Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TEORI HUKUM

TEORI HUKUM MENURUT FILSUF IONIA

FARIDNAN / D10223037
KETUT SUARAYASA/ D10223039

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KESEHATAN


PASCASARJANA UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2023
LATAR BELAKANG
Teori hukum yang muncul dari abad ke abad dan dari generasi ke generasi, tidak hanya
memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan
pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. Sehingga ketika kita mempelajari
teori hukum, akan bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan,
pemikir zaman modern, dan pemikir kontemporer (1). Setidaknya ada 2 (dua) kelompok besar
teori yang memiliki sudut pandang berbeda tentang konsep hukum. Kelompok yang pertama,
melihat hukum sebagai unit aturan (teknis) yang tertutup dan formal-legalistik. Sedangkan
kelompok kedua, melihat hukum sebagai unit terbuka dan menyentuh mosaik sosial-
kemanusiaan. Meskipun berbeda, namun keduanya berisi kisah tentang “pergulatan manusia”
dalam menata diri ditengah situasi yang ada, diantaranya pergulatan antara manusia dengan
“kekuasaan-kekuasaan” disekitarnya. Kekuasaan ini bisa berasal dari alam, lingkungan,
interaksi sosial, bahkan “perasaan bathin” yang ada di dalam diri (2).
Itu sebabnya, Wolfgang Friedmann mengatakan bahwa teori hukum bergumul dengan aneka
antinomi, mlsalnya : alam semesta dan individu, kehendak dan pengetahuan, akal dan lntuisi,
stabilitas dan perubahan, positivisme dan idealisme, kolektivisme dan individualisme,
demokrasi dan otokrasi, universalisme dan nasionalisme, dan lain-lain. Semua antinomi itu
sesungguhnya memperlihatkan sosiologi teori hukum sepanjang sejarah sebagai jawaban
terhadap tantangan lingkungan yang dari masa ke masa. Sehingga pada awalnya, keadilan
dalam konteks teori hukum bukan ditentukan pada kepemihakan pada yang lemah, tetap pada
kemampuan untuk survival berdasarkan kekuatan yang dimiliki masing-masing orang. Inilah
yang kemudian menjadi inti teori hukum dari para filsuf Ionia. Karena basisnya adalah
perjuangan survive (3).

RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa masalah yang perlu dicarikan jawaban
berdasarkan pandangan filsuf ionia, yakni :
1. Bagaimana para filsuf Ionia memandang pergulatan “kekuasaan” tersebut ?
2. Bagaimana para filsuf Ionia memandang keadilan ?
3. Bagaimana implementasi pandangan filsup Ionia tersebut dimasa sekarang ?
PEMBAHASAN
Lahirnya Filsuf Ionia
Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama Yunani
sebelum abad ke-6 Masehi. Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti
Anaximander, lhales, Heraklitus, dan Empedocles (4). Sebagai generasi filsuf awal, mereka
sangat lekat dengan kosmologi alamiah dan mistis. Kosmologi alamiah melahirkan pandangan
bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas
dari kodrat yang tersebut. Bahkan manusia mewarisi sifat bawaan yang cenderung liar,
menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup sebagaimana
apa adanya. Sedangkan mistis melahirkan konsepsi tentang kesatuan alam dan manusia.
Karena itu, apapun yang dibuat manusia (termasuk hukum), harus mencerminkan dan searah
dengan tatanan alam (3).
Jadi teori filsuf Ionia mengenai hukum sebagai kekuatan, benar- benar merupakan strategi
“tertib hidup” dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. Sesuai tingkat
peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Ketika itu, alam dipahami
sebagai jagad penuh kuasa yang hanya tersusun dari benda-benda materi (manusia juga
dianggap benda materi). Karena bangunan benda-benda materi belaka, maka tidak dikenal
adanya tatanan moral sebagai panduan kehidupan. Karena tidak ada tatanan moral, maka
praktis alam dikuasai oleh “logika” dasarnya, yakni kekuatan. Dalam logika kekuatan itulah,
manusia sebagai bagian dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari. Di sinilah
'hukum survive' berlaku, yakni ada atau lenyap.

