Anda di halaman 1dari 18

FISIOLOGI DASAR PENAKIT KRITIS

REVIEW ARTIKEL

Pembimbing :
dr. Bambang Priambodo, Sp.An

Penyusun:
Nalendra Tri Widhianarto
NIM : 030 12 185

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANAESTHESIA


RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, FEBRUARI 2017
Pendahuluan
Terdapat banyak perubahan fisiologis yang terjadi sebagai respon terhadap penyakit kritis
yang dapat berefek mendalam terhadap tubuh, terutama pada tahap selular. Reynold (1997)
mengatakan bahwa pada penyakit kritis, terdapat berbagai factor yang mempengaruhi sel untuk
menghambat aktivitas dari mitokondria, merusaknya, atau mengurangi produksi dari protein baru
yang dihasilkan oleh mitokondria. Hal ini kemudian menghasilkan gagasan bahwa kelainan
patologis dari sel dan mitokondria mungkin menjadi penyebab mendasar dari proses
progresivitas dari kerusakan organ. Apabila hipotesis ini benar, maka terapi suportif harus
bertujuan untuk menjaga, dan meningkatkan kemampuan mitokondria untuk menghasilkan
energy yang cukup bagi tubuh untuk melakukan proses metabolik secara normal. Selain menjadi
salah satu dari beberapa hal yang menjadi dasar fisiologi critical care, gagasan perubahan
fisiologis pada tingkat sel dan dampaknya pada progresifitas sistemik pada penyakit kronis bias
menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian mendalam tentang mekanisme kerusakan seluler,
respon inflamasi dan haemostasis pada penyakit kritis. Scenario berikut dapat menjadi dasar
fisiologis dari penyakit kritis.

Skenario Pasien
Deborah dirujuk ke pusat perawatan kritis dengan kegagalan organ multiple sebagai
akibat dari syok. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :
Denyut jantung 130x/menit
Tekanan darah 80/35 mmHg (MAP 50)
CVP 3
Laju Nafas 30x/menit
Saturasi O2 97% dengan NRM
CRT 4 detik
UOP 10 ml dalam 1 jam terakhir
AVPU V
Suhu 36,2oC
Edema perifer +
Analisa Gas Darah :
pH 7.2
pO2 12 kPa
pCO2 4.0 kPa
HCO3 16 mmol/L
BE -6
Lactate 4
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan ia mengalami koagulopati dan mengalami
kelainan fungsi hati. Pada hasil lab didapatkan peningkatan C-Reactive Protein (CRP).

Mekanisme kerusakan selular


Untuk dapat tumbuh, berfungsi, dan bereproduksi, sel harus dapat menghasilkan energy
dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kerja sel dan
membentuk komponen sel abru untuk menjaga keutuhan dari struktur dan kemampuannya untuk
berfungsi sebagaimana seharusnya. Pada bagian ini, kita akan memfokuskan untuk membahas
perubahan dari nutrisi dan bahan mentah menjadi energy yang disimpan dalam bentuk adenosine
triphosphate (ATP) melalui proses respirasi selular. Dengan mendalami proses ini, kita akan
dapat memahami hubungan dari penurunan perfusi dengan produksi energy sehingga kita dapat
lebih memahami konsep iskemia : gangguan perfusi kembali.

Respirasi seluler
Respirasi seluler mengacu kepada proses yang dilakukan oleh sel untuk mengubah
energy didalam ikatan kimiawi nutrient menjadi ATP. Setiap organisme melakukan respirasi
seluler dengan cara yang berbeda-beda, ada yang melakukannya secara aerob, anaerob, maupun
keduanya.
Respirasi aerob merupakan eksergonik, sehingga melepaskan energy dari system tetapi
cara ini membutuhkan molekul oksigen agar dapat terjadi. Sementara respirasi anaerob
merupakan endergonic, dimana system akan menyerap energy dari sekelilingnya. Cara ini tidak
membutuhkan kehadiran molekul oksigen akan tetapi akan melakukan respirasi anaerob dan
proses fermentasi.

