Anda di halaman 1dari 16

BAB III

RIDHA DALAM TASAWUF

A. Pengertian Ridha

Secara etimologi kata ridha merupakan ism masdar dari kata radhiya-yardha

yang berarti puas, rela hati, menerima dengan lapang dada atau pasrah terhadap

sesuatu.1 Dengan kata lain yang dimaksud dengan ridha secara harfiah yaitu rela,

suka, atau senang.2 Al-ridha merupakan sebuah kata yang sudah menjadi bahasa

Indonesia yaitu ridha atau rela. Secara terminologi ridha berarti kerelaan yang

tinggi terhadap apapun yang diberikan oleh al-Haq baik sesuatu yang

menyenangkan atau tidak sebagai sebuah anugerah yang istimewa pada dirinya.

Selain itu ridha juga berarti tidak terguncangnya hati seseorang ketika

menghadapi musibah dan mampu menghadapi manifestasi takdir dengan hati yang

tenang, dengan kata lain yang dimaksud dengan ridha adalah ketenangan hati dan

ketentraman jiwa terhadap ketetapan dan takdir Allah SWT, serta kemampuan

menyikapinya, dengan tabah, termasuk terhadap derita, nestapa, dan kesulitan

yang muncul dari-Nya yang dirasakan oleh jiwa.3

Orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang

diberikan oleh Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya-Nya.

Terlebih lagi, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan

1
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Tasawuf, (Bandung: Angkasa, 2008),Cet 1, hal. 1013
2
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet 10, hal. 203
3
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kita Semua, Menapaki Bukit-Bukit Zamrud
Kalbu Melalui Istilah-Istilah Dalam Praktik Sufisme, (Jakarta :Republika , 2013), Cet 1, hal. 197-
200

28
29

Dzat yang memberikan cobaan kepada-nya sehingga tidak mengeluh dan tidak

merasakan sakit atas cobaan tersebut. Mereka bahkan merasakan musibah dan

ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang di cintainya. 4

Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata ,mengatakan bahwa

ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadar Tuhan. Menerima

qadha dan qadar dengan hati senang.Mengeluarkan perasaan benci dari hati

sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira.Merasa

senang menerima malapetaka sebagaimana senang menerima nikmat.Tidak

meminta surga dari Allah SWT dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.Tidak

merasa pahit dan sakit ketika sesudah turunnya qadha dan qadar, bahkan perasaan

cinta bergelora di waktu turunnya bala (cobaan yang berat).5

Ridha menghilangkan cela dan aib. Lantaran ridha telah lekat di hati dahulu,

maka kalau ada cela itu akan lupa di pikiran; kalau ada cacat, cacat tidak akan

teringat. Hal itu bukan lantaran karena kebodohan dan kegilaan, akan tetapi sudah

memang dasar ridha demikian adanya. Ridha tabiatnya pemaaf.Sebagai sebuah

contoh, cobalah perhatikan orang yang cinta kepada anaknya yang masih

kecil.Lantaran cintanya dia ridha anaknya kencing di atas pangkuannya, sedang

dia enak makan.Ridha menerima kekayaan dan kemiskinan, kekayaan dan

kepatahan perjalanan, maksud hasil dan hasil, umur panjang dan pendek, badan

4
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah 2012), Cet 1, hal. 175
5
Abuddin Nata, op,cit, hal. 203
30

