Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN MAKALAH

PERADABAN ISLAM PERIODE DINASTI MAMLUK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Sejarah Islam


Dosen Pengampun : M. ZAINI, M.Pd

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
AGUS SHALEH 2010010451
AHMAD UBAIDILLAH 2010010073
M. HIDAYATULLAH AKBAR 2010010528
MUHAMMAD RAFIE'I 2010010766
MUHAMMAD ZIDAN ALFIAN 2010010003
YUDI SUMARNA 2010010464

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL-
BANJARARI BANJARMASIN
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita dapat menyusun makalah ini.
Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang menjadi penuntun dan teladan bagi umat Islam.

Makalah ini kami susun untuk memperkenalkan dan membahas


perkembangan Islam pada masa Dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk, yang berkuasa
dalam rentang waktu yang cukup panjang dari abad ke-13 hingga ke-16, merupakan
periode yang penuh dengan dinamika politik, kebudayaan, dan ilmiah yang
memengaruhi peradaban Islam.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan lebih dalam


kepada pembaca tentang peran signifikan Dinasti Mamluk dalam perkembangan
umat Islam. Melalui penelusuran sejarah, kita akan menjelajahi bagaimana Dinasti
Mamluk mampu menciptakan stabilitas politik, melestarikan nilai-nilai keislaman,
serta menghasilkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Muslim.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas dari


keterbatasan pengetahuan dan sumber daya yang kami miliki. Oleh karena itu,
segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna meningkatkan
kualitas makalah ini.

Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan
bantuan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan pemahaman yang lebih mendalam tentang warisan gemilang Dinasti
Mamluk dalam sejarah Islam.

Akhir kata, semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufik dan hidayah-
Nya, sehingga kita dapat terus menapaki jalan kebenaran dan keilmuan. Amin.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 2

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

2.1 Asal-Usul Dinasti Mamluk .................................................................... 3

2.1.1 Latar Belakang Sosio-Politik ............................................................ 3

2.1.2 Keruntuhan Dinasti Ayyubiyah......................................................... 5

2.2 Kemunculan dan Perkembangan Dinasti Mamluk ............................. 7

2.2.1 Kelahiran Dinasti Mamluk ................................................................ 7

2.2.2 Perkembangan Dinasti Mamluk ...................................................... 10

2.3 Kontribusi Dinasti Mamluk Terhadap Peradaban Islam ................ 15

2.3.1 Konfrontasi Dinasti Mamluk dengan Pasukan Mongol .................. 15

2.3.2 Perlindungan Mamluk Terhadap Peradaban Islam ......................... 22

2.3.3 Kemajuan Ilmu-Ilmu Keislaman pada masa Dinasti Mamluk di


Mesir 25

2.3.4 Kairo Sebagai Pusat Peradaban ....................................................... 35

2.3.5 Merpati Pos, Alat Komunikasi Dinasti Mamluk ............................. 36

2.3.6 Kemajuan Dinasti Mamluk di Berbagai Bidang ............................. 37

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 42

ii
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 42

3.2 Saran ...................................................................................................... 43

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 44

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam, sebagai agama yang memiliki sejarah sendiri, telah
memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia.
Salah satu periode yang mencerminkan keberlanjutan dan kemajuan Islam
adalah pada masa Dinasti Mamluk. Dinasti Mamluk, yang berkuasa di
berbagai wilayah di dunia Islam dari abad ke-13 hingga abad ke-16, tidak
hanya menciptakan stabilitas politik, tetapi juga menjadi tempat lahirnya
kemajuan dalam bidang keilmuan, seni, dan arsitektur.

Makalah ini akan menggali lebih dalam tentang perkembangan Islam


pada masa Dinasti Mamluk, menyoroti aspek-aspek kunci seperti
pemerintahan, kebudayaan, dan perkembangan ilmiah. Melalui telaah ini,
kita dapat memahami bagaimana dinasti ini membentuk dan memengaruhi
umat Islam pada masa itu.

Dalam konteks politik, Dinasti Mamluk memiliki peran yang


signifikan dalam menjaga stabilitas di wilayah-wilayah yang dikuasainya.
Keberhasilan mereka dalam mengatasi tantangan internal dan eksternal
menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan masyarakat
Muslim. Bagaimana endid pemerintahan mereka membentuk dinamika
endid dan politik akan menjadi endi utama pembahasan.

Selain itu, kebudayaan Islam pada masa Dinasti Mamluk juga


mengalami perkembangan yang menonjol. Seni, sastra, dan arsitektur
mencapai puncaknya, menciptakan warisan budaya yang berharga.
Bagaimana nilai-nilai keislaman tercermin dalam karya seni dan sastra dari
periode ini akan menjadi aspek penting dalam pemahaman kita tentang
pengaruh Dinasti Mamluk.

1
2

Di bidang ilmiah, Mamluk juga memberikan kontribusi besar. Pusat-


pusat keilmuan seperti Madrasah Al-Mustansiriyyah di Kairo menjadi
tempat penting bagi perkembangan studi agama, ilmu pengetahuan, dan
filsafat. Kita akan menjelajahi peran endidi-lembaga endidikan dan para
cendekiawan dalam melestarikan dan mengembangkan warisan ilmiah
Islam pada masa itu.

Melalui makalah ini, kita berharap dapat mendapatkan pemahaman


yang lebih baik tentang bagaimana Dinasti Mamluk membentuk dan
memengaruhi perkembangan Islam pada masa mereka berkuasa.
Pemahaman ini tidak hanya memberikan wawasan tentang sejarah Islam,
tetapi juga memberikan inspirasi bagi perjalanan Islam ke depan,
mengingatkan kita akan nilai-nilai yang dapat membentuk masa depan yang
lebih baik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagiamana Asal Usul Dinasti Mamluk ?
2. Bagimana Perkembangan Dinasti Mamluk ?
3. Apa Saja Kontribusi Dinasti Mamluk Terhadap Peradaban Islam ?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Menjelaskan Asal Usul Dinasti Mamluk.
2. Menjelaskan Perkembangan Dinasti Mamluk.
3. Menjelaskan Kontribusi Dinasti Mamluk Terhadap Peradaban Islam.

1.4 Manfaat Penelitian


Diharapkan dengan adanya makalah ini mampu menambah
pengetahuan pembaca tentang Dinasti Mamluk dan kontribusi Dinasti
tersebut terhdapat peradaban Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asal-Usul Dinasti Mamluk


2.1.1 Latar Belakang Sosio-Politik
Kata ‘mamluk’ merupakan kosa kata dalam Bahasa Arab
dalam bentuk tunggal, sedangkan bentuk jamaknya adalah
“mamalik”. Kata tersebut memiliki arti budak yang menjadi
tawanan, tapi orang tuanya tidak menjadi tawanan. Adapun budak
yang orang tuanya juga menjadi budak disebut “al-qin”. Mamluk
adalah budak yang diperjual-belikan. Mamluk adalah gelar yang
diberikan kepada budak-budak berkulit putih yang berasal dari
Kaukasus, wilayah pegunungan di perbatasan Rusia dan Turki.
Dalam perkembangannya nama Mamluk secara istilah memiliki
makna khusus dalam sejarah Islam. Pada masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, terutama masa kepemimpinan Al-Makmun (813-833 M)
dan Al-Mu’tashim (833-842 M) nama Mamluk dipergunakan untuk
menyebut kelompok budak kulit putih. Para Khalifah, para panglima
besar dan para Gubernur membeli budak kulit putih dari pasar-pasar
untuk kemudian dijadikan sebagai anggota pasukan militer sebagai
penopang kekuatan kekuasaan mereka.

Penggunaan unsur budak dalam sistem pemerintahan dalam


sejarah Islam dapat dirunut sampai masa Abbasiyah. Al-Mahdi
(Khalifah ke-3) merekrut Yahya bin Dawud Al-Kharsi, seorang
Mamluk Turki, sebagai Gubernur di Mesir pada tahun 778 M.
Menurut Al-Ya’qubi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Suhail
Thaqqus, Khalifah Al-Mu’tashim, Khalifah Abbasiyah ke-8, adalah
khalifah pertama yang mengandalkan unsur Turki. Sejak masih
menjadi seorang pangeran, Al-Mu’tashim sudah mulai
“mengoleksi” para budak dari Turki untuk menjadi pengawalnya.

3
4

Pasukan yang berasal dari budak Turki dikenal sebagai


pasukan yang memiliki kemampuan tempur yang istimewa. Setiap
tahun Al-Mu’tashim mengirim orang untuk membeli para Mamluk.
Konon pada masa kepemimpinan Al-Ma’mun, jumlah Mamluk yang
dimiliki oleh Al-Mu’tashim mencapai tiga ribu orang.

Pada waktu Al-Mu’tashim naik tahta kekhalifahan, situasi


dan kondisi diwarnai oleh konflik yang cukup tajam antara orang-
orang Arab di satu sisi dengan orang-orang Persia di sisi yang lain.
Al-Mu’tashim menaruh kepercayaan yang rendah kepada unsur
Persia, sementara dia juga tidak tertarik dan tidak mempercayai
unsur Arab. Kondisi tersebut mendorong Khalifah Al-Mu’tashim
untuk mempercayakan keamanan pribadinya kepada sekelompok
orang dari unsur Turki. Unsur Turki dikenal sebagai memiliki
kekuatan fisik yang tinggi, memiliki sikap pemberani dan suka
berperang. Karakter seperti itu sesuai dengan kebutuhan penguasa
akan perlindungan terhadap keamanan diri dan kekuasaannya.
Rekruitmen unsur Turki sebagai pasukan keamanan sekaligus
dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh unsur Arab dan Persia.

Jadi unsur Turki telah menjadi pilar penting dalam


masyarakat Islam sejak masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada
saat kekuatan Abbasiyah melemah, sejumlah daulah kecil
bermuculan dan berkuasa secara independent. Banyak di antaranya
yang memiliki asal-usul Turki dan Persia. Daulah Shaffariyah
misalnya, mendirikan pemerintahan yang otonom. Pemerintahannya
merekrut dan memanfaatkan unsur Turki untuk dilatih dan
kemudian dijadikan pengawal bagi para pemimpinnya. Ada juga
yang dihadiahkan kepada para panglima dan gubernurnya dengan
fungsi sebagai mata-mata yang menyerap informasi dan berita yang
berkembang. Demikian juga yang terjadi pada Dinasti Thuluniyah
di Mesir yang didirikan oleh Ahmad bin Thulun, sosok yang
5

berdarah Turki. Dia merekrut dan mengandalkan jasa Mamluk Turki


untuk mendirikan dan mempertahankan keberlangsungan Dinasti
yang dibangunnya. Dia berambisi untuk membangun kekuasaannya
secara otonom. Untuk merealisasikan ambisinya dia memperkuat
pasukannya dengan kekuatan dari Mamluk Turki. Sejak masa itu,
tantara yang bertugas di Mesir berasal dari Mamluk Turki. Dinasti
Ikhsyidiyah yang menggantikan Dinasti Thuluniyah, juga mengikuti
Langkah Dinasti Thuluniyah dalam mengandalkan kekuatan
Mamluk Turki untuk mendukung kekuasaannya. Sementara Dinasti
Fathimiyah, di samping merekrut unsur Sudan, Barbar, dan Slavia,
juga merekrut Mamluk Turki. Dinasti Fathimiyah dikenal sebagai
pemerintahan pertama yang menerapkan sistem Pendidikan formal
bagi para Mamluk.

