Anda di halaman 1dari 26

PENINGKATAN KETERAMPILAN MENULIS TEKS PIDATO SISWA

KELAS IX SMPN 1 TALANG JAWA

PROPOSAL PENDIDIKAN

oleh:

Daud Dewa Berlianza


NIM 06021381823052

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
1 PENDAHULUAN

2.1. Latar Belakang

Kemampuan berbicara adalah bagian bahasa yang penting. Kemampuan


berbicara membantu orang dengan saling berbagi pemikiran atau kesimpulan.
Kemampuan ini juga merupakan salah satu kemampuan yang harus didominasi
siswa dalam pembelajaran. Instruktur sebagai guru harus memiliki pilihan untuk
memilih materi yang sesuai dalam menguasai kemampuan berbicara. Salah satu
penguasaan materi kemampuan berbicara yang seharusnya dimungkinkan secara
relasional adalah wacana.

Berbicara menjadi bagian sebelum pertemuan massal. Seseorang yang


memiliki kemampuan berbicara akan dengan mudah menyampaikan
pemikirannya dan diharapkan dia akan unggul dalam hal memajukan pemikiran
tersebut sehingga dapat diketahui oleh orang lain. Kemudian lagi, jika seseorang
membutuhkan kemampuan berbicara, secara positif ia akan menemui kesulitan
dalam menyampaikan rencananya kepada orang lain, dan diperkirakan ia akan
mengalami kekecewaan karena biasanya pembicaraan tersebut kurang menarik,
sehingga sulit untuk dipahami.

Salah satu jenis wacana yang sering digunakan adalah wacana. Bagian
dari pidato, ceramah, dan perkenalan lisan ke pertemuan massal adalah sesuatu
yang penting. Orang-orang yang terampil berbicara tidak diragukan lagi dapat
menguasai mayoritas, dan menang dalam hal memperkenalkan pikiran mereka
sehingga mereka dapat diakui oleh orang lain. Seorang tokoh di mata publik,
pelopor, peneliti dan spesialis

harus memiliki kemampuan berbicara yang hebat. Seorang pembicara


yang baik memiliki ketabahan, watak yang tenang di hadapan mayoritas, dapat
merespon dengan cepat dan tegas, dapat memperkenalkan pemikirannya dengan
mudah dan rutin, serta menunjukkan mentalitas dan gerakan yang tidak kacau
(Keraf, 1984: 315).
Pidato Persuasi merupakan wacana yang disampaikan untuk
mempengaruhi perasaan dan mengajak seseorang untuk bergerak sesuai
keinginan pembicara. Latihan wacana sering dialami di masyarakat umum kita,
karena wacana adalah pendekatan untuk menyampaikan sesuatu yang penting
kepada orang banyak dalam keadaan formal dan santai. Ada wacana yang
mencerahkan, sportif, dan memikat (Rakhmat, 2009: 89).

Untuk Lincoln (melalui Rahkmat, 2009: 16), pepatah Latin yang membaca
qui ascendit sine labore, menghormati pengerjaan descindet (individu yang naik
tanpa kelemahan, akan menyelam tanpa kehormatan). Ada banyak hal yang
harus dipikirkan bagaimana merencanakan dan mempengaruhi seseorang
sehubungan dengan wacana pengaruh yang merupakan kemampuan berbicara
tutur bagi siswa smp ketika semua sudah dikatakan selesai. Dominasi
kemampuan wacana mahasiswa dapat dikenali dari materi apa yang dikenalkan,
kesiapan mental, kesesuaian perkembangan kinesik, dan menjadi individu yang
informatif saat mengelola keramaian. Dengan demikian, instruktur sebagai
fasilitator memiliki peran yang berfungsi untuk memberikan dorongan kepada
siswa dengan tujuan agar mereka tertarik untuk mempelajari wacana pengaruh.

Pembicaraan oleh siswa smp secara teratur ternyata buruk. Begitu pula
dengan wacana pengaruh pembelajaran pada Mama Wahid Hasyim Sleman.
Berdasarkan persepsi primer pada tanggal 5 Mei 2011 pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia di kelas IX IPS Wahid Hasyim Sleman ditemukan bahwa
kemampuan wacana siswa masih rendah. Sebagian besar siswa kelas IX merasa
sulit untuk melacak, mengekspresikan, dan menciptakan pemikiran selama
latihan wacana di kelas. Seringkali pembicaraan dilakukan dengan metode teliti
teks sehingga tidak ada kesungguhan dalam latihan ini. Salah satu alasan
pendidik belum pernah memanfaatkan media membuat siswa menjadi kurang
tanggap dalam melatih kemampuan wacana. Mayoritas siswa adalah siswa yang
tinggal di lingkungan pesantren. Hal ini menyebabkan para pelajar yang juga
santri membayangkan bahwa berbagai percakapan disampaikan dengan cara
bicara yang ketat.

