Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TAFSIR EKOLOGI

AL-ARD DAN AL-BI’AH

Dosen pengampu :

Drs. AHMAD MUTTAQIN, M,Ag.

Disusun oleh :

ARKAN PRATAMA (2231030003)

DETA WELVI CARISSA (2231030057)

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul “ AL-ARD DAN AL-BI’AH’’ .
Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi
penulis berhasil menyelesaikan tepat padawaktunya.

Tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu Drs. AHMAD
MUTTAQIN,M,Ag. yang telah memberikan tugas makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna untuk
itu penulis menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun demi perbaikan ke arah
sempurna.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Akhir kata penulis sampaikan.

Terima kasih.

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Prinsip penting yang perlu kita kedepankan ketika membahas masalah azali (kejadian
masa silam) atau masalah ghaib secara umum adalah tidak memberikan rincian tanpa bukti dan
dalil yang shahih. Sebatas teori, tidak bisa dijadikan acuan. Karena Allah tidak akan menanyakan
masalah ghaib yang kita tidak tahu dan yang tidak disebutkan dalam dalil.

Karena Allah ta’ala mencela memberikan komentar tentang masalah ghaib, yang tidak
memiliki bukti.

Diantaranya masalah proses penciptaan alam semesta. Dalam al-Quran, Allah hanya
memberikan keterangan global dan tidak rinci. Hanya dengan mengetahui secara global, tanpa
menggali yang lebih rinci, itu sudah cukup bagi seorang muslim.

Berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi saat ini, baik pada ruang lingkup global
maupun ruang lingkup nasional sebagian besar bersumber dari perilaku manusia. Kasus-kasus
pencemaran dan kerusakan seperti kerusakan di laut, hutan, atmosfer, air, tanah dan sebagainya
bersumber pada prilaku manusiayang tidak bertanggung jawab, tidak mempunyai kepedulian dan
hanya mementingkan diri sendiri. Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan
pencemaran ling-kungan.
Islam sebagai agama yang komprehensif dan lengkap sangat mem-perhatikan seluruh
kebutuhanhidup manusia dan memiliki aturan-aturan untuk seluruh persoalan yang beraitan
dengan kebutuhan hidup manusia baik secara individu maupun sosial. Di antara persoalan
kehidupan yang mendapatkan perhatian serius dalam ajaran Islam adalah masalah lingkungan
hidup. Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah yang menjelaskan persoalan bagaimana
hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AL-ARD
Dalam surah al-baqarah 164

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal
yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah
dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia
tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi orang-orang yang mengerti.

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa langit diciptakan dari sesuatu. Walaupun Ibn Rusyd
dikenal sebagai seorang yang rasional dan mempercayai apa yang dihasilkan oleh akal, namun
dalam penetapan qidam-nya alam, beliau menganggap tidak termasuk yang dapat dianalogikan
dan dibuktikan dengan penelitian, tetapi harus lewat pendengaran (wahyu). Kosmolog modern
dalam menjelaskan penciptaan alam semesta berpegang pada teori Big Bang. Menurut teori ini,
alam semesta teremas dalam singularis yang kemudian sekitar 15 miliar tahun meledak, pecah
berkeping-keping dengan dahsyatnya. Pecahan inilah yang menjadi atom, bintang-bintang, dan
galaksi-galaksi. Karena pemuaian alam semesta, galaksi-galaksi bergerak saling menjauh dan
akan terus bergerak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan. Menurut
penjelasan A. Baiquni, seperti dikutip oleh Andi Rosadisastra, ketika terjadi ledakan yang sangat
dahsyat bagaikan bola api, energi, materi, beserta ruang dan waktu keluar dengan kekuatan yang
luar biasa dahsyat dengan temperatur dan kerapatan yang sangat tinggi. Dalam kondisi demikian
molekul, atom, nucleus, proton, dan neutron tidak dapat muncul karena akan lebur terurai
menjadi zarah-zarah sub nuklir. Dengan penjelasan ini, bahwa penelitian yang telah dilakukan
oleh kosmolog, bahwa alam terjadi dari ketiadaan, seakan membantah pendapat Ibn Rusyd, dan
mendukung pendapat teolog.