2.1.2 Keruntuhan Dinasti Ayyubiyah


Shalahuddin Al-Ayyubi mendirikan Dinasti Ayyubiyah di
atas reruntuhan Dinasti Fathimiyah pada tahun 1171 M. Dia
berusaha menghapus jejak-jejak kekuasaan Dinasti Fathimiyah di
Mesir dan mempromosikan kebijakan Pendidikan dan keagamaan
Sunni. Pada hakikatnya kemenangan Ayyubiyah menyempurnakan
reaksi Sunni yang dilancarkan oleh Dinasti Saljuk atas Gerakan
politis Syi’ah. Pada kenyataannnya, Dinasti Ayyubiyah merupakan
Dinasti bangsa Kurdi, tapi tumbuh dan berkembang dalam tubuh
Dinasti Turki Saljuk dan Mamluknya. Dinasti Ayyubiyah
mengadopsi banyak tradisi, tatanan dan sistem ketimuran Turki.
Dinasti Saljuk sejak awal sudah mengandalkan orang-orang
Mamluk Turki. Para Mamluk didatangkan dari Kipchak ketika
mereka masih sangat belia, kemudian diasuh dan dididik, setelah
dewasa direkrut sebagai pegawai istana-istana kesultanan dan
departemen-departemen pemerintah. Nizham Al-Muluk, wazir
Dinasti Saljuk, menerapkan sistem “iqtha” (pemberian lahan)
kepada para Mamluk. Dengan diberi lahan para Mamluk merawat
6

dan mempertahankan lahan tanah yang dikuasakan kepada mereka.


Pada perkembangannya, para Sultan mengikuti Langkah yang
ditempuh oleh Nizham Al-Muluk tersebut. Mereka menganugerahi
kastil dan kota kepada para panglima mereka dari kalangan Mamluk
dengan imbalan para panglima tersebut memberikan layanan militer
pada saat perang dan layanan Pendidikan bagi anak-anak mereka.
Para Panglima tersebut dikenal dengan nama Atabik.

Pada masa kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi,


kontribusi para Mamluk sangat signifikan dalam membangun
kekuatan Dinasti Ayyubiyah. Kelompok Mamluk ikut berpartisipasi
dalam berbagai pertempuran yang dilancarkan oleh Shalahuddin Al-
Ayyubi dalam rangka mewujudkan persatuan Islam dan dalam
melawan tantara Salib. Pada tahap ini para Mamluk telah berhasil
membentuk kekuatan yang solid. Dalam banyak kesempatan
Shalahuddin Al-Ayyubi menghargai posisi mereka, berkonsultasi
dengan mereka dan mengakomodir keinginan mereka.

Sepeninggal Shalahuddin Al-Ayyubi jumlah Mamluk


semakin meningkat secara signifikan. Setelah Shalahuddin
meninggal, keluarga Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir
sampai tahun 1250 dan pemerintahan Syria sampai tahun 1260.
Keluarga Ayyubiyah membagi wilayah kekuasaannya menjadi
sejumlah kerajaan kecil di Mesir, di Damaskus, di Aleppo dan di
kerajaan Mosul. Pada perkembangannya terjadi perselisihan dan
konflik antar ahli waris Shalahuddin Al-Ayyubi yang saling
memperebutkan warisan kekuasaan. Hal itu membuka peluang bagi
tampilnya para Mamluk untuk ikut mewarnai konflik tersebut.
Masing-masing Amir memerlukan bantuan para Mamluk untuk
membangun kekuatan dan mempertahankan kekuasaannya atau
untuk mengalahkan para Amir lainnya. Para Amir berlomba-lomba
7

membeli Mamluk dalam jumlah yang sangat besar dan merekrutnya


menjadi pasukan militer sebagai pendukungnya.

Dalam perkembangan berikutnya, Mamluk telah memiliki


posisi yang sangat kuat dan menentukan dalam Dinasti Ayyubiyah,
bahkan mereka sampai mampu mengangkat dan memakzulkan
Sultan. Pada waktu itu Mamluk untuk pertama kalinya menjalankan
peran politik yang memiliki kekuatan untuk menekan dalam sistem
pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Mereka menjadi alat bagi
penguasa Ayyubiyah untuk mempertahankan kekuasaan dan
superioritasnya. Sultan Ash-Shalih Najmuddin Ayyub (1240-1249
M) misalnya, berhasil naik tahta berkat jasa para Mamluk. Mereka
memberi dukungan terhadap proses kenaikannya menjadi penguasa
Mesir. Oleh karenanya dia memberikan kompensasi kepada para
Mamluk dengan memberikan kewenangan yang luas kepada para
Mamluk.

Sementara itu, Sultan Turan Shah, penguasa terakhir Dinasti


Ayyubiyah, tampil sebagai pemimpin yang kurang simpatik. Dia
tidak mampu beradaptasi dengan para Mamluk ayahnya yang
berkomplot dengan ibu tirinya, Syajarah al- Dur. Akhirnya Turan
Shah dibunuh. Para Mamluk semakin mendominasi pengelolaan
pemerintahan sehingga pengaruhnya semakin kuat.

2.2 Kemunculan dan Perkembangan Dinasti Mamluk


2.2.1 Kelahiran Dinasti Mamluk
Setelah wafatnya Turan Shah, situasi dan kondisi menjadi
kosong dari kepemimpinan. Di tengah kekosongan kepemimpinan
itulah otoritas Mamluk menemukan momentumnya untuk
memainkan peran pentingnya untuk mengambil alih kekuasaan
dengan mengangkat Syajarah al-Dur sebagai Sultanah. Dia menjadi
8

penguasa perempuan pertama dalam sistem kekuasaan Dinasti


Mamluk. Hal itu terjadi, tampaknya terkait dengan persaingan yang
keras antara para Amir Mamluk untuk memperoleh kesempatan
menjadi pemimpin, ambisi para Raja Dinasti Ayyubiyah di Syam
untuk berkuasa di Mesir dan di sisi lain juga karena Syajarah Al-Dur
dipandang sebagai orang yang cerdas dan memiliki pengalaman
dalam mengelola negara karena dia ikut terlibat dalam pengelolaan
pemerintahan semasa suaminya menjabat sebagai Sultan
Ayyubiyah.

Syajarah Al-Dur adalah seorang budak perempuan


keturunan Armenia atau Turki yang dibeli oleh Al-Shaleh,
kemudian dimerdekakan dan akhirnya dinikahi menjadi istri.

Tampaknya dia diangkat sebagai Sultanah dalam


kapasitasnya sebagai Mamluk. Periode kepemimpinannya dianggap
sebagai fase transisi yang membuka jalan bagi pembentukan Dinasti
Mamluk. Dia memegang kendali kepemimpinan di Mesir dengan
kuat. Dia membagi jabatan penting kepada para Amir., membagi-
bagikan tanah kepada para Mamluk dan memberikan gaji yang
tinggi kepada para tantara sehingga mereka memberikan dukungan
yang besar kepada Sultanah.

Syajarah Al-Dur membangun pemerintahannya dengan lebih


dahulu membangun stabilitas politik secara internal dan menjalin
relasi yang baik dengan para Amir. Secara eksternal dia melanjutkan
upaya negosiasi dengan pihak tentara Salib yang telah dirintis oleh
Turan Shah. Setelah melalui negosiasi yang panjang dan alot
pasukan Mamluk berhasil memaksa pihak tentara Salib untuk
menyetujui perjanjian yang diajukan oleh pihak Mamluk. Di antara
point penting isi perjanjian tersebut adalah Raja Perancis, Louis IX,
harus mengembalikan kota Dimyath ke tangan Mesir, pasukan Salib
tidak lagi menyerang kawasan-kawasan pesisir yang menjadi
9

wilayah kekuasaan Muslim, pihak tantara Salib membayar sejumlah


lima ratus dinar sebagai imbalanatas pembebasan sejumlah tawanan
Kristen dan umat Islam berkomitmen untuk merawat anggota
pasukan Salib yang sedang sakit.

Dengan disepakatinya dan dipatuhinya perjanjian tersebut,


berakhirlah Perang Salib VII yang diberengi dengan berakhirnya
kekuasaan Dinasti Ayyubiyah (1250 M) dan mulainya pemerintahan
Dinasti Mamluk. Momen tersebut menjadi penanda kemenangan
tantara Mamluk melawan tantara Salib. Setelah peristiwa tersebut
Syajarah Al-Dur mulai melakukan upaya untuk mencari simpati dari
para pihak demi memperoleh dukungan terhadap eksistensi dirinya.
Akan tetapi, tidak serta merta dukungan dia terima secara utuh,
bahkan muncul penolakan dari sejumlah kelompok yang secara terus
terang menolak kepemimpininannya.

Di Kairo muncul berbagai aksi demonstrasi dan huru-hara


menentang pemerintahan Syajarah Al-Dur. Para ulama menolak
kepemimpinan perempuan, para oposan tidak mau menerima
revolusi yang dilancarkan oleh para Mamluk. Para Raja dan Amir
Dinasti Ayyubiyah di Syam mengambil sikap kontra terhadap
pemerintahan Syajarah Al-Dur. Menurut pandangan mereka,
merekalah yang memiliki hak yang sah untuk memerintah Mesir dan
Syam karena mereka adalah keturunan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Pengangkatan Syajarah Al-Dur dianggap sebagai tindakan
pelanggaran terhadap Dinasti Ayyubiyah. Oleh karena itu para Amir
menolak untuk memberikan baiat terhadap kepemimpinan Syajarah
Al-Dur, bahkan para Amir di Syam mengambil sikap keras terhadap
pemerintah Mesir. Pada perkembangannya, negeri Syam dan Mesir
yang pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil disatukan, kini
menjadi terbelah. Mesir berada di tangan Mamluk, sementara Syam
berada di bawah kendali Dinasti Al-Ayyubi.
10

Konflik antara kekuasaan Mamluk di Mesir dengan Dinasti


Al-Ayyubiyah di Syam semakin hari semakin memanas. Upaya
untuk memperbaiki hubungan antara keduanya tidak berhasil.
Pemerintah Mamluk di Mesir juga menerapkan tindakan represif
terhadap kelompok yang pro terhadap amir keturunan Dinasti
Ayyubiyah di Mesir. Untuk memperkuat eksistensinya, Syajarah Al-
Dur meminta dukungan terhadap Al-Musta’shim, Khalifah terakhir
Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Akan tetapi Khalifah Al-Musta’shim
tidak memberikan dukungan, bahkan dia mencela atas pengangkatan
Sultan perempuan. Menyadari posisinya semakin kritis, Syajarah
Al-Dur mengikuti usulan para Mamluk untuk menikah dengan Amir
Izzuddin Aibak dan menyerahkan tahta kekuasaannya kepadanya.
Dari sana, maka naik tahtalah Izzuddin Aibak.

