Presentasi Kasus Kulit Revisi
Presentasi Kasus Kulit Revisi
Disusun Oleh:
Pembimbing:
DAFTAR ISI 2
DAFTAR GAMBAR 3
DAFTAR TABEL 3
BAB I LAPORAN KASUS 4
I.1. IDENTITAS PASIEN 4
I.2. ANAMNESIS 4
I.3. PEMERIKSAAN FISIK 5
I.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG 8
I.5. RESUME 8
I.6. DIAGNOSIS 9
I.7. PENATALAKSANAAN 9
I.8. PROGNOSIS 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
II.1. DEFINISI 10
II.2. EPIDEMIOLOGI 10
II.3. ETIOLOGI 11
II.4. KLASIFIKASI 12
II.5. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS 14
II.6. MANIFESTASI KLINIS 21
II.7. DIAGNOSIS 23
II.8. DIAGNOSIS BANDING 26
II.9. TATALAKSANA 30
II.10. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS 38
II.11. PENCEGAHAN 40
BAB III ANALISA KASUS 42
DAFTAR PUSTAKA 45
2
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
3
BAB I
LAPORAN KASUS
4
yang dioleskan ke badan, memelihara binatang peliharaan, mengganti deterjen atau
pelembut pakaian, atau menggunakan parfum.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan ruam kemerahan terasa gatal pada lipatan siku
dan lipatan lutut sebelumnya, namun keluhan gatal pada punggung tangan sudah dialami
selama beberapa tahun belakangan ini. Apabila sudah sembuh, gatal sering kambuh
kembali tanpa faktor pencetus yang jelas. Pasien sebisa mungkin tidak menggaruk area
yang gatal. Pasien menyangkal adanya riwayat asma ataupun bersin/pilek pada pagi hari.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat alergi ataupun asma
pada keluarga disangkal oleh pasien.
e. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sehari-hari bekerja di kantor menggunakan AC dan jarang berkeringat. Pasien tidak
memiliki kebiasaan merokok atau konsumsi alkohol.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi yang diketahui, pasien belum pernah menjalani tes
alergi sebelumnya. Pasien mengatakan akan merasa gatal dan merah pada seluruh tubuh
apabila mengkonsumsi alkohol.
5
f. Kepala : Simetris, tidak ada bekas luka ataupun bekas jahitan
g. Mata : Sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-)
h. Telinga : Daun telinga simetris kiri dan kanan, pendengaran baik
i. Hidung : Septum hidung simetris, hiperemia (-), lendir (-)
j. Mulut : Mukosa tidak kering, bibir sianosis (-), faring hiperemis
(-), tonsil hiperemis (-), T1/T1
k. Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi
trakea (-)
l. Thorax
Cor
- Inspeksi : bekas luka (-), pectus excavatum (-), pectus carinatum (-), massa (-)
- Palpasi : batas jantung normal
- Perkusi : massa (-), nyeri tekan (-), ictus cordis teraba
- Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
- Inspeksi : pergerakan nafas simetris, retraksi (-), bekas luka (-), barrel chest (-)
- Palpasi : sonor pada kedua lapang paru
- Perkusi : Tactile fremitus normal, pengembangan dada simetris
- Auskultasi : bronchovesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
- Inspeksi : perut datar, bekas luka (-), caput medusa (-), spider naevi (-), massa (-)
- Auskultasi : bunyi bising usus normal, metalic sound (-)
- Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-), ginjal
normal
- Perkusi : timpani pada 4 kuadran abdomen
m. Kulit : kulit secara general tampak kering, dermographism (-)
n. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan
o. Ekstremitas : akral hangat, CRT <2s, sianosis (-), ROM aktif/tidak
terbatas, clubbing finger (-), edema (-)
Status Dermatologis
6
- Regio Cubital
Dextra Sinistra
Dextra Sinistra
7
Efloresensi : makula eritema soliter berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi,
bilateral
- Regio Metacarpal
I.5. RESUME
Pasien Ny. S datang dengan keluhan ruam kemerahan terada gatal pada lipatan siku dan
lipatan lutut belakang sejak 3 hari SMRS. Pasien mengatakan gatal dirasakan hampir setiap
hari dan hilang timbul. Pasien mengatakan keluhannya ini muncul setelah pasien pergi ke
pantai 3 hari yang lalu pada cuaca yang panas lalu berkeringat. Pasien juga mengatakan
keluhannya saat ini diperburuk apabila pasien merasa panas dan berkeringat. Pasien juga
sudah mengalami keluhan serupa pada punggung tangannya sejak beberapa tahun yang lalu,
namun pasien tidak ingat kapan keluhan gatal pada punggung tangan ini muncul dan
disebabkan oleh apa. Pasien sudah mencoba merubah sabun mandinya menjadi sabun bayi
sejak 1 hari SMRS. Pasien tidak memiliki riwayat alergi yang diketahui, namun pasien
mengatakan akan merasa gatal dan merah pada seluruh tubuh apabila mengkonsumsi alkohol.
8
Pada pemeriksaan fisik terlihat kulit secara keseluruhan kering. Ditemukan makula
eritematosa multipel difus, erosi, pada regio fossa cubital; ditemukan makula eritema soliter
berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi, bilateral pada regio fossa popliteal; ditemukan
pada papul eritematosa multipel difus, erosi, ekskoriasi, likenifikasi, bilateral pada regio
metacarpal.
I.6. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Kerja : Dermatitis Atopik fase dewasa
b. Diagnosis Banding : Dermatitis Kontak Iritan, Skabies
I.7. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
- Inerson 15mg Oinment 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi
- Fusycom 5g Cream 2x1 pada bagian yang luka, pagi dan sore hari setelah mandi
- Triamcort 4mg Tab
- Noroid Cream 2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi
b. Non Medikamentosa
- Mandi menggunakan air suam-suam kuku untuk membersihkan dan menghidrasi
kulit.
- Ganti sabun mandi menjadi yang tidak iritatif → sabun bayi
- Gunakan pelembab setiap setelah mandi walaupun lesi sudah sembuh sebagai
pemeliharaan kulit
- Jangan menggaruk lesi karena dapat memperparah lesi. Apabila gatal, makan obat
gatal.
- Jaga kuku agar tetap pendek untuk mengurangi resiko luka saat menggaruk.
I.8. PROGNOSIS
a. Ad vitam : bonam
b. Ad functionam : bonam
c. Ad sanationam : bonam
d. Ad kosmetikam : bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Dermatitis merupakan peradangan kulit bagian epidermis dan dermis sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau endogen sehingga menyebabkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik dan keluhan gatal. Dermatitis atopik atau dapat disebut
sebagai DA merupakan penyakit peradangan kulit berupa dermatitis yang bersifat kronis
residif, ditandai dengan rasa gatal yang ringan sampai berat pada bagian tubuh tertentu,
dan sebagian besar muncul pada masa bayi ataupun anak. Pasien dengan DA sering
memiliki komorbiditas atopik seperti asma akibat alergi, rhinitis alergi dan mengalami
gangguan kualitas hidup yang cukup signifikan.
