Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ILMU FILSAFAT

MATERI : HAKIKAT HIDUP


Nama Dosen : M. Irwan Mansyuriadi M.pd.I

KELOMPOK 12
Disusun Oleh :

1. Era Erlianti

2. Zaedatul Aisyah

3. Julia Masningsih

4. Mila Jahyani

Program Studi : PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH PALAPA NUSANTARA

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa. Dengan rahmad dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hakikat Hidup”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pengantar
Filsafat. Kami mengucapkan terimakasih kepada seemua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karna itu, kami mengharapkan saran dan keritik yang membangun untuk
perbaikan penulisan selanjaauatnuya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita
semua.

LOMBOK TIMUR, Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 5
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Do’a 6-9

2.2 Filsafat Kematian 10-13

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 14

DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan
konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu
sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.

Filsafat adalah induk pengetahuan, sebab derivasi segala nalar pengetahuan berasal
dari filsafat. dialektika fungsional dengan berbagai pengetahuan lahir dari sebuah perjalanan
panjang.antara dimensi kuriositas manusia dengan potensi kealaman dan kemanusian. dari
dialektika tersebut, lahirlah berbagai peradaban manusia yang tidak terbatas dan tidak pernah
terpikirkan oleh founding father filsafat itu sendiri.

Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan. Sedangkan, filsafat
mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh ilmu dan
jawabannya bersifat spekulatif.

Ini berarti, apa yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari
jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri bisa dijadikan objek kajian filsafat. Namun demikian,
filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya yakni berfikir
reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berbeda.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Filsafat Do’a?

2. Apa itu Filsafat Kematian?

1.3 Tujuan Pembelajaran

1. Mengerti dan Memahami Filsafat Do’a.

2. Mengerti dan Memahami Filsafat Kematian.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Filsafat Do’a

Doa ialah ibadah yang agung dan amal shaleh yang utama. Bahkan ia
merupakan esensi ibadah dan subtansinya. Ibnu Katsir Menafsirkan, “Beribadah
kepada-Ku”, yaitu berdoa kepada-Ku dan mentauhidkan-Ku. Kemudian, Allah
mengancam mereka yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Nya. Bagi yang
mentadaburi al-Qur‟an kan mendapati bahwa Allah telah banyak memberikan motivasi
kepada hamba-hamba-Nya untuk selalu berdoa kepada-Nya, merasa rendah diri, tunduk
dan mengeluhkan segala kebutuhan kepada-Nya. Dengan demikian doa ialah perkara
yang besar dan agung. Sebab, di dalamnya seseorang hamba menampakkan bahwa ia
benar-benar fakir dan butuh kepada Allah. Ia tunduk bersimpuh dihadapan-Nya.1 Maka
disini ada beberapa pengertian tentang doa, sebagai berikut:

1.Pengertian Doa

Dalam perspektif bahasa kata du‟a berasal dari bahasa Arab da‟a-yada‟u-
da‟ada‟watun, yang mengandung arti memanggil, mengundang, minta tolong, meminta dan
memohon. Dalam penggunaan sehari-hari, kata du‟a mempunyai beberapa makna,
diantaranya:

1
Hasan Bin Ahmad Hammam, Terapi dengan Ibadah “Istighfar, Sedekah, Doa, Al-Qur’an,
Shalat, Puasa” (Solo: Aqwam, 2010), 75-76.

6
a. Raghib al-Ishafahani dalam kitabnya al-Mu’jam li mufradat Alfadzh
Alqur’an al-karim (kamus kosa kata al-Qur‟an) antara lain mengatakan
bahwa kata doa sama artinya dengan kata nida’ yakni panggilan. Bedanya
kata nida’ terkadang menggunakan kata ya’ tanpa menyembutkan nama
orang yang dipanggilnya. Kata du’a dan nida’ terkadang digunakan untuk
menujukan salah satu dari kedua arti tersebut.
b. Kata du’a digunakan pula untuk arti memberi nama atau julukan.
c. Kata doa juga berarti menyembah.
d. Kata doa juga berarti permintaan atau permohonan.

