Anda di halaman 1dari 41

KONDISI DAN SEBARAN TERUMBU KARANG

DI PERAIRAN BOTUBARANI KECAMATAN KABILA BONE


KABUPATEN BONEBOLANGO PROVINSI GORONTALO

PROPOSAL KERJA PRAKTEK AKHIR (KPA)


PROGRAM STUDI TEKNIK KELAUTAN

Oleh :

ERIN RINI
20.7.05.191

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BONE
2023
KONDISI TERUMBU KARANG
DI PERAIRAN BOTUBARANI KECAMATAN KABILA BONE
KABUPATEN BONEBOLANGO PROVINSI GORONTALO

Oleh :

ERINA RINI
NIT. 20.7.05.192

Proposal ini disusun sebagai salah satu syarat


Mengikuti Kerja Praktek Akhir
Pada Program Studi Teknik Kelautan
Politeknik Kelautan dan Perikanan Bone

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN


BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
POLITEKNIK KELAUTAN DAN PERIKANAN BONE
2023

i
HALAMAN PENGESAHAAN

Judul : Kondisi Terumbu Karang di Perairan Botubarani,


Kecamatan Kabila Bone,Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo.

Nama : Erina Rini


NIT : 20.7.05.191

Pembimbing I Pembimbing II

Khaiul Jamil, S.P,M.Si Awaluddin, A.Pi, M.S.T.Pi


NIP.19710214 200604 1 001 NIP.19750413 200212 1 003

Diketahui Oleh :
Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan Bone

Dra. Ani Leilani, M.Si


NIP.19641217 199003 2 003

KATA PENGANTAR
ii
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
akhirnya Laporan Kerja Praktik Akhir yang berjudul “Kondisi Terumbu Karang di
Perairan Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi
Gorontalo” ini dapat diselesaikan sesuai dengan target mutu dan waktu yang
direncanakan.
Proses persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan ini telah
melibatkan kontribusi pemikiran dan saran banyak pihak, atas dedikasi tersebut
pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dra. Ani Leilani,M.Si selaku Direktur Politeknik Kelautan dan Perikanan
Bone atas izin pelaksanaan Kerja Praktik Akhir (KPA);
2. Bapak Khaiul Jamil, S.P,M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan
arahan penyempurnaan serta ulasan kritis;
3. Bapak Awaluddin, A.Pi, M.S.T.Pi selaku pembimbing II atas kesediaan waktu
memberikan telah mendalam, koreksi dan revisi terhadap sejumlah data dan
informasi;
4. Ayah,ibu,keluarga serta teman-teman yang telah membantu dalam
penyusunan laporan KPA ini baik secara langsung maupun tidak langsung.

Atas segala kekurangan dan kekhilafan, penulis megharapkan saran dan


kritik yang bersifat membangun agar dikemudian hari dapat menjadi sumber
informasi yang lebih bermanfaat bagi kemajuan sektor kelautan dan perikanan.

Bone, Januari 2023

Erina Rini

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................... Vii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
I.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
I.2 Tujuan ........................................................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5
II.1 Struktur dan Anatomi Terumbu Karang .................................................... 5
II.2 Terumbu Karang ........................................................................................ 6
II.2.1 Jenis-Jenis Terumbu Karang ..................................................................... 8
II.2.2 Tipe-Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Bentuknya ................................ 8
II.2.3 Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang ..................................................... 9
2.2.4 Faktor yang mempengaruhi sebaran terumbu karang ...............................11
2.3 Manfaat dan Fungsi Terumbu Karang .......................................................13
2.4 Monitoring Umum Terumbu Karang ...........................................................14
2.4.1 Metode Monitoring Skala Luas................................................................14
2.4.2 Metode Monitoring Skala Sedang (Medium Scale) ...................................16
2.4.3 Metode Pemantauan Skala Detail .............................................................18
2.4.4 Software CPCe (Coral Point Count With Excel extensions).......................21
2.5 Pemetaan Sebaran Terumbu Karang............................................................22
III. METODE PRAKTIK ..................................................................................23
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan .................................................................23
3.2 Prosedur Kerja..............................................................................................23
3.2.1 Alat dan Bahan.........................................................................................23
3.2.2 Langkah Kerja .........................................................................................24
3.2.2.1 Persentase Tutupan Karang ...................................................................24
3.2.2.2 Penilaian Kondisi Terumbu Karang ........................................................27
3.2.2.3 Sebaran Terumbu Karang.......................................................................27

iv
3.2.3 Pengolahan Data.....................................................................................28
3.3 Analisis Data ................................................................................................29
3.3.1 Persentase Tutupan Karang....................................................................29
3.3.2 Penilaian Kondisi Terumbu Karang ........................................................29
3.3.3 Sebaran Terumbu Karang.......................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................32

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komponen Lifeform Terumbu Karang ..................................................10


Tabel 2. Alat Dan Bahan ....................................................................................23

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Karang (Dean dan Kleine, 2012). ...................................... 5


Gambar 2. Peta Lokasi KPA ..............................................................................23
Gambar 3. Ilustrasi Garis Transek .....................................................................25
Gambar 4. Pengambilan Foto Frame..................................................................26
Gambar 5. Ilustrasi pengambilan data dengan metode UPT..............................2
Gambar 6. Proses Pengolahan Analisis Data dengan 30 Titik Sampel di Software
CPCe...................................................................................................................28

vii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia


dengan jumlah pulau 17.504 dan memiliki garis pantai sepanjang 108.000 km2
yang tersebar dari Sabang sampai Marauke (KKP, 2019). Sebagai negara
kepulauan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah terutama
diwilayah pesisir. Suharsono (2014) bahwa tingginya keanekaragaman hayati
tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang strategis tapi
beberapa faktor seperti variasi iklim, arus, dan massa air laut. Supriharyono
(2017) menyatakan bahwa panjangnya perairan dangkal di Indonesia yang
terletak di daerah tropis memungkinkan tumbuh subur dan tingginya
keanekaragaman organisme penghuninya. Organisme-organisme ini tersebar
keseluruh ekosistem yang ada di wilayah pesisir dan laut Indonesia terutama di
ekosistem terumbu karang.

