INKLUSI
Oleh:
KARTINI (21111070063)
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bunda
Dr. Erfha Nurrahmawati M.Pd pada fakultas Tarbiyah dan Keguruaan, mata kuliah
pendidikan inklusi. Selain itu, Makalah ini bertujuan untuk menambah bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga Saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis
i
Daftar isi
KATA PENGANTAR
Daftar isi.................................................................................................................i
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Welcoming School....................................................................................2
B. Welcoming Teacher...................................................................................3
C. Menekankan Kerja Sama daripada Persaingan.........................................4
D. Kurikulum yang Fleksibel.........................................................................4
E. Akomodasi yang Layak.............................................................................5
F. Adpatasi Kelas...........................................................................................7
G. Layanan Individual...................................................................................10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................................12
B. DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pendidikan inklusif merujuk pada pendidikan untuk semua yang
berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan
melalui pendidikan inklusif memiliki arti penting khususnya dalam kerangka
pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Sekolah inklusif
harus mengenali dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari
para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan
belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada
semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pengorganisasian
yang baik, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber-
sumber dengan sebaik-baiknya, dan penggalangan kemitraan dengan
masyarakat sekitarnya.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Welcoming School?
2. Bagaimanakah Welcoming Teacher?
3. Bagaimanakah Menekankan Kerja Sama daripada Persaingan?
4. Bagaimanakah Kurikulum yang Fleksibel?
5. Bagaimanakah Akomodasi yang Layak?
6. Bagaimanakah Adpatasi Kelas?
7. Bagaimanakah Layanan Individual?
c. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan Welcoming School.
2. Mendeskripsikan Welcoming Teacher.
3. Mendeskripsikan Menekankan Kerja Sama daripada Persaingan.
4. Mendeskripsikan Kurikulum yang Fleksibel.
5. Mendeskripsikan Akomodasi yang Layak.
6. Mendeskripsikan Adpatasi Kelas.
7. Mendeskripsikan Layanan Individual.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Welcoming School
Welcoming School merupakan sekolah yang ramah terhadap
warga sekolahnya, terbuka dan merupakan sekolah yang siaga. Ramah
yang dimaksudakan adalah ramah yang dalam artian menyenangkan,
nyaman dan aman bagi setiap warga sekolah. Welcoming School ini
telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement
1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan
Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan
untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa
dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn),
setiap anak berbeda (each children are different) dan perbedaan itu
merupakan kekuatan (difference ist a strength), dengan demikian
kualitas proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan
siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.1
Seperti halnya kondisi nyata di sekolah, hampir setiap kelas
senantiasa ada sebagian murid dalam kelas yang membutuhkan
perhatian lebih, karena termasuk ABK, seperti: hambatan penglihatan,
atau pendengaran, fisik, atau mental- kecerdasan atau emosi, atau
perilaku-sosial, autis dan lainnya, sehingga mereka membutuhkan
akses fisik dan modifikasi kurikulum serta mengadaptasikan metode
pengajarannya agar semua murid dapat menyesuaikan diri secara
efektif dalam semua kegiatan sekolah. Di Sekolah yang Ramah
(Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan
pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai
hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk
mengembangkan diri (to develop asense of self), untuk membuat
pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate),
untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community),
1
Abdul Rahim, “Pendidikan Inklusif Sebagai Strategi Dalam Mewujudkan
Pendidikan Untuk Semua,” Jurnal Pendidikan Ke-Sd-An 3, No. 1 (2016): 68–71.
2
untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a
changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan
untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued
contributions).2
B. Welcoming Teacher
Welcoming teacher adalah guru yang ramah terhadap warga
sekolahnya. Menjadi “ramah” apabila keterlibatan dan partisipasi
semua pihak dalam pembelajaran tercipta secara alami dengan baik.
Sekolah bukan hanya tempat anak belajar, tetapi guru pun juga ikut
belajar dari keberagaman anak didiknya. Lingkungan pembelajaran
yang ramah berarti ramah kepada anak dan guru, artinya: (1) Anak dan
guru belajar bersama sebagai suatu komunitas belajar, (2)
Menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran, (3) Mendorong
partisipasi aktif anak dalam belajar, dan (4) Guru memiliki minat untuk
memberikan layanan pendidikan yang terbaik.3
Munculnya paradigma pendidikan inklusif, selain kompetensi
di atas, guru dipersyaratkan mempunyai predikat welcoming teacher.