Dalam al-Qur’an penciptaan langit dan bumi disebutkan dengan enam masa, enam masa
yang di maksud al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan hari-hari yang dimiliki manusia, ia boleh
jadi lebih dari itu bahkan sangat lama, hal ini didukung oleh teori pengetahuan akan kemunculan
mahluk-mahluk di bumi -setelah suhu bumi dalam keadaan stabil- yang antara jarak satu dan
lainnya mencapai ribuan tahun, maka enam masa itu dapat kita andaikan sebagai jangka waktu
yang begitu lama. Ada semacam proses yang sengaja Allah sampaikan agar manusia
memahaminya.

Dalam bukunya History of Earth, Ir. Agus Sudarmojo mengatakan bahwa menurut versi
sains umur alam semesta sejak peristiwa big bang adalah 13,7 * 10 tahun. Terdapat selisih
sekitar 20 juta tahun antara perhitungan versi sains al-Qur’an dan sains murni tetapi perbedaan
ini dapat ditoleransi dalam perhitungan kosmologi, peristiwa big bang ini erat terkait dengan
penciptaan bumi yang tercipta kurang lebih 9 milyar setelah peristiwa ledakan dasyat kosmis.

Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan seluruh pengetahuan di


bumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum da-lam sains (seperti ketidakpastian
Heisenberg tentang pengukuran simul-tan dimensi ruang dan waktu), serta berbagai aturan
untuk keperluan praktis. Melalui sebuah kerangka besar gagasan yang menghubungkan
berbagai fenomena (teori relativitas umum, teori kinetik materi, teori relativitas khusus) coba
dikemukakan satu penjelasan. Berbagai hipotesa, gagasan awal atau tentatif dikemukakan
untuk menjelaskan fenomena. Tentu gagasan tersebut masih perlu diuji kebenarannya untuk
dapat dikatakan sebuah hukum.
Allah ta’ala menceritakan proses penciptaan alam semesta dalam al-Quran. Ada yang bersifat
global dan ada yang lebih rinci.

Dalam penjelasan global, Allah menegaskan bahwa Dia menciptakan langit dan bumi
selama 6 hari. Allah tegaskan hal ini di tujuh ayat dalam al-Quran. Diantaranya,

‫ِإَّن َر َّبُك ُم ُهَّللا اَّلِذ ي َخ َلَق الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض ِفي ِس َّتِة َأَّياٍم ُثَّم اْسَتَو ى َع َلى اْلَع ْر ِش‬

Sesugguhnya Tuhan kalian, yaitu Allah, Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam
6 hari, kemudian Dia beristiwa di atas Arsy. (QS. al-A’raf: 54).

Allah juga berfirman di surat al-Furqan,

‫َو َلَقْد َخ َلْقَنا الَّسَم اَو اِت َو اَأْلْر َض َو َم ا َبْيَنُهَم ا ِفي ِس َّتِة َأَّياٍم َو َم ا َم َّسَنا ِم ْن ُلُغ وٍب‬
Sungguh Aku telah menciptakan langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya dalam
6 hari, dan Aku tidak merasa capek. (QS. Qaf: 38).

Keterangan lainnya Allah sebutkan di surat Yunus (ayat 3), Hud (ayat 7), al-Furqan (ayat 59), as-
Sajdah (ayat 4), dan al-Hadid (ayat 4).

