Anda di halaman 1dari 115

BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan
O
l
e
h

NAMA : Piolina
NIM : 040706025

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009.


USU Repository © 2009
BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an

SKRIPSI SARJANA
OLEH

NAMA : Piolina
NIM : 040706025

Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP


NIP. 131 460 525

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 1


USU Repository © 2009
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an
Yang diajukan oleh :
NAMA : Piolina
NIM : 040706025
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh :
Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP tanggal…………………….


NIP. 131 460 525

Ketua Departemen Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, SU tanggal…………………….


NIP. 131 284 309

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 2


USU Repository © 2009
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
BANJIR DI KOTA MEDAN : SUATU TINJAUAN HISTORIS 1971-1990-an
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
l
e
h
NAMA : Piolina
NIM : 040706025
Pembimbing,

Dra. Nina Karina, M.SP


NIP. 131 460 525
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan,
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra
Dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 3


USU Repository © 2009
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH

Ketua Departemen,

Dra. Fitriaty Harahap, SU


NIP. 131 284 309

Medan, Maret 2009

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 4


USU Repository © 2009
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima oleh.
Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada :
Hari :
Tanggal :

Fakultas Sastra USU


Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A,. Ph.D


Nip 132 098 531

Panitia Ujian.

No. Nama Tanda Tangan


1. ………………………………………………. (…………………….)
2. ………………………………………………. (…………………….)
3. ……………..................................................... (…………………….)
4. ………………………………………………. (…………………….)
5. ………………………………………………. (…………………….)

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 5


USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala kasih saying dan

karunia-Nya yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Nina Karina, M. SP sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini
yang telah begitu banyak memberikan dorongan, semangat, dan telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis.
2. Bapak Pimpinan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, penulis tak lupa
mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan selama
mengikuti perkuliahan.
3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, selaku Pimpinan Departeman Sejarah yang
telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama dalam perkuliahan.
4. Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si, selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang telah
banyak memberikan bantuan kepada penulis baik selama dalam perkuliahan
maupun dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen, Staf Pengajar, Staf Administrasi pendidikan Departemen
Sejarah yang telah banyak membantu penulis dari mulai masa perkuliahan
hingga dalam penyelesaian skripsi ini. Terkhusus penulis ucapkan kepada
Bapak Edi Sumarno yang telah memberikan masukan-masukan kepada
penulis. Semoga Allah SWT yang akan membalas semua kebaikan yang telah
diberikan kepada penulis amin.
6. Ibu Dra. Penina Simanjuntak, MS., selaku Dosen Wali yang telah banyak
memberikan nasehat-nasehat kepada penulis mulai dari awal perkuliahan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 6


USU Repository © 2009
hingga penyusunan skripsi ini. Semua nasehat yang ibu berikan akan selalu
penulis ingat.
7. Ayahanda Herman Tony Lopumeten dan Ibunda Diana Ketaren yang tercinta dan
tersayang yang telah membasarkan, mendidik dan menyekolahkan Ananda
serta tidak henti-hentinya memberikan do’a dan dukungannya kepada Ananda
selama dalam mengikuti perkuliahan. Segala bentuk nasehat dan petuah yang
Ayahanda dan Ibunda berikan senantiasa akan selalu Ananda ingat. Tak
mungkin Ananda dapat membalas semua pengorbanan yang Ayahanda dan
Ibunda berikan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Terakhir Ananda
hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT agar Ayahanda dan
Ibunda selalu mendapat lidunganNYA amin.
8. Kakakku Melony Juwita S.Pt., dan Abang Iparku Heru Sumantri S.Pt., yang telah
memberikan anjuran-anjuran dan saran-saran sehingga adikmu ini bisa
menamatkan sarjana mengikuti jejak kalian. Serta adik kecilku Giza Aura dengan
senyum manismu yang selalu bisa membuat kakak semakin semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Abang, Kakak senior dan alumni serta Adik-adik sejurusan terima kasih atas
dukungan yang kalian berikan. Sahabat-sahabat ku Stambuk 04 terkhusus
kepada Ains, Debby, Dence, Wardicha, Oriza, Debbi dan Iche serta bang
Cipleks 03 yang telah banyak memberikan dukungan kepada penulis. Semoga
Tuhan YME memberikan ganjaran yang setimpal atas semua kebaikan yang
telah diberikan.
10. Ija’s Familiy, Ibu’ Ijah dan Icha, terima kasih atas dukungan moril dan materi
yang telah diberikan, tak mungkin penulis dapat membelas semua kebaikan
yang telah diberikan, semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang berlipat
ganda atas semua kebaikan yang telah diberikan amin.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 7


USU Repository © 2009
Akhirnya untuk semua pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam
penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan beribu ucapan terima kasih. Semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan ganjaran yang
berlipat ganda.

Medan, Maret 2009.


Penulis,

Piolina

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 8


USU Repository © 2009
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan
Kata Pengantar…………………………………………………………... i
Daftar Isi…………………………………………………………..……… iii
Abstrak……………………………………………………………………. v
Daftar Tabel………………………………………………………………. vi
Daftar Lampiran…………………………………………………………. vii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN……………………….. 15
2.1. Sejarah Berdirinya Kampung Medan……………………… 16
2.2 Perkembangan Kota Medan Melalui Pertumbuhannya….... 19
2.3 Kota Medan Menjadi Gemeentee 1918……………………… 23
2.4 Fluktuasi Banjir di Kota Medan ………………………..…… 28
BAB III SEJARAH TERJADINYA BANJIR
DI KOTA MEDAN 1970-1990………………………..………....... 32
3.1 Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat
Terhadap Pemeliharaan Drainase………………………..…….... 32
3.1.1 Defenisi Banjir………………………..………………….. 32
3.1.2 Debit Banjir………………………..…………………….. 34
3.1.3 Defenisi Sungai………………………..…………………. 34
3.1.4 Kondisi drainase………………………..………………... 36
3.1.5 Penanganan drainase………………………..…………... 40
3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Aliran……… 44
3.3 Manajemen Tata Air Kota Medan………………………..…... 53
3.4 Masalah Lingkungan Kota Medan………………………..…... 55

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 9


USU Repository © 2009
3.5 Urbanisasi dan Aspek Sifat-sifat Wilayah Perkotaan………... 57
BAB IV DAMPAK DAN PENANGGULANGAN BANJIR
DI KOTA MEDAN………………………..……………………….... 60
4.1 Kerugian yang Diderita………………………..……………….. 60
4.2 Kerusakan Lingkungan………………………..…………………. 61
4.3 Perencanaan Wilayah Sungai Deli
Terpadu dan Menyeluruh………………………..…………………... 63
4.3.1 Konsep Pengelolaan DAS Terpadu………………………… 63
4.4 Pembiayaan Dana Operasi dan Pemeliharaan………………….. 68
4.5 Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah Kota Medan ………... 69
4.6 Pembentukan Lembaga dan Dewan Kota………………………... 70
BAB V PENUTUP………………………..………………………..…………... 73
5.1. Kesimpulan………………………..………………………..……... 73
5.2. Saran………………………..………………………..……………. 74
DAFTAR PUSTAKA………………………..………………………..………... 77

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 10


USU Repository © 2009
Abstrak

Sebagai kota yang memiliki masa kejayaan pada masa lalu, kota Medan telah tumbuh dan
berkembang menjadi kota yang sangat besar dan menjanjikan bagi siapapin yang berani
mempertaruhkan kemampuan dan mengadu nasib di kota terbuka ini (opened city), namun
apbila sebuah kota tidak ditunjang dengan saranan dan prasarana, maka penduduknya pun
bias dikatakan masih berada di bawah standar dari kehidupan perkotaan. Misalnya saja,
drainase yang sangat berperan mengentaskan masalah banjir baik pada masa Belanda
hingga saat ini masalah drainase menjadi masalah yang pelik dan sulit direalisasikan.
Akibatnya sering terjadi kebanjiran dan genagan-genangan yang menyebabkan penduduk
merasa tidak nyaman dan tidak aman untuk melanjankan kehidupannya di kota Medan.
Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan
pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan
efisiensi dari prasarana ini akan menjaga kesehatan dari sistem sosial kota, menjamin
kelangsungan perekonomian dan aktivitas bisnis dan menentukan kualitas hidup
masyarakat kota. Kekuatan ekonomi suatu kota dapat dilihat dari kondisi prasarana
kotanya. Maka dari itu, drainase yang terpadu dan penaggulangan masalah banjir secara
integrated memungkinkan dapat menjadi pemecahan masalah banjir serta ditunjangnya
pelaksanaan pemanfaatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan tidak hanya berpegang pada
sungai induk saja dalam hal ini sungai Deli. Genangan air menimbulkan berbagai
kerugian bagi masyarakat kota. Sumber daya yang ada dalam penanganan drainase kota
meliputi informasi pengelolaan, institusi pengelola, keterlibatan masyarakat, pendanaan
dan peraturan adalah terbatas sehingga perlu dikelola dengan manajemen yang lebih baik,
terpadu dan berkelanjutan. Sejarah banjir di kota Medan yang dibahas di dalam skripsi ini
bukanlah hanya berpatok pada peristiwa banjir pada satu periode saja, namun dari
berbagai kasus dan ditinjau dari berbagai aspek sehingga penelusuran sejarah lingkungan
ini dapat memberikan kesimpulan yang mana pada akhirnya dapat membantu berbagai
elemen untuk mengatasi masalah yang apabila diperhitungkan secara materi
meninggalkan banyak kerugian bagi pemerintah maupun penduduk kota Medan. Sejarah
banjir di kota Medan dimulai sejarah peristiwa-peristiwa banjir yang pernah terjadi di
kota Medan pada masa Medan masih menjadi gemeentee kemudian dilanjutkan pada awal
tahun 1970 dimana perkembangan kota yang begitu pesatnya membawa pengaruh yang
cukup besar dalam menimbulkan tingkat fluktuasi banjir di kota Medan.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 11


USU Repository © 2009
DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kampung Medan

Hingga Menjadi Kota Medan dari Tahun 1823-1965………………. 18

2. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli……………………………. 47

3. Isu Dan Permasalahan Di Metropolitan Mebidang............................. 53


4. Profil DAS Deli……………………………………………………….... 63

5. Indikator Penyebab Ketidaknormalan DAS Deli…………………… 64

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 12


USU Repository © 2009
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Daftar Informan…………………………………………………………… 80

Daftar Gambar

1. Suasana ketika terjadi banjir di jalan Gatot Subroto km. 8,5……… 81

2. Medan Flood Control Project 1990…………………………………… 81

3. Suasana banjir Jln. Asia Medan 1980………………………………… 82

4. Banjir membuat masyarakat kesulitan keluar rumah………………. 82

5. Tepian Sungai Deli. Jembatan Helevetia. Medan……………………. 83

6. Medan Flood Control 1990……………………………………………. 83

7. Banjir di Kelurahan Aur………………………………………………. 84

8. Sungai Deli 1968………………………………………………………… 84

9. Menara Ayer Bersih…………………………………………………….. 85

10. Enterpreuner Kota Medan Tjong A Fie bersama Staf Deli Bank….. 85

11. Perkembangan Kota Medan awal abad ke-20……………………….. 86

12. Peta Kota Medan pada Masa Penjajahan Belanda………………….. 87

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 13


USU Repository © 2009
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara yang besar adalah Negara yang menghargai jati diri bangsanya dan jati diri

sebuah bangsa hanya dapat dibuktikan melalui observasi perjalanan empunya yaitu

sejarahnya. Oleh karena itu, dimanapun kita berpijak pada salah satu sudut dunia ini, tidak

membutuhkan banyak waktu untuk menemukan jejak-jejak peninggalan berharga berupa

perbuatan manusia di masa lalu. Dan sebuah peristiwa temporal yang menghebohkan umat

manusia tidak akan mudah terlupakan begitu saja karena manusia memiliki hasrat untuk

membuktikan kemampuannya, melalui peristiwa tersebut agar terus menerus diingat dan

dikenang dari masa ke masa. Karena kebesaran masa lalu adalah sumber inspirasi bagi

sebuah bangsa, dimanifestasi secara fenomental dalam pembangunan sebuah kota. Begitu

pula sejarah perkotaan, sejarah perkotaan belum banyak mendapat perhatian dari kalangan

sejarawan akademis. 1

Seperti yang terjadi pada Negara-negara berkembang maka penduduk di daerah

perkotaan di Indonesia sejak decade 1950 cenderung meningkat. Antara tahun 1950-1960

laju pertumbuhan penduduk di Indonesia 3 % per tahun kemudian pada tahun 1961-1970

meningkat menjadi 3,6 % per tahun dan pada dasawarsa 1971-1981 mencapai angka sekitar

1
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 14


USU Repository © 2009
5 %.2 Namun, yang kemudian selalu menjadi persoalan adalah pengendalian pertumbuhan

dan perkembangan kota itu yang harus diseimbangkan dengan daya dukung

lingkungannya. 3

Perkembangan dan kemajuan kota diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk dan

sebagai konsekuensinya perkembangan kegiatan usaha ekonomi maupun social dari

peningkatan penduduk. Beberapa hal yang menjadi daya pikat kota antara lain pertumbuhan

ekonomi, perluasan tenaga kerja serta fasilitas infrastruktur kota itu sendiri atau wilayah

sekitarnya. Ketika daya dukung kota terlampuai maka timbul berbagai macam

permasalahan seperti meningkatnya kebutuhan akan fasilitas infrastruktur. Akibatnya

perubahan tata guna lahan berdampak negative kepada kota itu sendiri terutama

menurunnya tingkat kenyamanan akibat terbatasnya areal tanah yang ada. Secara lebih

khusus perubahan tersebut berdampak pada banjir dan genangan yang cenderung

meningkat dari waktu ke waktu. 4

Kota-kota besar di Indonesia mengalami peningkatan populasi mausia karena daya

pikat yang merangsang manusia berpindah dari desa ke kota. Lahan-lahan yang sebelumnya

untuk daerah suaka alam sehingga menjaga keseimbangan, diambil alih untuk pemukiman,

industri dan lainnya. Namun, dampaknya dapat kita rasakan sangat besar, seperti banyak

2
Kodoatie, Robert J dan Sugiayanto, Banjijr, Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya
Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002., hlm. 1
3
ibid, hlm. 3
4
Ibid

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 15


USU Repository © 2009
kekacauan medis dan sebab-sebab kematian lainnya dan ketidakmampuan, berkaitan

dengan urbanisasi. 5

Meskipun begitu, letak geografis juga sangat mempengaruhi keadaan lingkungan

suatu daerah. Factor ini menyebabkan keuntungan dan kerugian bagi penduduk yang

bertempat tinggal pada daerah tersebut. Salah satunya yang banyak merugikan manusia saat

ini adalah bencana banjir yang secara matematis tidak dapat terelakkan.

Masalah banjir di kota Medan agaknya tidak terlepas dari kondisi geografis kota ini

yang memang dilalui sejumlah sungai besar dan sungai kecil beserta beberapa anak sungai

lainnya. Sungai besar yang membelah kota Medan, adalah sungai Belawan, sungai Deli,

sungai Percut dan sungai Kera serta sungai Babura.

Sebagaimana kita ketahui, kota Medan adalah sebuah kota yang kecepatan laju

perekonomian dan aspek sosailnya lainnya tergolong sangat pesat. Dimulai dari

didirikannya sebuah kampung kecil oleh seorang petinggi bangsawan Karo, hingga kota ini

berubah menjadi sebuah kota praja, pusat pemerintahan, perekonomian, pendidikan dan

lain sebagainya. Dengan adanya perkembangan tersebut, menyebabkan minat sangat besar

dari penduduk sekitar kota Medan untuk hijrah dan melakukan urbanisasi yang sangat besar

jumlahnya sehingga menjadi perhatian utama pemerintah kota Medan. Oleh karena itu,

pemerintah kota Medan berupaya untuk mengentaskan masalah ini melalui pemekaran

wilayah kota Medan yang disetujui oleh Gubernur Propinsi Sumatera Utara.

5
McNaughton., Wolf, Larry C, Ekologi Umum (terj) Sunaryo Pringsoseputro da Srigandono,
Yogyakarta : UGM Press, 1990, hlm. 1000

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 16


USU Repository © 2009
Sejarahnya, sejak tahun 1918 Medan telah berupa kotapraja kecuali kota Maksum

dan daerah sungai Kera yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli. Ketika itu

penduduknya berjumlah 43.826 orang yang terbagi ke dalam bangsa Eropa sebanyak 409

orang, bangsa Pribumi sebanyak 25.000 orang bangsa Cina sebanyak 8.269 orang dan

bangsa lainnya sebanyak 130 orang. Kemudian melalui Keputusan Gubernur Propinsi

Sumatera Utara no. 66/III/PSU menyatakan bahwa mulai tangga 21 September 1951 kota

Medan diperluas hingga tiga kali lipat. Disusul Maklumat Walikota no.21 tanggal 29

Sepetember 1951, luas teritorialnya menjadi 5.130 ha dengan 4 kecamatan yaitu Kecamatan

Medan, Kecamatan Medan Timur, Kecamatan Medan Barat, dan Kecamatan Baru. Melalui

UU Darurat no.7 dan 8 tahun 1956 Propinsi Daerah Tingkat II dibagi menjadi Kabupaten

Deli Serdang dan Kotamadya Medan. Melalui Peraturan Pemerintah no. 22 tahun 1973,

pemerintah memasukkan sebagian wilayah Kabupaten Deli Serdang ke kotamadya Medan

sehingga daerah ini memiliki luas 26.540 ha yang terdiri dari 11 kecamatan dan 116

kelurahan. Kemudian, melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri

no.140/2271/PUOD pada tanggal 5 Mei 1986, jumlah kelurahan ditambah menjadi 144 dari

11 kecamatan. Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah RI no. 59 tahun 1991 tentang

pembentukan kecamatan termasuk dan kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah

Tingkat II Medan sehingga dari 11 kecamatan diubah menjadi 19 kecamatan dan melalui

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 49 tahun 1991 tentang pembentukan bberapa

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 17


USU Repository © 2009
kecamatan di Sumatera Utara termasuk dua kecamatan pemekaran di kotamadya Daerah

Tingkat II Medan, sehingga dari 19 kecamatan menjadi 21 kecamatan yaitu :

1. Kecamatan Medan Kota : 26 kelurahan

2. Kecamatan Medan Timur : 18 kelurahan

3. Kecamatan Medan Barat : 13 kelurahan

4. Kecamatan Medan Baru : 18 kelurahan

5. Kecamatan Medan Deli : 6 kelurahan

6. Kecamatan Medan Labuhan : 7 kelurahan

7. Kecamatan Medan Johor : 11 kelurahan

8. Kecamatan Medan Sunggal : 14 kelurahan

9. Kecamatan Medan Tuntungan : 11 kelurahan

10. Kecamatan Medan Denai : 14 kelurahan

11. Kecamatan Medan Belawan : 6 kelurahan

12. Kecamatan Medan Amplas : 8 kelurahan

13. Kecamatan Medan Tembung : 7 kelurahan

14. Kecamatan Medan Area : 12 kelurahan

15. Kecamatan Medan Polonia : 5 kelurahan

16. Kecamatan Medan Maimun : 6 kelurahan

17. Kecamatan Medan Selayang : 6 kelurahan

18. Kecamatan Medan Helvetia : 7 kelurahan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 18


USU Repository © 2009
19. Kecamatan Medan Petisah : 7 kelurahan

20. Kecamatan Medan Marelan : 4 kelurahan

21. Kecamatan Medan Perjuangan : 9 kelurahan 6

Akibat adanya pemekaran wilayah yang dilakukan beberapa kali oleh pemerintah

kotamadya Medan, hasil statistic jumlah penduduk kota Medan menunjukkan pertumbuhan

yang sangat pesat yaitu : interval jumlah penduduk pada tahun 1971-1980 sebesar 635.562

– 1.378.9557, serta persentase pertumbuhan penduduk pada tahun 1961-1971 yang berada

pada level 2,90 % pada tahun 1971-1980 naik hingga 3,58 % dan angka ini semakin

bertambah. 8

Maka dari itu, apabila kita berbicara mengenai masalah urbanisasi yang dikaitkan

dengan dampak lingkungan hidup fisik, dan social kota, maka kita tidak dapat mrlepaskan

diri dari pengaruh perkembangan kota, kemajuna industri, teknologi dan pembangunan.