Menurut Hadi et al (2018) bahwa penelitian dan pemantauan terumbu


karang terhadap 1067 tempat diseluruh Indonesia menunjukan bahwa karang
dalam kategori jelek sebanyak 386 tempat (36.18%), dan kategori cukup
sebanyak 366 tempat (34.3%), kategori baik sebanyak 245 tempat (22.96%)
dan kategori sangat baik sebanyak 70 tempat (6.65%). Secara umum terumbu
karang dalam kategori baik dan cukup mengalami tren penurunan, namun
sebaliknya kategori sangat baik dan jelek mengalami peningkatan apabila
dibandingakan dengan tahun sebelumnya.
Desa Botubarani merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan
Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo yang terkenal akan
adanya objek wisata hiu paus, disamping itu perairan Desa Botubarani juga
memiliki hamparan terumbu karang yang baik sering dinikmati oleh para
wisatawan ketika melakukan diving atau snorkeling saat hiu paus muncul
maupun tidak muncul diperairan tersebut dan juga biasanya dijadikan tempat
pelatihan untuk pengambilan sertifikat selam.
Namun informasi mengenai kondisi terumbu karang yang ada masih
sangat minim apakah dalam keadaan baik ataukah buruk. Aktivitas wisatawan di
perairan Botubarani tersebut mulai sangat berkembang sejak ditetapkannya
wisata hiu paus di perairan tersebut, sehingga dikhawatirkan dari aktivitas

1
manusia yang berlebihan di perairan tersebut akan berdampak buruk pada
keberadaan terumbu karang. Untuk itu perlu diketahui kondisi terumbu karang
yang ada, sehingga pemerintah setempat dapat melakukan pengelolaan
berkelanjutan agar terumbu karang tersebut dapat tetap terjaga.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem paling produktif di bumi


dengan fungsi ekologis yang besar (Souter and Linden, 2000), sebagai tempat
berkembangbiak, pengasuhan, dan tempat mencari makan bagi biota perairan
(Rizal et al., 2018). Keberadaan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai
pelindung fisik daerah pantai dari ombak dan arus yang kuat (Rumkorem et al.,
2019). Selain itu, dari sektor ekonomi ekosistem ini berpotensi dalam
pengembangan wisata bahari (Wahyudin et al., 2011; Suryono et al., 2018),
yang dapat memberikan keuntungan bagi pendapatan masyarakat pesisir
maupun pemerintah jika dikelola dengan baik.

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang rapuh dan rentan


terhadap kerusakan (Tonin, 2018), ancaman degradasi bahkan kepunahan
(Rumkorem et al., 2019). Kondisi ekosistem terumbu karang telah mengalami
perubahan dalam skala global, baik diakibatkan oleh faktor manusia maupun
faktor alam (Lasagna et al., 2014). Kerusakan terumbu karang dalam skala kecil
dapat berdampak pada penurunan populasi ikan karang, sedangkan dalam
skala besar dapat mempengaruhi perekonomian masyarakat pesisir (Najmi et
al., 2016). Tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia yang berlangsung di
daratan dapat mempengaruhi ekosistem perairan sekitarnya sehingga
menurunkan keanekaragaman hayati khususnya di daerah ekosistem terumbu
karang (Burke et al., 2002; Siringoringo et al., 2013). Selain itu faktor alam
seperti naiknya suhu perairan melebihi batas normal toleransi terumbu karang
menyebabkan terjadinya pemutihan karang (Octavina et al., 2018; Ulfah et al.,
2018).

Terumbu karang dikenal sebagai suatu komponen yang memiliki fungsi


penting dalam ekosistemnya. Terumbu karang tidak terlepas dari peranan
ekologisnya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan
(nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan daerah
pembesaran (rearing ground) bagi biota ekonomis penting. Selain dari peranan
tersebut, terumbu karang juga memiliki peran sebagai pemecah gelombang,
pencegah abrasi pantai, dan ekosistem penghalang gelombang menuju ke

2
pesisir pantai untuk menjaga stabilitas pantai.

Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem komplek yang dibangun


utamanya oleh biota penghasil kapur (terutama karang) bersama biota lain yang
hidup di dasar dan di kolom air. Adanya proses pelekatan biota-biota karang ke
substrat dasar perairan, pembentukan kerangka kapur, segmentasi, degradasi,
erosi dan akresi yang terjadi secara berulang-ulang dalam waktu yang panjang
maka terbentuklah terumbu karang. Sebagai habitat yang stabil, terumbu
karang banyak dihuni oleh biota-biota yang berasosiasi sehingga membentuk
suatu jejaring yang komplek dimana ada keterkaitan antara biota yang satu
dengan biota lain serta faktor lingkungan (Hadi et al, 2018).
Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem di perairan dangkal
memiliki produktivitas primer dan keanekaragaman jenis yang tinggi. Ekosistem
terumbu karang memiliki nilai ekologis tinggi mengingat wilayah ini dijadikan
habitat untuk bertelur (nesting ground), berpijah (spawning ground), pengasuhan
(nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) bagi banyak ikan-ikan
dan biota lainnya. Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki potensi terumbu
karang adalah Desa Botubarani yang termasuk dalam daerah administratif
Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Provinsi
Gorontalo sendiri memiliki potensi terumbu karang seluas 21.910,96 Ha (Sirait,
2011), akan tetapi potensi tersebut belum semuanya dikelola dan dimanfaatkan
secara optimal. Padahal pengelolaan yang tepat dapat menjamin keberadaan
terumbu karang di masa depan, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan
secara berkelanjutan. Salah satu hal yang mendasari kondisi tersebut adalah
karena kurangnya informasi mengenai keberadaan potensi dan kondisi terumbu
karang yang ada, sehingga membuat pengelolaan dan pemanfaatan potensi
hanya terbatas di beberapa tempat saja.
Pengamatan terumbu karang di perairan Desa Botubarani belum banyak
dilakukan, sehingga informasi mengenai penyebaran keberadaan terumbu
karang dan kondisinya masih sangat minim. Untuk itu, maka pengamatan ini
dilakukan dengan tujuan mengetahui persentase tutupan dan kondisi terumbu
karang, dengan harapan dapat memberikan informasi dan bisa dijadikan sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah setempat dalam pengelolaan
terumbu karang.

3
Istilah pemetaan berkaitan dengan kartografi, pengertian dari kartografi
adalah ilmu yang mempelajari tentang peta yang meliputi pengumpulan dan
pengolahan data, simbolisasi, penggambaran, analisa peta dan interprestasi
peta.Orang yang membuat peta disebut kartografer dengan syarat 50%
pengetahuan geografi, 30% bidang seni, 10% pengetahuan matematis, 10%
pengetahuan peta. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kartografi merupakan
ilmu, seni dan teknik pembuatan peta (Sariyono dan Nursa’ban,2010).

Peta memiliki peran penting dan strategis sebagai media penyajian


fenomena spasial atau keruangan seperti pada dunia kelautan dan
perikanan.Jenis peta di bidang kelautan dan perikanan yaitu peta batimetri, peta
ekosistem pesisir, peta pola arus, dan peta pola dan tinggi gelombang serta
masih banyak peta lainnya yang berhubungan tentang kegiatan kelautan dan
perikanan.