Dengan naik tahtanya Izzuddin Aibak maka dimulailah


pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir. Dia memimpin mulai tahun
1250 sampai tahun 1257 M. Dia menggunakan gelar kesultanan Al-
Muiz Aibak. Dia berasal dari Mamluk Ash- Shalihiyah tapi dia
bukan bagian dari kelompok Mamluk Al-Bahriyah. Dia memulai
karirnya sebagai abdi Sultan Ash-Shaleh Ayyub, kemudian sampai
menjadi Amir dan menduduki jabatan sebagai Al-Jasynakir di istana
kesultanan.

2.2.2 Perkembangan Dinasti Mamluk


Dinasti Mamluk memerintah selama dua setengah abad lebih
(1250 M - 1517 M) secara independen. Dalam pengelolaan
pemerintahan, Dinasti Mamluk dapat dibedakan menjadi dua garis
kesultanan, yaitu Sultan-Sultan Bahri (Mamluk Bahri) dan Sultan-
Sultan Burji (Mamluk Burji). Dinamakan Mamluk Bahri karena
pada awalnya mereka ditempatkan di barak-barak yang berada di
pulau Ar- Rawdhah di Sungai Nil (al-Bahr). Adapun nama Mamluk
Burji berkaitan dengan para Mamluk yang dulunya ditempatkan di
11

benteng (Al-Burj). Kaum Bahri terutama adalah orang-orang yang


berasal dari Qipchak (Rusia Selatan) dengan campuran Mongol dan
Kurdi. Sementara kaum Burji terutama terdiri dari orang- orang
Circasia (Caucasus).

Dinasti Mamluk memiliki sistem hirarki yang kompleks.


Kekuasaan Sultan dikendalikan oleh tokoh-tokoh Amir dan
birokrasi. Instabilitas pemerintah Dinasti Mamluk tampak dari silih
bergantinya Sultan dalam waktu yang pendek. Ada beberapa Sultan
yang memimpin lebih dari satu kali setelah digantikan oleh yang
lain. Misalnya An-Nashir Nashiruddin Muhammad memerintah
sampai tiga kali, yakni tahun 1294, 1299 dan 1309. Urutan
pemerintahan para penguasa Dinasti Mamluk digambarkan oleh
Bosworth33 sebagai berikut:

1. Pemerintahan Mamluk Bahri: 1250-1390:


2. Syajarah Al-Dur : 1250
3. Al- Mu’iz ‘Izzuddin Aybak : 1250
4. Al-Manshur Nuruddin ‘Ali : 1257
5. Al-Muzhaffar Sayfuddin Qutuz : 1259
6. Azh-Zhahir Ruknuddin Baybars I Al-Bunduqdari : 1260
7. As-Sa’id Nashiruddin Barakah (Berke) Khan : 1277.
8. Al-‘Adil Badruddin Salamisy : 1280
9. Al-Manshur Sayfuddin Qala’un Al-Alfi : 1280
10. Al-Asyraf Shalahuddin Khalil : 1290
11. An-Nashir Nashiruddin Muhammad : 1294 (memerintah
pertama kalinya)
12. Al-‘Adil Zaynuddin Kitbugha : 1295
13. Al-Manshur Husamuddin Lajin : 1297
14. An-Nashir Nashiruddin Muhammad : 1299 (memerintah
kedua kalinya)
15. Al-Muzhaffar Ruknuddin Baybars II Al-Jasyankir : 1309
12

16. An-Nashir Nashiruddin Muhammad: 1309 (memerintah ketiga


kalinya)
17. Al-Manshur Sayfuddin Abu Bakar : 1340
18. Al-Asyraf ‘Ala’uddin Kujuk : 1341
19. An-Nashir Syihabuddin Ahmad : 1342
20. Ash-Shalih ‘Imaduddin Isma’il : 1342
21. Al-Kamil Sayfuddin Sya’ban I : 1345
22. Al-Muzhaffar Saifuddin Hajji I : 1346
23. An-Nashir Nashiruddin Al-Hasan : 1347 (memerintah pertama
kali)
24. Ash-Shalih Shalahuddin Shalih : 1351
25. An-Nashir Nashiruddin Al-Hasan : 1354 (memerintah kedua
kali)
26. Al-Manshur Shalahuddin Muhammad : 1361
27. Al-Asyraf Nashiruddin Sya’ban II : 1363
28. Al-Manshur ‘Ala’uddin ‘Ali : 1376
29. Ash-Shalih Shalahuddin Hajji II : 1382 (memerintah pertama
kali)
30. Hajji II : 1389 (memerintah kedua kali dengan gelar
kehormatan Al- Muzhaffar atau Al-Manshur).
31. Pemerintahan Mamluk Burji: 1382-1517:
32. Azh-Zhahir Sayfuddin Barquq : 1382 (memerintah pertama
kali)
33. Azh-Zhahir Sayfuddin Barquq : 1390 (memerintah kedua kali)
34. An-Nashir Nashiuddin Faraj : 1399 (memerintah pertama kali)
35. Al-Manshur ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz : 1405
36. An-Nashir Nashiuddin Faraj : 1405 (memerintah kedua kali)
37. Al-‘Adil Al- Musta’in : 1412 (khalifah Abbasiyah,
menyatakan sebagai Sultan)
38. Al-Mu’ayyad Sayfuddin Syaikh : 1412
39. Al-Muzhaffar Ahmad : 1421
13

40. Azh-Zhahir Sayfuddin Thathar : 1421


41. Ash-Shalih Nashiruddin Muhammad : 1421
42. Al-Asyraf Sayfuddin Barsbay : 1422
43. Al-‘Aziz Jamaluddin Yusuf : 1437
44. Azh-Zhahir Sayfuddin Jaqmaq : 1438
45. Al-Manshur Fakhruddin ‘Utsman : 1453
46. Al-Asyraf Sayfuddin Inal : 1453
47. Al-Mu’ayyad Syihabuddin Ahmad : 1461
48. Azh-Zhahir Sayfuddin Khushqadam : 1461
49. Azh-Zhahir Sayfuddin Bilbay : 1467
50. Azh-Zhahir Timur Bugha : 1467
51. Al-Asyraf Sayfuddin Qa’it Bay : 1468
52. An-Nashir Muhammad : 1496
53. Azh-Zhahir Qanshuh : 1498
54. Al-Asyraf Janbalat : 1500
55. Al-‘Adil Syaifuddin Tuman Bay : 1501
56. Al-Asyraf Qanshuh Al-Ghawri : 1501
57. Al-Asyraf Tuman Bay : 1516 (Penaklukan Dinasti Turki
Utsmani).

Begitulah deretan panjang para penguasa Dinasti Mamluk


yang silih berganti naik tahta dan turun tahta. Sebagian besar
pergantian penguasa terjadi dalam waktu yang relative pendek,
bahkan ada yang dalam waktu satu tahun terjadi tiga kali pergantian
pemimpin. Hal itu menggambarkan kondisi stabilitas politik yang
rapuh dan hanya sedikit dari pemimpin yang mampu mengendalikan
kepemimpinannya secara baik. Sementara, Angkatan bersenjata
sebagai pendukung kekuasaan tidak banyak diorganisir secara
hirarkis, melainkan diorganisir berdasarkan kesetiaan personal.
Angakatan bersenjata Mamluk terdiri dari pasukan tantara Sultan
dan sejumlah resimen yang setia kepada pejabat-pejabat secara
14

individual, sehingga mereka hanya setia kepada pribadi sang Sultan,


bukan kepada kesatuannya.

Keseluruhan Sultan Dinasti Mamluk berjumlah 47 orang, 24


orang dari Mamluk Bahri (tidak termasuk Syajarah Al-Dur) dan 23
orang dari Mamluk Burji. Mamluk Burji tidak mengenal konsep
kekuasaan yang diwariskan, dan tidak menerapkan kebijakan
nepotisme. Siapapun yang mampu meraihnya, atau bisa
mempengaruhi para Amir untuk memilih dirinya, maka dia akan
memperolehnya.

Dalam perjalanan sejarah umat Islam, periode Dinasti


Mamluk sangat terkenal, terutama karena penyempurnaan sistem
militer budak. Sebelum Dinasti Mamluk berdiri, sebagaimana sudah
diutarakan di depan, beberapa resimen budak sudah digunakan di
dalam sistem militer di Timur Tengah, namun Dinasti Mamluk
merupakan pemerintahan Timur Tengah yang pertama yang
didasarkan pada mesin militer budak. Seluruh elite pemerintahan,
termasuk Sultan, adalah budak atau mantan budak. Pada
kenyataannya, tidak ada warga pribumi Mesir atau Syria dapat
menjadi pejabat elite Dinasti Mamluk.

Soliditas pemerintahan dibangun berdasarkan pada loyalitas


dan dedikasi kepada tuan pemilik Mamluk dan mengabdi terhadap
kepentingan militer. Oleh karenanya ketika seorang pemimpin
sedang ada pada posisi kejayaannya, bisa memperoleh dukungan
dan kesetiaan yang tinggi. Akan tetapi ketika pemimpin turun dari
jabatannya, dan tidak lagi mampu memberikan upah yang memadai,
maka Mamluk pendukungnya bisa berpindah ke lain orang.
15

2.3 Kontribusi Dinasti Mamluk Terhadap Peradaban Islam


2.3.1 Konfrontasi Dinasti Mamluk dengan Pasukan Mongol
Bangsa Mongol adalah sekelompok suku nomaden yang
berasal dari dataran tinggi Mongol, sebelah utara gurun Gobi.
Kawasan tersebut merupakan lahan yang sangat luas dan beberapa
bagiannya merupakan daerah yang kering. Suku-suku Mongol
dikenal sebagai suku yang suka berperang. Dalam
perkembangannya, di bawah kepemimpinan Temujin, yang
kemudian bergelar Jenghis Khan (Sang Penakluk Dunia), Mongol
mampu menaklukkan China Utara dan merebut ibukotanya, Beijing,
pada tahun 1215 M. Sepanjang sejarah, dapat dikatakan, pasukan
Mongol merupakan pasukan terkuat. Dia melibas berbagai bangsa
dari Asia hingga Eropa. Di era keemasannya, hampir tidak ada satu
pun pasukan yang mampu membendung kekuatan mereka, kecuali
dua kekuasaan, yakni Dinasti Mamluk dan Kerajaan Singhasari di
Jawa. Penaklukan Kekaisaran Mongol ke Jawa gagal akibat disiasati
dan diusir oleh Raden Wijaya dari Kerajaan Singhasari, yang
kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit yang kelak menjadi
kerajaan terbesar di Asia Tenggara.