Respirasi aerob
Respirasi aerob adalah proses katabolisme nutrisi secara aerob untuk membentuk
karbondioksida, air, dan energy. Katabolisme aerobikadalah penghancuran molekul menjadi unit
yang lebih kecil, dengan tujuan untuk melepas energy dengan bantuan dari molekul oksigen.
Proses ini meliputi system transport electron, sebuah mekanisme dimana electron dipindahkan
melewati sekumpulan molekul pembawa, untuk melepaskan energy untuk sintesis ATP dengan
oksigen sebagai electron penerima terakhir.
C6H12O6 +6O2  6CO2+ 6H2O+energy (sebagai ATP)
Skema 1.1 Glukosa (C6H12O6) akan teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2)
tereduksi untuk menghasilkan air (H2O).
Respirasi aerob terbagi menjadi 2 tahap, yaitu :
(1) Glikolisis – suatu reaksi transisi yang akan menghasilkan acetyl Coenzyme A;
(2) Siklus asam sitrat (siklus Kreb’s)
Glikolisis
Glikolisis adalah adalah suatu proses metabolic yang terjadi di sitoplasma semua sel dari
organisme yang masih hidup dan tidak membutuhkan oksigen-mrupakan suatu proses anaerob.
Proses ini merubah satu molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat dan membuat energy
dalam bentuk 2 ikatan molekul ATP. Sehingga akan terbentuk 4 molekul ATP untuk setiap
molekul glukosa; akan tetapi 2 molekul ATP digunakan untuk tahap persiapan glikolisis.
Kemudian pada tahap pengembalian, 4 kelompok fosfat akan diubah menjadi adenosine difosfat
(ADP) yang kemudian akan digunakan untuk menghasilkan 4 molekul ATP melalui proses
fosforilasi.
Glukosa + 2 NAD+ + 2 P1 + 2 ADP  2 Piruvat + 2 NADH + 2 ATP + 2 H+ + 2 H2O
Skema 1.2 Proses Glikolisis
Proses glikolisis terhubung dengan siklus asam sitrat melalui suatu proses transisi. Proses ini
akan mengubah 2 molekul piruvat hasil dari proses glikolisis menjadi 2 molekul acetyl-CoA dan
2 molekul karbondioksida, asetil-KoA kemudian dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat
2 Piruvat + 2 NAD+ + 2 Koenzim A  2 asetil-KoA + 2 NADH + 2 H+ + 2 CO2
Skema 1.3 Proses transisi dari glikolisis menjadi siklus asam sitrat
Siklus asam sitrat (Siklus Kreb’s)
Proses ini menggunakan piruvat hasil dari proses glikolisis dan dari proses lain seperti proses
trnasisional yang sudah disebutkana sebelumnya, dan kemudian mengubahnya kembali menjadi
karbondioksida dan air yang kemudian akan menghasilkan molekul ATP melalui proses
fosforilasi oksidatif. Selain menghasilkan ATP, siklus asam sitrat juga berperan dalam
perpindahan karbon antar sel dengan menyediakan precursor.
2 kelompok asetil + 6NAD+ + 2FAD + 2ADP + 2P1  4CO2+6NADH+6H++2FADH2+2ATP
Skema 1.4 Siklus asam sitrat
Secara teori molekul ATP yang dihasilkan melalui proses respirasi aerob adalah antara 30-38
molekul ATP untuk setiap molekul glukosa yang digunakan. Meskipun sebagian besar ATP yang
dihasilkan membutuhkan oksigen, akan tetapi ada beberapa tahap dalam glikolisis yang tidak
membutuhkan oksigen.
Respirasi Anaerob
Respirasi anaerob merupakan suatu proses lain dari glikolisis untuk menghasilkan laktat.
Proses ini terjadi pada saat energy dibutuhkan sementara tidak terdapat molekul oksigen. Proses
ini penting untuk jaringan-jaringan vital yang membutuhkan banyak energy, kurangnya pasokan
oksigen yang memadai, atau kurangnya enzim oksidatif. Namun respirasi anaerob kurang efisien
daripada metabolism aerob karena proses ini hanya menghasilkan 8 molekul ATP dari total 38
molekul ATP yang bias dihasilkan dari satu molekul glukosa. ATP yang dihasilkan oleh respirasi
anaerob berperan penting, akan tetapi tidak cukup untuk mempertahankan fungsi dari sel untuk
jangka panjang. Selain menghasilkan ATP, respirasi anaerob juga menghasilkan asam laktat
yang bersifat sangat toksik terhadap sel dan harus dibuang atau paling tidak dinon-aktifkan.
Laktat bias berdifusi keluar dari sel dan dikirim ke hati untuk kemudian diubah kembali menjadi
glukosa, yang kemudian dapat dikirim kembali ke sel-sel perifer untuk digunaka kembali pada
proses glikolisis. Seluruh proses ini dikenal dengan nama siklus Cori. Akan tetapi kemampuan
hati untuk menetralisir asam laktat dan menghasilkan glukosa bergantung kepada keberadaan
pasokan oksigen dalam jumlah yang cukup. Peningkatan jumlah laktat pada kasus Deborah
menunjukkan bahwa kerusakan banyak organ akibat syok mengakibatkan proses glikolisis
diubah menjadi proses respirasi anaerob, yang pada akhirnya mengakibatkan produksi laktat
yang berlebihan.

Dampak dari penurunan perfusi pada produksi energy


Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa oksigen dibutuhkan unutk selalu ada di
semua sel didalam tubuh. Oksigen yang diantarkan kedalam selakan digunakan oleh mitokondria
untuk menghasilkan energy dalam bentuk ATP untuk proses metabolisme yang dibutuhkan oleh
banyak proses mekanis dan kimiawi disalam tubuh. Dalam kondisi normalproduksi energy
difasilitasi oleh oksigen-secara aerob. Apabila oksigen tidak tersedia, respirasi anaerob akan
terjadi, ini adalah cara metabolism yang tidak efisien dan akan menghasilkan asam laktat sebagai
hasil akhirnya. Akumulasi dari asam laktat akan mengakibatkan terjadinya asidosis metabolic.
Oleh karena itu, apabila terjadi gangguan pada proses pengantaran oksigen, baik secara fisiologis
ataupun mekanis
Oksigenasi normal bisa menurun atau terganggu. Gangguan proses pengantaran oksigen
ini akan berdampak pada teraktivasinya respirasi anaerob sebagai usaha sel untuk
mempertahankan pasokan energy yang dibutuhkan oleh aktivitas metabolic.akumulasi dari asam
laktat dan asidosis akan mengakibatkan kematian sel dan kerusakan jaringan.
Keadaan hipoksia terjadi saat pasokan oksigen ke jaringan tidak bisa memenuhi
kebutuhan sel pada jaringan tersebut. Metabolism aerob akan menurun dan produksi asam laktat
akan meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas respirasi anaerob. Produksi ATP yang tidak
efisien dari proses respirasi anaerob akan mengakibatkan ketidakmampuan sel untuk
mempertahankan fungsi normalnya, sementara produksi asam laktat yang berlebihan juga akan
merusak struktur sel dan fungsinya. Penting untuk diketahui bahwa terdapat suatu titik dimana
dampak dari kekurangan oksigen akan menjadi irreversible; dari sit sel akan mengalami
kematian, meskipun oksigenasi sudah diperbaiki. Pada kasus Deborah, kondisi iskemia
disebabkan oleh terjadinya syok dan menyebabkan teraktivasinya proses repirasi anaerob,
menyebabkan terjadinya produksi asam laktat yang berlebih, ditujukkan dari terjadinya
peningkatan serum laktat dan asidosis metabolic. System respirasi ikut terlibat pada kasus ini,
dilihat dari terjadinya takipnoe sebagai respon tubuh untuk mengkompensasi asidosis metabolic.
Hal ini penting untuk melakukan deteksi dini dan intervensi secara cepat.