Disamping penjelasan global, Allah juga memberikan penjelasan lebih rincin, di surat Fushilat
(ayat 9 sampai 12), Dia berfirman,

* ‫ُقْل َأِإَّنُك ْم َلَتْكُفُروَن ِباَّلِذ ي َخ َلَق اَأْلْر َض ِفي َيْو َم ْيِن َو َتْج َع ُلوَن َلُه َأْنَدادًا َذ ِلَك َر ُّب اْلَع اَلِم يَن‬

Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam
dua hari dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itu adalah Rabb
semesta alam”. (9)

* ‫َو َجَعَل ِفيَها َر َو اِس َي ِم ْن َفْو ِقَها َو َباَر َك ِفيَها َو َقَّد َر ِفيَها َأْقَو اَتَها ِفي َأْر َبَعِة َأَّياٍم َس َو اًء ِللَّساِئِليَن‬

Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan penghuninya dalam
empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. (10)

*‫ُثَّم اْسَتَو ى ِإَلى الَّس َم اِء َو ِهَي ُدَخ اٌن َفَقاَل َلَها َو ِلَأْلْر ِض اْئِتَيا َطْو عًا َأْو َكْر هًا َقاَلَتا َأَتْيَنا َطاِئِع ين‬

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap,
lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati” (11)

‫َفَقَض اُهَّن َس ْبَع َس َم اَو اٍت ِفي َيْو َم ْيِن َو َأْو َح ى ِفي ُك ِّل َس َم اٍء َأْمَر َها َو َز َّيَّنا الَّس َم اَء الُّد ْنَيا ِبَم َص اِبيَح َو ِح ْفظًا َذ ِلَك َتْقِد يُر اْلَع ِزيِز اْلَعِليِم‬

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua hari. Dia mewahyukan pada tiap-tiap
langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan
Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. (12).
Makna Kata “Hari”

Selanjutnya, kita akan memahami makna kata ‘hari’ yang disebutkan dalam berbagai ayat
di atas.

Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan,

‫ وقد يعبر به عن مدة من الزمان أي مدة كانت‬،‫ يعبر به عن وقت طلوع الشمس إلى غروبها‬-‫في لغة العرب‬- ‫اليوم‬

Kata ‘hari’ – dalam bahasa arab –, bisa digunakan untuk menyebut rentang waktu antara
terbit matahari hingga terbenamnya. Bisa juga untuk menyebut rentang waktu tertentu. (al-
Mufradat, hlm. 553).

Karena itulah, ulama berbeda pendapat dalam memahami kata ‘hari’ terkait proses
penciptaan alam semesta.

Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa anNihayah menyebutkan perbedaan pendapat ulama


tentang makna ‘hari’ dalam ayat di atas. Beliau menyatakan ada dua pendapat ulama tentang
makna kata ‘hari’ terkait penciptaan langit dan bumi,

Pendapat Pertama, maknanya sebagaimana makna hari yang dikenal manusia, dimulai
sejak terbit matahari hingga terbenamnya matahari. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas)
ulama.

Pendapat Kedua, bahwa satu hari dalam proses penciptaan alam semesta itu seperti 1000
tahun dalam perhitungan manusia. Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Ibn Abbas,
Mujahid, ad-Dhahak, Ka’b al-Ahbar, dan pendapat yang dipilih oleh Imam Ahmad sebagaimana
keteragan beliau dalam ar-Rad ‘ala al-Jahmiyah. Pendapat ini pula yang dinilai kuat oleh Ibnu
Jarir at-Thabari. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 1/15).

Diantara ulama yang berpendapat bahwa satu hari sama dengan seribu tahun adalah al-
Qurthubi. Beliau mengatakan dalam tafsirnya,

.…‫في ستة أيام” أي من أيام اآلخرة أي كل يوم ألف سنة لتفخيم خلق السماوات واألرض‬
Dalam waktu 6 hari, maksudnya adalah hari di akhirat, bahwa satu hari sama dengan
1000 tahun, karena besarnya penciptaan langit dan bumi. (Tafsir al-Qurthubi, 7/219)

Bumi atau Langit Dulu?

Ada dua hal yang perlu dibedakan terkait proses penciptaan langit dan bumi, pertama,
mengawali penciptaan (Ibtida al-Khalqi) dan kedua, penyempurnaan penciptaan (Taswiyah al-
Khlqi).