sehat dan sakit.Semuanya tidak ada perbedaan, sebab dia larut dalam kegembiraan

sampai lupa segala-galanya.6

Jalan menuju ridha pada awalnya bersifat intensional (berdasarkan niat dan

keinginan individu yang bersangkutan). Tapi pada tahap selanjutnya ia merupakan

hadiah ilahiyah yang berada diatas kehendak dan ikhtiar manusia, karena ia

merupakan anugerah dari Allah SWT bagi orang yang dicintai-Nya. Oleh karena

itu, maka seseorang tidakakan dapat mencapai ridha kecuali hanya dengan

kedalaman iman, kesungguhan dalam beramal, dan keluasan kesadaran untuk

berbuat baik, yang dalam perjalanannya akan menjadi bagian dari sikap tawakkal,

taslim dan tafwidh.7

Buah dari ridha itu sendiri adalah munculnya kesenangan dan ketenangan

menakjubkan yang berhembus dari keridhaan Allah SWTyang berpadu secara

langsung dengan besarnya cita-cita dan harapan yang dimiliki seorang

hamba.Semua ini bukan dzauq yang muncul disebabkan kedekatan dengan Allah

SWT, dan bukan pula kelezatan yang muncul disebabkan banyak ibadah dan

ketaatan. Bahkan ia juga bukan kenikmatan spiritual yang muncul setelah

kemenangan menaklukan dosa. Tetapi ini adalah kenikmatan spiritual yang

diwarnai oleh harapan dan harapan mendalam yang terpatri dengan keteguhan hati

dan sikap mawas diri.8

6
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Republika, 2015), Cet 1, hal. 311-312
7
Muhammad Fethullah Gulenop,cit, hal. 197-200
8
Ibid., hal. 201
31

Jika menggunakan perspektif lain untuk mendefenisikan ridha kaum awam,

kita dapat temukan bahwa yang dimaksud ridha adalah kesediaan untuk menerima

ke-rububiyah-an Allah SWT dengan lapang dada; menutup rapat-rapat dari semua

yang selain Allah SWT, baik dalam betuk pencarian maupun dalam bentuk

tawajjuh. Dan mewujudkan kehidupan di sekitar makna ayat (QS al-An’am: 164)









Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah,
Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang
membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
Ridha dengan pengertian seperti ini memiliki urgensi yang sangat penting

bagi setiap mukmin, karena ayat ini juga mengandung prinsip tauhid yang hakiki.

Ridha pada taraf ini akan terwujud dengan terbentuknya cinta kepada Allah

(mahabbatullah) di dalam hati, sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa di hati

untuk cinta kepada yang lain selain Dia. Bahkan kalaupun ada cinta kepada selain

Dia, maka itu dilakukan demi Allah dan di jalan Allah, sehingga cinta tersebut

menjadi salah satu bentuk ibadah kepada Allah.9

9
Ibid., hal. 204
32

Ridha pada derajat kedua adalah ridha milik para ahli makrifat. Ridha

tingkat ini sering juga disebut dengan istilah “ridha ‘anillah”, yaitu: sikap

menerima qadha dan qadar dengan lapang dada, tanpa meninggalkan cela

sedikitpun bagi kemungkinan munculnya penyimpangan pada hati meski hanya

sekejap. Jika ridha derajat pertama dianggap sebagai gerak mendekat yang

dilakukan kaum awam menuju sifat ridha, maka ridha derajat kedua ini dianggap

sebagai aktivitas hati yang telah siap untuk ber-makrifat bersama Allah SWT.

Adapun ridha derajat yang ketiga adalah ridha-nya orang-orang suci (al-

ashfiya). Siapa saja yang telah mencapai maqam ini, maka ia tidak akan marah

atau kesal demi dirinya sendiri. tetapi dia akan hidup dalan dzauq dan kelezatan

fana bersama Tuhannya serta kosong dari segala bentuk perasaan, pikiran, dan

keinginan dirinya sendiri.

Ridha derajat pertama hukumnya adalah fardhu bagi setiap mukmin,

menunutun kearah tauhid sehingga ia menjadi prinsip di jalan pendekatan diri

kepada Allah SWT. Adapun ridha derajat yang kedua hukumnya adalah setara

dengan wajib.Karena ridha tingkat kedua ini terbentuk dari ridha tingkat pertama

yang dilakukan secara berkesinambungan dan sekaligus menjadi dasar bagi

tingkat terakhir dari kedekatan pada Allah SWT. Adapun ridha derajat yang ketiga

lebih dekat sebagai anugerah Allah SWT dibandingkan sebagai sesuatu yang

bersifat kasbiy (bisa diupayakan), sehingga hukumnya adalah sunah karena ia

merupakan inti dari kedekatan kepada Allah SWT.10

10
Ibid., hal. 205
33

B. Ridha dalam Al-Qur’an dan Hadis

Terdapat banyak ayat al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW yang

berbicara tentang ridha diantaranya adalah:

1. Surat Al-Bayyinah ayat: 8








Artinya: Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepadanya.yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut
kepada Tuhannya. (Q.S. Al-Bayyinah 8)

2. Surat Al-Ma’idah ayat: 119









Artinya: Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi
orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang
dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-
34

lamanya; Allah ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling


besar".(Q.S. Al-Ma’idah 119)

