Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN

Hipertensi termasuk penyakit dengan prevalensi tinggi dan jumlahnya terus


meningkat setiap tahunnya. Data yang dikeluarkan oleh WHO (2018) menujukkan bahwa
sekitar 26,4% penduduk dunia mengalami hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan
26,1% wanita. Menurut data yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, hipertensi
dan penyakit jantung lain meliputi lebih dari sepertiga penyebab kematian, dimana hipertensi
menjadi penyebab kematian kedua setelah stroke. Riskesdas 2018 menyatakan prevalensi
hipertensi berdasarkan hasil pengukuran pada penduduk usia ≥18 tahun sebesar 34,1%,
tertinggi di Kalimantan Selatan (44.1%), sedangkan terendah di Papua sebesar (22,2%).
Estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar 63.309.620 orang, sedangkan angka
kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218.

Hipertensi yaitu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah


diatas normal ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi disebut sebagai the silent
killer karena sering tanpa keluhan, sehingga penderita tidak mengetahui dirinya
menyandang hipertensi dan baru diketahui setelah terjadi komplikasi. Kerusakan organ
target akibat komplikasi Hipertensi akan tergantung kepada besarnya peningkatan tekanan
darah dan lamanya kondisi tekanan darah yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Organ-
organ tubuh yang menjadi target antara lain otak, mata, jantung, ginjal, dan dapat juga
berakibat kepada pembuluh darah arteri perifer (Brunton dkk., 2006)

Penyakit hipertensi dapat disebabkan oleh pola makan yang buruk dan kurangnya
aktivitas fisik. Hipertensi adalah salah satu penyakit degenerative yang menjadi salah satu
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Semakin bertambah usia dapat meningkatkan
resiko terjangkitnya penyakit hipertensi yang disebabkan oleh adanya perubahan alami pada
jantung, pembuluh darah dan hormon (Rihiantoro dkk., 2018). Selain itu, penggunaan obat
hipertensi di masyarakat masih banyak yang tidak sesuai dengan resep dokter, masyarakat
sering mengkonsumsi berdasarkan pengalaman yang dialaminya atau orang di sekitarnya,
sehingga beresiko tidak mendapatkan efek terapi yang optimal dan juga sangat
memungkinkan terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan. Penggunaan obat yang tidak
sesuai dosis dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, salah satunya adalah resiko
toksisitas akut (Saputri dkk., 2022).

Terapi farmakologi dari beberapa golongan obat antihipertensi dapat menyebabkan


efek samping yang cukup berat, terutama untuk pasien dengan polifarmasi karena jalur
metabolisme dan ekskresi obat-obatan antihipertensi mayoritas melalui ginjal dan hati yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dan hepatotoksik. Oleh karena itu, diperlukan
pengujian toksisitas untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk
memperoleh data dosis serta respon yang khas dari sediaan uji. Uji toksisitas adalah suatu
uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat untuk mendapatkan data hubungan respon dan
dosis yang diberikan. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberikan infromasi
mengenai derajat bahaya dari sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia,
sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (Ristyaningsih
dkk., 2018).

II. ISI
A. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah diatas normal lebih dari sama dengan 140 mmHg dan diastolik lebih dari
sama dengan 90 mmHg. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi 2
kelompok, yaitu : Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya. Hipertensi sekunder, penyebabnya dapat diketahui anatara lain kelainan
pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal
(hiperaldosteronisme).
Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme (ACE) yang memegang peran
fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen
yang diproduksi di hati. Selanjutnya hormone renin akan diubah menjadi angiotensin I.
Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Renin disintesis dan disimpan dalam bentuk inaktif yang disebut prorenin dalam sel-sel
jukstaglomerular (sel JG) pada ginjal. Sel JG merupakan modifikasi dari sel-sel otot
polos yang terletak pada dinding arteriol aferen tepat di proksimal glomeruli. Bila
tekanan arteri menurun, reaksi intrinsik dalam ginjal itu sendiri menyebabkan banyak
molekul protein dalam sel JG terurai dan melepaskan renin. Angiotensin II adalah
vasokonstriktor yang sangat kuat dan memiliki efek lain yang juga mempengaruhi
sirkulasi. Selama angiotensin II ada dalam darah, maka angiotensin II mempunyai dua
pengaruh utama yang dapat meningkatkan tekanan arteri. Pengaruh pertama yaitu
vasokonstriksi, timbul dengan cepat. Vasokonstriksi terjadi terutama pada arteriol dan
sedikit lemah pada vena.
B. Labetolol

