Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR FRAKTUR TIBIA

1. Definisi

Menurut Price & wilson, (2013) menyatakan bahwa fraktur

adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur merupakan gangguan

dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Fraktur tibia dan fibula

umumnya terjadi dalam kecelakaan lalu lintas dan olahraga.

Permasalahan pada penanganan biasanya berkisar pada penyatuan

tulang, kerusakan jaringan lunak dan vaskuler, kehilangan kulit dan

terjadinya sindrom kompartemen (Black & Hawks, 2014). Fraktur

bawah lutut yang sering terjadi adalah fraktur tibia dan fibula yang

terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan posisi kaki fleksi, atau

gerakan memutir keras. Fraktur tibia dan fibula sering kali melibatkan

kerusakan jaringan lunak berat karena jaringan subkutis daerah ini

sangat tipis (Price & Wilson, 2013).

2. Etiologi

Menurut Nurarif (2015), penyebab fraktur dibagi menjadi tiga yaitu :


a. Cedera traumatik pada tulang dapat di sebabkan oleh:

1) Cedera langsung atau pukulan langsung teradap tulang sehingga

tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan

fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya.

2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari

lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan

menyebabkan fraktur klavikula.

3) Fraktur yang di sebabkan kontraksi keras yang mendadak dari

otot yang kuat.

b. Fraktur patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana

dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Dan dapat juga

terjadi pada berbagai keadaan berikut :

1) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru

yang tidak terkendali dan progresif.

2) Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi akibat infeksi akut atau

dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan

sakit nyeri.

3) Rakhitis: suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi

Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan yang lain,

biasanya disebabkan oleh defisiensi diit, tetapi kadang kadang


dapat terjadi karena kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh

karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.

4) Secara spontan: Disebabkan oleh stress tulang yang terus

menerus misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas

dikemiliteran.

c. Fraktur stress

Fraktur yang terjadi akibat kekuatan atau tekanan yang berulang

dan berlebihan.

3. Patofisiologi

Smeltzer dan Bare (2013) fraktur disebabkan karena trauma

langsung, benturan dan kecelakaan dari penyebab tersebut dapat

mengakibatkan terjadinya keretakan pada tulang (kompresi tulang),

akibat dari hal tersebut terjadi trauma langsung (trauma eksternal),

kerusakan tulang, dan kerusakan jaringan sekitarnya. Trauma yang

menyebabkan fraktur (terbuka atau tertutup) terjadi perdarahan

disekitar tulang yang patah kemudian mengakibatkan pembuluh darah

robek. Ketika patah tulang dan mengalami perdarahan biasanya terjadi

pada lokasi tulang yang patah dan kedalaman jaringan lunak sekitar

tulang. Pada jaringan lunak akan mengalami kerusakan stuktur tulang.

(Wijaya, 2013). Yang kemudian dilakukan tindakan pembedahan yang

sering kita jumpai adalah Open Reduction Internal Fixation (ORIF),


efek dari tindakan ORIF tersebut dapat menimbulkan rasa nyeri

sehingga menghambat kemampuan berpindah.(Reeves, 2010).


4. Pathway

Menurut Smeltzer dan Bare (2013) pathway fraktur tibia adalah sebagai

berikut :

Gambar 2.1 Pathways Fraktur Tibia

Trauma langsung, benturan, kecelakaan

Trauma eksternal

Kompresi tulang (tibia)

Patah tulah tidak sempurna Patah tulang sempurna

Patah tulang tertutup & terbuka

Kerusakan strutur tulang

Merusak jaringan

Pembuluh darah robek

Pembedahan

Operasi ORIF (open


reduction internal fixation)