Istilah atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923 untuk
menggambarkan kecenderungan mengembangkan hipersensitivitas alergi dari manifestasi
asma dan hayfever. Istilah atopi berasal dari kata Yunani “atopos” atau “without place”
yang memiliki arti penyakit kulit yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang terkena,
patogenesis, maupun perjalanan penyakitnya. Wise dan Sulzberger menciptakan istilah
dermatitis atopik pada tahun 1933 untuk menggambarkan penyakit kulit eksim berulang
yang ditemukan pada pasien dengan riwayat keluarga penyakit atopik.1
II.2. Epidemiologi
Sejak tahun 1960, prevalensi DA telah meningkat lebih dari tiga kali lipat. Saat ini
diperkirakan bahwa 10-20% anak-anak dan 1-3% orang dewasa di negara maju
terpengaruh oleh penyakit ini seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Eropa Utara dan
Barat. Di Indonesia, menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) angka
prevalensi kasus DA menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak yaitu
sebanyak 611 kasus atau sebesar 23,67%. DA sering dimulai pada awal masa bayi yaitu
sekitar 45% dari semua kasus dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% selama tahun
pertama, dan 85% sebelum mencapai umur 5 tahun. Tetapi, hingga 70% anak-anak dengan
DA akan masuk ke masa remisi klinis sebelum menuju umur remaja. Prevalensi DA pada
usia dewasa tidak dapat dipastikan tetapi sekitar 3-7% di Amerika Serikat, Jerman, dan
10
Jepang. Terdapat juga studi yang menunjukkan rasio perempuan dan laki-laki ialah 1.3 dan
1.0 sehingga perempuan lebih dominan pada penyakit ini.1,2
Beberapa penelitian mengungkapkan tingkat prevalensi yang lebih rendah di kawasan
pedesaan dibandingkan kawasan perkotaan di negara yang sama. Beberapa faktor yang
mempengaruhi DA adalah paparan polusi udara, obesitas, pemakaian antibiotik,
peningkatan pendapatan ekonomi.2
II.3. Etiologi
Etiologi DA sampai saat ini masih dianggap multifaktor dan patogenesis yang masih
dilakukan berbagai penelitian baik di bidang genetik maupun faktor lingkungan. Beberapa
faktor pencetus pada DA adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal termasuk
faktor genetik dan imunologik. Faktor eksternal dapat berupa lingkungan, gaya hidup, dan
psikologis. Faktor genetik akan menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan sistem
imun khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba.3
Faktor kromosom 5q31-33 memegang peranan penting dalam ekspresi dermatitis
atopik karena mengandung kumpulan sitokin yang diekspresikan oleh sel TH2. DA lebih
banyak ditemukan pada penderita yang memiliki riwayat atopi dalam keluarganya. Faktor
imunologi juga mempengaruhi DA seperti kadar IgE dalam serum penderita meningkat
pada 60-80% kasus dan ditemukan molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.4
Faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap prevalensi DA. Faktor
lingkungan seperti polutan (asap rokok, polusi udara meningkatkan suhu dan penurunan
kelembaban udara), alergen baik aeroalergen (tungau debu rumah, serbuk sari, bulu
binatang) maupun makanan (susu, telur, kacang-kacangan, ikan laut, gandum). Faktor
psikologi pada DA didapatkan adanya gangguan psikis yang tergolong tinggi. Penderita
dermatitis sering mengalami frustasi, cemas, merasa tidak aman yang mengakibatkan
timbulnya rasa gatal. Tetapi teori ini masih belum jelas dan diperlukan penelitian lebih
lanjut.3
11
II.4. Klasifikasi
Klasifikasi DA berdasarkan keterlibatan organ tubuh dapat terbagi atas DA murni dan
DA campuran. DA murni artinya hanya terdapat di kulit tanpa keterlibatan saluran nafas.
DA campuran adalah adanya kelainan di organ lain contohnya asma bronkial, rhinitis
alergika, serta hipersensitivitas terhadap alergen polivalen (aeroalergen dan makanan).
Bentuk murni DA terbagi menjadi 2 tipe yaitu tipe intrinsik dan ekstrinsik. Tipe intrinsik
yaitu DA tanpa bukti hipersensitivitas terhadap alergen polivalen dan tidak terdapat
peningkatan IgE total serum. Sedangkan tipe ekstrinsik adalah bila terdapat bukti
hipersensitivitas terhadap alergen hirup dan makanan pada uji kulit, adanya peningkatan
IgE total serum, peningkatan sitokin yaitu IL-4 dan IL-13.3
Klasifikasi DA secara klinis berdasarkan usia saat terjadinya DA terbagi atas DA fase
infantil, anak, dan dewasa.
a. Fase Infantil (2 bulan – 2 tahun)
DA sering muncul pada tahun pertama kehidupan yaitu setelah usia 2 bulan
sampai 2 tahun. Tempat predileksi utama lesi DA di wajah, diikuti kedua pipi dan
tersebar simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga, leher,
pergelangan tangan, dan tungkai terutama di bagian volar/fleksor. Lesi dapat
berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, dan karena digaruk maka lesi dapat
pecah timbul eksudat dan terbentuk krusta. Infeksi sekunder juga dapat terjadi oleh
karena gatal dan garukan lesi. Likenifikasi mulai muncul sekitar usia 18 bulan.
Fungsi motorik akan bertambah sempurna seiring bertambahnya usia anak dan ia
mulai merangkak dan berjalan sehingga lesi kulit dapat ditemukan di daerah lutut,
siku, dan mudah mengalami trauma. Fase infantil dapat mereda dan sembuh, tetapi
ada juga yang berkembang menjadi fase anak atau fase remaja. Pada usia bayi
kurang dari 1 tahun, alergen makanan juga sering menjadi pengaruh, tetapi pada
usia yang semakin bertambah, alergen hirup lebih berpengaruh.3
b. Fase Anak (2 – 12 tahun)
Fase anak dapat merupakan kelanjutan dari bentuk fase infantil atau timbul
sendiri (de novo). Lesi pada DA anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia
sekolah dan tempat predileksi biasanya di fosa kubiti dan poplitea, fleksor
pergelangan tangan, kelopak mata, dan leher. Lesi tersebar secara simetris. Kulit
12
pasien DA cenderung lebih kering. Lesi juga dapat disertai hiperkeratosis,
hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta, dan skuama. Pada fase ini, pasien lebih
sensitif terhadap alergen hirup, wol, dan bulu binatang.3
c. Fase Remaja dan Dewasa (> 12 tahun)
Fase remaja dapat merupakan kelanjutan dari fase anak. Pada DA fase remaja
dan dewasa, bentuk lesi mirip dengan fase anak dan didapatkan likenifikasi
terutama pada daerah lipatan-lipatan tangan. Tempat predileksi biasanya meluas
mengenai kedua telapak tangan, jari-jari, pergelangan tangan, bibir, leher bagian
anterior, skalp, dan puting susu. Lesi juga dapat disertai skuama, ekskoriasi,
hiperkeratosis, hiperpigmentasi. Pada fase dewasa, rasa gatal lebih hebat saat
beristirahat, udara panas, atau berkeringat. Fase ini berlangsung kronik-residif
sampai usia 30 tahun dan bisa lebih.3
13
Gambar 2: Lesi dermatitis atopik pada usia yang berbeda2
Gambar 3: Eritematosa, edema kelopak mata dengan likenifikasi dan hiperpigmentasi pada DA fase
remaja. Terdapat lipatan Dennie-Morgan infraokular1
14
a. Disfungsi Sawat Kulit
Dermatitis atopik berhubungan dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
turunnya fungsi gen yang meregulasi filagrin dan lorikrin yaitu amplop keratin,
kurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-
water-loss (TEWL) sebesar 2-5 kali orang normal. Sawar kulit juga dapat menurun
akibat terpajan protease eksogen dari tungau debu rumah dan superantigen
Staphylococcus aureus, dan kelembaban udara. Perubahan sawar kulit ini berakibat
terhadap peningkatan absorbsi dan hipersensitivitas terhadap alergen. Peningkatan
TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air (skin capacitance), dan
perubahan komposisi lipid esensial kulit akan menyebabkan keringnya kulit pasien
DA dan bertambahnya sensitivitas gatal terhadap rangsangan. Garukan akibat gejala
klinis gatal dapat menimbulkan erosi atau ekskoriasi sehingga dapat meningkatkan
penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit.3
Stratum korneum membentuk penghalang yang berkontribusi terhadap pencegahan
kebocoran cairan tubuh, retensi air internal dalam lapisan sel, dan berkontribusi pada
pertahanan biologis. Jika fungsi penghalang lapisan sel tanduk tidak berfungsi, maka
iritabilitas kulit terhadap rangsangan non-spesifik ditingkatkan, sensitisasi alergen dan
peradangan mungkin terjadi. Lipid antar sel di stratum korneum terdiri dari seramid,
kolesterol, dan asam lemak. Dalam kasus AD, fungsi dari lipid antar sel pada stratum
korneum memburuk karena penurunan abnormal kandungan seramid, dan kapasitas
retensi kelembaban terganggu.5
15
Gambar 4: Lapisan sawar stratum korneum dan epidermal5
16
DA. Disfungsi sawar kulit akan menyebabkan produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-6,
IL-8, TNF-a) meningkat dan merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis
sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit.3
Peningkatan kadar IgE pada DA menyebabkan reaksi eritema pada kulit. Adanya
stimulasi IL-4 terhadap sel T (CD4) dan IL-13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE,
dan sebaliknya interferon y (IFNy) dapat mensupresi sel B. Jumlah dan potensi IL-4
lebih besar daripada IFNy. Fungsi dari IL-5 adalah menginduksi proliferasi sel
eosinofil sebagai parameter DA.3
Penurunan fungsi penghalang kulit memungkinkan alergen dengan mudah
menembus kulit. Alegen menginduksi reaksi imun tipe 2 melalui aktivitas protease.
Sel T pembantu dapat dibagi menjadi sel Th1 dan Th2. Th1 sel telah terbukti terlibat
dalam imunitas sel, sedangkan sel Th2 terutama terkait dengan reaksi alergi. Respon
imun tipe 2 menyebabkan induksi antibodi IgE spesifik alergen. Sel langerhans dan sel
mas mengekspresikan reseptor IgE afinitas tinggi (Fc 3RI) dan melepaskan sitokin dan
histamin melalui pengikatan IgE spesifik alergen untuk menginduksi peradangan.