Pelaksanaan kegiatan berpidato persuasi harus mendominasi materi untuk


memiliki opsi yang mampu melakukannya. Mempengaruhi kemampuan wacana
membutuhkan banyak pelatihan dan informasi sebelum memperkenalkan
mereka. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari cara bagaimana memberikan
wacana yang layak dan langkah apa yang harus diambil saat memberikan
wacana pengaruh. Dengan cara ini, siswa perlu memperoleh informasi tentang
wacana pengaruh pembelajaran di sekolah.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah sering dianggap kecil dan


sederhana oleh siswa. Selain itu, ketika dihadapkan pada kemampuan berbicara,
terutama dalam merealisasikan wacana, yang tampaknya sulit dilakukan.
Pemahaman kurang tertarik dengan pengaruh kemampuan wacana. Pemahaman
sering kali mengeluh ketika dialokasikan untuk acara wacana, merasa tidak siap
dan salah mengira materi yang diperkenalkan, takut menyimpang, dan khawatir.

Sebagai alternatif untuk mengatasi masalah tersebut, media item item


dapat digunakan sebagai metode untuk menemukan pemikiran yang membantu
kecukupan dan daya cipta siswa dalam meningkatkan pengaruh pembelajaran
wacana. Benda benda diberi nama benda media (Susilana, 2008: 22). Manfaat
media barang dapat digunakan sebagai sarana awal untuk pemikiran dan alat
peraga yang digunakan untuk menemukan dan menciptakan materi wacana,
menarik keuntungan siswa, memudahkan siswa untuk berbicara dengan
penonton, dan sebagai sarana untuk mencari siswa. lebih yakin sehingga mereka
tidak khawatir dan cemas saat memberikan pidato pengaruh. .

Pengaruh wacana pemanfaatan media soal merupakan salah satu


perkembangan media pembelajaran yang sangat menarik. Karena media bukan
hanya sekedar alat, tetapi juga memiliki tugas penting untuk dilakukan dalam
membuat sarana pembelajaran yang layak dan efektif. Setiap ukuran
pembelajaran dan pelatihan dijelaskan dengan adanya beberapa komponen yang
meliputi target, materi, strategi dan media, hanya sebagai penilaian. Komponen
strategi dan media merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari
berbagai komponen yang berfungsi sebagai strategi atau metode penyampaian
materi pembelajaran untuk mencapai tujuannya (Sudjana, 2009: 99). Dalam
mencapai tujuan tersebut media memegang peranan penting mengingat dengan
media ini materi secara efektif dirasakan oleh mahasiswa (Sudjana, 2009: 99).

3.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang merupakan titik tolak penelitian ini, yaitu:
Bagaimanakah kemampuan menulis pidato siswa kelas IX SMPN 1 Talang Jawa?

3.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan kemampuan menulis pidato siswa kelas IX SMPN 1 Talang
Jawa.
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori


Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini dan juga untuk memeroleh
sejumlah referensi yang berkaitan erat dengan objek atau fokus penelitian, maka
peneliti menguraikan secara konseptual berbagai teori yang dijadikan sebagai
landasan penelitian.

2.2. Menulis

2.2.1 Pengertian menulis

Menulis adalah menurunkan atau menampilkan gambar-gambar realistik


yang menggambarkan suatu bahasa yang dirasakan oleh seseorang, sehingga
orang lain dapat membaca gambar-gambar realistik tersebut jika mereka
memahami bahasa dan gambar-gambar realistik tersebut. Untuk situasi ini,
pembaca diharapkan memiliki pilihan untuk membaca gambar realistis dan
memahami pentingnya mereka. Untuk situasi ini, pembaca diberi kesempatan
untuk menguraikan gambar realistis sesuai wawasan dan pengalaman mereka
(skema) (Tarigan, 1992: 21).

Seperti yang diindikasikan oleh Semi (2007: 14), mengarang merupakan


interaksi imajinatif dari pemikiran yang bergerak ke dalam gambar yang
mengarang. Dalam pengertian ini, mengarang memiliki tiga sudut pandang
fundamental. Untuk memulainya, ada tujuan atau alasan tertentu yang harus
dicapai. Kedua, ada pemikiran atau sesuatu yang ingin disampaikan. Ketiga, ada
kerangka untuk menggerakkan pikiran, khususnya sebagai kerangka bahasa.
Untuk situasi ini, mengarang merupakan cara untuk menggerakkan pemikiran
atau pemikiran seorang pengarang dengan tujuan tertentu melalui media
pengarang. Setiap penulis esai atau penulis memiliki ide atau pemikiran yang
perlu dia sampaikan atau turunkan kepada orang lain. Untuk situasi ini, dia perlu
membuat penafsiran pikirannya menjadi kode lisan yang oleh karena itu diubah
menjadi kode tersusun. Terlebih lagi, mengarang adalah melahirkan perenungan
atau sentimen dengan mengarang (KBBI, 2008: 1497).