Kerusakan jaringan kulit

Nyeri

Hambatan Kemampuan
Berpindah
5. Klasifikasi Fraktur

Smeltzer dan Bare (2013), menjelaskan klasifikasi fraktur

berdasarkan kondisi patahnya meliputi fraktur komplit yang

merupakan kondisi patah pada seluruh garis tulang dan biasanya

mengalami pergeseran dan fraktur inkomplit yaitu kondisi patah hanya

dari sebagian dari garis tengah tulang, sedangkan Black dan Hawk

(2014), mengungkapkan metode paling sederhana adalah berdasarkan

apakah fraktur tertutup atau terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit

yang masih utuh di atas lokasi cidera, sedangkan fraktur terbuka

dicirikan oleh robeknya kulit di atas cidera tulang yang terbagi menjadi

3 grade, yaitu sebagai berikut:

a. Grade I : Luka kecil < 1 cm, dengan kontaminasi minimal,

b. Grade II : Luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak dan

kontaminasi sedang

c. Grade III : Luka lebih besar antara 6-8 cm dengan kerusakan

pada syaraf dan tendon dan kontaminasinya berat.

Price dan Wlison, (2013) membagi istilah untuk menjelaskan fraktur

yaitu:

a. Fraktur linear yaitu fraktur yang garis patahnya utuh. Bisa

transverse atau oblique. Terjadi karena kekuatan yang minimal

atau sedang
b. Fraktur Oblique yaitu fraktur yang garis patahnya membentuk

sudut 45 derajat terhadap tulang. Fraktur oblique biasanya

dihasilkan oleh kekuatan yang memutar,

c. Fraktur Spiral (trauma rotasi) akibat adanya torsi pada

ekstermitas. Fraktur ini biasanya karena kekuatan yang memutar

dengan dorongan keatas. Fraktur dengan garis fraktur

memanjang dengan arah spiral

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis patah tulang yaitu munculnya gejala sakit atau

nyeri, hilangnya fungsi esktremitas, terjadi deformitas, pembengkakan

lokal, pemendekan ekstremitas, krepitus serta perubahan warna.

Manifestasi klinis fraktur menurut Brunner & Suddarth (2013) :

a. Nyeri hebat berlangsung lama serta bertambah beratnya hingga

fragmen tulang diimobilisasi. Adanya spasme pada otot yang

menyertai patah tulang.

b. Setelah terjadinya patah tulang bagian tulang tidak dapat

digerakan secara alamiah atau gerakan luar biasa yang tidak tetap

seperti normalnya. Pada pergeseran fragmen pada patah tulang

lengan maupun pada tungkai mengakibatkan deformitas

ekstremitas yang bisa diketahui dengan membadingkan pada

ekstremitas normal . Ekstremitas menjadi tidak bisa bergerak


normal karena fungsi otot bergantung pada integritas tulang

tempat melekatnya otot.

c. Pada patah tulang panjang, terjadinya pemendekan tulang

karena adanya kontraksi pada otot yang menempel dibawah

tempat patah tulang Fragmen sering saling melingkupi satu sama

lain hingga 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inchi).

d. Ketika ekstremitas diperiksa, akan teraba derik tulang (krepitus)

yang menjadi dampak gesekan antara fragmen satu dengan

tulang lainnya.

e. Pembengkakan serta adanya perubahan warna pada kulit klien

sebagai dampak dari trauma serta perdarahan yang menyertai

patah tulang.

7. Tahapan Penyembuhan Fraktur

Tahap-tahap penyembuhan fraktur menurut Wahid (2013) yaitu :

1) Fase Inflamasi tubuh berproses pada tempat cedera dengan

terjadinya pembentukan hematoma.

2) Fase Proliferasi sel, terbentuknya benang benang fibrin sehingga

terjadi revaskularisasi, kemudian terbentuk jaringan ikat fibrus

dan tulang rawan (osteosid).

3) Fase Pembentukan Kalus, pertumbuhan jaringan fibrus yang

menghubungkan fragmen patahan tulang.


4) Fase Opsifikasi merupakn proses penulangan kalus atau

pengambilan jaringa tulang yang baru. Mineral terus menerus

ditimbun sampai tulang benar benar bersatu.

5) Fase Remodeling, merupakan tahap akhir perbaikan patah tulang

meliputi pengambilan jaringan yang mati dan reorgranisasi.