Evaluasi Iskemia : gangguan reperfusi


Iskemia : gangguan reperfusi mengarah kepada kerusakan pada jaringan akibat
kurangnya pasokan darah ke jaringan tersebut setelah sekian lama. Tidak adanya oksigen dan
nutrisi didalam darah selama periode hipoksia mengakibatkan suatu kondisi dimana proses
pengembalian sirkulasi dan laju darah menyebabkan inflamasi dan kerusakan oksidatif.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pada organisme aerob, energi yang dibutuhkan
untuk melakukan proses biologis dihasilkan di mitokondria melalui proses transport electron.
Akan tetapi, selain menghasilkan energy, Reactive oxygen species (ROS) juga terbentuk dan
berpotensi menyebabkan kerusakan sel. ROS dihasilkan sebagai hasil normal dari metabolism
sel. Didalam sel terdapat enzim katalase dan dismutase superdioksida yang berfungsi untuk
mengubah komponen ROS menjadi oksigen dan air, akan tetapi perubahan ini tidak mengubah
secara sempurna dan menghasilkan komponen residu seperti peroksida yang akan tertinggal
didalam sel. Sehingga dapat disimpulkan walaupun ROS merupakan produk yang normal yang
dihasilkan sel, dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan dampak yang merugikan.
Dampak dari gangguan reperfusi disebabkan oleh respon inflamasi dari jaringan yang
rusak. Sel darah putih yang dibawa ke lokasi kerusakan akan melepas mediator inflamasi seperti
interleukin dan juga radikal bebas sebagai respon terhadap kerusakan jaringan. Aliran darah yang
sudah diperbaiki akan mengenalkan kembali oksigen kepada sel, tetapi berpotensi untuk merusak
protein sel, DNA dan membrane plasma. Kerusakan pada membrane sel juga bisa melepas lebih
banyak lagi radikal bebas. Spesies reaktif ini diperkirakan berkontribusi dalam pemberian sinyal
redox sebagai pengantar didalam jaringan yang mereka diami. Melalui proses pemberian sinyal
redox ini, apoptosis sel,sebuah mekanisme kematian sel, akan teraktivasi. Leukosit kemudian
akan menumpuk di kapiler-kapiler kecil, membentuk sumbatan dan menyebabkan iskemia.
Pada iskemia terlalu lama (60 menit atau lebih ), hypoxanthine akan terbentuk sebagai
hasil dari metabolism ATP. Saat pengantaran oksigen sudah diperbaiki, kehadiran enzim ini akan
mengubah molekul oksigen menjadi bentuk superoksida yang sangat reaktif dan radikal
hidroksil. Pada kasus Deborah, hipotensi refrakter telah mengarah kepada kegagalan organ
multiple,ditandai dengan berkurangnya produksi urin dan penuruanan fungsi hati serta
penurunan kesadaran. Hal ini juga yang menyebabkan kondisi syok pada kasus ini.
Beberapa tahun terakhir ini, nitrit oxide (NO), hasil dari metabolism arginine, diketahui
merupakan regulator molekul penting pada beberapa proses metabolism termasuk pengaturan
vascular. Pada kondisi sehat, sel endotel akan menghasilkan NO dalam jumlah kecil untuk
mengatur tekanan darah dengan merelaksasi otot polos. Pada ksus syok seperti Deborah, sitokin
seperti interleukin 1 dan tumor necrossing factor (TNF) akan menginduksi enzim lain untuk
membentuk NO dalam jumlah besar pada endothelial dan sel otot halus. Sebagai akibat dari
tingginya NO yang terbentuk, otot polos akan relaksasi secara berlebihan dan vasodilatasi
refrakter, yang kemudian akan memperberat keadaan syok. Produksi NO yang berlebihan selama
reperfusi akan bereaksi kepada superoksida untuk menghasilkan peroxynitrite-spesies reaktif
yang sangat poten. Radikal dan ROS kemudian akan menyerang membrane sel, lipid, dan
protein, menyebabkan kerusakan sel ayng lebih parah lagi.
Maka mengembalikan laju darah setelah 10 menit terjadinya iskemi akan mengakibatkan
kerusakan yang lebih parah daripada iskemi itu sendiri karena pada tahap itu oksigen akan
digunakan untuk menghasilkan radikal bebas dan ROS, bukan untuk membantu produksi energy
sel. Akan tetapi, beberapa pendekatan medis sekarang mengatakan reperfusi secara cepat pada
pasien iskemia dengan oksigen akan menyebabkan kematian sel terjadi melalui mekanisme
tersebut. Disarankan untuk memperbaiki perfusi dilakukan dengan tujuan menurunkan uptake
oksigen, menurunkan metabolism, dan mengatur kimia darah untuk reperfusi secara bertahap dan
lebih aman. (Adler,2007)