Secara istilah, doa adalah permohonan atau permintaan dari seseorang hamba
kepada Tuhan dengan menggunakan lafal yang dikehendaki dan dengan memenuhi
ketentuan yang ditetapkan, atau meminta sesuatu sesuai dengan hajatnya atau memohon
perlindungan kepada Allah Swt. Doa yang dimaksud di sini suatu aktivitas ruhaniah
yang mengandung permohonan kepada Allah Swt. Melalui lisan atau hati, dengan
menggunakan kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan khusus sebagaimana yang
tertulis pada al-Qur‟an, as-Sunnah ataupun keteladanan para sahabat Rasulullah Saw,
dan orang-orang yang saleh. Dengan penuh harapan agar doa-doa yang dimohonkan
akan segera dikabulkan.
Doa dalam istilah al-Qur‟an memiliki ragam makna yang cukup kompleks,
seperti doa dalam al-Qur‟an ialah menunjukkan kehinaan dan kerendahan diri serta

2
Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, Prophetic Intelegence Kecerdasan Kenabian” Menumbuhkan
Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Ruhani (Yogyakarta: Islamika, 2004), 450-451.

7
menyatakan keperluan dan ketundukkan kepada Allah. Pengertian ini tidak bertentangan
dengan pengertian terdahulu tentang doa, tetapi saling melengkapi, yakni bahwa
memohon kebaikan di dunia dan keselamatan akhirat itu menunjukkan kerendahan diri,
keperluan, dan ketundukkan kepada Allah. Berdasarkan pengertian doa itu, maka
berdoa hanya kepada Allah dan tidak boleh kepada selain-Nya. Seperti terlihat doa
merupakan manifestasi kerendahan diri, keperluan dan ketundukan kepada Allah. 3
Sedangkan dalam hadits doa ada sejumlah hadits yang menyatakan perlunya berdoa
kepada Allah:
a. Doa itu ibadah (H.R, Abu Daud dan Tirmidzi)
b. Setiap muslim di muka bumi yang memohonkan sesuatu kepada Allah atau
dijauhkan Allah darinya suatu kejahatan selama ia mendoakan yang tidak
membawa kepada dosa atau memutuskan kasih sayang” (H.R Tirmidzi)
Demikianlah ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis yang menyatakan perlunya berdoa
kepada Allah sebagai ketundukan diri kepada-Nya

3
Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin Handbook bagi Pendamba Kesehatan Holistik (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2004),124-125.
4Sudirman Tebba, Sehat Lahir Batin Handbook bagi Pendamba Kesehatan Holistik (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), 128.
8

Kata (ibadi) hamba-hamba-Ku adalah bentuk jamak dari kata (abd) „abd. Kata
ibd biasa digunakan al-Qur‟an untuk menunjukkan kepada hamba-hamba Allah yang
taat kepada-Nya atau kalaupun mereka penuh dosa tetapi sadar dosanya serta
mengharap pengampunan dan rahmat-Nya. “Orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku” menunjukkan bahwa bisa jadi ada seseorang yang bermohon tetapi dia
belum lagi dinilai berdoa oleh-Nya. Yang dinilai-Nya berdoa antara lain adalah yang
tulus menghadapkan harapan hanya kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya, bukan juga
yang menghadapkan diri kepadan-Nya bersama dengan selain-Nya. Ini difahami dengan
penggunaan kata kepada_Ku.

