Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


Dermatitis Atopik

Disusun Oleh:

Caroline Ratnasari Sarwono - 01073190113


Cindy Permata Sari - 01073190040

Pembimbing:

dr. Nana Novia, SpKK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


SILOAM HOSPITALS – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE OKTOBER 2021 – NOVEMBER 2021
TANGERANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR TABEL 3
BAB I LAPORAN KASUS 4
I.1. IDENTITAS PASIEN 4
I.2. ANAMNESIS 4
I.3. PEMERIKSAAN FISIK 5
I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG 8

I.5. RESUME 8
I.6. DIAGNOSIS 9
I.7. PENATALAKSANAAN 9
I.8. PROGNOSIS 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
II.1. DEFINISI 10
II.2. EPIDEMIOLOGI 10
II.3. ETIOLOGI 11
II.4. KLASIFIKASI 12
II.5. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS 14
II.6. MANIFESTASI KLINIS 21
II.7. DIAGNOSIS 23
II.8. DIAGNOSIS BANDING 26
II.9. TATALAKSANA 30
II.10. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS 38
II.11. PENCEGAHAN 40
BAB III ANALISA KASUS 42
DAFTAR PUSTAKA 45

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Progresi dan distribusi DA (fase infantil, anak, dewasa) 13


Gambar 2: Lesi dermatitis atopik pada usia yang berbeda 14
Gambar 3: Eritematosa, edema kelompak mata dengan likenifikasi dan hiperpigmentasi pada DA
fase remaja 14
Gambar 4: Lapisan sawar stratum korneum dan epidermal 16
Gambar 5: Mekanisme imunobiologi pada fase akut dan fase kronis DA 18
Gambar 6: Patogenesis DA dan pruritus 20
Gambar 7: Papula, vesikel, dan erosi pada dermatitis tangan atopik 21
Gambar 8: Tanda dan gejala klinis DA 22
Gambar 9: Indek penilaian SCORAD 26
Gambar 10: Dermatitis seboroik 26
Gambar 11: Dermatitis numularis 27
Gambar 12: Dermatitis kontak iritan 28
Gambar 13: Dermatitis kontak alergi 28
Gambar 14:Lichen simplex chronicus 29
Gambar 15: Skabies 29
Gambar 16: Algoritma tatalaksana dermatitis atopik menurut ICCAD II 32
Gambar 17: Algoritma tatalaksana dermatitis atopik 34
Gambar 18: Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis 35
Gambar 19: Tatalaksana DA berdasarkan derajat keparahan penyakit 37
Gambar 20: DA dengan infeksi sekunder bakteri 38
Gambar 21: DA dengan infeksi sekunder Molluscum contagiosum 39
Gambar 22: Eritroderma 40

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Disfungsi epitelial pada DA 16

3
BAB I
LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN


a. Nama : Ny. SW
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tanggal Lahir : 27 Mei 1992
d. Usia : 29 Tahun
e. Alamat : Kota Tangerang
f. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
g. Agama : Buddha
I.2. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien di Poliklinik Rumah Sakit
Siloam Karawaci Lippo Village pada hari Rabu, 27 Oktober 2021 pada pukul 16.00
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan ruam kemerahan terasa gatal pada lipatan siku serta
lipatan lutut belakang sejak 3 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan ruam kemerahan terasa gatal pada lipatan siku dan
lipatan lutut belakang sejak 3 hari SMRS. Pasien mengatakan gatal dirasakan hampir
setiap hari dan hilang timbul. Pasien mengatakan keluhannya ini muncul setelah pasien
pergi ke pantai 3 hari yang lalu pada cuaca yang panas lalu berkeringat. Pasien juga
mengatakan keluhannya saat ini diperburuk apabila pasien merasa panas dan
berkeringat. Pasien juga sudah mengalami keluhan serupa pada punggung tangannya
sejak 4 tahun yang lalu, namun pasien tidak mengetahui penyebab keluhan pada
punggung tangannya muncul. Pasien menyangkal adanya keluhan perih ataupun ataupun
panas pada daerah ruam kemerahannya tersebut.
Pasien mengatakan belum pernah berobat untuk keluhannya saat ini maupun
keluhan sebelumnya. Pasien belum mengonsumsi obat-obatan untuk keluhannya saat ini,
namun pasien sudah mencoba merubah sabun mandinya menjadi sabun bayi sejak 1 hari
SMRS. Pasien menyangkal menggunakan produk-produk yang dioleskan ke badan,

4
memelihara binatang peliharaan, mengganti deterjen atau pelembut pakaian, atau
menggunakan parfum.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan ruam kemerahan terasa gatal pada lipatan siku
dan lipatan lutut sebelumnya, namun keluhan kulit kering yang terasa gatal pada
punggung tangan sudah dialami selama beberapa tahun belakangan ini. Apabila sudah
sembuh, keluhan sering muncul kembali tanpa faktor pencetus yang jelas. Pasien sebisa
mungkin tidak menggaruk area yang gatal. Pasien menyangkal adanya riwayat asma
ataupun bersin/pilek pada pagi hari.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat alergi ataupun asma
pada keluarga disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sehari-hari bekerja di kantor menggunakan AC dan jarang berkeringat. Pasien
tidak memiliki kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi yang diketahui, pasien belum pernah menjalani tes
alergi sebelumnya. Pasien mengatakan akan merasa gatal dan merah pada seluruh tubuh
apabila mengkonsumsi alkohol.

I.3. PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
a. Kesadaran : Compos Mentis
b. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
c. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Laju Napas : 19x/menit
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36.5oC
Saturasi O2 : 100% room air
d. Berat Badan : 59kg

5
e. Tinggi Badan : 158cm
f. Kepala : Simetris, tidak ada bekas luka ataupun bekas jahitan
g. Mata : Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-)
h. Telinga : Daun telinga simetris kiri dan kanan, pendengaran baik
i. Hidung : Septum hidung simetris, hiperemia (-), lendir (-)
j. Mulut : Mukosa tidak kering, bibir sianosis (-), faring hiperemis
(-), tonsil hiperemis (-), T1/T1
k. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi
trakea (-)
l. Thorax
Cor
- Inspeksi : bekas luka (-), pectus excavatum (-), pectus carinatum (-), massa (-)
- Palpasi : batas jantung normal
- Perkusi : massa (-), nyeri tekan (-), ictus cordis teraba
- Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
- Inspeksi : pergerakan nafas simetris, retraksi (-), bekas luka (-), barrel chest (-)
- Palpasi : sonor pada kedua lapang paru
- Perkusi : Tactile fremitus normal, pengembangan dada simetris
- Auskultasi : bronchovesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
- Inspeksi : perut datar, bekas luka (-), caput medusa (-), spider naevi (-), massa (-)
- Auskultasi : bunyi bising usus normal, metalic sound (-)
- Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-), ginjal
normal
- Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen
m. Kulit : kulit secara general tampak kering, dermographism (-)
n. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
o. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, sianosis (-), ROM aktif/tidak
terbatas, clubbing finger (-), edema (-)

6
Status Dermatologis
- Regio Cubital

Dextra Sinistra

Efloresensi : makula hiperpigmentasi difus, skuama, krusta milier multipel, ekskoriasi,


bilateral
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Regio Poplitea
Dextra Sinistra

7
Efloresensi : makula eritema soliter berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi,
bilateral

- Regio Metacarpal

Efloresensi : papul eritematosa multipel difus, erosi, ekskoriasi, likenifikasi, bilateral

I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

I.5. RESUME
Pasien Ny. S datang dengan keluhan ruam kemerahan terada gatal pada lipatan siku dan
lipatan lutut belakang sejak 3 hari SMRS. Pasien mengatakan gatal dirasakan hampir setiap
hari dan hilang timbul. Pasien mengatakan keluhannya ini muncul setelah pasien pergi ke
pantai 3 hari yang lalu pada cuaca yang panas lalu berkeringat. Pasien juga mengatakan
keluhannya saat ini diperburuk apabila pasien merasa panas dan berkeringat. Pasien juga
sudah mengalami keluhan serupa pada punggung tangannya sejak beberapa tahun yang lalu,
namun pasien tidak ingat kapan keluhan gatal pada punggung tangan ini muncul dan
disebabkan oleh apa. Pasien sudah mencoba merubah sabun mandinya menjadi sabun bayi
sejak 1 hari SMRS. Pasien tidak memiliki riwayat alergi yang diketahui, namun pasien

8
mengatakan akan merasa gatal dan merah pada seluruh tubuh apabila mengkonsumsi
alkohol.
Pada pemeriksaan fisik terlihat kulit secara keseluruhan kering. Ditemukan makula
eritematosa multipel difus, erosi, pada regio fossa cubital; ditemukan makula eritema soliter
berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi, bilateral pada regio fossa popliteal;
ditemukan pada papul eritematosa multipel difus, erosi, ekskoriasi, likenifikasi, bilateral
pada regio metacarpal.

I.6. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Kerja : Dermatitis Atopik fase dewasa
b. Diagnosis Banding : Dermatitis Kontak Iritan, Skabies

I.7. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
- Inerson 15mg Oinment 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi
- Fusycom 5g Cream 2x1 pada bagian yang luka, pagi dan sore hari setelah mandi
- Triamcort 4mg Tab
- Noroid Cream 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi
b. Non Medikamentosa
- Mandi menggunakan air suam-suam kuku untuk membersihkan dan menghidrasi
kulit.
- Ganti sabun mandi menjadi yang tidak iritatif → sabun bayi
- Gunakan pelembab setiap setelah mandi walaupun lesi sudah sembuh sebagai
pemeliharaan kulit
- Jangan menggaruk lesi karena dapat memperparah lesi. Apabila gatal, makan obat
gatal.
- Jaga kuku agar tetap pendek untuk mengurangi resiko luka saat menggaruk.