Akibat dari perkembangan dan pembangunan dapat menimbulkan berbagai jenis dampak

lingkungan hidup baik yang positif maupun yang negative. Dampak ini bagi lingkungan

kota yang bersifat negative dapat timbul di berbagai kota di dunia dan terutama di Negara

berkembnag, termasuk kota-kota di Indoneia.

Masalah pengrusakan lingkungan dengan salah satu dampaknya adalah banjir di

kota Medan, yang telah berlangsung dari tahun ke tahun dan hasilnya kesengsaraan bagi

6
Badan Pusat Statistik Medan Dalam Angka Thaun 1999., hlm xiii-xvi
7
Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat II
*ropinsi Sumatera Utara, Sumut Dalam Angka 1988, hlm. 42
8
op cit, hlm. 44

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 19


USU Repository © 2009
masyarakat dan pemandangan yang tidak lagi indah dari suatu kota dan tentu saja hal ini

menyebabkan kota cenderung terkesan kumuh. Menurut Badan Pusat Statistik kotamadya

Medan, banjir pada tahun 1987 terjadi sebanyak 11 kali begitu pula pada tahun 1988,

sedangkan pada tahun 1989-1990 masing-masing pernah mengalami banjir sebanyak 1-2

kali. Kerugian akibat bencana alam ini terhitung hingga ratusan juta rupiah yaitu sekitar Rp.

428.000.000 pada tahun 1986-1990. Jumlah yang tidak sedikit pada kurun waktu tersebut. 9

Persoalan banjir di kota Medan ternyata kini sudah menjadi penyakit kronis dan jadi

tradisi tahunan. Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan, dan tidak terhitung berapa

dana yang telah tercurahkan di berbagai proyek penanganan banjir kota ini. Selama sepuluh

tahun terakhir saja upaya penanangan banjir sudah menghabiskan sedikitnya Rp. 300

miliar. Namun, kenyataaannya dana tersebut seperti air di padang pasir, seluruh uang rakyat

itu habis entah ke mana, sementara banjir terus menjadi kegelisahan bagi masyarakat kota

Medan.

Namun, sampai sekarang banjir masih saja menghantui 2,1 juta jiwa masyarakat

kota Medan. Ini karena banjir kini tidak bergantung jika hujan turun di hulu sungai Deli

saja, hujan di kota Medan pun bisa menyebabkan orang Medan bermasalah dengan

genangan-genangan air di mana-mana. Begitu pula sejumlah kawasan permukiman padat

penduduk yang menjadi langganan rendaman banjir, terutama kalau hujan deras mengguyur

di bagian hulu sungai-sungai yang melintasi kota Medan.

9
Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1991,
hlm. 112-113

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 20


USU Repository © 2009
Untuk menuntaskan banjir, pihak pemerintah kota Medan pernah memakai jasa tim

konsultas dari Belanda untuk menemukan jalan keluar untuk air yang selama ini

membanjiri kota Medan. Dari penelitian tersebut, antara lain diidentifikasi masalah

sedimentasi atas drainase serta kecenderungan warga masyarakat yang selalu terbiasa

membuang sampah ke sungai dan parit, hingga menyebabkan banjir selalu terjadi di

Medan.

Saat ini langkah darurat pemerintah kota Medan dalam menangani banjir, yaitu

dengan menggiatkan program pembersihan drainase di lokasi rawan banjir. Selanjutnya,

Dinas Pekerjaan Umum Medan juga terus melancarkan pemetaan lokasi genagan air setiap

musim hujan untuk persiapan darurat jika hujan lebat melanda kota Medan. Tidak

menampik bahwa beralihfungsinya daerah resapan menjadi permukiman juga turut

menambah kuantitas banjir di kota Medan. Selain itu, pertumbuhan penduduk di sepanjang

bantaran sungai yang juga berpotensi menimbulkan penyempitan sungai. Sebagai

perbandingan, masyarakat kota Mdna harus mengambil pelajaran dari bencana banjir yang

terjadi di ibukota Jakarta dan juga di daerahnya sendiri yang disebabkan hilangnya daerah

resapan air karena terlalu banyak digunakan untukmembangun perumahan atau pertokoan.

Belajar dari peristiwa di Jakarta, maka warga kota Medan harus dapat mewaspadai

wilayah selatannya antara lain kawasan Sembahe, Pancur Batu, Namu Rambe, dan Deli

Tua sebagai wilayah perbukitan yang merupakan kawasan resapan air. Jangan sampai

kondisinya semakin parah akibat eksploitasi. Fungsi resapan air daerah itu dinilai mulai

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 21


USU Repository © 2009
dialihkan menjadi komplek perumahan serta pembangunan villa dan bungalow. Hal ini

sangat berbahaya karena dapat mengancam daerah di bawahnya dari serangan banjir

sewaktu-waktu. Dari uraian-uraian ini jelaslah bahwa perubahan unsure-unsur lingkungan

dapat menjadi salah satu factor penyhebab terjadinyha bencana banjir.

1.2 Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana peristiwa banjir di kota Medan dan letak permasalahannya yang

menyebabkan dammpak langsung dan tidak langsung pada masyarakat kota.

2. Bagaimana penganggulangan bencana banjir yng diupayakan oleh pemerintah dan

peran serta masyarakat kota Medan beserta swasta yang terkait.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang penting tentunya, bukan

hanya bagi peneliti tetapi juga bagi masyarakat umum.

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui bagaimana peristiwa banjir di kota Medan dan letak

permasalahannya yang menyebabkan dampak langsung dan tidak langsung pada

masyarakat kota Medan.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 22


USU Repository © 2009
2. Untuk mengetahui bagaimana penganggulangan bencana banjir yng diupayakan

oleh pemerintah dan peran serta masyarakat kota Medan beserta swasta yang terkait.

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1. Sebagai tambahan referensi bagi masyarakat umum dalam mengetahui sejarah

bencana banjir di kota Medan agar selurh jajaran masyarakat dan pemerintah kota

sadar akan lingkungannya yang dapat menyebabkan banjir.

2. Menambah inventarisasi sumber sejarah lokal umumnya di daerah Propinsi

Sumatera Utara dan khususnya bagi masyarakat kota Medan dan sekitarnya.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian di dalam penelitian ini berkisar pada tahun 1971-1990.

awal penelitian dimulai pada tahun 1970-an karena penulis menganggap pada kisaran tahun

1970-an kotamadya Medan mengalami pemekaran wilayah untuk pertama kalinya sehingga

hal ini diyakini sebagai tindakan awal untuk memperhitungkan masalah urbanisasi di kota

Medan. kemudian, penelitian akan diakhiri pada tahun 1990 yang menampakkan

perbandingan yang cukup besar mengenai bencana banjir yang terjadi di kota Medan. jika

kurangnya intensitas bencna banjir pada akhir tahun 1990-an, maka penelitian yang

menyangkut campur tangan pemerintah dan masyarakat kota Medan patut diadakan.

Kerangka pemikiran yang digunakan adalah pemikiran mengenai amnesia sejarah

bencana dimana ketika banjir dan bencana lain yang disebabkan oleh manusia (manmade

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 23


USU Repository © 2009
disaster) berulang terjadi setiap tahun, serta ttidak adanya upaya penangan bencana ini

secara permanen, maka kondisi ini adalah sebuah pertanda terjadinya amnesia sejarah

bencana di dalam memori kolektif masyarakat. Banjir sebagai sebuah amnesia sejarah bisa

diartikan sebagai sebuah kondisi dimana masyarakat kita secara personal maupun kolektif

menjadi kehilangan ingatannya tentang bencana banjir ketika bencana itu berlalu. Dalam

kondisi ini, semua pihak akan ribut dan saling menyalahkan ketika bencana banjir terjadi.

Namun, kita segera melupakannya ketika bencana banjir itu bencana banjir itu berlalu.

Demikian seterusnya kondisi ini terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun.

Kondisi amnesia sejarah yang terulang ini sebenarnya sangat bebahay kalau tidak

ditanggulangi. Ketika kesadaran kolektif masyarakat tentang bencana hilang, maka

masyarakat secara sadar maupun tidak sadar akan membenarkan klaim pemerintah bahawa

banjir adalah bencana alam, yang lama kelamaan masyarakat kita menjadi terbiasa akan

keadaan ini. Di sis lain, kesadaran palsu (false conciousness) masyarakat yang disebabkan

oleh adanya amnesia ini sangat menggemberikan pihak yang selama ini menikmati

keuntungan dari eksploitasi hutan yang menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang,

seperti pengusaha dan pemerintah yang gagal dalam menangani banjir secara permanen.

Permasalahan banjir sebenarnya adalah permasalahan dampak banjir terhadap

manusia. Fenomena banjir sebenarnya fenomena alamiah di dataran banjir. Namun banjir

menjadi masalah ketika aktivitas manusia berada di daerah rawan banjir, sehingga banjir

akan menganggu manusia. Permasalahan perilaku manusia yang menyebabkan banjir

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 24


USU Repository © 2009
seperti pembuangan sampah hanalah secuil dari permasalahan yang menyebabkan banjir.

Penyebab banjir yang utama tentunya curah hujan yang berlebih sehingga menyebabkan

tingginya debit air sungai. Permsalahan banjir terbesar adalah penggunaan lahan di daerah

rentan banjir (flood plain) oleh manusia, sehingga manusia menerima dampak banjir.

1.5 Tinjauan Pustaka

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan buku yang berkaitan tentang masalah

perkotaan di Indonesia umumnya dan khususnya mengenai masalah banjir di kota Medan

pada kisaran tahun 1970-1990 diantaranya :

Buku yang ditulis oleh Kodoatie, Robert J dan Sugiyanto, Banjir, Beberapa

Penyebab dan Metode Pengendaliannya Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta :

Pustaka Pelajar, 2002. secara umum berisi tentang masalah banjir, penyebab dan

penanggulangannya dikaitkan pada perspektif lingkungan. Di dalmnya juga terdapat

pembahasan mengenai dampak banjir terhadap suatu lapisan masyarakat meskipun hanya

membahas pada dimensi waktu kekinian sehingga buku ini dapat dikatakan hanya

berorientasi pada unitemporal dan bukannya multitemporal walaupun menggunakan

multidimensional.

Efendi, Said, Strategi Pembangunan Menuju Kota Medan Bestari, Medan : Yayasan

Pola Pembangunan Daerah, 1997. di dalam buku ini kta dapat mengetahui berbagai strategi

pembangunan kota Medna yang dilakukan pemerintah kota Medan, salah satunya adalah

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 25


USU Repository © 2009
strategi Bestari (Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah) seta strategi pemanfaatan potensi kota

peripheral (kota satelit yang mengelilingi kota induk) yang memuatkan kota Medan

sebagai kota inti dengan nama Mebidang (Medan, Binjai, Deli Serdang).

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994. Buku ini

merupakan langkah awal penulus dalam pencarian ide-ide dan pemikiran mengenai sejarah

perkotaan.

Colombijn, Freek., Darwegen, Martine., Baskoro, Purmawan., Khusyaini, Jhony

Alfian (ed)., Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-kota di Indonesia, Yogyakarta : Ombak,

2005. Di dalam buku ini terdapat banyak informasi mengenai berbagai sejarah perkotaan di

Indonesia yang ditulis oleh penulis dari dalam negeri dan penulis asing.

Selain itu, penulis juga menggunakan literatur-literaur mengenai proyek

Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP) yang berkaitan dalam

menjawab permasalahan tentang kebijakan pemerintah untuk menanggulangi bencana

banjir. Pada tahun 1998, Asian Development Bank (ADB) memberikan bantuan kepada

pemerintah Republik Indonesia dengan nilai sekitar 116 juta dollar AS melalui

Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP). Pemerintah pusat sendiri dan

pemerintah propinsi (pemprop) Sumatera Utara diwajibkan menyediakan 82,2 juta dollar

AS untuk proyek tersebut sehingga total nilai proyek 198,2 juta dollar AS atau sekitar 1,68

triliun.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 26


USU Repository © 2009
Pembangunan ini menitikberatkan pada pengembangan infrastruktur permukiman

yang terbagi ke dalam dua sektor, yaitu drainase dan banjir kota. Seluruh pengerjaan

diprioritaskan pada pengoptimalan kembali Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sering

menyempit oleh maraknya bangunan liar. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan normalisasi

saluran air yang berada di kawasan kota. Namun, dari data yang diperoleh meski proyek

penanggulangan banjir dengan dana miliaran rupiah sudah ada namun banjir akibat hujan

tetap terlihat hampir di setiap sudut kota. Ironisnya, ruas jalan protokol yang berada di

pusat kota pun tak luput dari genangan air.

1.6 Metode Penelitan

Penulisan sejarah merupakan suatu karya ilmiah yang memerlukan adanya suatu

metode untuk menghasilkan suatu tulisan sejarah. Metode sejarah adalah proses

menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari peninggalan masa lalu 10.

Metode berupa aturan-aturan yang dirancang untuk membantu dengan efektif dalam

mendapatkan kebenaran dari suatu peristiwa sejarah. Metode sejarah bersifat ilmiah

jika dengan ilmiah dimaksudkan mampu untuk menentukan fakta yang dapat

dibuktikan dengan fakta, maka diperoleh hasil pemeriksaan yang kritis terhadap

dokumen sejarah dan bukan suatu unsur daripada aktualitas yang lampau 11.

10
Louis Gottscalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul
Understanding History, Jakarta: UI Press, 1985, hal. 32.
11
Ibid, hal. 143.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 27


USU Repository © 2009
Tahap pertama dari penelitian ini adalah tahap heuristik yaitu: mengumpulkan

literatur termasuk bahan-bahan keterangan berkenaan dengan penelitian, data atau

laporan juga sebagai referensi digunakan situs internet dan wawancara dengan

informan-informan yang telah dipilih untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap

dan mendalam. Dengan demikian penulisan skripsi ini dilakukan melalui studi

kepustakaan dan penelitian lapangan.

Dari data atau sumber yang terkumpul dilakukan kritik terhadap sumber agar

menjadi sumber yang dipilih. Langkah ini disebut kritik sumber, baik kritik intern

maupun kritik ekstern. Kemudian langkah berikutnya adalah interpretasi, yaitu

menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta yang valid. Langkah

yang terakhir adalah historiografi, yaitu penulisan secara sistematis dan kronologis.

Metode sejarah digunakan oleh penulis dengan tahapan-tahapan seperti

disebutkan di atas untuk menghasilkan tulisan bersifat ilmiah.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 28


USU Repository © 2009
BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN

Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan letak wilayah pada

posisi 30.30’ LU-30.48’ LU dan 980.39’BT-980.47’36”BT dengan ketinggian 0-40 meter

di atas permukaan laut. Suhu kota Medan pada pagi hari berkisar 23,70 ºC-25,10 ºC, siang

berkisar 29,20 ºC-32,90 ºC, dan pada malam hari berkisar 26 ºC-30,8 ºC. sedangkan

kelembaban udara berkisar antara 68 % sampai 93 %.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 29


USU Repository © 2009
Posisi dan letak kota Medan berada di dataran pantai Timur Sumatera, persis di

antara Selat Malaka dan jajaran pegunungan yang membujur dari Barat Daya sampai

wilayah tenggara Pulau Sumatera menjadikan kota Medan daerah yang strategis baik untuk

menjalankan roda perekonomian hingga pusat kebudayaan, Medan adalah tempat yang

selalu terbuka bagi siapa saja yang memiliki kompeten dan kemampuan bertahan hidup

sebagai orang kota. Topografinya miring ke utara dan berada pada ketinggian 0-40 meter di

atas permukaan laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai

curah hujan di Tanah Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama

yang berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan Maksima Tambahan

yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah hujan. Maksima Utama terjadi

pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan

Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan

intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir,

tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian

dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di

samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat

inilah pada waktu penjajahan Belanda berada di tempat yang bernama Bakaran Batu

(sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas

tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu bernama Deli Klei.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 30


USU Repository © 2009
2.1. Sejarah Berdirinya Kampung Medan

Sebelum menjadi sebuah kota yang megah, kota Medan adalah sebuah

perkampungan yang disebut dengan kampung Medan yang pertama kali dibuka oleh Guru

Patimpus pada sekitar tahun 1590 di kawasan yang disebut Medan pada masa itu. Menurut

tradisi masyarakat setempat, perkampungan yang dibuka oleh Guru Patimpus itu disebut

kuta istilah dalam bahasa Karo karena Guru Patimpus adalah bangsawan berketurunan suku

Batak Karo. Kampung Medan sebagai sebuah kuta menjadi satu bagian di dalam kesatuan

kekuasaan tradisional suku Batak Karo yang dinamakan Urung Sepuluh Dua Kuta yang

juga disebut Hamparan Perak.