Seorang hamba harus meminta dan tidak boleh berputus


asa dalam melakukannya, kemurahan Allah itu sangat luas, pemberian-Nya sangat
banyak, dan karunia-Nya sangat besar. Setiap hamba harus taat kepada Tuhan mereka
dengan mengikuti rasul-Nya dan mengamalkan syariat-Nya. Pelaksanaan perintah itu
merupakan tindakan, keimanan adalah keyakinan, dan doa adalah ucapan. Sementara
agama merupakan gabungan dari ucapan, amal dan keyakinan. Barangsiapa yang taat
kepada Allah , berarti dia telah mendapat petunjuk, karena dia telah diberi ilham tentang
mana jalan yang benar dan diberi kesempatan untuk beristiqamah.
Jadi dengan doa berarti kita menyatakan apa yang dikehendaki terhadap Allah
Swt. Untuk mendapatkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan.

7
5Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 491-492.
6Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar (Jakarta: Qisthi Press, 2007), 143.
7Abdullah, Gymnastiar. Doa Ajaran Ilahi kumpulan Doa dalam Al-Quran Beserta Tafsirnya

(Jakarta: Penerbit Hikmah, 1978), 3.

9
2.2 Filsafat Kematian

Kematian adalah zenit dari totalitas Ada Dasein itu, tetapi persis pada titik itu pula
Dasein kehilangan Adanya, suatu nadir ontologis, karena Dasein berhenti sebagai Ada-di-
dalamdunia.2 Kedengaran absurdkah tesis ini? Suatu paradoks dari ada dan tiada di satu titik
yang disebut kematian. Seperti sebelum kelahiran tak ada pra-eksistensi jiwa ala Plato, begitu
juga setelah kematian tak ada keabadian seperti dibayangkan agama-agama monoteis. Dasein
berhenti dengan kematiannya dan berubah menjadi entah Vorhandenes (mayat tak dipakai)
atau Zuhandenes (misalnya, bahan utopsi). Titik! Kedengaran seperti absurditaskah tesis ini?
Ini tidak absurd, melainkan faktis, yaitu memang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri.
Selebihnya, misalnya keabadian, ada di luar jangkauan Ada dari Dasein. Namun Heidegger
menyisakan suatu ruang untuk menghormati Dasein yang telah berhenti itu. Manusia yang
mati ‘lebih’ daripada seonggok daging menjadi almarhum yang bermartabat. Kontak dengan
Adanya tidak berhenti. Bukan keabadian jiwa yang diacu di sini, melainkan pengalaman akan
dunia-bersama (Mitwelt) yang masih membekas pada mereka yang ditinggalkan. Hubungan
dengan yang mati seolah masih ‘bermukim’ di dalam dunia-bersama itu, sehingga yang mati
‘lebih’ daripada sekedar jenasah. Ciri ‘lebih’ itu – katakanlah – semacam sedimentasi memori
hasil kebiasaan kontak makna dengannya selama ini.
Kematian jelas bukan hal sehari-hari. Ciri khas keseharian adalah bahwa orang dapat
menggantikan orang lain. Dia mengambilalih posisi direktur umum. Karena para suami sibuk,
istri-istri merekalah yang datang ke pertemuan orangtua murid. Atau seorang penceramah
yang tak bisa hadir diwakili oleh asistennya. Komunikasi mengandaikan suatu sikap
membayangkan seolah-olah kita berada di tempat orang lain. Keterwakilan termasuk ciri
dasar sosialitas manusia dalam kesehariannya. “Di sini,” kata Heidegger,”seorang Dasein
dapat atau bahkan dalam batas-batas tertentu harus menjadi yang lain. Namun kemungkinan
perwakilan ini sama sekali tak mungkin, jika menyangkut perwakilan kemungkinan Ada yang
menentukan berakhirnya Dasein dan memberinya keseluruhannya. Tak seorangpun dapat
menjemput kematiannya untuk orang lain.” Memang orang bisa mati demi orang lain,
misalnya, seorang teroris yang melakukan aksi bunuh diri demi ideologi tertentu, tetapi
kematiannya adalah tetap kematiannya sendiri, bukan mewakili kematian orang lain. Maka
itu, kematian adalah momen yang paling otentik dan eksistensial bagi Dasein. Kematian
adalah apa yang disebut di atas Jemeinigkeit (dalam segala hal milikku).