Welcoming teacher dapat dimaknai menjadi guru yang ramah. Guru
yang ramah bukan hanya berarti guru yang lemah lembut dan santun,
akan tetapi mempunyai arti yang lebih luas yaitu guru yang dapat
memenuhi kebutuhan peserta didik. Secara garis besar kebutuhan
siswa dapat dibagi menjadi tiga ranah yaitu kebutuhan pengembangan
kognitif, afektif dan psikomotor. Pendidikan seringkali mengabaikan
kebutuhan afektif dan biasanya lebih menonjolkan pemenuhan
kebutuhan kognitif, bahkan seringkali guru tidak memahami akan
kekuatan kognitif seseorang. Hal yang sering terjadi justru guru
“memperkosa” kognitif anak.
Kebutuhan afektif anak antara lain kebutuhan akan rasa kasih
sayang, harga diri, dan penghargaan dan sebagainya. Hal-hal yang bisa
2
Abdul Rahim.
3
Reni Ariastuti Et Al., “Optimalisasi Peran Sekolah Inklusi,” Jurnal Pengabdian
Masyarakat 1, No. 1 (2016): 38–47.
3
dilakukan untuk menjadi guru yang berstatus welcoming teacher
adalah sebagai berikut:
1. Guru harus mengetahui kondidi fisik maupun psikis peserta
didik, termasuk kesehatan, intelegensi anak, sifat/karakter anak
dan sebagainya.
2. Guru yang penolong, bukan guru yang mudah memberikan
hukuman/punishment.
3. Guru yang tidak mempermalukan anak.
4. Guru yang dapat mengatasi jika ada anak yang dipermalukan
oleh orang lain.
5. Guru yang empati terhadap hambatan belajar siswa.
6. Guru yang sesegera mungkin berusaha mengatasi hambatan
belajar siswa.
7. Guru yang selalu memperhatikan perkembangan anak.
8. Guru yang dapat menjalin hubungan baik dengan orang tua
anak dan pihak-pihak lainnya.4
4
H.Utomo Imam Yuwono, Pendidikan Inklusi (Yogyakarta: Deepublish, 2021).
4
yang diwujudkan berupa satu sikap dan perilaku kelompok sesuai
dengan karakteristik dari pada sikap dan perilaku individu.5
Motivasi bisa dimunculkan dengan cara yang lebih ramah yaitu
pendidikan inklusif yaitu bagaimana menekankan kerjasama daripada
persaingan. elemen ini sebenarnya tidaklah sulit untuk dilakukan.
Sebab secara kodrati manusia juga dituntut untuk kerja sama. Dalam
ilmu social, manusia disebut sebagai makhluk social yang maknanya
manusia tidak bisa hidup sendiri, aktivitas kerja sama dalam belajar
menjadi unsur yang penting dalam mengimplementasikan paradigma
pendidikan inklusif.6
5
Ivan Cahyo Katon, Riyadi, And Djaelani, “Peningkatan Sikap Kerjasama Melalui
Penerapan Numbered Heads Together,” Didaktika Dwija Indria 4, No. 2 (2016): 1–7.
6
Imam Yuwono, Pendidikan Inklusi.
5
menyesuaikan dengan kemampuan PDBK, contohnya adalah PDBK
mengikuti pembelajaran yang sama di kelas reguler serta menerima
materi yang sama, namun pada saat melakukan pengerjaan soal bagi
PDBK jumlah soal dikurangi atau mengurangi kedalaman maupun
keluasan suatu materi dikarenakan memiliki hambatan kecer- dasan.
Sedangkan pembelajaran yang di- modifikasi suatu pembelajara yang
diubah sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik seperti
suatu materi dihilangkan karena PDBK memiliki hambatan
pendengaran yang tidak me- mungkinkan untuk mempelajari materi
tersebut.