3. Surat at-Taubah ayat: 72









Artinya: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan
perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-
sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang
bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah
keberuntungan yang besar. (Q.S. at-Taubah 72)
Adapun hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan ridha. Di

antara hadis-hadis itu ialah sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:

‫ رﻀﺎﻚ‬:‫ ﻔﯿﻘوﻟﻮﻦ‬,‫ ﺴﻟوﻧﻲ‬:‫إﻦ ﷲ ﺳﺒﺣﺎ ﻧﮫ ﯿﺘﺠﺎﯽ ﻟﻟﻤﺴﻟﻤﯿﻦ وﯿﻘﻮﻞ‬


“sesungguhnya Allah SWT akan menampakkan diri kepada kaum
muslimin dan berkata,’mintalah kepada-Ku’, mereka berkata, ‘(kami
meminta) ridha-Mu,”’ (HR Hakim)11
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi Rasulullah
SAW bersabda:

‫إﻦ ﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻟﺘﺻﻊ أﺠﻨﺤﺘﮭﺎ ﻟﻄﺎ ﻟب اﻟﻌﻟم ﺮ ﺿﺎ ﺀﺒﻣﺎ ﯿﺼﻨﻊ‬

11
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya Ulumuddin, Penerj. Abu Madyan Al Qurtubi,
(Depok: Keira Publishing, 2010), hal. 509
35

“Sesungguhnya para malaikat meletakkan “sayap-sayap”12 mereka


kepada penuntut ilmu karena mereka ridha atas apa yang diperbuatnya”
(HR. Ahmad dan Tirmizi).13

Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib ra, bahwa dia telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda,

( )…

“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha


kepada Allah sebagaiRabb-Nya dan Islam sebagai agama-Nya serta
(nabi) Muhammad sebagai rasul-Nya”14

Dalam hadis qudsi Nabi juga menegaskan mengenai ridha yaitu:

ْ ‫ﻘَﻀ َﺎﺋِﻲ ْ و َ ﻟَﻢ ْ ﯾَﺸ ْ ﻜ ُﺮ ْ ﺑِﻨِﻌ ْ ﻤ َﺎﺋِﻲ ْ و َ ﻟَﻢ ْ ﯾَﺼ ْ ﺒِﺮ ْ ﺑِﺒَﻼَﺋِﻲ ْ ﻓَﻠْﯿَﺨ ْ ﺮ ُج ْ ﺗَﺤ ْ ﺖ َ ﺳ َ ﻤ َﺎﺋِﻲ‬:ِ‫ﻣ َﻦ ْ ﻟَﻢ ْ ﯾﻗَﺮَﺎ ْل َﺿ َﷲُﻰ ﺑ‬
‫و َ ﻟْﯿَﻄْﻠُﺐ ْ ر َ ﺑًّﺎ ﺳ ِ ﻮ َاﺋِﻲ‬
“sesungguhnnya aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siapa
yang tidak bersabar atas cobaan-Ku,tidak bersyukur atas segala nikmat-
Ku serta tidak ridha terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar
dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku.”15
Keridhaan terhadap ke-Uluhiya-an Allah SWT adalah melalui

mahabbah(cinta), takzim16, dan tawajjuh17kepada-Nya, serta memohon segala

sesuatu hanya kepada-Nya semata. Keridhaan ke-Rububiyah-an Allah SWT

adalah dengan menerima segala yang ditakdirkan-Nya kepada kita dengan lapang

dada, tidak bersika buru-buru ketika musibah baru terjadi yang tersa menyakitkan,

bersikap diam ketika musibah berlalu, menjaga iman dan tawakkal kepada Allah

12
Makna meletakkan sayap-sayap mereka adalah (para malaikat) merendahkan diri
mereka demi mengagungkan penuntut ilmu.
13
Ibid., hal. 3
14
https://muslim.or.id/3002-keutamaan-ridho-kepada-allah-rasul-dan-agama-islam.html,
diakses padatanggal 26 juli 2017, pada pukul 20.03 dan silahkan juga lihat HSR Muslim (no. 34).
15
Abuddin Nata, op,cit, hal. 203
16
Takzim, merupakan amat terhormat atau sopan
17
Tawajjuh adalah menghadapkan diri dan membulatkan hati kepada Allah SWT
36

dalam berinteraksi dengan para hamba Allah, serta bersikap tenang atas semua

tindakan dan takdir Allah SWT.