Gambar 1. Struktur Labetolol


Labetalol merupakan salah satu obat hipertensi golongan beta blocker. Obat ini
adalah antagonis adrenoseptor reversibel yang tersedia sebagai campuran rasemik dua
pasangan isomer chiral (molekul memiliki dua pusat asimetri). Isomer (S,S) dan (R,S)
hampir inaktif, isomer (S,R) merupakan penghambat α yang poten, dan isomer (R,R)
merupakan penghambat β poten. Afinitas labetalol terhadap reseptor α lebih kecil
dibandingkan dengan fentolamin, tetapi labetalol bersifat selektif α1 . Kekuatannya
menghambat reseptor β agak lebih rendah dibandingkan dengan propranolol. Hipotensi
yang ditimbulkan oleh labetalol lebih jarang disertai takikardia dibandingkan pada
pemberian fentolamin dan penghambat α serupa (Abdullah dan Yusof, 2019).
Labetolol berbentuk bubuk kristal berwarna putih atau putih pucat dan
strukturnya sangat polar. Oleh karena itu, tablet labetalol harus disimpan pada suhu 2-
30°C dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari kelembapan yang berlebihan.
Labetalol paling stabil dalam larutan yang memiliki pH 2-4. Labetolol mengandung
antagonisme alfa1-adrenergik selektif, kompetitif, dan aktivitas pemblokiran beta-
adrenergik (B1 dan B2) non-selektif, kompetitif dalam satu agen. Saat dianalisis di
laboratorium, rasio aktivitas blokade alfa hingga beta diperkirakan sekitar 1 banding 3
dan 1 banding 7 setelah pemberian oral dan intravena (IV). Memiliki efek blockade
adenoseptor α1 selektif sehingga menurunkan tekanan darah karena menurunkan retensi
vascular sistemik tanpa terjadi perubahan detak atau kecepaatan jantung atau curah
jantung.
C. Mekanisme Kerja Labetolol
Labetolol bekerja dengan memperlambat denyut jantung dan dapat
menyebabkan depresi, dimana labetolol merupakan beta bloker yang memiliki
tambahan mekanisme kerja vasodilatasi arteriol, sehingga dapat menurunkan resistensi
perifer. Labetolol sebagai golongan Beta Bloker dianggap sebagai lini pertama yang
tepat untuk mengobati hipertensi dalam kehamilan. Dimana mekanisme kerja dengan
melibatkan penurunan curah jantung melalui efek penghambat pelepasan renin dari
ginjal. Penghentian terapi Beta Bloker yang tiba-tiba dapat menghasilkan angina yang
tidak stabil dan berkeringat. Untuk alasan ini, maka dosis penggunaan labetolol harus
selalu dikurangi dosisnya secara bertahap (Kincade, 2008).
Labetalol menghasilkan penurunan tekanan darah terkait dosis tanpa takikardia
refleks tanpa penurunan denyut jantung yang signifikan. Efek ini dihasilkan melalui
campuran efek pemblokiran alfa dan beta. Mekanisme aksi dengan mnurunkan tekanan
darah dengan merelaksasi pembuluh darah sehingga kerja jantung melambat.