8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Wijaya dan Yessie (2013), pemeriksaan diagnostik fraktur

diantaranya:

a. Pemeriksaan rontgen : Menentukan lokasi atau luasnya fraktur. Scan

tulang, tonogram, scan CT/MRI : Memperlihatkan fraktur,

juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan

lunak.

b. Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskule dicurigai.

c. Darah lengkap :Ht mungkin meningkat (Homokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan berarti pada sisi fraktur atau organ jauh pada

multiple trauma). Adanya peningkatan jumlah SDP adalah respon

stress setelah trauma.

d. Kreatinin : Trauma pada otot meningkatkan beban kreatinin klien

ginjal.

e. Profil koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

transfusi multiple, atau cedera hati.


9. Konsep Keperawatan Perioperatif dan Open Reduction And

Internal Fixation (ORIF)

a. Konsep keperawatan perioperatif

Pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal

umumnya harus menjalani pembedahan untuk mengkoreksi

masalahnya (Smeltzer & Bare, 2013). Operasi (perioperatif)

merupakan tindakan pembedahan pada suatu bagian tubuh yang

mencakup fase praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif

(postoperatif), yang pada umumnya merupakan suatu peristiwa

kompleks yang menegangkan bagi individu yang bersangkutan.

Keperawatan perioperatif merupakan bentuk tindakan yang

menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan

dengan pengalaman pembedahan pasien. Tindakan pembedahan

merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas

seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis

maupun psikologis. Pasien preoperasi akan mengalami reaksi

emosional berupa kecemasan. Berbagai alasan yang dapat

menyebabkan ketakutan atau kecemasan pasien dalam

menghadapi pembedahan. Ketakutan dan kecemasan yang

mungkin dialami pasien dapat mempengaruhi respon fisiologis

tubuh yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik

seperti meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-


gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang

lembab, gelisah, menanyakan pertanyaan yang sama berulang

kali, sulit tidur, dan sering berkemih.

Persiapan yang baik selama periode operasi membantu

menurunkan resiko operasi dan meningkatkan pemulihan pasca

bedah. Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum

operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam

menghadapi kondisi pasca operasi, seperti nyeri daerah operasi,

batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Menurut Smeltzer &

Bare (2013), latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi

antara lain sebagai berikut:

1) Latihan Nafas

Dalam Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi

pasien untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat

membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu

beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas

tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi

paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum (Price &

Wlison, 2013).

2) Latihan Batuk Efektif

Latihan batuk efektif sangat diperlukan bagi klien

terutama klien yang mengalami operasi dengan anastesi


general, karena klien akan mengalami pemasangan alat

bantu nafas selama dalam kondisi tidak sadar. Hal ini akan

membuat klien mengalami rasa tidak nyaman pada

tenggorokan.

3) Latihan Gerak Sendi

Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi

pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera

melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk

mempercepat proses penyembuhan. Latihan perpindahan

posisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif

namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan

tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri

(Smeltzer & Bare, 2013).

Fase pascaoperatif dimulai saat pasien masuk ke ruang

pemulihan dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut

selama periode pascaoperatif, proses keperawatan diarahkan

untuk menstabilkan fisiologi klien, menghilangkan nyeri dan

pencegahan komplikasi (Smeltzer & Bare, 2013). Peran

perawat selama masa pascaoperatif berfokus pada

peningkatan penyembuhan klien, memberikan penyuluhan,

perawatan tindak lanjut dan program rehabilitasi.

10. Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)


Prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan untuk klien

dengan masalah fraktur adalah reduksi terbuka (Open Reduction).