Protein S100 diproduksi oleh epidermis kerusakan lebih lanjut mengaktifkan limfosit.5
Lesi akut DA dengan edema interselular (spongiosis) dan infiltrat epidermis
terutama terdiri atas limfosit T, sel langerhans, dan makrofag mengekspresikan
molekul IgE. Di dermis, sel radang limfosit T dengan epitop CD3, CD4, dan CD45R,
monosit-makrofag, sedangkan sel eosinofil jarang ditemukan, jumlah sel mas normal
tetapi aktif ber-degranulasi. Lesi kronik DA ditandai dengan hiperplasi epidermis,
pemanjangan rete ridges, sedikit spongiosis, dan hiperkeratosis. Terdapat peningkatan
sel langerhans dan jumlah IgE di epidermis, infiltrat pada dermis lebih banyak
mengandung sel mononuklear/makrofag dan sel mas yang bergranulasi penuh, banyak
eosinofil, tidak ada neutrofil walaupun ada peningkatan kolonisasi dan infeksi
Staphylococcus aureus. Pada fase akut, T-helper 2 melepas IL-4 dan IL-13 yang
menginduksi pembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi sel endotel. Pada fase
kronik, sel T-helper 1, IL-11, dan transforming growth factors beta-1 menghasilkan
IL-12 dan IL-18.3,7
17
Gambar 5: Mekanisme imunobiologi pada fase akut dan fase kronis DA8
c. Alergen
Faktor eksogen seperti alergen hirup (debu rumah, tungau debu, molds, polen)
berperan penting dengan kejadian DA. Berbagai penelitian telah dilakukan dan
membuktikan bahwa peningkatan kadar IgE spesifik (IgE RAST) terhadap tungau
debu rumah lebih tinggi pada pasien DA daripada dengan kondisi lain. Hasil uji tempel
terhadap alergen tungau debu rumah menginduksi perubahan histopatologik yaitu
pembentukan infiltrat selular yang diperantai sel T helper 2 serta ditemukan eosinofil
dan basofil.3
d. Superantigen (SAg)
Lesi DA menunjukkan peningkatan kolonisasi Staphylococcus aureus. Hasil
penelitian dengan intervensi antibiotik menurunkan jumlah kolonisasi tersebut. S.
aureus dapat melekat di kulit karena interaksi protein A2 dan asam teikoik pada
dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pasien DA mengalami
18
perubahan komposisi lipid serta kurangnya sfongosin dan natural antimicrobial agent
yang memungkinkan S. aureus tumbuh dan berkolonisasi.3
Superantigen memiliki efek imunomodulator yang menyebabkan apoptosis sel T,
sel eosinofil, meningkatkan pelepasan histamin dan leukotrien, sintesis IgE, dan
menurunkan potensi glukokortikoid. SAg menyebabkan inflamasi pada kulit DA,
dapat memacu kekambuhan lesi DA menjadi rekalsitran dan kronik, dan menginduksi
influks cutaneous lymphocyte antigen (CLA) pada reseptor sel T. 3
e. Predisposisi Genetik
Lebih dari 80 gen telah dikaitkan dengan DA. Dari berbagai gen, mutasi yang
melibatkan filagrin yaitu protein di epidermal telah menjadi predisposisi utama faktor
AD pada orang kulit putih Eropa dan Asia. Gen filagrin ditemukan pada kromosom
1q21, yang mengandung berbagai gen (termasuk involucrin, loricrin, dan protein
pengikat kalsium S100) di epidermal differentiation complex (EDC), yang diketahui
diekspresikan selama diferensiasi terminal di epidermis.
Hasil penelitian menunjukkan risiko DA pada kembar monozigot 77% dan pada
kembar dizigot 25%. Pola warisan DA dalam keluarga bersifat multifaktorial dan tidak
mengikuti hukum Mendel. Sekitar 60% pasien DA akan memiliki anak atopi.
f. Mekanisme Pruritus
Mekanisme rasa gatal atau pruritus pada DA belum dapat dijelaskan seutuhnya dan
masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Patogenesis DA berhubungan dengan
faktor genetik dan hipersensitivitas tipe 1 fase lambat namun dianggap pada DA dapat
juga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Ditemukan peningkatan kadar
histamin di kulit pasien DA, tetapi peningkatan ini tidak disertai dengan peningkatan
dalam darah. Hasil studi menyatakan antihistamin memberi efek minimal saja dalam
mengatasi pruritus sehingga perlu dipikirkan kemungkinan mediator lain yang bersifat
pruritogenik seperti golongan neuropeptida, protease, opoid, eikosanoid, dan sitokin.3
Lesi kulit AD melepaskan berbagai zat (pruritogen), termasuk sitokin dan kemokin
(misalnya IL-31, IL-4, dan TSLP), dan mediator kimia yang menginduksi pruritus.
Zat-zat ini bekerja pada saraf dan dengan demikian menyebabkan gatal, yang pada
akhirnya menyebabkan perilaku menggaruk. Menggaruk menyebabkan semakin
memburuknya infeksi kulit. Hipersensibilitas kulit dapat diamati pada kondisi
19
inflamasi kronis seperti DA. Hipersensitivitas dapat disebabkan oleh perluasan saraf
sensorik kulit serat sampai di bawah lapisan sel tanduk dari permukaan kulit karena
kulit kering atau peradangan. Reaksi hipersensitivitas abnormal dimana stimulasi nyeri
dan panas menyebabkan gatal juga telah dilaporkan untuk DA. Ketidakseimbangan
antara sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis, faktor emosional dan
psikogenik berhubungan dengan onset dan memburuknya gatal.5
g. Faktor Psikologis
Hasil psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi
dan dapat berupa rasa cemas, stres, dan depresi. Rasa gatal yang terus menerus dapat
memicu pasien untuk menggaruk sheingga menyebabkan kerusakan kulit dan
kecemasan pasien akan meningkat karena melihat kerusakan tersebut. Dari hasil studi
penelitian juga ditemukan bahwa pasien DA memiliki kecenderungan untuk bersikap
temperamental, mudah marah, agresif.3
20
II.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DA dapat ditemukan pada kulit (cutaneous) maupun di luar kulit
(non-cutaneous). Temuan klinis pada kulit pasien DA adalah lesi eksematosa, pruritus, dan
perjalanan penyakit yang kronis atau terjadi relaps. Lesi eksematosa biasanya
menunjukkan distribusi lesi yang berhubungan dengan usia. Pada fase infantil, bayi
biasanya datang dengan lesi akut yang ditandai dengan eritema berbatas tidak tegas, dengan
vesikel, edema, ekskoriasi, dan adanya eksudat serosa. Pada fase anak, lesi lebih terlokalisir
dan kronis dibandingkan pada fase infantil, dengan lesi eritema pucat, kulit kering
(xerosis), batas tidak tegas umumnya terdapat juga likenifikasi. Pada fase dewasa, chronic
hand eczema mungkin menjadi manifestasi DA yang utama. Setidaknya terdapat sepertiga
pasien memiliki manifestasi klinis defisiensi filagrin seperti iktiosis vulgaris, keratosis
pilaris, dan hiperlinear palmar. Gambaran klinis tersebut berhubungan dengan gangguan
genetik yang mengkode protein filagrin.1
21
Pada manifestasi klinis non-cutaneous, pasien dengan AD terdapat beban kondisi
komorbiditas yang lebih tinggi. Pasien dengan AD sering menunjukkan aktivasi tanda-
tanda kekebalan T helper 2 (Th2), termasuk total spesifik serum IgE yang tinggi,
eosinofilia, dan kecenderungan terhadap komorbiditas alergi. Studi berbasis populasi besar
mengungkapkan pasien dengan DA memiliki prevalensi alergi makanan, asma, dan rinitis
alergi yang lebih tinggi.1
Sejumlah penelitian pada populasi anak-anak dan orang dewasa mengungkapkan DA,
terutama penyakit sedang hingga berat, sangat mempengaruhi emosi dan psikologis
seorang pasien. Anak-anak dengan DA menampilkan lebih banyak masalah emosional dan
perilaku dibandingkan dengan peserta kontrol biasa. Studi berbasis populasi juga
menemukan prevalensi yang lebih tinggi dari gangguan hiperaktif (ADHD), kecemasan,
gangguan perilaku, dan autisme pada anak-anak dengan DA dibandingkan dengan anak-
anak tanpa DA. Risiko dari ADHD pada anak-anak dan orang dewasa tampaknya dimediasi
oleh gangguan tidur, konsekuensi umum dari pruritus pada AD. Kecemasan dan depresi
sering ditemukan pada pasien dewasa dengan AD. Antara 43% dan 57% pasien memenuhi
ambang batas di Skala Kecemasan dan Depresi untuk kemungkinan kecemasan atau
depresi dalam uji klinis fase 3 untuk AD.1
22
II.7. Diagnosis
Diagnosis DA dibuat hanya setelah kondisi lain seperti psoriasis, skabies, dermatitis
seboroik, atau dermatitis kontak dapat disingkirkan. Diagnosis DA berdasarkan penilaian
klinis dengan gejala utama berupa gatal dengan penyebaran simetris pada tempat predileksi
sesuai usia. Selain itu, perjalanan penyakit dari dermatitis bersifat kronik-residif dan/atau
memiliki riwayat atopi pada pasien atau keluarga.1,3
Baku emas dari kriteria diagnosis DA adalah berdasarkan Hanifin-Rajka. Menurut
Hanifin-Rajka kriteria diagnosis dari DA terbagi diagnosis secara luas dan diagnosis
khusus untuk bayi dimana keduanya terbagi lagi atas kriteria mayor dan minor.9 Dalam
menegakkan diagnosis DA, pasien harus memenuhi 3 kriteria klinis mayor dan 3 atau lebih
kriteria klinis minor.