Menulis adalah gerakan korespondensi melalui penyampaian pesan


(data) yang direkam dalam bentuk hard copy ke berbagai pertemuan dengan
memanfaatkan bahasa gubahan sebagai alat atau media. Latihan menyusun
meliputi beberapa komponen, khususnya: penulis esai sebagai kurir, substansi
komposisi, saluran atau media, dan pembaca (Dalman, 2015: 5).

Penilaian lain tentang mengarang disampaikan oleh Marwoto (dalam


Dalman, 2015: 6), mengarang adalah pernyataan pemikiran atau pemikiran tanpa
syarat seperti yang tergambar dalam eksposisi. Hal ini sesuai dengan penilaian
Suparno dan Yunus (dalam Dalman, 2015: 6) yang menyatakan bahwa
mengarang adalah suatu gerakan penyampaian pesan (korespondensi) dengan
memanfaatkan bahasa karangan sebagai alat atau media. Untuk situasi ini,
menulis membantu individu dengan menyimpan dan menguasai data baru,
sehingga individu akan melihat bagian penting dari materi dengan lebih baik.
Interaksi korespondensi terjadi melalui tiga media, yaitu lisan, gubahan, dan
visual. Meskipun korespondensi sering kali merupakan kombinasi dari beberapa
media, namun untuk keterusterangan dan kemudahan biasanya dibicarakan
secara mandiri. Korespondensi lisan dan tersusun terkait erat karena gagasan
yang saling terkait penggunaannya dalam bahasa. Ada berbagai keadaan yang
membutuhkan keduanya, dan keadaan berbeda yang membutuhkan dua atau
bahkan tiga jenis media yang telah digambarkan sebelumnya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah


proses dalam menyampaikan gagasan atau ide yang dituangkan dalam bentuk
karangan secara tertulis berupa lambang bahasa yang melibatkan beberapa
unsur, yaitu: penulis, isi tulisan, saluran atau media, dan pembaca.
2.2.2 Tujuan Menulis

Menurut Hartig (dalam Tarigan, 1992: 24), motivasi di balik mengarang


adalah sebagai berikut.

1. alasan untuk (alasan tugas)

Penulis membuat sesuatu karena dibagikan, bukan secara sukarela.


Umumnya pelajar dan pelajar menulis artikel yang sepenuhnya bertujuan untuk
memenuhi tugas yang diberikan oleh pengajar atau pengajar yayasan. Jenis
penulisan ini biasanya berupa makalah, laporan, atau artikel gratis.

2. Alasan tanpa pamrih

Penulis bermaksud untuk memuaskan pembaca, menjauhkan diri dari


kesusahan pembaca, perlu membantu pembaca memahami, menghargai sentimen
dan pemikiran mereka, perlu membuat kehidupan pembaca lebih sederhana dan
lebih menawan dengan karyanya.

3. Alasan yang kuat (alasan yang memikat)

Menulis itu berarti membujuk pembaca tentang realitas pemikiran yang


diperkenalkan.

4. Alasan Data (alasan pencerahan)

Menyusun itu artinya memberikan data tentang data kepada pembaca.


Untuk situasi ini, penulis esai harus memiliki opsi untuk memberikan data
berbeda yang dibutuhkan pembaca sebagai data. Akibatnya, seorang penulis harus
memiliki pilihan untuk fokus pada kebutuhan pembaca sehingga tulisannya
menjadi nyata.
5. Alasan proklamasi Diri (self-expressive reason)

Menulis itu berarti memperkenalkan atau mengucapkan penulis dengan


pembaca. Menulis sebagai artikulasi diri yang rutin kami alami dalam penulisan
surat. Untuk situasi ini, seseorang yang telah mengatakan sesuatu yang tidak
boleh disalahgunakan lagi atau membuat surat pengaturan adalah gerakan
mengarang dengan tujuan akhir penyingkapan diri.

6. Alasan Kreatif

Menulis pada dasarnya adalah mengkomunikasikan pikiran atau pikiran


seseorang secara inventif. Selanjutnya, latihan mengarang senantiasa dihubungkan
dengan interaksi inventif. Untuk situasi ini, seorang penulis harus memiliki
pilihan untuk memanfaatkan kekuatan pikiran kreatif yang paling besar ketika
membangun komposisinya.

7. Tujuan berpikir kritis (critical thinking reason)

Direkam sebagai hard copy seperti ini, penulis esai perlu menangani
masalah terkini. Penulis perlu dengan susah payah mengklarifikasi perenungan
dengan tujuan agar pembaca dapat memahami dan mengakuinya.
2.2.3 Ciri-ciri tulisan yang baik

Adelstein dan Pival (dalam Tarigan, 1992: 6), merekomendasikan kualitas


komposisi yang baik, antara lain:

1. Penulisan yang bagus mencerminkan kemampuan penulis untuk


menggunakan nada yang menyenangkan.

2. Mencerminkan kemampuan pencipta yang hebat untuk memilah materi


yang dapat diakses menjadi keseluruhan.

3. Gubahan yang bagus mencerminkan kemampuan penulis untuk


mengarang dengan jelas dan tidak penuh teka-teki.