2 Lih. ibid., paragraf 46, hlm. 236-237


3 Bdk. Ibid., paragraf 47, hlm. 238
4 Ibid., paragraf 47, hlm. 240

10
Kematian jangan dilihat sebagai titik akhir seperti habisnya lilin atau selesainya
sebuah produk. “Seperti juga Dasein senantiasa sudah merupakan kebelumannya, selama dia
ada,” tulis Heidegger,”dia juga selalu sudah merupakan akhirnya. Akhir yang dimaksud
dengan kematian itu bukanlah berakhirnya (Zu-Ende-sein) Dasein, melainkan suatu
Adamenuju-akhir (Sein-zum-Ende).” Dengan kata lain, akhir itu sudah ada sejak permulaan.
Kematian sudah menyongsong Dasein sejak keterlemparannya. “Begitu seorang manusia
lahir,” lanjutnya,”ia sudah terlalu tua untuk mati”.6 Manusia – demikian sebutan Heidegger –
adalah Ada-menuju-kematian (Sein-zum-Tode). Apa artinya ini? Karena kematian
menyongsong sejak awal sampai akhir, dia juga merentang dalam keseharian kita. Kematian
selalu menghampiri Dasein, maka tidak sekali saja. Begitu juga kelahiran tidak sekali saja.
“Dimengerti secara eksistensial,” tulis Heidegger,”kelahiran tidak dan tak pernah merupakan
hal yang telah lewat dalam arti tidak ada lagi, begitu juga kematian bukanlah hal yang belum
ada…Dasein faktis bereksistensi dengan selalu lahir, dan mati dengan selalu lahir dalam arti
Ada-menuju-kematian.”
Tentu saja yang dimaksud dengan ‘kematian’ dalam pernyataan Heidegger baru saja
bukan kematian fisik, melainkan kemungkinan untuk mati. Orang memang pasti mati – kita
tahu ini dari keseharian das Man -, tetapi orang tak tahu kapan dan bagaimana, maka
kematian secara eksistensial tidaklah pasti. Kecemasan akan kematian (Angst vor dem Tode)
inilah yang muncul dalam momen eksistensial, menyembul ke luar dari keseharian das Man.
Kecemasan itulah kecemasan akan kemungkinannya sendiri.8 Meski menyembul ke luar dari
keseharian, kematian tetap berada dalam genangan keseharian dalam bentuk Sorge. Di sini
ada dua macam sikap terhadap kematian: Sikap das Man yang intotentik yang cenderung
menenang-nenangkan dirinya dengan anggapan bahwa kematian itu pasti menimpa setiap
orang; dan sikap Dasein yang otentik yang membuka diri terhadap kemungkinan yang paling
mungkin dari dirinya, yaitu kematiannya.
Untuk memahami ini contoh berguna. Setiap hari dan mungkin setiap jam kita
mendengar atau membaca bahwa ada perang di sini, bencana di sana, pembunuhan di situ
atau si Anu baru saja meninggal di rumah sakit. Semua data kematian ini mungkin tidak
mengubah apapun dalam diri kita. Tak ada kecemasan dalam diri kita. Mengapa?

5 Ibid., paragraf 48, hlm. 245


6Kata-kata ini dikutip Heidegger dari A. Bernt dan K. Burdach dalam bukunya Der Ackermann aus Boehmen,
1917, bab 20, hlm. 46. Lih. ibid. paragraf 48, hlm. 245
7 Ibid., paragraf 72, hlm. 374
8 Lih. ibid., paragraf 50, hlm. 251

