REVIEW ARTIKEL
Pembimbing :
dr. Bambang Priambodo, Sp.An
Penyusun:
Nalendra Tri Widhianarto
NIM : 030 12 185
Skenario Pasien
Deborah dirujuk ke pusat perawatan kritis dengan kegagalan organ multiple sebagai
akibat dari syok. Pada pemeriksaan didapatkan hasil :
Denyut jantung 130x/menit
Tekanan darah 80/35 mmHg (MAP 50)
CVP 3
Laju Nafas 30x/menit
Saturasi O2 97% dengan NRM
CRT 4 detik
UOP 10 ml dalam 1 jam terakhir
AVPU V
Suhu 36,2oC
Edema perifer +
Analisa Gas Darah :
pH 7.2
pO2 12 kPa
pCO2 4.0 kPa
HCO3 16 mmol/L
BE -6
Lactate 4
Hasil pemeriksaan darah menunjukkan ia mengalami koagulopati dan mengalami
kelainan fungsi hati. Pada hasil lab didapatkan peningkatan C-Reactive Protein (CRP).
Respirasi seluler
Respirasi seluler mengacu kepada proses yang dilakukan oleh sel untuk mengubah
energy didalam ikatan kimiawi nutrient menjadi ATP. Setiap organisme melakukan respirasi
seluler dengan cara yang berbeda-beda, ada yang melakukannya secara aerob, anaerob, maupun
keduanya.
Respirasi aerob merupakan eksergonik, sehingga melepaskan energy dari system tetapi
cara ini membutuhkan molekul oksigen agar dapat terjadi. Sementara respirasi anaerob
merupakan endergonic, dimana system akan menyerap energy dari sekelilingnya. Cara ini tidak
membutuhkan kehadiran molekul oksigen akan tetapi akan melakukan respirasi anaerob dan
proses fermentasi.
Respirasi aerob
Respirasi aerob adalah proses katabolisme nutrisi secara aerob untuk membentuk
karbondioksida, air, dan energy. Katabolisme aerobikadalah penghancuran molekul menjadi unit
yang lebih kecil, dengan tujuan untuk melepas energy dengan bantuan dari molekul oksigen.
Proses ini meliputi system transport electron, sebuah mekanisme dimana electron dipindahkan
melewati sekumpulan molekul pembawa, untuk melepaskan energy untuk sintesis ATP dengan
oksigen sebagai electron penerima terakhir.
C6H12O6 +6O2 6CO2+ 6H2O+energy (sebagai ATP)
Skema 1.1 Glukosa (C6H12O6) akan teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2)
tereduksi untuk menghasilkan air (H2O).
Respirasi aerob terbagi menjadi 2 tahap, yaitu :
(1) Glikolisis – suatu reaksi transisi yang akan menghasilkan acetyl Coenzyme A;
(2) Siklus asam sitrat (siklus Kreb’s)
Glikolisis
Glikolisis adalah adalah suatu proses metabolic yang terjadi di sitoplasma semua sel dari
organisme yang masih hidup dan tidak membutuhkan oksigen-mrupakan suatu proses anaerob.
Proses ini merubah satu molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat dan membuat energy
dalam bentuk 2 ikatan molekul ATP. Sehingga akan terbentuk 4 molekul ATP untuk setiap
molekul glukosa; akan tetapi 2 molekul ATP digunakan untuk tahap persiapan glikolisis.
Kemudian pada tahap pengembalian, 4 kelompok fosfat akan diubah menjadi adenosine difosfat
(ADP) yang kemudian akan digunakan untuk menghasilkan 4 molekul ATP melalui proses
fosforilasi.
Glukosa + 2 NAD+ + 2 P1 + 2 ADP 2 Piruvat + 2 NADH + 2 ATP + 2 H+ + 2 H2O
Skema 1.2 Proses Glikolisis
Proses glikolisis terhubung dengan siklus asam sitrat melalui suatu proses transisi. Proses ini
akan mengubah 2 molekul piruvat hasil dari proses glikolisis menjadi 2 molekul acetyl-CoA dan
2 molekul karbondioksida, asetil-KoA kemudian dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat
2 Piruvat + 2 NAD+ + 2 Koenzim A 2 asetil-KoA + 2 NADH + 2 H+ + 2 CO2
Skema 1.3 Proses transisi dari glikolisis menjadi siklus asam sitrat
Siklus asam sitrat (Siklus Kreb’s)
Proses ini menggunakan piruvat hasil dari proses glikolisis dan dari proses lain seperti proses
trnasisional yang sudah disebutkana sebelumnya, dan kemudian mengubahnya kembali menjadi
karbondioksida dan air yang kemudian akan menghasilkan molekul ATP melalui proses
fosforilasi oksidatif. Selain menghasilkan ATP, siklus asam sitrat juga berperan dalam
perpindahan karbon antar sel dengan menyediakan precursor.