Adapun Dinasti Mamluk berhasil mengusir dan


menghancurkan tentara Mongol pada peristiwa yang disebut
Pertempuran Ain Jalut. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 3
September 1260 di Palestina. Pasukan dinasti Mamluk (Mesir)
dipimpin oleh Qutuz dan Baibars, sedangkan tentara Mongol
dipimpinan oleh Kitbuga.

Penyerangan Pasukan Mongol ke wilayah Islam dimulai


pada masa kepemimpinan Jenghis Khan. Gerakan ekspansi Mongol
ke arah Barat diawali dengan menaklukkan Transoxiana pada tahun
1220 M, lalu menguasai Dinasti Khawarizmi pada tahun 1221 M.
Langkah berikutnya Mongol mengepung Propinsi Khurosan dan
16

mereka meluluh-lantakkan tempat-tempat yang mereka lalui.


Kekuasaan bangsa Mongol menetap di Transoxiana dan
Khawarizmi. Pada tahun 1222 M Jenghis Khan meninggalkan
wilayah taklukannya tersebut untuk kembali ke negaranya dan
meninggal di sana pada tahun 1227.

Ogedei Khan, anak sekaligus pengganti Jenghis Khan,


melanjutkan langkah ayahnya untuk melakukan ekspansi ke arah
Barat. Tahun 1241 M pasukan Mongol sudah menguasai Azerbaijan,
Arran, Hani dan Kars. Konflik yang terjadi antara para Raja dan para
Amir di wilayah Al-Jazirah, konfrontasi militer yang terus menerus
dan ekskalasi perselisihan yang semakin memuncak mengakibatkan
terpecahnya kesatuan di wilayah tersebut. Akibat lanjutnya adalah
memuluskan jalan orang-orang Mongol untuk melancarkan
serangannya ke wilayah tersebut. Serangan berikutnya diarahkan
untuk melakukan infiltrasi ke Asia Kecil dan menguasai beberapa
lokasi strategis dan menjadikannya sebagai pangkalan militer
mereka. Selanjutnya pasukan Mongol menuju ke kawasan yang ada
di Asia Barat.

Pada masa kepemimpinan Monke Khan, target ekspansi


Mongol adalah menghancurkan Ismailiyah dan menguasai seluruh
dunia Islam sampai ke ujung Mesir. Untuk merealisasikan target
tersebut, Monke Khan menugaskan saudaranya, yakni Hulagu Khan.
Hulagu Khan merancang recana sebagai berikut: pertama dia akan
hancurkan Ismailiyah, kemudian tahap kedua adalah melakukan
invasi ke wilayah barat sampai ke Mesir. Setelah berhasil
menyelesaikan tujuan pertama, dia mulai Langkah untuk
mewujudkan tujuan kedua dengan mulai menyerang Irak. Sementara
itu, kondisi di Bagdad, ibu kota Dinasti Abbasiyah, di bawah
kepemimpinan Khalifah Al-Musta’shim, sedang terjadi sejumlah
konflik internal. Perselisihan antara sejumlah pusat kekuasaan, para
17

pemegang otoritas kekuasaan saling bertengkar, saling Menyusun


konspirasi melawan yang lain, saling menjatuhkan dan
mendiskreditkan dan ditambah dengan konflik sectarian, terutama
antara Sunni dan Syi’ah dan lain-lain. Semua itu memicu ekskalasi
perselisihan yang semakin memanas.

Setelah berhasil mengalahkan Gerakan Ismailiyah, Hulagu


Khan mengirim surat ancaman dan meminta Khalifah Al-
Musta’shim supaya menemuinya. Surat tersebut dibalas dengan
ancaman juga. Akan tetapi, akhirnya konfrontasi antara keduanya
pun terjadi. Tentara Mongol mengepung ibu kota kekhalifahan dan
menyerangnya pada tahun 1258. Baghdad diluluh-lantakkan.
Sementara Khalifah Al-Musta’shim menyerahkan diri setelah ada
jaminan keamanan dari pihak Hulagu Khan, tapi akhirnya
dieksekusi bersama kedua putranya. Dengan kejadian tersebut
berakhirlah kekhalifahan Abbasiyah.

Jatuhnya kota Baghdad menimbulkan dampak yang sangat


besar bagi dunia Islam. Para penguasa Muslim terguncang. Kaum
Muslimin menganggap bahwa jatuhnya kekhalifahan Abbasiyah
merupakan peristiwa yang mengerikan dan menakutkan. Runtuhnya
kota Baghdad merupakan pukulan berat bagi peradaban manusia,
khususnya Islam. Baghdad waktu itu menjadi pusat sekaligus
symbol bagi perkembangan sains, sastra, dan seni yang sangat
penting. Di sana ada banyak ilmuan, satrawan, filosof, penyair dan
para ahli dari disiplin lainnya. Bangsa Mongol telah menimbulkan
tragedi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan yang sangat dahsyat.
Perpustakaan-perpustakaan, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga
Pendidikan dihancurkan, dan jejak-jejak peninggalan Islam
dilenyapkan.

Pada tahun 1259 pasukan Hulagu melanjutkan langkah


invasinya ke negeri Syam yang saat itu berada di bawah kekuasaan
18

tiga kekuatan, yaitu kekuatan kaum Muslimin di bawah kekuasaan


para raja dan Amir Ayyubiyah, kekuatan tantara Salib dan kekuatan
Armenia. Para raja dan Amir Muslim tidak menjalin persatuan,
masing-masing berkuasa secara independent dan terpisah satu sama
lain. Hal ini menyebabkan kekuatan mereka lemah menghadapi
serangan Mongol. Akibatnya Mongol berhasil menguasai kota
Mayafariqin, Nusaybin, Harran, Birah dan Harem. Kemudian
mereka menuju kemudian menyerbu Aleppo dan mereka mampu
menguasainya pada tahun 1260.

Sementara itu, An-Nashir Yusuf, penguasa Damaskus dan


Aleppo yang paling kuat saat itu, melihat betapa mengerikannya
ancaman yang bakal didapinya, dia kemudian mengirim anaknya,
Al-Aziz Muhammad, sebagai delegasi untuk melakukan negosiasi
dengan Hulagu untuk menjalin kerjasama guna merebut Mesir dari
tangan Mamluk. Akan tetapi Hulagu menolaknya, Setelah
negosiasinya tidak berhasil, maka An-Nashir berbalik arah. Dia
minta bantuan kepada penguasa Mamluk di Mesir. Meskipun selama
ini antara An-Nasir dengan Quthuz, penguasa Mamluk, terjadi
permusuhan yang akut, Quthuz memenuhi permintaan bantuan dari
An-Nashir. Akan tetapi, sebelum bantuan dari Quthuz datang,
pasukan Mongol sudah bergerak menuju Damaskus. An-Nashir
meninggalkan Damaskus dan menyerahkan kepemimpinan kepada
wazirnya, Zainuddin Al-Hafizi. Begitu pasukan Mongol memasuki
kota Damaskus, para pimpinan sepakat untuk menyerahkan
Damaskus ke tangan pasukan Mongol. Oleh karena itu, pasukan
Mongol menguasai Damaskus tanpa pertumpahan darah, kecuali di
kastil Damaskus yang menolak untuk menyerahkan diri begitu saja,
sehingga pasukan Mongol menyerbu Kastil tersebut, dan
menghancurkannya pada bulan Mei 1260 M.
19

Setelah Damaskus ditaklukkan oleh Mongol, Kawasan Islam


di Timur Dekat yang belum dikuasai oleh Mongol tinggal Mesir,
Hijaz dan Yaman. Pada tahun 1260, dari negeri Syam Hulagu
mengirim ultimatum kepada Quthuz supaya menyerah, sambil
menyampaikan bahwa bangsa Mongol telah menaklukkan seluruh
negeri dengan tanpa satu pun kekuatan yang mengahalangi. Akan
tetapi, setelah bermusyawarah dengan para Amir, Quthuz menolak
permintaan tersebut. Pada saat yang sama, ternyata, Hulagu
mendadak harus kembali ke negara asalnya sambil membawa
sebagian anggota pasukannya. Dia hanya menyisakan sepuluh ribu
prajurit saja di bawah pimpinan Kitbuga Noyan.

Kepulangan Hulagu ke negaranya terkait dengan kematian


Khan Agung Monke. Dua saudaranya, Kubilai dan Ariq Boge,
saling berebut kekuasaan. Hulagu pulang juga dalam rangka untuk
ikut bersaing memperebutkan kepemimpinan Mongol. Dia merasa
akan memenangkan kompetisi tersebut karena prestasinya yang
gemilang dalam menaklukkan sejumlah Kawasan. Sementara itu,
kekuasaannya di Iran terus mendapat tekanan dari Berke Khan,
pemimpin Golden Horde dan penguasa Kipchak, terutama sejak
Berke Khan masuk Islam. Berke Khan mengancam Hulagu terkait
perbuatannya yang telah melakukan pembantaian terhadap umat
Islam.

Pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Kitbuga yang


sedang menguasai negeri Syam hanya dengan kekuatan yang relatif
kecil. Quthuz melihat kondisi seperti itu sebagai peluang untuk
melakukan perlawanan terhadap pasukan Mongol. Untuk
memuluskan rencana perlawanan itu, Quthuz lebih dahulu
memperkuat front internal dan memobilasasi opini public dalam
rangka persiapan untuk terjun ke medan pertempuran. Di samping
itu, Quthuz juga melakukan upaya untuk mempengaruhi para
20

pangeran Ayyubiyah dan Mamluk Bahri untuk menyatukan barisan


umat Islam di negeri Syam dan Mesir di bawah satu komando.

Pada awalnya ada sejumlah hambatan yang menghalangi


Langkah Quthuz, tapi akhirnya sejumlah pihak memberikan
dukungan terhadap Langkah Quthuz. Quthuz berhasil membangun
kekuatan militer yang Tangguh dan solid. Dia menugaskan kepada
panglimanya, Baybars Al-Bunduqdari, untuk memimpin pasukan
pengintai supaya mempelajari situasi di lapangan. Pada bulan Juli
1260, Baybars bergerak menuju Gaza, sementara pihak Mongol,
Kitbuga mendirikan sebuah garnisun di bawah komando Baidara.
Begitu mengetahui posisi pasukan pimpinan Baybars sudah
bergerak menuju Gaza, maka Baidara memberitahukan informasi
tersebut kepada Kitbuga sambil meminta bantuan pasukan.

