Strategi yang diterapkan didalam upaya penurunan prevalensi stunting di Provinsi NTT ialah dengan pendewasaan
usia perkawinan atau pencegahan pernikahan dini, strategi ini dipilih mengingat pemerintah sebelumnya telah membuat
banyak program intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan prevalensi stunting seperti program peningkatan
ekonomi keluarga, Program Keluarga Harapan (PKH), program pangan lestari, bedah rumah, akses air bersih dan sanitasi,
dan juga pembangunan infrastruktur, namun solusi tersebut belum sepenuhnya efektif menginat angka stunting yang
semakin tahun kian melonjak pesat. Hal ini diasumsikan bahwa upaya tersebut sebenarnya belum terfokus pada apa yang
menjadi akar permasalahan. Selain itu, upaya pemerintah tersebut seolah hanya menitik fokuskan pada upaya
penanggulangan bukan mencegah terjadinya stunting.
Upaya pencegahan stunting sebaiknya dilakukan saat bayi masih berada didalam kandungan, dan pemantauan bayi
harus dilakukan sejak dari dalam kandungan sampai dengan bayi lahir dan selama 1000 hari pertama kehidupannya.
Perkawinan usia dini menyebabkan ibu tidak paham bahkan tidak mengerti pola asuhan yang benar seperti apa. Mereka
tidak tahu bahaya stunting telah mengintai sejak bayi berada dalam kandungan sehingga asupa gizi mereka selama hamil
tidak baik. Selain itu karena perkawinan usia dini kondisi finansial tidak stabil oleh karena itu mereka tidak memenuhi
kebutuhan gizi anak dengan baik sehingga sang anak terancam menderita stunting.
Teknik advokasi yang digunakan dalam menyampaikan strategi ini kepada pemegang kebijakan adalah dengan
lobbying. Dipilihnya teknik lobbing karena teknik ini merupakan teknik yang informal dan tidak terikat oleh tempat dan
waktu. Sebagai pemegang kebijakan (Gubernur, Walikota/Bupati, DPR) tentu saja memiliki jadwal yang padat dan akan
susah untuk membuat janji secara resmi dengan beliau, oleh karena itu dengan teknik lobbying kita akan lebih fleksibel
akan waktu, kita bisa membicarakan mengenai strategi ini sebari menikmati hobi bersama atau sembari minum teh sore
bersama agar tercapainya kesepakatan bersama terkait strategi penurunan prevalensi stunting dengan pendewasaan usia
perkawinan atau pencegahan perkawinan usia dini.
Pemecahan Masalah
1. Program peningkatan kurikulum sekolah dan pelatihan guru untuk menyampaikan materi dan topik seperti ketrampilan
hidup, kesehatan sexual dan reproduksi, HIV/AIDS, dan kesadaran peran gender.
2. Program pemberian uang tunai, beasiswa, subsidi, seragam, dan suplai lainnya agar anak-anak perempuan bersedia
menjalani proses belajar mengajar.
3. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota Membuat kebijakan tentang pernikahan dini (usia minimum menikah bagi
perempuan min. 18 tahun) yang wajib ditaati oleh masyarakat.
4. Membentuk atau merevitalisasi Pusat Kegiatan Belajar dan kreativitas di masyarakat khususnya pada sasaran remaja di
daerah. Diharapkan banyak remaja memiliki wawasan luas dan motivasi tinggi dalam menata masa depan sehingga angka
pernikahan dini akan berkurang dipelopori oleh dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga
5. Sosialisasi program Generasi Berencana (Genre) di tingkat Kabupaten hingga Desa dengan sasaran Karang Taruna oleh
BKKBN.
6. Peningkatan gizi remaja, dengan pemberian tablet tambah darah, pemberian makanan bergizi seperti susu, daging, biscuit
bekerja sama dengan dinas Pertanian, dinas Kesehatan, dinas Sosial
Daftar Pustaka:
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Saku Pemantauan Status Gizi. Jakarta: Direktorat Jendral Kesehatan
Masyarakat Kementerian Kesehatan RI
2. Alex. 2019. Pelajar NTT Nikah di Usia Anak. Tersedia Dalam: http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2018/05/08/205-persen-
pelajar-di-ntt-nikah-di-usia-anak/. Diakses Tanggal 5 November 2019.