Di surat Fushilat ayat 9 hingga 12 di atas, Allah menyebutkan bahwa Dia menciptakan
bumi terlebih dahulu sebelum langit. Sehingga, secara Ibtida al-Khalqi, bumi lebih awal
dibandingkan langit. Namun penyempurnaan bumi (Taswiyah al-Khlqi), baru dilakukan setelah
Allah menciptakan langit.

Ketika menafsirkan surat Fushilat di atas, Ibnu Katsir mengatakan,

‫ ُهَو اَّلِذ ي َخ َلَق َلُك ْم َم ا ِفي‬:‫ كما قال‬،‫ ثم بعده بالسقف‬،‫ واألصل أن ُيْبَد َأ باألساس‬،‫فذكر أنه خلق األرض أوال ألنها كاألساس‬
‫األْر ِض َجِم يًعا ُثَّم اْسَتَو ى ِإَلى الَّسَم اِء َفَس َّواُهَّن َس ْبَع َس َم َو اٍت‬

Allah menyebutkan bahwa Dia menciptakan bumi terlebih dahulu, karena bumi ibarat pondasi.
Dan pertama kali, harusnya dimulai dengan pondasi. Kemudian setelahnya adalah atap.
Sebagaimana yang Allah firmankan,

‫ُهَو اَّلِذ ي َخ َلَق َلُك ْم َم ا ِفي األْر ِض َجِم يًعا ُثَّم اْسَتَو ى ِإَلى الَّسَم اِء َفَس َّواُهَّن َس ْبَع َس َم َو اٍت‬

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian, kemudian Dia
berkehendak (beristiwa) menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit (al-Baqarah: 29

Ibnu Katsir melajutkan dengen menjelaskan firman Allah di surat an-Nazi’at

‫َأَأْنُتْم َأَشُّد َخ ْلًقا َأِم الَّسَم اُء َبَناَها َر َفَع َسْم َك َها َفَس َّواَها َو َأْغَطَش َلْيَلَها َو َأْخ َر َج ُض َح اَها َو األْر َض َبْع َد َذ ِلَك َد َح اَها َأْخ َر َج ِم ْنَها َم اَء َها‬
‫َو َم ْر َعاَها َو اْلِج َباَل َأْر َس اَها َم َتاًعا َلُك ْم َو ألْنَع اِم ُك ْم‬
Apakah kamu lebih sulit penciptaanya ataukah langit? Allah telah membinanya, ( ) Dia
meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya, ( ) dan Dia menjadikan malamnya gelap
gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang. ( ) Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
(30) Dia memancarkan dari bumi mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. ( )
Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, ( ) (semua itu) untuk kesenanganmu dan
untuk binatang-binatang ternakmu. (QS. an-Nazi’at: 27 – 33)

‫ وكان هذا بعد‬، } ‫ { َأْخ َر َج ِم ْنَها َم اَء َها َو َم ْر َعاَها‬:‫ فالَّدْح ُي هو مفسر بقوله‬، ‫ففي هذه اآلية أن َد ْح ى األرض كان بعد خلق السماء‬
‫ فأما خلق األرض فقبل خلق السماء بالنص‬،‫خلق السماء‬

Dalam ayat ini disebutkn bahwa Dahyu al-Ardi (penyempurnaan bumi) dilakukan setelah
menciptakan langit. Bentuk ad-Dahyu, ditafsirkan pada ayat, “Dia memancarkan dari bumi mata
airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.” Dan ini dilakukan setelah penciptaan langit.
Adapun penciptaan bumi, ini dilakukan sebelum penciptaan langit berdasarkan nash (dalil tegas).
(Tafsir Ibnu Katsir, 7/165).

Selanjutnya, Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari Ibnu Abbas yang diriwayat
Bukhari dalam Shahihnya.

Dari Said bin Jubair bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Ibnu Abbas beberapa
ayat yang menurutnya bertentangan, diantaranya firman Allah tentang penciptaan langit dan
bumi.