Pasukan Mamluk melakukan konfrontasi dengan garnisun


Mongol dan berhasil mengusirnya dari Gaza. Mereka mengejar para
garnisun itu sampai ke Sungai Ashi (Orontes). Begitu mendengar
pergerakan pasukan Mamluk, Kitbuga segera bersiap untuk
bergerak menuju lembah Sungai Yordan. Namun, karena umat Islam
di Damaskus melakukan pemberontakan, maka Kitbuga menunda
keberangkatannya. Hal ini memberikan peluang kepada pasukan
Mamluk untuk mulai bergerak.

Quthus meninggalkan Mesir menuju Palestina pada bulan


Agustus 1260 M. sampai di luar kota Akka, Quthus berkemah
beberapa hari sambil mengundang beberapa Amir sebagai tamu
kehormatan. Pada saat itu dia tahu Kitbuga sedang menyeberangi
sungai Yordan dengan mendapatkan dukungan kekuatan pasukan
Armenia dan Karaj. Awal bulan September, Kitbuga tiba di Ain
Jalut, sebuah distrik kecil yang terletak antara Bisan dan Nablus
Palestina.
21

Panglima pasukan Mamluk mengadakan pertemuan militer


untuk menentukan rencana dan taktik perang. Quthuz membakar
semangat juang mereka, mengingatkan akan pentingnya perang
yang akan dilakukan berikut dampaknya jika pasukan Mamluk tidak
mampu mengalahkan pasukan Mongol. Dia menyemangati mereka
untuk merebut Kembali negeri Syam dari tangan bangsa Mongol,
membela Islam dan kaum Muslimin. Pidato Quthuz tersebut berhasil
membangkitkan antusiasme dan membakar emosi para pejuang.

Kemudian tantara Mamluk bergerak menuju sungai Yordan.


Baybars Bunduqdari dan sebagian kecil pasukannya maju lebih
dahulu mendahului pasukan yang lain. Baybars memimpin barisan
depan, dan menetapkan dirinya sebagai panglima perang, meskipun
komando tertinggi tetap dipegang oleh Quthuz hingga akhir
pertempuran. Begitu sampai di Ain Jalut, Baybars mulai
melancarkan manuver-manuver serangan kecil terhadap pasukan
Mongol. Sementara Quthuz menyembunyikan pasukan utamanya di
bukit terdekat, sehingga yang tampak oleh musuh hanya tantara di
barisan terdepan yang dipimpin oleh Baybars saja. Ini merupakan
taktik yang diterapkan untuk memancing keluar pasukan berkuda
Mongol supaya keluar kearah lembah sempit. Benar saja, begitu
pasukan Baybars muncul, lalu pasukan Kitbuga keluar. Mereka
masuk dalam perangkap yang sudah dipersiapkan oleh Quthuz dan
Baybars. Kitbuga pun melakukan serangan terhadap pasukan
Mamluk yang tampak di depannya. Kemudian Baybars mundur ke
bukit terdekat, sesuai dengan rencana yang sudah dirancang. Lalu
Kitbuga mengejar mereka. Tidak lama kemudian, seluruh tantara
Mongol berada dalam posisi terkepung oleh pasukan Mamluk.

Quthuz memimpin langsung dalam pertempuran tersebut.


Pasukan Mamluk melakukan serangan dengan penuh semangat
terhadap pasukan Mongol. Selama jalannya pertempuran,
22

kemenangan dan kekalahan silih berganti. Sesekali pihak Mamluk


unggul dan kali lain Mongol yang unggul. Akhirnya pertempuran
secara telak dimenangkan oleh pasukan Mamluk. Kitbuga beserta
sejumlah pemimpin pasukan terbunuh di medan pertempuran.
Pertempuran tersebut terjadi di Ain Jalut pada tanggal 3 September
1260 M, sejak fajar hingga siang hari.

2.3.2 Perlindungan Mamluk Terhadap Peradaban Islam


Pertempuran antara pasukan Mamluk dengan pasukan
Mongol di Ain Jalut merpakan salah satu pertempuran yang penting
dalam sejarah penaklukan bangsa Mongol di Asia Tengah karena
dalam peristiwa tersebut, untuk pertama kalinya pasukan Mongol
mengalami kekalahan telak dan tidak mampu membalasnya.
Sementara bagi umat Islam, peristiwa tersebut juga merupakan
peristiwa besar dalam sejarah Islam dan merupakan kemenangan
pertama yang berhasil dicapai kaum muslim terhadap orang-orang
Mongol. Mereka berhasil menghancurkan mitos yang mengatakan
bahwa mereka tidak akan pernah terkalahkan. Pasukan berkuda
Mamluk secara signifikan berhasil mengalahkan pasukan berkuda
Mongol yang belum pernah terkalahkan sebelumnya.

Setelah pertempuran di Ain Jalut, Mamluk menguasai


seluruh negeri Syam sampai ke sangai Eufrat. Mamluk mampu
menyatukan negeri Syam dan Mesir yang sebelumnya sempat
terpecah-pecah akibat konflik internal anak keturunan Shalahuddin
Al-Ayyubi. Yang juga penting ditekankan adalah kemenangan
Mamluk atas Mongol telah menyelamatkan Islam dan kaum
Muslimin dari bahaya besar sebagaimana dialami oleh Baghdad dan
beberapa kawasan Islam yang lain yang telah diinvasi oleh pasukan
Mongol. Seandainya pasukan Mongol yang memenangkan
pertempuran tersebut dan mampu menaklukkan Mesir, maka umat
23

Islam tidak lagi memiliki negeri yang besar dan dengan warisan
peradaban yang tinggi.

Kemenangan pasukan Mamluk pada pertempuran Ain Jalut


menjadikan Mesir berhasil mempertahankan kebudayaan dan
peradaban dan kekayaan intelektual yang dimilikinya. Mesir
terhindar dari kehancuran kebudayaan dan peradaban seperti yang
dialami oleh Baghdad. Kairo pun tetap menjadi kiblat para ilmuwan,
penulis dan satrawan. Kairo telah memberi inspirasi, motivasi, dan
apresiasi sehingga melahirkan iklim yang kondusif bagi
pengembangan intelektual dan pengolahan rasa dan keindahan.

Pertempuran Ain Jalut menjadikan Dinasti Mamluk sebagai


kekuatan utama di Timur Dekat selama dua abad sampai berdirinya
Dinasti Turki Usmani. Dinasti Mamluk telah berhasil membangun
fondasi kekuasaan yang kokoh sehingga eksistensinya
diperhitungkan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Meskipun
kekuasaannya dibangun oleh kaum budak yang memiliki status
social rendah, tapi Mamluk telah berhasil menunjukkan eksistesinya
dihadapan kekuasaan lain. Kekuatan yang dimilikinya telah
membuktikan kebesaran dan kesuksesan yang menyebabkan
pengakuan umat Islam atas prestasi yang ditorehkannya.
Kemenangan pada pertempuran Ain Jalut telah memberi legitimasi
atas kekuasaan yang dibangunnya, terutama pengakuan dari para
Amir keturunan Ayyubiyah.

Dari sana, tampak pentingnya kemenangan mereka pada


pertempuran Ain Jalut. Kemenangan tersebut merupakan
perwujudan aspirasi dan harapan mereka, menampilkan posisi
mereka sebagai pelindung dan benteng yang telah menyelamatkan
umat Islam, bukan hanya pada lingkup Syam dan Mesir tapi juga
dunia Islam secara umum. Pasukan Mamluk menjadi satu-satunya
24

kekuatan yang amampu mengalahkan agresi bangsa Mongol,


bahkan menghancurkan kekuatan mereka.

Peran besar tersebut telah memunculkan pengakuan,


penghormatan, penghargaan dari sejumlah kekuasaan Islam.
Kemengan tersebut telah membangkitkan semangat baru dalam
tubuh umat Islam. Umat Islam di Iran, misalnya, merasa terpacu
semangat mereka untuk mendakwahkan Islam kepada orang-orang
Mongol yang masih berkuasa di negeri tersebut. Dakwah mereka
meraih kesuksesan yang signifikan hingga Islam menjadi agama
resmi Dinasti Ilkhan Mongol.

Kemenangan Mamluk di Ain Jalut telah menggagalkan


strategi politik tantara Salib yang memutuskan untuk menjalin
aliansi dengan Mongol guna melawan kaum Muslimin. Bahkan,
kemenangan tersebut telah mempercepat runtuhnya keemiratan
Salib di negeri Syam. Itu semua tidak lepas dari jasa Quthuz sebagai
Sultan dari Dinasti Mamluk di Mesir. Dia telah membangun pilar-
pilar pemerintahan Dinasti Mamluk dan menjamin perlindungan
terhadap negeri itu atas ancaman bangsa Mongol. Dia juga telah
berperan dalam keberhasilan Mamluk dalam memasuki negeri Syam
yang selanjutnya mengkonsolidasikan persatuan umat Islam.

Sayangnya, setelah kemenangan pertempuran di Ain Jalut,


persatuan di antara para Mamluk mulai pudar. Perselisihan antara
Quthuz bersama Mamluk Muizziyah di satu pihak dan Amir Baybars
bersama Mamluk Bahri di sisi yang lain muncul dan berkembang
sedemikian rupa. Baybars merasa kesal kepada Quthuz yang telah
mengingkari janji untuk memberikan wilayah Aleppo kepada
Baybars jika berhasil mengalahkan orang-orang Mongol. Di sisi
lain, pihak Quthuz menaruh kecurigaan yang tinggi terhadap
Baybars. Pihak Baybars bertekad untuk membunuh Quthuz dengan
25

melakukan konspirasi dengan para Amir Mamluk Bahri. Akhirnya


Baybars berhasil membunug Quthuz.

Tampaknya peristiwa tersebut relevan dengan konsep


“ashabiah” yang digagas oleh Ibnu Khaldun. Menurutnya,
sebagaimana disinyalir oleh Zainab Al- Khudhoiri, “ashabiah”
adalah kekuatan penggerak negara dan merupakan landasan
tegaknya suatu negara atau dinasti. Namun, bilamana negara atau
dinasti tersebut telah mapan maka ia akan berupaya menghancurkan
“ashabiah”. Bahwa kemenangan atau terhindarnya kekalahan ada di
pihak yang memiliki “ashabiah” yang lebih kuat dan angota-
anggotanya lebih mampu berjuang dan bersedia untuk mati demi
kepentingan bersama. Adapun kedudukan sebagai raja adalah suatu
kedudukan yang terhormat dan diinginkan oleh banyak orang.
Kedudukan ini memberikan kepada pemegangnya segala kekayaan
duniawi dan kepuasan lahir batin. Karena itu ia menjadi sasaran
perebutan, dan jarang sekali dilepaskan dengan suka rela kecuali di
bawah paksaan. Perebutan menimbulkan perjuangan dan
peperangan serta runtuhnya singgasana-singgasana. Semua itu tidak
dapat terjadi kecuali dengan “ashabiah”. Penjelasan lebih jauhnya
adalah bahwa ketika suatu kelompok berusaha untuk membangun
sebuah kekuasaan, makai katan “ashabiyah itu begitu kuat, tapi
begitu kekuasaan sudah diperoleh, maka “ashabiah itu akan mulai
memudar.