I.2 Tujuan
Kerja Praktik Akhir ini bertujuan untuk:
1. Menghitung persentase tutupan karang di perairan Botu barani Kecamatan
Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.
2. Melakukan dan mengentahui penilaian kondisi terumbu karang di perairan
Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi
Gorontalo.
3. Membuat peta tematik sebaran terumbu karang menggunakan citra satelit
landsat 8 (Lyzenga).

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur dan Anatomi Terumbu Karang


Karang memiliki tentakel yang mengelilingi mulut dan dalam tentakel
terdapat sel penyengat,nematokis yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsanya dan tentakel tersebut pada individu karang dinamakan polip karang.
Warna tentakel karang keras, secara umum tidak berwarna atau bening seperti
ubur-ubur namun ada pula beberapa coklat muda polip karang keras umumnya
hidup berkoloni. Dan mereka menyatukan rangka kapur satu dengan yang
lainnya, sehingga dari luar mereka terlihat seperti batu kapur. Kelompok karang
lainnya yang terdapat di terumbu karang adalah kelompok karang lunak,
kelompok anemone,dan kelompok kipas laut. Dengan adanya kelompok-
kelompok karang maka terbentuklah suatu hamparan terumbu karang dimana di
dalamnya terdapat beberapa tumbuhan dan berbagai hewan laut lainnya
(Giyanto, 2010).
Karang yang terdiri dari polip yang memiliki tentakel merupakan hewan
invertebrata. Tentakelnya bergerak di dalam air dan berfungsi sebagai alat
penangkap makanan. Setiap polip mengeluarkan endapan kapur yang disebut
skeleton yang merupakan tempat tinggalnya. Ribuan polip tumbuh dan
bergabung menjadi satu oleh skeletonnya membentuk koloni karang. struktur
terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Karang


(Dean dan Kleine, 2012).

5
2.2 Terumbu Karang
Terumbu adalah endapan-endapan massif yang penting dari kalsium
karbonat yang terutama dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Klas
Anthozoa, Ordo Madreporaria/Sclectinia) dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat
(Nybakken,1992). Hewan karang mempunyai bermacam-macam bentuk seperti
ubur-ubur, hydroid dan anemon laut.
Pembentuk utama ekosistem terumbu karang adalah hewan karang.
Karang merupakan sekumpulan dari hewan kecil (polip) dalam jumlah yang
besar. Kemudian istilah terumbu karang mengacu pada istilah karang atau
koral, yang sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur
sebagai pembentuk utama terumbu. kesukaan teripang terhadap jenis tutupan
karang pada ekosistem terumbu karang diduga berkaitan dengan ketersediaan
makanan yang disediakan oleh setiap jenis tutupan dasar perairan tersebut.
Pada jenis tutupan dasar perairan yang tergolong jenis tutupan yang hidup
(biotik) tentu berbeda dengan jenis tutupan yang non hidup (abiotik) (Hendrarto,
2014). Secara umum, ekosistem terumbu karang mempunyai banyak peranan,
baik dari segi ekologi maupun sosial ekonomi. Dari segi ekologi, terumbu karang
merupakan habitat bagi banyak biota laut yang merupakan sumber
keanekaragaman hayati. Selain itu, terumbu karang merupakan tempat
memijah, mencari makan, dan berlindung bagi ikan-ikan, sehingga kondisi
terumbu yang baik mampu meningkatkan produktivitas perikanan. Terumbu
karang juga merupakan tempat dihasilkannya berbagai macam senyawa
penting untuk bahan suplemen maupun obat-obatan, terutama dari biota-biota
benthos yang berasosiasi. Terumbu karang juga mampu melindungi pantai dari
ancaman abrasi. Dari segi social ekonomi, pendapatan masyarakat pesisir
dapat meningkat baik itu dari hasil perikanan maupun dari wisata bahari.
Mengingat begitu besar manfaat yang diberikan, sudah seharusnya terumbu
karang mendapatkan perhatian yang lebih baik (Hadi et al, 2018).
Rusaknya ekosistem terumbu karang dapat disebabkan oleh banyak hal.
Beberapa penyebab kerusakan terumbu karang adalah sedimentasi,
penebangan hutan mangrove, penangkapan yang tidak ramah lingkungan,
aliran drainase, pengambilan karang dan pengerukan, pencemaran air,
pengelolaan tempat rekreasi, pemanasan global, banyaknya sampah, masukan
pupuk pestisida, jangkar, dan lain sebagainya.

6
Terumbu karang merupakan hewan bentik yang hidup di dasar perairan.
Hewan ini sebagian besar hidupnya berkoloni yang tersusun atas kalsium
karbonat (CaCO3) sebagai hasil sekresi dari Zooxanthellae. Terumbu karang
merupakan habitat berbagai biota laut untuk tumbuh dan berkembang biak dalam
kehidupan yang seimbang. Sifat yang menonjol dari terumbu karang adalah
keanekaragaman, jumlah spesies, dan bentuk morfologi tinggi dan bervariasi
(Hazrul dkk., 2016).
Karang adalah anggota filum Cnidaria yang dapat menghasilkan kerangka
luar dari kalsium karbonat. Karang dapat berkoloni atau sendiri, tetapi hampir
semua karang hermatipik merupakan koloni dengan berbagai individu hewan
karang atau polip menempati mangkuk kecil atau kolarit dalam kerangka yang
masif. Tiap mangkuk mempunyai beberapa seri septa yang tajam dan berbentuk
daun yang keluar dari dasar. Pola septa berbeda–beda pada tiap spesies dan
merupakan dasar pembagian spesies karang (Prasetia, 2013).
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan algae yang disebut zooxanthellae. Hewan karang
bentuknya aneh, menyerupai batu dan mempunyai warna dan bentuk beraneka
rupa. Hewan ini disebut polip, karena merupakan hewan pembentuk utama
terumbu karang yang menghasilkan zat kapur. Polip-polip ini selama ribuan
tahun membentuk terumbu karang. Zooxanthellae adalah suatu jenis algae yang
bersimbiosis dalam jaringan karang. Zooxanthellae ini melakukan fotosintesis
menghasilkan oksigen yang berguna untuk kehidupan hewan karang. Di lain
pihak, hewan karang memberikan tempat berlindung bagi zooxanthellae
(Nasharandi dkk., 2015).
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang terbentuk oleh biota
penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur,
bersama dengan biota lain yang hidup didasar lautan. Terumbu karang
merupakan ekosistem dinamis dengan kekeyaan biordiversitanya serta
produkvitas tinggi karena itu terumbu karang mempunyai peran yang signifikan.
Secara ekologi terumbu karang merupakan tempat organisme hewan maupun
tumbuhan mencari makan dan berlindung, secara fisik menjadi pelindung pantai
dan kehidupan perairan dangkal dari akibat abrasi laut (Suryanti et al, 2011).