Keridhaan terhadap ke-Rasulan Muhammad SAW adalah dengan

sepenuhnya mengikuti Rasullullah SAW berserah diri secara mutlak kepada

ajaran yang di sampaikan, mengutamakan petunjuk beliau di atas hawa nafsu,

menyerahkan dominasi logika dan akalnya kepada perintah Rasulullah SAW,

serta menjadikan kecerdasan sebagai cermin bagi sifat fatanah(cerdas)yang

dimiliki Rasulullah SAW yang luas dan selalu berada didalam bimbingan wahyu

Ilahi dengan senantiasa menghadap kepada yang pokok, bukan kepada yang

bayangan. Adapun yang dimaksud ridha terhadap Islam dapat ditemukan dalam

ayat (QS Ali Imran 3: 85);





Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-
kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
Termasuk orang-orang yang rugi.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa dengan menjadikan agama sebagai

pedoman bagi kehidupan individu, keluarga, mayarakat, dan pemerintah.18

C. Ridha Menurut Tokoh-Tokoh Sufi

Menurut para tokoh sufi, ridha diibaratkan pintu Allah SWT yang paling

besar, orang yang telah memuliakan ridha, maka dia akan dipertemukan dengan

18
Muhammad Fethullah Gulen op,cit, hal. 198-199
37

kecintaan yang paling utama dan dimuliakan dengan pendekatan yang paling

tinggi. Selain itu ridha merupakan sebuah pencapaian tinggi yang telah dilalui

dalam perjalanan seorang sufi. Ridha menurut para beberapa tokoh sufi

mempunyai banyak pengertian diantaranya.19

Menurut Al-Hujwiri istilah ridha mengandung dua pengertian: pertama,

ridha Tuhan kepada manusia, kedua, ridha manusia kepada Tuhan. Ridha Tuhan

kepada manusia terkandung dalam kehendak Tuhan untuk memberi pahala kepada

manusia atas segala perbuatan baik yang dilakukannya, dan anugerah kasih

sayang-Nya kepada manusia.Adapun ridha manusia kepada Tuhan terkandung

dalam kerelaan dan kepasrahan manusia untuk melaksanakan segala perintah-Nya,

serta menerima segala ketentuan dan keputusan-Nya.

Dengan demikian ridha manusia sangat terkait dengan ridha Allah

SWT.Dalam hal ridha manusia kepada Tuhan, Al-Hujwiri berpendapat bahwa

manusia dapat di kelompokkan mejadi empat golongan.Pertama, mereka yang

merasa puas dengan pemberian Allah SWT berupa kemampuan mengenal Allah

SWT (ma’rifah).Kedua, mereka yang merasa puas dengan kebahagiaan berupa

dunia ini.Ketiga, mereka yang merasa puas dengan berbagai penderitaan (bala)

berupa berbagai cobaan yang menimpa mereka.Keempat, mereka yang merasa

puas dengan sesuatu yang dipilihkan berupa rasa cinta (mahabbah) kepada

Tuhan.20

19
Labib Mz, Memahami Ajaran Tasawuf, (Surabaya: Tiga dua, 2003), hal. 176
20
Azyumardi Azra,Op,Cit, hal. 1013-1014
38

Abu Abd Allah Haris Ibn Asad Al-Muhasibi dan para pengikutnya

memasukan ridha sebagai hal. Menurut Al-Muhasibi, ridha adalah penyerahan

(al-tawakkul) dan ketentraman hati mengahadapi peristiwa-peristiwa yang timbul

karena keputusan-keputusan Tuhan. Penyerahan (al-tawakkul) dan ketentraman

hati bukan merupakan kualitas-kualitas yang diusahakan manusia, melainkan

anugerah dari Tuhan. Untuk memperkuat argumen bahwa ridha sebagai hal bukan

maqam, ia mengemukakan beberapa kisah sufistik, antara lain:

Pertama, di riwayatkan bahwa Nabi Musa as.pernah bertanya kepada

Tuhan, “wahai, Tuhan, tunjukan kepadaku suatu perbuatan, yang jika aku

lakukan engkau akan ridha kepadaku.” Tuhan menjawab, “engkau tidak

akan bisa melakukannya, wahai Musa.”Kemudian Musa as bersujud,

memuja kepada Tuhan seraya memohon kepada-Nya.Lalu Tuhan

menurunkan wahyu kepadanya, dan berfirman, “wahai putra Imran,

keridhaan-Ku kepadamu terkandung dalam keridhaanmu dengan

keputusan-Ku. Bila mana seorang manusia ridha dengan keputusan Tuhan

itu merupakan tanda bahwa Tuhan ridha terhadap orang itu,”

