dan juga dalam laporan kasus terisolasi. Cedera hati
biasanya timbul setelah 4-16 minggu terapi dan peningkatan enzim serum biasanya
bersifat hepatoseluler dengan onset dan perjalanan penyakit seperti hepatitis akut.
Meskipun dalam sebagian besar kasus, masalah hati teratasi setelah labetalol dihentikan,
beberapa kasus gagal hati akut memerlukan transplantasi hati darurat, atau kematian
terkait dengan pemberian labetalol, terutama karena penundaan penghentian obat.
Labetalol adalah β-blocker dengan risiko tertinggi terjadinya kerusakan hati yang
terlihat secara klinis.
- Gagal Jantung
Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes atau mereka yang mengalami
penurunan simpanan glikogen. Blokade reseptor β2-adrenergik diperkirakan akan
menurunkan glikogenolisis pada otot rangka dan hati dan berpotensi menyebabkan
penurunan kadar glukosa plasma. Hipoglikemia lebih mungkin terjadi bila terjadi
penipisan glikogen hati akibat puasa. Labetalol adalah penghambat β non-selektif dan
juga mempunyai efek pemblokiran α. Bila diberikan secara intravena, perbandingan
blokade α dan blokade β adalah sekitar 1:7. Blokade reseptor β2 dan α-adrenergik dapat
menurunkan glikogenolisis di hati, sedangkan blokade reseptor β2-adrenergik juga akan
menurunkan glikogenolisis pada otot rangka. Namun ada beberapa laporan mengenai
hipoglikemia yang disebabkan oleh labetalol, selain peningkatan risiko hipoglikemia
neonatal akibat terapi labetalol ibu, yang harus dipertimbangkan dalam proses
pengobatan (Abdullah dan Yusof, 2019).
Abdulloh A. dan Yusof, M., K., M. 2019. Labetalol: A Brief Current Review. Pharmacophore,
10(6): 50-56.
Brunton, L., L., Lazo, J., S. dan Parker, K., L. 2006. The Pharmalogical Basis of Therapeutics.
New York : Medical Publishing Division.
El-Borm, H., T. dan Atallah, M., N. 2021. Protective Efects Of Zingiber Ofcinale Extract
On Myocardium And Placenta Against Labetalol-Induced Histopathological,
Immune-Histochemical, And Ultrastructural Alterations In Pregnant Rats. The Journal
of Basic and Applied Zoology, 82(38): 1-15.
Panggabean, M., S. 2023. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi. Continuing Medical
Education, 50(2): 83-93.
Ristyaningsih, A., Yasin, N., M. dan Kurniawati, F. 2018. Studi Eksplorasi Penatalaksanaan
Hipertensi pada Wanita Hamil. JMPF, 8(4): 189-199.
Rihiantoro, Tori, and Muji Widodo. 2018. Hubungan Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Dengan
Kejadian Hipertensi Di Kabupaten Tulang Bawang. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai
Betik, 13(2): 159.
Saputri, R., Mustaqimah dan Hakim, A., R. 2022. Analisis Toksisitas Akut Kombinasi Captopril
dengan Rebusan Daun Sirsak pada Tikus Galur Wistar. Jurnal Surya Medika, 7(2): 14-
19.