Respon inflamasi dan peran mediator


Pada tahun 1992 (bone et al., 1992) the American College of Chest Physicians (ACCP)
dan the Society of Critical Care Medicine (SCCM) mengatakan definisi dari sindroma respon
inflamasi sistemik (SIRS), sepsis, severe sepsis, syok septik dan sindroma disfungsi organ
multiple (MODS). Tujuan dari membedakan SIRS adalah untuk membedakan respon klinis
sebagai dampak non spesifik dari kerusakan infeksi maupun non infeksi. Terminology
sebelumnya mengatakan bahwa infeksi berperan penting pada terjadinya sepsis; akan tetapi SIRS
tidak selalu berhubungan dengan infeksi. SIRS tidak spefisik dan bias disebabkan oleh iskemia,
inflamasi, trauma, infeksi, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Bone et al. (1992) mengeluarkan
consensus dari definisi SIRS dan sepsis. Definisi ini menekankan pentingnya respon inflamasi
pada kondisi ini, tanpa melihat apakah terjadi infeksi ataupun tidak. Terminology Sepsis hanya
bias digunakan apabila pada pasien SIRS diduga atau sudah terbukti mengalami infeksi.
Maka dari itu sudah jelas perbedaan SIRS secara etiologi, memiliki patofisiologi yang
sama, dengan sedikit perbedaan. Inflamasi merupakan respon non-spesifik tubuh dalam
menghadapi stimulus kimiawi, traumatic, ataupun infeksi. Kaskade inflamasi merupakan suatu
proses yang kompleks yang mencakup respon humoral dan selular, kaskade sitokin dan
komplemen. Bone (1996) menyimpulkan hubungan antara interaksi kompleks ini dengan SIRS
dengan 3 tahap proses :
 Tahap 1: menghadapi rangsangan, sitokin akan terbentuk dengan tujuan mengaktifkan
respon inflamasi, yang kemudian akan melakukan perbaikan luka dan merekrut system
retikuler endothelial
 Tahap 2: Lokal sitokin dilepaskan dalam jumlah kecil ke sirkulasi untuk meningkatkan
respon local. Hal ini akan merangsang stimulasi Growth Faktor dan pemanggilan
makrofag dan platelet. Respon fase akut ini terkontrol dengan baik dengan pnurunan
mediator proinflamasi dan dengan pelepasan antagonis endogen.
 Tahap 3: apabila haemostasis tidak bisa diperbaiki, reaksi sistemik yang signifikan akan
terjadi. Pelepasan sitokin akan mengakibatkan destruksi, bukan proteksi seperti yang
diharapkan. Aktivasi dari beberapa kaskade humoral dan aktivasi dari system retikuler
endothelial akan terjadi sebagai repon dan mengakibatkan hilangnya intergritas sirkulasi.
Yang kemudain akan mengakibatkan kerusakan organ tahap akhir.
Respon inflamasi, karena itu respon protektif dimaksudkan untuk hilangkan penyebab dari
kerusakan dan nekrotik jaringan yang timbul dari sebagai hasil dari kerusakan tersebut. Respon
ini memiliki tiga tahap:
1. Vasodilatasi – peningkatan aliran darah menyebabkan fagosit, faktor pembekuan,
antibodi, dan lainnya bersirkulasi ke area
2. Peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah – mengizinkan protein plasma untuk
keluar dari sirkulasi dan masuk ke tempat daerah kerusakan/perlukaan
3. Migrasi dari leukosit ke tempat daerah kerusakan