7
2.2.1 Jenis-Jenis Terumbu Karang
Menurut Risnandar (2015) ada 2 jenis terumbu karang berdasarkan tipenya
yaitu:
1.
Karang keras (Hard coral) merupakan endepan masif kalsium
(CaCO3) yang dihasilkan dari organisme pembentuk terumbu karang
dari Filum Coridaria , Ordo Sceractinia yang hidup bersombiosis
dengan Zooxanthellae dan sedkit algae berkapur serta organisme lain
yang mensekresikan kalsium karbonat.
2.
Terumbu karang lunak (Soft coral) berbanding terbalik dengan karang
keras karena karang lunak tidak bersombiosis dengan alga dan
bentuknya seperti tanaman.

2.2.2 Tipe-Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Bentuknya


Menurut Supriharyono (2017), ada 2 tipe karang yaitu karang yang
membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat
membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah
koloni karang yang dapat membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium
karbonat (CaCO3), sehingga sering disebut pula reef building corals.
Sedangkan, ahermatypic corals adalah koloni karang yang tidak dapat
membentuk terumbu.

Sedangkan menurut Hadi et al, (2018) terumbu karang di Indonesia


bisa dikelompokkan ke dalam empat bentuk, yaitu;
a. Terumbu karang tepi (finging reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas
pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembanganya bisa mencapai
kedalaman 40 meter dan kearah luar menuju laut lepas.Dalam proses
perkembanganya,terumbu ini berbentuk melingkar yang di tandai dengan
adanya bentuk ban atau bagain endepan karang mati yang mengelilingi
pulau pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah
secara vertical. Contohnya di Bunaken (Sulawesi), Pulau Panaitan (Banten),
dan Nusa Dua (Bali).

8
b. Terumbu karang penghalang (Barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar
0,52 km kearah laut lepas dengan kondisi oleh perairan berkedalaman hingga
75 meter. Terkadang membetuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang
lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di
sekitar pulau sangat besar atau benua membentuk gugusan pulau karang yang
terputus putus.Contonya di Batuan Tengah (Bintan,Kepulaun Riau), Spermonde
(Sulawesi Selatan), dan Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).

c. Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang membentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-


pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan
daratan atau cincin Karang atau yang dikenal dengan nama Atol adalah
gugusan terumbu karang yang berbentuk cincin, pulau, atau serangkaian pulau
yang mengelilingi laguna atau pulau yang berada di bagian tengahnya.
d. Terumbu karang datar/Gosong terumbu(patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau
datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai kepermukaan
dan dalam kurung waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar.
Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan
kedalaman relative dangkal. Contohnya di Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) dan
Kepulaun Ujung Batu.

2.2.3 Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang

Berdasarkan bentuk dan pertumbuhannya, karang batu terbagi atas


karang Acropora dan Non Acropora. Karang Acropora adalah karang yang ciri
umumnya memiliki aksial koralit dan radial koralit. Berdasarkan pertumbuhannya
terdapat dua kelompok karang yang berbeda, yaitu Hermatipik dan Ahermatipik.
Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu sedangkan karang ahermatipik
tidak dapat menghasilkan terumbu. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia
sedangkan karang hermatipik hanya terdapat pada daerah tropis. Perbedaan
mencolok antara kedua karang ini adalah di dalam jaringan karang hermatipik
terdapat sel-sel tumbuhan bersimbiosis yang dinamakan Zooxanthellae,
sedangkan karang ahermatipik tidak (Nybakken, 1992).

9
Tabel 1. Komponen Lifeform Terumbu Karang.
Kategori Kode Keterangan
 Dead Coral DC Karang yang baru mati, berwarna putih.
 Dead Coral with DCA Karang mati yang masih nampak
Algae bentuknya, tapi sudah muIai diturnbuhi
alga halus.
Acropora :
 Branching ACB Bentuknya bercabang seperti ranting
pohon.
 Encrusting ACE Bentuk merayap, biasanya pada Acropora
yang belum sempurna.
 Submassive ACS Percabangan bentuk gada/lempeng dan
kokoh. Bentuk percabangan rapat dengan
cabang Bentuk seperti jari-jari tangan.
 Digitate ACD Bentuk bercabang dengan arah mendatar,
rata.
 Tabulate ACT Bentuk seperti meja.
Non Acropora :
 Branching CB Bentuk bercabang seperti ranting pohon.
 Encrusting CE Merayap, hampir seluruh bagian
menempel pada substrat.
 Foliose CF Bentuk menyerupai lembaran daun.
 Massive CM Bentuk seperti batu besar yang padat dan
bentuk kompak.
 Submassive CS Bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan
kecil.
 Mushroom CMR Soliter, bentuk seperti jamur.
 Millepora CME Adanya warna kuning di ujung koloni dan
rasa panas terbakar bila tersentuh.
 Heliopora CHL Adanya warna biru pada skeletonnya.
Abiotik :
 Sand S Pasir.
 Rubble R Serakan/Patahan Karang Mati.

10
 Silt SI Lumpur/Lanau.
 Water WA Celah dengan Kedalaman >50 cm.
 Rock RCK Batu Vulkanin.
Algae :
 Alga Assemblage AA Terdiri lebih dari satu jenis algae.
 Coralline Algae CA Alga yang mempunyai struktur kapur.
 Macro Algae MA Alga yang berukuran besar.
 Truf Algae TA Menyerupai rumput-rumput halus.
Biotik Lainnya :
 Soft Corals SC Karang dengan tubuh lunak.
 Sponge SP Sponge.
 Zoanthid ZO Crinoid.
 Others OT Anemon, Teripang, Kimia dan lain-lain.
Sumber : (English dkk., 1994).

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi sebaran terumbu karang


Sebaran terumbu karang tidak merata karena adanya faktor pembatas
atau faktor yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Berikut faktor-
faktor yang mempengaruhi sebaran dan pertumbuhan karang.
1. Suhu

Karang pembentuk terumbu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap


perubahan suhu. Meskipun batas toleransi karang terhadap suhu bervariasi
antara spesies dan antar daerah pada spesies yang sama, tetapi dapat
dinyatakan bahwa karang dan organisme terumbu hidup pada suhu dekat
dengan batas toleransinya. Suhu optimum untuk pertumbuhan karang di
perairan adalah berkisar antara 23- 30 oC dengan suhu minimum 18 oC. Namun
o
hewan karang masih bisa hidup sampai suhu 15 C, tetapi akan terjadi
penurunan pertumbuhan reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium
karbonat (Arini, 2013).