9 Lih. ibid., paragraf 50, hlm.252

11
Pengetahuan bahwa semua orang pasti mati segera akan menenangkan hati. Dengarkan
kata teman yang berkabung di pemakaman: “Na ya, semua orang pasti akan kembali
kepadaNya”. Kata-kata itu tidak hanya benar, tetapi juga menghibur. Dan hiburan itu
sekaligus membuat orang lupa bahwa kematiannya sendiri setiap saat mungkin. Tak ada yang
lebih menenangkan daripada pikiran bahwa kita tidak sendirian mengalami kematian,
melainkan orang-orang lain juga. Tetapi itu hanya pikiran, karena dalam kenyataan kita selalu
mengalami kematian seorang diri dan sendirian. Masih banyak ‘hiburan’ atau ‘pembiusan’
lain, misalnya, kata-kata ini:”Mereka, para pahlawan, telah mati demi bangsa dan negara.”
Yang dipersoalkan bukan kebenaran isi kalimat ini, melainkan fungsinya: Dengan kata-kata
ini kematian tidak hanya menjadi eksternal terhadap kita, melainkan juga bahkan
dikehendaki. Kata-kata semacam itu mula-mula menggoda Dasein untuk melupakan
kematiannya sendiri yang datang menyongsongnya setiap saat, lalu menenangkannya dan
akhirnya mengasingkannya. Apa kata Dasein yang telah terasing itu? “Akh, jangan terlalu
dipikirkan! Semua orang pasti mati”, katanya sambil mulai sibuk lagi mengetik dengan
komputer untuk mengurus bisnisnya. Tapi itulah ciri das Man, yaitu lari dari kecemasannya
dengan menguburnya dalam objektivitas anggapan umum. “Orang bilang,” tulis Heidegger,
”kematian pasti datang, tetapi sementara ini belum. Dengan ‘tetapi’ ini orang menyangkal
kepastian kematian.

Dengan begitu orang menyelubungi kekhasan kepastian kematian bahwa ia mungkin


setiap saat.” Dengan menganggapnya sebagai hal umum yang niscaya, ciri kemungkinannya
hilang, sehingga tak perlu mencemaskan lagi. Di sini orang tidak hanya lupa akan Adanya,
melainkan juga lupa akan kemungkinan ketiadaannya. Dan bagaimana dengan Dasein yang
otentik? Dia akan menyongsong kematiannya sebagai kemungkinannya sendiri. Untuk sikap
otentik itu Heidegger menciptakan istilah Vorlaufen. Arti kata ini adalah ‘lari ke depan’. Kita
bisa mengartikannya sebagai ‘antisipasi’.12 Mengantisipasi kematian terjadi manakala kita
menyadari keterlemparan dalam kecemasan eksistensial, yaitu saat krisis untuk mengambil
keputusan penting yang menentukan arah hidup. Fakta bahwa kita menjadi sendirian dengan
diri kita sendiri pada saat
itu merupakan antisipasi kematian kita sendiri. “Isolasi ini,” demikian Heidegger,”menguak
bahwa segala Ada pada kesibukan sehari-hari dan setiap kebersamaan dengan orang-orang
lain tidak berfungsi lagi, jika hal itu menyangkut kemungkinannya yang paling asli”.
Keputusan menjadi otentik, jika mengantisipasi kematian, yaitu kalau keputusan itu tidak

10 Lih. ibid., paragraf 51, hlm. 254


11 Ibid., paragraf 52, hlm. 258
12 Lih. Inwood, Michael, A Heidegger Dictionary, Blackwell, Essex, 1999, hlm. 77
13 Heidegger, paragraf 53, hlm. 263

12
disesali menjelang kematian. Bagaimana kematian dan keputusan eksistensial
berhubungan satu sama lain? Keputusan selalu mengantisipasi yang akan datang. Kita seolah
dihadapkan pada kemungkinan kita sendiri dan harus “lompat” ke dalam kemungkinan itu.
Sikap berani menghadapi kemungkinannya yang paling khas ini tak lain daripada sikap
membuka diri terhadap kematiannya sendiri, karena dengan kematian kita dihadang oleh
kemungkinan kita yang paling singular.