I.8. PROGNOSIS
a. Ad vitam : bonam
b. Ad functionam : bonam

9
c. Ad sanationam : bonam
d. Ad kosmetikam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi
Dermatitis merupakan peradangan kulit bagian epidermis dan dermis sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau endogen sehingga menyebabkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal. Dermatitis atopik atau dapat
disebut sebagai DA merupakan penyakit peradangan kulit berupa dermatitis yang bersifat
kronis residif, ditandai dengan rasa gatal yang ringan sampai berat pada bagian tubuh
tertentu, dan sebagian besar muncul pada masa bayi ataupun anak. Pasien dengan DA
sering memiliki komorbiditas atopik seperti asma akibat alergi, rhinitis alergi dan
mengalami gangguan kualitas hidup yang cukup signifikan.
Istilah
atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923 untuk
menggambarkan kecenderungan mengembangkan hipersensitivitas alergi dari manifestasi
asma dan hayfever. Istilah atopi berasal dari kata Yunani “atopos” atau “without place”
yang memiliki arti penyakit kulit yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang terkena,
patogenesis, maupun perjalanan penyakitnya. Wise dan Sulzberger menciptakan istilah
dermatitis atopik pada tahun 1933 untuk menggambarkan penyakit kulit eksim berulang
yang ditemukan pada pasien dengan riwayat keluarga penyakit atopik.1

II.2. Epidemiologi
Sejak
tahun 1960, prevalensi DA telah meningkat lebih dari tiga kali lipat. Saat ini
diperkirakan bahwa 10-20% anak-anak dan 1-3% orang dewasa di negara maju
terpengaruh oleh penyakit ini seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Eropa Utara dan
Barat. Di Indonesia, menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) angka
prevalensi kasus DA menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak
yaitu sebanyak 611 kasus atau sebesar 23,67%. DA sering dimulai pada awal masa bayi
yaitu sekitar 45% dari semua kasus dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60%
selama tahun pertama, dan 85% sebelum mencapai umur 5 tahun. Tetapi, hingga 70%
10
anak-anak dengan DA akan masuk ke masa remisi klinis sebelum menuju umur remaja.
Prevalensi DA pada usia dewasa tidak dapat dipastikan tetapi sekitar 3-7% di Amerika
Serikat, Jerman, dan Jepang. Terdapat juga studi yang menunjukkan rasio perempuan dan
laki-laki ialah 1.3 dan 1.0 sehingga perempuan lebih dominan pada penyakit ini.1,2
Beberapa penelitian mengungkapkan tingkat prevalensi yang lebih rendah di
kawasan pedesaan dibandingkan kawasan perkotaan di negara yang sama. Beberapa
faktor yang mempengaruhi DA adalah paparan polusi udara, obesitas, pemakaian
antibiotik, peningkatan pendapatan ekonomi.2

II.3. Etiologi
Etiologi
DA sampai saat ini masih dianggap multifaktor dan patogenesis yang masih
dilakukan berbagai penelitian baik di bidang genetik maupun faktor lingkungan.
Beberapa faktor pencetus pada DA adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal
termasuk faktor genetik dan imunologik. Faktor eksternal dapat berupa lingkungan, gaya
hidup, dan psikologis. Faktor genetik akan menghasilkan disfungsi sawar kulit serta
perubahan sistem imun khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen
mikroba.3
Faktor
kromosom 5q31-33 memegang peranan penting dalam ekspresi dermatitis
atopik karena mengandung kumpulan sitokin yang diekspresikan oleh sel TH2. DA lebih
banyak ditemukan pada penderita yang memiliki riwayat atopi dalam keluarganya. Faktor
imunologi juga mempengaruhi DA seperti kadar IgE dalam serum penderita meningkat
pada 60-80% kasus dan ditemukan molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.4
Faktor
lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap prevalensi DA. Faktor
lingkungan seperti polutan (asap rokok, polusi udara meningkatkan suhu dan penurunan
kelembaban udara), alergen baik aeroalergen (tungau debu rumah, serbuk sari, bulu
binatang) maupun makanan (susu, telur, kacang-kacangan, ikan laut, gandum). Faktor
psikologi pada DA didapatkan adanya gangguan psikis yang tergolong tinggi. Penderita
dermatitis sering mengalami frustasi, cemas, merasa tidak aman yang mengakibatkan

11
timbulnya rasa gatal. Tetapi teori ini masih belum jelas dan diperlukan penelitian lebih
lanjut.3

II.4. Klasifikasi
Klasifikasi
DA berdasarkan keterlibatan organ tubuh dapat terbagi atas DA murni
dan DA campuran. DA murni artinya hanya terdapat di kulit tanpa keterlibatan saluran
nafas. DA campuran adalah adanya kelainan di organ lain contohnya asma bronkial,
rhinitis alergika, serta hipersensitivitas terhadap alergen polivalen (aeroalergen dan
makanan). Bentuk murni DA terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe intrinsik dan ekstrinsik.
Tipe intrinsik yaitu DA tanpa bukti hipersensitivitas terhadap alergen polivalen dan tidak
terdapat peningkatan IgE total serum. Sedangkan tipe ekstrinsik adalah bila terdapat bukti
hipersensitivitas terhadap alergen hirup dan makanan pada uji kulit, adanya peningkatan
IgE total serum, peningkatan sitokin yaitu IL-4 dan IL-13.3
Klasifikasi DA secara klinis berdasarkan usia saat terjadinya DA terbagi atas DA
fase infantil, anak, dan dewasa.
a. Fase Infantil (2 bulan – 2 tahun)
DA sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu setelah usia 2 bulan
sampai 2 tahun. Tempat predileksi utama lesi DA di wajah, diikuti kedua pipi dan
tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, dan tungkai terutama di bagian volar/fleksor. Lesi dapat
berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, dan karena digaruk maka lesi dapat
pecah timbul eksudat dan terbentuk krusta. Infeksi sekunder juga dapat terjadi
oleh karena gatal dan garukan lesi. Likenifikasi mulai muncul sekitar usia 18
bulan. Fungsi motorik akan bertambah sempurna seiring bertambahnya usia anak
dan ia mulai merangkak dan berjalan sehingga lesi kulit dapat ditemukan di
daerah lutut, siku, dan mudah mengalami trauma. Fase infantil dapat mereda dan
sembuh, tetapi ada juga yang berkembang menjadi fase anak atau fase remaja.
Pada usia bayi kurang dari 1 tahun, alergen makanan juga sering menjadi

12
pengaruh, tetapi pada usia yang semakin bertambah, alergen hirup lebih
berpengaruh.3
b. Fase Anak (2 – 12 tahun)
Fase anak dapat merupakan kelanjutan dari bentuk fase infantil atau timbul
sendiri (de novo). Lesi pada DA anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia
sekolah dan tempat predileksi biasanya di fosa kubiti dan poplitea, fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata, dan leher. Lesi tersebar secara simetris. Kulit
pasien DA cenderung lebih kering. Lesi juga dapat disertai hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta, dan skuama. Pada fase ini, pasien lebih
sensitif terhadap alergen hirup, wol, dan bulu binatang.3
c. Fase Remaja dan Dewasa (> 12 tahun)
Fase
remaja dapat merupakan kelanjutan dari fase anak. Pada DA fase
remaja dan dewasa, bentuk lesi mirip dengan fase anak dan didapatkan
likenifikasi terutama pada daerah lipatan-lipatan tangan. Tempat predileksi
biasanya meluas mengenai kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan,
bibir, leher bagian anterior, skalp, dan puting susu. Lesi juga dapat disertai
skuama, ekskoriasi, hiperkeratosis, hiperpigmentasi. Pada fase dewasa, rasa gatal
lebih hebat saat beristirahat, udara panas, atau berkeringat. Fase ini berlangsung
kronik-residif sampai usia 30 tahun dan bisa lebih.3

13
1
Gambar 1: Progresi dan distribusi DA (fase infantil, anak, dewasa)

Gambar 2: Lesi dermatitis atopik pada usia yang berbeda2

14
Gambar 3: Eritematosa, edema kelopak mata dengan likenifikasi dan hiperpigmentasi pada DA fase
remaja. Terdapat lipatan Dennie-Morgan infraokular1

II.5. Patofisiologi dan Patogenesis


DA adalah penyakit multifokal dengan berbagai etiologi. Berbeda etiologi terlibat
dalam patogenesis DA. Patogenesis dermatitis atopik melibatkan interaksi kompleks
antara disfungsional sawar kulit, kelainan mikrobioma kulit, dan disregulasi imun.

a. Disfungsi Sawat Kulit


Dermatitis
atopik berhubungan dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
turunnya fungsi gen yang meregulasi filagrin dan lorikrin yaitu amplop keratin,
kurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-
epidermal-water-loss (TEWL) sebesar 2-5 kali orang normal. Sawar kulit juga dapat
menurun akibat terpajan protease eksogen dari tungau debu rumah dan superantigen
Staphylococcus aureus, dan kelembaban udara. Perubahan sawar kulit ini berakibat
terhadap peningkatan absorbsi dan hipersensitivitas terhadap alergen. Peningkatan
TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air (skin capacitance), dan
perubahan komposisi lipid esensial kulit akan menyebabkan keringnya kulit pasien
DA dan bertambahnya sensitivitas gatal terhadap rangsangan. Garukan akibat gejala
klinis gatal dapat menimbulkan erosi atau ekskoriasi sehingga dapat meningkatkan
penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit.3
Stratum
korneum membentuk penghalang yang berkontribusi terhadap
pencegahan kebocoran cairan tubuh, retensi air internal dalam lapisan sel, dan
berkontribusi pada pertahanan biologis. Jika fungsi penghalang lapisan sel tanduk
tidak berfungsi, maka iritabilitas kulit terhadap rangsangan non-spesifik ditingkatkan,
sensitisasi alergen dan peradangan mungkin terjadi. Lipid antar sel di stratum
korneum terdiri dari seramid, kolesterol, dan asam lemak. Dalam kasus AD, fungsi
dari lipid antar sel pada stratum korneum memburuk karena penurunan abnormal
kandungan seramid, dan kapasitas retensi kelembaban terganggu.5

15
Gambar 4: Lapisan sawar stratum korneum dan epidermal5

Tabel 1 : Disfungsi epitelial pada DA6

b. Perubahan Sistem Imun


Perubahan
imunpatologi berhubungan dengan faktor genetik sehingga fenotip dari
DA bervariasi. Penelitian menunjukkan gen 11q13 pada pasien DA merupakan gen