2. Cahaya
Cahaya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pertumbuhan hewan
karang mengingat hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae)
yang melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosintesis
berkurang dan kemampuan karang menghasilkan kalsium karbonat pembentuk
terumbu juga akan berkurang. Jumlah spesies terumbu karang dapat berkurang

11
secara nyata pada kedalaman penetrasi cahaya sebesar 15-20% dari penetrasi
permukaan yang secara cepat menurun mulai dari kedalaman 10 m (Mellawati
et al., 2012).
3. Salinitas
Salinitas ideal bagi pertumbuhan karang adalah berkisar 30-360/00, air
tawar dengan sanilitas rendah dapat membunuh karang. Oleh karena itu karang
tidak dijumpai pada sungai maupuan muara sungai yang memiliki salinitas
rendah (Giyanto et al, 2017).

4. Sedimentasi

Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan


pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan
berkembang. Sedimentasi dapat menutupi karang dan menghalangi proses
makannya, dan juga dapat mengurangi cahaya yang diperlukan oleh
zooxanthellae dalam melakukan fotosintesis (Nybakken, 1992). Beberapa
kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah
semakin tingginya aktivitas pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak,
pembukaan hutan (Arini, 2013).
5. Kualitas perairan

Perairan yang tercemar baik yang di akibatkan karena limbah industri


maupun rumah tangga akan menganggu pertumbuhan dan perkembangan
karang. Perairan dapat saja menjadi keruh dan kotor karena limbah pencemar
ataupun penuh dengan sampah, bahan pencemar tentu saja akan berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan karang, sedangkan perairan yang keruh dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dasar perairan sehingga menganggu proses
fotosintesis pada zooxanthellae yang hidup bersimbiosis dengan karang
(Giyanto et al, 2017).
6. Arus dan sirukulasi air laut

Arus dan sirkulasi air laut diperlukan dalam penyuplaian yang diperlukan
dalam proses pertumbuhan karang dan suplai oksigen dari laut lepas, selain itu
arus dan sirkulasi air laut juga berperan dalam proses pembersihan dari
endepan material yang menempel pada polip karang (Giyanto et al, 2017).

7. Substrat
Substrat keras sangat tepat unuk larva karang menempel dan tumbuh
dengan sifat substratyang keras larva karang mampu mempertahankan diri dari

12
hampasan ombak dan arus yang kuat (Aldila,2011).
2.3 Manfaat dan Fungsi Terumbu Karang
a. Manfaat Terumbu Karang
Secara umum manfaat terumbu karang dalam Lampiran Keputusan mentri
Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 adalah sebagai berikut:
1. Pelindung pantai dari angin, pasang surut, arus dan badai.
2. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati yang diperlukan bagi
industri pangan, bioteknologi, dan kesehatan.
3. Tempat hidup ikan-ikan, baik ikan hias maupun ikan target, yaitu ikan-ikan
yang tinggal di terumbu karang.
4. Tempat perlindungan bagi organisme laut.
5. Penghasil bahan-bahan organik sehingga memiliki produktivitas organik yang
sangat tinggi dan menjadi tempat mencari makan, tempat tinggal, dan
penyemaran bagi komunitas ikan.
6. Bahan kontruksi jalan dan bangunan, bahan baku industri dan perhiasan,
seperti karang batu.
7. Daerah perikanan tangkap dan wisata karang yang secara sosial ekonomi
memiliki potensi yang tinggi.
8. Perlindungan pantai terhadap erosi gelombang.

b. Fungsi Terumbu Karang


Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam,
menurut Amin (2009), dapat diklasifikasikan menurut fungsinya yaitu:
1. Fungsi pariwisata
Terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan
sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beranekaragam. Keindahan
karang, kekayaan biologi dan kejernihan airnya membuat kawasan terumbu
karang terkenal sebagai tempat rekreasi, diving atau snorkeling, SCUBA dan
fotografi adalah kegiatan yang umumnya untuk menikmati terumbu karang.
2. Fungsi perikanan
Terumbu karang merupakan tempat tinggal ikan-ikan karang yang harganya
mahal, sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan terumbu karang. Jumlah
panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari di seluruh
dunia mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan
dunia.

13
3. Fungsi perlindungan pantai
Jenis terumbu karang yang berfungsi untuk melindungi pantai adalah terumbu
karang tepi dan penghalang. Jenis terumbu karang ini berfungsi sebagai
pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan
peristiwa perusakan lainnya yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu
karang juga memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan
memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-
desa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lainnya yang
berada di sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah
untuk membuat penghalang buatan yang setara dengan terumbu karang.
4. Fungsi biodiversitas
Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas dan keanekaragaman
jenis biota yang tinggi. Keanekaragam hidup di ekosistem terumbu karang per
unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di
hutan tropis. Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu
ekologi. Potensi untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker dan
penggunaan lainnya sangat tinggi.
2.4 Monitoring Umum Terumbu Karang
Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi
penutupan terumbu karang. Menurut Rudi dan Yusri (2013), metode monitoring
dapat dibedakan sebagai berikut :
2.4.1 Metode Monitoring Skala Luas
1. Manta Tow

Ilustrasi Metode Manta Tow


Metode manta tow bertujuan untuk mengamati perubahan secara
menyeluruh pada komunitas bentik yang ada pada terumbu karang, termasuk
kondisi terumbu karang tersebut. Metode ini sangat cocok untuk memantau

14
daerah terumbu karang yang luas dalam waktu yang pendek, biasanya untuk
melihat kerusakan akibat adanya badai topan, bleaching, daerah bekas bom dan
hewan Acanthaster plancii (Bulu seribu). Teknik ini juga sering digunakan untuk
mendapatkan daerah yang mewakili untuk di survei lebih lanjut dan lebih teliti
dengan metoda transek garis.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan Metode Manta Tow adalah:
1) Sebuah area yang luas dapat disurvei dalam waktu singkat.
2) Gampang dilakukan setelah pelatihan sederhana dan singkat.
3) Membutuhkan peralatan yang murah.
4) Pengamat tidak akan kelelahan untuk memonitor wilayah yang luas.

Sementara itu, kekurangan metode Manta Tow ini adalah:


1) Hewan-hewan yang biasa bersembunyi (cryptic) gampang terlewati.
2) Monitoring dapat dilakukan pada lokasi di luar terumbu secara tidak
sengaja.
3) Peneliti sangat sulit mengingat bila terlalu banyak variabel yang diamati.
4) Dapat dilakukan pada terumbu karang dangkal saja, khususnya bila
visibilitas/kecerahan perairan rendah.
5) Hanya dapat mengukur penutupan kategori dalam kategori yang luas,
misalnya 0-10%, 11-30%.
6) Ketelitian sangat terbatas akibat kesulitan secara visual menilai
organisme terumbu karang yang sangat dominan secara cepat.
2. Timed Swim

Ilustrasi Timed Swim

Metode Timed Swim adalah metode yang dikembangkan untuk skala luas
ataupun sedang, misalnya dalam sistem peringatan dini cepat dalam melihat
suatu perubahan penutupan karang, perikanan dengan bom atau bleaching.
Dengan metode ini, pengamat berenang pada suatu kedalaman dan kecepatan
yang konstan selama waktu tertentu.