Jadi, aku otentik tidak hanyut dalam obrolan (Gerede) ataupun membiarkan diri diseret
kenginannya untuk tahu urusan orang lain (Neugier), melainkan berupaya memahami
(Verstehen) keterlemparannya dan bercakap-cakap secara eksistensial (Rede) tentang
rancangan hidupnya (Entwurf). Dengan mengantisipasi kematiannya Dasein tidak hanya
menyadari keterbenamannya di dalam das Man atau keseharian. Dia juga dibawa kepada
kemungkinannya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri. Inilah pengalaman kebebasan
eksistensial yang menurut Heidegger tak lain daripada “kebebasan menuju kematian”

(Freiheit zum Tode).15


(Teks diambil dari F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, KPG, Jakarta, 2004)
14 Lih. ibid., paragraf 50, hlm. 250

15 Lih. ibid., paragraf 53, hlm. 266

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setiap orang pasti menginginkan kemuliaan hidup entah bagaimana cara untuk
mendapatkannya. Kemuliaan seseorang tentunya memiliki tolak ukur sangat relatif yang
dihadapkan dengan keinginan seseorang. Bagi orang yang memiliki tolak ukur yang tinggi
tentu orang tersebut sangatlah menginginkan perubahan positif dalam hidupnya. Perubahan
positif tersebut tentunya sangat beragam ada yang menginginkan jabatan yang lebih tinggi,
pangkat yang terhormat, kekayaan yang melimpah dan masih banyak lagi. Bagi orang yang
memiliki tolak ukur yang rendah tentunya merekalah sekelompok orang yang tergolong
“menerima apa adanya”. Segala yang diterimanya dirasa cukup dan “sesuatu yang lebih”
bukanlah inti dari tujuan mereka.

Hakikat hidup mewarnai hidup seseorang dan merupakan salah satu motivator terhandal
yang melandasi tindakan setiap manusia untuk mencapai suatu kemuliaan. Terlepas dari
agama dan hal-hal yang berkenaan dengan “ keakhiratan”, semua orang memiliki hakikat
masing-masing yang merupakan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman hidup seseorang.
Ada orang yang meyakini bahwa hidupnya adalah untuk hobinya entah itu olahraga, seni,
ataupun sampai berkaitan dengan hal yang buruk seperti melakukan kejahatan. Adapula
orang yang memiliki hakikat bahwa dia adalah orang yang mampu mengubah kehidupan
menjadi yang lebih baik sehingga dia akan berusaha keras untuk meraihnya.

Hakikat setiap orang itu selalu berubah seiring dengan tingkat kematangan seseorang.
Hakikat hidup akan senantiasa berubah melandasi setiap tindakan manusia. Bertahannya
suatu hakikat hidup tentunya dilandasi oleh banyak faktor yang sangat abstrak yang hanya
diketahui oleh setiap individu. Ada yang mengatakan seperti “be your self!” tentunya hakikat
kehidupan ini masih dipertanyakan seberapa kuat bahwa dia mampu meyakini bahwa
menjadi diri sendiri adalah benar-benar hakikat dari hidupnya. Tentunya sangatlah beruntung
bagi seseorang yang mampu mempertahankan hakikat hidupnya, karena saya akan menjamin
bahwa orang tersebut adalah orang yang sangat nyaman menjalani hidupnya.

Berubah selalu ada batasnya hingga nanti akan mencapai suatu titik dimana perubahan
tersebut tidak akan dimungkinkan lagi. Begitu juga dengan hakikat hidup, dengan tingkat
kematangan yang sangat matang tentunya orang tersebut seyakin-yakinnya akan menemukan
sesuatu bahwa sesuatu itulah yang merupakan hakikat hidup sejati.

14
DAFTAR PUSTAKA

Nasroen, M., Falsafah Indonesia, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967.

Parmono, R., Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 1985

Sunoto, Menuju Filsafat Indonesia, Yogyakarta: Hanindita Offset1987

Hidayat, Ferry., Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, paper yang tidak diterbitkan, 2004

15

Anda mungkin juga menyukai