4. Penulisan yang hebat mencerminkan kemampuan pengarang untuk


mengutuk konten yang dibuatnya sebelumnya dan memperbaikinya.
Bersedia dan siap untuk memperbarui konten utama adalah cara untuk
membuat komposisi yang sukses atau komposisi yang kuat.

5. Penulisan yang bagus mencerminkan kebanggaan penulis terhadap


konten atau masnukrip, kemudian menggunakan ejaan dan aksentuasi
dengan hati-hati, memeriksa implikasi kata dan koneksi sintaksis dalam
kalimat sebelum memperkenalkannya kepada pembaca.

Menurut Enre (1994: 5), kualitas komposisi yang baik adalah:

1. Signifikan
Penulisan yang bagus harus memiliki pilihan untuk menyatakan
sesuatu yang penting bagi seseorang dan memberikan bukti atas sesuatu
yang dikatakan. Untuk mendapatkan komposisi yang bagus, para jurnalis
pada awalnya harus membedah pembacanya dan membuat keputusan yang
tepat tentang mereka, kemudian menyesuaikan komposisi mereka agar
sesuai.

2. Hapus

Penulisan dapat dikatakan jelas jika pembaca yang cenderung


melihatnya dapat membacanya dengan kecepatan yang konsisten dan
menangani kepentingannya setelah dia mencoba dengan cara yang masuk
akal.

3. Keseluruhan

Sebuah komposisi seharusnya tidak bercacat jika pembaca dapat


mengikutinya secara efektif karena dikoordinasikan oleh sebuah
pengaturan dan bagian-bagiannya saling berhubungan. Semuanya ada pada
tempatnya dan membangun pemikiran fokus pencipta.

4. Bijaksana

Seorang penulis yang baik tidak akan menyia-nyiakan waktu


pembaca, jadi dia akan menghilangkan setiap kata yang berulang dari
komposisinya. Dia perlu benar-benar mengurangi kata-kata yang berulang
jika peran utamanya adalah memberikan data.

5. Memenuhi Prinsip Sintaksis

Gubahan yang memenuhi aturan struktur kalimat umum juga


disebut gubahan menggunakan bahasa standar, yang merupakan bahasa
yang digunakan oleh sebagian besar warga negara yang terpelajar.

Semi (2007: 40) mengungkapkan bahwa gubahan yang bagus adalah


gubahan yang mengandung pemikiran atau tema yang dapat membangun
kesepakatan dan informasi pembaca. Selain itu, komposisinya juga menarik. Ini
menyiratkan bahwa penggubahannya memuaskan untuk dilihat dan dibaca
dengan teliti. Sungguh memuaskan untuk dilihat karena rencananya sebagai
karya tersusun lengkap yang mempertimbangkan kualitas keindahan. Tidak sulit
untuk membaca dengan teliti, ini menyiratkan bahwa komposisi diperkenalkan
dalam dialek yang energik dan baru dan dengan gaya yang sesuai dengan tingkat
pendidikan pembaca.

2.2.4 Tahapan Menulis


Seperti yang diindikasikan oleh Semi (2007: 46), tahapan atau siklus
kreatif dapat dipisahkan secara komprehensif menjadi tiga tahap, yaitu tahap
pra-komposisi, tahap penyusunan, dan tahap pasca-penyusunan.

1. Tahap penting

Tahap pra-penulisan adalah tahap dasar yang secara luar biasa


menentukan kelanjutan dari siklus kreatif. Sebelum mengarang, ada
latihan pendahuluan yang harus dilakukan. Latihan ini terdiri dari empat
macam, khususnya: menetapkan poin, menentukan tujuan, mengumpulkan
data pendukung, dan menyusun perencanaan.

2. Tahap Penyusunan

Tahap penyusunan merupakan tahap utama karena pada tahap ini


semua aransemen sudah dilakukan pada tahap pra-penyusunan. Sambil
mengosongkan pikiran ke dalam menyusun ide, penulis esai berfokus pada
tiga hal, khususnya: fiksasi pada pemikiran utama komposisi, fokus pada
motivasi di balik komposisi, dan fokus pada model pembaca yang
direncanakan.
3. Tahap pasca menulis

Tahap pasca menulis merupakan tahap ketiga sebagai tahap


terakhir menulis. Pada tahap pasca gubahan ini terdapat dua latihan prinsip
yaitu ubahan spesifik dan komposisi konten.

2.3. Pidato

2.3.1 Pengertian Pidato

Wacana adalah jenis gerakan berbicara yang penting dalam kehidupan


sehari-hari yang teratur. Setiap kali ada acara, baik formal maupun santai, selalu
ada pergerakan wacana, dari mengundang ceramah hingga menyampaikan data
atau pembicaraan yang logis. Menurut Keraf (1999: 3), wacana adalah prosedur
penggunaan bahasa, baik lisan maupun tulisan, yang bergantung pada informasi
yang terorganisir secara menyeluruh. Juga, menurut Gamal (2006: 1), wacana
adalah pernyataan renungan sebagai kata-kata atau secara lisan diarahkan ke
individu atau pembicaraan yang diatur untuk diucapkan di depan kerumunan
orang.