Kedua, suatu hari, Bisyr Hafi bertanya kepada Fudayl ibn Iyad tentang

mana yang lebih baik antara zuhud dan ridha.Fudayl menjawab, ridha,

karena orang yang ridha tidak lagi menginginkan tahap yang lebih tinggi

lagi.Kalau di atas zuhud masih ada tahapan yang di inginkan orang yang

zuhud, tetapi di atas ridha tidak ada lagi peringkat yang diinginkan orang

yang ridha.Karena itu, kuburan wali lebih unggul dari pada gerbang

istana.Kisah ini menunjukan kebenaran pandangan Al-Muhasibi bahwa


39

ridha termasuk (hal) dan merupakan anugerah ilahi, bukan termasuk

tahapan (maqam) yang dicapai dengan usaha.

Ketiga, Rasullullah SAW biasa membaca doa, “wahai, Tuhan, aku

mohon keridhaa-Mu setelah terjadi ketetapan-Mu (al-rida ba’d al-qada),

yakni buatlah aku senantiasa dalam keadaan seperti itu sehingga bila

ketetapan-Mu datang kepadaku, takdir akan mendapatiku ridha dengan

kedatangannya.”Doa ini menunjukan bahwa ridha muncul setelah

kedatangan takdir, karena jika ridha mendahului takdir, itu hanya

merupakan tekad untuk ridha, tidak sama dengan ridha yang aktual.21

Keempat, Utbah Al-Ghulam, salah seorang tokoh sufi, sepanjang

malam tidak tidur, tetapi terus barkata, “jika Engkau menghukumku, aku

cinta kepada-Mu, dan jika engkau mengasihiku, aku cinta kepada-Mu.

Kepedihan hukuman-Mu dan kegembiraan kasih sayang-Mu

mempengaruhi tubuhku, sedangkan semangat cinta tetap ada di dalam

hatiku dan tidak terusik karenanya.”Kisah ini mendukung pandangan al-

Muhasibi tersebut. Ridha adalah hasil cinta, karena sang pecinta ridha

terhadap apa yang di lakukan kekasihnya.

Kelima, Abu Utsman al-Hiri mengatakan, “selama empat puluh tahun

belakangan ini, Tuhan tidak pernah menempatkan diriku dalam keadaan

yang tidak aku sukai, dan tidak pernah mengalihkan ke keadaan lain yang

sangat kusedihkan.”Ini menunjukkan ridha terus menerus dan cinta yang

sempurna.

21
Ibid., hal. 1014-1015
40

Keenam, suatu hari, seorang darwis terjatuh ke dalam sungai

Tigris.Seseorang yang berada di pinggir sungai tersebut, karena tidak bisa

berenang, berteriak kepadanya,”Tunggu, akan kusuruh seseorang

membawamu ketepi.”si Darwisy berkata, “jangan.” Orang itu berkata

lagi, “lalu apa yang kamu inginkan.”Si Darwisy menjawab, “yang Tuhan

inginkan, apa hubunganku dengan keinginan.”

Berbeda dengan al-Muhasibi dan pengikutnya, Abu Nasr al-Sarraj al-

Thusi, Abu Hamid al-Ghazali dan Syihab al-Din Umar al-Suhrawardi berpendapat

lain. Menurut mereka, ridha merupakan salah satu maqam yang dapat diusahakan

oleh seorang sufi dalam mendekatkan dirinya kepada Tuhan.22

Al-Thusi berpendapat, ridha yang dicapai sesorang ketika hatinya merasa

tentram, tenang, dan senang dalam menerima segala hukuman dan ketentuan

Allah SWT, merupakan maqam yang sangat mulia, dan puncak tertinggi yang

dicapai seorang pendaki (salik) setelah melalui maqam al-tawakkul. Ridha

merupakan pintu gerbang menuju Allah SWT yang paling agung sekaligus

sebagai surga dunia. Ridha disebut sebagai akhir dari maqam yang dijalani

seorang sufi, karena setelah itu dia akan memperoleh berbagai kondisi kejiwaan

(ahwal) sebagai anugerah Allah SWT, terkuaknya dunia gaib, serta terbukanya

rahasia dan hakikat segala sesuatu.