16
pengkode reseptor IgE yang mengekspresikan rangkaian peristiwa imunologi pada
DA. Disfungsi sawar kulit akan menyebabkan produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-
6, IL-8, TNF-a) meningkat dan merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler
dermis sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit.3
Peningkatan
kadar IgE pada DA menyebabkan reaksi eritema pada kulit. Adanya
stimulasi IL-4 terhadap sel T (CD4) dan IL-13 terhadap sel B untuk memproduksi
IgE, dan sebaliknya interferon y (IFNy) dapat mensupresi sel B. Jumlah dan potensi
IL-4 lebih besar daripada IFNy. Fungsi dari IL-5 adalah menginduksi proliferasi sel
eosinofil sebagai parameter DA.3
Penurunan
fungsi penghalang kulit memungkinkan alergen dengan mudah
menembus kulit. Alegen menginduksi reaksi imun tipe 2 melalui aktivitas protease.
Sel T pembantu dapat dibagi menjadi sel Th1 dan Th2. Th1 sel telah terbukti terlibat
dalam imunitas sel, sedangkan sel Th2 terutama terkait dengan reaksi alergi. Respon
imun tipe 2 menyebabkan induksi antibodi IgE spesifik alergen. Sel langerhans dan
sel mas mengekspresikan reseptor IgE afinitas tinggi (Fc 3RI) dan melepaskan
sitokin dan histamin melalui pengikatan IgE spesifik alergen untuk menginduksi
peradangan. Protein S100 diproduksi oleh epidermis kerusakan lebih lanjut
mengaktifkan limfosit.5
Lesi
akut DA dengan edema interselular (spongiosis) dan infiltrat epidermis
terutama terdiri atas limfosit T, sel langerhans, dan makrofag mengekspresikan
molekul IgE. Di dermis, sel radang limfosit T dengan epitop CD3, CD4, dan CD45R,
monosit-makrofag, sedangkan sel eosinofil jarang ditemukan, jumlah sel mas normal
tetapi aktif ber-degranulasi. Lesi kronik DA ditandai dengan hiperplasi epidermis,
pemanjangan rete ridges, sedikit spongiosis, dan hiperkeratosis. Terdapat
peningkatan sel langerhans dan jumlah IgE di epidermis, infiltrat pada dermis lebih
banyak mengandung sel mononuklear/makrofag dan sel mas yang bergranulasi
penuh, banyak eosinofil, tidak ada neutrofil walaupun ada peningkatan kolonisasi
dan infeksi Staphylococcus aureus. Pada fase akut, T-helper 2 melepas IL-4 dan IL-
13 yang menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel endotel.

17
Pada fase kronik, sel T-helper 1, IL-11, dan transforming growth factors beta-1
menghasilkan IL-12 dan IL-18.3,7

Gambar 5: Mekanisme imunobiologi pada fase akut dan fase kronis DA8

c. Alergen
Faktor eksogen seperti alergen hirup (debu rumah, tungau debu, molds, polen)
berperan penting dengan kejadian DA. Berbagai penelitian telah dilakukan dan
membuktikan bahwa peningkatan kadar IgE spesifik (IgE RAST) terhadap tungau
debu rumah lebih tinggi pada pasien DA daripada dengan kondisi lain. Hasil uji
tempel terhadap alergen tungau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik
yaitu pembentukan infiltrat selular yang diperantai sel T helper 2 serta ditemukan
eosinofil dan basofil.3
d. Superantigen (SAg)

18
Lesi
DA menunjukkan peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus. Hasil
penelitian dengan intervensi antibiotik menurunkan jumlah kolonisasi tersebut. S.
aureus dapat melekat di kulit karena interaksi protein A2 dan asam teikoik pada
dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pasien DA mengalami
perubahan komposisi lipid serta kurangnya sfongosin dan natural antimicrobial
agent yang memungkinkan S. aureus tumbuh dan berkolonisasi.3
Superantigen
memiliki efek imunomodulator yang menyebabkan apoptosis sel T,
sel eosinofil, meningkatkan pelepasan histamin dan leukotrien, sintesis IgE, dan
menurunkan potensi glukokortikoid. SAg menyebabkan inflamasi pada kulit DA,
dapat memacu kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik, dan
menginduksi influks cutaneous lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T. 3
e. Predisposisi Genetik
Lebih dari 80 gen telah dikaitkan dengan DA. Dari berbagai gen, mutasi yang
melibatkan filagrin yaitu protein di epidermal telah menjadi predisposisi utama faktor
AD pada orang kulit putih Eropa dan Asia. Gen filagrin ditemukan pada kromosom
1q21, yang mengandung berbagai gen (termasuk involucrin, loricrin, dan protein
pengikat kalsium S100) di epidermal differentiation complex (EDC), yang diketahui
diekspresikan selama diferensiasi terminal di epidermis.
Hasil penelitian menunjukkan risiko DA pada kembar monozigot 77% dan pada
kembar dizigot 25%. Pola warisan DA dalam keluarga bersifat multifaktorial dan
tidak mengikuti hukum Mendel. Sekitar 60% pasien DA akan memiliki anak atopi.
f. Mekanisme Pruritus
Mekanisme
rasa gatal atau pruritus pada DA belum dapat dijelaskan seutuhnya
dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Patogenesis DA berhubungan
dengan faktor genetik dan hipersensitivitas tipe 1 fase lambat namun dianggap pada
DA dapat juga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Ditemukan
peningkatan kadar histamin di kulit pasien DA, tetapi peningkatan ini tidak disertai
dengan peningkatan dalam darah. Hasil studi menyatakan antihistamin memberi efek
minimal saja dalam mengatasi pruritus sehingga perlu dipikirkan kemungkinan

19
mediator lain yang bersifat pruritogenik seperti golongan neuropeptida, protease,
opoid, eikosanoid, dan sitokin.3
Lesi kulit AD melepaskan berbagai zat (pruritogen), termasuk sitokin dan
kemokin (misalnya IL-31, IL-4, dan TSLP), dan mediator kimia yang menginduksi
pruritus. Zat-zat ini bekerja pada saraf dan dengan demikian menyebabkan gatal,
yang pada akhirnya menyebabkan perilaku menggaruk. Menggaruk menyebabkan
semakin memburuknya infeksi kulit. Hipersensibilitas kulit dapat diamati pada
kondisi inflamasi kronis seperti DA. Hipersensitivitas dapat disebabkan oleh
perluasan saraf sensorik kulit serat sampai di bawah lapisan sel tanduk dari
permukaan kulit karena kulit kering atau peradangan. Reaksi hipersensitivitas
abnormal dimana stimulasi nyeri dan panas menyebabkan gatal juga telah dilaporkan
untuk DA. Ketidakseimbangan antara sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis, faktor emosional dan psikogenik berhubungan dengan onset dan
memburuknya gatal.5
g. Faktor Psikologis
Hasil psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi
dan dapat berupa rasa cemas, stres, dan depresi. Rasa gatal yang terus menerus dapat
memicu pasien untuk menggaruk sheingga menyebabkan kerusakan kulit dan
kecemasan pasien akan meningkat karena melihat kerusakan tersebut. Dari hasil
studi penelitian juga ditemukan bahwa pasien DA memiliki kecenderungan untuk
bersikap temperamental, mudah marah, agresif.3

20
Gambar 6: Patogenesis DA dan pruritus5

II.6. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis DA dapat ditemukan pada kulit (cutaneous) maupun di luar kulit
(non-cutaneous). Temuan klinis pada kulit pasien DA adalah lesi eksematosa, pruritus,
dan perjalanan penyakit yang kronis atau terjadi relaps. Lesi eksematosa biasanya
menunjukkan distribusi lesi yang berhubungan dengan usia. Pada fase infantil, bayi
biasanya datang dengan lesi akut yang ditandai dengan eritema berbatas tidak tegas,
dengan vesikel, edema, ekskoriasi, dan adanya eksudat serosa. Pada fase anak, lesi lebih
terlokalisir dan kronis dibandingkan pada fase infantil, dengan lesi eritema pucat, kulit
kering (xerosis), batas tidak tegas umumnya terdapat juga likenifikasi. Pada fase dewasa,
chronic hand eczema mungkin menjadi manifestasi DA yang utama. Setidaknya terdapat
sepertiga pasien memiliki manifestasi klinis defisiensi filagrin seperti iktiosis vulgaris,
keratosis pilaris, dan hiperlinear palmar. Gambaran klinis tersebut berhubungan dengan
gangguan genetik yang mengkode protein filagrin.1

21
Gambar 7: Papula, vesikel, dan erosi pada dermatitis tangan atopik1

Pada manifestasi klinis non-cutaneous, pasien dengan AD terdapat beban kondisi


komorbiditas yang lebih tinggi. Pasien dengan AD sering menunjukkan aktivasi tanda-
tanda kekebalan T helper 2 (Th2), termasuk total spesifik serum IgE yang tinggi,
eosinofilia, dan kecenderungan terhadap komorbiditas alergi. Studi berbasis populasi
besar mengungkapkan pasien dengan DA memiliki prevalensi alergi makanan, asma, dan
rinitis alergi yang lebih tinggi.1
Sejumlah penelitian pada populasi anak-anak dan orang dewasa mengungkapkan
DA, terutama penyakit sedang hingga berat, sangat mempengaruhi emosi dan psikologis
seorang pasien. Anak-anak dengan DA menampilkan lebih banyak masalah emosional
dan perilaku dibandingkan dengan peserta kontrol biasa. Studi berbasis populasi juga
menemukan prevalensi yang lebih tinggi dari gangguan hiperaktif (ADHD), kecemasan,
gangguan perilaku, dan autisme pada anak-anak dengan DA dibandingkan dengan anak-
anak tanpa DA. Risiko dari ADHD pada anak-anak dan orang dewasa tampaknya
dimediasi oleh gangguan tidur, konsekuensi umum dari pruritus pada AD. Kecemasan
dan depresi sering ditemukan pada pasien dewasa dengan AD. Antara 43% dan 57%
pasien memenuhi ambang batas di Skala Kecemasan dan Depresi untuk kemungkinan
kecemasan atau depresi dalam uji klinis fase 3 untuk AD.1