Pada penyakit kritis, segala proses disebabkan oleh respon imun dan mengakibatkan inflamasi
menJadi terganggu dan diluar kendali. Reaksi sistemik yang besar timbul dan terlepasnya
mediator inflamasi yang berlebihan, menyebabkan respon fisiologis yang berlebihan, terutama
mengarah pada kerusakan jaringan dan disfungsi organ, sebagai bukti dari skenario presentasi
Deborah.
Dalam waktu yang singkat setelah awal kerusakan, pembuluh darah membawa
sirkulasi jauh konstriksi dari daerah kerusakan, akibatnya pembengkakan dari jaringan kapiler.
Kapiler yang membesar menghasilkan karakteristik pembengkakan dan kemerahan terkait
dengan inflamasi. Peningkatan permeabilitas kapiler memfasilitasi influks dari cairan dan sel dari
pembengkakan kapiler ke jaringan sekitar. Cairan yang berakumulasi (eksudat) mengandung
banya unsur protein dibanding cairan yang biasanya dilepas dari kapiler. Akumulasi dari cairan
disekitar perlukaan/kerusakan memberikan peningkatan terhadap karakteristik pembengkakan
terkait inflamasi disebabkan pembentukan dari edema oleh cairan yang berlebih dalam jaringan –
itulah edema yang Deborah alami. Peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan kecepatan dan
ekspresi dari adhesi molekul juga memfasilitasi migrasi leukosit dari kapiler ke jaringan.
Sel fagosit adalah tipe pertama leukosit yang berigrasi, pertama netrofil lalu diikut
makrofag. Netrofil memiliki umur yang singkat dan mati didalam jaringan, yang memberikan
efek terhadap jaringan. Makrofag hidup lebih lama dan dapat bekerja sebagai fagositik yang
lama pada daerah perlukaan/kerusakan. Lalu, limfosit (B dan atau T) juga memasuki daerah
tersebut. Sel darah dapat keluar dari kapiler melalui kombinasi dari proses berikut;
 Marginasi – perlekatan dari sel darah ke dinding kapiler
 Diapedesis/ekstravasasi – emigrasi antara sel endotel kapiler dan jaringan
 Kemotaksis – migrasi langsung melalui jaringan ke daerah respon inlamasi
Karena sel fagositik berkumpul pada daerah perlukaan/keruskan, enzim litik dilepaskan,
menyebabkan kerusakan didekat sel. Aktivitas ini dapat mengarahkan pembentukan pus sebagai
sel-sel yang mati, zat yang bisa difagosit dan pengumpulan cairan.
MEDIATOR KIMIA DARI INFLAMASI
Pertimbangan utama
Mediator apa yang terlibat pada proses inflamasi?
Kejadian respon inflamasi ini diinisiasi oleh rentetan kompleks dari interaksi yang
melibatkan beberapa mediator kimia yang interaksi ini masih belum sepenuhnya dipahami.
Beberapa diantaranya turunan dari invasi organisme, terlepas dari jaringan yang rusak,
dihasilkan oleh beberapa sistem enzim plasma atau produk dari beberapa sel darah putih yang
terlibat dalam respon inflamasi.
Histamin
Kebanyakan histamin didalam tubuh dihasilkan di granula dalaam sel mast atau dalam sel bsofil.
Yang paling penting mekanisme patofisiologi dari sel mast dan histamin basofil adalah
imunologik. Sel-sel ini, jika tersensitisasi oleh igE antibodi terikat ke membrannya, mengalami
degranulasi saat terpajan antigen. Histamin terlepas memfasilitasi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
Mediator kimia yang berasal dari lipid
Membran sel fosfolipid dihidrolisa oleh fosfolipase pada saat inflamasi. Jalur asam arakidonat
mengarahkan untuk menghasilkan leukotrien dan prostaglandin. Perkembangan jalur berikutnya
menghasilkan produksi dari faktor agregasi platelet. Mode dari kerja produksi kimia dapat dilihat
pada Tabel 2.1
Kemokin
Kemokin adlah protein kecil diproduksi oleh beragam sel, dimana 50 sudah dideskripsikan.
Kemokin adalah regulator mayor dari perjalanan leukosit dan membantu menarik leukosit ke
daerah inflamasi. Protein ini berikatan dengan proteoglikan pada permukaan sel dan dalam
matriks ekstraseluler dan mempersiapkan gradien kemokin untuk migrasi leukosit. Sebagai
contoh dari kemokin adalah IL-8
Sitokin Pro-inflamasi
Respon terhadap adanya kemokin, fagosit memasuki daerah inflamasi dalam beberapa jam.sel-
sel ini akan melepaskan beragam faktor terlarut, yang dimana berpotensi menjadi sitokin pro-
inflamasi. Tiga dari sitokin ini, secara khusus, memiliki karakteristik aktivitas yang baik IL-6,
IL-1, dan TNF-alfa. Dari seluruh tiga sitokin ini dikenal dengan pirogen endogen karena mereka
menginduksi demam oleh kerja langsung pada hipotalamus. Mereka juga menginduki prosduki
dari protein fase akut oleh hati dan mencetuskan peningkatan hematopoesis (produksi sel darah)
di sum-sum tulang, mengarahkan ke leukositosis.
Mediator lain
Proses dari fagositosis juga mengakibatkan produksi dari beragam mediator inflamasi, meliputi
nitrit oxide, peroxide, dan radikal oksigen. Oksigen dan nitrogen intermediate memiliki potensi
untuk menjadi racun terhadap host.