Menurut al-Suhrawardi, ridha berarti mengangkat atau menghilangkan

kebencian pada qada dan qadar Tuhan, dan memandang kepahitan dalam

22
Ibid, hal. 1015-1016
41

melaksanakan berbagai ketentuan-Nya sebagai kemanisan. Ridha merupakan

maqam terakhir yang ditempuh para sufi, dan baru dapat dicapai setelah melewati

maqam al-tawakkul (menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT).

Menurut al-Suhrawardi untuk sampai pada tingkat keyakinan, mesti

ditambahkan doa untuk memohon ridha agar diketahui bahwa ridha terhadap

nasib (qismah) tidaklah ditentukan oleh nasib itu sendiri.23Ridha adalah hasil dari

keyakinan, yang merupakan kualitas khusus hati, maka kualitas ridha juga khusus

bagi hati.24

Al-Suhrawardi menjelaskan bahwa, menghalau kebencian terhadap qada

dan qadar Tuhan merupakan hasil dari menghalau kemauan diri sendiri.Sumber

ridha adalah keyakinan, dan melapangkan dada merupakan kebutuhannya,

sedangkan sumber kebencian adalah keraguan, dan menyempitkan dada adalah

kebutuhannya.25

Sedangkan Zhun al-Nun al-Misry mengatakan bahwa ridha adalah

tawakkal dengan kerelaan hati. Selanjutnya dijelaskan bahwa tanda-tanda ridha

kepada al-Haqq ada tiga: pertama, mempercayakan hasil usaha sebelum

terjadinya ketentuan, kedua, lenyapnya kegelisahan sesudah terjadi ketentuan, dan

yang ketiga, yaitu cinta yang bergelora ketika terjadi malapetaka.26Zhun al-Nun

al-Misry juga mengatakan bahwa “ridha adalah sebenarnya hati atas pahitnya

23
Ibid
24
Syaikh Syahibuddin Umar Suhrawardi, Awarif Al-Ma’arif ,(Bandung: Pustaka Hidayah,
1998 ),Cet 1, hal. 182
25
Azyumardi Azra,op,cit, hal. 1016
26
Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani, Tutup Nasut Buka Lahut, (Malang: Uin-Maliki Press,
2010),Cet 1, hal. 69
42

nasib.”Husein bin Ali radhiyallhu ‘anhu berkata, “bahwa ridha adalah tindakan

sang hamba meninggalkan segala sesuatu yang menyimpang dari kehendak dan

pilihan Allah SWT, serta tidak mengharapkan apapun selain dia”.

Abu Utsman berpendapat bahwa ridha adalah menerima penyingkapan

(tajalliyat) keindahan dan keagungan Allah SWT dengan tenang, serta menerima

keagungan sebagai inti keindahan, dan menerima keindahan sebagai inti

rahmat.Itulah sebabnya Rasulullah SAW berdo’a kepada Allah, “dan aku

memohon ridha kepada-Mu setelah qadah.”27

Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia untuk

berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai oleh Allah SWT dan Rasul-

Nya. Namun sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya

dengan cara apapun yang di sukai oleh Allah SWT. Ridha menerima kekayaan

dan kemiskinan, umur panjang dan pendek, badan sehat dan sakit, semua tidak

ada perbedaan, karena memang ia telah ridha kepada ketentuan Allah SWT.

Dalam kedudukan ini, sang pecinta senantiasa ridha dan puas dengan apa yang

dilakukan oleh kekasih. Akan tetapi, manusia sejati hanya puas dan ridha dengan

Allah SWT sendiri.28

Menurut Syeikh Abu Abdullah Muhammad Ibn Khafif, ada dua macam

ridha yaitu, ridha dengan Allah SWT dan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya.

Adapun ridha dengan Allah SWT berarti seorang hamba ridha terhadap-Nya sebagai

27
Muhammad Fethullah Gulenop,cit, hal. 202
28
Samsul Munir Amin, op,cit, hal. 175-176
43

pengatur, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang

telah ditetapkannya.29

29
Syeikh Abdul Halim Mahmud, At-Tashawwuf Fi Al-Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2002), Cet 1, hal. 106

Anda mungkin juga menyukai