22
Gambar 8: Tanda dan gejala klinis DA2

II.7. Diagnosis
Diagnosis DA
dibuat hanya setelah kondisi lain seperti psoriasis, skabies, dermatitis
seboroik, atau dermatitis kontak dapat disingkirkan. Diagnosis DA berdasarkan penilaian
klinis dengan gejala utama berupa gatal dengan penyebaran simetris pada tempat
predileksi sesuai usia. Selain itu, perjalanan penyakit dari dermatitis bersifat kronik-
residif dan/atau memiliki riwayat atopi pada pasien atau keluarga.1,3
Baku emas dari kriteria diagnosis DA adalah berdasarkan Hanifin-Rajka. Menurut
Hanifin-Rajka kriteria diagnosis dari DA terbagi diagnosis secara luas dan diagnosis
khusus untuk bayi dimana keduanya terbagi lagi atas kriteria mayor dan minor. 9 Dalam
menegakkan diagnosis DA, pasien harus memenuhi 3 kriteria klinis mayor dan 3 atau
lebih kriteria klinis minor.
a) Bayi (< 2 tahun)
Kriteria Major Kriteria Minor
Family history of atopic dermatitis Xerosis/ichthyosis/hyperlinear
palms
Evidence of pruritic dermatitis Periauricuar fissure
Typical facial or extensor eczematous or lichenified Chronic scalp scaling
dermatitis
Diaper area and/or facial mouth/nose area is free of skin Perifollicular acccentuation
lesion

b) Dewasa
Kriteria Major Kriteria Minor
History of flexural Dry skin Dennie-Morgan infaorbital fold
dermatitis
Onset <2 years old Ichtyosis Keratoconus
Presence of an Palmar hyperlinearity Cataract
itchy rash
Personal history of Keratosis pilaris Orbital darkening
asthma
History of dry skin Type I allergy and increased serum IgE Facial pallor/facial erythema
Visible flexural Hand and foot dermatitis Anterior neck folds
dermatitis
Cheilitis Itch when sweating
Nipple eczema Intolerance to wool and lipid solvents
Increased presence of Staphylococcus Course influenced by environmental
aureus and Herpes simplex and emotional factors

23
Perifollicular keratosis Food intolerance
Pityriasis alba Perifollicular accentuation
Early age of onset White dermographism of delayed
blanch
Recurrent conjunctivitis

Selain
itu, terdapat kriteria diagnosis lainnya berdasarkan Williams. Kriteria
diagnosis ini sering digunakan dan mudah untuk diaplikasikan sehari-hari karena tidak
memiliki kriteria minor pada Hanifin-Rajka yang hanya ditemukan pada <50% kasus
DA.10 Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kriteria Williams bersifat lebih
spesifik sedangkan kriteria Hanafin-Rajka lebih sensitif.3 Kriteria diagnosis dari williams
harus memiliki klinis kulit gatal (atau laporan orang tua tentang menggaruk atau
menggosok) ditambah tiga atau lebih dari klinis lainnya yaitu:

- Riwayat kondisi kulit kering pada daerah lipatan kulit (misalnya, bagian depan
siku, bagian belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki, dan area di sekitar
leher atau mata).
- Riwayat asma atau hay fever (atau riwayat penyakit atopik pada kerabat tingkat
pertama jika anak berusia di bawah empat tahun)
- Riwayat kulit umumnya kering dalam satu tahun terakhir.
- Onset pada anak di bawah usia dua tahun (kriteria tidak digunakan jika anak
berusia di bawah empat tahun).
- Dermatitis fleksural yang terlihat (termasuk dermatitis yang mempengaruhi pipi
atau dahi dan aspek luar anggota badan pada anak di bawah usia empat tahun).113

Penilaian derajat keparahan DA adalah langkah pertama yang direkomendasikan oleh


pedoman dalam menentukan tatalaksana dan untuk memantau respon pengobatan. Sistem
skoring yang divalidasi termasuk indeks SCORing AD (SCORAD) dan Eczema Area and
Severity Index (EASI). Keduanya memperhitungkan tanda-tanda klinis dan area
keterlibatan; SCORAD juga mencakup penilaian subjektif dari pruritus dan kualitas tidur.
SCORAD dan EASI digunakan terutama dalam uji klinis dan terlalu memakan waktu
untuk praktik klinis rutin. Penilaian EASI memiliki parameter area yang terlibat dalam
persentase untuk 4 wilayah dan tingkat keparahan untuk setiap wilayah. Nilai akhir dari

24
hasil penilaian dikelompokkan sebagai clear (0), Almost clear (0.1-1), mild (1.1-7),
moderate (7.1-21), severe (21.1-50), very severe (50.1-72).12 4

Indeks SCORAD terbagi atas penilaian luas penyakit, intensitas, dan subjektif. Luas
penyakit dihitung secara rule of nine, kecuali pada anak-anak usia dibawah 2 tahun
dimana bagian kepala dihitung 8.5%, dan ekstremitas 6%. Penilaian intensitas adalah
berdasarkan morfologi seperti eritema, edema/papul, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan
xerosis kulit yang kemudian setiap variabel mempunyai nilai 0-3 dan tidak terdapat nilai
1⁄2 . Penilaian subjektif adalah berdasarkan anamnesis keluhan pasien seperti rasa gatal
dan gangguan tidur dengan skoring VAS. Dari setiap penilaian kemudian dihitung
dengan rumus SCORAD yaitu A/5+7B/2+C. Total nilai akhir kemudian digolongkan
sebagai clear (0-9.9), mild(10-28.9), moderate(29-48.9), dan severe(49-103).12,13 5

Gambar 10. Indek penilaian SCORAD

25
Pemeriksaan
penunjang pada diagnosis dermatitis atopik hanya dilakukan apabila
terdapat keraguan klinis. Pemeriksaan laboratorium seperti peningkatan kadar IgE dan
eosinofil tidak dapat digunakan sebagai patognomonik karena hal tersebut dapat
ditemukan pada 15% orang sehat. Selain itu, pemeriksaan seperti uji kulit tidak dapat
digunakan sebagai alat diagnostik karena hanya menunjukkan apabila ada dugaan pasien
alergi terhadap debu atau makanan tertentu saja. Kegunaan klinis uji tempel dengan
alergen di udara masih belum jelas. Uji tempel berguna untuk menyingkirkan diagnosis
dugaan dermatitis kontak alergi.3

 Panel Alergi
Peran makanan dan aeroallergen dalam patogenesis dan eksaserbasi DA
masih kontroversial. Meskipun sebagian besar pasien dengan DA
menunjukkan antibodi IgE spesifik terhadap makanan dan/atau aeroallergen
pada uji cukit kulit (SPT) dan pengukuran kadar IgE spesifik serum,
signifikansi klinisnya masih belum jelas. Dengan kata lain, sementara uji
cukit positif atau tes IgE spesifik serum menunjukkan sensitisasi terhadap
alergen tertentu, ini tidak membuktikan hipersensitivitas atau penyebab klinis.
Dalam studi klinis, sekitar 35% anak-anak dengan DA sedang hingga
berat ditemukan memiliki alergi makanan yang berhubungan. Secara umum,
semakin muda pasien dan semakin parah DA, semakin besar kemungkinan
alergen makanan tertentu dapat memperburuk penyakit, namun hal ini
biasanya terlihat pada riwayat klinis. Sebaliknya, alergi makanan tampaknya
jarang ditemukan dalam AD dewasa.
Pengujian acak atau skrining terhadap alergen makanan tidak dianjurkan
karena hal ini dapat menyebabkan pembatasan diet yang tidak perlu dan tidak
tepat pada pasien dengan DA. Nilai prediktif positif dari panel skrining
alergen makanan dalam kasus tersebut adalah serendah 2%, dan panel
skrining ini terkait dengan pemanfaatan perawatan kesehatan yang signifikan.
Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan tes alergi terhadap makanan
harus didasarkan pada ada tidaknya riwayat pasien yang sangat sugestif
terhadap alergi makanan. Pasien anak-anak dengan DA yang dipicu oleh

26
makanan seringkali diinstruksikan untuk memulai diet eliminasi yang ketat
dari makanan pencetus. Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa diet
eliminasi ini harus diinisiasi dengan hati-hati karena secara tidak sengaja
dapat menyebabkan hilangnya toleransi makanan dan meningkatkan risiko
reaksi makanan yang diperantarai IgE.
Paparan aeroallergen seperti tungau debu rumah, bulu binatang, serbuk
sari dan jamur dapat memperburuk DA pada beberapa pasien. Dalam kasus
ini, identifikasi sensitisasi oleh tes cukit mungkin berguna. Jika sensitisasi
ditegakkan, dan riwayat menunjukkan peran penyebab dalam memperburuk
DA, maka tindakan penghindaran khusus harus dipertimbangkan karena
menghilangkan alergen dari lingkungan pasien dapat memperbaiki gejala DA.
Patch test atopi masih dianggap sebuah pemeriksaan investigasi pada pasien
dengan DA karena tidak ada metode standar aplikasi atau interpretasi tes.
Namun, patch test mungkin berguna untuk mengecualikan diagnosis
dermatitis kontak bersamaan.40

II.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding
dari dermatitis atopik bergantung pada fase atau usia,
manifestasi klinis, serta lokasi. Berdasarkan setiap fase-nya terbagi atas fase bayi, anak-
anak, dan dewasa. Pada fase bayi diagnosis banding antara lain adalah dermatitis
seboroik. Kemudian pada fase anak diagnosis banding antara lain dermatitis numularis,
dan dermatitis kontak. Pada fase dewasa, diagnosis banding DA adalah neurodermatitis
atau liken simpleks kronikus dan psoriasis.3,13
Dermatitis seboroik pada bayi memiliki gambaran erupsi merah, mengkilat, dan
berbatas tegas yang biasanya mengenai area popok terjadi pada bayi berusia empat bulan
atau lebih muda. Perut bagian bawah dan ketiak mungkin juga terlibat, dan skuama kulit
kepala (cradle cap). Bayi tampak nyaman dan kondisi ini akan hilang dalam beberapa
bulan. Sedangkan, pada fase dewasa memiliki gambaran eritema dengan batas tidak jelas
karena pertumbuhan berlebih atau sensitivitas terhadap jamur malassezia terdapat di area
seboroik (sisi hidung, alis, saluran telinga luar, kulit kepala, bagian depan dada, ketiak,
dan lipatan selangkangan).11