a) Bayi (< 2 tahun)
Kriteria Major Kriteria Minor
Family history of atopic dermatitis Xerosis/ichthyosis/hyperlinear
palms
Evidence of pruritic dermatitis Periauricuar fissure
Typical facial or extensor eczematous or lichenified Chronic scalp scaling
dermatitis
Diaper area and/or facial mouth/nose area is free of skin Perifollicular acccentuation
lesion
b) Dewasa
Kriteria Major Kriteria Minor
History of flexural Dry skin Dennie-Morgan infaorbital fold
dermatitis
Onset <2 years old Ichtyosis Keratoconus
Presence of an Palmar hyperlinearity Cataract
itchy rash
Personal history of Keratosis pilaris Orbital darkening
asthma
History of dry skin Type I allergy and increased serum IgE Facial pallor/facial erythema
Visible flexural Hand and foot dermatitis Anterior neck folds
dermatitis
Cheilitis Itch when sweating
Nipple eczema Intolerance to wool and lipid solvents
Increased presence of Staphylococcus Course influenced by environmental
aureus and Herpes simplex and emotional factors
Perifollicular keratosis Food intolerance
Pityriasis alba Perifollicular accentuation
23
Early age of onset White dermographism of delayed
blanch
Recurrent conjunctivitis
Selain itu, terdapat kriteria diagnosis lainnya berdasarkan Williams. Kriteria diagnosis
ini sering digunakan dan mudah untuk diaplikasikan sehari-hari karena tidak memiliki
kriteria minor pada Hanifin-Rajka yang hanya ditemukan pada <50% kasus DA.10
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kriteria Williams bersifat lebih spesifik
sedangkan kriteria Hanafin-Rajka lebih sensitif.3 Kriteria diagnosis dari williams harus
memiliki klinis kulit gatal (atau laporan orang tua tentang menggaruk atau menggosok)
ditambah tiga atau lebih dari klinis lainnya yaitu:
- Riwayat kondisi kulit kering pada daerah lipatan kulit (misalnya, bagian depan
siku, bagian belakang lutut, bagian depan pergelangan kaki, dan area di sekitar
leher atau mata).
- Riwayat asma atau hay fever (atau riwayat penyakit atopik pada kerabat tingkat
pertama jika anak berusia di bawah empat tahun)
- Riwayat kulit umumnya kering dalam satu tahun terakhir.
- Onset pada anak di bawah usia dua tahun (kriteria tidak digunakan jika anak
berusia di bawah empat tahun).
- Dermatitis fleksural yang terlihat (termasuk dermatitis yang mempengaruhi pipi
atau dahi dan aspek luar anggota badan pada anak di bawah usia empat tahun).113
24
Indeks SCORAD terbagi atas penilaian luas penyakit, intensitas, dan subjektif. Luas
penyakit dihitung secara rule of nine, kecuali pada anak-anak usia dibawah 2 tahun dimana
bagian kepala dihitung 8.5%, dan ekstremitas 6%. Penilaian intensitas adalah berdasarkan
morfologi seperti eritema, edema/papul, krusta, ekskoriasi, likenifikasi, dan xerosis kulit
yang kemudian setiap variabel mempunyai nilai 0-3 dan tidak terdapat nilai 1⁄2 . Penilaian
subjektif adalah berdasarkan anamnesis keluhan pasien seperti rasa gatal dan gangguan
tidur dengan skoring VAS. Dari setiap penilaian kemudian dihitung dengan rumus
SCORAD yaitu A/5+7B/2+C. Total nilai akhir kemudian digolongkan sebagai clear (0-
9.9), mild(10-28.9), moderate(29-48.9), dan severe(49-103).12,13 5
25
terhadap debu atau makanan tertentu saja. Kegunaan klinis uji tempel dengan alergen di
udara masih belum jelas. Uji tempel berguna untuk menyingkirkan diagnosis dugaan
dermatitis kontak alergi.3
• Panel Alergi
Peran makanan dan aeroallergen dalam patogenesis dan eksaserbasi DA
masih kontroversial. Meskipun sebagian besar pasien dengan DA
menunjukkan antibodi IgE spesifik terhadap makanan dan/atau aeroallergen
pada uji cukit kulit (SPT) dan pengukuran kadar IgE spesifik serum,
signifikansi klinisnya masih belum jelas. Dengan kata lain, sementara uji cukit
positif atau tes IgE spesifik serum menunjukkan sensitisasi terhadap alergen
tertentu, ini tidak membuktikan hipersensitivitas atau penyebab klinis.
Dalam studi klinis, sekitar 35% anak-anak dengan DA sedang hingga berat
ditemukan memiliki alergi makanan yang berhubungan. Secara umum,
semakin muda pasien dan semakin parah DA, semakin besar kemungkinan
alergen makanan tertentu dapat memperburuk penyakit, namun hal ini biasanya
terlihat pada riwayat klinis. Sebaliknya, alergi makanan tampaknya jarang
ditemukan dalam AD dewasa.
Pengujian acak atau skrining terhadap alergen makanan tidak dianjurkan
karena hal ini dapat menyebabkan pembatasan diet yang tidak perlu dan tidak
tepat pada pasien dengan DA. Nilai prediktif positif dari panel skrining alergen
makanan dalam kasus tersebut adalah serendah 2%, dan panel skrining ini
terkait dengan pemanfaatan perawatan kesehatan yang signifikan. Oleh karena
itu, keputusan untuk melakukan tes alergi terhadap makanan harus didasarkan
pada ada tidaknya riwayat pasien yang sangat sugestif terhadap alergi
makanan. Pasien anak-anak dengan DA yang dipicu oleh makanan seringkali
diinstruksikan untuk memulai diet eliminasi yang ketat dari makanan pencetus.
Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa diet eliminasi ini harus diinisiasi
dengan hati-hati karena secara tidak sengaja dapat menyebabkan hilangnya
toleransi makanan dan meningkatkan risiko reaksi makanan yang diperantarai
IgE.
26
Paparan aeroallergen seperti tungau debu rumah, bulu binatang, serbuk sari
dan jamur dapat memperburuk DA pada beberapa pasien. Dalam kasus ini,
identifikasi sensitisasi oleh tes cukit mungkin berguna. Jika sensitisasi
ditegakkan, dan riwayat menunjukkan peran penyebab dalam memperburuk
DA, maka tindakan penghindaran khusus harus dipertimbangkan karena
menghilangkan alergen dari lingkungan pasien dapat memperbaiki gejala DA.
Patch test atopi masih dianggap sebuah pemeriksaan investigasi pada pasien
dengan DA karena tidak ada metode standar aplikasi atau interpretasi tes.
Namun, patch test mungkin berguna untuk mengecualikan diagnosis dermatitis
kontak bersamaan.40
27
Gambar 11. Dermatitis seboroik
Dermatitis numularis adalah inflamasi pada kulit yang idiopatik yang bersifat kronis
dan dapat kambuh, beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dermatitis numularis adalah
dermatitis atopik, kulit kering, stres dan adanya pergantian musim. Penyakit kulit ini
dikarakteristikan dengan lesi makula eritema berbentuk koin berukuran 1-5 cm atau oval
dengan batas yang tegas, adanya rasa gatal serta berskuama. Lokasi lesi biasanya pada
tungkai dan seringkali disertai infeksi sekunder seperti bakteri Staphylococcus aureus.279
Dermatitis kontak terbagi atas dermatitis kontak iritan dan alergi. Dermatitis kontak
iritan adalah penyakit kulit yang disebabkan karena adanya paparan terhadap zat kimia atau
logam yang menghasilkan efek toksik tanpa menimbulkan respon dari sel T.