Gambar 2. Mekanisme Aksi Labetolol

D. Penggunaan Labetolol
Labetolol memiliki waktu paruh eliminasi 5,5 jam dan perlu diminum 3-4 kali
sehari. dosis yang diizinkan hingga batas atas 300 mg per hari. Dosis awal labetalol
dimulai dari 20 mg, diikuti dengan dosis tambahan berulang 20-80 mg dengan interval
10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan tercapai. Alternatif lain, setelah
pemberian dosis inisial, dapat diberikan infus 1-2 mg/menit dan dititrasi sampai efek
hipotensi yang diinginkan tercapai. Injeksi bolus 1-2 mg/kg labetalol telah dilaporkan
menyebabkan penurunan tekanan darah yang drastis, sehingga harus dihindari. Obat ini
memiliki onset 5-10 menit dengan durasi kerja 3-6 jam.
Pemberian secara oral pada dewasa yaitu pada awal sebanyak 100 mg dua kali
sehari, dosis ditingkatkan dengan interval 14 hari; dosis biasa 200 mg dua kali sehari,
ditingkatkan jika perlu hingga 800 mg setiap hari dalam 2 dibagi dosis, untuk diminum
bersama makanan, dosis yang lebih tinggi untuk diberikan dalam 3-4 dosis terbagi;
maksimal 2,4 g per hari. Sedangkan pada lansia, diberikan di awal sebanyak 50 mg dua
kali sehari, dosis ditingkatkan dengan interval 14 hari; dosis biasa 200 mg dua kali
sehari, ditingkatkan jika perlu hingga 800 mg setiap hari dalam 2 dibagi dosis, untuk
diminum bersama makanan, dosis yang lebih tinggi untuk diberikan dalam 3-4 dosis
terbagi; maksimal 2,4 g per hari. Dosis pemberian dengan injeksi intravena yaitu untuk
dewasa sebanyak 50 mg, dosis diberikan minimal 1 menit. kemudian 50 mg setelah 5
menit jika diperlukan; maksimum 200 mg untuk sekali pemberian.
Kontraindikasi labetalol antara lain pasien gagal jantung, COPD/penyakit paru
obstruktif kronik, asma, bradikardia sinus berat, AV blok derajat 2 dan 3. Efek samping
Hipotensi, impotensi, penurunan libido. Selain itu, Efek samping lainnya yang dapat
ditimbulkan yaitu Bronkokonstriksi, Bradikardia pada janin. Diindikasikan untuk terapi
pasien hipertensi, penyakit arteri coroner, dan jantung kongestif. Selain itu, untuk
mengobati hipertensi arteri, yang berkisar dari krisis hipertensi akut (mendesak/darurat)
hingga hipertensi kronis yang stabil (Panggabean, 2023).
E. Toksisitas Labetolol
- Hepatotoksisitas
Terapi labetalol dikaitkan dengan peningkatan kadar aminotransferase serum
ringan hingga sedang pada hingga 8% pasien, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan β-blocker lainnya [20]. Namun, peningkatan ini seringkali bersifat sementara,
tanpa gejala, dan dapat diatasi bahkan dengan terapi lanjutan. Cedera hati yang terlihat
secara klinis dan khas akibat labetalol jarang terjadi, namun banyak kasus telah
dilaporkan dalam rangkaian kasus dan juga dalam laporan kasus terisolasi. Cedera hati
biasanya timbul setelah 4-16 minggu terapi dan peningkatan enzim serum biasanya
bersifat hepatoseluler dengan onset dan perjalanan penyakit seperti hepatitis akut.
Meskipun dalam sebagian besar kasus, masalah hati teratasi setelah labetalol dihentikan,
beberapa kasus gagal hati akut memerlukan transplantasi hati darurat, atau kematian
terkait dengan pemberian labetalol, terutama karena penundaan penghentian obat.
Labetalol adalah β-blocker dengan risiko tertinggi terjadinya kerusakan hati yang
terlihat secara klinis.
- Gagal Jantung

Gagal jantung kongestif, keterlambatan konduksi intraventrikular, dan blok


atrioventrikular, dapat terjadi pada keracunan yang lebih parah. Koma dan henti jantung
paru dapat terjadi akibat hipotensi berat atau bradikardia. Pada beberapa pasien dengan
gagal jantung laten, depresi miokard yang berlanjut dengan obat penghambat β selama
beberapa waktu dapat menyebabkan gagal jantung. Blokade β mempunyai potensi risiko
lebih menekan kontraktilitas miokard dan kegagalan yang lebih parah. Labetalol HCl
tidak menghilangkan fungsi inotropik digitalis pada otot jantung.
- Hipoglikemia

Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes atau mereka yang mengalami
penurunan simpanan glikogen. Blokade reseptor β2-adrenergik diperkirakan akan
menurunkan glikogenolisis pada otot rangka dan hati dan berpotensi menyebabkan
penurunan kadar glukosa plasma. Hipoglikemia lebih mungkin terjadi bila terjadi
penipisan glikogen hati akibat puasa. Labetalol adalah penghambat β non-selektif dan
juga mempunyai efek pemblokiran α. Bila diberikan secara intravena, perbandingan
blokade α dan blokade β adalah sekitar 1:7. Blokade reseptor β2 dan α-adrenergik dapat
menurunkan glikogenolisis di hati, sedangkan blokade reseptor β2-adrenergik juga akan
menurunkan glikogenolisis pada otot rangka. Namun ada beberapa laporan mengenai
hipoglikemia yang disebabkan oleh labetalol, selain peningkatan risiko hipoglikemia
neonatal akibat terapi labetalol ibu, yang harus dipertimbangkan dalam proses
pengobatan (Abdullah dan Yusof, 2019).