2 kelompok asetil + 6NAD+ + 2FAD + 2ADP + 2P1 4CO2+6NADH+6H++2FADH2+2ATP
Skema 1.4 Siklus asam sitrat
Secara teori molekul ATP yang dihasilkan melalui proses respirasi aerob adalah antara 30-38
molekul ATP untuk setiap molekul glukosa yang digunakan. Meskipun sebagian besar ATP yang
dihasilkan membutuhkan oksigen, akan tetapi ada beberapa tahap dalam glikolisis yang tidak
membutuhkan oksigen.
Respirasi Anaerob
Respirasi anaerob merupakan suatu proses lain dari glikolisis untuk menghasilkan laktat.
Proses ini terjadi pada saat energy dibutuhkan sementara tidak terdapat molekul oksigen. Proses
ini penting untuk jaringan-jaringan vital yang membutuhkan banyak energy, kurangnya pasokan
oksigen yang memadai, atau kurangnya enzim oksidatif. Namun respirasi anaerob kurang efisien
daripada metabolism aerob karena proses ini hanya menghasilkan 8 molekul ATP dari total 38
molekul ATP yang bias dihasilkan dari satu molekul glukosa. ATP yang dihasilkan oleh respirasi
anaerob berperan penting, akan tetapi tidak cukup untuk mempertahankan fungsi dari sel untuk
jangka panjang. Selain menghasilkan ATP, respirasi anaerob juga menghasilkan asam laktat
yang bersifat sangat toksik terhadap sel dan harus dibuang atau paling tidak dinon-aktifkan.
Laktat bias berdifusi keluar dari sel dan dikirim ke hati untuk kemudian diubah kembali menjadi
glukosa, yang kemudian dapat dikirim kembali ke sel-sel perifer untuk digunaka kembali pada
proses glikolisis. Seluruh proses ini dikenal dengan nama siklus Cori. Akan tetapi kemampuan
hati untuk menetralisir asam laktat dan menghasilkan glukosa bergantung kepada keberadaan
pasokan oksigen dalam jumlah yang cukup. Peningkatan jumlah laktat pada kasus Deborah
menunjukkan bahwa kerusakan banyak organ akibat syok mengakibatkan proses glikolisis
diubah menjadi proses respirasi anaerob, yang pada akhirnya mengakibatkan produksi laktat
yang berlebihan.
Pada penyakit kritis, segala proses disebabkan oleh respon imun dan mengakibatkan inflamasi
menJadi terganggu dan diluar kendali. Reaksi sistemik yang besar timbul dan terlepasnya
mediator inflamasi yang berlebihan, menyebabkan respon fisiologis yang berlebihan, terutama
mengarah pada kerusakan jaringan dan disfungsi organ, sebagai bukti dari skenario presentasi
Deborah.
Dalam waktu yang singkat setelah awal kerusakan, pembuluh darah membawa
sirkulasi jauh konstriksi dari daerah kerusakan, akibatnya pembengkakan dari jaringan kapiler.
Kapiler yang membesar menghasilkan karakteristik pembengkakan dan kemerahan terkait
dengan inflamasi. Peningkatan permeabilitas kapiler memfasilitasi influks dari cairan dan sel dari
pembengkakan kapiler ke jaringan sekitar. Cairan yang berakumulasi (eksudat) mengandung
banya unsur protein dibanding cairan yang biasanya dilepas dari kapiler. Akumulasi dari cairan
disekitar perlukaan/kerusakan memberikan peningkatan terhadap karakteristik pembengkakan
terkait inflamasi disebabkan pembentukan dari edema oleh cairan yang berlebih dalam jaringan –
itulah edema yang Deborah alami. Peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan kecepatan dan
ekspresi dari adhesi molekul juga memfasilitasi migrasi leukosit dari kapiler ke jaringan.
Sel fagosit adalah tipe pertama leukosit yang berigrasi, pertama netrofil lalu diikut
makrofag. Netrofil memiliki umur yang singkat dan mati didalam jaringan, yang memberikan
efek terhadap jaringan. Makrofag hidup lebih lama dan dapat bekerja sebagai fagositik yang
lama pada daerah perlukaan/kerusakan. Lalu, limfosit (B dan atau T) juga memasuki daerah
tersebut. Sel darah dapat keluar dari kapiler melalui kombinasi dari proses berikut;
Marginasi – perlekatan dari sel darah ke dinding kapiler
Diapedesis/ekstravasasi – emigrasi antara sel endotel kapiler dan jaringan
Kemotaksis – migrasi langsung melalui jaringan ke daerah respon inlamasi
Karena sel fagositik berkumpul pada daerah perlukaan/keruskan, enzim litik dilepaskan,
menyebabkan kerusakan didekat sel. Aktivitas ini dapat mengarahkan pembentukan pus sebagai
sel-sel yang mati, zat yang bisa difagosit dan pengumpulan cairan.
MEDIATOR KIMIA DARI INFLAMASI
Pertimbangan utama
Mediator apa yang terlibat pada proses inflamasi?