Sebagaimana diindikasikan oleh Arifin dan Tasai (2009: 228), wacana


merupakan salah satu bentuk latihan bahasa lisan yang dianut oleh perspektif
non-bahasa, seperti tampang, hubungan mata ke mata, dan bunyi suara.
Penilaian lain mengenai signifikansi wacana dikomunikasikan oleh Kosasih
(2011: 227), wacana adalah pertunjukan lisan kepada temu massa. Seseorang
berbicara lugas di mimbar atau mimbar dan substansi ceramahnya
dikoordinasikan ke kelompok. Penilaian ini sesuai dengan Abidin (2013: 49),
wacana merupakan suatu metode penyampaian secara lisan oleh individu kepada
berbagai individu secara dekat dan personal.
Hal yang sama persis dikomunikasikan oleh Assyria (dalam Abidin,
2013: 154), wacana merupakan kekhususan pembicaraan dan artikulasi yang
sudah selesai sejak dahulu kala, yang bermaksud untuk mempengaruhi
masyarakat secara umum untuk ketegasan, politik, sosial, militer dan finansial.
minat. Selain itu, menurut Nurgiyantoro dalam arti pentingnya wacana (dalam
Abidin, 2013: 54), wacana merupakan salah satu metode pemanfaatan bahasa
untuk memperoleh dampak gaya. Hal ini dapat diperoleh dengan penemuan
artikulasi bahasa, khususnya cara pencipta menggunakan bahasa tersebut
sebagai metode untuk mengkomunikasikan pemikirannya.

Penilaian di atas dikuatkan oleh Hadinegoro (dalam Abidin, 2013: 145),


wacana adalah arus keluar renungan sebagai kata-kata yang diarahkan ke
kelompok, atau pembicaraan yang diatur untuk diucapkan dihadapan masyarakat
umum, dengan harapan bahwa khalayak anggota mengetahui, memahami,
mengakui dan diandalkan untuk melengkapi semua yang dinasehati kepada
mereka.

Dengan berfokus pada pentingnya wacana yang bergantung pada


beberapa penilaian, sangat mungkin beralasan bahwa wacana adalah jenis
kontemplasi atau sentimen yang mengkomunikasikan sebagai kata-kata secara
lisan atau direkam sebagai salinan cetak yang diarahkan ke banyak individu
yang bergabung dengan bahasa dan perspektif non-bahasa. bergantung pada
semua informasi yang terorganisir.

2.3.2 Tujuan Pidato

Seperti yang ditunjukkan oleh Keraf (1979: 365), tujuan dan alasan sebuah
karya lisan bergantung pada kondisi dan apa yang dibutuhkan pembicara. Alasan
dan tujuan yang terkandung dalam penggambaran tersusun atau lisan dapat
dibedakan menjadi lima, tepatnya:
1. Dukungan
Alasan struktur seharusnya memberdayakan ketika pembicara mencoba
untuk mendukung, menggerakkan energi atau meredam sentimen yang buruk,
dan menunjukkan perasaan dedikasi.

2. Membujuk

Ketika pembicara mencoba untuk mempengaruhi keyakinan atau


mentalitas psikologis atau ilmiah dari para penonton, tulisan tersebut diharapkan
dapat membujuk. Oleh karena itu, respon normal dari penonton adalah
munculnya keserasian anggapan atau keyakinan dan keyakinan atau isu-isu yang
sedang dikenalkan.

3. Lakukan atau bertindak

Alasan pertunjukan lisan adalah untuk bertindak atau bertindak ketika


pembicara menghendaki semacam aktivitas atau tanggapan aktual dari anggota
audiens.

4. Menginformasikan

Penggambaran lisan yang berencana mendidik adalah titik di mana


pembicara perlu menceritakan atau menularkan agar bisa mendapatkan sesuatu,
atau mengembangkan bidang informasinya.

5. Menyenangkan

Jika pembicara bermaksud untuk memikat orang-orang yang mendengar


pembahasannya, atau membuat suasana bahagia di sebuah pertemuan, maka
tujuannya adalah menyenangkan.
2.3.3 Jenis-jenis Pidato

Dilihat dari ada tidaknya perencanaan dalam wacana tersebut, Rachmat


(2011: 17-18) mengisolasi jenis-jenis wacana tersebut menjadi empat macam,
yaitu wacana yang tidak dipersiapkan, salinan asli, hafalan, dan spontan.

1. Wacana dadakan

Wacana yang tidak dipersiapkan adalah wacana yang disampaikan tanpa


perencanaan dan diperkenalkan tergantung pada kebutuhan yang cepat.
Pembicara dengan cepat berbicara tergantung pada wawasan dan
keterampilannya. Menurut Rachmat (2011: 17), ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam sebuah wacana begitu saja, yaitu: merenungkan strategi
wacana awal yang baik, memutuskan kerangka asosiasi pesan, dan memikirkan
prosedur wacana untuk menutup wacana yang menakjubkan.