Pergulatan Kekuasaan dalam Perspektif Filsuf Ionia


Teori para filsuf Ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi alamiah dan mistis. Pertama,
hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan, karena memang berasal dan
diperuntukan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib.
Kedua, tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam
maupun aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logika alam, yakni logika kekuatan.
Aturan alam menjiwai aturan hukum. Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam,
adalah hukum survival. Bagi filsuf Ionia, hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan
mengenai bagaimana manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Persoalan paling pokok dalam
hidup manusia sebenarnya amat sederhana : "ada'' atau "lenyap". Dan ini berlaku untuk semua
mahkluk hidup (5).
Bagi filsuf Ionia, dunia dipahami sebagai bangunan maha besar yang terbangun dari benda-
benda materi. Kosmos dan nomos yang dianggap sebagai tatanan ketertiban dalam era Sofis
dan Socrates, ditepis oleh barisan filsuf Ionia. Seperti dikatakan Heraclitus, bagi dia kosmos itu
tidak ada. Kalaupun ada, maka bentuk terbaiknya mirip timbunan rongsokan yang tersebar
tidak karuan (teori Heraclitus tentang dinamika sosial).
Dalam teori Heraclitus tentang dinamika sosial, perselisihan atau perang merupakan kodrat
sosial. Hasil akhir perang selalu adil, dimana yang kuat mengalahkan yang lemah. Perang akan
menyebabkan sebagian golongan menjadi dewa dan sebagian yang lainnya menjadi manusia
biasa. Singkatnya, inti keadilan adalah pertikaian. Jika keadilan adalah pertikaian dan jika
sukses dalam peperangan adalah standar kebaikan, maka sangat nyata bahwa tatanan yang
ingin dibangun adalah tatanan yang dipandu oleh logika ‘seleksi alam’, logika ‘kuat-lemah’.
Karena itu, hukum bukan saja alatnya orang unggul tetapi juga alatnya orang kuat.
Teori hukum fisuf Ionia mengenai hukum sebagai kekuatan, merupakan strategi tertib hidup
dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi dengan alam. Sesuai tingkat peradaban masa
itu, alam dijadikan sebagai titik tolak analisis. Alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang
hanya tersusun dari benda-benda materi termasuk juga manusia dianggap sebagai benda materi.
Karena bangunan benda-benda materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai
panduan kehidupan. Maka, praktis alam dikuasai oleh logika yang dasarnya adalah kekuatan.
Dalam logika kekuatan, manusia yang merupakan bagian dari alam menjalankan kehidupan
ragawinya sehari-hari. Di sinilah hukum survive berlaku, yakni ada atau lenyap. Dan siapa
yang mampu survive dia berkesempatan menjadi sumber hukum (3).

Keadilan dalam Perspektif Filsuf Ionia


Dalam kajian hukum, kita sering mendengar bahwa salah satu fungsi hukum adalah
menciptakan keadilan. Hubungan hukum dan keadilan memang sering dikaitkan satu sama lain
hingga muncul adagium hukum iustitia fundamentum regnorum yang berarti keadilan adalah
nilai tertinggi, fundamental atau absolut dalam hukum (6). Namun demikian, untuk menjawab
apa itu keadilan para ahli atau filsuf berbeda pandangan dalam merumuskan makna keadilan.
Bagi Plato, keadilan adalah emansipasi dan partisipasi warga polis/negara dalam memberikan
gagasan tentang kebaikan untuk negara. Hal tersebut kemudian dijadikan pertimbangan filsafat
bagi suatu undang-undang. Aristoteles lebih terang menjelaskan tentang keadilan. Menurutnya,
keadilan dimaknai sebagai keseimbangan. Adapun ukuran keseimbangan menurut Aristoteles
adalah kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Hampir sama dengan Aristoteles,
pendapat Thomas Aquinas tentang keadilan adalah apa yang sepatutnya bagi orang lain
menurut suatu kesamaan proporsional.
Filsuf Ionia memandang bahwa hukum tidak lebih dan tidak kurang tentang persoalan
mengenai bagaimana manusia bisa ada dan tetap ada (survive). Persoalan pokok dalam hidup
manusia yaitu, ‘ada atau lenyap’ yang berlaku untuk semua makhluk hidup. Dari kerangka
analisis teori kekuatan ini, kita memperoleh pesan kuat bahwa untuk membangun kehidupan
yang adil dan damai, dibutuhkan adanya tatanan nilai sebagai bingkai kehidupan. Jadi keadilan
dalam perspektif filsup Ionia adalah ketika manusia memiliki kebebasan untuk mengejar
kepentingannya. Menurut filsuf Ionia, keadilan-lah (dan bukan kasih) yang harus menjadi
prinsip dalam hubungan antar manusia. Kasih itu tidak rasional, bertentangan dengan
kepentingan diri sendiri. Keadilan lahir bila saya mempunyai kebebasan yang penuh untuk
mengejar kepentingan diri saya, dan saya juga memberi kebebasan kepada anda untuk
mengejar kepentingan diri anda. Inilah keadilan yang sebenarnya menurut filsuf Ionia (3).