Sedangkan lokasi pertama kalinya diketahui letak kampung Medan adalah terletak

di sekitar pertemuan delta sungai Babura dan sungai Deli yaitu tepatnya di sekitar kantor

walikota Medan saat ini.

Sebenarnya mengenai sejarah awal kampung Medan banyak sekali yang belum

tergali sejak berdirinya pada sekitar tahun 1590 hingga kedatangan bangsa Belanda pada

tahun 1861 semisal keadaan budaya dan sosial yang berpengaruh di kampung Medan dan

aspek-aspek sejarah lainnya namun, dengan menelusuri keadaan alamiah masyarakatnya

kita dapat meniympulkan seperti keadaan masyarakatnya yang sebenarnya hingga saat ini

masalah kependudukan menjadi masalah utama bagi pemerintah kota Medan.

Sejarah berdirinya Kampung Medan diawali dari dimulainya penelitian

kependudukan dan sosial yang dilakukan oleh seorang sarjana Inggeris. Pada sekitar tahun

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 31


USU Repository © 2009
1823 saat seorang John Anderson telah berkunjung ke Kampung Medan yang mana

penduduknya hanya berjumlah sekitar 200 orang, dimana terdapat wilayah-wilayah yang

termasuk ke dalam kota Medan saat itu bernama Desa Pulo Brayan, Desa Babura dan

Kampung Jawa. Desa-desa ini adalah desa primer yang tumbuh dari keberagaman dan

heterogenitas masyarakatnya.

Pada waktu Belanda mulai melakukan penjajahannya di Deli, dalam kawasan yang

sekarang dikenal sebagai kota Medan sudah lebih dahulu terdapat sejumlah perkampungan

yang ditempati oleh penduduk suku bangsa Melayu dan Karo. Menurut perkiraan Residen

Riau, Netscher penduduk yang terdapat dalam wilayah kekuasaan Sultan Deli berjumlah

kira-kira 2000 orang pada masa itu, Labuhan Deli sebagai ibukota kerajaan Deli

berpenduduk kurang lebih 1000 orang, termasuk 20 orang Cina dan 100 orang India.

Sedang di Kampung Medan Puteri terdapat 50 rumah tangga pada waktu itu. 12

Hingga kedatangan Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha yang tertarik pada

perusahaan perkebunan, yang mula-mula mendirikan kantor pusat perkebunan Deli

Maatschappij di Kampung Medan Putri dipindahkan ke Labuhan Deli dan berhasilnya

panen tembakau pada tahun 1881 hingga mencapai 82.356 pak dan terjual dengan harga

tinggi di negeri Belanda menyebabkan bertambah banyaknya perusahaan-perusahaan

tembakau swasta dari berbagai negeri di luar Nusantara yang membuka usaha disini dan

diikuti oleh pengusaha-pengusaha lainnya dari Eropa. Bidang pemerintahanpun secara

12
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya daerah Tingkat II Medan (bahan
seminar), Medan : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, hlm. 66

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 32


USU Repository © 2009
administratif turut menyusul kemajuan akibat merambahnya kemajuan di bidang

perkebunan ini. Pada sekitar tahun 1874 sudah dibuka 22 perusahaan perkebunan asing.

Akibat berkembang pesatnya perkebunan-perkebunan swasta, secara otomatis lahan

permukiman pun semakin bertambah luas yang diperuntukkan bagi pengusaha sendiri

maupun tenaga-tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menjadi buruh perkebunan. Interaktif

antar bangsa ini menyebabkan semakin bertambah banyak pulalah imigran yang datang dan

pergi ke Kampung Medan. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel di bawah ini:

Tahun Jumlah Penduduk


1823 200
1860 3.500
1905 14.250
1920 45.248
1930 76.584
1941 93.799
1950 158.950
1957 338.000
1960 465.000
1965 705.734

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk di Kampung Medan Hingga Menjadi Kota


Medan dari Tahun 1823-1965 13

13
Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun 1979,
hlm. 90-91

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 33


USU Repository © 2009
Dari tabel di atas jelaslah bahwa perkembangan jumlah penduduk kota Medan yang

cukup drastis menyebabkan tingkat urbanisasi yang tinggi sehingga dari analisa yang

didapat bahwa jumlah penduduk yang semakin meningkat dapat menimbulkan gejala-gejala

masalah kependudukan dimana pada akhirnya akan membawa masyarakat itu sendiri pada

persoalan banjir yang didasari pada konsep lingkungan yang tidak seimbang antara manusia

dan alamnya.

2.2 Perkembangan Kota Medan Melalui Pertumbuhannya

Perkembangan kampung Medan menjadi sebuah kota berhubungan erat dengan

dibukanya perkebunan-perkebunan asing yang mengambil keuntungan dari komoditi

ekspor ketika itu. Kesuksesan perkebunan-perkebunan ini diawali setelah berita kehebhan

yang ada di negeri Belanda ketika Jacobus Nienhuys membawa hasil panen tembakau ke

negeri Belanda dengan kualitas terbaik dan mencapai keuntungan yang besar. Maka dari

banyak pengusaha-pengusaha perkebunan mengadu peruntungan di tanah Deli yang juga

dijuluki sebagai Paris van Sumatera ini.

Setelah dibukanya perkebunan-perkebunan tembakau swasta, maka keadaan

kampung Medan telah beubah menjadi sebuah kampung yang sudah dapat dikatakan

sebagai sebuah kota karena jumlah penduduknya telah mengalami peningkatan yang cukup

tinggi. Maka dari itu, dari pihak pemerintah Belanda memiliki ide untuk memindahkan

keresidenan Sumatera Timur yang awalnya berada di Riau untuk pada akhirnya

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 34


USU Repository © 2009
dipindahkan ke kota Medan karena lokasinya yang strategis, mudah dijangkau dari daratan

dan lautan. Maka, ide itu disetujui oleh Gubernur Sumatera Timur sehingga kota Medan

menjadi Ibukota Keresidenan Sumatera Timur. Sejak Medan menjadi ibukota Keresidenan

Sumatera Timur pada tanggal 1 bulan Maret tahun 1887 maka tumbuhlah kampung-

kampung seperti Petisah Hulu, Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, Kampung Aur dan

Kampung Keling. Kemudian muncul kampung lain yang masuk ke wilayah Sultan Deli

yaitu Kampung Maksum, Kampung Baru, Kampung Sungai Mati dan lain-lain.

Dalam rangka kota Medan bersiap menjadi ibukota Sumatera Timur, sejak tahun

1886 dicari cara untuk membenahi kota agar pantas dalam kedudukan itu. Saluran-saluran

yang lama diganti dengan sistem drainase yang baik, jalan-jalan diaspal, penerangan listrik

dipasang kecuali air minum yang kondisinya belum baik. Komiaris-komisaris dari Deli Mij,

tuan-tuan perkebunan seperti Tuan P. Kolf dan J. van Vollenhoven berhasil membujuk

direksi mereka untuk mengatasi hal ini. Kemudian dibangunlah perusahaan air minum

(PDAM Tirtanadi saat ini) pada akhir 1907 dengan kemampuan tandon air 1200 m³ dengan
14
21 km menyuplai 283 rumah.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat di kota Medan,

pada tahun 1929 mulai dipasang pipa-pipa besar untuk menyalurka air dari Sibolagit ke
15
medan.

14
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam
Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 2
15
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan, Loc Cit, hlm. 36

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 35


USU Repository © 2009
Pembangunan perusahaan listrik Medan dimulai tahun 1898 dan mulai berperasi

pada Maret tahun 1900 untuk menerangi jalan-jalan di Medan dan kebutuhan pasokan

listrik untuk Medan Hotel, rumah Tjong A fie, Hotel De Boer, Istana Maimoon dan lain-

lain. Salah satu perbedaan yang mencolok dimana hanya sebuah rumah yaitu rumah Tjong

A Fie yang mendapatkan pasokan listrik sementara yang lainnya adalah berupa instansi,

hotel-hotel, dan bangunan-bangunan megah. Jelaslah bahwa di dalam sejarah pembangunan

kota Medan, peran warga asing dari Eropa dan keluarga Tjong A Fie memiliki peranan

yang sangat besar.

Bukan hanya perusahaan-perusahaan perkebunan yang berkembang pesat, selain

sejumlah kampung-kampung baru mulai dibuka, bangunan-bangunan bergaya Eropa pun

mulai dibangun arsitektur yang indah seperti Istana Maimun dan Mesjid Raya Medan yang

dibangun tenaga ahli dari Belanda yang bernama Van Erp. Bahkan Medan disebut-sebut

sebagai kota ratu (queen city) dari Pulau Sumatera dan terlebih lagi pionir lokasi

pertumbuhan peusahaan perkebunan di Sumatera Timur yang sangat penting dan progresif.

Saat ini kota Medan memiliki keanggunannya tersendiri, bersinar dalam hal bisnis yang

dikelilingi kota-kota kecil yang indah yang ketika itu memiliki sanitari yang hanya dimiliki

kota Medan dan banyak kota di Inggris Raya. Memiliki hotel-hotel yang bagus, jalus kereta

api dengan arsitektur yang indah, lapangan pacuan, klub-klub lapangan tennis dan sepak

bola, bioskop, dan semua atribut modern dari sebuah kota yang maju.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 36


USU Repository © 2009
Namun tidak hanya itu, jika melihat situasi perkembangan sungai-sungai yang

membelah kota Medan untuk mencari tahu penyebab awal ketidakacuhan berbagai pihak

untuk lebih mengerti aspek-aspek yang mempengaruhi indikasi penyebab banjir di kota

Medan. Maka kita perlu mengetahui berbagai aspek itu termasuk sungai yang dulunya

sangat berperan dan sangat penting bagi kehidupan masyarakat di kota Medan.

Sekitar tahun 1874 sebuah Benteng Belanda yang cukup besar dan kokoh

bangunannya sudah siap dibangun berdekatan dengan kawasan Medan Puteri, yaitu di

lokasi wisma Benteng dan Lippoland yang sekarang. Bangunan yang tampaknya

menunjukkan identaitas kota medan pada saat sudah mulai tumbuh dan berkembang.

Tempat benteng Belanda itu dibangun sangat strategis menurut ukuran masa itu. Karena

letaknya berdekatan dengan kawasan pemukiman penduduk pribumu dan sekaligus dekat

pula dengan Sungai Deli. Sungai itu dahulu dapat dimanfaatkan oleh serdadu belanda untuk

mempermudah hubungan dengan Labuhan yang merupakan kota pelabuhan untuk

memasuki Deli dari arah laut atau meninggalkannya dari menuju laut. Dapatlah dilihat

betapa penting dan strategisnya kedudukan benteng Belanda itu, yang berdekatan dengan

letak kampong Medan selaku pelabuhan tongkang dari laut yang membongkar muatan di

situ untuk diteruskan dengan perahu-perahu lebih kecil mudik ke Deli Tua dan mudik

Sungai Babura. 16

16
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan, Ibid, hlm.63

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 37


USU Repository © 2009
Dari sini, maka jelaslah perkembangan kampong Medan menjadi sebuah kota

bergantung pada jalur transportasi yang ketika itu berupa transportasi air dikarenakan jalur

darat yang berupa jalan setapak dan masih dikelilingi hutan belantara dianggap lebih aman

dan lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Berbeda dari sekarang sungai-sungai ini hanya

berupa tempat membuang sampah dan diabaikan kebersihannya menyebabkan sungai

tampak kumuh dan kotor. Memang sangat ironis apabila dibadingkan dengan perannya

ketika sungai sangat diperhatikan dan dijadikan asset untuk mendapatkan nafkah sehari-

sehari.

2.3 Kota Medan Menjadi Gemeentee 1918

Dalam perkembangannya, pada tahun 1909 Medan dijadikan Kota Praja oleh

pemerintah Hindia Belanda. Akibat perkembangan yang semakin pesat, pada tahun 1915

Kersidenan Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen dan

gubernur yang pertama adalah H.J. Crijzen. Kelak sultan Deli Makmum Arrasyid

memindahkan sebagian tanahnya yang luas menjadi tanah kota pada tahun 1918 untuk

menampung perluasan kota. Sampai tahun 1937 kota Medan telah menjadi pusat kegiatan

administrasi pemerintah dan ekonomi. 17

17
Koestoro, Lucas Partanda, dkk., Medan, Kota di Pesisir Timur Sumtaera Utara dan Peninggalan
Tuannya, Medan : Balai Arkeologi Medan, 2006, hlm. 22

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 38


USU Repository © 2009
Ketika Gemeentee Medan dibentuk tahun 1918, yang menjadi kepala pemerintahan

adalah seorang burgermeester dibantu oleh sebuah raad (majelis) yang pada permulaannya

beranggotakan 15 orang yang diangkat pemerintah. Daniel Baron MacKay adalah orang

yang pertama kali menjabat sebagai burgermeester kota Medan.

Gemeentee Medan untuk pertama kalinya memiliki dana bagi peremajaan kotanya

sebesar 32.000 gulden. Dana ini dipergunakan bagi banyak masalah pengairan dan sumber

daya air seperti untuk keperluan penyediaan air minum di kota Medan, membiayai

pembersihan saluran-saluran air (drainase) dan pembiayaan pompa pemadam kebakaran

yang ketika itu telah dibentuk volksraadnya. Dana yang cukup besar ini diperoleh antara

lain terdiri dari :

1. Tunjangan yang diberikan oleh Kerajaan Deli

2. Kontribusi suka rela yang diberikan oleh penduduk di kota Medan, ini adalah

tindakan yang secara halus meminimalkan keraguan masyarakat akan pajak tanah

yang terlalu tinggi sehingga dikatakan hanya sebagai hibah.

3. Hasil dari sewa pasar, tanah dan sawah serta bangunan-bangunan di kota Medan.

Sebelum mendapat hak untuk menjalankan pemerintahan otonom sepenuhnya,

Gemeentee Medan lebih dahulu menjalani masa peralihan dalam pemerintahannya selama

lebih kurang 9 tahun. Selama masa peralihan itu, Gemeentee Medan belum mempunyai

Burgermeester (walikota) dan masih berada di bawah kekuasaan Asisten Residen Deli dan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 39


USU Repository © 2009
Serdang. Karena pada masa itu secara struktural wilayah kota Gemeentee Medan

merupakan salah satu wilayah pemerintahan yang langsung tunduk pada pemerintahan Deli

dan Serdang yang dipimpin Asisten Residen.

Dalam keadaan yang demikian itu, pemerintah kolonial membentuk Gemeenteeraad

(Dewan Kota) untuk menjalankan pemerintahan Gemeentee Medan. Dewan Kota tersebut

diketuai oleh Asisten Residen Deli dan Serdang

Pemilihan anggota Dewan Kota berdasarkan sistem golongan yaitu : 10 orang

Eropa, 5 orang Bumiputera Indonesia dan 2 orang Timur Asing. Nama-nama pejabat

tersebut adalah :

I. Anggota dari bangsa Eropa :

1. Tj. Dijkstra

2. J.M. Groenewegen

3. J.N. Helissen

4. T.W. Rossum

5. Ir. K.K.J.L. Steinments

6. Mr. H.W.B. Thien

7. Ir. M. Velkenburg

8. Mr. G. Van der Veen

9. J. de Waard

10. Dr. J. W. Wolff

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 40


USU Repository © 2009
II. Anggota dari bangsa Pribumi :

1. Abdullah Lubis

2. Arsjad glr. Datuk Sinaro Rajo

3. Mohammad Arif (Tujung)

4. Raden Nurngali

5. Raden Pirngadi

III. Anggota dari bangsa Timur Asing

1. Gan Host Soei

2. Jap Soen Tjhay 18

Dilihat dari segi kebangsaan, hal tersebut sangat kontras bahwa bangsa Eropa

memegang sebagaian besar peran menentukan pemerintah dan pelaksanaannya membentuk

kota Medan, dari segi nasionalisasi hal ini menyebabkan ketidakadilan dan dengan begitu

menciptakan cikal bakal ketidakharmonisan antara masyarakat pribumi dan bangsa Eropa

yang selanjutnya akan menyebabkan berbagai pemberontakan dan rencana awal yang

seharusnya dapat memperindah wajah kota Medan menjadi terhambat dan terhenti begitu

saja tanpa ada perbaikan-perbaikan.

Walikota juga merangkap ketua dari gemeenteraad, yang bersama-sama

menjalankan pekerjaan sehari-hari dengan Raad van Burgermeester en Wathouders

18
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan Op Cit, hlm. 122

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 41


USU Repository © 2009
(Dewan Pemerintahan Kota). Dari uraian ini didapatlah bahwa dibentuknya gemeenteeraad

sebagai suatu dewan kota agar kiranya gemeentee kota Medan dalam melaksanakan

perencanaan dan pembangunan selalu melibatkan masyarakat atau stakeholder melalui

dewan tersebut yang artinya cikal bakal dewan kota yang sudah terbentuk pada 1 April

1909 dan pada saat pertama kalinya kota Medan dibentuk adalah suatu hal yang perlu

dicontoh, dipedomani utnuk perencanaan dan pelaksanaan kota Medan.

Perkembangan kota Medan yang pesat menjadikan Medan sebuah kota yang

modern yang ditandai dengan gaya bangunan yang bersifat mendunia. Banyak orang yang

mengatakan bahwa kota Medan menjadi sangat unik di Hindia Belanda, karena telah

menjadi kota bergaya Eropa dalam nuansa Inggris. Hal ini disebabkan antara lain karena

kuatnya pengaruh Singapura pada kolonial Inggris yang berimbas pada gaya bangunan di

kota Medan.