15
Metode Timed Swim memberikan beberapa keuntungan antara lain:
1) Memberikan keakuratan yang lebih besar dibanding Manta Tow karena
waktu yang lebih lama dan area yang disurvei lebih dekat untuk dilihat.
2) Tidak memerlukan training khusus.
3) Area yang luas dapat disurvei dalam waktu singkat.
4) Sangat berguna untuk memperoleh daftar spesies yang ada di suatu
wilayah
5) Murah, tidak membutuhkan kapal
Namun, metode ini memiliki kekurangan antara lain:
1) Sangat melelahkan.
2) Sulit dilakukan jika kawasan pengamatan sangat luas.
3) Subyektifitas pengamat dapat menyebabkan data menjadi bias.
4) Pengukuran hanya berdasarkan perkiraan.
5) Tidak dapat mendeteksi perubahan yang kecil dalam ekosistem.

2.4.2 Metode Monitoring Skala Sedang (Medium Scale)


1. PIT (Point Intercept Transect)

Ilustrasi Metode Point Intercept Transect

Metode ini adalah metode transek yang paling sederhana. Pengamat


berenang sepanjang transek garis dan mencatat kategori bentik yang terletak
tepat dibawah transek pada titik-titik tertentu (poin) di sepanjang transek.
Kelebihan :
1) Daerah cakupan kecil
2) Waktu pengamatan tidak terlalu lama
3) Data kuantitatif, sehingga data lebih akurat.
4) Mudah dipelajari bagi pemula.

16
Kekurangan :
1) Tidak dapat dilakukan untuk mengambil data di tubir dan kawasan
bergua.
2) Jumlah titik (poin) yang dibutuhkan harus disesuaikan kondisi dilapangan.
3) Tidak cocok untuk jenis-jenis yang jarang ditemui.
4) Informasi tentang ukuran koloni karang tidak dapat diperoleh.
2. LIT (Line Intercept Transek)

Ilustrasi Metode Transek Garis

Metode LIT digunakan untuk menentukan besarnya persentase


penutupan masing-masing kategori komunitas benthik. Metode ini dapat
digunakan secara tersendiri maupun dengan mengkombinasikannya dengan
metode lain seperti Metode Kuadrat atau visual sensus ikan. Metode ini sangat
direkomendasikan oleh Global Coral Reefs Monitoring Network (GCRMN) untuk
menentukan tujuan persentase penutupan dan ukuran koloni pada monitoring di
tingkat managemen (pengelola).
Keuntungan dengan Metode LIT ini adalah:
1) Kategori lifeform memungkinkan didapatkannya informasi yang berguna
oleh pengamat dengan pengetahuan terbatas dalam identifikasi
komunitas benthik terumbu karang.
2) Data kuantitatif sehingga lebih akurat
3) Merupakan metode sampling data yang gampang dan efisien untuk
memperoleh persentase penutupan kuantitatif.
4) Dapat menyajikan informasi secara detail terhadap pola spasial.
5) Jika dapat diulang pada waktu yang diinginkan, maka akan menyediakan
informasi perubahan temporal.

17
6) Bisa mendapatkan ukuran koloni karang, yang merupakan indikator
stabilitas komunitas
7) Memerlukan peralatan minimal dan relatif sederhana.
8) Dapat mengukur kerapatan relatif
9) Dapat dikombinasikan dengan teknik serupa, misalnya belt dan video
transect maupun sensus ikan.
10) Informasi mengenai ukuran koloni dapat diperoleh.
Kekurangan metode LIT ini adalah:
1) Sangat sulit untuk standarisasi beberapa ketegori lifeform di antara
sejumlah pengamat.
2) Tujuannya hanya terbatas pada data persentase penutupan dan atau
kelimpahan relatif.
3) Pengamat haruslah penyelam yang baik.
4) Tidak dapat digunakan untuk masalah-masalah demografi seperti
pertumbuhan, rekrutmen dan mortalitas.
5) Tidak bagus digunakan untuk pendugaan kuatitatif persentase penutupan
spesies yang jarang atau kecil.
6) Memerlukan waktu yang lebih lama sehingga biaya juga meningkat.
7) Membutuhkan keahlian khusus sesuai dengan tingkat presisi data dan
informasi yang diinginkan.
8) Tidak bisa digunakan untuk biota yang jarang ditemukan atau terlalu kecil.
2.4.3 Metode Pemantauan Skala Detail
1. Quadran

Ilustrasi Quadran
Metode ini termasuk metode yang cukup komprehensif dan dapat
digunakan untuk mengamati berbagai macam parameter. Dalam sebuah
kuadrat, pengamat dapat mengamati banyak hal dari yang umum hingga
mendetil.

18
Kelebihan:
1) Dapat melihat perubahan kecil.
2) Cocok untuk jenis-jenis yang kecil, jarang, atau yang suka bersembunyi.
3) Informasi mendetil mulai dari persentase tutupan, kelimpahan, hingga
frekuensi.
Kekurangan :
1) Memakan banyak waktu
2) Penempatan kuadrat dapat merusak karang jika tidak hati-hati.
3) Tidak cocok untuk biota yang berukuran lebih dari 1 m.
2. Transek Sabuk

Ilustrasi Metode Transek Sabuk

Secara umum metode ini digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu


populasi makro-invertebrata tertentu di terumbu karang, biasanya adalah spesies
yang mempunyai pengaruh ekologi pada terumbu seperti Acanthaster planci,
Drupella, Gastropoda dan Diadema. Metode ini dapat juga digunakan untuk
menghitung populasi karang tertentu seperti Fungia spp dan karang-karang hias
ataupun visual sensus untuk ikan.
Metode ini sudah sangat umum dan dikembangkan dengan baik oleh
Reef Check. Dengan metode ini sepasang penyelam yang berenang sepanjang
sabuk (belt) dan menghitung kelimpahan kelompok invertebrata target, selain
kesehatan terumbu atau kerusakan secara fisik. Informasi yang diperoleh dapat
berupa dugaan kelimpahan makro-invertebrata tertentu. Untuk mendapatkan
hasil yang lebih tepat dalam mendeteksi perubahan lokal, maka dapat dilakukan
jumlah ulangan yang lebih banyak dan menambah frekuensi monitoring
(misalnya lebih dari empat kali dalam setahun).