Berkembangnya dermatitis kontak iritan terjadi karena adanya peningkatan dari durasi,
28
intensitas, dan konsentrasi bahan.3 Gambaran klinis dapat identik dengan dermatitis atopik,
tetapi lokasi di tempat paparan maksimal yaitu tangan dan jari-jari dapat membantu dalam
membuat diagnosis. Beberapa derajat dermatitis kontak iritan umum terjadi pada orang
dengan dermatitis atopik misalnya, pada bayi, di sekitar mulut, karena air liur dan makanan
basah, dan di area popok, karena urin.11 Dermatitis kontak alergi merupakan penyakit kulit
dengan adanya respon hipersensitivitas tipe 4, yang terjadi akibat kulit terpapar dengan zat
kimia atau antigen. Reaksi hipersensitivitas terjadi setelah sensitisasi terhadap zat tertentu
contohnya, nikel dalam perhiasan, karet dalam sarung tangan, atau lem di beberapa sepatu.
Karakteristik dari morfologi DKA adalah makula eritematosa, papul, vesikel dan diikuti
dengan kulit yang kering dan bersisik pada bagian yang terpapar dengan alergen dan dapat
meluas. Dermatitis kontak alergi dapat berdampingan dengan timbulnya dermatitis atopik.1
29
Gambar 14. Dermatitis kontak alergi
kronis, gatal, sirkumskripta, ditandai dengan penebalan kulit serta likenifikasi dimana kulit
menyerupai batang kayu karena terdapat relief akibat garukan.11 Pada awalnya lesi dapat
berupa plak eritematosa dengan edema yang kemudian menghilang dan menjadi lesi
skuama yang menebal. Epidemiologi Neurodermatitis sirkumskripta jarang ditemukan usia
anak, namun memiliki puncak insiden pada usia 30-50 tahun. Predileksi tersering adalah
pada kulit kepala, tengkuk, samping leher, lengan ekstensor, pubis, vulva, skrotum,
perianal, lutut, malleolus, pergelangan kaki, dan punggung kaki.28 10
30
Gambar 15. Lichen simplex chronicus
Kondisi lain yang dapat menjadi diagnosis banding DA adalah Skabies. Skabies adalah
infeksi kulit yang ditularkan oleh tungau yang disebut Sarcoptes scabiei.3 Gambaran klinis
dari penyakit ini adanya ruam yang gatal di malam hari dan untuk menegakkan diagnosis
akan ditemukan terowongan di bawah kulit, melalui kerokan kulit dan melalui
dermatoskopi. Manifestasi klinis dari penyakit ini dapat ditemukan adanya pustul di
telapak tangan dan telapak kaki, sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan bagian
genitalia. Selain itu Skabies memiliki kriteria diagnosis yaitu adanya 2 dari 4 gejala
kardinal yang adalah pruritus nocturnal, menyerang sekelompok manusia, kunikulus pada
lokasi predileksi, dan/atau ditemukannya tungau Sarcoptes scabiei.28
II.9. Tatalaksana
Dermatitis atopik tidak bisa disembuhkan, pasien akan mengalami perjalanan penyakit
bersifat kronik-residif. Tujuan dari pengobatan DA adalah untuk meminimalisir bertambah
buruknya penyakit atau biasa disebut flare dan mengurangi durasi dan derajat dari
timbulnya flare.14 Penatalaksanaan dermatitis atopik yang optimal memerlukan pendekatan
multi cabang yang melibatkan eliminasi faktor eksaserbasi, pemulihan fungsi sawar kulit
dan hidrasi kulit, edukasi pasien, dan pengobatan farmakologis inflamasi kulit.15
a. Non Medikamentosa
Edukasi pasien mengenai kondisi kulitnya sangat penting guna memberikan
tatalaksana yang efektif serta memberitahu jika penyakit ini kronis dan dapat
berulang, kepatuhan dari pasien dalam memberikan obat topikal dan merawat kulit
dengan baik. Kepatuhan dalam pengobatan yang buruk, terutama dalam
31
menggunakan obat topikal dapat menunjukan hasil yang kurang baik dan dapat
memengaruhi kualitas hidup pasien.16,17
Perawatan kulit sangat penting untuk pasien yang menderita dermatitis
atopik, mulai dari frekuensi mandi yang disarankan sehari sekali atau dua kali
dengan air hangat selama 10-15 menit untuk membantu melembabkan dan
membersihkan kulit, selain itu untuk membantu membersihkan kotoran pada kulit
yang terinfeksi serta meningkatkan daya penyerapan terhadap terapi topikal.
Hidrasi kulit adalah komponen kunci dari manajemen keseluruhan pasien dengan
dermatitis atopik. Untuk menjaga hidrasi kulit, emolien harus diterapkan
setidaknya dua kali sehari dan segera setelah mandi atau mencuci tangan. Pelembab
tidak memiliki efek langsung terhadap eksem namun dapat memperbaiki tampilan
kulit dan mengurangi rasa gatal.18 Dalam menentukan jenis pelembab yang akan
digunakan bergantung pada kondisi kulit pasien. Krim kental, yang memiliki kadar
air rendah, atau salep seperti petroleum jelly yang memiliki kadar air nol umumnya
lebih efektif dalam melindungi terhadap xerosis, tetapi beberapa pasien mungkin
mengeluh bahwa kulit terasa lengket dan berminyak. Lotion, meskipun kurang
efektif dibandingkan krim dan salep, dapat menjadi alternatif bagi pasien ini.19
Metode Wet Wraps Therapy (WWT) juga seirng digunakan saat DA sedang
flare (gatal-gatal parah). WWT dapat mengurangi edema dan keinginan untuk
menggaruk. Agen topikal akan ditutupi oleh selapis kassa yang basah lalu ditutupi
4
lagi oleh kassa kering sebagai lapisan kedua. WWT mengoklusi agen topikal untuk
meningkatkan penetrasi, mengurangi kehilangan air, dan memberikan penghalang
fisik terhadap goresan. Bungkus dapat dipakai dari beberapa jam hingga 24 jam,
tergantung pada toleransi pasien. WWT dapat dilakukan selama beberapa hari
hingga 2 minggu.
Selain itu, penting untuk pasien dapat mengetahui faktor-faktor yang dapat
mencetus kekambuhan seperti faktor allergen seperti contohnya terhadap tungau
atau debu, atau alergi terhadap makanan. Pada bayi atau anak usia <1 tahun dapat
dilakukan pemeriksaan uji kulit dikarenakan alergen makanan lebih sering ditemui
pada usia tersebut. Apabila ditemukan maka, pemberian makanan tersebut dapat
32
ditunda, dihentikan, dilakukan diet terpimpin, atau makanan pengganti. Perlu untuk
dilakukan monitor korelasi antara diet dengan perbaikan klinis pada pasien.3
Pada fase dewasa faktor pencetus kekambuhan dapat berasal dari sisi
psikologis. Apabila diperlukan pasien dapat dirujuk pada psikolog atau psikiater.
Selain itu, penting bagi pasien mendapatkan komunikasi dan edukasi yang baik
terhadap DA ini agar pasien dapat mengerti secara baik. Hal ini dikarenakan
penyakit DA sulit untuk disembuhkan dan bersifat kronik-residif. 3
33
b. Medikamentosa
Tatalaksana dari DA mengikuti pedoman dari International Consensus
Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II) tahun 2001 yang dapat dilihat pada
gambar 17.20 6
34
• Pengobatan Topikal
Pemilihan obat topikal yang digunakan pada DA baik fase bayi, anak, dan
dewasa adalah pelembab, kortikosteroid, dan obat-obat kalsineurin. Tidak
jarang juga dijumpai infeksi sekunder pada pasien DA, dan yang paling umum
disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. S. Aureus akan berkolonisasi
di lesi-lesi eksim pada pasien DA dan mengeluarkan sejumlah super-antigen
serta eksotoksin yang menimbulkan reaksi inflamasi. Pemberian antibiotik
topikal pada pasien DA sendiri masih menjadi perdebatan, menurut penelitian
yang dilakukan oleh Giornale pada tahun 2015, pasien DA dengan infeksi
sekunder perlu diberikan antibiotik topikal seperti gentamisin dan mupirocin.35
Selain itu juga terdapat 2 penelitian lainnya yang menunjukkan perbaikan dari
tingkat keparahan DA dan SCORAD pada pasien yang mendapatkan terapi
topikal kombinasi berupa antibiotic dan kortikosteroid.36,37 Namun terdapat
penelitian kecil yang justru mengatakan bahwa tidak ada keuntungan signifikan
dari pemberian terapi mupirocin topikal yang dikombinasikan dengan
hidrokortison pada 83 bayi baru lahir. 38
o Pelembab
Terapi dasar adjuvant sangat penting dalam pengelolaan penyakit
ini yang terdiri dari aplikasi pelembab yang memadai secara teratur.