2. Wacana Salinan Asli

Wacana salinan asli biasa disebut wacana dengan teks. Individu yang
memberikan wacana membaca dengan teliti isinya dari awal sampai akhir.
Wacana semacam ini dibutuhkan oleh para tokoh masyarakat dan peneliti dalam
merinci akibat-akibat dari eksplorasi mereka. Mereka harus berbicara atau
menyampaikan alamat dengan waspada karena penyalahgunaan kata atau
kalimat dapat berakibat buruk. Sebagaimana diindikasikan oleh Kosasih (2011:
228), wacana dengan membaca dengan teliti konten akan tampak mengeras jika
tidak disertai dengan artikulasi yang memadai, infleksi suara, dan ketersediaan
mental.
3. Wacana Penghafal

Wacana semacam ini juga sering disebut sebagai wacana pengulangan.


Pembicara atau individu yang menyampaikan wacana menyusun setiap pesan
yang akan disampaikan dalam suatu konten, kemudian mempertahankan dan
menyampaikannya kepada khalayak dengan kata-kata yang persis sama melalui
pengulangan. Wacana ini tidak bisa berjalan dengan baik jika pembicara gagal
mengingat bagian yang ingin disampaikan. Seperti yang diindikasikan oleh
Gamal (2006: 39), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam wacana
penghafal, yaitu: membuat catatan untuk substansi wacana terlebih dahulu
sebaik mungkin, merencanakan pembuatan naskah dan mengupayakan untuk
mempertahankannya dengan baik.

4. Alamat Kontemporer

Dalam wacana semacam ini, pemateri hanya menyiapkan garis besar dan
fokus pendukung yang ingin disampaikan. Tata letak dan fokus pendukung
untuk percakapan hanyalah panduan untuk menyortir pemikiran yang Anda
miliki sebagai perhatian utama. Pembicara tidak mengingat kata-kata yang persis
sama, namun diperbolehkan menyampaikan pemikirannya dengan tanda-tanda
yang mengatur masalah yang telah diatur. Seperti yang diindikasikan oleh Keraf
(1979: 361), wacana dadakan memberikan kemampuan adaptasi dan
keberagaman yang lebih besar dalam memilih penggunaan kata sehingga
penutur dapat mengubah nada wacana sesuai dengan tanggapan yang muncul di
penonton saat penggambaran berlangsung.

2.3.4 Ciri Pidato yang Baik


Wacana hebat digambarkan dengan beberapa aturan. Aturan-aturan
tersebut adalah bahwa substansi sesuai dengan latihan yang terus berjalan,
substansi yang memotivasi dan bermanfaat bagi peserta, substansi tidak
menyebabkan pergulatan rasial (kebangsaan, agama, ras, dan antar
perkumpulan), substansi jelas, substansi adalah benar dan tidak memihak,
bahasa yang digunakan lugas, dan bahasanya adalah bahasa. disampaikan
dengan cara yang menyenangkan, rendah hati, dan ramah (Arifin dan Tasai,
2009: 228). Lebih lanjut, sebagaimana diindikasikan oleh Atmaja (2010: 21),
kualitas wacana yang layak adalah tujuan yang jelas, sifatnya objektif,
penyampaiannya pas, jelas dan menggugah selera.

Seperti yang diindikasikan oleh Abidin (2013: 162), terdapat sembilan hal
yang menggambarkan suatu wacana yang layak, yaitu wacana yang berbuah,
wacana yang wajar, wacana yang energik, wacana yang memiliki alasan, wacana
yang memiliki puncak, wacana yang memiliki redundansi, wacana yang memuat
hal - hal mencengangkan, wacana terbatas, dan wacana yang menghibur.

1. Wacana Saklik

Diskursus yang efektif memiliki objektivitas dan komponen yang


mengandung kebenaran. Saklik menyiratkan bahwa ada hubungan yang rukun
antara substansi wacana dan rencananya, sehingga enak didengar, namun tidak
ditingkatkan dengan gaya bahasa yang berlebihan.

2. Hapus Wacana

Pembicara harus mengungkapkan pikirannya yang sebenarnya sehingga


substansinya dapat dirasakan. Sejalan dengan itu, pembicara harus memilih
ekspresi dan desain kalimat yang tepat dan jelas untuk menghindari kesalahan.
Pembicara yang tidak dapat mengkomunikasikan kontemplasinya dengan jelas
biasanya tidak memahami masalah secara efektif dan akurat.
3. Wacana yang Ramah

Seperti yang ditunjukkan oleh Hendrikus (dalam Abidin, 2013: 163),


alamat yang lincah dan menarik sebagian besar dimulai dengan representasi,
seperti yang ditunjukkan oleh kebutuhan akan makna atau definisi teoretis.
Wacana yang layak harus hidup. Untuk membuat wacana yang antusias,
pembicara dapat memanfaatkan gambar, cerita pendek, atau episode penting
yang menarik perhatian audiens.