27
Gambar 11. Dermatitis seboroik

Dermatitis numularis adalah inflamasi pada kulit yang idiopatik yang bersifat kronis
dan dapat kambuh, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis numularis
adalah dermatitis atopik, kulit kering, stres dan adanya pergantian musim. Penyakit kulit
ini dikarakteristikan dengan lesi makula eritema berbentuk koin berukuran 1-5 cm atau
oval dengan batas yang tegas, adanya rasa gatal serta berskuama. Lokasi lesi biasanya
pada tungkai dan seringkali disertai infeksi sekunder seperti bakteri Staphylococcus
aureus.279

Gambar 12. Dermatitis numularis

28
Dermatitis kontak terbagi atas dermatitis kontak iritan dan alergi. Dermatitis kontak
iritan adalah penyakit kulit yang disebabkan karena adanya paparan terhadap zat kimia
atau logam yang menghasilkan efek toksik tanpa menimbulkan respon dari sel T.
Berkembangnya dermatitis kontak iritan terjadi karena adanya peningkatan dari durasi,
intensitas, dan konsentrasi bahan.3 Gambaran klinis dapat identik dengan dermatitis
atopik, tetapi lokasi di tempat paparan maksimal yaitu tangan dan jari-jari dapat
membantu dalam membuat diagnosis. Beberapa derajat dermatitis kontak iritan umum
terjadi pada orang dengan dermatitis atopik misalnya, pada bayi, di sekitar mulut, karena
air liur dan makanan basah, dan di area popok, karena urin. 11 Dermatitis kontak alergi
merupakan penyakit kulit dengan adanya respon hipersensitivitas tipe 4, yang terjadi
akibat kulit terpapar dengan zat kimia atau antigen. Reaksi hipersensitivitas terjadi
setelah sensitisasi terhadap zat tertentu contohnya, nikel dalam perhiasan, karet dalam
sarung tangan, atau lem di beberapa sepatu. Karakteristik dari morfologi DKA adalah
makula eritematosa, papul, vesikel dan diikuti dengan kulit yang kering dan bersisik pada
bagian yang terpapar dengan alergen dan dapat meluas. Dermatitis kontak alergi dapat
berdampingan dengan timbulnya dermatitis atopik.1

Gambar 13. Dermatitis kontak iritan

29
Gambar 14. Dermatitis kontak alergi

30
Diagnosis banding
terhadap liken simpleks kronikus atau neurodermatitis
sirkumskripta sering dijumpai pada fase dewasa.3 Lesi memiliki ciri khas peradangan

kulit kronis, gatal, sirkumskripta, ditandai dengan penebalan kulit serta likenifikasi
dimana kulit menyerupai batang kayu karena terdapat relief akibat garukan. 11 Pada
awalnya lesi dapat berupa plak eritematosa dengan edema yang kemudian menghilang
dan menjadi lesi skuama yang menebal. Epidemiologi Neurodermatitis sirkumskripta
jarang ditemukan usia anak, namun memiliki puncak insiden pada usia 30-50 tahun.
Predileksi tersering adalah pada kulit kepala, tengkuk, samping leher, lengan ekstensor,
pubis, vulva, skrotum, perianal, lutut, malleolus, pergelangan kaki, dan punggung kaki.28
10

Gambar 15. Lichen simplex chronicus

Kondisi lain yang dapat menjadi diagnosis banding DA adalah Skabies. Skabies
adalah infeksi kulit yang ditularkan oleh tungau yang disebut Sarcoptes scabiei.3
Gambaran klinis dari penyakit ini adanya ruam yang gatal di malam hari dan untuk
menegakkan diagnosis akan ditemukan terowongan di bawah kulit, melalui kerokan kulit
dan melalui dermatoskopi. Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat ditemukan adanya
pustul di telapak tangan dan telapak kaki, sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan

31
bagian genitalia. Selain itu Skabies memiliki kriteria diagnosis yaitu adanya 2 dari 4
gejala kardinal yang adalah pruritus nocturnal, menyerang sekelompok manusia,
kunikulus pada lokasi predileksi, dan/atau ditemukannya tungau Sarcoptes scabiei.28

Gambar 16. Skabies

II.9. Tatalaksana
Dermatitis atopik tidak bisa disembuhkan, pasien akan mengalami perjalanan
penyakit bersifat kronik-residif. Tujuan dari pengobatan DA adalah untuk meminimalisir
bertambah buruknya penyakit atau biasa disebut flare dan mengurangi durasi dan derajat
dari timbulnya flare.14 Penatalaksanaan dermatitis atopik yang optimal memerlukan
pendekatan multi cabang yang melibatkan eliminasi faktor eksaserbasi, pemulihan fungsi
sawar kulit dan hidrasi kulit, edukasi pasien, dan pengobatan farmakologis inflamasi
kulit.15
a. Non Medikamentosa
Edukasi
pasien mengenai kondisi kulitnya sangat penting guna
memberikan tatalaksana yang efektif serta memberitahu jika penyakit ini kronis
dan dapat berulang, kepatuhan dari pasien dalam memberikan obat topikal dan
merawat kulit dengan baik. Kepatuhan dalam pengobatan yang buruk, terutama
dalam menggunakan obat topikal dapat menunjukan hasil yang kurang baik dan
dapat memengaruhi kualitas hidup pasien.16,17
Perawatan
kulit sangat penting untuk pasien yang menderita dermatitis
atopik, mulai dari frekuensi mandi yang disarankan sehari sekali atau dua kali
dengan air hangat selama 10-15 menit untuk membantu melembabkan dan
membersihkan kulit, selain itu untuk membantu membersihkan kotoran pada kulit
yang terinfeksi serta meningkatkan daya penyerapan terhadap terapi topikal.
Hidrasi kulit adalah komponen kunci dari manajemen keseluruhan pasien dengan
dermatitis atopik. Untuk menjaga hidrasi kulit, emolien harus diterapkan
setidaknya dua kali sehari dan segera setelah mandi atau mencuci tangan.
Pelembab tidak memiliki efek langsung terhadap eksem namun dapat
memperbaiki tampilan kulit dan mengurangi rasa gatal.18 Dalam menentukan jenis

32
pelembab yang akan digunakan bergantung pada kondisi kulit pasien. Krim
kental, yang memiliki kadar air rendah, atau salep seperti petroleum jelly yang
memiliki kadar air nol umumnya lebih efektif dalam melindungi terhadap xerosis,
tetapi beberapa pasien mungkin mengeluh bahwa kulit terasa lengket dan
berminyak. Lotion, meskipun kurang efektif dibandingkan krim dan salep, dapat
menjadi alternatif bagi pasien ini.19
Metode
Wet Wraps Therapy (WWT) juga seirng digunakan saat DA
sedang flare (gatal-gatal parah). WWT dapat mengurangi edema dan keinginan
untuk menggaruk. Agen topikal akan ditutupi oleh selapis kassa yang basah lalu
4

ditutupi lagi oleh kassa kering sebagai lapisan kedua. WWT mengoklusi agen
topikal untuk meningkatkan penetrasi, mengurangi kehilangan air, dan
memberikan penghalang fisik terhadap goresan. Bungkus dapat dipakai dari
beberapa jam hingga 24 jam, tergantung pada toleransi pasien. WWT dapat
dilakukan selama beberapa hari hingga 2 minggu.
Selain
itu, penting untuk pasien dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat
mencetus kekambuhan seperti faktor allergen seperti contohnya terhadap tungau
atau debu, atau alergi terhadap makanan. Pada bayi atau anak usia <1 tahun dapat
dilakukan pemeriksaan uji kulit dikarenakan alergen makanan lebih sering
ditemui pada usia tersebut. Apabila ditemukan maka, pemberian makanan
tersebut dapat ditunda, dihentikan, dilakukan diet terpimpin, atau makanan
pengganti. Perlu untuk dilakukan monitor korelasi antara diet dengan perbaikan
klinis pada pasien.3
Pada
fase dewasa faktor pencetus kekambuhan dapat berasal dari sisi
psikologis. Apabila diperlukan pasien dapat dirujuk pada psikolog atau psikiater.
Selain itu, penting bagi pasien mendapatkan komunikasi dan edukasi yang baik
terhadap DA ini agar pasien dapat mengerti secara baik. Hal ini dikarenakan
penyakit DA sulit untuk disembuhkan dan bersifat kronik-residif. 3

33
b. Medikamentosa
Tatalaksana
dari DA mengikuti pedoman dari International Consensus
Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II) tahun 2001 yang dapat dilihat
pada gambar 17.20 6

Gambar 17. Algoritma tatalaksana dermatitis atopik menurut ICCAD II20

34
 Pengobatan Topikal
Pemilihan obat topikal yang digunakan pada DA baik fase bayi, anak, dan
dewasa adalah pelembab, kortikosteroid, dan obat-obat kalsineurin. Tidak
jarang juga dijumpai infeksi sekunder pada pasien DA, dan yang paling umum
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. S. Aureus akan berkolonisasi
di lesi-lesi eksim pada pasien DA dan mengeluarkan sejumlah super-antigen
serta eksotoksin yang menimbulkan reaksi inflamasi. Pemberian antibiotik
topikal pada pasien DA sendiri masih menjadi perdebatan, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Giornale pada tahun 2015, pasien DA dengan infeksi
sekunder perlu diberikan antibiotik topikal seperti gentamisin dan mupirocin.35
Selain itu juga terdapat 2 penelitian lainnya yang menunjukkan perbaikan dari
tingkat keparahan DA dan SCORAD pada pasien yang mendapatkan terapi
topikal kombinasi berupa antibiotic dan kortikosteroid.36,37 Namun terdapat
penelitian kecil yang justru mengatakan bahwa tidak ada keuntungan
signifikan dari pemberian terapi mupirocin topikal yang dikombinasikan
dengan hidrokortison pada 83 bayi baru lahir. 38
o Pelembab
Terapi dasar adjuvant sangat penting dalam pengelolaan penyakit
ini yang terdiri dari aplikasi pelembab yang memadai secara teratur.
Kelas pelembab yang berbeda didasarkan pada mekanisme kerjanya,
termasuk oklusif, humektan, emolien, dan peremajaan protein. Pasien
mungkin akan diberi resep pelembab yang berbeda tergantung pada
preferensi khusus mereka, usia mereka dan jenis eksim mereka.
Emolien menjaga kulit tetap terhidrasi dan dapat mengurangi rasa
gatal. Mereka harus diterapkan secara teratur setidaknya dua kali
sehari, bahkan ketika tidak ada gejala penyakit dan juga harus
diterapkan setelah berenang atau mandi.21 7
o Kortikosteroid Topikal
Penggunaan kortikosteroid topikal secara intermiten untuk
mengobati tanda dan gejala dermatitis atopik, bersama dengan
emolien, telah menjadi standar manajemen penyakit. Kortikosteroid