Kelas pelembab yang berbeda didasarkan pada mekanisme kerjanya,
termasuk oklusif, humektan, emolien, dan peremajaan protein. Pasien
mungkin akan diberi resep pelembab yang berbeda tergantung pada
preferensi khusus mereka, usia mereka dan jenis eksim mereka.
Emolien menjaga kulit tetap terhidrasi dan dapat mengurangi rasa gatal.
Mereka harus diterapkan secara teratur setidaknya dua kali sehari,
bahkan ketika tidak ada gejala penyakit dan juga harus diterapkan
setelah berenang atau mandi.21 7
o Kortikosteroid Topikal
Penggunaan kortikosteroid topikal secara intermiten untuk
mengobati tanda dan gejala dermatitis atopik, bersama dengan emolien,
telah menjadi standar manajemen penyakit. Kortikosteroid topikal
35
sering diresepkan secara intermiten untuk pengobatan reaktif jangka
pendek dari serangan akut dan dilengkapi dengan emolien. Pengobatan
reaktif dengan kortikosteroid menawarkan bantuan gejala yang cepat
dan efektif untuk flare akut.21 Pemilihan golongan kortikosteroid topikal
hendaknya memperhatikan luas dan lokasi anatomis, serta derajat dari
keparahan penyakit seperti pada gambar 12. Pada usia bayi dan anak
dianjurkan pemilihan kortikosteroid potensi lemah - medium (VII-IV),
contohnya seperti hidrokortison krim 1-2 1⁄2 %, metilprednisolon atau
flumetasone. Pada DA dengan derajat keparahan sedang dapat
menggunakan kortikosteroid topikal potensi medium (VI) seperti
desonide, triamcinolonacetonid, hydrocortisone butyrate, atau
alclometasone. Apabila derajat keparahan DA lebih berat dapat dimulai
dengan menggunakan kortikosteroid dengan potensi medium (V).
Dalam keadaan tertentu kortikosteroid topikal potensi kuat dapat
36
digunakan secara singkat yaitu maksimal selama 2 minggu, mengingat
efek samping dari kortikosteroid. 3,22 8
37
Akan tetapi, ada banyak masalah keamanan yang terkait dengan
penggunaannya, terutama bila diterapkan secara terus-menerus. Potensi
efek samping terutama kulit adalah atrofi kulit, telangiektasia,
hipopigmentasi, jerawat steroid, peningkatan pertumbuhan rambut dan
erupsi seperti rosacea. Selain itu, terdapat efek sistemik berupa
penekanan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA), retardasi
pertumbuhan, peningkatan risiko katarak glaukoma dan sindrom
Cushing.21
38
pasien dapat menimbulkan reaksi alergi seperti rasa terbakar dan
pruritus setelah menggunakan obat ini dan biaya yang dikeluarkan
untuk mendapatkan obat ini tidak terjangkau.2,4
• Pengobatan Sistemik
Keputusan untuk memulai terapi sistemik harus didasarkan pada keparahan
penyakit secara keseluruhan, respons terhadap terapi topikal, kepatuhan
terhadap regimen topikal sebelumnya, dampak penyakit pada kualitas hidup
pasien, dan pemahaman komorbiditas dan preferensi pasien. Terapi sistemik
dapat mulai digunakan pada DA anak dan DA derajat berat.24 Pengobatan
sistemik berupa antihistamin diberikan untuk mengurangi rasa gatal dan
menurunkan frekuensi garukan yang dapat memperburuk lesi. generasi pertama
antihistamin sedatif dapat bermanfaat untuk pasien dengan gangguan tidur
akibat gatal. Selain itu antihistamin generasi kedua non-sedatif memiliki
keunggulan dapat mencegah agregasi sel-sel inflamasi.3,21
Obat sistemik lainnya berupa obat imunosupresan sistemik yang merupakan
pilihan terakhir. Obat imunosupresan dapat beruka siklosporin A,
kortikosteroid sistemik, atau methotrexate. Efektivitas siklosporin oral dalam
meningkatkan pruritus dan gejala lain dari dermatitis atopik telah ditunjukkan
dalam beberapa uji coba secara acak.25 Siklosporin mungkin sangat berguna
untuk kontrol cepat pruritus yang berhubungan dengan dermatitis atopik.
Namun, kekambuhan sering terjadi setelah penghentian pengobatan.21
Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednisone oral, jarang
diindikasikan dalam pengobatan pasien dengan DA kronis tetapi umumnya
digunakan oleh penyedia layanan. Beberapa pasien dan dokter lebih memilih
penggunaan glukokortikoid sistemik untuk menghindari perawatan kulit yang
memakan waktu yang melibatkan hidrasi dan terapi topikal. Namun, perbaikan
klinis dramatis yang mungkin terjadi dengan glukokortikoid sistemik sering
dikaitkan dengan serangan DA yang parah setelah penghentian glukokortikoid
sistemik. Kursus singkat glukokortikoid oral mungkin sesuai untuk eksaserbasi
akut DA sementara tindakan pengobatan lain sedang dilakukan.1 Methotrexate
(MTX) adalah antimetabolit dengan potensi efek penghambatan pada sintesis
39
sitokin inflamasi dan kemotaksis sel. Efek samping dari MTX adalah gangguan
pada hematologi dan hepatic toxicity sehingga, pemeriksaan hematologi serta
fungsi hepar harus rutin dilakukan.1
• Fototerapi
Untuk mengobati dermatitis atopik yang sudah meluas pada orang dewasa
dapat dilakukan dengan fototerapi menggunakan narrowband ultraviolet B
(NBUVB) atau ultraviolet A1 (UVA1).21 Mekanisme kerja melibatkan
pengurangan produksi histamin dari sel mast serta basofil. Dermatitis atopik
yang sulit diatasi dapat dibantu dengan fototerapi 3 hingga 5 kali per minggu
dalam 1-2 bulan, dengan dikombinasikan pemberian kortikosteroid topikal.26
• Terapi DA dengan Infeksi Sekunder
Pada kulit pasien yang menderita dermatitis atopik sering sekali terjadi
infeksi dari kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus pada bagian luka maupun
40
tidak, maka diperlukan antibiotik oral atau topikal dalam jangka pendek. Untuk
infeksi sekunder diberikan antibiotik sistemik yaitu generasi 1 atau generasi 2
sefalosporin atau penisilin selama 7-10 hari.Tidak hanya infeksi bakteri namun
pasien dermatitis atopik juga rentan terhadap infeksi virus herpetikum eksim
yang dapat diobati dengan antivirus asiklovir atau valasiklovir, formulasi oral
digunakan untuk pasien dengan infeksi primer atau keadaan yang parah seperti
demam, rasa tidak enak badan dan limfadenopati. 2,4
c. Terapi Alternatif pada Dermatitis Atopi
Modalitas utama dalam tatalaksana dari DA adalah menjaga integritas
sawar kulit dan mengontrol antiinflamasi lokal menggunakan emolien dan
kortikosteroid topikal atau calcineurin inhibitor. Meskipun demikian, terapi
konvensional masih belum sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan terapi yang
aman dan efektif dikarenakan efek samping dari pengobatan-pengobatan ini. Lebih
dari 50% pasien dengan DA mencoba untuk menggunakan terapi alternatif
dikarenakan sifat DA yang kronik-residual dan seringkali pasien masih merasa
kurang puas dengan hasil pengobatan menggunakan terapi konvensional. Beberapa
terapi alternatif yang dapat digunakan pada DA antara lain adalah:39
• Obat Herbal
Obat herbal adalah terapi yang ekonomis, mudah diakses, dan relatif aman.
Studi dari Liu et al. menunjukan bahwa konsumsi obat herbal dapat
menurunkan gejala DA yang dinilai menggunakan SCORAD, QOL, dan
skoring VAS dengan signifikan dibandingkan dengan placebo. Studi lainnya
oleh Yen dan Hsieh menunjukan bahwa penggunaan obat herbal topikal (Tzu-
Yun Ointment) dapat mengurangi gejala dari DA yang tidak jauh berbeda
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan kortikosteroid
topikal, sehingga penggunaan obat herbal topikal ini bisa dipertimbangkan
penggunaanya dalam pengobatan DA. Studi lainnya dari Chinese Medicine
Research Center and China Medical University, menunjukan bahwa obat herbal
(whey + dodder seed) dapat meningkatkan kelembaban dan elastisitas kulit,
mengurangi gejala pruritus dan mengurangi gejala gangguan tidur.
41
• Vitamin
Studi Jaffary et al. menunjukan bahwa pemberian vitamin E 400 IU setiap
harinya selama 4 bulan memperbaiki gejala DA. Pemberian vitamin E
menunjukan dapat menurunkan rasa gatal dan derajat keparahan lesi.