Pada tahun 1911, Gemeentee Medan mulai membentuk Gementee Werken yang

berarti Dinas Pekerjaan Umum untuk kotapraja Medan. Di samping itu, pada tahun yang

sama kotapraja Medan mulai memberlakukan Pajak Tontonan. Dan pada tahun itu pulalah

layanan pos mengalami perkembangan baru, karena gedung kantor pos Medan telah

dibangun pada lokasi yang berseberangan dengan bangunan Hotel De Boer dengan begitu

bangunan kantor pos juga memperindah kotapraja Medan yang baru mulai tumbuh dan

berkembang.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 42


USU Repository © 2009
Selain itu, pada 5 Maret 1909 dikeluarkannya Surat Keputusan pemerintah Hindia

Belanda di Bogor dan ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz. Pada pasal 3

menyebutkan sebagai berikut :

“Di dalam kotapraja Medan, di luar tanah-tanah di bawah penguasaan militer, tidak

disediakan uang dari Keuangan Umum Hindia Belanda untuk keperluan :

a. Pemeliharaan,. Perbaikan dan pembaruan dan pembangunan jalan-jalan dengan

pekerjaan-pekerjaan yang temasuk di dalamnya, seperti penanaman pohon-pohon,

pembikinan tebing-tebing jalan dan sungai, benteng-benteng, pinggir-pinggir jalan,

selokan-selokan, perigi-perigi, batu kilometer, papan nama, jembatan-jembatan,

bubusanbubusan, turap-turap, dinding-dinding beton di pinggir sungai; juga darii

pekerjaan-pekerjaan lain untuk kepentingan umum sepertilapangan-lapangan,

kebun-kebun, parit-parit pembuangan air, saluran-saluran parit untuk menyiram roil,

pekerjaan-pekerjaan untuk memperoleh atau membagi air minum, air pencuci,

rumah potong, pasar-pasar, pajak-pajak (los-los pasar) dan lain-lain.;

b. Penyiraman jalan-jalan umum, pengangkutan sampah-sampah sepanjang jalan-jalan

umum, lapangan-lapangan dan kebun-kebun.;

c. Penerangan jalan-jalan.;

d. Pemadam kebakaran.;

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 43


USU Repository © 2009
e. Tanah-tanah pekuburan.; dengan oengertian bahwa untuk pembangunan pekerjaan-

pekerjaan yang luar biasanya mahalnya, dapat diberikan subsidi oleh pemerintah. 19

Dari sumbber tersebut, maka sudah sejak masa penjajahan Belanda pengurusan

maslaah banjir yaitu dengan pembuatan sdaluran-saluran dan drainase sudah dikerjakan

namun hingga kini maslaah ini memang membutuhkan tenaga, pikiran dan biaya yang tidak

sedikit. Oleh karena itu, permasalahan yang sudah mengakar ini untuk selanjutnya dapat

dipecahkan melalui metode-metode baru yang dulu tidak diambil oleh pemerintah kota

Medan.

Demikianlah, selain pembangunan-pembangunan drainase untuk menambah kesan

kota yang akan dimiliki gemeentee medan, pemerintah HIndia Belanda melakukan berbagai

pembangunan dan begitu pula infrastruktur untuk menyokong kebutuhan masyarakatnya

seperti pemenuhan kebutuhan kehidupan kota. Pemenuhan kebutuhan kehidupan sebuah

perkotaan juga berhubungan dengan pusat perbelanjaan. Di Kota Medan, pada bulan Maret

1933 diresmikanlah pusat pasar yang menempati areal di sekitar Jalan Soetomo, yang saat

itu adalah Wilhelminestraat, dan Jalan Sambu (Hospitalweg). Pusat pasar itu meliputi

empat bangunan besar dan panjang yang megah. Diceritakan bahwa intelektual Belanda

yaitu burgermeester G. Pitlo pada saat itu sangat kagum pada kebudayaan Perancis. Dan

Karena itu ia membangun Centrale Passer seperti bangunan Les Halles (Pasar Sentral) di

Paris. Demikian pula halnya dengan bentuk dan pola taman-taman di Medan.

19
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan , Op Cit, hlm. 90

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 44


USU Repository © 2009
2.4 Fluktuasi Banjir di Kota Medan

Akibat pertumbuhan kota dari tahun ke tahun semakin tinggi, maka kehidupan

perkotaan yang dialami kota Medan pun tidak terlepas dari keterlibatan penduduknya

mengenai masalah banjir, pada masa penjajahan Belanda, banjir ataupun genangan-

genangan air telah banyak ditemukan kota Medan. Dan untuk mengatasi masalah ini,

pemerintah Belanda membuat parit-parit berukuran besar untuk meanmpung genangan-

genangan air ini, namun karena pada masa tersebut adalah masa yang sangat kacau

dikarenakan banyaknya pemberontakan-pemberontakan dan masalah politis, sehingga

masalah lingkungan ini tidak terperhatikan oleh pemerintah sehingga pelaksanaan drainse

primer yang dibuat oleh pemerinntah Belanda berkesan tergesa-gesa dan tampak belum jadi

seutuhnya. Sehingga keoptimalan drainase-drainase ini kurang mencapai sasaran dan pada

puncaknya adalah peristiwa banjir yang tejadi berulang dan terulang kembali hingga saat

ini. Selain itu, masalah banjir di kota Medan adalah disebabkan adanya penggundulan hutan

secara besar-besaran dengan tingkat frekuensi penebangan hutan yang terlalu cepat untuk

selanjutnya dijadikan lahan perkebunan adalah penyebab utama, berbeda dengan yang

dialami kota Medan pada saat ini.

Peristiwa banjir di kota Medan yang hampir rata-rata 10-12 kali/tahun sangat

dipengaruhi oleh kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli dan DAS Belawan di daerah

hulu. Mencakup Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang dan Kota Medan.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 45


USU Repository © 2009
Bencana banjir di kota Medan sendiri sebagian besar terjadi di sepanjang Sungai

Deli berawal dari pegunungan Bukit Barisan pada ketinggian 1725 m di atas permukaan

laut hingga Selat Malaka dengan panjang 75,8 km mengalir ke kota Medan yang berada di

bagian hilir DAS Deli dengan ketinggian berkisar 0-40 m di atas permukaan laut

mempunyai luas DAS Deli seluas 481,62 km². Sungai ini merupakan saluran utama yang

mendukung drainase kota Medan dengan cakupan wilayah pelayanan sekitar 51 % dari luas

kota Medan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit ekosistem wilayah yang komponen-

komponennya terdiri dari subsistem lingkungan (lingkungan alam) dan subsistem sosial

ekonomi, dimana proses ekologi di dalam subsistem lingkungan berinteraksi dengan proses

yang terjadi dalam masing-masing subsistem. Diantara subsistem tersebut, subsistem sosial

dan ekonomi merupakan subsistem yang paling dinamis dan mempunyai potensi untuk

berpengaruh positif dan negatif terhadap subsistem alam. Dari uraian tersebut, dapat

dipahami bahwa pengelolaan DAS merupakan pengelolaan sumber daya alam yang dapat

pulih (renewable) seperti air, tanah dan vegetasi (ekosistem) dalam sebuah DAS dengan

tujuan untuk memperbaiki, memelihara dan melindungi keadaan DAS agar dapat

menghasilkan hasil air (water yield) untuk kepentingan pertanian, kehutanan, perkebunan,

peternakan, perikanan dan air minum masyarakat, industri, irigasi, tenaga listrik, rekreasi

dan sebagainya.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 46


USU Repository © 2009
Daerah Aliran Sungai (DAS) memikul beban yang semakin berat sehubungan

dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya

alamnya yang intensif. Di sisi lain, tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang

sistem kehidupan, betapapun berbagai upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah telah

dilakukan selama ini, kondisiny masih jauh dari memadai, bahkan terdapat indikasi

belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun. Meningkatnya frekuensi banjir

Sungai Deli di kota Medan serta di beberapa wilayah lainnya merupakan indicator betapa

tidak optimalnya kondisi DAS di atas antara lain disebabkan adanya ketidakterpaduan antar

sector dan wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut.

Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala

bertolak belakang.

Ruas-ruas jalan Kota Medan selalu tergenang jika menerima curah hujan, meski

curah hujan yang terjadi relatif tidak terlalu lama. Ruas jalan itu adalah Jalan Willem

Iskandar, Jalan Letda Sujono, Jalan Raden Saleh, Jalan Stasiun, Jalan Sisinga Mangaraja,

Jalan Sutomo, Jalan Gatot Subroto, Jalan AH Nasution, Jalan Denai, Jalan Brigjen Katamso

dan Jalan Yos Sudarso.

Jumlah itu di luar ruas jalan kecil seperti Jalan Pelita II, Jalan Kapten Jamil Lubis, Jalan

Pahlawan, Jalan Tangguk Bongkar, Jalan Selamat dan Jalan Pertahanan. Jika hujan turun

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 47


USU Repository © 2009
lebih deras dan lebih lama, maka genangan airnya akan lebih tinggi dan tidak jarang

merendam rumah warga.

Jumlah ruas jalan yang tergenang itu semakin banyak jika dilihat ke pinggiran Kota

Medan yang yang merupakan daerah perbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota

Binjai. Contohnya, daerah Lau Dendang, Percut, Desa Medan Estate dan Perumnas

Mandala Medan yang merupakan bagian Kecamatan Percut Sei Tuan, Deli Serdang.

Demikian juga dengan daerah Sunggal dan Diski, Deli Serdang yang berbatasan langsung

dengan Kota Binjai.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 48


USU Repository © 2009
BAB III

SEJARAH TERJADINYA BANJIR DI KOTA MEDAN 1970-1990

3.1 Peran Serta Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Pemeliharaan Drainase

3.1.1 Defenisi Banjir

Banjir adalah debit air yang melebihi besar kapasiitas pengaliran air tertentu.

Terdapat dua peristiwa banjir yaitu :

1. Peristiwa banjir atau genangan air yang terjadi pada daerah yang biasanya tidak

terjadi banjir.,

2. Peristiwa banjir karena limpahan air banjir dari sungai karena debit banjir tidak

mampu dialirkan oleh alur sungai atau debit banjir lebih besar dari kapasitas

pengaliran sungai yang ada. Peristiwa banjir sendiri tidak menjadi permasalahan,

apabila tidak mengganggu manusia melakukan kegiatan pada daerah dataran banjir.

Maka perlu adanya pengaturan-pengaturan daerah daratan banjir untuk mengurangi

kerugian akibat banjir (Flood Plain Management)

Sumber genangan- genangan air atau banjir di kota Medan dapat dibedakan menjadi

3 macam, yaitu :

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 49


USU Repository © 2009
1. Banjir kiriman, aliran banjir yang datangnya dari daerah hulu di luar kawasan yang

tergenang. Hal ini terjadi jika hujan yang terjadi di daerah hulu menimbulkan aliran

banjir yang melebihi kapasitas sungainya atau banjir kanal yang ada, sehingga

terjadi limpasan.

2. Banjir lokal, genangan air yang timbul akibat hujan yang jatuh di daerah itu sendiri.

Hal ini dapat terjadi jika hujan yang terjadi melebihi kapasitas system drainase

yang ada. Pada banjir lokal, ketinggian genangan air antara 0,2-0,7 m dan lama

genangan antara 1-8 jam. Terdapat pada kawasan dataran rendah.

3. Banjir rob, banjir yang terjadi baik akibat aliran langsung air pasang, atau air balik

dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang. Banjir pasang merupakan

banjir rutin akibat air laut pasang yang terjadi pada kawasan Medan Belawan. 20

Banjir merupakan permasalahan yang menghampiri setiap kota-kota besar di

Indonesia tanpa terkecuali kota Medan. Dalam rangka pembangunan kota Medan, pihak

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah kota Medan telah banyak melakukan

kebijakan pembangunan untuk mendukung kota Medan menjadi kota Metropolitan seperti

penataan pembangunan pemukiman, gedung-gedung pertokoan, perbaikan dan

pembangunan sarana tramsportasi di seluruh kota Medan. Masalah banjir adalah masalah

utama yang dihadapi pemerintah kota Medan, terutama daerah pinggiran kota Medan yang

20
Suripin, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Semarang : Penerbit Andi, 2003, hlm.
339-340

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 50


USU Repository © 2009
sering berdampak langsung kepada seluruh anggota masyarakat yang terkena banjir yang

melanda daerah permukiman dan perumahan mereka. 21

Pada tanggal 23 Desember 1992 dimana seluas 1.513 Ha areal tergenang air dengan

kedalaman 1.5 meter meliputi daerah pemukiman, jalan, perkebunan dan transportasi

umum di sepanjang aliran sungai Sei Badera. Kecamatan Medan Marelan merupakan

daerah yang paling banyak terkena dampak dari sering meluapnya air sungai Sei Badera

yang mengakibatkan banjir setiap tahunnya. Akibat dari banjir tersebut ialah lumpuhnya

kegiatan perekonomian masyarakat dan menghancurkan lahan areal pertanian dan

perkebunan penduduk serta sarana transportasi berupa jalan dan jembatan. 22 Banjir itu

sendiri dapat dilihat dari debit banjir dan volume air sungai yang meluap meskipun dalam

setiap kasus banjir debit dan volume banjir berbeda-beda.

3.1.2 Debit Banjir

Penelitian banjir di kota Medan dapat diperoleh melalui kegiatan analisis hidrologi

yang secara umum hasilnya dapat berupa debit banjir maksimum, volume banjir, atau

hidrograf banjir. Metode rasional bertujuan untuk memperkirakan debit puncak. Rumus

yang digunakan adalah Qp = k C I A

Dimana Qp : Debit puncak (m3 /detik)

21
Haldun, Muhammad, Implikasi Normalisasi Sungai Sei Badera Terhadap Permukiman
Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan (Thesis), Medan : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, 2008, hlm. 75-76
22
Haldun, Muhammad,Op Cit, hlm. 11

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 51


USU Repository © 2009
k : 0,278

C : Koefisien limpasan tergantung pada karakteristik DAS

I : Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)

A : luas DAS (km2) 23

3.1.3 Defenisi Sungai

Yang dimaksud dengan sungai adalah sungai secara umum, baik sungai besar

maupun sungai kecil. Sungai merupakan refleksi dari daerah yang dilaluinya. Faktor-faktor

seperti kualitas air (unsur kimia dan temperatur), habitat yang ada (flora dan fauna), kondisi

hidrolik sungai (debit muka air, frekuensi aliran dan lain-lain), dan morfologi sungai dapat

dipakai sebagai indikator untuk menganalisa kondisi daerah aliran sungai tersebut. Jika di

daerah sekitar sungai banyak aktifitas dengan kualitas penjernihan air limbah yang tidak

memadai, maka kualitas air sungai (terutama sungai kecil dan menengah) tersebut juga

akan terlihat jelas menurun. Jika suatu daerah relatif tandus, maka akan direkam oleh sungi

kecil yang direfleksikan ke dalam bentuk kurva hidrografiknya dengan waktu mencapai

puncak yang pendek dan debit puncak yang tinggi serta waktu kering yang lama. 24

23
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam
Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 31
24
Maryono, Agus., Ekohidrolik Pembangunan Sungai, Menanggulangi Banjir dan Kerusakan
Lingkkungan Wilayah Sungai, Yogyakarta : Magister system Teknik Program Pasca Sarjana UGM, 2005,
hlm. 27

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 52


USU Repository © 2009
Sungai merupakan komponen ekodrainase utama pada system sungai yang

bersangkutan. Konsep alamiah ekodrainase adalah bagaimana membuang air kelebihan

selambat-lambatnya ke sungai. Sehingga sungai-sungai alamiah mempunyai bentuk yang

tidak teratur, belokan-belokan dan lain-lain. Bentuk-bentuk ini pada hakikatnya berfungsi

untuk menahan air supaya tidak dengan cepat mengalir ke hilir serta menahan sediment. Di

samping itu drainase juga berperan dalam rangka menurunkan enerji air tersebut.

Sungai alamiah umumnya memiliki angka kekasaran dinding yang tinggi. Jika

dibandinngkan dengan sungai yang telah diluruskan, sungai alamiah memiliki kemampuan

mengalirkan debit aliran lebih kecil pada tinggi muka air yang sama. Pada proyek renovasi

sungai (renaturalisasi perlu dipertimbangkan kenaaikan muka air akibat kenaikan kekasaran

dinding sungai).

3.1.4 Kondisi drainase

Sebagian besar saluran drainase utama kota Medan, baik yang alamiah maupun

buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih rendah dari pada elevasi dasar

sungai. Hal ini menyebabkan sedimentasi serius dan menimbulkan pendangkalan. Sistem

drainse utama yang ada, sebagian besar belum mempunyai garis sempadan yang jelas. Hal

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 53


USU Repository © 2009
ini menimbulkan kerancuan dalam upaya pengelolaan dan pengawasan bangunan liar di

sepanjang tepi sungai.

Kondisi saluran drainase yang lebih kecil juga tidak kalah memprihatinkan.

Kapasitas saluran makin hari makin menurun akibat sedimentasi, sampah, dan

pemeliharaan yang kurang. Tidak mengherankan jika sampai saat ini masalah banjir

kiriman dan banjir pasang merupakan masalah yang beluim terpecahkan. Genangan air dan

banjir masih selalu terjadi, terutama pada saat musim hujan. Hal ini akan semakin sulit

diatasi jika pengembangan kota tidak dapat dikendalikan dengan baik.

Konsep drainase konvensional yang selama ini dianut yaitu drainase didefinisikan

sebagai suatu usaha untuk membuang atau mengalirkan air kelebihan di suatu tempat

secepatnya menuju sungai dan secepatnya dibuang ke laut, menurut tinjauan hidrolik tidak

bisa lagi dibenarkan. Dengan konsep pembangunan secepat-cepatnya ini, akan terjadi

akumulasi debit di bagian hilir dan rendahnya konservasi ekologi di hulu. Sungai di hilir

akan menerima beban yang lebih tinggi sewaktu debit puncak lebit cepat dari pada keadaan

sebelumnya dan akan terjadi penurunan kualitas ekologi daerah hulu. Jika sungai kecil,

menengah dan besar dijadikan sarana drainase dengan konsep konvensional seperti diatas,

maka akan didapat suatu rezim saluran drainase sebagai ganti rezim sungai. Ekodrainase

diartikan suatu usaha mengalirkan air yang berlebih ke sungai dengan waktu seoptimal

munngkin sehinngga tidak menyebabkan terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai

yang terkait.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 54


USU Repository © 2009
Buruknya sistem drainase di kota Medan menyebabkan kota metropolitan ini kerap

digenangi air bila hujan datang. Ternyata kondisi ini menyebabkan aktivitas ekonomi

didalam dan luar kota Medan terganggu. Kondisi jalan-jalan rusak, seperi yang terlihat

dijalan Bahagia by Pass, Mandala by Pass, jalan Platina Raya, Marelan, Kawasan Padang

Bulan, dan jalan Letda Sujono adalah sebagian besar kawasan yang umumnya menjadi

kawasan sering tergenanng air, selain itu, jalan-jalan yang rusak itu tidak hanya berbahaya

apabila dilintasi pengendara jika tergenang air namun juga menyebabkan jalanan macet,

sehingga aktivitas perdagangan terhambat.