35
topikal sering diresepkan secara intermiten untuk pengobatan reaktif
jangka pendek dari serangan akut dan dilengkapi dengan emolien.
Pengobatan reaktif dengan kortikosteroid menawarkan bantuan gejala
yang cepat dan efektif untuk flare akut. 21 Pemilihan golongan
kortikosteroid topikal hendaknya memperhatikan luas dan lokasi
anatomis, serta derajat dari keparahan penyakit seperti pada gambar
12. Pada usia bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid
potensi lemah - medium (VII-IV), contohnya seperti hidrokortison
krim 1-2 1⁄2 %, metilprednisolon atau flumetasone. Pada DA dengan
derajat keparahan sedang dapat menggunakan kortikosteroid topikal
potensi medium (VI) seperti desonide, triamcinolonacetonid,
hydrocortisone butyrate, atau alclometasone. Apabila derajat
keparahan DA lebih berat dapat dimulai dengan menggunakan
kortikosteroid dengan potensi medium (V). Dalam keadaan tertentu
kortikosteroid topikal potensi kuat dapat digunakan secara singkat

36
yaitu maksimal selama 2 minggu, mengingat efek samping dari
kortikosteroid. 3,22 8

Gambar 18. Algoritma tatalaksana dermatitis atopik22

Pemilihan
golongan kortikosteroid juga dapat berdasarkan
morfologi klinis dari DA. Morfologi klinis pada stadium akut atau fase
bayi berupa eritema, vesikel dan erosi dengan eksudatif dapat
diberikan kortikosteroid potensi ringan (VII-IV) dalam bentuk krim.
Selanjutnya morfologi pada stadium subakut/fase anak berupa eritema
ringan dengan erosi, skuama, dan krusta dapat diberikan potensi
sedang (V-IV) dalam bentuk krim. Sedangkan, pada stadium
kronik/fase dewasa dengan gambaran hiperpigmentasi, hiperkeratosis,
dan likenifikasi dapat diberikan kortikosteroid potensi kuat atau sangat

37
kuat (III, II, I) dalam bentuk salep, gel, atau disertai asam salisilat
>3%.3
Akan tetapi, ada banyak masalah keamanan yang terkait dengan
penggunaannya, terutama bila diterapkan secara terus-menerus.
Potensi efek samping terutama kulit adalah atrofi kulit, telangiektasia,
hipopigmentasi, jerawat steroid, peningkatan pertumbuhan rambut dan
erupsi seperti rosacea. Selain itu, terdapat efek sistemik berupa
penekanan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), retardasi
pertumbuhan, peningkatan risiko katarak glaukoma dan sindrom
Cushing.21

Gambar 19. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis

o Penghambat Calcineurin (Pimekrolimus dan Takrolimus)


Kalsineurin inhibitor topikal merupakan agen imunomodulator
yang terbukti aman dan efektif untuk mengobati dermatitis atopik dan
dapat digunakan sebagai profilaksis jika gejala memburuk atau timbul
flare seperti pada gambar 10.23 Terdapat 2 macam nonsteroid
kalsineurin inhibitor topikal yaitu takrolimus 0,1% yang hanya dapat

38
digunakan pada orang dewasa dan krim pimekrolimus 1% dapat
digunakan untuk anak dibawah 2 tahun dengan gejala sedang sampai
berat. KIT dapat digunakan di sekitar mata, wajah, leher dan daerah
genitalia. Terkadang pasien dapat menimbulkan reaksi alergi seperti
rasa terbakar dan pruritus setelah menggunakan obat ini dan biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan obat ini tidak terjangkau.2,4
 Pengobatan Sistemik
Keputusan
untuk memulai terapi sistemik harus didasarkan pada
keparahan penyakit secara keseluruhan, respons terhadap terapi topikal,
kepatuhan terhadap regimen topikal sebelumnya, dampak penyakit pada
kualitas hidup pasien, dan pemahaman komorbiditas dan preferensi pasien.
Terapi sistemik dapat mulai digunakan pada DA anak dan DA derajat berat. 24
Pengobatan sistemik berupa antihistamin diberikan untuk mengurangi rasa
gatal dan menurunkan frekuensi garukan yang dapat memperburuk lesi.
generasi pertama antihistamin sedatif dapat bermanfaat untuk pasien dengan
gangguan tidur akibat gatal. Selain itu antihistamin generasi kedua non-sedatif
memiliki keunggulan dapat mencegah agregasi sel-sel inflamasi.3,21
Obat sistemik lainnya berupa obat imunosupresan sistemik yang
merupakan pilihan terakhir. Obat imunosupresan dapat beruka siklosporin A,
kortikosteroid sistemik, atau methotrexate. Efektivitas siklosporin oral dalam
meningkatkan pruritus dan gejala lain dari dermatitis atopik telah ditunjukkan
dalam beberapa uji coba secara acak.25 Siklosporin mungkin sangat berguna
untuk kontrol cepat pruritus yang berhubungan dengan dermatitis atopik.
Namun, kekambuhan sering terjadi setelah penghentian pengobatan.21
Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednisone oral, jarang
diindikasikan dalam pengobatan pasien dengan DA kronis tetapi umumnya
digunakan oleh penyedia layanan. Beberapa pasien dan dokter lebih memilih
penggunaan glukokortikoid sistemik untuk menghindari perawatan kulit yang
memakan waktu yang melibatkan hidrasi dan terapi topikal. Namun,
perbaikan klinis dramatis yang mungkin terjadi dengan glukokortikoid
sistemik sering dikaitkan dengan serangan DA yang parah setelah penghentian

39
glukokortikoid sistemik. Kursus singkat glukokortikoid oral mungkin sesuai
untuk eksaserbasi akut DA sementara tindakan pengobatan lain sedang
dilakukan.1 Methotrexate (MTX) adalah antimetabolit dengan potensi efek
penghambatan pada sintesis sitokin inflamasi dan kemotaksis sel. Efek

samping dari MTX adalah gangguan pada hematologi dan hepatic toxicity
sehingga, pemeriksaan hematologi serta fungsi hepar harus rutin dilakukan.1

Gambar 20. Tatalaksana DA berdasarkan derajat keparahan penyakit

 Fototerapi
Untuk mengobati dermatitis atopik yang sudah meluas pada orang dewasa
dapat dilakukan dengan fototerapi menggunakan narrowband ultraviolet B
(NBUVB) atau ultraviolet A1 (UVA1).21 Mekanisme kerja melibatkan
pengurangan produksi histamin dari sel mast serta basofil. Dermatitis atopik
yang sulit diatasi dapat dibantu dengan fototerapi 3 hingga 5 kali per minggu
dalam 1-2 bulan, dengan dikombinasikan pemberian kortikosteroid topikal.26

40
 Terapi DA dengan Infeksi Sekunder
Pada
kulit pasien yang menderita dermatitis atopik sering sekali terjadi
infeksi dari kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus pada bagian luka
maupun tidak, maka diperlukan antibiotik oral atau topikal dalam jangka
pendek. Untuk infeksi sekunder diberikan antibiotik sistemik yaitu generasi 1
atau generasi 2 sefalosporin atau penisilin selama 7-10 hari.Tidak hanya
infeksi bakteri namun pasien dermatitis atopik juga rentan terhadap infeksi
virus herpetikum eksim yang dapat diobati dengan antivirus asiklovir atau
valasiklovir, formulasi oral digunakan untuk pasien dengan infeksi primer
atau keadaan yang parah seperti demam, rasa tidak enak badan dan
limfadenopati. 2,4
c. Terapi Alternatif pada Dermatitis Atopi

Modalitas utama dalam tatalaksana dari DA adalah menjaga integritas

sawar kulit dan mengontrol antiinflamasi lokal menggunakan emolien dan


kortikosteroid topikal atau calcineurin inhibitor. Meskipun demikian, terapi
konvensional masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan terapi yang
aman dan efektif dikarenakan efek samping dari pengobatan-pengobatan ini.
Lebih dari 50% pasien dengan DA mencoba untuk menggunakan terapi alternatif
dikarenakan sifat DA yang kronik-residual dan seringkali pasien masih merasa
kurang puas dengan hasil pengobatan menggunakan terapi konvensional.
Beberapa terapi alternatif yang dapat digunakan pada DA antara lain adalah: 39
 Obat Herbal
Obat herbal adalah terapi yang ekonomis, mudah diakses, dan relatif
aman. Studi dari Liu et al. menunjukan bahwa konsumsi obat herbal dapat
menurunkan gejala DA yang dinilai menggunakan SCORAD, QOL, dan
skoring VAS dengan signifikan dibandingkan dengan placebo. Studi lainnya
oleh Yen dan Hsieh menunjukan bahwa penggunaan obat herbal topikal (Tzu-
Yun Ointment) dapat mengurangi gejala dari DA yang tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan kortikosteroid
topikal, sehingga penggunaan obat herbal topikal ini bisa dipertimbangkan

41
penggunaanya dalam pengobatan DA. Studi lainnya dari Chinese Medicine
Research Center and China Medical University, menunjukan bahwa obat
herbal (whey + dodder seed) dapat meningkatkan kelembaban dan elastisitas
kulit, mengurangi gejala pruritus dan mengurangi gejala gangguan tidur.