2.3.3 Kemajuan Ilmu-Ilmu Keislaman pada masa Dinasti Mamluk di


Mesir
Pada abad ke-13 M, ketika dunia Arab mengalami
kemerosotan, kelompok Mamluk justru berperan dalam
mempertahankannya. Setelah Baghdad jatuh ke tangan bangsa
Mongol, banyak individu dalam dunia Islam, termasuk para
ilmuwan, yang berhasil melarikan diri berupaya mencari
26

perlindungan yang lebih aman. Banyak dari para ilmuwan ini


berhijrah ke Mesir, yang menyebabkan peralihan pusat pengetahuan
dari Baghdad ke Mesir.

Penguasa-penguasa dari Dinasti Mamluk bukannya menolak


kedatangan para ilmuwan ini; sebaliknya, mereka disambut dengan
baik dan diberikan dukungan dalam berbagai bentuk. Ini diperkuat
oleh pertumbuhan ekonomi yang pesat di Mesir, serta posisi
strategisnya sebagai pusat perdagangan antara Timur dan Barat.
Kerja sama dengan berbagai daerah, termasuk Afrika Utara, Asia
Barat, dan Eropa, juga semakin menguatkan posisi Mesir. Kondisi
ini memberikan dorongan bagi perkembangan berbagai bidang ilmu
pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk, termasuk ilmu
keagamaan. Para penguasa Dinasti Mamluk menunjukkan perhatian
yang sangat besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Salah satu
contoh nyata terlihat pada era pemerintahan Aybak (1250-1257 M).
Pada masa ini, madrasah-madrasah yang berasal dari Dinasti
Ayyubiyah terus ditingkatkan dan bahkan mendirikan sekolah-
sekolah baru di berbagai wilayah Mesir.

Selain sekolah, peran penting juga dimainkan oleh masjid


dalam pendidikan pada masa tersebut. Metode pengajaran yang
umum digunakan adalah melalui ceramah yang diselenggarakan di
halaqah. Hampir semua penguasa Mamluk berusaha untuk
mendirikan masjid yang indah sebagai tempat ibadah sekaligus
sebagai pusat pembelajaran. Pada masa pemerintahan Muayyad,
sebuah masjid dibangun di gerbang Zawilah, dan pada masa
pemerintahan Qolawun, juga didirikan sebuah masjid yang
digunakan sebagai tempat belajar. Tidak hanya membangun masjid,
penguasa pada periode Dinasti Mamluk juga aktif mendirikan
berbagai lembaga pendidikan. Sebagai contoh, saat an- Nasir
Nashiruddin Muhammad berkuasa, ia mendirikan sebuah lembaga
27

pendidikan yang dikenal dengan nama Al- Madrasat Al-


Nashiriyyah. Selain itu, beberapa lembaga lain yang dikenal di
Mesir juga didirikan pada masa Dinasti Mamluk, seperti Al-
Madrasat Al-Jamaliyyat, Al-Madrasat Al-Mu’ayyadiyyat, dan Al-
Madrasat Al-Khasysyabiyyat.

Selain faktor-faktor tersebut, kemajuan dalam ilmu


pengetahuan pada masa Dinasti Mamluk juga diperkuat oleh
warisan dari dinasti sebelumnya yang berhasil diselamatkan dari
serangan Bangsa Mongol. Warisan ini mencakup Pusat pendidikan
Al-Azhar dan Perpustakaan Darul Al-Hikmah yang kembali
diaktifkan selama masa kekuasaan Mamluk. Perkembangan ilmu-
ilmu keislaman selama Dinasti Mamluk, di samping sejumlah faktor
yang sudah diuraikan sebelumnya, juga sangat terkait dengan
kontribusi tokoh-tokoh Islam yang berperan dalam mengembangkan
ilmu Agama pada periode tersebut. Di bawah ini akan dijabarkan
beberapa contoh tokoh Islam yang memainkan peran penting pada
masa Dinasti Mamluk.

A. Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun memiliki nama lengkap Abu Zaid


Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun Waliuddin Al-
Tunisi Al-Handrami. Lahir di Tunisia pada tanggal 1
Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M dan meninggal di Kairo pada
tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M. Namun, ia
lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Nama "Ibnu
Khaldun" diberikan padanya karena berkaitan dengan silsilah
garis keturunannya yang kesembilan, yang berasal dari Khalid
bin Usman. Khalid bin Usman adalah leluhur pertamanya yang
memasuki wilayah Andalusia bersama para penakluk yang
memiliki latar belakang kebangsaan Arab.
28

Ibnu Khaldun memulai perjalanan pendidikannya


dengan mendalami bacaan dan hafalan al-Quran, yang
diajarkan dengan ketat oleh orang tuanya. Kemudian,
pendidikannya diperdalam dengan mempelajari bahasa Arab
dan sastra, al-Quran beserta tafsirnya, hadis dan cabang-
cabang ilmunya, serta ilmu tauhid, fikih, filsafat, dan
matematika, yang diajarkan oleh beberapa guru terkemuka. Di
antara guru-gurunya adalah Abu 'Abdullah Muhammad ibnu
Sa'ad bin Burral al-Anshari dan Abu al-'Abbas Ahmad bin
Muhammad al-Bathani yang mengajarkan ilmu al-Quran
(qira'at), Abu ‘Abdillah bin al-Qushshar dan Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Bahr yang mengajarkan ilmu tata bahasa
Arab, Syamsuddin Muhammad bin Jabir bin Sulthan al-
Wadiyasyi dan Abu Muhammad bin Abdul Muhaimin bin
Abdul Muhaimin al-Hadhramy yang mengajarkan ilmu hadis,
serta Abu ‘Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim
Muhammad al-Qashir yang mengajarkan ilmu fikih. Ibnu
Khaldun juga mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam
Malik dari Abdullah Muhammad bin Abdussalam.

Sementara itu, ilmu-ilmu rasional seperti filsafat,


teologi, logika, ilmu alam, matematika, dan astronomi
dipelajari dari Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ibrahim al-
Abili. Dalam perjalanan belajarnya, Ibnu Khaldun senantiasa
mendapatkan pujian dan kekaguman dari para guru-gurunya.
Karya-karya yang sangat dikenal dari Ibnu Khaldun dan masih
banyak dibahas oleh para ahli hingga saat ini adalah al-‘Ibar,
Muqaddimah, dan al-Ta’rif. Sejatinya, kitab Muqaddimah dan
al-Ta’rif merupakan bagian integral dari karya yang lebih
besar, yaitu kitab al-‘Ibar yang terdiri dari tujuh jilid.
Muqaddimah berfungsi sebagai pengantar bagi al-‘Ibar,
sedangkan al-Ta’rif menjadi bagian akhirnya. Ketiga karya
29

tersebut, terutama Muqaddimah, telah menempatkan Ibnu


Khaldun sebagai salah satu cendekiawan dunia yang
pemikirannya masih berkelanjutan dan berpengaruh hingga
kini.

Dalam garis besar, kehidupan Ibn Khaldun dapat


diperinci menjadi empat periode berbeda. Pertama adalah fase
awal, yang meliputi kelahiran, pertumbuhan, dan masa belajar.
Periode ini berlangsung dari saat kelahirannya hingga usia dua
puluh tahun, yakni dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun 751
H/1350 M. Masa ini dihabiskannya di Tunis.

Kemudian, datang fase kedua, di mana dia terlibat


dalam pemerintahan dan terjun ke dalam dunia politik di
wilayah Maghribi dan Andalusia. Rentang waktu ini
berlangsung dari tahun 751 H/1350 M hingga tahun 776
H/1374 M.

Fase ketiga menandai masa di mana Ibn Khaldun


berfokus pada aktivitas keilmuan, mengembangkan
pemikirannya, dan mendalamkan kompetensinya di Benteng
Ibn Salamiah yang dikuasai oleh Banu Arif. Rentang waktu ini
mencakup tahun 776 H/1374 M hingga tahun 784 H/1382 M.
Akhirnya, fase keempat mencakup masa di mana dia terlibat
dalam kegiatan mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri
di Mesir. Periode ini dimulai dari tahun 784 H/1382 M dan
berlanjut hingga tahun kematiannya pada tahun 808 H/1406
M.

Lebih dari dua per tiga dari umur Ibnu Khaldun


dihabiskan di kawasan Afrika Barat Laut, yang saat ini
meliputi negara-negara Tunisia, Aljazair, dan Maroko, serta
Andalusia yang terletak di bagian selatan Spanyol. Pada masa
30

itu, wilayah ini menjadi medan perang perebutan kekuasaan


antara berbagai dinasti, serta menjadi tempat berkembangnya
pemberontakan, sehingga sering kali berpindah tangan dari
satu dinasti ke dinasti lainnya. Dalam konteks ini, Ibnu
Khaldun aktif terlibat dalam dinamika politik yang penuh
dengan persaingan untuk merebut kekuasaan. Ia kerap beralih
dari satu jabatan ke jabatan lain dan berganti loyalitas dari satu
penguasa ke penguasa lain, meskipun berasal dari dinasti yang
sama.

Salah satu peran pentingnya adalah ketika ia menjadi


anggota majelis ilmuwan di bawah pemerintahan Sultan Abu
Inan dari Bani Marin, yang bermarkas di ibu kota negara, Fez.

Posisi ini memberinya peluang untuk ikut terlibat


dalam lingkaran keputusan dan pengaruh dalam dinamika
politik. Di samping itu, Ibnu Khaldun kemudian diangkat
menjadi sekretaris Sultan dengan tanggung jawab mencatat
semua keputusan Sultan terkait permohonan rakyat serta
dokumen-dokumen lain yang diajukan kepada Sultan.

Ketika berada di Fez, Ibnu Khaldun terus menerus


mengikuti proses belajar dari para ulama dan sastrawan yang
berasal dari Andalusia dan Tunisia. Ia secara rutin
mengunjungi perpustakaan di Fez yang dianggap sebagai salah
satu perpustakaan terbesar dan paling lengkap pada masa
tersebut. Minat yang mendalam terhadap pencarian ilmu dan
keterlibatannya dalam ranah politik menjadi bagian dari
ambisinya, yang mendorongnya untuk menduduki jabatan-
jabatan penting guna menguasai dan mengelola suatu wilayah.
Ambisi tersebut sejalan dengan upayanya untuk
mengembalikan kejayaan yang pernah dicapai oleh
leluhurnya, di mana dalam masa pemerintahan Bani Hafs,
31

kakek pertamanya memimpin di Tunisia, dan kakek keduanya


memimpin di Bijayah.