Indikasi dilakukannya open reduction apabila metode closed

reduction mengalami kegagalan, adanya kerusakan saraf dan sirkulasi

atau pada trauma multipel, serta bila biaya pengobatan dapat ditekan

seminimal mungkin. Kontraindikasi dilakukannya open reduction

bila terdapat infeksi, serpihan yang parah pada fragmen fraktur, dan

adanya osteoporosis yang parah. Open reduction biasanya disertai

dengan internal fixation yang bertujuan untuk menstabilisasi dan

mengimobilisasi tulang sehingga dapat memungkinkan terjadinya

proses pemulihan pada tulang yang mengalami fraktur. Internal

fixation merupakan prosedur yang menggunakan alat-alat dari logam

seperti pelat, sekrup, kawat, dan paku. Pemasangan alat-alat dari

logam tersebut tergantung pada tipe fraktur, jenis reduksi yang

dilakukan, dan area yang dipengaruhi oleh fraktur. Internal fixation

dilakukan pada patah tulang tertutup yang tidak stabil, fraktur

terbuka, dan fraktur yang disertai cedera jaringan lunak atau pada

korban yang mengalami trauma multipel.

Metode ORIF memiliki beberapa keuntungan diantaranya:

ketelitian reposisi fragmen-fragmen tulang yang patah, kemungkinan

untuk mobilisasi lebih cepat, kesempatan untuk mengobservasi

pembuluh darah dan saraf yang berada di dekat fraktur, mencapai


stabilisasi fiksasi yang cukup memadai, tidak perlu berulangkali

menggunakan gips atau alat-alat stabilisasi lainnya, perawatan di

rumah sakit dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-

kasus tanpa komplikasi. Namun perlu diperhatikan bahwa metode

ORIF tidak mempercepat proses penyembuhan tulang (Potter & Pery,

2010).

11. Penatalaksaan medik

Menurut Wijaya & Putri, (2013).

1. Fraktur terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi

bakteri dan disertai perdarahan yang hebat. Hal yang yang perlu

dilakukan adalah pembersihan luka dengan operasi, debridement,

atau eksisi, jaringan mati, dan pemberian antibiotic

2. Fraktur tertutup.

a. Rekognitif atau pengalaman yaitu menyangkut diagnonis

fraktur dengan melakukan pengkajian melalui pemeriksaan

dan keluhan pasien.

b. Reduksi atau manipulasi atatu resposisiyaitu

mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran yang

dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi dan reduksi

terbuka..
c. Retensi atau immobilisasi fraktur adalah mempertahankan

posisi reduksi dalam posisi sejajar yang benar sampai

terjadi penyatuan immobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi eksterna dan interna.

d. ROM (Range Of Mation)

e. Rehabilitasi yaitu proses penyembuhan fraktur.

B. HAMBATAN KEMAMPUAN BERPINDAH

1. Definisi

Hambatan Kemampuan berpindah adalah keterbatasan

pergerakan mandiri diantara permukaan yang dekat. Batasan

karakteristik yang digunakan berdasarkan data objektif seperti

hambatan kemampuan untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi dan

dari kursi ketempat tidur, naik atau turun dari toilet atau kursi buang

air, dari kursi kelantai atau dari lantai kekursi (Herdman, 2015).

Pentalaksanaan keparawatan yang dapat dilakukan pada pasien

dengan hambatan kemampuan berpindah yaitu dengan pemberian

Range of Motion (ROM). Range of Motion adalah latihan gerak sendi

untuk meningkatkan aliran darah perifer dan mencegah kekakuan

otot atau sendi. Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang

dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat

kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal


dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter &

Perry, 2010). Menurut Suratun, dkk (2010) range of motion adalah

gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang

bersangkutan.

Tujuan dilakukannya latihan kekuatan otot atau Range of

Motion adalah memperbaiki dan mencegah kekakuan otot,

memelihara atau meningkatkan fleksibilitas sendi, memelihara atau

meningkatkan pertumbuhan tulang dan mencegah kontraktur. Latihan

gerak sendi dapat segera dilakukan untuk meningkatkan kekuatan

otot dan ketahanan otot (endurance) sehingga memperlancar aliran

darah serta suplai oksigen untuk jaringan sehingga akan

mempercepat proses penyembuhan).

a. Jenis Latihan Fisik

Ada beberapa jenis latihan kekuatan otot atau latihan gerak sendi

(Waher, Salmond & Pellino, 2002 dalam Eldwati, 2011)

diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Aktif Asistif Range of Motion (AAROM) adalah kontraksi

aktif dari otot dengan bantuan kekuatan ekternal seperti

terapis, alat mekanik atau ekstremitas yang tidak sakit. Aktif

Asistif Range of Motion meningkatkan fleksibilitas, kekuatan

otot, meningkatkan koordinasi otot dan mengurangi

ketegangan pada otot sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.