 Vitamin
Studi Jaffary et al. menunjukan bahwa pemberian vitamin E 400 IU setiap
harinya selama 4 bulan memperbaiki gejala DA. Pemberian vitamin E
menunjukan dapat menurunkan rasa gatal dan derajat keparahan lesi.
 Asam Amino
Asam amino berperan dalam menjaga hidrasi kulit yang merupakan
komponen penting dari terapi DA. Studi oleh Tan et al. menunjukan bahwa
pemberian L-histidine sebanyak 4g 1x1 selama 8 minggu dapat menurunkan
derajat keparahan DA berdasarkan SCORAD secara signifikan. L-histidine
menunjukan efek yang dapat bersaing dengan kortikosteroid topikal kelas III
dalam mengurangi gejala DA. Walaupun demikian, studi ini masih belum
merekomendasikan penggunaan asam amino sebagai pilihan terapi DA saat
ini, dikarenakan jumlah responden yang sedikit meskipun pada penelitian ini
tidak menunjukan efek samping yang berbahaya dari penggunaan asam
amino.
 Minyak Topikal
Kulit kering dan menurunnya sawar kulit adalah karakteristik dari DA,
sehingga penggunaan dari berbagai minyak topikal sering dijadikan modalitas
terapi alternatif. Prinsip terapi dari DA salah satunya adalah melembabkan,
dan terdapat beberapa minyak alami yang dapat memberikan nilai terapeutik
bersamaan dengan memberikan kelembaban. Minyak biji bunga matahari
mengandung linoleic acid yang tinggi, yang dapat memperbaiki sawar kulit
dan memiliki sifat antiinflamasi. Minyak biji bunga matahari terbukti menjaga
integritas stratum korneum dan meningkatkan kelembaban kulit. Penggunaan
minyak kelapa juga menunjukan hasil yang baik dalam menurunkan gejala

42
dari DA. Evening primrose oil mengandung banyak gamma-linoleic acid yang
berperan dalam penyembuhan kulit dan antiinflamasi.
 Madu
Menggunakan madu yang dioleskan secara topikal diduga dapat
membantu mengurangi gejala DA dikarenakan sifatnya yang anti mikroba dan
membantu penyembuhan luka, dan menghambat inflamasi. Studi menunjukan
bahwa penggunaan madu secara topikal dapat mengurangi derajat keparahan
lesi DA, rasa gatal, dan kemerahan.
 Melatonin
Salah satu gejela yang sering dialami pasien dengan DA adalah gangguan
tidur. Gejala tidur ini dipengaruhi oleh jumlah sitokin proinflamasi yang
tinggi, pruritus pada malam hari, dan jumlah melatonin yang abnormal.
Jumlah melatonin nokturnal yang lebih tinggi diasosiasikan dengan gangguan
tidur yang lebih ringan pada gejala DA.

II.10. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang sering dijumpai pada DA adalah infeksi sekunder meliputi infeksi
jamur, bakter, dan virus.3 Kolonisasi kulit oleh Staphylococcus aureus membentuk
biofilm bakteri dan memperburuk dermatitis dengan mengaktifkan respon inflamasi
alergi Th2. Bayi sangat berisiko mengalami infeksi kulit yang parah. Infeksi kulit
Staphylococcus aureus menyebabkan impetiginisasi dermatitis atopik. Sedangkan, infeksi
kulit Streptokokus pyogenes dapat menyebabkan impetigo, pustula, atau erosi berlubang
dengan batas bergigi.29 11

43
Gambar 21. DA dengan infeksi sekunder bakteri

Infeksi virus dapat disebabkan oleh Molluscum contagiosum. Moluskum


kontagiosum muncul sebagai kelompok papul. Ukuran papul berkisar dari 1 sampai 6
mm dan berwarna putih, merah muda atau coklat. Lesi sering memiliki tampilan seperti
lilin dan mengkilap dengan lubang tengah kecil dimana penampilan ini kadang-kadang
digambarkan sebagai umbilicated. Setiap papula mengandung bahan cheesy berwarna
putih.30 12Selain itu, infeksi virus lainnya seperti herpes simpleks dapat memunculkan
erupsi Kaposi’s varicelliform yang dikenal sebagai eksema herpetikum walaupun jarang
ditemukan.29

44
Gambar 22. DA dengan infeksi sekunder Molluscum contagiosum

Gangguan pada epidermis mengakibatkan ketidakseimbangan sehingga kulit menjadi


lebih kering dan terjadi maserasi. Dengan faktor lingkungan yang mendukung dapat
muncul infeksi jamur seperti Pityrosporum ovale yang sering ditemukan pada DA.3
Komplikasi lainnya dari DA adalah apabila terjadi perluasan dari lesi DA secara
generalisata dapat mengakibatkan eritroderma. Selain itu, atrofi kulit yaitu striae
atroficans dapat terjadi apabila pemberian kortikosteroid jangka panjang.29

45
Gambar 23. Eritroderma

Sekitar 60 persen pasien dengan dermatitis atopik masa kanak-kanak bebas dari
gejala pada awal masa remaja, meskipun hingga 50 persen mungkin memiliki
kekambuhan di masa dewasa. Penyakit awitan dini, penyakit awal yang parah, asma yang
menyertai dan demam. Riwayat keluarga dermatitis atopik dapat memprediksi perjalanan
penyakit yang lebih persisten.11

II.11. Pencegahan
Beberapa
faktor yang dapat diperhatikan sebagai pencegahan dari DA adalah skin
barrier karena disfungsi epidermis diakui sebagai faktor kunci dalam inisiasi dan
perkembangan dermatitis atopik. Berdasarkan hasil sebuah meta-analisis, penggunaan
pelembab kulit pada bayi di bulan pertama tidak memberikan efek pencegahan terhadap
berkembangnya dermatitis atopik dan dapat berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi kulit.21 Namun, perawatan kulit termasuk penggunaan emolien, harus dilanjutkan
untuk bayi baru lahir yang berisiko tinggi terkena dermatitis atopik, terutama dalam
kondisi iklim kering dan dingin. Pengasuh harus menerapkan langkah-langkah kebersihan
yang tepat ketika menerapkan emolien pada kulit bayi untuk menghindari infeksi kulit
lokal seperti mencuci tangan, menggunakan emolien dalam tabung daripada toples, yang
dapat lebih mudah terkontaminasi.11

46
Upaya pencegahan dari beberapa metaanalisis lainnya berupa pemberian probiotic

dan vitamin, serta intervensi nutrisi.21 Menurut jurnal yang dituliskan oleh Lin R.J et. al
tahun 2015, probiotik akan memodulasi mikroba usus dan system imunitas dengan
memperbaiki sawar usus yang kemudian berperan dalam menurunkan fenomena alergi
dan tingkat keparahan dari dermatitis atopi, karena pada pasien DA, permeabilitas usus
akan meningkat.31 Untuk lebih rincinya, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Zhao
pada tahun 2018 yang membuktikan bahwa pemberian probiotik yang mengandung
Lactobacillus pada bayi baru lahir berpengaruh terhadap penurunan tingkat keparahan
dermatitis atopi.32 Sementara itu, meta analisis juga dilakukan oleh Huang et. al pada
tahun 2017, terdapat perbaikan SCORAD pada anak anak usia 1 – 18 tahun yang
menerima probiotik.33 Roessler et. al pada tahun 2008 juga melakukan penelitian
menggunakan probiotik kombinasi yang mengandung Lactobacillus dan Bifidobacterium
selama 8 minggu, dengan hasil SCORAD yang membaik pada pasien dewasa (> 18
tahun) dengan dermatitis atopi.34
Selain itu, intervensi nutrisi dikatakan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan
seperti pemberian hydrolyzed formula. Akan tetapi penelitian tersebut tidak dapat
menunjukkan hasil yang signifikan.21

47
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien Ny. S datang dengan keluhan gatal pada lipatan lutut dan lipatan siku sejak 3 hari
SMRS. Pasien mengatakan gatal dirasakan hampir setiap hari dan hilang timbul. Pasien
mengatakan keluhannya ini muncul setelah pasien pergi ke pantai 3 hari yang lalu pada cuaca
yang panas lalu berkeringat. Pasien juga mengatakan keluhannya saat ini diperburuk apabila
pasien merasa panas dan berkeringat. Pasien juga sudah mengalami keluhan serupa pada
punggung tangannya sejak beberapa tahun yang lalu, namun pasien tidak ingat kapan keluhan
gatal pada punggung tangan ini muncul dan disebabkan oleh apa. Gejala klinis yang dialami oleh
pasien yang sesuai dengan Dermatitis Atopi murni, dimana pada pasien ini hanya ditemukan
gejala dermatologis tanpa keluhan pada organ lainnya.
Pada pemeriksaan fisik terlihat kulit secara keseluruhan kering. Ditemukan makula
eritematosa multipel difus, erosi, pada regio fossa cubital; ditemukan makula eritema soliter
berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi, bilateral pada regio fossa popliteal; ditemukan
pada papul eritematosa multipel difus, erosi, ekskoriasi, likenifikasi, bilateral pada regio
metacarpal. Gambaran klinis pasien berdasarkan jenis lesi, predileksi, dan perjalanan penyakit
yang kronik-residif sesuai dengan gambaran Dermatitis Atopi fase Dewasa. Pada pasien ini
memenuhi 3 kriteria mayor DA: (1) terdapat lesi yang gatal, (2) riwayat kulit kering, (3) tampak
dermatitis pada daerah lipatan; dan 3 kriteria minor: (1) kulit kering, (2) dermatitis tangan dan
kaki, (3) gatal pada saat berkeringat. Gejala klinis pada pasien juga memenuhi kriteria diagnosis
Williams, dimana pada pasien ditemukkan gejala klinis kulit gatal dengan 3 gejala klinis lainnya
pada pasien ini: riwayat kondisi kulit kering pada daerah lipatan kulit, riwayat kulit kering,
dermatitis fleksural yang terlihat.
Derajat keparahan DA menurut sistem SCORAD pada pasien ini termasuk ke dalam
kelompok moderate dengan total skor 31,7. Nilai komponen A pada pasien ini adalah 36 poin
dengan lesi pada ke 4 esktremitas. Nilai komponen B berdasarkan hasil temuan lesi eritema,
papul, ekskoriasi, dan likenifikasi adalah 5. Nilai komponen C pada pasien ini adalah 7, dimana
pasien mengeluhkan gatal yang cukup mengganggu aktivitas sehari-hari dan terkadang
membangunkan pasien dari tidurnya.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan lichen
simplex chronicus berdasarkan gambaran efloresensi yang serupa. Pada pasien dapat