• Asam Amino
Asam amino berperan dalam menjaga hidrasi kulit yang merupakan
komponen penting dari terapi DA. Studi oleh Tan et al. menunjukan bahwa
pemberian L-histidine sebanyak 4g 1x1 selama 8 minggu dapat menurunkan
derajat keparahan DA berdasarkan SCORAD secara signifikan. L-histidine
menunjukan efek yang dapat bersaing dengan kortikosteroid topikal kelas III
dalam mengurangi gejala DA. Walaupun demikian, studi ini masih belum
merekomendasikan penggunaan asam amino sebagai pilihan terapi DA saat ini,
dikarenakan jumlah responden yang sedikit meskipun pada penelitian ini tidak
menunjukan efek samping yang berbahaya dari penggunaan asam amino.
• Minyak Topikal
Kulit kering dan menurunnya sawar kulit adalah karakteristik dari DA,
sehingga penggunaan dari berbagai minyak topikal sering dijadikan modalitas
terapi alternatif. Prinsip terapi dari DA salah satunya adalah melembabkan, dan
terdapat beberapa minyak alami yang dapat memberikan nilai terapeutik
bersamaan dengan memberikan kelembaban. Minyak biji bunga matahari
mengandung linoleic acid yang tinggi, yang dapat memperbaiki sawar kulit dan
memiliki sifat antiinflamasi. Minyak biji bunga matahari terbukti menjaga
integritas stratum korneum dan meningkatkan kelembaban kulit. Penggunaan
minyak kelapa juga menunjukan hasil yang baik dalam menurunkan gejala dari
DA. Evening primrose oil mengandung banyak gamma-linoleic acid yang
berperan dalam penyembuhan kulit dan antiinflamasi.
• Madu
Menggunakan madu yang dioleskan secara topikal diduga dapat membantu
mengurangi gejala DA dikarenakan sifatnya yang anti mikroba dan membantu
penyembuhan luka, dan menghambat inflamasi. Studi menunjukan bahwa
42
penggunaan madu secara topikal dapat mengurangi derajat keparahan lesi DA,
rasa gatal, dan kemerahan.
• Melatonin
Salah satu gejela yang sering dialami pasien dengan DA adalah gangguan
tidur. Gejala tidur ini dipengaruhi oleh jumlah sitokin proinflamasi yang tinggi,
pruritus pada malam hari, dan jumlah melatonin yang abnormal. Jumlah
melatonin nokturnal yang lebih tinggi diasosiasikan dengan gangguan tidur
yang lebih ringan pada gejala DA.
43
putih, merah muda atau coklat. Lesi sering memiliki tampilan seperti lilin dan mengkilap
dengan lubang tengah kecil dimana penampilan ini kadang-kadang digambarkan sebagai
umbilicated. Setiap papula mengandung bahan cheesy berwarna putih.30 12Selain itu, infeksi
virus lainnya seperti herpes simpleks dapat memunculkan erupsi Kaposi’s varicelliform
yang dikenal sebagai eksema herpetikum walaupun jarang ditemukan.29
44
Gambar 23. Eritroderma
Sekitar 60 persen pasien dengan dermatitis atopik masa kanak-kanak bebas dari gejala
pada awal masa remaja, meskipun hingga 50 persen mungkin memiliki kekambuhan di
masa dewasa. Penyakit awitan dini, penyakit awal yang parah, asma yang menyertai dan
demam. Riwayat keluarga dermatitis atopik dapat memprediksi perjalanan penyakit yang
lebih persisten.11
II.11. Pencegahan
Beberapa faktor yang dapat diperhatikan sebagai pencegahan dari DA adalah skin
barrier karena disfungsi epidermis diakui sebagai faktor kunci dalam inisiasi dan
perkembangan dermatitis atopik. Berdasarkan hasil sebuah meta-analisis, penggunaan
pelembab kulit pada bayi di bulan pertama tidak memberikan efek pencegahan terhadap
berkembangnya dermatitis atopik dan dapat berhubungan dengan peningkatan risiko
infeksi kulit.21 Namun, perawatan kulit termasuk penggunaan emolien, harus dilanjutkan
untuk bayi baru lahir yang berisiko tinggi terkena dermatitis atopik, terutama dalam kondisi
iklim kering dan dingin. Pengasuh harus menerapkan langkah-langkah kebersihan yang
tepat ketika menerapkan emolien pada kulit bayi untuk menghindari infeksi kulit lokal
seperti mencuci tangan, menggunakan emolien dalam tabung daripada toples, yang dapat
lebih mudah terkontaminasi.11
Upaya pencegahan dari beberapa metaanalisis lainnya berupa pemberian probiotic dan
vitamin, serta intervensi nutrisi.21 Menurut jurnal yang dituliskan oleh Lin R.J et. al tahun
45
2015, probiotik akan memodulasi mikroba usus dan system imunitas dengan memperbaiki
sawar usus yang kemudian berperan dalam menurunkan fenomena alergi dan tingkat
keparahan dari dermatitis atopi, karena pada pasien DA, permeabilitas usus akan
meningkat.31 Untuk lebih rincinya, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Zhao pada
tahun 2018 yang membuktikan bahwa pemberian probiotik yang mengandung
Lactobacillus pada bayi baru lahir berpengaruh terhadap penurunan tingkat keparahan
dermatitis atopi.32 Sementara itu, meta analisis juga dilakukan oleh Huang et. al pada tahun
2017, terdapat perbaikan SCORAD pada anak anak usia 1 – 18 tahun yang menerima
probiotik.33 Roessler et. al pada tahun 2008 juga melakukan penelitian menggunakan
probiotik kombinasi yang mengandung Lactobacillus dan Bifidobacterium selama 8
minggu, dengan hasil SCORAD yang membaik pada pasien dewasa (> 18 tahun) dengan
dermatitis atopi.34
Selain itu, intervensi nutrisi dikatakan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan
seperti pemberian hydrolyzed formula. Akan tetapi penelitian tersebut tidak dapat
menunjukkan hasil yang signifikan.21
46
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien Ny. S datang dengan keluhan gatal pada lipatan lutut dan lipatan siku sejak 3 hari
SMRS. Pasien mengatakan gatal dirasakan hampir setiap hari dan hilang timbul. Pasien
mengatakan keluhannya ini muncul setelah pasien pergi ke pantai 3 hari yang lalu pada cuaca yang
panas lalu berkeringat. Pasien juga mengatakan keluhannya saat ini diperburuk apabila pasien
merasa panas dan berkeringat. Pasien juga sudah mengalami keluhan serupa pada punggung
tangannya sejak beberapa tahun yang lalu, namun pasien tidak ingat kapan keluhan gatal pada
punggung tangan ini muncul dan disebabkan oleh apa. Gejala klinis yang dialami oleh pasien yang
sesuai dengan Dermatitis Atopi murni, dimana pada pasien ini hanya ditemukan gejala
dermatologis tanpa keluhan pada organ lainnya.
Pada pemeriksaan fisik terlihat kulit secara keseluruhan kering. Ditemukan makula
eritematosa multipel difus, erosi, pada regio fossa cubital; ditemukan makula eritema soliter
berbatas tegas ukuran plakat, erosi, ekskoriasi, bilateral pada regio fossa popliteal; ditemukan pada
papul eritematosa multipel difus, erosi, ekskoriasi, likenifikasi, bilateral pada regio metacarpal.
Gambaran klinis pasien berdasarkan jenis lesi, predileksi, dan perjalanan penyakit yang kronik-
residif sesuai dengan gambaran Dermatitis Atopi fase Dewasa. Pada pasien ini memenuhi 3 kriteria
mayor DA: (1) terdapat lesi yang gatal, (2) riwayat kulit kering, (3) tampak dermatitis pada daerah
lipatan; dan 3 kriteria minor: (1) kulit kering, (2) dermatitis tangan dan kaki, (3) gatal pada saat
berkeringat. Gejala klinis pada pasien juga memenuhi kriteria diagnosis Williams, dimana pada
pasien ditemukkan gejala klinis kulit gatal dengan 3 gejala klinis lainnya pada pasien ini: riwayat
kondisi kulit kering pada daerah lipatan kulit, riwayat kulit kering, dermatitis fleksural yang
terlihat.