2) Aktif Resistif ROM (ARROM) kontraksi aktif dari otot

melawan tahanan yang diberikan, tahanan dari otot dapat

diberikan dengan berat atau beban, alat, tahanan manual atau

berat badan.Tujuannya meningkatkan kekuatan otot dan

stabilitas.

3) Isometric Exercise adalah kontraksi aktif dari otot tanpa

menggerakan persendian atau fungsi pergerakan. Isometrik

exercise digunakan jika ROM persendian dibatasi karena

injuri atau immobilisasi.

4) Isotonic Exercise (Aktif ROM dan Pasif ROM) adalah

kontraksi terjadi jika otot dan yang lainnya memendek

(konsentrik) atau memanjang (ensentrik) melawan tahanan

tertentu atau hasil dari pergerakan sendi. Contoh isotonic

exercise fleksi atau ekstensi ekstremitas, Isotonic exercise

tetap menyebabkan ketegangan pada otot yang

menimbulkan rasa nyeri pada otot. Cara melakukan Aktif

ROM (Black & Hawk 2014).

a) Gerakan Kepala dan Leher: fleksi, lateral fleksi,

ekstensi, hiperekstensi, rotasi.

b) Gerakan Bahu, sendi siku dan pergelangan tangan

Bahu:
Fleksi, hiperekstensi, abduksi, adduksi, sirkumduksi,

internal rotasi, elevasi. Siku, fleksi, ekstensi, pronasi,

supinasi. Pergelangan tangan : fleksi, ekstensi,

hiperekstensi, abduksi, adduksi. Tangan dan jari tangan ;

fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi, adduksi.

c) Gerakan tungkai bawah (sendi pinggul, lutut dan kaki)

Sendi pinggul (hip) fleksi, ekstensi, hiperekstensi,

abduksi, sirkumduksi, internal dan eksternal rotasi.

Sendi lutut (knee) dan, sendi kaki (ankle), fleksi,

ekstensi, hiperekstensi. Jari kaki fleksi, ekstensi,

hiperekstensi, abduksi, adduksi

Ada beberapa prinsip pelaksanaan latihan

kekuatan otot dan range of motion menurut Potter &

Perry (2010), yaitu sebagai berikut:

1) Harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal

2 kali sehari

2) Dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak

melelahkan pasien.

3) Dalam merencanakan program latihan kekuatan otot,

perhatikan umur, diagnosa, tanda-tanda vital dan

lamanya tirah baring.


4) Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan

adalah ekstrimitas dan leher.

5) Range of Motion dapat di lakukan pada semua

persendian atau hanya pada bagian-bagian yang di

curigai mengalami proses penyakit.

6) Latihan dilakukan sesuai waktunya, misalnya setelah

mandi atau perawatan rutin telah di lakukan

2. Batasan Karakteristik

Menurut Herdman & Kamitsuru (2015). Batasan karakteristik

pada diagnosa keperawatan hambatan kemampuan berpindah yaitu,

ketidakmampuan antara kursi dan lantai, ketidakamampuan

berpindah antara kursi dan posisi berpindah, ketidakmampuan

berpindah antara lantai dan posisi berdiri, ketidakmampuan

berpindah antara level permukaan tidak rata, ketidakmampuan

berpindah antara mobil dan kursi, ketidakmampuan berpindah anatar

tempat tidur dan berdiri, ketidakmampuan berpindah antara tempat

tidur dan kursi, ketidakmampuan naik turun toilet.

C. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR TIBIA

1. Pengkajian

Sesudah Operasi (Post Operasi)

Pengkajian menurut Prabowo dan Pranata (2014) :


a. Anamnesa

Keluhan yang sering dialami oleh pasien dalam memenuhi

kekuatan otot.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukkan secara head to toe

c. Riwayat kesehatan atau perawatan

1) Keluhan utama

Pada umumnya keluhan utama pada pasien post operasi tibia

adalah hambatan kemampuan berpindah.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat penyakit sekarang menceritakan perjalanan penyakit

yang dialami pasien mulai dari terkena penyakit sampai

mendapatkan perawatan di Rumah Sakit.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Apakah pasien sudah pernah menjalani operasi sebelumnya

dan apakah pasien pernah di rawat di rumah sakit

sebelumnya.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Mungkin diantara keluarga pasien sebelumnya ada yang

menderita penyakit yang sama dengan penyakit pasien

sekarang.

5) Pola fungsi kesehatan


Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi dan

metabolisme, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan, pola

istirahat dan tidur, pola kognitif dan persepsi, persepsi diri

dan konsep diri, pola peran hubungan, pola seksual dan

reproduksi, pola koping dan toleransi stress, keyakinan dan

kepercayaan.

6) Pemeriksaan fisik head to toe:

Menurut Wijaya & Putri pemeriksaan fisik pada pasien fraktur

femur dibagi menjadi 2 meliputi gambaran umum dan

pemeriksaan lokal.Secara gambaran umum meliputi keadaan

umum, kesadaran pasien, tanda-tanda vital dan pemeriksaan

fisik head to toe. Sedangkan pengkajian fokus keadaan lokal

meliputi look (inspeksi) perhatikan apa yang akan dilihat, feel

(palpasi) dan move (pergerakan terutama pada rentang gerak).

Cara melakukan pemeriksaan fisik move yaitu dengan

memperhatikan gerakan yang dilakukan secara aktif maupun

pasif apakah pasien dapat melakukan gerakan atau ada rasa

sakit ketika melakukan gerakan.

2. Diagnosa Keperawatan

Salah satu masalah keperawatan yang muncul pada klien dengan post

operasi tibia adalah hambatan kemampuan berpindah. (NANDA,

2015).
3. Perencanaan

Perencanaan keperawatan adalah penentuan tujuan dan rencana

keperawatan yang disusun untuk membantu pasien mengatasi

masalah yang telah didiagnosa. Penulis menyusun rencana

keperawatan sesuai dengan NIC NOC (2015) (Herdman, 2015).

Adalah sebagai berikut:

a. Tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses

keperawatan diharapkan pasien mampu mencukupi hambatan

kemampuan berpindah dapat teratasi.

b. Nursing Outcome Classification (NOC) :

NOC : Kemampuan berpindah (Kemampuan untuk mengganti

posisi tubuh secara mandiri dengan atau tanpa perangkat bantu).

Tabel 2.1

Kriteria hasil yang diharapkan pada perencanaan.

No Indikator Awal Tujuan Akhir


1 Berpindah dari tempat tidur ke - 4 -
2 kursi - 4 -
3 Berpindah dari kursi ke tempat - 4 -
tidur
Berpindah dari kursi ke kursi
4 Berpindah dari kursi roda ke - 4 -
5 kendaraan - 4 -
6 Berpindah dari kendaraan ke - 4 -
7 kursi roda - 4 -
Berpindah dari kursi roda ke
toilet
Berpindah dari toilet ke kursi
roda
Keterangan skala :

1. Sangat terganggu

2. Banyak terganggu

3. Cukup terganggu

4. Sedikit terganggu

5. Tidak terganggu.

c. Nursing Intervesion Classification (NIC).

NIC : Peningkatan latihan : latihan kekuatan

1. Dapatkan persetujuan medis untuk memulai program latihan

kekuatan

2. Bantu pasien dalam mengekspresikan nilai, kepercayaan dan

tujuan dalam melakukan latihan otot dan kesehatan.

3. Tentukan tingkat kebugaran otot dengan latihan dilokasi

4. Beri informasi mengenai jenis (latihan) daya tahan otot yang

bisa dilakukan ) misal : latihan tanpa beban, pembebanan

dengan mesin, objek angkat berat, dan olahraga).

5. Bantu mengembangkan cara untuk meminimalkan efek

prosedur, emsi, tingkah laku, finansial, atau hambatan

kenyaman terhadap latihan kekuatan otot.

6. Bantu dapatkan sumber yang diperlukan untuk terlibat dalam

latihan otot progresif.


7. Bantu mengembangkan program latihan kekuatan yang sesuai

dengan tingkat kebugaran otot, hambatan muskuloskerletal,

tujuan kesehatan fungsional, sumber peralatan latihan.

8. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai latihan.

9. Demostrasikan sikap tubuh yang baik dan tingkatkan bentuk

latihan setiap kelompok otot.

10.Bantu klien untuk menyampaikna atau mempraktikan pola

gerakan yang di anjurkan tanpa beban terlebih dahulu

sampai gerakan yang benar sudah dipelajari.

11. Modifikasi gerakan dan metode dalam mengaplikasikan

resistensi untuk pasien yang harus tetap duduk di kursi

maupun di tempat tidur.

12. Intruksikan untuk melakukan sesi latihan pada kelompok tot

tertentu secara berselang seling setiap harinya untuk

memfasilitasi adaptasi otot terhadap latihan.

13. Instruksikan untuk menghindari latihan kekuatan saat suhu

udara ekstrim.

14. Bantu untuk menentukan tingkat kenaikan kerja otot.

15. Evaluasi ulang tingkat kebugaran ott setiap bulan.

16. Kolaborasikan dengan keluarga dan tenaga kesehatan yang

lain misalnya : terapi aktifitas, pelatih, fisiologis, terapi

okupasional, terapi reksesional, terapi fisik) dalam


merencanakan, mengajarkan dan memonitor program latihan

otot.

NIC : Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (ROM)

1) Tentukan batasan pergerakan sendi dan efeknya terhadap

fungsi sendi

2) Jelaskan pada pasien atau keluarga manfaat dan tujuan

melakukan latihan sendi

3) Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri dan

ketidaknyamanan selama pergerakan atau aktivitas

4) Pakaikan baju yang tidak menghambat pergerakan pasien

5) Bantu pasien mendapatkan posisi tubuh yang optimal

untuk pergerakan sendi pasif maupun aktif

6) Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teratur

dan terencana

7) Lakukan latihan ROM pasif dengan bantuan sesuai

indikasi

8) Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan

ROM pasif, ROM dengan bantuan atau ROM aktif

9) Bantu untuk melakukan pergerakan sendi yang ritmis dan

teratur sesuai kadar nyeri yang bias di toleransi,

ketahanan dan pergerakan sendi.

10) Sediakan dukungan positif dalam melakukan latihan sendi


4. Implementasi

Penulis akan melakukan implementasi sesuai rencana tindakan yang

telah ditulis dalam intervensi keperawatan menurut Herdman, (2015).

5. Evaluasi

Evaluasi yang diharapkan dari diagnosa hambatan kemampuan

berpindah berdasarkan intervensi keperawatan menurut Herdman,

(2015).

Kriteria yang diharapkan adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2

Evaluasi hambatan kemampuan berpindah pada pasien post operasi

ORIF fraktur tibia.

No Indikator Awal Tujuan Akhir


1 Berpindah dari tempat tidur ke - 4 -
2 kursi - 4 -
3 Berpindah dari kursi ke tempat - 4 -
tidur
Berpindah dari kursi ke kursi
4 Berpindah dari kursi roda ke - 4 -
5 kendaraan - 4 -
6 Berpindah dari kendaraan ke - 4 -
7 kursi roda - 4 -
Berpindah dari kursi roda ke
toilet
Berpindah dari toilet ke kursi
roda

Keterangan skala :

1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu

3. Cukup terganggu

4. Sedikit terganggu

5. Tidak terganggu.

Anda mungkin juga menyukai