Curah hujan selama satu jam meluapkan sejumlah parit di wilayah kota Medan,

termasuk parit busuk, persis ketika seluruh ummat Islam melaksanakan sholat Jumat. Di

Kelurahan Sei Kera Hilir I dan II, Kecamatan Medan Perjuangan, hujan yang turun itu

mengakibatkan air parit yang meluap, jalan-jalan tergenang air, bahkan di setiap gang di

daerah itu, sehingga rumah warga sebagian dimasuki air.

Terdapat juga bangunan rumah penduduk di pinggir jalan yang menutupi saluran air

ke parit untuk kepentingan pribadi. Banjir setinggi lutut orang dewasa itu terjadi pada

sejumlah kelurahan pada tiga kecamatan yakni Kecamatan Medan Labuhan, Medan Deli

dan Medan Marelan.

Pemandangan jalan yang berlubang bagaikan kubangan tampaknya telah menjadi

penyakit kronis yang tak terobati. Pemerintah seolah-olah angkat tangan dan yang parahnya

lagi, pengaspalan jalan lebih dari sekedar tambal sulam. Meski sebelumnya telah diaspal

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 55


USU Repository © 2009
semua, namun tingkat ketahanan aspal sangat rentan jika terjadi hujan lebat dan lalu

lalangnya angkutan bermuatan besar. Kondisi ini pun sangat rentan mengambil korban

jiwa, setidaknya selain kecelakaan lalu lintas sering terjadi kendaraan jadi cepat rusak. Oleh

sebab itu perbaikan jalan akan sia-sia jika sistem drainase di kota Medan tidak segera

ditangggulangi. Perbaikan drainase terlebih dahulu dibangun kemudian jalan yang rusak di

perbaiki kalau tidak perbaikan jalan akan sia-sia.

Untuk diketahui, perbaikan drainase sudah pernah dilakukan dan nilai proyeknya

yang ratusan milyaran rupiah dengan nama Metropolitan Medan Urban Development

projek (MMUDP). Terangkum dan proyek tersebut sebagai proyek perbaikan sistem

drainase untuk kawasan Medan, Deli Serdang dan Binjai (Mebidang). Namun sayangnya,

pemanfaatan dan pertanggungjawabannya tidak jelas.

Pada masa periode walikotamadya A.S. Rangkuty (1980-1990) sebuah proyek

raksasa dalam upaya mengatasi perkembangan dan penataan kotamadya Medan dengan

nama Metropolitan Medan Urban Development Project (MMUDP). Proyek ini

membutuhkan dana yang luar biasa besar jumlahnya dan pemerintah terpaksa melakujkan

pinjaman-pinjaman ke berbagai instansi. 25 Menurut catatan, MMUDP yang dilaksanakan

pada tahun 1990-an memiliki dana sebesar 138 juta dollar Amerika yang berasal dari

pinjaman Asian Development Bank (ADB) senilai 82.8 juta dollar Amerika dan dana dari

25
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan , Op Cit, hlm. 232

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 56


USU Repository © 2009
perintah kota sebesar 53.2 juta dollar Amerika. Sedangkan untuk perbaikan jalan

pemerintah harus mengeluarkan sebesar 8 miliar rupiah melalui APBD.

Sasaran proyek MMUDP I ini ada 6 komponen yaitu, mengadakan pelebaran sarana

lalu lintas, pembangunan roil-riok, drainase air limbah, dan lain-lain. Tidaklah

mengeherankan bila proyek ini sangat merepotkan karena harus melakukan penggalian di

tengah kota. Berbagai protes muncul menanggapi cara pelaksanaan proyek tersebut dan

berbagai kendala dan dampak menyebabkan berbagai keriguan penduduk. Namun, tanpa

dimulai dari yang seperti ini, maka pembangunan kotamadya Medan tak akan pernah

menjadi Kota Metropolitan yang didambakan. 26

Kemudian pada masa pemerintahan Bachtiar jafar, MMUDP pada tahap I yang telah

berakhir (1982-1989) kini MMUDP II harus segera dilaksanakan dengan 10 komponen

yang menjadi sasarannya yaitu :

1. Sektor Air Bersih

2. Sektor Air Limbah

3. Sektor Drainase

4. Sektor Persampahan

5. Sektor Perbaikan Kampung dan Prasarana Pasar

6. Sektor Jalan-jalan Kota

7. Sektor Pengaturan Lalu Lintas

26
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan, Ibid

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 57


USU Repository © 2009
8. Sektor Small Town Deli Serdang

9. Sektor Small Town Binjai


27
10. Sektor Pengendalian Banjir

Sebagai catatan, sekktor pengendalian banjir hingga belum tercapai sepenuhnya

sehingga proyek yang sangat memakan banyak waktu dan biaya ini bias dikatakan gagal

bahkan dengan dana yang besar itu ada pejabat pemerintah yang melakukan korupsi dengan

memenggal dana untuk pengendalian banjir dan dana itu untuk selanjutnya masuk ke

kantong pribadi.

3.1.5 Penanganan drainase

Disamping perbaikan saluran limbah, kegiatan lain yang penting dalam program

penyelamatan lingkungan pemukiman adalah pembangunan drainase. Kegiatan ini sangat

diperlukan terutama bagi daerah-daerah perkotaan yang ssering mengalami banjir akibat

letaknya yang rendah atau tofografinya yang datar. Genangan-genangan air tersebut akan

menyebabkan terjadinya kerusakan pada badan-badan jalan dan prasarana lingkungan

lainnya. 28

Masyarakat tidak peduli dengan kondisi drainase yang ada di depan rumah atau

lingkungannya yang rata-rata memiliki kedalaman hanya 10 m dimana pada awalnya

27
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan Ibid, hlm. 233
28
Pemprov Daerah Tingkat I,Rencana Pembangunan(REPELITA) Provinsi Daerahh Tingkat I
Sumatera Utarra,1989/90-1993/94,Medan 1989

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 58


USU Repository © 2009
kedalaman drainase adalah 60 cm, akibat dari minim atau tidak adanya pemeliharaan maka

sedimen atau sampah masuk di dalamnya, yang berakibat jika hujan turun satu jam saja

maka akan terjadi banjir atau genangan-genangan di lokasi ini. Hasil wawancara dengan

masyarakat di lokasi Jalan Garuda Raya Perumnas Mandala membenarkan bahwa aparat

pemerintah kecamatan atau desa khususnya kepala daerah tidak berperan untuk melibatkan

masyarakat agar berpartisipasi menangani Operasi dan Pemeliharaan (OP) drainase,

padahal mereka siap bergotong royong dan siap membayar iuran. Demikikan juga kondisi

drainase di sepanjang Jalan Asia simpang Jalan Bakaran Batu, kedalaman drainase hanya 5-

10 cm.

Dalam pembangunan drainase dulunya kurang melibatkan masyarkaat setempat

sehingga peran serta masyarakat dalam memelihara drainase pasca konstruksi dapat

dikatakan sangat minim sekali atau tidak ada, padahal mereka siap untuk berperan serta dan

ingin membayar apabila iuran ditetapkan bagi mereka. Maka dari itu, ada kiranya kita perlu

mengetahui defenisi peran serta masyarakat dalam pembangunan untuk melihat apakah

msyarakat merupakan elemen untuk menciptakan dan menanggulangi banjir.

Defenisi masyarakat dalam pembangunan :

1. Suatu masyarakat dikatakan berdaya apabila mereka dapat tampil sebagai pelaku

utama dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya. Masyarakat yang

bergantung pada pihak lain adalah masyarakat yang tidak berdaya.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 59


USU Repository © 2009
2. Pembangunan komunitas : Pembangunan yang dimulai dengan masyarakat

menyatakan keinginannya untuk masa depannya. Jadi pada prinsipnya bahwa setiap

pembangunan baik fisik maupun non-fisik memerlukan sosialisasi sebelumnya

kepada masyarakat terlibat di dalam proses pembangunan dan proses pemeliharaan

setelah pembangunan itu selesai. Sehingga peran fasilitator dalam pembangunan itu

selesai. Sehingga peran fasilitator dalam pembangunan masyarakat adalah sebagai

dimulai dengan donor dan memberikan setelah mengenali kebutuhan masyarakat

yang akan menguntungkan mereka, serta membantu masyarakat dalam

kesejahteraannya dengan turut merencanakan masa depan masyarakat.

3. Peran serta masyarakat sebagai suatu cara melakukan interaksi antar dua kelompok

atau sebagai proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang

dianalisa oleh badan yang bertanggungjawab.

4. Pembangunan dengan peran serta masyarakat secara aktif disebut juga dengan

pembangunan partisipatif yaitu suatu proses pembangunan yang memberdayakan

masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengwasan hingga

pengawasan pembangunan. Di samping itu masyarakat juga menjadi prioritas dalam

menikmati hasil-hasil pembangunan.

5. Peran masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu :

a. Tahap perencanaan yang biasanya diwakili oleh tokoh-tokoh masyarakat.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 60


USU Repository © 2009
b. Tahap pelaksanaan yaitu masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan

kegiatan baik secara fisik maupun non-fisik.

c. Tahap pemanfaatan yaitu masyarakat ikut berperan serta dalam menikmati dan

memanfaatkan hasil-hasil pembangun

6. Partisipasi masyarakat menjadi bagian terpenting dalam pengambilan keputusan

atas alokasi sumberdaya. Faktor-faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat

terdiri dari tiga hal yakni keadaan sosial masyarakat, kegiatan program

pembangunan meliputi kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan pemerintah

yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijakan, serta keadaan

alam (faktor fisik atau keadaan geografis daerah).

7. Para ahli perencanaan hutan dan lingkungannya, sebagaimana halnya para


29
pengambil keputusan semakin memikirkan rehabilitasi daerah aliran sungai.

Walaupun suatu DAS merupakan suatu unit fisik, bukan unti sosial, unit ini didiami

oleh manusia, sumberdayanya dipakai untuk kegiatan-kegiatan produktif manusia,

diperburuk dan dirusakkan oleh mereka. Hal inilah penyebab mengapa perencanaan tata

guna lahan atau sebuah program pengawasan erosi tidak dapat difektifkan dan tidak dapat

ditopasng kecuali apavila dirancang dengan mengikutsertakan penduduk di sekitar DAS

dalam pekerjaan rehabilitasi. Proyek-proyek DAS berkaitan dengan manusia. Kunci untuk

menjamin partisipasi masyarakat dalam program-program terletak pada rancangan strategi

29
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam
Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 22-24

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 61


USU Repository © 2009
yang luas dan didasarkan pada suatu pengertian yang lebih baik atas kebutuhan-kebutuhan

yang mereka rasakan dan prioritas dan khususyna penguasaan lahan setempat. Hal ini

berarti bahwa waktu yang cukup harus disediakan pada awal proyek dalam kajian sosiologi

supaya menetapkan bentuk stimulan (rangsangan) yang diperlukan untuk memperoleh

kerjasama petani.

Proyek MMUDP I dan II (Medan Metropolitan Urban Development Project) pada

tahun 1982-1990 adalah untuk membuat dan memperbaiki drainase primer dan sekunder

non-sungai, dalam hal ini di bawah bimbingan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi

Sumatera Utara. Namun dikarenakan belum selesainya pekerjaan secara keseluruhan karena

adanya masalah pembebasan tanah baik Proyek Banjir Medan MMUDP, maka saluran

drainase belum dapat berfungsi secaram optimal ditambah pada pelaksanaannya sulit

berkoordinasi walaupun terdapat Provincial Project Management Unit (PPMU) hal ini

terbukti dengan banyaknya subdrain zaman Belanda yang tidak berkoneksi dengan saluran

drainase baik baru maupun rehabilitasi, pada beberapa lokasi di kota Medan seperti

Sutomo, Sutrisno, Sambu, Jalan Parit Mas, dan lain-lain. Hal utama lain yang terlupakan

bahwa proyek-proyek APBN tersebut maupun kota Medan tidak mengalokasikan atau tidak

memiliki dana Operasi dan Pemeliharaan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan tersebut.

Sebagai bahan tambahan seperti apa peran serta pemerintah untuk tetap menjaga

Operasi dan Pemeliharaan drainase di kota Medan, maka ada baiknya kita mengetahui

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 62


USU Repository © 2009
defenisi kelembagaan sebagai refleksi peran pemerintah dalam menangulangi banjir dan

dampaknya.

1. Kelembagaan adalah aturan main yang berperan penting dalam mengatur

penggunaan atau alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan

(sustainable).

2. Kelembagaan adalah lembaga atau organisasi yaitu bentuk persekutuan antara dua

atau lebih yang bekerjasama secara formal terkait formal terkait dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditentukan.

3. Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atu sengaja dibentuk. Namun

pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial yaitu penguasaan,

pemanfaatan, dan transfer teknologi.

4. Kelembagaan sosial yang juga disebut lembaga kemasyarakatan merupakan

himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok

di dalam kehidupan masyarakat. 30

3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Aliran

Pada awal tahun 1950-an, jawatan Pekerjaan Umum yang bertugas menangani tata

kota dan kebersihan kota Medan, tetap menyelenggarakan pekerjaannya secara teratur.

Hampir seluruh parit-parit dibersihkan, air-air yang ada dalam parit itu megalir lancer

30
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam
Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 29-30

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 63


USU Repository © 2009
menuju parit besar yang melintang dan membelah sebagian besar kota Medan, dari jalan

Antara menyusur Jalan Batu, Jalan Emas, Jalan Sampali, jalan Mabar dan menembus Jalan

Serdang. Parit-parit ini menampung seluruh aliran parit-parit yang ada di kawasan

Sukaramai, Kota Maksum, Sei Rengas, Pandahulu. Parit-parit yang ada di kawasan kota

Medan lainnya bermuara ke Sungai Deli dan Babura. Dan di tebing-tebing parit itu

semuanya ditumbuhi rumput yang juga dibabat hamper setiap harinya. 31

Kemudian pada tanggal 3 Juli 1974, di bawah kepemimpinann A.M. saleh arifin

pembangunan kota Medan lebih banyak ditujukan kepada penataan sarana fisik sesuai

dengan perkembangan kependudukaan yang ada pada waktu itu yang ada pada tahun 1974

telah mencapai 1.015.520 jiwa. Hal itu memang tak dapat ditunda lagi karena Kotam

Medan selain sebagai ibukota Provinsi Sumatera utara juga merupakan Wilayah

pembangunan Utama A. 32

Berbeda pada awal 1970-an, setidaknya jawatan Pekerjaan Umum telah

mengabaikan kebersihan parit-parit tadi dan sumbatan-sumbatan yang menyebabkan banjir

banyak terdapat di areal-areal rawan banjir tersebut. Kesan yang ditimbulkan adalah

peemerintah hanya bertujuan membangun kota Medan dengan berbagai bangunan megah

dan modern tanpa mempedulikan lingkungan yang mendukung dimana bangunan tersebbut

31
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan , Op Cit, hlm. 209
32
Tim Penguumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan Kotamadya
Daerah Tingkat II medan, Ibid, hlm. 244

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 64


USU Repository © 2009
berada. Sehingga tata kota dan lahan yang dimanfatkan tidak optimal berdasarkan konsep

lingkungan.

Perubahan tata guna lahan, urbanisasi, penebangan hutan, atau penghutanan kembali

mempengaruhi aliran sungai dan menyebabkan perubahan aliran nyata. Laju urbanisasi

membawa pengaruh langsung pada masalah kepadatan penduduk dan kerapatan bangunan.

Kerapatan bangunan meningkat, maka luasan daerah yang kedap air menjadi besar

sehingga volume aliran permukaan menjadi naik dan laju, infiltrasi menjadi menurun secara

proporsional. Dampak yang diakibatkan dengan meningginya volume limpasan langsung

adalah debit puncak (peak discharge) menjadi besar yang selanjutnya menimbulkan

masalah banjir pada masa penghujan.

Berdasarkan data penggunaan DAS Deli, tampak bahwa dari segi tata ruang sudah

menyalahi aturan yang berlaku dimana seharusnya luas hutan adalah sebesar 30 % dari luas

DAS. Selanjutnya dijelaskan dalam tabel berikut :

Kelas Luas (Ha) Luas (%)

Hutan 3.655 7,59

Belukar 2.068 4,29

Kebun Rakyat 285 0,59

Kebun Cokelat/Kelapa Sawit/Kelapa 2.284 4,74

Sawah 8.143 16,91

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 65


USU Repository © 2009
Tanaman Campuran 16.154 33,54

Tegalan 1.836 3,81

Perkebunan Tembakau 5.628 11,69

Alang-alang 479 0,99

Rawa 69 0,14

Pemukiman 5.374 11,16

Lain-lain 2.187 4,54

Jumlah DAS Deli 48.162 100


33
Tabel 2. Data Penggunaan Lahan pada DAS Deli

Menurut Philip Kivell dalam bukunya “ Land and The City” lahan sebagai

kekuatana dan lahan sebagai basis dari system perencanaan (land as the basis of the

planning system) dan lahan sebagai lingkungan (land as environtment) yang kalau kita lihat

jika hal ini kita terapkan dalam pelaksanaan Land Use Planning maka susunan table di atas

dapat sesuai dengan UU tenntang kehutanan tersebut

Kita semua tersentak dan kaget bahwa ternyata alam telah memberikan reaksi yang

demikian hebat. Walaupun factor alam (curah hujan yang tinggi) memberikan kontribusi

penyebabnya namun tindakan yang besar terhadap terjadinya bencana ini antara lain

dengan penggundulan hutan. Lebih luas lagi dapat dikatakan telah terjadi perubahan tata

guna lahan yang signifikan sehingga berpengaruh besar terhadap banjir dan longsor.

33
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam
Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005, hlm. 32

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 66


USU Repository © 2009
Musibah yang terjadi sebenarnya merupakan isyarat-isyarat alam yang seolah-olah

ingin mengatakan bahwa manusia perlu menjaga kelestariannya, jangan mengubah tat guna

lahan tanpa memperhatikan keseimbangannya. Alam bilamana dirusak akan secara kontinu

melakukan keseimbangan baru yang dampaknya berupa malapetaka untuk kelangsungan

hidup manusia.