Protein fase akut


Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sintesis dari protein fase akut adalah dicetuskan oleh
sitokin inflamasi. Meliputi C-reactive protein (CRP) dan mannose-binding protein. Karena itu,
pada situasi inflamasi akut, kadar serum dari protein ini menjadi meningkat seperti yang terlihat
pada kadar CRP deborahyang meningkat. CRP dan mannose-binding protein keduanya mampu
mencetuskan fiksasi komplemen, mengarah pada pembentukan dari kompleks membran dan
melepaskan komponen komplemen, seperti C3b, yang berfungsi sebagai opsonisasi, penambah
ikatan pada proses fagositosis.
Produk dari empat sistem enzim plasma mayor juga bertindak sebagai mediator
kimia:
 Sistem kinin
 Sistem komplemen
 Sistem koagulasi
 Sistem fibrinolitik
Empat jalur saling berhubungan. Empat sistem enzim ini menghasilkan faktor-faktor yang
menginduksi konstrikso dari pembuluh darah yang rusak, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
kapiles, ekstravasasi, kemotaksis, dan klirens patogen. Secara spesifik, awal kerusakan jaringan
uang mencetuskan aktivasi dari faktor Hageman (satu dari faktor pembeku plasma). Faktor
Hageman yang teraktivasi bertindak utuk mencetuskan kaskade kinin dan kaskade pembekutan.
Hal ini giliran untuk deposisi fibrin dan pembentukan bekuan. Bekuan fibrin bertindak untuk
mendindingi area kerusakan dari tubuh dan bertindak untuk mencegah penyebaran infeksi.
Akhirnya, sistem fibrinolitik mengarahkan ke sintesis dari plasmin, yang mendegradasi bekuan
fibrin ketika tidak lagi diperlukan dan mengaktivasi sistem komplemen.
Kinin
Kinin adalah peptida kecil yang biasanya timbul di darah dalam bentuk inaktif. Jaringan yang
rusak menginduksi akttiasi dari peptida ini, yang bertindak untuk menambah proses dari
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Secara spesifik, bradikinin menstimulasi
reseptor nyeri. Timbulnya nyeri biasanya cepat untuk melindung area yang terluka dari
perlukaan yang lebih lanjut.
Krena itu, dapat dilihat bahwa respon inflamasi adalah interaksi yang kompleks
dari beragam proses dan aktivitas kimia yang dirancang sebagai mekanisme perlindungan setelah
terjadi perlukaa pada jaringan tubuh. Namun, perkembangan dari inflamsi harus dipantau secara
ketat untuk menghindari potensi kerusakan jaringan yang berlebihan.
Respon inflamasi yang berkaitan dengan perfusi jaringan
Pertimbangan utama
Bagaimana respon inflamasi mempengaruhi perfusi jaringan?
Hal ini sudah ditunjukan bahwa respon inflamasi adalah suatu perubahan patofisiologi yang
kompleks yag dicetuskan oleh kerusakan/perlukaan pada jaringan tubuh. Aktivasi dari respon
inflamasi dalam respon pada perlukaan juga menyebabkan aktivasi dari kaskade koagulasi dan
penurunan sementara dari sistem fibrinolitik. Fungsi sistem imun untuk menginisiasi respon
mediato yang bertingak untuk meningkatkan inflamasi dan aktivias koagulasi. Sitokin dilepas
dari sel darah putih sat fagositosis dan dari sel endotel yang teraktivasi menghasilkan respon pro-
inflamasi dan respon pro-koagulasi. Yang bersamaan penurunan fibrinolisis mengarahkan ke
penurunan kerusakan bekuan.
Kleinpell (2004) menggambarkan bagaimana ketidak seimbangan pada kombinasi
dari inflamasi, koagulasi, dan fibrinolisis pada penyakit kritis dapat menghasilkan penyebaran
inflamasi, mikrovaskular trombosis, kerusakan endotel dan koagulopati sistemik. Hal ini semua
adalah kondisi yang berpotensi menghasilkan enurunan perfusi jaringan dan disfungsi sistem
organ, pada kasus Deborah, perubahan pada tanda vital dan hasil laboratorium, bersama dnegan
tanda klinis dari perubahan perfusi jaringan, mencerminakan disfungsi akut sistem organ.
Sebagai perkembangan SIRS, potensi untuk MODS meningkat dan menjadi satu
dari sebagian besar penyebab dari SIR-terkaitt kematian. Sementara semua sistem organ berisiko
dari SIRS, disfungsi sitem kardiovaskular, sistem paru dan ginjal seringkali terjadi. Kegagalan
sistem organ mengarahkan kepada risiko kematian akibat SIRS, dibutuhkannya pengenalan dan
terapi dari kondisi dapat dirasionalkan.
Makansime hemostasis terkait penyakit kritis
Pertimbangan utama
Apa itu hemostasis?
Bagaimana hal ini timbul secara normal?
Hemostasis adalah istilah sederhana, merupakan proses yang dirancanng untuk mencegah
kehilangan darah yang berlebih pada tubuh manusia. Agar mekanisme ini berfungsi efisien,
teradapat empat komponen utama yang dibutuhkan, berupa;
1. Sistem vaskular – lapisan sel endotel
2. Platelet – jumlah dan fungsi
3. Protein plasma – faktro koagulasi
4. Mekanisme fibrinolitik
Kerusakan pada pembuluh darah mengarahkan pada pajanan dari membran basal dan
kolagen. Respon awal pada kerusakan ini adalah vasokonstriksi, yang memperlambar aliran
darah ke area yang cedera. Pengurangan pada kecepatan aliran membiarkan platelet tiba dan
kontak dengan endotel yang rusak. Ketika platelet menempel pada endotel yang rusak
mereka teraktivasi dan mengalami perubahan pada bentuk menjadi pseudopodia terbentuk
disekitar area cedera, ditambah denga pergantian dari isi granular menuju pusat dari platelet.
Isi granular ini melipui adenosin difosfat dalam padatan granul dan fibrinogen di alfra granul.
Melepaskan dari kedua kimia utama ini yang bertindak untuk sebabkan dan membantu
agregasi platelet disekitar daerah epitel yang terluka.
Lapisan sel endotel
Lapisan sel endotel terdiri dari membran basal dan matriks kolagen dan serat otot. Lapisan
ini, dalam keadaan normal, dapat digambarkan sebagai ant trombogenik, hal ini tidak
menimbulkan bekuan darah. Namun, ketika cedera, hal tersebut berpotensi untu melepaskan
sejumlah substansi yang dapat menjadi trombogenik, yang bertujuan mendorong terjadinya
bekuan darah. Potensi zat Anti dan Pro trombogenik pada lapisan endotel dirangkum dalam
Tabel 2.2. kombinasi dari kedua potenisal ini artinya bahwa lapisan endotel dapat mencegah
pembentukan trombus saat keadaan normal namun aktif mendorong pembentukan trombus
pada saat terjadi kerusakaan atau cedera.
Platelet (trombosit)
Platelet sangat refraktil, struktur berbentuk disc tidak memiliki nukleus, mereka bukan sel
dan memliki rerata masa hidup sekita 10 hari. Struktur kompleks ini mengandung beberapa
struktur, yang memiliki peran dan fungsi spesifik
 Membran platelet – terdiri dari bi-lipid (sering disebt sebagai platelet factor 3), yang
mengandung daerah reseptor untuk adenosin difosfat, Von Willebrand factor dan
fibrinogen.
 Zona Sol-gel – terdiri dari mikrotubuli yang membiarkan kontraksi platelet dan
mikrofilamen, membiarkan produksi pseudopodia.
 Zona organel – mengandung granul alfa sebagai tempat asal growth factor juga faktor
pembekuan I, V, dan VIII dan granula padat tempat kalsium, ADP/ATP dan
serotonin.
 Sistem tubular – sistem kanalikuli terbuka menghubungkan bagian dalam ke bagian
luar platelet. Sistem ini mengandung kalsiun dan sebagai tempat sintesis
prostaglandin (contoh, TxA2)
Setelah adhesi dan agregasi, seperti yang disebutkan sebelumnya, platelet meluruhkan
dan membebaskan faktor 1, 5, 6, 8, dan 9, yang sesuai dengan faktor pembekuan plasma V, I, X,