Orang ini menanyakan,

Di surat an-Nazi’at (ayat 27 – 30), Allah menyebutkan bahwa Dia menciptakan langit
sebelum menciptakan bumi. Sementara di surat Fushilat (ayat 9 – 12) Allah menyebutkan bahwa
Dia menciptakan bumi sebelum menciptakan langit.

Jawab Ibnu Abbas,

‫ أن أخرج‬:‫ وَد ْح ُيها‬،‫ ثم َد َح ى األرض‬،‫ فسواهن في يومين آخرين‬،‫ ثم استوى إلى السماء‬،‫ ثم خلق السماء‬،‫خلق األرض في يومين‬
‫ {َد َح اَها} وقوله { َخ َلَق األْر َض‬:‫ فذلك قوله‬،‫ وخلق الجبال والجماد واآلكام وما بينهما في يومين آخرين‬،‫منها الماء والمرعى‬
‫ وخلقت السماوات في يومين‬،‫ِفي َيْو َم ْيِن } َفُخ ِلقت األرض وما فيها من شيء في أربعة أيام‬

Allah menciptakan bumi dalam 2 hari, kemudian Dia menciptakan langit. Kemudian dia
beristiwa ke atas langit, lalu Allah sempurnakan langit dalam 2 hari yang lain. Kemudian
Allah daha al-Ardha (menyempurnakan bumi). Bentuk penyempurnaan bumi adalah dengan Dia
keluarkan dari bumi mata air, tumbuh-tumbuhan, Allah ciptakan gunung, benda mati, dataran
tinggi, dan segala yang ada di antara langit dan bumi, dalam 2 hari. Itulah makna firman Allah,
“Bumi dihamparkannya.” Sementara firman Allah, “Dia menciptakan bumi dalam 2 hari.”
Diciptakanlah bumi dan segala isinya dalam 4 hari dan diciptakan semua langit dalam 2 hari.
(HR. Bukhari secara Muallaq sampai al-Minhal, 16/85).

Kesimpulan dari keterangan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma,

Allah menciptakan bumi 2 hari belum sempurna dan belum ada isinya. Kemudian
menciptakan semua langit dalam 2 hari, dan terakhir Allah mengisi bumi dengan tumbuhan,
gunung, benda-benda dalam 2 hari.

B. PENGERTIAN AL-BI’AH (LINGKUNGAN)

Lingkungan yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan lingkungan dalam arti
kelembagaan seperti lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat). Tetapi yang
dimaksud adalah lingkungan dalam arti yang berkaitan dengan alam, yakni dalam arti
environment dan ecology. Environment diartikan sebagai keadaan kesekitaran atau kondisi
sekitar yang dapat memberikan pengaruh langsung bagi makhluk hidup, seperti sumber daya
alam, iklim, tanah, air, udara, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya. Sedangkan ecology
membicarakan tentang struktur dan model hubungan antara berbagai makhluk hidup dengan
keadaan sekitarnya.
Istilah lingkungan, lingkungan hidup dan lingkungan hidup manusia, dalam Undang-undang
No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, mengacu pada pengertian yang
sama, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia beserta makhluk hidup lainnya.
Lingkungan terbagi dalam dua kategori, pertama, lingkungan alam yang mencakup
lingkungan yang sudah tersedia secara alamiah. Kedua, lingkungan sosial dimana manusia
melakukan interaksi dalam bentuk pengelolaan hubungan dengan alam dan muatannya melalui
pengembangan perangkat nilai, ideologi, sosial dan budaya sehingga dapat menentukan arah
pembangunan lingkungan yang selaras dan sesuai dengan daya dukung lingkungan. Hal yang
berkaitan dengan kategori kedua ini disebut dengan etika lingkungan, yakni tanggung jawab dan
kesadaran manusia dalam memperhatikan kepentingan lingkungan di masa sekarang dan di masa
depan. Kesadaran tentang etika lingkungan sangat perlu digencarkan kepada masyarakat luas
mengingat saat ini lingkungan mulai menunjukkan gejala kritis. Selama ini pembicaraan tentang
lingkungan seringkali lebih menekankan pada aspek ekonomi, politik, dan demografi, sementara
aspek etik yang bersifat pelestarian tidak banyak dibicarakan
Manusia Adalah Khalifah Kepada Persekitaran Kewujudan individu Muslim di muka
bumi ini mempunyai dua tugas yang utama iaitu menjadi hamba yang taat dan khalifah yang adil.
Pertautan antara dua tugasan ini adalah seiring dan tidak boleh dipisahkan. Realiti ini ditegaskan
oleh Allah S.W.T melalui firmanNya:

“Tidak aku jadikan jin dan manusia itu melainkan untuk beribadat kepadaKu.” (Surah al-
Dhariyat, 51: 56)

Dalam surah yang lain, Allah berfirman:

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian yang lain beberapa darjat, untuk mengujimu tentang apa yang
diberikan-Nya kepadamu.” (Surah al-An‘am, 6:165)

Imam Ibn Kathir telah menerangkan maksud perkataan penguasa di bumi (khalaif al-ard)
dalam ayat tersebut sebagai pelaksana untuk memakmurkannya dari masa ke semasa bagi
digunakan oleh generasi akan datang.14 Ini bermakna, kesinambungan tugas khalifah bukan
terbatas kepada satu generasi atau kumpulan tertentu sahaja, tetapi ia adalah tanggungjawab yang
berterusan. Khalifah dalam erti yang mudah bermaksud menjaga kesucian Islam sebagai agama
dan mentadbir dunia dengannya.

Oleh itu, dua peranan utama manusia dijadikan di muka bumi ini secara tidak langsung
menuntut mereka untuk lebih prihatin kepada alam sekelilingnya. Alam sekitar perlu diurus
tadbirkan dalam keadaan yang betul demi keselamatan manusia itu sendiri serta keseimbangan
makhluk-makhluk tuhan yang lain. Ia juga dianggap amanah Allah S.W.T untuk dipelihara,
dijaga dan dikawal daripada sebarang bentuk penyelewengan. Kesemuanya ini menjadi bukti
kesyukuran hamba terhadap Penciptanya dan tidak digolongkan daripada kalangan orang yang
kufur akan nikmat. Firman Allah S.W.T:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kair,
maka akibat kekairannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekairan orang-orang yang kair itu tidak
lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya, dan kekairan orang-orang yang
kair itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Surah Fatir, 35: 39)

Justeru itu, tugas khalifah di muka bumi ini dianggap sebagai prinsip utama yang
mendasari keperluan memahami iqh al-bi’ah itu sendiri. Manusia adalah sebahagian daripada
persekitaran yang diberi amanah dan dipertanggungjawabkan ke atas alam itu sendiri.

Memakmurkan Alam Persekitaran (‘Imar)

Kepentingan persekitaran kepada manusia juga didasari dengan usaha memakmurkan


alam ini atau dikenali sebagai ‘imar. Firman Allah S.W.T:

“Tidakkah mereka telah berjalan dan mengembara di muka bumi, serta memerhatikan
bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu dari mereka? Orang-orang itu lebih kuat
daripada mereka sendiri, dan orang-orang itu telah meneroka bumi serta memakmurkannya lebih
daripada kemakmuran yang dilakukan oleh mereka, dan orang-orang itu juga telah didatangi oleh
RasulrasulNya dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas nyata (lalu mereka
mendustakannya dan kesudahannya mereka dibinasakan). Dengan yang demikian, maka Allah
tidak sekalikali menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri.”