Perubahan tata guna lahan memberi andil besar terhadap kenaikan tajam debit

sungai. Misal suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang semula berupa hutan

mempunyai debit 10 m³/detik apabila diubah menjadi sawah, maka debit sungainya akan

menjadi antara 25 sampai 90 m³/detik atau ada kenaikan debit sebesar 2,5 sampai 9 kali

dari debit semula. Bila hutan diubah menjadi kawasan perdagangan atau perindustrian

maka debitnya yang semula 10 m³/detik akan meningkat tajam menjadi antara 60 sampai

250 m³/detik atau meningkat menjadi 6 sampai 25 kali debit semula.

Perubahan yang paling besar adalah apabila kawasan hutan itu dijadikan daerah

beton/beraspal maka hujan yang turun semuanya akan mengalir di permukaan dan tidak

yang meresap ke dalam tanah. Kita dapat melihat bahwa perubahan debit 10 m³/detik

berubah menjadi 6,3 sampai 35 kali.

Bilamana daerah pengaliran sungai berupa persawahan kemudian dijadikan

kawasan perindustrian maka debit sungainya akan naik menjadi 2 sampai 3 kali.

Dapat disimpulkan bahwa normalisasi yaitu dengan melebarkan atau mengeruk

sungai tidak akan ada artinya selama perubahan lahan di atas (hulu) sungai tidak

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 67


USU Repository © 2009
diperhatikan. Banjir akan terus terjadi dan bahkan cenderung meningkat walaupun sungai

sudah dinormalisasi. Normalisasi tetap bisa lahan sudah direncanakan dengan baik.

Perencanaan Pengamanan Terhadap Sungai disebut juga Perencanaan

Pengendalian Banjir (flood control) secara umum dapat dibagi menjadi :

1. Pembangunan sistem pengamanan dan pengendalian banjir (pekerjaan sipil).

2. Pekerjaan non sipil (UU, peraturan, Garis Sempadan, Flood warning, Education

and Relocation).34

Yang kemudian membuat suatu rencana mitigasi banjir pada DPS Hulu, DPS

Tengah, dan DPS Hilir yang pada prinsipnya membuat sarana fisik atau teknis yang

meliputi :

- Pada DPS Hulu dilaksanakan : Pembuatan wasuk-waduk serbaguna, checkdam,

terasing, konservasi tanah untuk menahan tingkat aliran permukaan, mencegah erosi

dan megurangi sediment di sungai.

- Pada DPS Tengah : Menanggul sungai utama dan anak-anak sungaigai untuk

melewatkan debit banjir dari DPS hulu ke laut, pembuatan Floodway (sudetan),

River training, river improvement, normalisasi dan retarding basin (parkir air

sungai).

- Pada DPS Hilir : Menanggul sungai utama dan anak-anak sungai, river training, dan

improvement, river and bank protection, rivertment dan retarding dan pembuatan
35
pintu-pintu klep.
34
Ibid, Hasibuan, Gindo Maraganti, hlm.66

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 68


USU Repository © 2009
Dari uraian di atas, tujuan dari usaha pengelolaan satuan wilayah sungai adalah

dalam rangka pencegahan bahaya banjir pada lembah-lembah yang sudah berkembang

(kota Medan) dan peningkatan kemampuan penyediaan air sungai untuk kehidupan

masyarakat dengan kegiatan perbaikan dan pengaturan sungai, pengaturan waduk-waduk

sudetan dan lain-lain.

Walaupun demikian, perencanaan pengembangan wilayah sungai dengan rencana

waduk-waduk yang bersifat serba guna, kadang-kadang menghadapi konflik berbagai

pemanfaatan, yaitu pengendalian banjir, pembangkit tenaga listrik, irigasi dan berbagai

pemanfaatan-pemanfaatan air lainnya. Perencanaan yang kurang matang atau eksploitasi

dan pemeliharaan yang kurang memadai, akan dapat menimbulkan bencana. Karenanya

perlu dilakukan suatu perencanaan yang holistic, intergrated and Komprehensif serta

melibatkan masyarakat dan semua stakeholder mulai dari daerah aliran sungai hulu, tengah

dn hilir sehingga dapat dilakukan perencanaan wilayah dan pengelolaan terpadu pada DAS

tersebut. Serta yang paling utama adanya control terhadap pengendalian tata ruang dan

daya dukung dari wilayah sungai itu sendiri.

Untuk penanganan pengendalian banjir (sebagai salah satu bagian penting dari

pengelolaan Sumber Daya Air) maka metode non-struktur (missal konservasi lahan) harus

lebih diutamakan baru kemudian dilakukan metode struktur (misal normalisasi).

Salah satu hal yang juga menyebabkan sulitnya sasaran pengendalian banjir tercapai

adalah disebabkan oleh Daerah Aliran Sungai dikelola oleh berbagai instansi pemerintah.
35
Ibid, hlm. 70

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 69


USU Repository © 2009
Karena ego kepentingan dari masing-masing maka perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan menjadi ego sektoral. Walaupun sudah sering dikemukakan pengelolan harus

terpadu dan menyeluruh, namun kenyataannya hingga saat ini hal tersebut masih berupa

jargon atau lip service. Tidak hanya itu, permasalahan yang juga melibatkan banyak pihak

ini juga harus memperhitungkan teritorialnya dari strategi Mebidang yang juga membawa

dampak akan bertambahnya indikasi akan adanya ketidakharmonisan berbagai intansi

pemerintah masing-masing yang berwajib. Isu dan permasalahan tersebut yaitu di antaranya

No. Aspek Isu Utama Permasalahan


Permasalahan
1. Prasarana
a. Jalan Kota Kualitas Kemacet, Tingginya angka
Layanan kecelakaan. Kerusakan fisik
jalan, yang menghubungkan
Kota Medan dengan pusat
pertumbuhan dan antar pusat
pertumbuhan, seperti Medan-
Patumbak di sekitar Simpang
Amplas.
Kuantitas Tingkat aksessibilitas antar
Layanan pusat pertumbuhan belum
terintegrasi
b. Listrik Kuantitas Kekurangan suplai listrik
layanan terhadap aktivitas skala
metropolitan.
c. Kuantitas Wilayah layanan PT Telkom
Telekomunikasi layanan sangat ditentukan oleh

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 70


USU Repository © 2009
pertumbuhan kegiatan (
hanya melayani kebutuhan)
d. Drainase Kualitas Jaringan drainase tidak
Layanan bekerja efektif dalam
mengendalikan banjir.
e. Air Bersih Kualitas Tingkat kebocoran tinggi.
Layanan Kualitas air minum harus
ditingkatkan.
Kuantitas Jaringan perpipaan masih
layanan belum mampu menjangkau
beberapa wilayah di kota ini
terutama di wilayah tepi.
f. Air Kotor Kualitas Pengolahan belum memenuhi
Layanan standar
Kuantitas Jaringan masih terbatas
Layanan dalam melayani pembuangan
air limbah.
g. Persampahan Kualitas Penumpukan sampah pada
Layanan pusat – pusat perdaganan
tradisional.
Kuantitas Fasilitas pengelolaan /
Layanan pengolahan sampah di
TPA/TPS masih terbatas.
2. Kemiskinan Permukiman Permukiman kumuh masih
Kota Kumuh tersebar di kota inti dengan
tingkat pelayanan prasarana
dan sanitasi lingkungan yang

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 71


USU Repository © 2009
rendah.

3. Kelembagaan Koordinasi Kurangnya respon dan


antar sinergi pembangunan masing
pemerintah – masing pemerintah kota /
Kota/ kabupaten dalam hal
Kabupaten pengembangan sarana dan
prasarana perkotaan.
4. Lingkungan Kawasan Terdapat kawasan yang
Kota pusat kota terkesan kumuh di pusat kota
(Inner city) akibat kurangnya
pemeliharaan bangunan,
kemacetan lalu lintas dan
tidak berfungsinya saluran
drainase.
5. Ekonomi Kota Kontribusi Belum berkembangnya
ekonomi sentra industri yang
local berorientasi ekonomi local.
terhadap Jaringan pemasaran produk
ekonomi kota local khususnya kepada pasar
Medan masih global masih terbatas.
rendah.
6. Pembiayaan Peningkatan Realisasi angaran PAD masih
Kota Sumber PAD terbatas dalam membiayai
pengembangan sarana dan
prasarana perkotaan.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 72


USU Repository © 2009
7. Pertanahan Wilayah Kebutuhan lahan untuk
Mebidang investasi PMA dan PMDN
merupakan semakin besar.
pilihan utama
investasi di
Kawasan
Indonesia
Barat,
Khususnya di
Sumatera
8. Perumahan Ketimpangan Pembangunan perumahan
antara masih terbatas, dan sebagian
sediaan dan besar hanya dijangkau oleh
permintaan kelompok masyarakat
rumah yang berpenghasilan menengah ke
layak di atas.
Mebidang
pada
umumnya
dan Kota
Medan Pada
khususnya.

Tabel 3. Isu Dan Permasalahan Di Metropolitan Mebidang 36


Sumber : Waspada, Kamis 11 Desember 2003

36
Sumber : Waspada, Kamis 11 Desember 2003

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 73


USU Repository © 2009
3.3 Manajemen Tata Air Kota Medan

Untuk mengurangi debit banjir Sungai Deli dan anak-anak sungainya yang melalui

kota Medan (banjir kiriman) dan mengurangi masalah genangan akibat poor drainage di

kota Medan (hujan lokal) dilakukan hal sebagai berikut :

1. Membangun perbaikan serta pengaturan sungai Deli dan anak-anak sungainya yang

diharapkan akan mengurangi debit aliran sungai dan dapat mengamankan sungai

Deli bagian hilir yang sangat berguna bagi masyarakat yang tinggal di bantaran

sungai Deli hilir. Sedangkan untuk pengaturan dan perbaikan sungai Deli dan

sungai Babura dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan negara yang

ada sehingga program upaya pembangunan bangunan pengairan dalam rangka

mitigasi banjir kota Medan tidak selesai 100 % seperti yang direncanakan.

2. Membangun drainase primer dan sekunder kota medan oleh proyek MMUDP,

namun ada permasalahan akibat adanya drainase tidk sesuai dengan rencana, belum

menyambungnya subdrain zaman Belanda dengan drain yang baru berakibat masih

terjadi banjir dan genangan di beberapa lokasi di kota Medan jika turun hujan antara

lain : jalan Brigjen Katamso, Perhubungan, sekitar Stadion Teladan, jalan Krakatau,

jalan Bilal, jalan Gatot Subroto, jalan Dr. Mansjoer sekitar aliran sungai Putih, jalan

Kasuari, jalan Asia sekitar parti Emas, jalan Pandu, jalan Sisimangaraja-Amplas,

jalan Putri Hijau, jalan Letda Sujono, jalan M. Basir, jalan Letjen Jamin Ginting,

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 74


USU Repository © 2009
jalan Zainul Arifin, jalan Thamrin, dan lain-lain. Untuk menangani masalah

genangan dan banjir pada ruas-ruas jalan ini, maka harus dilakukan penataan ulang,

(review dimensi drainase), menghubungkan sub-drain zaman Belanda dengan drain

baru, perbaikan drain inlet sepenjang jalan protocol dan yang paling utama adanya

pemeliharaan rutin dari pemerintah kota Medan, instansi pemerintah, dan tentu saja

masyarakat di kota Medan untuk memelihara drainase dan lingkungannya melalui

dna kapasitas building secara berkelanjutan. Jika hal ini dilakukan maka genangan

ataupun banjir di kota Medan akan berkurang secara signifikan. 37

3.4 Masalah Lingkungan Kota Medan

Pembangunan adalah merupakan suatu dasar pemikiran dalam pengelolaan sumber

daya secara menyeluruh, yang harus dihadapi pada keterpaduan antara lingkungan hidup

dengan pembangunan itu sendiri. Atau dengan pengertian yang lebih jelas, bahwa

lingkungan hidup adalah suatu dimensi dari pembangunan dan bukan merupakan suatu

permasalahan atau dipermasalahkan. Tujuan dari pembangunan itu sendiri adalah untuk

peningkatan kesejahteraan rakyat, di mana manusia senantiasa secara terus menerus

dengan teknologi ciptaannya memakai sumber-sumber daya alam tanpa memperhitungkan

keseimbangan daya dukung alam yang memberi kehidupan bagi manusia setiap waktu.

Keterlupaan manusia akan hal ini dapat membawa akibat dimana terjadi

kemerosotan kualitas lingkungan maupun daya dukung lingkungan sehingga akan

37
Berdasarkan studi JICA Main Report, The Study on Belawan Padang Intergrated River Basin
Development, Medan : 1992

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 75


USU Repository © 2009
merugikan pada manusia itu sendiri, yang dalam aksinya manusia itu dapat merubah,

mengatur dengan pemakaian ilmu yang ada padanya. Maka atas dasar ini pemakaian

Sumber Daya Alam yang ditujukan untuk mensejahterakan umat manusia lewat dimensi

pembangunan haruslah memperkirakan faktor lingkungan. 38

Dalam lingkup tanggung jawab pemerintah dan komisi perencanaan kota, anallisis

dampak lingkungan merupakan suatu alat yang kuat untuk mempersatukan berbagai

kebutuhan dan keinginan masyarakat. Maka lingkungan menjadi bahan pertimbangan yang

tidak dapat terabaikan dalam perencanaan kota. Karenanya lembaga-lembaga pemerintah

hendaknya waspada terhadap konsekuensi lingkungan atas usulan-usulan kegiatan dan

proyek serta konsekuensi tersebut dipahami sebagai bagian integral dari keputusan dan

perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tema tranparansi dan keterbukaan harus

meluas di seluruh lingkup umum dan swasta, pemerintah perkotaan, harus ada kesempatan

yang lebih besar bagi konsultasi public dalam menetapkan kebijakan perencanaan publik

dan kesempatan yang lebih besar untuk memperbaiki ketika orang dewasa merasa bahwa

mereka atau lingkungannya menderita akibat orang lain.

Masalah kesadaran hukum dan penegakan hukum merupakan masalah yang penting

di kota Medan dikarenakan masih banyaknya masih banyaknya masyarakat yang terpakasa

bermukim di bantaran sungai/anak sungai akibat pendapatan atau kondisi ekonomi yang

pas-pasan serta mahalnya harga tanah di kota namun menurut mereka lebih dekat ke tempat

38
Siregar, Arifin., Kegunaan Analisa Dampak Lingkungan Kaitannya dengan Pelaksanaan
Pembangunan, Medan : Fakultas Hukum USU, 1981, hlm. 1

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 76


USU Repository © 2009
kerja, dan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di kota, dimana yang seharusnya

berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara no. 5 tahun 1995 tentang garis

sempadan sungai mereka dilarang bermukim di bantara sungai/anak sungai disamping

dapat menganggu kapasitas pengaliran sungai juga berbahaya jika sewaktu-waktu sungai

banjir. Demikian juga dengan kondisi drainase yang sangat buruk/dangkal dan kadang-

kadang penuh sampah di hadapan rumah-rumah penduduk yang bilamana hujan turun akan

penuh dengan aliran, akhirnya menjadi banjir dan tergenang yang sebenarnya jika mereka

sadar harus ikut memelihara sebagai bagian dari menjaga lingkungan di sekitarnya.

3.5 Urbanisasi dan Aspek Sifat-sifat Wilayah Perkotaan

Di dalam sejarah, urbanisasi besar-besaran timbul serentak dengan lahirnya revolusi

di Eropa pada abad ke-18 dan ke-19. Bertumbuhnya industri secara besar-besaran telah

mengundang tenaga kerja dari desa untuk bekerja di kota dan pusat-pusat industri. 39

Seperti halnya yang dialami negara-negara yang sedang berkembang, Indonesia

juga mengalami arus perpindahan penduduk dari desa ke kota cukup tinggi, walau secara

presentase belum setinggi tingkat urbanisasi di negara industri. Tetapi berbeda dengan di

39
Marbun, B.N ., Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Jakarta : Erlangga, 1990, hlm.
56

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 77


USU Repository © 2009
Negara industri , arus urbanisasi di Indonesia tidak diimbangi dengan adanya perluasan

kesempatan kerja di kota-kota. Ini menyulut permasalahan tempat tinggal dan taraf hidup.

Di samping masalah tersebut, timbul pula berbagai masalah seperti dalam bidang ekologi.

Semakin tinggi arus urbanisasi yang tidak seimbang, dengan daya tampung kota, maka

masalah sosial akan semakin bertambah pula. 40

Pada tanggal 12 Desember 1952, walikota Medan diangkat, yaitu A.M. Djalaludin,

pada periode kepemimpinan beliau, kota Medan mulai menhgadapi tantangan-tantangan

terutama munculnya urbanisasi dari daerah-daerah di sekitarnya. Dan yang menonjol arus

urbanisasi ini datang dari daerah Tapanuli. Kemudian disusul pula dari daerah-daerah

lainnya termasuk Aceh yang ketika itu dilannda pemberontakan sehingga penduduknya
41
banyak yang mengungsi ke Medan.

Untuk daerah seperti kota Medan, mendapatkan pekerjaan dan pendapatan tidaklah

terlalu sulit, kaum urbanisasi bisa menjual jasa berdasarkan kemampuan fisik (native

capacity) yang mereka miliki dengan melakukan pekerjaan kasar seperti kulu bangunan,

kuli angkutan, buruh industri, tukang becak, kenek angkot, pedagang kaki lima, mereka

bisa mendapatkan pendapatan. Dan semuanya itu bisa terbuka. Optimisme hidup mereka

justru tercipta di daerah yang baru ini dan merupakan daya tarik tersendiri yang mendorong

mereka untuk berurbanisasi ke kota. Beberapa factor penyebab urbanisasi adalah :

40
Ibid, hlm. 581
41
Sama. Hlm. 203. setelah masa pemerintahannya, diangkatlah Abdul Hakim menjadi walikota
Medan yang pada masa pemerintahannya bersama-sama dengan Dr. T. Mansyur dan Dr. Sumarsono
mendirikan Yayasan Universitas Sumatera Utara yang kemudian dikenal hingga kini dengan nama
Universitas Sumatera utara.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 78


USU Repository © 2009
1. Pendapatan perkapita yang relatif lebih tinggi di wilayah perkotaan.

2. Tersedianya pelayanan yang lebih baik di wilayah perkotaan.

3. Rendahnya pendapatan perkapita dan bertambah sulitnya lapangan pekejaan di

wilayah pedesaan.