VIII dan XIII, berturut-turut. Sebagai akibat dari pelepasan faktor, konsentrasi lokal dari faktor
pembekuan meningkat. Dengan demikian, platelet secara aktif mendukung mekanisme
pembekkuan plasma. Pembentukan dari sumbatan platelet dan pelepasan berikutnya dari faktor
pembekuan lokal disebut dengan istilah primary hemostasis
Protein plasma
Saat proses hemostasis primer, secara kesinambungan mekanisme hemostasis sekunder
teraktivasi. Mekanisme sekunder melibatkan protein di plasma, juga dikenal sebagai faktor
koagulasi. Terjadinya kaskade kompleks diinisiasi dengan tujuan khusus dari produksi fibrin
untuk memperkuat sumbatan platelet yang terbentuk pada respon hemostasis primer.
Kaskade
koagulasi, seperti sistem komplemen, adalah sebuah kaskade proteolitik. Setiap enzim pada jalur
terdapat pada plasma sebagai zymogen, dengan kata lain, sebagai bentuk inaktif, yang pada saat
aktif, melalui pemecahan proteolitik untuk melepaskan faktor aktif dari molekul prekursor.
Kaskade koagulasi dari hemostasis sekunder memiliki dua jalur utama, jalur aktivasi kontak
(jalur intrinsik) dan jalur faktor jaringan (jalur ekstrinsik). Dalam jalur ini menggambarkan onset
awal dari kaskade koagulasi, hal ini telah diketahui bahwa kedua jalur bertemu pada jalur utama
terakhir yang lengkap dari kaskade koagulasi (lihat figure 2.6)
Jalur faktor jaringan (ekstrinsik)
Tujuan keseluruhan dari jalur ini untuk memproduksi rentetan trombin, oleh proses ini, trombin
mungkin sebagai konstituent yang terpenting dari kaskade koagulasi dalam hal peran umpan
balik dan aktivasi, dilepas secara instan. Faktor VII aktif beredar pada jumlah yang lebih tinggi
daripada faktor pembekuan lain.
Jalur aktivasi kontak (intrinsik)
Jalur dimulai dengan pemebntuak dari kompleks primer pada kolagen oleh berat molekul tinggi
kininogen (HMWK), prekallikrein dan faktor XII (Faktor Hageman). Lalu, mengarah ke aktivasi
kaskade dari faktor pembekuan, yang ditunjukan di Figure 2.6 relatif berperan kecil dalam
kaskade koagulasi oleh jalur ini dapat dirasionalkan oleh fakta bahwa seseorang dengan
defisiensi berat faktor XII, HMWK dan prekallikrein tidak menderita dari kelainan perdarahan.
Jalur akhir utama
Trombin memiliki fungsi susunan yang besar, dengan peran utama menjadi pengkonversi dari
fibrinogen menjadi fibrin, yang membentuk bangunan blok untuk sumbatan hemostatik. Sebagai
tambahan, hal tersebut mengaktivasi faktor VIII, V dan XIII, yang dalam bentuk ikatan kovalen
yang berhubungan erat dan memperkuat polimer fibrin.
Setelah aktivasi dari jalur ekstrinsik dan intrinsik, kaskade koagulasi berada pada
tahap pro-trombotik oleh lanjutan aktivasi dari faktor VIII dan IX ke bentuk komplekk tenase.
Kofaktor
Untuk memastikan bahwa fungsi kaskade berjalan dengan benar, substansi tertentu harus ada
dalam jumlah yang cukup. Kalsiun diperlukan pada beberapa tahap dari kskade namun, yang
terpenting dalah fungsi dari kompleks tenase dan protrombinase. Vitamin k berperan dalam
pengikatan protein dengan ion kalsium. Tujuh dari faktor koagulasi betul-betul bergantung pada
vitamin K dalam membawa perubahan fisiologi yang terjadi dalam struktur mereka, yang
memfasilitasi kemampuan dari faktor-faktor ini untuk mengikat kalsiun dan menjadi akti di
kaskade koagulasi.
Regulasi
Tubuh eperlu menjaga aktivasi platelet dan kaskade koagulasi dalam pengontrolan untuk
mencegah terjadinya potensi komplikasi jika pembentukan trombus makin lama. Lima
mekanisme bekerja untuk menjaga kaskade, sebagai berikut;
1. Protein C – antikoagulan major fisiologis. Adalah vitamin k-enzim tergantung yang
diaktivasi oleh trombin. Dalam bentuk aktiv, protei S dan fosfolipid sebagai kofaktor,
degradasi bentuk aktif dari faktor pembekuan V dan VIII
2. Antithrombin – penghambat protease yang mendegradasi trombin dan faktor pembekuan
aktif IX, X, XI, XII. Aktif secara konstan namun kehadiran heparin atau masuknya
heparin meningkatkan afinitas trombin dan faktor koagulasi.
3. Penghambar jalur faktor jaringan – keterbatasan kerja dari faktor jaringan dan juga
menghabat aktivitas berlebih dari daktor koagulasi IX dan X oleh faktor jaringan
4. Plasmin – dibuat oleh pecahan proteolitik dari plasminogen; plasmin memecah fibrin
menjadi produk degradasi fibrin yang menghambat pembentukan fibrin berlebih
5. Prostasiklin – dilepaskan oleh lapisan endotel, prostasiklin mengaktivkan platelet Gs
protein-linked reseptor. Hasil pada aktivasi dari adenilil siklase, yang mensintesis cAMP.
cAMP menghambat aktivasi platelet dan, kemudian, menghambat pelepasan dari material
granular yang akan mengarahkan ke aktivasi dari platelet tambahan dan kaskade
koagulasi secara keseluruhan
Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah proses akhir yang diana produk bekuan fibrin dari kaskade koagulasi akan
luruh dan terredistribusi atau diabsorb kembali. Enzim utama adalah, plasmin, memontoh fibrin
diberbagai tempat, mengarahkan ke produksi dari fragmen yang ke sirkulasi atau produk
degradasi fibrin. Beberapa elemen dari produk degradasi ini diubah oleh proteinase untuk
memperbolehkan penggunaan kembali komponen yang sudah diserap, dalam sisa produk
buangan yang dihilangkan melewati ginjal atau hati.
Hemostasis dalam penyakit kritis
Pertimbangan utama
Bagaimana hemostasis berubah pada penyakit kritis?
Deborah memiliki koagulopati, yang seringgkali terlihat pada saat sakit kritis (Levi dan Opal,
2006). Perubahan parameter koagulasi seperti trombositopenia, waktu pembekuan memanjang,
penurunan kadar faktor yang menghambat kogulasi dan tingginya kadar produk fibrin seringkali
didapatkan pada pasien kritis. Memang, Chakravverty et al. (2003), dalam studi dari 235 pasien
yang masuk ICU, ditemukan secara klinis koagulopati pada 13.6% dari sejumlah pasien. Bukti
laboratorium dari koagulopati lebih sering terjadi dengan koagulopati pada 38 hingga 66% dari
pasien kritis. Di kebanyakan pasien yang kritism koagulopati timbul paling banyak karena
penurusnan sintesis, kehilangan berlebihan atau peningkatatan turnover dari faktor pembekuan
dan kofaktor disebabkan kondisi yang ada. Pada kasus Deborah, hal ini akan berkaitan dengan
hipoperfusi organ yang berkaitan dengan saat awal dia syok yang mengarah ke kegagalan multi
organ.
Hubungan terhadap timbulnya keparahan respon inflams, seperti yang dibahas
sebelmnya, hal itu dapat dilihat bahwa sitokin pro inflamasi mengarahka ke aktivasi dari PMN
dan sel endotel, yang, juga dapat menghasilkan sitokin. PMN terakttivasi dan sel endotel akan
mengeluarkan faktor jaringan, insiator utama dari kaskade koagulasi. Pada saat yang sama,
penurunan dari mekanisme fisiologis antikoagulan oleh rendahnya regulasi dari ikatan protein
endotel dan perubahan fungsi biologis pada sel endotelial yang dapat mengarahkan ketidak
seimbangan pembentukan fibrin intravaskular, yang mungkin, akhirnya, jadi kegagalan organ.
Secara simultan, penghabisan paltelet dan faktor pembekuan oleh peningkatan proses metabolik
dapat menyebabkan perdarahan serius. Penggunaan dari contoh ini akan membantu untuk
mengilustrasi potensi dari koagulopati pada pasien kritis.