(Surah al-Rum, 30: 9)

Hargai Keseimbangan Sunnah Allah dalam Penciptaan Alam Semesta

Semua kejadian dalam penciptaan Allah dijadikan dengan penuh teliti dan memenuhi
kebenaran. Ia saling berkaitan antara satu dengan yang lain bagi memenuhi satu sistem
kehidupan yang dikenali dengan sunnah Allah. Allah S.W.T berfirman dalam hal ini:

“Yang demikian adalah menurut “sunnah Allah” (undangundang) peraturan Allah yang
telah lalu; dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang perubahan bagi “sunnah Allah”
itu. (Surah al-Ahzab, 33: 62)

Dalam firmanNya yang lain:


“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar-sinar (terangbenderang) dan bulan
bercahaya, dan Dia-lah yang menentukan perjalanan tiap-tiap satu itu (berpindah-randah) pada
tempattempat peredarannya masing-masing supaya kamu dapat mengetahui bilangan tahun dan
kiraan masa. Allah tidak menjadikan semuanya itu melainkan dengan adanya faedah dan
gunanya yang sebenar. Allah menjelaskan ayat-ayatNya (tanda-tanda kebesaranNya) satu persatu
bagi kaum yang mahu mengetahui (hikmat sesuatu yang dijadikanNya).” (Surah Yunus, 10: 5)

Oleh yang demikian, setiap tindakan yang mengubah sistem sehingga berlakunya
kepincangan adalah dianggap zalim dan menyalahi kebenaran dalam sunnah Allah yang telah
dibuat dengan penuh ketelitian. Imam alRaghib al-Asfahani menerangkan maksud sunnah Allah
itu sebagai jalan yang ditetapkan mengikut kebijaksanaan Allah S.W.T dan jalan bagi
mentaatinya.

Justeru itu, setiap manusia perlu bertindak menghargai alam persekitaran dan sentiasa
memastikan sistem kehidupan alam persekitaran dalam keadaan yang terkawal sebagai
kepatuhan kepada peraturan alam yang telah ditetapkan. Ketaatan kepada Allah merupakan
matlamat utama bagi setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia.

Menghormati Hak-hak Alam Sekitar Isu hak dan tanggungjawab merupakan suatu yang
sinonim dengan kehidupan manusia. Setiap individu mempunyai hak yang menjadi
tanggungjawab pihak lain untuk menghormatinya dan begitu juga sebaliknya. Alam persekitaran
turut memiliki hak yang wajib dihormati oleh manusia yang diamanahkan untuk menjaganya.
Sebagai contoh, manusia ditegah membunuh atau menyeksa haiwan tanpa sebarang sebab yang
dibenarkan syarak. Ini dapat diperhatikan melalui hadis sahih yang menceritakan seorang wanita
diseksa di neraka atas kesalahan membiarkan kucingnya tanpa sebarang makanan atau diberi
minuman.

Perundangan Islam menetapkan pendirian yang jelas dalam memelihara komuniti haiwan
dan berinteraksi dengannya. Jelasnya, kedudukan komuniti haiwan diberi sedikit keistimewaan
berbanding ciptaan makhluk yang lain dalam alam ini. Kelompok haiwan adalah hampir dengan
komuniti manusia kerana ia merupakan sebahagian makhluk bernyawa yang mempunyai roh.
Keunikan ini menyebabkan ia mempunyai deria rasa dan memiliki perasaan yang tersendiri
sesuai dan kejadian masing-masing.
Sebarang bentuk tindakan yang mengabaikan hak-hak haiwan adalah satu kezaliman dan
perlu ditegah. Dalam hal ini, Allah S.W.T berfirman:

“Dan tidak seekor pun binatang yang melata di bumi, dan tidak seekor pun burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan mereka umat-umat seperti kamu. Tiada
Kamiinggalkan sesuatu pun di dalam Kitab al-Quran ini; kemudian mereka semuanya akan
dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan).” (Surah al-An‘am, 6:
38)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah S.A.W turut memperakui penciptaan haiwan merupakan
sebahagian komuniti dalam sistem kehidupan. Ia turut digelar sebagai “ummah” mengikut
kesesuaian kejadiannya sebagaimana sabda Rasulullah S.A.W:

“Kalaulah tidak kerana anjing merupakan sekelompok daripada ummah, nescaya aku
akan perintahkan untuk membunuhnya. Maka bunuhlah daripada kalangan anjing yang berwana
hitam gelap.”