4. Keamanan yang kurang baik di wilayah pedesaan.

5. Faktor-faktor sosial lainnya, seperti rasa prestise yang tinggi apabila tinggal di

perkotaan.

Dari uraian di atas, kiranya pemerintah kota Medan bersama pemerintah provinsi

Sumatera Utara dapat mencegah arus urbanisasi ini dengan prinsip kota Medan harus

menjadi kota dengan kondisi yang layak dengan membuat kesepakatan dengan kota-kota

sekunder di sekitar kota Medan. Yang seharusnya dilakukan demi kelancaran kehidupan di

perkotaan dan di pedesaaan yaitu :

1. Membangun fasilitas-fasilitas kota yang lebih baik dan lokasi industri didorong ke

kota-kota sekunder seperti ke kota Binjai, Lubuk Pakam, Deli Tua dan Pancur Batu,

yang semua terletak di pinggiran kota.

2. Mendorong perkembangan ekonomi pedesaan melalui rencana pembangunan

sekunder dalam bentuk usaha memberikan pelayanan dan pemasaran barang-barang

pertanian untuk mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak di sector

pertanian.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 79


USU Repository © 2009
3. Mengusahakan pengingkatan kapasitas administrasi untuk kota-kota sekunder

tersebut.

BAB IV

DAMPAK DAN PENANGGULANGAN BANJIR DI KOTA MEDAN

4.1 Kerugian yang Diderita

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 80


USU Repository © 2009
Akibat dari pada bencana banjir yang terus menerus mendera kota Medan, dapat

diperhitungkan bahwa kerugian materi yang sangat banyak namun tidak hanya itu, kerugian

immateri juga semakin menambah keburukan dari citra kota Medan yang dianggap sangat

bersahaja di mata masyarakatnya. Kerugian berupa beban psikologis bnayak diderita oleh

orang-orang yang kurang mampu di dalam pemenuhan ekonominya, bagaimana tidak,

setiap banjir melanda kota, masyarakat tidak mampu ini hanya dapat berdiam dan berkeluh

kesah pada dirinya sendiri mengapa ia harus mengalami nasib “menjadi orang miskin”

sehingga ia tidak mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak dibandingkan masyarakat

golongan menengah ke atas.

Masalah perekonomian adalah masalah yang sering dikaitkan jika bencana banjir

melanda kota Medan. Secara otomatis, masyrakat yang tinggal di darah sekitar kawasan

banjir akan kesulitan untuk bias menjalankan kegiatan perekonomian karena masyrakat

tersebut harus tinggal di rumah dalam beberapa hari sambil menunggu air surut, tentunya

berakibat pada terganggunya kegiatan perekonomian di daerah itu. 42

Setiap keluhan dari masyarakat tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah dan bahkan

pemerintah dianggap tidak peduli jika ada masyarakat dengan golongan rendah

mengadukan masalahnya jika terjadi banjir di tempat ia tinggal. Akibat keidakpedulian ini

banyak dari mereka yang mengalami stress dan gangguan jiwa.

Demikianlah kerugian immateri yang hanya segelintir jika dibandingkan dengan

kenyataannya di lapangan. Selain itu, kerugian materi dapat diperhitungkan dalam satuan
42
Haldun, Muhammad, Loc Cit, hlm. 13

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 81


USU Repository © 2009
rupiah mencapai miliaran setiap tahunnya, sehingga jika kita membayangkan jika dalam

satu tahun tersebut terjadi beberapa bencana banjir, maka kelipatan dari jumlah itu akan

berlaku dan tidak menutup kemungkinan akan semakin bertambah apabila penanggulangan

yang tidak tepat belum terlaksana.

Kerugian materi yang diderita berupa rusaknya rumah-rumah, lahan pertanian, dan

areal perekonoamian lainnya yang terganggu di setiap tahunnya dapat diperkirakan dengan

angka nominal sebagai berikut :

Pada rencana pembangunan lima tahun, apabila kerugian materi sejumlah Rp.

16.700.000.000 43 akan dikalikan setiap tahunnya dengan nilai nominal tersebut selama 5

tahun bahkan tidak tanggung-tanggung angka tersebut dapat naik tergantung kasus

banjirnya yang tergolong ke dalam banjir besar ataupun hanya berupa genagan-genagan

saja, namun biarpun begitu, setiap kasus banjir memberi dampak yang berpengaruh pada

perekonomian masyarakat kota Medan.

4.2 Kerusakan Lingkungan

Mengenai masalah kerusakan lingkungan sudah barang tentu menjadi perhatian

karena adanya kerusakan lingkunganlah maka bencana banjir sering melanda kota Medan,

tidak hanya itu pencemaran di mana-mana juga ikut menambah kualitas air yang semula

bersih kini tercemar dan tidak dapat digunakan oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat di

43
Angka ini berdasarkan pada kasus banjir yang terjadi di kota Medan dan sekitarnya pada tahun
1997

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 82


USU Repository © 2009
kawasan parit busuk dimana sungainya sudah menjelma menjadi cairan berbau busuk dan

sangat tidak higienis untuk digunakan oleh masyarakat. Dan karena adanya parit busuk ini,

sehingga warga sekitar parit busuk berpikiran bahwa sungai ini bukanlah merupakan sungai

namun parit untuk membuang sampah dan limbah rumah tangga lainnya. Sehingga

demikian perilaku masyarakat yang seperti ini akan menambah indikasi terjadinya banjir di

kota Medan.

Kerusakan lingkungan yang mengakibatkan rusaknya jaringan infrastuktur

kesehatan dan sanitasi seperti selokan, parit, maupun lubang sampah dimana yang

sebelumnya masih normal hingga berubah menjadi kotor dan bau nmenyebabkan

pemukiman warga di sekitarnya mengalami gangguan kesehatan seperti diare, penyakit

kulit, gangguan pernafasan dan lain-lainnya

Selain itu, normalisasi yang dilakukan sebagai antisipasi banjir di kota Medan juga

membawa dampak yang buruk bagi lingkungan sekitar sungai Deli. Hal ini dapat

dibuktikan dengan berkurangnya flora dan fauna yang hidup di sungai Deli sehingga sungai

Deli yang dulunya lebar bahkan tongkang-tongkang besar pun dapat berlayar di atasnya,

kini sungai Deli hanya memiliki lebar beberapa meter saja. Bahkan jika ekosistem di sungai

Deli terganggu tidak menutup kemungkinan akan datangnya masalah multikultur yang

menyebabkan masyarakat tidak lagi dapat tinggal di sekitar sungai Deli. Meskipun dalam

beberapa kasus normalisasi memang mengurangi dampak banjir di sekitar areal

permukiman warga yang sering dilanda banjir.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 83


USU Repository © 2009
4.3 Perencanaan Wilayah Sungai Deli Terpadu dan Menyeluruh

4.3.1 Konsep Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS terpadu adalah merupakan suatu proses formulasi dan

implementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam,

sumberdaya buatan dan manusia dalam suatu DAS ddengan mempertimbangkan aspek-

aspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Dalam konsep keterpaduan ini juga tercermin perlunya berbagai

disiplin ilmu yang mendasari berbagai jenis kegiatan.

No Uraian Keterangan
1 Luas 48.162 Ha
2 Letak 3˚12’58”- 3˚47’15”
98˚28’50”- 98˚41’50”
3 Rentang Wilayah Kab. Karo
Kab. Deli Serdang
Kota Medan
4 Sub- DAS Sub DAS Petani
Sub DAS Simai-mai
Sub DAS Bekala
Sub DAS Babura
Sub DAS Sikambing
Sub DAS Paluh Besar
5 Panjang Sungai Utama 61,34 km
6 Panjang DAS 71,91 km
7 Lebar 5,58 km

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 84


USU Repository © 2009
8 Kerapatan Drainase 0,871 (variable) Sifat kepadatan aliran : tidak
mudah terjadi penggenangan maupun kekeringan
9 Debit (M³/detik) Kondisi DAS kurang baik. Aliran sungai deras
pada musim hujan. Sungai hampir kering pada
masa kemarau.
10 Curah hujan rata-rata Hulu dan tengah (>2.000 mm/tahun)
Hilir (1.000-1.500 mm/tahun)

44
Tabel 4. Profil DAS Deli

Kondisi suatu DAS dianggap mulai terganggu apabila koefisisen aliran air

cenderung terus naik dari tahun ke tahun, tinggi permukaan air tanah berfluktuasi secara

ekstrim. Gambaran terganggunya kondisi DAS tersebut juga terlihat pada DAS Deli. Pola

Hidrograf aliran sungai Deli menunjukkan kecenderungan penyimpangan dari yang

normal antara lain : fluktuasi aliran debit air maksimum dan minimum yang telah

mencolok, pergeseran waktu debit puncak terhadap waktu debit puncak normal,

terdapatnya debit puncak ganda (double peak) pada suatu periode kalender hidrologi yang

terlihat nyata pada tahun 1994. sinyal lain adalah frekuensi banjir yang semakin rapat

seperti banjir yang terjadi dalam selang waktu dua tahun terakhir yaitu pada tanggal 22

November 1994 dan tanggal 22 November 1996.

No Wilayah Indikasi Penyebab Akibat Keterangan


DAS Deli
1 Hulu 1. Penebangan kayu Perubahan tenaga Desa Berneh

44
Hasibuan, Gindo Maraganti, Op Cit,, hlm. 45

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 85


USU Repository © 2009
legal dan illegal erosivitas.
2. Perubahan fungsi Ekosistem berubah
Pemukiman terselubung
kawasan di Bumi Perkemahan
3. Pencurian serasah
Perubahan infiltrasi Sibolangit
tanah potensial Kec. Simpang Empat
2 Tengah 1. Perubahan fungsi
Ekosistem Maraknya bangunan-
kawasan terganggu bangunan liar sepanjang
Erosi, sedimentasi jalan.
2. Galian C Pengambilan pasir.
3 Hilir 1. Pembuangan Polusi dan Dimulai dari kelurahan
sampah / limbah penyumbatan aliran Titi kuning
sungai
2. Perubahan fungsi Ekosistem Bangunan berdekatan
kawasan terganggu sempadan sungai Deli
(kota Medan)
Tabel 5. Indikator penyebab ketidaknormalan DAS Deli 45

Dari tabel dapat dilihat bahwa luasan lahan kritis di ekosistem DAS Deli hampir

mencapai separuh luasan total, yang secara teoritis akan sangat berpengaruh terhadap

kelestarian kawasan DAS Deli. Hampir dapat dipastikan, kenormalan aliran sungai (Run

Off ) DAS Deli berada dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Keadaan ini jelas akan

merubah nilai infiltrasi sudah turun beberapa tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya.

Rusaknya vegetasi penutup lahan di DAS Deli yang berpengaruh terhadap infiltrasi lewat

tiga bentuk, yaitu : pemekaran dan pori-pori memperbesar permiabilitas tanah, vegetasi

menahan Run- Off dan vegetasi mengurangi jumlah air perkolasi melalui transpirasi.

Kondisi vegetasi DAS Deli juga mempengaruhi erosi melalui beberapa proses. Tajuk pohon

45
Hasibuan, Gindo Maraganti, Ibid, hlm. 47

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 86


USU Repository © 2009
akan mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan ukuran butir

tetes hujan.

Memasuki wilayah Medan (Titi Kuning), kondisi sungai sudah sangat

memprihatinkan. Sangat banyak ditemukan penyempitan-penyempitan, terlebih pada titik

pertemuan antara Sungai Deli dan Sei Bekala, sangat banyak terlihat sampah yang dibuang

sembarangan oleh masyarakat dan perlahan terhanyut ke sungai. Sungai Bekala bersumber

dari hutan Selatan Simalingkar B (Perkebunan Bekala). Aliran sungai sangat tererosi,

bahkan pada saat kemarau sekalipun. Aliran sungainya sarat muatan tanah hasil erosi dan

sampah/limbah, yang selanjutnya bersatu dengan sungai Deli di Titi Kuning. Setelah

melewati Titi Kuning, aliran sungai Deli banyak membawa material-material sampah. Hal

ini diperparah dengan sempadan sungai yang sangat rapat dengan pemukiman penduduk.

Titik yang paling parah kondisinya adalah pada Kelurahan Maimun (Sukaraja),

pemukiman penduduk di daerah ini sampai ke belakang kantor DPRD Tk 1 Sumatera

Utara. Kelurahan Sei Deli (belakang kampus IBBI) merupakan muara pertemuan antara

Sungai Deli dan Sungai Babura. Kondisi sungai di daerah ini sangat memprihatinkan

(sangat sempit) ditambah dengan rapatnya pemukiman pada sempadan sungai. Melewati

titik muara ini aliran sungai sampai bertemu dengan Sei Sikambing dan Paluh Besar sudah

cukup baik (sudah diperbesar).

Dengan demikian, kondisi Sungai Deli terutama pada wilayah Kota Medan sangat

dipengaruhi kondisi Sungai Babura dan Sungai Bekala. Kedua sungai ini memberikan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 87


USU Repository © 2009
kontribusi yang sangat besar terhadap keadaan DAS Deli di hilir. Sedangkan di daerah

hulu, kondisi kawasan ekosistem DAS Petani dan Simai-mai secara indikatif mempunyai

peran yang sangat besar terhadap permasalahan di wilayah metropolitan Mebidang dibagi

menjadi 8 kelompok besar, yaitu: prasarana, kemiskinan kota, kelembagaan, lingkungan

kota, ekonomi kota, pembiayaan kota, pertanahan dan perumahan.

Semakin meningkatnnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk menyebabkan

penggunaan lahan di kawasan tepi air ikut dimanfaatkan antara lain untuk pusat

pengembangan kegiatan industri, parawisata, komersil, agrobisnis, pemukiman, transportasi

dan pelabuhan. Kawasan tepi air memiliki karakteristik/keunikan dan amat bervariasi

tergantung dari keadaan geografis, sejarah, budaya, kepentingan politik dan berbagai

potensi yang dimiliki oleh kota tersebut. Khusus banyaknya pemukiman penduduk/lokasi

komersil di sepanjang bantaran sungai Deli dan anak-anak sungainya harus mempunyai

ngaris sempadan 5-15 m untuk melewatkan debit banjir dan sebagai jalan inspeksi dalam

upaya menata lingkungan/kebersihan dan utamanya penyelamatan jiwa manusia. Prinsip

perencanaan kawasan tepi air dapat dimanfaatkn sebagai dasar pengembangan kawasan

khususnya pembangunan baru kawasan tepi air, tapi tidak menutup kemungkinan untuk

dijadikan wacana bagi pembangunan atau konservasi, pada prinsipnya melaksanakan hal

sebagai berikut :

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 88


USU Repository © 2009
a. Karakteristik kawasan tepi air antara lain keadaan alam (geografis), bangunan di

tepi air harus menghadap ke dungai, penatapan landscape, pema pengembangan,

pemanfaatan air.

b. Kebijakan yang berkaitan dengan penataan di tepi air sungai Deli, Babura dn

anak-anak sungainya, garis sempadan, akses, dan bangunan.

c. Faktor pertimbangan pembangunan berdasarkan lingkungan, pembebasan lahan

(faktor pendorong dan penghambat).

Dengan maksud tersebut, maka kawasan tepi sungai yang biasanya kumuh dapat

berubah menjadi suatu tempat yang indah. Dalam program jangka panjang, terdapat upaya

untuk melaksanakan program pengendalian banjir non-struktural yaitu memindahkan

masyarakat yang ada di sepanjang tepi sungai Deli ke rumah susun, namun hal ini

tergantung pada dana yang tersedia.

Peran investor pada pembangunan tepi Sungai Deli dan Sunga Babura sangat

diperlukan dalam upaya menata kawasan tepi Sungai Deli dan Sungai Babura menjadi

tempat yang indah dan nyaman tetapi harus mengikuti garis sempadan, bangunan harus

menghadap sungai dan seandainya ada pemindahan penduduk harus dengan ganti rugi yang

layak dan manusiawi (upaya untuk memindahkan penduduk untuk mengamankan mereka

dari bahaya banjir yang pada umunya tinggal di bantaran tsnps pengamanan yang memadai

dan bangunan sungai yang diperlukan). Investor disamping dapat memperindah tepi

kawasan sungai Deli dan Babura juga membantu mempercepat program Proyek banjir

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 89


USU Repository © 2009
Medan untuk perbaikan dan pengaturan Sungai Deli dengan membuat lining di sepanjang

Sungai Deli dan Sungai Babura.

Jika hal ini dapat terwujud, hal utama lain yang dapat dilakukan adalah membuat

transportasi air dari Belawan sampai dengan Medan, Simalingkar, dan Titi Kuning yang

sebelumnya dilakukan penataan kedalaman Sungai Deli dan Sungai Babura), hal ini secara

prinsip dapat mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan raya di kota Medan. Juga mengingat

sejarahnya, peran Sungai Deli sebagai sarana jalur transportasi yang banyak disinggahi

tongkang-tongakang dan penentu kelancaran roda ekonomi di kota Medan, namun itu

ssemua telah berubah menjadi suatu ketidakpedulian. Yang dibutuhkan adalah hanyalah

kesadaran masyarakat kota Medan akan kelestraian sungai-sungai yang membelah kota

Medan dimana sungai-sungai ini pernah memberikan manfaat yang sangat besar dan

bukanlah bencana yang sering kali masyarakat kota Medan menyalahkan sungai-sungai ini

seperti banjir, tentu saja.

4.4 Pembiayaan Dana Operasi dan Pemeliharaan

Dana yang sudah diinvestasikan untuk Sungai Deli dan anak-anak sungainya adalah

± Rp. 500 milyar, demikian juga dana yang sudah diinvestasikan untuk drainase kota

Medan baik pada proram MMUDP maupun dari Pemerintah Kota Medan yaitu sebesar Rp.

500 miliyar, sehingga total investasi yaitu sebesar ± 1 triliun.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 90


USU Repository © 2009
Disadari bahwa bangsa Indonesia sangat gemar membangun, tetapi jarang untuk

memelihara bangunan tersebut termasuk drainase dan sungai yang ada di kota Medan.