4. Diskursus yang Disengaja

Dalam penyampaian wacana, tujuan ini sering diulangi dalam persamaan


alternatif agar penonton tidak kehilangan ide yang konsisten saat mendengarkan
wacana tersebut. Kalimat-kalimat yang merinci tujuan dan kalimat pada bagian
akhir sebuah wacana harus dipikirkan secara sesaat, tidak salah lagi, namun
padat. Dalam satu wacana, tidak boleh ada begitu banyak tujuan dan
pertimbangan utama, idealnya satu ide atau alasan yang jelas yang tidak sulit
untuk diingat, dari sepuluh perenungan ambigu yang dengan mudah diabaikan.

5. Wacana Yang Memiliki Puncak

Hal yang perlu diperhatikan adalah puncaknya harus datang secara


alamiah dari dalam wacana yang sebenarnya. Puncak yang dikenali dan
diperkenalkan dengan tepat akan memberi bobot pada wacana Anda.

6. Alamat yang Memiliki Redundansi

Redundansi sangat penting dalam wacana, karena dapat memperkuat


substansi wacana dan menjelaskan pernyataan yang perlu Anda sampaikan
kepada audiens.
.
2.3.5 Langkah-langkah Menulis Pidato
Sebagaimana diindikasikan oleh Keraf (1979: 362), penyusunan wacana
dapat melalui tujuh tahapan yang menyertai.

1. Tentukan tujuannya,
2. Periksa penonton dan keadaan,
3. Memilih dan mempersempit tema,
4. Kumpulkan bahan,
5. Membuat sistem penggambaran,
6. Gambarkan secara detail,
7. Berlatihlah agar semua orang bisa mendengar.

2.4. Penelitian yang Relevan

Ujian tentang kemampuan mengarang wacana telah diselesaikan oleh


Mariana dengan judul “Kapasitas Menulis Wacana untuk Pemahaman Kelas X
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tanjungpinang Tahun Skolastik 2012/2013”
pada tahun 2013. Sebagian evaluasi diselesaikan tergantung pada kemampuan
siswa. menyusun teks wacana dalam presentasi, isi, dan penutup. Hasil uji coba
kapasitas menulis teks pada tingkat dominasi 90% - 100%, standar tinggi
dijumlahkan 2 individu, kapasitas menulis teks pada level otoritas 80% - 89%,
model tinggi Ada 7 orang, kemampuan menulis teks di level otoritas 65% - 70%,
aturan 22 orang, kapasitas menulis teks di level dominan 55% - 64%, aturan
rendah 11 orang, dan kapasitas menulis teks pada level otoritas 0% - 54%, ukuran
sangat rendah 12 orang. Konsekuensi dari penelitian ini menunjukkan bahwa
kemampuan mahasiswa dalam menggubah tulisan wacana masih dalam standar
yang rendah yaitu sebesar 61,75%.

Kemiripan penelitian yang dilakukan oleh Mariana dengan pengujian ini


adalah persamaan faktor-faktor eksplorasi, khususnya: kemampuan menyusun
wacana, strategi eksplorasi secara kuantitatif ekspresif, dan prosedur pengujian
diselesaikan dengan pemeriksaan dasar sewenang-wenang. Perbedaan dalam
penelitian ini dengan eksplorasi yang dipimpin oleh Mariana adalah perbedaan
dalam perspektif yang dipertimbangkan. Dalam penelitian yang lalu, perspektif
yang dimaksud hanya pada desain penyusunan wacana, khususnya: pembukaan,
substansi, dan penutupan, padahal dalam penelitian ini bagian-bagian dari
kesamaan substansi dengan subjek, konstruksi, dan pemanfaatan Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI). diperhatikan.