19
Beberapa keuntungan dengan menggunakan metode ini adalah:
1) Biaya yang murah
2) Khususnya dengan menggunakan tenaga sukarela
3) Proses pembelajaran dan membangkitkan kepedulian
4) Memberikan gambaran global kesehatan terumbu karang
5) Pengulangan survey dapat dilakukan sebagai suatu program monitoring
lokal.
Sementara itu kekurangan metode ini adalah secara idealnya
pengulangan dilakukan lebih dari 4 kali per site dan lebih dari 4 kali survey
dilakukan dalam setahun supaya data dapat dibandingkan, dengan demikian hal
ini akan menambah mahal biaya operasional.
3. UPT (Underwater Photo Transect)

Ilustrasi Metode Underwater Photo Transect (UPT)

Metode ini merupakan metode yang terbaru dari COREMAP-CTI (2014)


lembaga ilmu pengetahuan Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi LIPI yang
berkompeten dalam melakukan standarisasi metode monitoring karang di
Indonesia mengadopsi metode yang disebut UPT (Underwater photo Transect).
Sepintas metode ini hampir sama dengan LIT-peralatan dan bahan research,
hanya saja UPT memanfaatkan perkembangan teknologi kamera digital dan
piranti lunak computer. Observer tidak perlu berlama-lama dalam air namun
cukup melakukan pemotretan pada substrak karang sepanjang transek lalu
melakukan analisa data kuantitatif reefs life form dengan bantuan software CPCe
(Coral Point Count With Excel extensions) yang dikembangkan oleh NCRI
(National Coral Reef Institute) yang berbasis di Florida Amerika Serika).
Pada metode UPT diperlukan minimal kualifikasi selam A2. Kemampuan
melakukan underwater photograph sangat menunjang. Selain itu,manajemen
data photo hasil pengamatan sangat penting di perhatikan.Hal ini tentu saja
terkait dengan kemudahan dalam analysis hasil pengamatan.

20
2.4.4 Software CPCe (Coral Point Count With Excel extensions)

Coral Point Count With Excel extensions adalah program Visual Basic
yang memfasilitasi secara otomatis dan cepat proses analisis perhitungan titik
secara random. CPCe dikembangkan oleh National Coral Reef Institute’s (NCRI)
bertujuan untuk menyediakan alat yang berguna bagi para peneliti, pengelolaan
terumbu karang dan individu yang terlibat dalam pemantauan terumbu karang,
penilaian dan pemulihan. CPCe dibuat dan tersedia secara gratis untuk
masyarakat ilmiah sebagai hak cipta freeware dan tidak bisa dijual, dimodifikasi
atau didistribusikan ulang (Kohler dan Gill, 2006).
CPCe merupakan piranti lunak yang dapat diunduh secara bebas. CPCe
digunakan untuk menghitung luas area dan pemilihan sampling titik (Giyanto,
dkk., 2014). Foto-foto hasil pemotretan bawah air di setiap interval 1m garis
transek selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan data-data kuantitatif seperti
persentase tutupan masing-masing biota atau substrat. Saat ini terdapat piranti
lunak pemrosesan analisis foto antara lain Sigma Scan Pro, Image J ataupun
CPCe (Coral Point Count With Excel extensions).
Data kuantitatif didapatkan dengan menganalisis setiap frame pada foto
dengan melakukan pemilihan sampel titik secara acak. Teknik ini digunakan
dengan menentukan banyaknya titik acak (Random Point) yang dipakai untuk
menganalisis foto. Jumlah titik acak yang digunakan sebanyak 30 buah untuk
setiap framenya, dan telah representative untuk menduga persentase tutupan
kategori dan substrat. Teknik ini merupakan aplikasi dari penarikan sampel,
dimana sebagai populasinya adalah semua biota dan substrat yang terdapat
dalam frame foto, sedangkan sampelnya adalah titik-titik yang dipilih secara acak
pada foto tersebut. Data yang dicatat hanyalah biota dan substrat yang berada
tepat pada posisi titik yang telah ditentukan secara acak oleh Software CPCe
(Giyanto, dkk., 2014).

21
2.5 Pemetaan Sebaran Terumbu Karang

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk melakukan metode


analisis geospasial, memberikan informasi tentang ekosistem terumbu karang
terbukti memiliki keunggulan efektivitas biaya. Teknologi dan metode analisis
data penginderaan jauh untuk kajian pemetaan ekosistem terumbu karang
digunakan sebagai pendekatan dalam menyediakan informasi geospasial yang
akurat yang digunakan untuk berbagai kebutuhan. Pemanfaatan informasi
geospasial ekosistem terumbu karang didominasi untuk kebutuhan pemantauan,
perencanaan dan pengelolaan kawasan. Kebutuhan akan perencanaan atau
pengelolaan kawasan akan berbeda pada setiap segmen peruntukannya yang
pada akhirnya akan berbeda membedakan tingkat akurasi informasi geospasial
yang diberikan (Pusfatja, 2015).

Penelitian ini bertujuan menganalisis kemampuan data citra satelit landsat


8 menggunakan metode image processing untuk membuat peta sebaran
terumbu karang di perairan Pulau Kelapan, menganalisis luasan terumbu karang
di perairan dangkal Pulau Kelapan, dan menganalisis kondisi terumbu karang
(persentase tutupan,indeks kematian, dan keanekaragaman genus) berdasarkan
analisis data penyelaman di lapangan.

22
III. METODE PRAKTIK

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Waktu Kerja Praktik Akhir (KPA) ini dilaksanakan mulai Maret sampai
dengan Mei 2023. Lokasi KPA berada di perairan Botubarani Kecamatan Kabila
Bone Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo.

Gambar 2. Peta Lokasi KPA


3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Alat dan Bahan
Pada Kerja Praktik Akhir ada beberapa alat dan bahan yang digunakan
pada saat pengamatan kondisi terumbu karang dan pengambilan data kualitas
air dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 1. Alat dan Bahan

No Alat dan Bahan Kegunaan


1 Alat selam (scuba set) Mengambil data
2 Kapal motor Alat transportasi
3 Kamera bawah air Mengambil gambar
4 Frame (transek kuadrat) Pembatas daerah
5 Meteran roll Penarik garis transek
6 GPS Mengambil titik koordinat

23
7 Patok tanda Penanda transek
8 Tali nangsi Tali transek
9 Pelampung Penanda patok transek
10 Harddisk eksternal Menyimpan foto
11 Laptop Menganalisa foto
12 Program CPCe Mengolah data
13 Hand Refraktometer Pengambilan data salinitas
14 Termometer Pengambilan data suhu
15 Kertas Lakmus Pengambilan data pH
16 Secchii disk Pengambilan data kedalaman
17 Current drogue Pengambilan data arus

Sumber : Data Primer 2023.