Terdapat 5 model dari kurikulum adaptif yang disimpulkan oleh
beberapa ahli Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
yaitu, 1) Model eskalasi, kurikulum bagi PDBK yang dinaikkan dari
standar kurikulum reguler diperuntukan bagi siswa CIBI (Cerdas
Instimewa dan atau Bakat Istimewa). 2) Model duplikasi: kurikulum
bagi PDBK sama seperti yang digunakan pada kurikulum reguler. 3)
Model modifikasi: kurikulum bagi PDBK dinaikkan atau direndahkan,
disesuaikan dengan kebutuh- an PDBK. 4) Model substitusi: beberapa
bagian kurikulum diganti dengan yang kurang lebih setara. 5) Model
omisi: beberapa bagian kurikulum ditiadakan karena tidak
memungkinkan untuk dilakukan oleh PDBK.7
7
Anggia Ayu Sebrina And Dadang Sukirman, “Implementasi Kurikulum Pada
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif,” Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan 11, No. 2
(2019): 98.
6
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal
10 menyebutkan bahwa salah satu hak pendidikan penyandang
disabilitas adalah mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta
didik. Akomodasi yang Layak dijabarkan secara lengkap dalam PP
Nomor 13 Tahun 2020. Pada pasal 1 Ayat 9, akomodasi yang layak
didefinisikan sebagai modifikasi dan penyesuaian yang tepat dan
diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental untuk penyandang
disabilitas berdasarkan kesetaraan.8
Penyediaan akomodasi yang layak di bidang pendidikan
bertujuan untuk menjamin terselenggaranya dan/atau terfasilitasinya
pendidikan untuk peserta didik penyandang disabilitas (Pasal 2 PP
Nomor 13 Tahun 2020). Penyediaan akomodasi yang layak dilakukan
dengan pengembangan standar kompetensi lulusan, standar isi, standar
proses, dan standar penilaian yang sesuai dengan kebutuhan peserta
didik (Pasal 4 PP Nomor 13 Tahun 2020). Selanjutnya, Pasal 11
kebijakan ini juga menyatakan bahwa bentuk akomodasi yang layak
berdasarkan ragam penyandang disabilitas dilakukan dalam bentuk:9
1. fleksibilitas proses pembelajaran;
2. fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan;
3. fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/atau
capaian pembelajaran;
4. fleksibilitas dalam evaluasi dan penilaian kompetensi;
5. fleksibilitas waktu penyelesaian tugas dan evaluasi;
6. asistensi dalam proses pembelajaran dan evaluasi; dan/atau
bentuk lain yang dapat menjamin peserta didik untuk mendapat
layanan pendidikan.
8
Anindito Aditomo, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif (Jakarta: Pusat
Kurikulum Dan Perbukuan Badan Penelitian Dan Pengembangan Perbukuan. Kemdikbud,
2021).
9
Tim Penyusun Direktorat Sekolah Dasar, Buku Saku Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif Di Sekolah Dasar (Jakarta: Direktorat Sekolah Dasar, 2021).
7
Bentuk fasilitasi akomodasi yang layak dalam pendidikan bagi PDBK
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Modifikasi Kurikulum. Sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif dapat memberikan layanan akomodasi yang layak
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan khusus peserta didik
dengan menerapkan model kurikulum duplikasi dan modifikasi.
2. Program Pembelajaran Individual. PPI sangat diperlukan bagi
peserta didik karena hambatan intelektual dapat menyebabkan
hambatan belajar. Hambatan intelektual merupakan masalah
yang kompleks sehingga guru harus mampu mengakomodasi
kebutuhan peserta didik. Kegagalan dalam mengakomodasi
kebutuhan ABK akan berakibat buruk terhadap PBM lebih
lanjut. Bagi seorang guru, mengembangkan PPI seperti
menggunakan GPS.10
10
Anindito Aditomo, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Inklusif.
8
fleksibilitas dalam proses pembelajaran dan evaluasi,
fleksibilitas tempat pelaksanaan evaluasi; dan/atau, bentuk lain
yang dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas
mental untuk mendapat layanan pendidikan.