Dari sudut yang lain, tindakan haiwan yang tidak mampu dikawal sehingga
menyebabkan kemusnahan harta atau nyawa tidak akan dipersoalkan atau tiada ganti rugi yang
bakal dikenakan.
DAFTAR PUSTAKA

“Islam and The Environment”, Encyclopedia of Global Environmental Change, Vol 5.


Chichester: John Wiley and Sons Ltd. Ibn Kathir, Abu al-Fida’ Isma ’ il (1996),
al-Ahkam al-Sultaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘ Ilmiyyah. Mohamad Akram Laldin (2006),
al-Mu٬ jam al-Mufassal li Mawadi٬ al-Qur’an al-Munazzal. Beirut: Dar al-Ma٬ rifat Muhammad
Naif Ma‘ruf (2000),
al-Mu‘jam al-Mufassal li Alfaz alQur’an. Turki: Al-Maktabah al-Islamiyyah Muhammad Khalil
‘Itani (2000),
al-Mufradat fi Gharib al-Qur‘an. Beirut: Dar al-Ma‘ rifah. Sayed Sikandar Shah Haneef (2005),
Ethics and Fiqh for Daily Life: An Islamic Outline. Kuala Lumpur: Research Centre
IIUM. Siba ‘ i, Mustafa al- (1999),
al-Qawa‘id al-Kulliyyah wa al-Dawabit al-Fiqhiyyah fi al-Syari ‘ah al-Islamiyyah. Amman: Dar
al-Furqan. Muhammad al-Dasuqi dan Aminah Jabir (t.t.), Muqaddimah fi Dirasat al-Fiqh
al-Islami. Qatar: Dar al-Thaqafah. Muhammad Fu‘ad ‘Abd al-Baqi (1982),
al-Rifq bi al-Hayawan fi al-Islam. Amman: Dar Wa’il. Fazlun M Khalid (2002),
Asghar Ali (1993), “Islam and The Environment”, Aliran Monthly, Bil 13 (10),
Dalil al-Mawdu‘at fi al-‘Ayat al-Qur’an al-Karim. Beirut: Mu’assasah al-Rayyan Zuhayli,
Wahbah al- (2007),
Firmasnyah, Rizki. 2015. Teori Penciptaan Bumi Dan Langit Dalam Tafsir Al-Jawahir Karya
Tantawi Jauhari. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Hasyim, Muhammad Syarif. 2012. AL-‘ĀLAM DALAM ALQURAN: (Analisis tentang Ayat-ayat
Penciptaan). Jurnal Studi islamika. Vol. 9, No. 1.
Introduction to Shariah and Islamic Jurisprudence. Kuala Lumpur: CERT Publications.
Muhammad ‘Uthman Shibir (2000),
Min Rawai‘ Hadaratina. Beirut: al-Maktab alIslami. Usamah Kamil Abu Shaqra (2001),
Pulau Pinang: Aliran Kesedaran Negara. Farh ibn Taha Farh ‘Ali Taha (2003),
Ri‘ayah al-Bi’ah fi Syari ‘ah al-Islam. Kaherah: Dar al-Shuruq. Raghib al-Asfahani, al-Husin ibn
Muhammad al- (1998),
Tafsir al-Qur‘an al-‘Azim. Beirut: AlMaktabah al-‘Asriyyah. Idris Jum‘ah Durar Bashir (t.t.), al-
Ra’yu wa Atharuhu fi al-Fiqh al-Islami. Kaherah: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Mawardi, ‘Ali ibn Muhammad al- (1985),
Yahya, Harun. Tanpa Tahun. Penciptaan Alam Semesta, (online), (gramedia-online-download-
buku-gratis.blogspot.com diakses pada 6 Maret 2017).

Anda mungkin juga menyukai