48
disingkirkan kemungkinan DKI karena pasien mengaku tidak ada produk baru pada kulit pasien
seperti sabun ataupun body lotion belakangan ini. Selain itu, predileksi DKI adalah pada seluruh
bagian yang terkena zat iritan, tidak terbatas pada bagian tertentu saja.
Diagnosis banding lichen simplex chronicus atau neurodermatitis sirkumskripta sering
dijumpai pada fase dewasa dan memiliki gambaran klinis yang sesuai dengan pasien ini yaitu
peradangan kulit yang kronis, gatal, sirkumskripta, ditandai dengan penebalan kulit serta
likenifikasi. Diagnosis banding LSC masih belum dapat disingkirkan karena pada pasien terdapat
gejala gatal dan efloresensi yang mirip yaitu terdapat likenifikasi yang bersifat kronis pada regio
metacarpal. Keluhan pada telapak kanan pasien sudah dirasakan sejak beberapa tahun
belakangan sehingga ada kemungkinan dermatitis atopi pada pasien mengalami progresi menjadi
LSC.
Tatalaksana non-medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah edukasi untuk
mandi menggunakan air suam-suam kuku untuk membersihkan dan menghidrasi kulit,
mengganti sabun mandi menjadi sabun bayi, menggunakan pelembab setiap setelah mandi
walaupun lesi sudah sembuh sebagai pemeliharaan kulit, menggunakan obat gatal dan tidak
menggaruk lesi, dan menjaga kuku tetap pendek agar mengurangi resiko terluka saat menggaruk.
Dapat dipertimbangkan merujuk pasien pada psikolog apabila faktor pencetus kekambuhan
dicurigai berasal dari psikologis.
Tatalaksana medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah Inerson 15mg
Oinment 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi, yang merupakan kortikosteroid topikal
potensi tinggi. Hal ini sesuai dengan pedoman tatalaksana DA, dikarenakan pasien ini sudah
ditemukan likenifikasi. Pasien juga diberikan Fusycom 5g Cream 2x1 saat pagi dan sore hari
setelah mandi pada daerah yang luka . Lalu pasien diberikan Triamcort 4mg tablet yang
merupakan kortikosteroid sistemik. Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya saat ini
sehingga belum diketahui bagaimana respon terapi steroid topikal pada pasien. Selain itu,
keluhan pasien saat ini juga belum sampai mengganggu kualitas hidupnya. Berdasarkan literatur,
untuk pengobatan sistemik sendiri baru diberikan setelah melihat respon pasien terhadap terapi
topikal dan apabila penyakitnya sudah berdampak pada kualitas hidup pasien. Menunjang dari
potensi efek samping kortikosteroid sistemik, pada pasien ini sebaiknya diberikan terapi topikal
terlebih dahulu sambil memantau perkembangan dari gejalanya. Terakhir, pasien diberikan
Noroid Cream 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi untuk memelihara kelembaban kulit.

49
Prognosis pada pasien ini baik, namun dermatitis atopi tidak dapat disembuhkan sehingga yang
dapat dilakukan hanya menghindari faktor pencetus, memelihara kulit dengan baik, dan
mengendalikan gejala yang muncul

50
DAFTAR PUSTAKA

1. Kang S. Fitzpatrick’s Dermatology. Ninth Edit. McGraw-Hill Education; 2019. 4210 p.


2. Kapur S, Watson W, Carr S. Atopic dermatitis. Allergy, Asthma Clin Immunol [Internet].
2018;14(s2):1–10. Available from: https://doi.org/10.1186/s13223-018-0281-6
3. Adhi D. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Menaldi SL, editor. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2019. 544 p.
4. Maliyar K. Diagnosis and Management of Atopic Dermatitis: A Review. Adv Skin
Wound Care. 2018;31(12):38–44.
5. Katoh N, Ohya Y, Ikeda M, Ebihara T, Katayama I, Saeki H, et al. Japanese guidelines
for atopic dermatitis 2020. Allergol Int [Internet]. 2020;69(3):356–69. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.alit.2020.02.006
6. Kim J, Kim BE, Leung DYM. Pathophysiology of atopic dermatitis: Clinical
implications. Allergy Asthma Proc. 2019;40(2):84–92.
7. Plant A, Ardern-Jones MR. Advances in atopic dermatitis. Clin Med J R Coll Physicians
London. 2021;21(3):177–81.
8. Langan SM, Irvine AD, Weidinger S. Atopic dermatitis. Lancet [Internet].
2020;396(10247):345–60. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-
6736(20)31286-1.
9. Puri A, Sethi A, Puri KJPS, Sharma A. Correlation of nipple eczema in pregnancy with
atopic dermatitis in Northern India: a study of 100 cases. An Bras Dermatol. 2019.
10. Tada J. Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. Jmaj. 2002.
11. Fishbein AB, Silverberg JI, Wilson EJ, Ong PY. Update on Atopic Dermatitis: Diagnosis,
Severity Assessment, and Treatment Selection. Journal of Allergy and Clinical
Immunology: In Practice. 2020.
12. Williams HC. Clinical practice. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2005.
13. Chopra R, Vakharia PP, Sacotte R, Patel N, Immaneni S, White T, et al. Severity strata
for Eczema Area and Severity Index (EASI), modified EASI, Scoring Atopic Dermatitis
(SCORAD), objective SCORAD, Atopic Dermatitis Severity Index and body surface area
in adolescents and adults with atopic dermatitis. Br J Dermatol. 2017.

51
14. Ring J, Alomar A, Bieber T, Deleuran M, Fink-Wagner A, Gelmetti C, et al. Guidelines
for treatment of atopic eczema (atopic dermatitis) Part i. J Eur Acad Dermatology
Venereol. 2012.
15. Weidinger S, Novak N. Atopic dermatitis. In: The Lancet. 2016.
16. Maliyar K, Sibbald C, Pope E, Gary Sibbald R. Diagnosis and Management of Atopic
Dermatitis: A Review. Adv Ski Wound Care. 2018.
17. Gittler JK, Wang JF, Orlow SJ. Bathing and Associated Treatments in Atopic Dermatitis.
American Journal of Clinical Dermatology. 2017.
18. Simpson EL. Atopic dermatitis: A review of topical treatment options. Current Medical
Research and Opinion. 2010.
19. Ellis C, Luger T, Abeck D, Allen R, Graham-Brown RA, De Prost Y, et al. International
Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II): clinical update and current
treatment strategies. In: The British journal of dermatology. 2003.
20. Katayama I, Aihara M, Ohya Y, Saeki H, Shimojo N, Shoji S, et al. Japanese guidelines
for atopic dermatitis 2017. Allergology International. 2017.
21. Weston WL, Howe W. Treatment of atopic dermatitis (eczema) - UpToDate. UpToDate.
2020.
22. Broeders JA, Ahmed Ali U, Fischer G. Systematic review and meta-analysis of
randomized clinical trials (RCTs) comparing topical calcineurin inhibitors with topical
corticosteroids for atopic dermatitis: A 15-year experience. Journal of the American
Academy of Dermatology. 2016.
23. Roekevisch E, Spuls PI, Kuester D, et al. Efficacy and safety of systemic treatments for
moderate-to-severe atopic dermatitis: a systematic review. J Allergy Clin Immunol 2014;
133:429.
24. Torres T, Ferreira EO, Gonçalo M, Mendes-Bastos P, Selores M, Filipe P. Update on
atopic dermatitis. Acta Med Port. 2019;
25. Fujimura M, Nakatsuji Y, Ishimaru H. Cyclosporin A Treatment in Intrinsic Canine
Atopic Dermatitis (Atopic-like Dermatitis): Open Trial Study. Pol J Vet Sci. 2016;
26. Thomsen SF. Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment. ISRN
Allergy. 2014
27. Stella C. Dermatitis Numularis. Cermin Dunia Kedokt. 2018;

52
28. Barrett M, Luu M. Differential Diagnosis of Atopic Dermatitis. Immunology and Allergy
Clinics of North America. 2017.
29. Wang V, Boguniewicz J, Boguniewicz M, Ong PY. The infectious complications of
atopic dermatitis. Annals of Allergy, Asthma and Immunology. 2021.
30. Ashbaugh AG, Kwatra SG. Atopic Dermatitis Disease Complications. Advances in
experimental medicine and biology. 2017.
31. Protective effect of probiotics in the treatment of infantile eczema. Lin RJ, Qiu LH, Guan
RZ, Hu SJ, Liu YY, Wang GJ Exp Ther Med. 2015 May; 9(5):1593-1596.
32. Treatment efficacy of probiotics on atopic dermatitis, zooming in on infants: a systematic
review and meta-analysis. Zhao M, Shen C, Ma L Int J Dermatol. 2018 Jun; 57(6):635-
641.
33. Probiotics for the Treatment of Atopic Dermatitis in Children: A Systematic Review and
Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Huang R, Ning H, Shen M, Li J, Zhang
J, Chen X Front Cell Infect Microbiol. 2017; 7():392.
34. The immune system in healthy adults and patients with atopic dermatitis seems to be
affected differently by a probiotic intervention. Roessler A, Friedrich U, Vogelsang H,
Bauer A, Kaatz M, Hipler UC, Schmidt I, Jahreis G Clin Exp Allergy. 2008 Jan;
38(1):93-102.
35. Giornale Italiano di Dermatologia e Venereologia 2015 June;150(3):321-5
36. Co-operative double-blind trial of an antibiotic/corticoid combination in impetiginized
atopic dermatitis. Wachs GN, Maibach HI Br J Dermatol. 1976 Sep; 95(3):323-8.
37. An efficient new formulation of fusidic acid and betamethasone 17-valerate (fucicort
lipid cream) for treatment of clinically infected atopic dermatitis. Larsen FS, Simonsen L,
Melgaard A, Wendicke K, Henriksen AS Acta Derm Venereol. 2007; 87(1):62-8.
38. Hydrocortisone acetate alone or combined with mupirocin for atopic dermatitis in infants
under two years of age - a randomized double blind pilot trial. Canpolat F, Erkoçoğlu M,
Tezer H, Kocabaş CN, Kandi B Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012 Dec; 16(14):1989-93.
39. Shi K, Lio PA. Alternative Treatments for Atopic Dermatitis: An Update. Am J Clin
Dermatol. 2019 Apr;20(2):251-266.
40. Kapur S, Watson W, Carr S. Atopic dermatitis. Allergy Asthma Clin Immunol.
2018;14(Suppl 2):52. 2018 Sep 12.

53
54

Anda mungkin juga menyukai