Implementasi Pandangan Filsuf Ionia di Masa Kini


Teori hukum fisuf Ionia mengenai hukum sebagai kekuatan, merupakan strategi tertib hidup
dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi dengan alam. Sesuai tingkat peradaban masa
itu, alam dijadikan sebagai titik tolak analisis. Alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang
hanya tersusun dari benda-benda materi termasuk juga manusia dianggap sebagai benda materi.
Karena bangunan benda-benda materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai
panduan kehidupan. Maka, praktis alam dikuasai oleh logika yang dasarnya adalah kekuatan.
Dalam logika kekuatan, manusia yang merupakan bagian dari alam menjalankan kehidupannya
ragawinya sehari-hari. Di sinilah ‘hukum survive’ berlaku, yakni ada atau lenyap. Dan siapa
yang mampu survive dia berkesempatan menjadi sumber hukum.
Di masa berikutnya, Charles Darwin dengan teori evolusinya menyatakan bahwa organisme
yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah yang paling berhasil dalam
bertahan hidup dan bereproduksi. Pakar ekonomi Smith (1776) dalam karyanya menyatakan
bahwa hanya individu, dan bukan kelompok, yang merupakan elemen penting. Dengan
melakukan hal ini, Smith menyelaraskan dirinya dengan pandangan dunia nominalis (yang
berpendapat bahwa realitas hanya terdiri dari benda-benda konkret dan individual), serupa
dengan pandangan filsuf Ionia. Contoh lain dari “hukum survive” ini ketika Adolf Hitler
mengembangkan tantara Nazi yang di isi oleh orang-orang yang cerdas, perkasa dan kuat.
Dimasa sekarang, “hukum survive” masih berlaku meskipun dalam wajah dan bentuk yang
berbeda. Pengelompokan siswa cerdas dalam sebuah kelas, penerimaan siswa atau mahasiswa
berdasarkan hasil ujian, kekuatan pemilik modal yang bisa menaklukkan penguasa, serta
kondisi lainnya merupakan contoh bahwa hukum survive masih tetap ada.
Orang yang baik menurut Rand adalah orang yang berupaya tetap survive dengan
memanfaatkan akalnya secara maksimal dan menghasilkan karya-karya secara produktif
Sedang orang yang jahat adalah orang yang memilih untuk tidak memakai akalnya, tetapi
berupaya untuk survive, misalnya dengan mencuri milik sesamanya, atau dengan menindas
sesamanya. Rand mengagungkan tiga nilai yang dianggap paling utama dalam menjaga
individu tetap survive dengan kekuatannya. Nilai pertama adalah akal, sebab aka1 dianggap
sebagai satu- satunya alat yang terbaik yang dimiliki manusia untuk ada dan survive. Nilai yang
kedua adalah tujuan yang jelas dan gamblang, yaitu untuk ada dan survive. Dan yang ketiga
adalah harga diri atau rasa percaya diri, yaitu keyakinan dan kepastian pada diri sendiri bahwa
saya mampu untuk berpikir dan pantas untuk tetap hidup.

KESIMPULAN
1. Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama Yunani
sebelum abad ke-6 Masehi. Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti
Anaximander, lhales, Heraklitus, dan Empedocles;
2. Bagi filsuf Ionia, hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan mengenai bagaimana
manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Persoalan paling pokok dalam hidup manusia
sebenarnya amat sederhana : "ada'' atau "lenyap";
3. Keadilan dalam perspektif filsup Ionia adalah ketika manusia memiliki kebebasan untuk
mengejar kepentingannya. Menurut filsuf Ionia, keadilan-lah (dan bukan kasih) yang harus
menjadi prinsip dalam hubungan antar manusia;
4. Dimasa sekarang, “hukum survive” masih berlaku meskipun dalam wajah dan bentuk yang
berbeda. Pengelompokan siswa cerdas dalam sebuah kelas, penerimaan siswa atau
mahasiswa berdasarkan hasil ujian, kekuatan pemilik modal yang bisa menaklukkan
penguasa, serta kondisi lainnya merupakan contoh bahwa hukum survive masih tetap ada.

REFERENSI
1. Rasyidin A, Mardianto. Buku FILSAFAT ILMU.pdf. 2019.
2. Nawawi N. Tokoh Filsuf dan Era Keemasan Filsafat. Vol. 53, Journal of Chemical
Information and Modeling. 2017. 1689–1699 p.
3. A. Heris. Teori Filsuf Ionia : Hukum Itu Tatanan Kekuatan. 2001. 16–24 p.
4. Wirawan, I Ketut. Atmadja, I Dewa Gede. Ariani, I Gusti Ayu Agung. Kartika, I Gusti
Ayu Putri. Purwanto, I Wayan Novy. Yuwono. Suhirman. Bagiastra, I Nyoman.
Danyathi, Ayu Putu Laksmi. Yustiawan, Dewa Gede Pradnya. Yogantara, Pande.
Mayasari IDAD. Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum. 2016;137.
5. PANDANGAN_FILSUF_TERHADAP_PERKEMBANGAN_H.
6. Kamarusdiana. Buku filsafat hukum.pdf [Internet]. 2018. p. 165. Available from:
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47077/1/BUKU
FILSAFAT HUKUM.pdf

Anda mungkin juga menyukai