Sama seperti banyak pemikir Islam lainnya, Ibnu


Khaldun turut menyaksikan kemerosotan peradaban Islam
yang telah kehilangan kesatuan dan integritasnya seperti
dalam masa-masa sebelumnya. Peradaban Islam yang dulunya
mencapai puncak kejayaannya, pada era Ibnu Khaldun telah
mengalami perubahan menjadi kumpulan negara-negara kecil
yang sering kali terlibat dalam konflik saling memusuhi.
Fenomena ini disebabkan oleh lemahnya sistem pemerintahan,
seringnya timbulnya pemberontakan, konflik antar kelompok
etnis, serta agresi negara-negara Eropa yang ingin menguasai
wilayah-wilayah Arab dan Islam. Semua peristiwa tersebut
secara langsung mempengaruhi pandangan dan pemikiran
yang dimiliki oleh Ibnu Khaldun.

Dalam fase akhir kehidupannya di Mesir pada tahun


784 H/1382 M, Ibnu Khaldun memiliki aspirasi untuk
menduduki suatu posisi yang berkontribusi pada
pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini semakin diperkuat
oleh popularitasnya yang telah merambah hingga ke Kairo,
Mesir. Di kota tersebut, reputasinya telah meresap ke dalam
kesadaran masyarakat, dengan pengetahuan mengenai karya-
karyanya, autobiografinya, serta analisis-analisisnya terkait
aspek sosial dan sejarah. Lembaga-lembaga ilmu pengetahuan,
pemikiran, dan sastra yang berpusat di Kairo juga telah
mengenali karya Muqaddimah yang telah dihasilkan olehnya.
Saat awal kedatangannya di Mesir, Ibnu Khaldun juga turut
memberikan pengajaran di masjid Al-Azhar sebagai wujud
komitmen pendidikan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
32

Penguasa yang memimpin Dinasti Mamluk pada masa


itu dikenal dengan nama al-Dzahir Burquq. Ternyata, reputasi
Ibnu Khaldun sebagai seorang ahli dalam mazhab Maliki telah
mencapai telinga Raja Burquq. Pada tahun 786 H, Raja ini
mengambil keputusan untuk mengganti ketua pengadilan
kerajaan yang sebelumnya ada, karena terjadi perselisihan
yang tidak dapat diatasi. Ibnu Khaldun kemudian dipilih
sebagai penggantinya. Kemasyhuran yang diperolehnya
melalui karyanya, Muqaddimah, serta keahliannya dalam
bidang fikih mazhab Maliki, akhirnya membawanya menuju
karier sebagai dosen fikih Maliki di lembaga pendidikan
Qamhiyah di Kairo. Selanjutnya, ia mendapatkan jabatan
hakim agung dalam mazhab Maliki di Kerajaan Mesir pada
masa itu.

Lebih lanjut, Ibnu Khaldun juga diangkat sebagai guru


besar Fiqih Mazhab Maliki di Madrasah Zahiriyqiyah
Barquqiyyah. Pada tahun 791 H, dia mendapatkan kesempatan
menjadi dosen di Madrasah Sartghatmasy. Dari uraian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa penguasa Dinasti Mamluk
pada masa itu sangat mengakui dan memanfaatkan
pengetahuan dan keahlian Ibnu Khaldun. Kontribusi Ibnu
Khaldun dalam perkembangan ilmu pengetahuan, terutama
dalam bidang ilmu keislaman, pada periode tersebut sangatlah
signifikan.

B. Al Suyuti

Nama lengkapnya adalah Abdul Rahman bin al-Kamal


bin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-Suyuthi. Gelar
kehormatannya adalah Jalaludin as-Suyuthi, sementara
sebutan hormatnya adalah Abu Fadhl. Kakeknya, Sabiquddin,
adalah seorang yang memiliki pemahaman mendalam dalam
33

hakikat dan juga dikenal sebagai seorang syekh tariqah dalam


dunia tasawuf. Sebutan "al-Suyuthi" sendiri berasal dari nama
tempat kelahirannya, yaitu Suyuth, sebuah daerah pedalaman
di Mesir.

Beliau lahir di wilayah Mesir yang terletak di Suyuthi


pada awal bulan Rajab tahun 849 H. Nasib kurang
menguntungkan datang padanya, karena ibunya wafat tidak
lama setelah kelahirannya. Ketika beliau baru berusia lima
tahun, sang ayah juga meninggalkan dunia. Kondisi ini
menjadikannya seorang yatim piatu. Meskipun menghadapi
kehilangan ini, ia tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan
pengetahuan dan keimanan.

Di tengah-tengah cobaan ini, sejak usia kurang dari


enam tahun, ia sudah mampu menghafal Al-Quran hingga
mencakup surah Al-Tahrim. Keunggulan keilmuannya
semakin tampak ketika pada usia nyaris delapan tahun, ia telah
mampu menghafal seluruh isi Al-Quran. Setelah kepergian
ayahnya, ia mendapat bimbingan dari Muhammad bin Abdul
Wahid hingga mencapai usia sebelas tahun.

Pada saat berusia lima belas tahun, ia memulai


perjalanan yang lebih dalam untuk memahami berbagai
cabang ilmu keagamaan. Ia mulai belajar ilmu fiqh (hukum
Islam) dan nahwu (tata bahasa Arab) dari beberapa ulama. Ia
mengambil ilmu faraidh (ilmu waris) dari syekh Syihabudin
as-Syarimasahi, yang pada masa itu dikenal sebagai ahli dalam
ilmu faroidh.

Beliau juga menjalani pendidikan dalam ilmu fiqih


dengan mendekati Syaikhul Islam al-Bulqini sampai wafatnya,
34

dan setelah itu melanjutkan pembelajaran kepada putranya,


Alamuddin al-Bulqini.

Imam Suyuthi menunjukkan tekadnya dalam mengejar


ilmu dengan melakukan perjalanan belajar (rihlah). Beliau
mengunjungi tempat-tempat seperti Al-Fuyum, Al-Mahallah,
dan Dimyath. Namun, tekad belajar tidak berhenti di sana.
Beliau juga melakukan perjalanan jauh ke wilayah Syam,
Hijaz, Yaman, Hindia, dan Maroko guna mengembangkan
pengetahuannya. Hasil dari tekadnya yang kuat dalam
mengejar ilmu, al-Suyuthi berhasil menguasai beberapa
disiplin ilmu. Beliau bahkan pernah mengakui bahwa ia
memiliki pemahaman dalam tujuh bidang ilmu yang berbeda,
antara lain tafsir (penafsiran Al-Quran), hadis (tradisi Nabi),
fikih (hukum Islam), nahwu (tata bahasa Arab), ma’ani
(makna- makna dalam bahasa), bayan (retorika), dan badi’
(sastra kiasan). Di antara semua bidang ilmu tersebut, yang
paling mendalam dan mendominasi pemahamannya adalah
ilmu fikih.

Ketika mencapai usia 40 tahun, Imam as-Suyuthi


memilih untuk mengisolasi diri dan meninggalkan semua
aktivitasnya, fokusnya beralih sepenuhnya pada menulis.
Menurut catatan az-Zirikli, beliau berhasil menghasilkan
sekitar 600 kitab selama masa ini. Karya-karya yang
dihasilkan mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari aqidah
(keyakinan), ushul (prinsip-prinsip dasar), fiqih (hukum
Islam), tafsir (penafsiran Al-Qur'an), hadis (tradisi Nabi),
sejarah, bahasa Arab, dan lain sebagainya. Beberapa karya
terkenal yang dihasilkan oleh Imam as-Suyuthi antara lain Al-
Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Tafsir al-Jalalain, dan Jami' ash-
Shagir.
35

Al-Suyuti diberi kesempatan untuk mengembangkan


dan menyebarkan pengetahuannya pada masa pemerintahan
Dinasti Mamluk yang dipimpin oleh Sultan Al-Asyraf
Saifuddin Qait Bay. Pada saat itu, ada dua lembaga pendidikan
yang terkenal di Mesir, yakni Al-Madrasat Al-Syaikhuniyyat
dan Al-Mahmudiyyat. Di kedua lembaga ini, Al- Suyuti
membagikan ilmunya. Pada awalnya, fokus pengajaran Al-
Suyuti hanya pada bidang fikih, tetapi kemudian beliau
dinaikkan pangkat menjadi guru besar di Al-Madrasat Al-
Syaikhuniyyat pada tahun 1467 M. Setelah mengajar selama
12 tahun di sana, beliau pindah ke Al-Madrasat Baibarsiyyat
pada tahun 1486 M.

Dari uraian di atas, tampak jelas perjuangan Al-Suyuti


dalam memberikan kontribusi terhadap kemajuan ilmu- ilmu
keislaman. Imam as-Suyuthi meninggal dunia saat tengah
mendalami proses penulisan kitab, setelah mengalami sakit
selama tujuh hari dan kondisi bengkak pada tangan kirinya
semakin memburuk. Pada hari Kamis tanggal 19 Jumadil Ula
tahun 911 H, dalam usia 62 tahun Imam as-Suyuthi
menghembuskan nafas terakhirnya. Jenazahnya dikebumikan
di pemakaman Husy Qosun di Mesir.

2.3.4 Kairo Sebagai Pusat Peradaban


Kota Kairo dibangun pada tahun 969 M oleh panglima
perang dinasti Fatimiah (beraliran Syi‟ah), bernama Jawhar al-Siqly
atas perintah khalifah al-Mu‟izz Lidinillah (953 M - 975 M). Kota
yang terletak di tepi sungai Nil ini mengalami tiga kali masa
kejayaan, yaitu pada masa dinasti Fatimiah, di masa Salah al-Din al-
Ayyubi, dan di bawah Baybars pada dinasti Mamluk. Setelah
khilafah Abbasiyah di Baghdad runtuh pada tahun 1258 M akibat
serangan tentara Mongol, kekuatan politik Islam mengalami
36

kemunduran secara drastis. Beberapa peninggalan budaya dan


peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan Mongol itu.
Lebih dari itu, Timur Lenk sebagaimana telah disebut,
menghancurkan pusat pusat kekuasaan Islam yang lain. Pada masa
itu, Kairo menjadi satu satunya pusat peradaban Islam yang selamat
dari serangan Mongol. Oleh karenanya, Kairo menjadi pusat
peradaban dan kebudayaan Islam terpenting. Baybars memugar
bangunan-bangunan kota, merenovasi al-Azhar, dan pada tahun
1261 M mengundang keturunan Abbasiyah untuk melanjutkan
Khilafahnya di Kairo. Dengan demikian prestise kota ini semakin
menanjak. Banyak bangunan dengan arsitektur yang indah dibangun
pada masa dinasti Mamluk berikutnya.