Derajat keparahan DA menurut sistem SCORAD pada pasien ini termasuk ke dalam
kelompok moderate dengan total skor 31,7. Nilai komponen A pada pasien ini adalah 36 poin
dengan lesi pada ke 4 esktremitas. Nilai komponen B berdasarkan hasil temuan lesi eritema, papul,
ekskoriasi, dan likenifikasi adalah 5. Nilai komponen C pada pasien ini adalah 7, dimana pasien
mengeluhkan gatal yang cukup mengganggu aktivitas sehari-hari dan terkadang membangunkan
pasien dari tidurnya.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah Dermatitis Kontak Iritan (DKI) dan lichen
simplex chronicus berdasarkan gambaran efloresensi yang serupa. Pada pasien dapat disingkirkan
47
kemungkinan DKI karena pasien mengaku tidak ada produk baru pada kulit pasien seperti sabun
ataupun body lotion belakangan ini. Selain itu, predileksi DKI adalah pada seluruh bagian yang
terkena zat iritan, tidak terbatas pada bagian tertentu saja.
Diagnosis banding lichen simplex chronicus atau neurodermatitis sirkumskripta sering
dijumpai pada fase dewasa dan memiliki gambaran klinis yang sesuai dengan pasien ini yaitu
peradangan kulit yang kronis, gatal, sirkumskripta, ditandai dengan penebalan kulit serta
likenifikasi. Diagnosis banding LSC masih belum dapat disingkirkan karena pada pasien terdapat
gejala gatal dan efloresensi yang mirip yaitu terdapat likenifikasi yang bersifat kronis pada regio
metacarpal. Keluhan pada telapak kanan pasien sudah dirasakan sejak beberapa tahun belakangan
sehingga ada kemungkinan dermatitis atopi pada pasien mengalami progresi menjadi LSC.
Tatalaksana non-medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah edukasi untuk
mandi menggunakan air suam-suam kuku untuk membersihkan dan menghidrasi kulit, mengganti
sabun mandi menjadi sabun bayi, menggunakan pelembab setiap setelah mandi walaupun lesi
sudah sembuh sebagai pemeliharaan kulit, menggunakan obat gatal dan tidak menggaruk lesi, dan
menjaga kuku tetap pendek agar mengurangi resiko terluka saat menggaruk. Dapat
dipertimbangkan merujuk pasien pada psikolog apabila faktor pencetus kekambuhan dicurigai
berasal dari psikologis.
Tatalaksana medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah Inerson 15mg Oinment
2x1 pada pagi dan sore hari setelah mandi, yang merupakan kortikosteroid topikal potensi tinggi.
Hal ini sesuai dengan pedoman tatalaksana DA, dikarenakan pasien ini sudah ditemukan
likenifikasi. Pasien juga diberikan Fusycom 5g Cream 2x1 saat pagi dan sore hari setelah mandi
pada daerah yang luka . Lalu pasien diberikan Triamcort 4mg tablet yang merupakan
kortikosteroid sistemik. Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya saat ini sehingga belum
diketahui bagaimana respon terapi steroid topikal pada pasien. Selain itu, keluhan pasien saat ini
juga belum sampai mengganggu kualitas hidupnya. Berdasarkan literatur, untuk pengobatan
sistemik sendiri baru diberikan setelah melihat respon pasien terhadap terapi topikal dan apabila
penyakitnya sudah berdampak pada kualitas hidup pasien. Menunjang dari potensi efek samping
kortikosteroid sistemik, pada pasien ini sebaiknya diberikan terapi topikal terlebih dahulu sambil
memantau perkembangan dari gejalanya. Terakhir, pasien diberikan Noroid Cream 2x1 pada pagi
dan sore hari setelah mandi untuk memelihara kelembaban kulit. Prognosis pada pasien ini baik,
namun dermatitis atopi tidak dapat disembuhkan sehingga yang dapat dilakukan hanya
48
menghindari faktor pencetus, memelihara kulit dengan baik, dan mengendalikan gejala yang
muncul
49
DAFTAR PUSTAKA
50
14. Ring J, Alomar A, Bieber T, Deleuran M, Fink-Wagner A, Gelmetti C, et al. Guidelines
for treatment of atopic eczema (atopic dermatitis) Part i. J Eur Acad Dermatology
Venereol. 2012.
15. Weidinger S, Novak N. Atopic dermatitis. In: The Lancet. 2016.
16. Maliyar K, Sibbald C, Pope E, Gary Sibbald R. Diagnosis and Management of Atopic
Dermatitis: A Review. Adv Ski Wound Care. 2018.
17. Gittler JK, Wang JF, Orlow SJ. Bathing and Associated Treatments in Atopic Dermatitis.
American Journal of Clinical Dermatology. 2017.
18. Simpson EL. Atopic dermatitis: A review of topical treatment options. Current Medical
Research and Opinion. 2010.
19. Ellis C, Luger T, Abeck D, Allen R, Graham-Brown RA, De Prost Y, et al. International
Consensus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCAD II): clinical update and current
treatment strategies. In: The British journal of dermatology. 2003.
20. Katayama I, Aihara M, Ohya Y, Saeki H, Shimojo N, Shoji S, et al. Japanese guidelines
for atopic dermatitis 2017. Allergology International. 2017.
21. Weston WL, Howe W. Treatment of atopic dermatitis (eczema) - UpToDate. UpToDate.
2020.
22. Broeders JA, Ahmed Ali U, Fischer G. Systematic review and meta-analysis of randomized
clinical trials (RCTs) comparing topical calcineurin inhibitors with topical corticosteroids
for atopic dermatitis: A 15-year experience. Journal of the American Academy of
Dermatology. 2016.
23. Roekevisch E, Spuls PI, Kuester D, et al. Efficacy and safety of systemic treatments for
moderate-to-severe atopic dermatitis: a systematic review. J Allergy Clin Immunol 2014;
133:429.
24. Torres T, Ferreira EO, Gonçalo M, Mendes-Bastos P, Selores M, Filipe P. Update on atopic
dermatitis. Acta Med Port. 2019;
25. Fujimura M, Nakatsuji Y, Ishimaru H. Cyclosporin A Treatment in Intrinsic Canine Atopic
Dermatitis (Atopic-like Dermatitis): Open Trial Study. Pol J Vet Sci. 2016;
26. Thomsen SF. Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and Treatment. ISRN
Allergy. 2014
27. Stella C. Dermatitis Numularis. Cermin Dunia Kedokt. 2018;
51
28. Barrett M, Luu M. Differential Diagnosis of Atopic Dermatitis. Immunology and Allergy
Clinics of North America. 2017.
29. Wang V, Boguniewicz J, Boguniewicz M, Ong PY. The infectious complications of atopic
dermatitis. Annals of Allergy, Asthma and Immunology. 2021.
30. Ashbaugh AG, Kwatra SG. Atopic Dermatitis Disease Complications. Advances in
experimental medicine and biology. 2017.
31. Protective effect of probiotics in the treatment of infantile eczema. Lin RJ, Qiu LH, Guan
RZ, Hu SJ, Liu YY, Wang GJ Exp Ther Med. 2015 May; 9(5):1593-1596.
32. Treatment efficacy of probiotics on atopic dermatitis, zooming in on infants: a systematic
review and meta-analysis. Zhao M, Shen C, Ma L Int J Dermatol. 2018 Jun; 57(6):635-
641.
33. Probiotics for the Treatment of Atopic Dermatitis in Children: A Systematic Review and
Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Huang R, Ning H, Shen M, Li J, Zhang
J, Chen X Front Cell Infect Microbiol. 2017; 7():392.
34. The immune system in healthy adults and patients with atopic dermatitis seems to be
affected differently by a probiotic intervention. Roessler A, Friedrich U, Vogelsang H,
Bauer A, Kaatz M, Hipler UC, Schmidt I, Jahreis G Clin Exp Allergy. 2008 Jan; 38(1):93-
102.
35. Giornale Italiano di Dermatologia e Venereologia 2015 June;150(3):321-5
36. Co-operative double-blind trial of an antibiotic/corticoid combination in impetiginized
atopic dermatitis. Wachs GN, Maibach HI Br J Dermatol. 1976 Sep; 95(3):323-8.
37. An efficient new formulation of fusidic acid and betamethasone 17-valerate (fucicort lipid
cream) for treatment of clinically infected atopic dermatitis. Larsen FS, Simonsen L,
Melgaard A, Wendicke K, Henriksen AS Acta Derm Venereol. 2007; 87(1):62-8.
38. Hydrocortisone acetate alone or combined with mupirocin for atopic dermatitis in infants
under two years of age - a randomized double blind pilot trial. Canpolat F, Erkoçoğlu M,
Tezer H, Kocabaş CN, Kandi B Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012 Dec; 16(14):1989-93.
39. Shi K, Lio PA. Alternative Treatments for Atopic Dermatitis: An Update. Am J Clin
Dermatol. 2019 Apr;20(2):251-266.
40. Kapur S, Watson W, Carr S. Atopic dermatitis. Allergy Asthma Clin Immunol.
2018;14(Suppl 2):52. 2018 Sep 12.
52
53