DIC
DIC adalah sindroma yang disebabkan oleh aktivasi intravaskular terhadap koagulasi yang dapat
terlihat timbul proporsi substasni dari ICY (Bakhtiari et al, 2004). Pembentukan dari emboli
mikrovaskular dalam hubungannya dengan aktivasi inflamasi dapat akibatkan kegagalan dari
mikrovaskulatur dan kegagalan organ. Keberlanjutan dan kompensasi platelet yang tak adekukat
dan banyak kehilangan faktor pembekuan dapat berisiko perdarahan, khussunya pada pasien per-
operatif. Kadar yang tinggi pada sirkulasi dari penghambat aktivator plasminogen tipe 1 dapat
sebabkan penurunan degradasi fibrin,lalu meningkatkan deposit fibrin lebih lanjut (lihat Figure
2.7)
hal ini menjadi jelas bahwa hasil abnormal dari uji koagulasi pada sakit kritis
timbul lebih sering dan tidak bisa dipertimbangkan menjadi kacau. Koagulopati sapat secara
signifikan membantu pada morbidiitas dan mortalitas dan keperluan pendeteksian cepat untuk
memfasilitasi inisiasi dari koreksi yang cepat dan terapi pendukung.
KESIMPULAN
Dengan menggunakan skenario Debborah dari presentasi kegagalan multi organ saat syok, hal
ini menjadi jelas bahwa kompleks dan beaneka segi akibat dari kejadian fisiologi yang ada dalam
respon terhadap perlukaan/kerusakan dan onset dari syok. Hal ini sudah ditunjukan bahwa
respon fisiologis ini memiliki efek yang besar pada tubuh manusia, khususnya pada tingkat sel.
Pengertian yang lebih baik dari respon fisiologi ini dan progres berikutnya dari penyakit kritis
dapat bertindak membantu keadaan saat ini dan mengembangan paktek dalam pelayanan orang
dngan sakit kritis. Penelitian yang sedang berlangsung dalam area penting harus diizinkan
praktek pada pelayanan dari penyakit kritis untuk tetapkan dinamik dan respons terhadap
kompleks pelayanan yang dibutuhkan dan ketika pasien seperti ini datang.

Anda mungkin juga menyukai