Walaupun berdasarkan UU bahwa sungai lintas kabupaten/kota, merupakan tugas

pemerintah provinsi, namun karena keterbatasan dana, maka hal ini dapat dilaksanakan

oleh pemerintah kota tersesbut dalam hal inii kota Medan khususnya masalah operasi dan

pemeliharaan drainase. Sehingga masalah drainase menjadi masalah tanggungan

Pemerintah Kota Medan, dan merupakan hal yang wajar jika hujan turun, kota Medan

masih tetap banjir. Hal ini perlu ditekankan bahwa drainase kota Medan telah rampung 70

% sedangkan Sungai Deli dan anak-anak sungainya baru mencapai 50 %, sehingga hal ini

merupakan suatu keharusan agar bangunan yang sudah ada dapat berfungsi sebagimana

mestinya dan tidak menjadi dangkal akibat adanya sedimentasi ataupun endapan sampah

dan sebagainya.

4.5 Peran Serta Masyarakat dan Pemerintah Kota Medan

Peran serta masyarakat untuk memelihara drainase di depan rumah atsupun di

lingkungan sekitarnya sangatlah minim. Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi nterhadap

mereka bahwa drainase di depan rumah ataupun lingkungannya harus dipelihara oleh

masyarakat yang ada tinggal di sekitarnya wilayah tersebut, selain itu peran aparat

pemerintah setempat belum optimal dalam memberdayhakan potensi yang ada pada

masyarakat sehingga masyarakat kurang responsive terhadap lingkungannya sendiri.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 91


USU Repository © 2009
Dalam rangka pengembangan komunitas, peran fasilitator dalam pembangunan

masyarakat di kota Medan diperlukan sosialisasi secara terus menerus baik melalui aparat

pemerintah, Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) dengan cara sosialisasi langsung melalui

berbagai metode dan alat untuk ikut berpartisipasi menjaga lingkungan di Kota Medan,

masalah drainase perkotaan dan pinggiran sungai di Kota Medan agar masyarakat sadar dan

aktif bahwa keterbatasan dana pemerintah untuk biaya pemeliharaan drainase kota maupun

sungai perlu diimbangi dengan adanya peran serta masyarakat untuk melaksanakan

kegiatan pemeliharaan tersebut baik secara perseorangan maupun gotong royong.

Masyarakat setempat bersedia untuk bergotong royong dan lingkungannya, namun menurut

mereka belum ada tokoh masyarakat atau kepala lingkungan yang memimpin untuk

pekerjaan tersebut.

Berdasarkan kondisi tersebut peran aktif pemerintah, LSM dalam memberdayakan

masyarakat untuk mengatasi dan pengelolaan banjir di lingkungannya adalah suatu

kebutuhan yng mendesak. Menumbuh suburkan semangat gotong royong, sadar lingkungan

adalah suatu satu solusi agar drainase dapat terawat dan terpelihara dengan baik sehingga

banjir secara bertahap dapat dikurangi. Khusus untuk masyarakat yang bermukim pada

DAS Hulu dan Tengah agar tetap menjaga kelestarian hutan dan lingkungan tempat

tinggalnya serta bercocok tanam yang tidak menimbulkan erosi. Untuk hal ini perlu

sosialisasi dan pemberdayaan khusus.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 92


USU Repository © 2009
4.6 Pembentukan Lembaga dan Dewan Kota

Berdasarkan kondisi tersebut maka dipandang perlu diusulkn dibentuk Lembaga

Pengelolaan terpadu tersebut. Dengan maksud dan tujuan adanya suatu kelembagaan di

tingkat provinsi, karena sungai Deli lintas kabupaten/kota yang mempunyai tugas yang

tegas dan jelas untuk dapat berkoordinasi dengan semua stakeholder yang ada pada DAS

Deli tersebut, yang muaranya adalah upaya untuk mitigasi banjir di kota Medan. Dimana

sebelumnya kekuatan politik, sangat berperan untuk membentuk lembaga terpadu ini,

karena bersifat sungle authority sehingga diperlukan satu kebijakan pada DAS Deli

tersebut.

Pemerintah lokal terlibat dalam isu lingkungan sebagai pelaku sentral dalam

manajemen perkotaan. Pemerintah lokal memiliki tugas menyeimbangkan isu-isu

lingkungan yang berkaitan dengan tekanan politik perkotaan ; anggaran belanja yang sehat

dan berimbang, tekanan untuk diadakan pemilihan, kebutuhan akan sistem transportasi

yang memadai, kesehatan dan kesejahteraan, masalah sosial dan kelompok berkepentingan

yang bersaing untuk melakukan pendekatan. Dalam prakteknya, pemerintah lokal juga

merupakan aktor penting yang mewakili, dan hingga batas tertentu memberdayakan, jika

memperhatikan lingkungan. Pemerintah lokal menyalurkan kepentingan lingkungan ke

dalam proyek-proyek prakarsa dan kolaboratif yangterdiri dari berbagai aktor. Hal tersebut

mencakup poyek-proyek perencanaan dan koordinasi, dan terkadang mengatur kegiatan

aktor-aktor lainnya dan menengahi di antara perbedaan-perbedaan dan terkadang

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 93


USU Repository © 2009
persaingan kepentingan. Keputusan-keputusan yang sulit dan controversial tidak dapat

dihindari. Pemerintah Metropolitan Tokyo telah melakukan penjelajahan mengenai

kombinasi terbaik dan UU yang dilaksanakan dari atas ke bawah dan aturan-aturan yang

bersifat inisiatif dan secara sukarela dilaksanakan dari bawah ke atas oleh warga negara dan

pada aktor komersial. Dalam hal ini, pemerintah lokal harus mengahadapi isu yang paling

sensitif dalam bidang kebijakan tersebut : manfaat intervensi dalam manajemen isu

lingkungan perkotaan, prioritas dalam alokasi sumber-sumber, dan bercampurnya beragam

kepentingan yang harus diseimbangkan dan dipenuhi. Sejumlah instrument digunakan

seperti sanksi, subsidi, denda keuangan, orodansi yang dapat dilaksanakan, hukum

perencanaan, kampanye publik untuk mendorong dan memudahkan pendekatan yang

berbasis komunitas, dan melakukan promosi dan memberi kemudahan bagi jaringan dan

kemitraan perkotaan di seputar isu lingkungan. Pendekatan pemerintah lokal cenderung

menjadi penyeimbang antara metode yang lebih keras dan metode yang lebih lembut, tetapi

dengan lebih menekankan pada metode yang terakhir.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 94


USU Repository © 2009
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 95


USU Repository © 2009
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka sampailah penulis pada

bab terakhir, yaitu kesimpulan. Dalam bab ini penulis berusaha untuk menyimpulkan

pembahasan-pembahasan sebelumnnya.

Sebelum tahun 1970 kota Medan memang mengalami bencana banjir namun apabila

ditelusuri lebih dalam, tahun-tahun berikutny hingga tahun 1990 intensitas dan fluktuasi

banjir yang banyak merugikan semua pihak telah mengalami peningkatan yang drastis, hal

ini disebabkan oleh banyak hal seperti pemekaran wilayah yang membawa tingkat

urbanisasi yang tinggi ke kota Medan sehingga secara tidak langsung menyebabkan

masyarakat yang banyak itu semakin membutuhkan tempat tinggal yang mana lahan-lahan

yang mereka tinggali itu adalah lahan cagar alam untuk menahan banjir di bagian hulu.

Kemudian manajemen tata air yang kurang optimal menyebabkan ketidakteraturan

drainase dan kurangnya komunikasi di antara berbagai instansi terkait juga menambah

permasalahan bencana banjir yang sering melanda kota Medan. Bahkan diduga peran serta

pemerintah untuk menangani masalah ini kurang mengena dan terkesan sia-sia belaka.

Padahal kerugian sebagai dampak bencana banjir dan penanggulangan yang telah

menelan biaya yang banyak itu seharusnya menjadi cerminan bagi seluruh elemen dan

anasir yang ada di kota Medan untuk berpikir secara logis untuk segera mengambil langkah

pasti dalam menyelesaikan masalah banjir di kota Medan. Maka dari metode-metode yang

digunakan harus optimal dengan berspektif lingkungan yang lebih manusiawi dan alami.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 96


USU Repository © 2009
5.2. Saran

Maka metode yang ampuh untuk penangan banjir di kota Medan adalah

penyelesaian integral yang harus segera diprogramkan, jika tidaka maka hanya gali lubang

tutup lubang, artinya penanganan banjir malahan dapat menimbulkan banjir di kawasan-

kawasan yang baru.

Perlu perencanaan berjangka untuk mengatasi baNjir di kota Medan. Antara lain

menahan air di bagian hulu dan menarik air di bagian hilir, kemudian membagi air yang

berlebihan tersebut (banjir) di sepanjang alur sungai dari hulu sampai ke hilir menjadi

banjir kecil-kecil daripada terkumpul menjadi banjir besar di suatu tempat tertentu yang

jarang penduduknya. Akan tetap perilaku manusia yang sering kali tidak peduli terhadap

lingkungan juga berperan menyebabkan banjir, yakni jika mereka membuang sampah

seenaknya sehingga sampah-sampah tadi menyumbat aliran air.

Pada dua dasawarsa terakhir, banjir di kota Medan makin meningkat, baik besaar

maupun frekuensinya. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya debit banjir dari daerah

tangkapan air, berkurangnya kapasitas saluran akibat sedimentasi, hilangnya tampungan

banjir alamiah berupa rawa-rawa, dan akibat amblasan muka tanah.

Ada beberapa persoalan yang dapat dikemukakan disini berkaitan dengan

rendahnya efektifitas system pengendalian banjir kota Medan, yaitu di antara lain :

Persoalan Teknis

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 97


USU Repository © 2009
1. Upaya penanggulangan banjir yang telah dilakukan maupun yang diprogramkan

belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya, masih berkutat pada

peningkatan kapasitas sungai atau saluran yang tidak mungkin dapat mengejar

peningkatan debit banjir yang terjadi.

2. Master Plan Pengendalian Banjir/Drainase belum diajadikan acuan dalam setiap

kegiatan penanggulangan banjir, sehingga masih terjadi ketidaksinkronan system

drainase yang terbangun yang ditangani oleh beragai instansi, lembaga, swasta

maupun masyarakatnya sendiri.

3. Perubahan karakteristik watak banjir, puncak banjir semakin besar dan datangnya

makin singkat.

4. Kawasan di dataran banjir telah berkembang dengan sangat pesat menjadi kawasan

permukiman, industri, perdagangan yang padat, sehingga upaya penanggulangan

banjir lebih banyak bersifat tambal sulam dan represif.

5. Pemanfaatan bantaran sungai atau daerah sempadan sungai tidak pada tempatnyna,

banyak bangunan berada pada bantaran bahkan di badan sungai, dan di atas saluran

tanpa ada tindakan penertiban.

6. Kinerja system pengendalian bnjir yang telah ada tidak optimal akibat tidak adanya

program dan pendanaan Operasi dan pemeliharaan (OP) yang memadai.

7. penanganan masalah banjir secara teknis sering tidak mengenal batas administrasi

dan merupakan satu system, namun dari segi administrasi sering harus dipisah.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 98


USU Repository © 2009
Persoalan non-Teknis

1. Upaya menangani banjir selama masih ini msih berorientasi pada proyek dan

bersifat top down dan represif structural, sehingga peran serta masyarakat masih

sangat rendah. Banyak para pejabat bidang pengairan beranggapan bahwa asal ada

dana maka permasalahan banjir akan dapat diatasi dengan tuntas.

2. Persepsi masyarakat yang kurang pas terhadap upaya penanganan banjir yang

dilakukan oleh pemerintah secara terstruktur. Masyarakat menganggap bahwa

upaya yang dilakukan akan selalu dapat menuntaskan permasalahan banjir di

kawasan tersebut.

3. Kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk memelihara sarana dan prasara system

drainase masih sangat rendah. Masyarakat masih bahwa saluran air/sungai

merupakan halaman rumah back yard, yaitu tempat pembuangan segala jenis

limbah baik padat maupun cair.

4. Masyarakat luas belum dapat memahami sepenuhnya tentang fenomena banjir yang

bersifat dinamis.

5. Potensi konflik daerah sangat mungkin sehubungan dengan batas administrasi yang

berbeda dengan batas system drainase.

6. Penegakan hukum belum berjalan dengan baik.

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 99


USU Repository © 2009
Daftar Pustaka

Beetoven, Bos., rencana Pengendalian Terpadu Banjir Kota Medan, Medan : The DELFT

Hydrolics, 2003

Breman, Jan., Menjinakkan Sang Kuli, Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20, (terj),

Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997

Budiharjo, Eko., Hadjohubojo, Sudhanti., Kota Berwawasan Lingkungan, Bandung :

Penerbit Alumni, 1993

Colombijn, Freek., Darwegen, Martine., Baskoro, purmawan., Khusyaini, Jhony Alfian

(ed)., Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-kota di Indonesia, Yogyakarta : Ombak,

2005

Efendi, Said., Strategi Pembangunan Menuju Kota Medan Bestari, Medan : yayasan Pola

Pembangunan Daerah, 1997

Haldun, Muhammad, Implikasi Normalisasi Sungai Sei Badera Terhadap Permukiman

Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan (Thesis), Medan : Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, 2008

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 100
USU Repository © 2009
Hasibuan, Gindo Maraganti., Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu dalam

Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan, 2005

JICA Main Report, The Study on Belawan Padang Intergrated River Basin Development,

Medan : 1992

Kantor Badan Pusat Statistik kotamadya Medan, Kotamadya Medan Dalam Angka Tahun

1979

Kantor Statistik Propinsi Sumatera Utara dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Tingkat II Propinsi Sumatera Utara, Sumut Dalam Angka 1988

Kodoatie, Robert J dan Sugiayanto, Banjijr, Beberapa Penyebab dan Metode

Pengendaliannya Dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

2002

Koestoro, Lucas Partanda, dkk., Medan, Kota di Pesisir Timur Sumtaera Utara dan

Peninggalan Tuannya, Medan : Balai Arkeologi Medan, 2006

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994

McNaughton., Wolf, Larry C, Ekologi Umum (terj) Sunaryo Pringsoseputro dan

Srigandono, Yogyakarta : UGM Press, 1990

Marbun, B.N ., Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Jakarta : Erlangga,

1990

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 101
USU Repository © 2009
Maryono, Agus., Ekohidrolik Pembangunan Sungai, Menanggulangi Banjir dan Kerusakan

Lingkkungan Wilayah Sungai, Yogyakarta : Magister system Teknik Program Pasca

Sarjana UGM, 2005

Miraza, Bachtiar Hasan., Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Bandung : ISEI, 2005

Pemprov Daerah Tingkat I,Rencana Pembangunan(REPELITA) Provinsi Daerah Tingkat I

Sumatera Utarra,1989/90-1993/94, Medan 1989

Reksohadiprojo, Sukanto., ekonomi Perkotaan, Yogyakarta : BPFE UGM, 2001

Said, Mohammad., Koeli Kontrak tempoe Doeloe, Medan : PT Harian Waspada, 1990

Siswoko., Banjir, Masalah banjir dan Upaya Mengatasinya, Jakarta : 2002

Siregar, Arifin., Kegunaan Analisa Dampak Lingkungan Kaitannya dengan Pelaksanaan

Pembangunan, Medan : Fakultas Hukum USU, 1981

Suripin., Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Yogyakarta : Penerbit ANDI,

2004

Tim Pengumpulan, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan pemerintahan

Kotamadya Daerah Tingkat II medan, Sejarah Perkembangan Pemerintahan

Kotamadya daerah Tingkat II Medan (bahan seminar), Medan : Tanpa Penerbit,

Tanpa Tahun

Wahid, Ramli Abdul., Zulkarnaen, Iskandar., Soepriatoyo, Edwin., Kiat Bang Dillah

Membangun Medan, Medan : Medan Madani Center, 2005

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 102
USU Repository © 2009
Surat Kabar :

Kompas, 1 November 2004 : “Medan Menuju Kota Metropolitan”

Waspada, Kamis 11 Desember 2003 : ”Proyek Pengendalian banjir Terbengkalai ganti Rugi

Tanah

Waspada, 20 Oktober 2004 : “ Medan Banjir, Ratusan Rumah Terendam”

Waspada, 25 Oktober 2004 : “ Tim Banjir Belanda Mulai Lakukan perawatan Drainase”

Analisa, 9 Juli 2005 : “ Kota Medan ‘Langganan’ Banjir, Kadis PU bagai Tak Peduli,

Sejumlah Kawasan di Pusat Perdagangan Belum Mampu ‘Dibebaskan’ dari Banjir”

Sinar Indonesia Baru, 3 Agustus 2005, “ Proyek Pengendalian banjir Dinas PU Medan

Belum Mampu Bebaskan Kota Medan dari Banjir”

Lampiran 1

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Dalijah
Umur : 75 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Jl. Gatot Subroto Km. 10, Kecamatan Medan Sunggal
2. Nama : Lisa Nova

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 103
USU Repository © 2009
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Tempat Tinggal : Jl. Bambu Runcing, Kecamatan Medan Kota
3. Nama : Rusmawati
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Jl. Sisingamangaraja, Simpang Amplas, Kecamatan Medan
Amplas
4. Nama : Khadijah
Umur : 67 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tempat Tinggal : Jl. Pemuda, Kecamatan Marelan

Lampiran 2

Daftar Gambar

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 104
USU Repository © 2009
Gambar 1. Suasana ketika terjadi banjir di jalan Gatot Subroto km. 8,5

Medan Flood Control Project

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 105
USU Repository © 2009
Gambar 2. Medan Flood Control Project 1990

Gambar 3. Suasana banjir Jln. Asia Medan 1980

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 106
USU Repository © 2009
Gambar 4. Banjir membuat masyarakat kesulitan keluar rumah

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 107
USU Repository © 2009
Gambar 5. Tepian Sungai Deli. Jembatan Helevetia. Medan

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 108
USU Repository © 2009
Gambar 6. Medan Flood Control 1990

Gambar 7. Banjir di Kelurahan Aur

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 109
USU Repository © 2009
Gambar 8. Sungai Deli 1968

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 110
USU Repository © 2009
Gambar 9. Menara Ayer Bersih

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 111
USU Repository © 2009
Gambar 10. Enterpreuner Kota Medan Tjong A Fie bersama Staf Deli Bank

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 112
USU Repository © 2009
Gambar 11. Perkembangan Kota Medan awal abad ke-20

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 113
USU Repository © 2009
Gambar 12. Peta Kota Medan pada Masa Penjajahan Belanda

Piolina : Banjir Di Kota Medan : Suatu Tinjauan Historis 1971-1990-An, 2009. 114
USU Repository © 2009

Anda mungkin juga menyukai