2.3.5 Merpati Pos, Alat Komunikasi Dinasti Mamluk


Guna mencegah invasi pasukan tentara Mongol di bawah
komando Hulagu Khan pada abad ke-13 M, para insinyur Mamluk
membangun menara pengawas di sepanjang rute pos Irak hingga
Mesir. Di atas menara pengawas itu selama 24 jam penuh para
penjaga telah menyiapkan tanda-tanda bahaya. Jika bahaya
mengancam di siang hari, maka petugas akan membakar kayu basah
yang dapat mengepulkan asap hitam. Sedangkan di malam hari,
petugas akan membakar kayu kering. Upaya itu ternyata tak
sepenuhnya berhasil. Tentara Mongol mampu menembus Baghdad
dan memporak-porandakan metropolis intelektual itu. Meski begitu,
peringatan awal yang ditempatkan di sepanjang rute pos itu juga
berhasil men-cegah masuknya tentara Mongol ke Kairo. Hanya
dalam waktu delapan jam, berita pasukan Mongol akan menyerbu
Kairo sudah diperoleh pasukan tentara Muslim. Itu berarti sama
dengan waktu yang diperlukan untuk menerima telegram dari
Baghdad ke Kairo di era modern. Berkat informasi berantai dari
menara pengawas itu, pasukan Mamluk mampu memukul mundur
tentara Mongol yang akan menginvasi Kairo.
37

Layanan pos melalui jalur darat pada era kekuasaan dinasti


Mamluk sempat terhenti ketika pasukan Tentara Salib memblokir
rute pos. Sejak saat itu, dinasti Mamluk mulai menggunakan merpati
pos. Dengan menggunakan burung merpati sebagai pengantar pesan,
pasukan Tentara Salib tidak mampu mencegah masuknya pesan dari
Kairo ke Irak. Dikatakan juga bahwa merpati pos mampu
mengantarkan surat dari Kairo ke Baghdad dalam waktu dua hari.
Pada tahun 1300 M dinasti Mamluk memiliki tak kurang dari 1.900
merpati pos. Burung merpati itu sudah sangat terlatih dan teruji
mampu mengirimkan pesan ke tempat tujuan. Penggunaan merpati
untuk mengirim-kan pesan sendiri kali pertama diterapkan
peradaban Mesir kuno pada tahun 2900 SM. Pada masa kekuasaan
Dinasti Mamluk, merpati pos juga berfungsi untuk mengirim-kan
pesanan-pos parsel. Alkisah, penguasa Mamluk sangat puas dengan
kiriman buah cherry dari Lebanon yang dikirimkan ke Kairo dengan
burung merpati. Setiap burung merpati membawa satu biji buah
cherry yang dibungkus dengan kain sutera. Pada masa itu sepasang
burung merpati pos harganya mencapai 1.000 keping emas. Layanan
merpati pos ala Dinasti Mamluk itu tercatat sebagai sistem
komunikasi yang tercepat di abad pertengahan. Hingga akhirnya,
Samuel Morse menemukan telegraf pada tahun 1844 M dan
Guglielmo Marconi menciptakan radio.

2.3.6 Kemajuan Dinasti Mamluk di Berbagai Bidang


2.3.6.1 Bidang Politik
Dinasti Mamluk membawa warna baru dalam sejarah
politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki
militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun
(1280 M - 1290 M) menerapkan pergantian sultan secara
turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya 4 tahun,
karena kekuasaanya direbut oleh Kitbugha (1295 M - 1297
38

M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak


mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudu- kan Amir
menjadi sangat penting. Para Amir berkompetisi dalam
prestasi, karena mereka merupakan kandidat Sultan.
Kemajuan- kemajuan itu dicapai dalam berbagai bidang,
seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu
pengetahuan.

2.3.6.2 Bidang Pemerintahan


Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti
Mamluk atas tentara Mongol di Ain Jalut menjadi modal
besar untuk menguasai daera-daerah sekitarnya. Banyak
penguasa dinasti kecil mengatakan setia kepada kerajaan
ini. Untuk menjalankan pemerintahan didalam negeri,
Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik.
Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-
kerajaan Islam lainnya, BayBars membaiat keturunan Bani
Abbas yag berhasil meloloskan diri dari serangan bangs
Mongol, al-Mustansir sebagai Kholifah.

Dengan demikian, Khilafah Abasiyah setelah


dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad, berhasil
dipertahankan oleh dinasti ini denga Kairo sebagai
pusatnya. Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat
mengan- cam kekuasaan Baybars dapat dilumpuhkan,
seperti tentara Salib disepanjang laut tengah, Assasin di
pegunungan Shiria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-
orang Armenia), dan kapal-kapal Mongol di Anatolia.

2.3.6.3 Bidang Perekonomian


Di bidang perekonomian, Mamluk membuka
hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui jalur
perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fatimiyah di
39

Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo,


sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi
lebih penting karena Kairo menghubugkan jalur
perdagangan Laut Merah Laut Tengah dengan Eropa.
Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat,
keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh
pembangunan jaringan trasportasi dan komunikasi antar
kota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut
Mamluk sangat membantu pengembangan
perekonomiannya.

2.3.6.4 Bidang Ilmu Pengetahuan


Dibidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat
pelarian ilmuan-ilmuan asal Baghdad dari serangan tentara
Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di
Mesir seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika,
dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
besar, seperti Ibnu Khalikan, Ibnu Takribadi, dan Ibnu
Khaldun. Dibidang astronomi dikenal Nasir al-Din al-Tusi.
Dibidang matematika Abu al-Faraj al-Ibry. Dalam bidang
kedokteran: Abu al-Hasan Ali al-Nafis penemu susunan
dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-
Mun‟in al-Dimyati, seorang dokter hewan, dan al-Razi,
perintis pesikoterapi. Dalam bidang Opthalmologi dikenal
nama Salah al-Din Ibnu Yusuf. Sedangkan dalam ilmu
keagamaan, tersohor nama Ibnu Taimiyah, seorang pemikir
reformis dalam Islam, al-Suyuti yang menguasai banyak
ilmu keagamaan, Ibnu Hajar al-Asqalani dalam ilmu hadist
dan lain-lain.
40

2.3.6.5 Bidang Seni


Dinasti Mamluk juga ditandai dengan melimpahnya
karya yang semi-ginekolis dan semi erotis. Karya semacam
itu masa sekarang kita kenal sebagai buku seks. Karya
karya sastra Arab, di hampir sepanjang perkembangannya,
adalah karya satra maskulin, yang disesaki oleh anekdot
anekdot , dan macam macam canda.

2.3.6.6 Bidang Arsitektur dan Pembangunan


Dinasti Mamluk juga banyak mengalami kemajuan
di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir
untuk mem- bangun sekolah dan masjid yang indah.
Bangunan lain yang didirikan pada masa ini di antaranya
adalah rumah sakit, museum, perpustakaan, vila-vila, kubah
dan menara masjid.

Kemajuan-kemajuan itu tercapai berkat keperibadian


dan wibawa sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer
yang kuat, stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan
tetapi, ketika dikdaktor tersebut menghilang, dinasti
Mamluk sedikit demi sedikit mengalami kemunduran.
Semenjak masuknya budak dari Sirkasia yang kemudian di
kenal dengan nama Mamluk Burji yang untuk
pertamakalinya dibawa oleh Qalawun, solidaritas antar
sesama militer terutama setelah Mamluk Burji berkuasa.
Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan
tidak menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan
kebiasaan berfoya-foya dikalangan penguasa menye-
babkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat
menurun, dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping
itu, ditemukannya Tanjung Harapan oleh Eropa tahun 1498
M, menyebabkan perdagangan Asia sampai Eropa melalui
41

Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh


datangnya kemarau panjang dan berjangkitnya wabah
penyakit. Dipihak lain, suatu kekuatan politik baru yang
besar sebagai tantangan dari Mamluk, yaitu kerajaan
Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamluk
di Mesir. Dinasti Mamluk kalah melawan pasukan Usmani
dalam pertempuran menentukan diluar kota Kairo pada
tahun 1517 M. Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah
kekuasaan kerajaan Usmani sebagai salah satu propinsinya.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dengan mengakhiri eksplorasi kita terhadap perkembangan Islam
pada masa Dinasti Mamluk, kita dapat menyimpulkan bahwa era ini tidak
hanya menjadi saksi dari kemajuan politik, kebudayaan, dan ilmiah, tetapi
juga menjadi titik penting dalam sejarah umat Islam. Dinasti Mamluk,
dengan segala kompleksitas dan dinamikanya, membawa dampak yang
mendalam terhadap peradaban Islam.

Dari segi politik, Dinasti Mamluk menunjukkan bahwa stabilitas


dapat dicapai bahkan dalam kondisi lingkungan yang sulit. Mereka berhasil
mengelola tantangan internal dan eksternal, menciptakan fondasi yang kuat
untuk masyarakat Muslim pada masa itu. Pemerintahan mereka yang bijak
dan sistem yang terorganisir memberikan landasan bagi perkembangan
selanjutnya.

Dalam ranah kebudayaan, Dinasti Mamluk memberikan kontribusi


luar biasa terhadap seni, sastra, dan arsitektur Islam. Pusat-pusat
kebudayaan seperti Kairo menjadi tempat lahirnya karya-karya indah yang
mencerminkan nilai-nilai Islam. Keberagaman ekspresi seni dan
intelektualitas menciptakan warisan budaya yang berharga.

Di bidang ilmiah, Dinasti Mamluk memberikan dorongan signifikan.


Lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah Al-Mustansiriyyah
menjadi pusat keilmuan, dan para cendekiawan mereka memainkan peran
penting dalam menyebarkan pengetahuan. Pada masa ini, perkembangan
ilmiah Islam mencapai puncaknya, dan warisan ini terus berlanjut untuk
memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia.

42
43

Sebagai penutup, pemahaman yang lebih dalam tentang Dinasti


Mamluk tidak hanya memperkaya pengetahuan kita tentang sejarah Islam,
tetapi juga memberikan inspirasi bagi masa depan umat Islam. Kita dapat
belajar dari keberhasilan dan kegagalan mereka, serta memetik hikmah dari
nilai-nilai yang mereka pegang teguh. Dengan mengenang periode Dinasti
Mamluk, kita dapat memandang ke masa depan dengan keyakinan,
semangat, dan tekad untuk mempertahankan dan memajukan warisan Islam
yang kaya.

3.2 Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan
kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Siti Maryam, - (2022) Dinasti Mamluk di Mesir Penyelamat Peradaban Islam 1250-
1517 M. Project Report. Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, Yogyakarta.

Stiawan, R. (2023). Peran Ilmuwan Muslim dalam Kemajuan Ilmu-Ilmu Keislaman


pada Masa Dinasti Mamluk di Mesir. Local History & Heritage, 3(2), 66–72.

Abbas, S. A., & Nisa, A. (2023). PERADABAN ISLAM DAN IDELOGI POLITIK
PADA MASA DINASTI MAMLUK DI MESIR. Ash-Shahabah : Jurnal
Pendidikan Dan Studi Islam, 9(1), 37–49.

Anda mungkin juga menyukai