9
11. Modifikasi materi pembelajaran, pemberian tugas, dan
evaluasi untuk muatan pembelajaran khususnya olah raga,
seni rupa, sinematografi, menggambar, dan yang
sejenisnya;
12. Ketersediaan Pendidik atau alat media yang dapat
membacakan tulisan yang disajikan di papan tulis/layar
dalam proses belajar di kelas;
13. Penyediaan sumber baca, informasi, dan layanan
perpustakaan yang mudah diakses;
14. Penyesuaian cara, bentuk penyajian, dan waktu pengerjaan
tugas dan evaluasi termasuk melalui: penyajian naskah
dalam format braille terutama untuk naskah yang banyak
menggunakan simbol khusus seperti matematika, kimia,
dan bahasa Arab; modifikasi penyajian soal yang
menampilkan gambar dan bagan dalam bentuk gambar
timbul yang telah disederhanakan yang dioperasikan dan
dikerjakan dengan menggunakan komputer bicara yaitu
komputer yang dilengkapi perangkat lunak pembaca layar;
pembacaan soal ujian oleh petugas pembaca; perpanjangan
waktu dalam penyelesaian tugas; perpanjangan waktu
paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari waktu yang
ditentukan untuk pelaksanaan evaluasi yang menggunakan
format braille atau dibacakan; dan/ atau bentuk lain yang
dapat menjamin Peserta Didik Penyandang Disabilitas netra
untuk mendapat layanan pendidikan.
10
penyandang disabilitas wicara berdasarkan keterangan
dokter dan/ atau dokter spesialis sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Fleksibilitas proses pembelajaran;
3. Fleksibilitas bentuk materi pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan;
4. Fleksibilitas dalam perumusan kompetensi lulusan dan/ atau
capaian pembelajaran;
5. Komunikasi, informasi, dan/ atau instruksi dalam proses
pembelajaran dan evaluasi menggunakan cara yang sesuai
dengan pilihan masing-masing peserta didik penyandang
disabilitas rungu atau penyandang disabilitas wicara;
6. Pendampingan di kelas baik oleh juru bahasa isyarat
maupun oleh juru catat jika pendidik tidak dapat
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat;
7. Fleksibilitas pengerjaan tugas dan evaluasi menggunakan
tulisan, presentasi lisan dengan bantuan juru bahasa isyarat,
presentasi video, animasi, dan bentuk audio visual lain;
8. Bentuk lain yang dapat menjamin peserta didik penyandang
disabilitas rungu atau penyandang disabilitas wicara untuk
mendapat layanan pendidikan.
11
penyandang disabilitas rungu menggunakan bahasa isyarat
raba.
3. Bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat huruf
b ditetapkan oleh menteri. Menteri dalam menetapkan
bahasa isyarat raba sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melibatkan organisasi penyandang disabilitas yang
mewakili penyandang disabilitas netra dan penyandang
disabilitas rungu.
F. Adpatasi Kelas
Adaptasi dalam model pembelajaran inklusi saat proses
merupakan cara penyesuaian aktivitas belajar yang sesuai dengan
kondisi siswa berkebutuhan khusus. Penyesuaian tersebut dilakukan
pada tahapan belajar perolehan, tahap ulangan, tahap kecakapan, tahap
mempertahankan, tahap perluasan, tahap penyesuaian, dan tahap
penyesuaian. Proses pengkondisian yang dilakukan guru dengan
strategi dan metode untuk aktivitas belajar siswa tentunya juga
mempertimbangkan kondisi siswa. Model pembelajaran inklusif
menuntut guru untuk mengakomodir berbagai kondisi siswa untuk
aktif belajar. 12
Kondisi siswa yang bervariasi dapat aktif belajar dengan cara
yang bervariasi pula, sehingga dalam proses belajar perlu dikondisikan
oleh guru dengan strategi dan metode yang bervariasi. Hal itu mungkin
akan sulit untuk dipenuhi oleh guru, namun akan lebih mudah guru
menggunakan strategi dan metode yang bersifat adaptif. Strategi dan
11
Permanarian, Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education Ke Konsep
Needs Education Dan Implikasinya Layanan Pendidikan. (Bandung: Jassi Astati, 2005).
12
Hidayat, Pengenalan Dan Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Dan Strategi
Pembelajarannya (Balikpapan: Kegiatan Workshop, 2009).
12
metode yang digunakan oleh guru ditentukan yang paling utama sesuai
substansi bahan ajar yang dipelajari siswa, namun setiap tahapan dari
belajar itu siswa dibantu dengan adaptasi cara yang dapat
dipergunakan oleh siswa. Pengkajian materi diklat saat ini berfokus
pada strategi yang umum dapat dilaksanakan oleh siswa, kemudian
setiap tahapan belajar diadaptasi dengan kemampuan yang dapat
dilakukan oleh siswa berkebutuhan khusus di model sekolah inklusif.13
Adapun beberapa factor yang harus diperhatikan dalam elemen
adaptasi kelas:
1. Lingkungan mengatur ruang dan fasilitas
a. Ada area terpisah untuk bekerja dengan masing-masing
anak.
b. Ada tanda-tanda yang dengan jelas memberi label area
pembelajaran yang terpisah.
c. Ada sistem yang mengendalikan jumlah anak di
wilayah kegiatan.
2. Pengujian diagnostic
a. Pretes diberikan pada awal setiap unit instruksi
3. Diferensiasi menentukan resep
a. Anak-anak bekerja di unit yang berbeda dalam setiap
kurikulum
b. Tugas yang berbeda ditentukan jika seorang siswa
diberikan lebih banyak pekerjaan.
4. Pemantauan dan diagnosis
a. Guru membahas dengan anak-anak rencana kegiatan
dan kemajuan mereka
b. Guru membahas kinerja anak-anak dengan orang tua
mereka.
5. Interaksi
13
Kauffman Hallahan, Exceptional Learners: Introduction To Special Education
(Boston: Allyn And Bacon, 2003).
13
a. Guru berkeliling ke semua area tempat anak-anak
bekerja/ bermain
b. Guru memperhatikan dan mengakui setiap anak yang
membutuhkan bantuan
c. Guru mendorong siswa untuk saling membantu dengan
kegiatan mereka.14
6. Menyempurnakan aturan/prosedur
a. Anak-anak tahu bagaimana memberi sinyal bantuan
ketika dibutuhkan
b. Anak-anak tahu apa yang akan terjadi jika mereka
menyelesaikan aktivitas sebelumnya
G. Layanan Individual
Teori tentang layanan individual dalam setting pendidikan
inklusif, dimaksudkan jika ada siswa yang tidak bisa mengikuti
pembelajaran secara klasikal. Siswa tidak bisa mengikuti pembelajaran
secara klasikal tersebut maka dilayani kebutuhan pendidikannya
dengan layanan kebutuhan pendidikannya dengan layanan individual
(layanan pendidikan yang paling banyak mendapatkan layanan
individual yaitu anak-anak yang termasuk kategori ABK.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan bagi
anak berkebutuhan khusus (ABK permanen) saja, namun bisa jadi bagi
anak sebenarnya tidak berkebutuhan khusus permanen (ABK
temporer). ABK temporer adalah anak yang mengalami hambatan
belajar namun sifatnya sementara dan jika ditangani dengan benar
maka anak akan bisa mengikuti pembelajaran layaknya anak-anak pada
umumnya (anak regular). Jika anak sudah kembali seperti layaknya
anak-anak pada umumnya maka anak tersebut tidak disebut ABK lagi.
Sebenarnya layanan individual tidak hanya diberlakukan bagi
anak berkebutuhan khusus (ABK permanen) saja, namun bisa jadi bagi
anak sebenarnya tidak berkebutuhan khusus permanen (ABK
14
Imam Yuwono, Pendidikan Inklusi.
14
temporer). ABK temporer adalah anak yang mengalami hambatan
belajar namun sifatnya sementara dan jika ditangani dengan benar
maka anak akan bisa mengikuti pembelajaran layaknya anak-anak pada
umumnya (anak regular). Jika anak sudah kembali seperti layaknya
anak-anak pada umumnya maka anak tersebut tidak disebut ABK lagi.
Beberapa contoh layanan individual yang dilakukan di kelas
regular yaitu:
1. Jika salah satu peserta didik ada yang tunanetra dan sedang
belajar tentang peta, maka anak-anak yang lain belajar
menggunakan gambar seperti biasanya, maka tunanetra belajar
menggunakan peta raba (peta timbul) yaitu peta yang jika
diraba dengan tangannya akan mendpatkan informasi tentang
gambaran suatu daerah atau suatu negara.15
2. Di salah satu sekolah dasar penyelenggara inklusif terdapat
anak tunagrahita. Guru sedang mengajar matematika sampai
bilangan 100. Ternyata anak tunagrahita tersebut diajari hanya
sampai puluhan dan belajarnya tetap di kelas (sebaiknya ada
GPK (Guru Pendamping Khusus) yang mendampinginya.
15
Imam Yuwono.
15
BAB III
Penutup
Kesimpulan
16
DAFTAR PUSTAKA
17