Berdasarkan penelitian El-Borm dan Atallah (2021) mengenai toksisitas


labetalol terhadap jantung dan plasenta. Pada pemberian labetalol pada tikus bunting
dengan dosis 300 mg/kgBB menimbulkan efek toksik kardio dan plasenta. Hal ini
ditandai dengan perubahan histologis yang jelas pada kelompok kontrol pemberian
labetolol berupa disorganisasi dan kontraksi serat otot jantung. Kemacetan dan
pelebaran pembuluh darah, infiltrasi seluler dan peningkatan ruang intraseluler antara
serat miokard terdeteksi serta vakuolasi perinuklear dan piknosis. Selain itu, Otot
jantung kelompok yang diberikan labetalol menunjukkan kerusakan fokal dan vakuolasi
kardiomiosit. Inti menunjukkan selubung inti tidak beraturan dengan kondensasi
kromatin perifer, dan lainnya tampak piknotik dan mengecil. Pada percobaan ini,
dilakukan pengamatan pada plasenta tikus. Berat plasenta pada kelompok yang
diberikan labetalol mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Selain itu, plasenta tikus yang diberikan labetalol menunjukkan
banyak perubahan yang merusak termasuk dilatasi tidak teratur dan fragmentasi
sinusoid ibu yang berisi sel darah merah. Adanya hal ini, untuk meminimalisir adanya
efek toxic ini dapat dilakukan pengkonsumsian jahe.
III. PENUTUP
a. Kesimpulan
Labetolol merupakan obat hipertensi golongan Beta blocker dengan mekanisme
aksi menghambat kerja dari beta blocker 1 dengan menurunkan herat rate dan kontraksi
miocardium sehingga menurunkan cardiac output dan tekanan darah. Dosis labetolol
untuk injeksi intravena yaitu 50 mg, dosis diberikan minimal 1 menit. kemudian 50 mg
setelah 5 menit jika diperlukan; maksimum 200 mg untuk sekali pemberian. Pemberian
dosis 300 mg dapat mengakibatkan efek samping maupun efek toksik kardio, kerusakan
hati, hipoglikemia, dan bradikardia.
b. Saran
Pengkonsumsian labetolol harus sesuai dosis yang sesuai dan peraturan agar
tidak menimbulkan efek samping maupun efek toksik yang tidak diinginkan.
Penanganan ketika timbul efek samping dan efek toksik harus dilakukan sesuai prosedur
prinsip toksikologi dan memperhatikan gejala keracunan yang timbul serta dilakukan
pemeriksaan penyebab keracunan yang sesuai oleh tenaga medis yang berwenang.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Abdulloh A. dan Yusof, M., K., M. 2019. Labetalol: A Brief Current Review. Pharmacophore,
10(6): 50-56.
Brunton, L., L., Lazo, J., S. dan Parker, K., L. 2006. The Pharmalogical Basis of Therapeutics.
New York : Medical Publishing Division.
El-Borm, H., T. dan Atallah, M., N. 2021. Protective Efects Of Zingiber Ofcinale Extract
On Myocardium And Placenta Against Labetalol-Induced Histopathological,
Immune-Histochemical, And Ultrastructural Alterations In Pregnant Rats. The Journal
of Basic and Applied Zoology, 82(38): 1-15.
Panggabean, M., S. 2023. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi. Continuing Medical
Education, 50(2): 83-93.
Ristyaningsih, A., Yasin, N., M. dan Kurniawati, F. 2018. Studi Eksplorasi Penatalaksanaan
Hipertensi pada Wanita Hamil. JMPF, 8(4): 189-199.
Rihiantoro, Tori, and Muji Widodo. 2018. Hubungan Pola Makan Dan Aktivitas Fisik Dengan
Kejadian Hipertensi Di Kabupaten Tulang Bawang. Jurnal Ilmiah Keperawatan Sai
Betik, 13(2): 159.
Saputri, R., Mustaqimah dan Hakim, A., R. 2022. Analisis Toksisitas Akut Kombinasi Captopril
dengan Rebusan Daun Sirsak pada Tikus Galur Wistar. Jurnal Surya Medika, 7(2): 14-
19.

Anda mungkin juga menyukai