Penelitian terkait lainnya, untuk ujian khusus yang dipimpin oleh Ningsih
bertajuk "Kapasitas Siswa Kelas X SMA 3 Muaro Jambi Tercatat dalam bentuk
hard copy Tulisan Wacana" Tahun 2013. Dilihat dari model evaluasi tersebut,
maka sangat baik dapat disimpulkan bahwa: (1) dominasi wacana sengaja disusun
dengan nilai normal 97, 67 dinyatakan sesuai standar dan dari 30 siswa hanya 17
memiliki pilihan untuk mendominasi mereka; (2) kewenangan peningkatan isi
wacana dengan skor normal 82,36 dinyatakan fit dan dari 30 mahasiswa hanya 3
mahasiswa yang memiliki pilihan untuk mendominasi; (3) dominasi bahasa yang
digunakan dengan skor normal 64.72 dinamakan sangat sesuai aturan dan tidak
ada satu pun dari 30 siswa yang memiliki opsi untuk mendominasinya.
Kesamaan pengujian yang telah diselesaikan oleh Ningsih dengan
penelitian ini adalah kesesuaian faktor-faktor pengujian, khususnya: kemampuan
menyusun wacana, strategi pengujian secara kuantitatif grafis, dan prosedur
pengujian diselesaikan dengan pemeriksaan dasar sewenang-wenang. Perbedaan
kajian ini dengan eksplorasi yang dipimpin Ningsih adalah pembedaan perspektif
yang dipertimbangkan. Dalam penyelidikan sebelumnya, sudut pandang yang
dipertimbangkan adalah: sistematika, perbaikan, dan bahasa, namun dalam
penelitian ini dibahas tentang kemiripan substansi dengan poin, desain, dan
pemanfaatan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Selain itu, penelitian sebelumnya
memang tidak memasukkan Least Fulfillment Norms (SKM) sebagai tolok ukur
dalam menentukan kapasitas mahasiswa, sedangkan dalam penelitian ini
dilakukan pencatatan Base Culmination Principles (SKM).
Melihat penggambaran dan hasil penelitian di atas, analis memimpin
penelitian tentang kemampuan menggubah wacana. Ujian ini ditujukan pada
siswa kelas IX SMPN 1 Talang Jawa. Mengingat dampak rapat yang diarahkan
oleh analis dengan pendidik mata pelajaran bahasa Indonesia, spesialis
memperoleh data bahwa tidak ada pemeriksaan tentang kemampuan untuk
membuat alamat yang dipimpin di sekolah. Selanjutnya, analis merasa terkendala
untuk mengarahkan penelitian penyusunan wacana bertajuk “Kapasitas Menyusun
Alamat Pemahaman Siswa Kelas IX SMPN 1 Talang Jawa?”.
3 Metodologi Penelitian

3.1 Metode Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang akan diteliti yaitu untuk mengetahui
bagaimana kemampuan siswa kelas IX SMPN 1 Talang Jawa dalam menulis teks
pidato, maka jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi kuantitatif. Kemudian, penelitian


semacam ini sedang dijelaskan. Arikunto (2013: 3) mengungkapkan bahwa
penelitian deskriptif adalah penelitian yang diharapkan dapat mengkaji kondisi,
kondisi, wilayah, atau hal-hal yang berbeda tanpa mengubah, menambah atau
mengendalikan, kemudian menggambarkan apa yang terjadi sebagai laporan
pemeriksaan untuk apa nilainya. Penelitian tersendiri ini dipilih karena sesuai
dengan tujuan penelitian, lebih spesifik untuk menggambarkan kemampuan
menulis pidato siswa kelas IX SMPN 1 Talang Jawa. Pemanfaatan konfigurasi
penjelasan dimulai dari bermacam-macam informasi, penyusunan informasi,
pemeriksaan informasi, dan pengambilan kesimpulan.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah melakukan tes melalui penyusunan pesan


wacana mahasiswa. Langkah awal yang dilakukan adalah mengumpulkan siswa
yang terpilih sebagai ujian. Kemudian untuk menentukan tingkat kemampuan
siswa kelas IX SMPN 1 Talang Jawa yang tercatat sebagai pesan wacana hard
copy, setiap siswa (tes) melalui ujian dengan menyusun teks wacana dan
mengumpulkannya.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah metode faktual grafis.
Sugiyono (2014: 147) menyatakan bahwa unmistakable insights adalah ukuran-
ukuran yang digunakan untuk membedah informasi dengan cara menggambarkan
atau menggambarkan informasi yang telah dikumpulkan segala sesuatu
dipertimbangkan tanpa perencanaan untuk menyimpulkan tujuan atau spekulasi.

Menurut Purwanto (2013: 102), nilai yang diperoleh siswa merupakan


tingkat nilai paling ekstrim yang paling ideal yang harus dicapai jika tes
diselesaikan dengan hasil 100%. Dengan demikian, skor yang diperoleh siswa
menunjukkan tingkat dominasi siswa terhadap materi yang telah diajarkan.
Kemampuan kemampuan menyusun teks wacana dapat dilihat dengan
membandingkan skor yang diperoleh mahasiswa dan Prinsip Kulminasi Dasar
(SKM). SKM mata pelajaran Bahasa Indonesia yang berlaku di SMPN 1 Talang
Jawa adalah 75. Oleh karena itu, seorang siswa dinyatakan kompeten jika
mendapat nilai dasar 75.
Untuk mengetahui tingkat persentase tiap siswa yang memeroleh nilai 75
digunakan rumus sebagai berikut:

N=

Keterangan:
N = nilai yang dicari
R = skor mentah yang diperoleh siswa
SM = skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 = bilangan tetap
3.5 Waktu Penelitian

No. Tahap Penelitian Mei Juni Juli Agustus


Minggu ke-
3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1. Pengumpulan

Referensi Judul
2. Penentuan Judul
3. Pengumpulan

Referensi Proposal
4. Pembuatan Proposal

5. Presentasi Proposal
6. Revisi Proposal
7. Analisis Data
8. Penulisan Laporan

Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2013a. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Keraf, Gorys. 1979. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

Purwanto, M. Ngalim. 2013. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya.

Rachmat, Jalaluddin. 2011. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Tarigan, Henry Guntur. 1992. Menulis: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai