Anda di halaman 1dari 2

Ketelitian ‘Athaf dalam Wudhu’

Oleh: Syofyan Hadi

Dalam surat al-Ma’idah [5]: 6, Allah swt berfirman;


)6(... ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ْا ِإَذ ا ُقۡم ُتۡم ِإَلى ٱلَّص َلٰو ِة َفٱۡغ ِس ُلوْا ُوُجوَهُك ۡم َو َأۡي ِدَيُك ۡم ِإَلى‌ٱۡل َم َر اِفِق َو ٱۡم َس ُحوْا ِبُر ُء وِس ُك ۡم َو َأۡر ُج َلُك ۡم ِإَلى ٱۡل َك ۡع َبۡي ِۚن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki…”

Ayat ini adalah tuntunan wudhu’ sebagai salah satu syarat sahnya ibadah shalat seorang hamba.
Perhatikan penempatan kata wa arjulakum ( ‫“ )َو َأۡر ُج َلُك ۡم‬Dan kakimu” sebagai salah satu anggota
tubuh yang wajib disucikan dalam wudhu’. Di mana kata arjulakum (‫“ )أرجَلكم‬Kakimu” dalam
ilmu sintaksis Arab posisinya disebut sebagi ‘athaf (‫“ )العطف‬kata yang digabungkan dengan kata
sebelumnya” dengan adanya huruf wa (‫ )و‬sebelumnya yang dikenal sebagai huruf ‘athaf (‫حرف‬
‫“ )العطف‬Kata hubung”. Kata arjulakum (‫ )أرجَلكم‬ketika dibaca nashab dengan tanda fathah pada
huruf lam (‫)ل‬, sejatinya ia di-‘athaf-kan kepada kata aydiyakum (‫“ )أيدَيكم‬Tangan”. Namun
pertanyaannya, kenapa kata arjulakum (‫ )أرجَلكم‬diletakan setelah kata ru’usikum (‫“ )رأوسِك م‬Kepala”
yang notabene dibaca majrur dengan tanda kasrah? Kenapa kata arjulakum (‫ )أرجلكم‬tidak
diletakan langsung setelah kata aydiyakum (‫ )أيديكم‬sehingga ‘athaf-nya bersifat langsung tanpa
ada perantara sesuai kelaziman komposisi kalimat Arab?

Karena posisis demikian akan menghasilkan hukum tertentu dalam wudhu’;


Pertama, dengan diletakannya kata arjulakum (‫“ )أرجلكم‬Kakimu” setelah ru’usikum (‫)رؤوسكم‬
“kepalamu”, sehingga ‘athafnya menjadi bersifat tidak langsung kerena terpisah dengan kata
yang berposisi majrur yaiatu ru’us (‫ )رؤوِس‬memberi isyarat tentang adanya hukum tartib dalam
wudhu’. Dengan susunan redaksi faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ila al-marafiq wamsahu bi
ru’usikum wa arjulakum ( ‫ )َفٱۡغ ِس ُلوْا ُوُجوَهُك ۡم َو َأۡي ِدَيُك ۡم ِإَلى ‌ٱۡل َم َر اِفِق َو ٱۡم َس ُحوْا ِبُر ُء وِس ُك ۡم َو َأۡر ُج َلُك ۡم‬memberi isyarat
bahwa membasuh anngota tubuh itu harus berurutan mulai dari wajah, tangan, kepala dan dan
terakhir adalah kaki. Andai kata arjulakum (‫“ )أرجلكم‬kaki” diletakan setelah kata aidiyakum (
‫“ )أيديكم‬Tangan”, maka wudhu’ tidak mesti ada tartib dan berurut, boleh mana saja dari anggota
itu yang mau dibasuh lebih dahulu. Maka, meletakan kata “kaki” di akhir, sekalipun secara
struktur tidak ideal, untuk memberi kesan bahwa tidak sah wudhu’ seseorang jika dia tidak
membasuh sesuai urutan yang disebutkan dalam ayat ini dan kaki adalah anggota terakhir yang
mesti dibasuh.
Dua, dengan diletakannya kata arjulakum (‫ )أرجلكم‬setelah kata ru’usikum (‫ )رؤءسكم‬yang notebena
adalah majrur, untuk memberi peluang kepada kata arjulakum (‫ )أرجَلكم‬untuk juga bisa dibaca
majrur yaitu arjulikum (‫ )أرجِلكم‬karena berpeluang di-‘athaf-kan kepada kata ru’usikum (‫)رؤوِس كم‬.
Dengan bolehnya dibaca majrur karena dibolehkan athaf kepada ru’usi ( ‫)رؤوِس‬, maka akan
melahairkan hukum baru di mana kaki boleh diperlakukan seperti kepala yaitu cukup di sapu saja
tanpa harus dibasuh seperti halnya tangan dan wajah. Karena itulah, ada ketentuan dalam banyak
hadis Nabi saw tentang kebolehan mengusap sepatu baik bagi yang muqim maupun musafir
dalam berwudhu’ sama seperti kebolehan mengusap sorban dan penutup kepala lainnya.

Pesannya, begitulah ketelitian gaya bahasa al-Qur’an sehingga perbedaan dalam letak kata
bahkan perubahan kecil dalam satu harakat saja membawa dampak besar dalam konsekwensi
hukum yang dilahirkannya. Subhanallah.

Anda mungkin juga menyukai