Kejadian respon inflamasi ini diinisiasi oleh rentetan kompleks dari interaksi yang
melibatkan beberapa mediator kimia yang interaksi ini masih belum sepenuhnya dipahami.
Beberapa diantaranya turunan dari invasi organisme, terlepas dari jaringan yang rusak,
dihasilkan oleh beberapa sistem enzim plasma atau produk dari beberapa sel darah putih yang
terlibat dalam respon inflamasi.
Histamin
Kebanyakan histamin didalam tubuh dihasilkan di granula dalaam sel mast atau dalam sel bsofil.
Yang paling penting mekanisme patofisiologi dari sel mast dan histamin basofil adalah
imunologik. Sel-sel ini, jika tersensitisasi oleh igE antibodi terikat ke membrannya, mengalami
degranulasi saat terpajan antigen. Histamin terlepas memfasilitasi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
Mediator kimia yang berasal dari lipid
Membran sel fosfolipid dihidrolisa oleh fosfolipase pada saat inflamasi. Jalur asam arakidonat
mengarahkan untuk menghasilkan leukotrien dan prostaglandin. Perkembangan jalur berikutnya
menghasilkan produksi dari faktor agregasi platelet. Mode dari kerja produksi kimia dapat dilihat
pada Tabel 2.1
Kemokin
Kemokin adlah protein kecil diproduksi oleh beragam sel, dimana 50 sudah dideskripsikan.
Kemokin adalah regulator mayor dari perjalanan leukosit dan membantu menarik leukosit ke
daerah inflamasi. Protein ini berikatan dengan proteoglikan pada permukaan sel dan dalam
matriks ekstraseluler dan mempersiapkan gradien kemokin untuk migrasi leukosit. Sebagai
contoh dari kemokin adalah IL-8
Sitokin Pro-inflamasi
Respon terhadap adanya kemokin, fagosit memasuki daerah inflamasi dalam beberapa jam.sel-
sel ini akan melepaskan beragam faktor terlarut, yang dimana berpotensi menjadi sitokin pro-
inflamasi. Tiga dari sitokin ini, secara khusus, memiliki karakteristik aktivitas yang baik IL-6,
IL-1, dan TNF-alfa. Dari seluruh tiga sitokin ini dikenal dengan pirogen endogen karena mereka
menginduksi demam oleh kerja langsung pada hipotalamus. Mereka juga menginduki prosduki
dari protein fase akut oleh hati dan mencetuskan peningkatan hematopoesis (produksi sel darah)
di sum-sum tulang, mengarahkan ke leukositosis.
Mediator lain
Proses dari fagositosis juga mengakibatkan produksi dari beragam mediator inflamasi, meliputi
nitrit oxide, peroxide, dan radikal oksigen. Oksigen dan nitrogen intermediate memiliki potensi
untuk menjadi racun terhadap host.
DIC
DIC adalah sindroma yang disebabkan oleh aktivasi intravaskular terhadap koagulasi yang dapat
terlihat timbul proporsi substasni dari ICY (Bakhtiari et al, 2004). Pembentukan dari emboli
mikrovaskular dalam hubungannya dengan aktivasi inflamasi dapat akibatkan kegagalan dari
mikrovaskulatur dan kegagalan organ. Keberlanjutan dan kompensasi platelet yang tak adekukat
dan banyak kehilangan faktor pembekuan dapat berisiko perdarahan, khussunya pada pasien per-
operatif. Kadar yang tinggi pada sirkulasi dari penghambat aktivator plasminogen tipe 1 dapat
sebabkan penurunan degradasi fibrin,lalu meningkatkan deposit fibrin lebih lanjut (lihat Figure
2.7)
hal ini menjadi jelas bahwa hasil abnormal dari uji koagulasi pada sakit kritis
timbul lebih sering dan tidak bisa dipertimbangkan menjadi kacau. Koagulopati sapat secara
signifikan membantu pada morbidiitas dan mortalitas dan keperluan pendeteksian cepat untuk
memfasilitasi inisiasi dari koreksi yang cepat dan terapi pendukung.
KESIMPULAN
Dengan menggunakan skenario Debborah dari presentasi kegagalan multi organ saat syok, hal
ini menjadi jelas bahwa kompleks dan beaneka segi akibat dari kejadian fisiologi yang ada dalam
respon terhadap perlukaan/kerusakan dan onset dari syok. Hal ini sudah ditunjukan bahwa
respon fisiologis ini memiliki efek yang besar pada tubuh manusia, khususnya pada tingkat sel.
Pengertian yang lebih baik dari respon fisiologi ini dan progres berikutnya dari penyakit kritis
dapat bertindak membantu keadaan saat ini dan mengembangan paktek dalam pelayanan orang
dngan sakit kritis. Penelitian yang sedang berlangsung dalam area penting harus diizinkan
praktek pada pelayanan dari penyakit kritis untuk tetapkan dinamik dan respons terhadap
kompleks pelayanan yang dibutuhkan dan ketika pasien seperti ini datang.