3.2.2 Langkah Kerja


3.2.2.1 Persentase Tutupan Karang
Mengacu pada COREMAP-CTI (2014) tentang monitoring kesehatan
terumbu karang, praktik ini menggunakan metode UPT (Underwater Photo
Transect). Pengambilan data dengan menggunakan kamera digital bawah air
atau kamera digital biasa yang dilengkapi dengan pelindung (casing) sehingga
tahan terhadap rembesan air laut. Foto hasil pemotretan tersebut selanjutnya
dianalisis menggunakan Coral Point Count with Excel Extensions (CPCe) untuk
mendapatkan data yang kuantitatif.
Adapun langkah-langkah dalam pengambilan data terumbu karang
menggunakan metode Underwater Photo Transect adalah sebagai berikut:
1. Penentuan lokasi pengamatan dilakukan dengan memperhatikan faktor
keterwakilan, faktor keamanan transek, faktor keselamatan dan kenyamanan
kerja. Penempatan stasiun dipilih secara keterwakilan dari suatu lokasi yang
akan diamati.
2. Jika merupakan lokasi baru, beri nama stasiunnya dan catat posisi
koordinatnya dengan GPS. Jika merupakan lokasi lama (lokasi ulangan
untuk monitoring), pastikan posisi transek di lokasi penelitian sesuai dengan
koordinat posisi transek pengamatan yang tercatat sebelumnya (posisi
lintang dan bujur yang diperoleh berdasarkan pencatatan GPS).
3. Penyelam yang bertugas menarik garis transek mulai meletakkan garis
transek dengan menggunakan roll meter (pita berskala) sepanjang 50 meter
pada kedalaman yang telah ditentukan dan sejajar garis pantai, dimulai dari
titik awal sebagai meter ke-0. Ilustrasi penarikan garis transek ditampilkan

24
pada Gambar 5. Untuk keseragaman dalam penarikan garis transek, posisi
pulau berada di sebelah kiri garis transek.

Gambar 3. Ilustrasi Garis Transek


(A) Sepanjang 50 m dan (B) Penarikan Garis Transek
(COREMAP-CTI, 2014)

4. Setelah itu mulai dilakukan pengambilan data dengan melakukan


pemotretan bawah air, dimana sudut pengambilan foto tegak lurus terhadap
dasar substrat. Luas area minimal bidang pemotretan adalah 2552 cm 2 atau
(58 x 44) cm2 . Jika menggunakan kamera CANON G15, untuk memperoleh
luas bidang pemotretan sekitar 2552 cm2, pemotretan dilakukan pada jarak
60 cm dari dasar substrat. Penggunaan kamera lain tetap dimungkinkan
asalkan luas bidang pemotretannya minimal 2552 cm2.
Agar luasan bidang foto yang nantinya akan dianalisis memiliki luas
seragam sesuai dengan luas bidang yang diinginkan, maka dapat digunakan
frame yang terbuat dari besi dengan ukuran panjang 58 cm 2 dan lebar 44 cm2.
Jadi pengambil data hanya memotret substrat seluas ukuran frame besi tersebut.
Frame tersebut dicat dengan warna yang terang dan mudah terlihat (kontras
dengan warna substrat), dimana pada keempat bagian sudutnya dicat dengan
warna yang berbeda dengan warna yang berada pada sisi frame.
5. Pemotretan dimulai dari meter ke 1 atau yang bernomor ganjil pada bagian
sebelah kiri garis transek (bagian yang lebih dekat dengan daratan) sebagai
”Frame 1” (Gambar 6a), dilanjutkan dengan pengambilan foto pada meter
ke-2 atau yang bernomor genap pada bagian sebelah kanan garis transek
(bagian yang lebih jauh dengan daratan) sebagai ”Frame 2” (Gambar 6b)
dan seterusnya, sehingga untuk panjang transek 50 m diperoleh 50 buah
foto frame (”Frame 1” sampai dengan ”Frame 50”). Jadi untuk frame dengan
nomor ganjil (1, 3, 5,...,49) diambil pada bagian sebelah kiri garis transek

25
(Gambar 6a), sedangkan untuk frame dengan nomor genap (2, 4, 6,...,50)
diambil pada bagian sebelah kanan garis transek (Gambar 6b).

a b

Gambar 4. Pengambilan Foto Frame


(a)Frame bernomor Ganjil dan (b) Frame bernomor Genap
(DKP Provinsi Gorontalo, 2021).
6. Ilustrasi dalam pengambilan data dengan metode Transek Foto Bawah Air
dapat dilihat pada Gambar 7. Kotak-kotak yang bernomor pada Gambar 7,
menunjukkan nomor framenya, sekaligus menunjukkan pada meter
keberapa foto tersebut diambil pada garis transek. Untuk karang keras yang
berukuran kecil atau tempatnya agak tersembunyi sehingga diduga akan
sulit untuk diidentifikasi dari foto, dapat dilakukan pemotretan kembali
dengan jarak yang lebih dekat sebagai foto bantu untuk mengidentifikasi
nama jenisnya.

Gambar 5. Ilustrasi pengambilan data dengan metode UPT.


(Giyanto, 2012a; Giyanto, 2012b)
Pengambilan sampel di lapangan dengan menggunakan metode UPT,
datanya hanya berupa foto-foto hasil pemotretan bawah air. Selanjutnya foto-foto
tersebut masih perlu dianalisis di darat dengan menggunakan laptop untuk
mendapatkan data-data yang kuantitatif.

26
3.2.2.2 Penilaian Kondisi Terumbu Karang

Analisis kondisi terumbu karang dilakukan dalam beberapa tahap yaitu


pengumpulan data terumbu karang dan analisis foto transek. Pengambilan data
terumbu karang menggunakan metode transek foto (Giyanto, 2010). Dalam
metode ini, penyelam mengambil foto tutupan karang menggunakan kamera
bawah air. Perhitungan persentase tutupan terumbu karang dilakukan dengan
menggunakan program CPCe 4.1. Foto-foto terumbu karang yang diperoleh dari
hasil transek di lapangan kemudian dianalisis satu per satu untuk mendapatkan
data persentase tutupan terumbu karang per foto. Teknik analisis tutupan
terumbu karang adalah dengan membagikan minimal 10 titik secara acak
(random point) pada setiap foto, kemudian diberikan kategori yang diinginkan.
Pada penelitian ini kategori yang digunakan adalah coral (CO); lamun (SA);
makroalga (MA); substrat (SU); selotip, tongkat, dan bayangan (TWS). Setelah
semua foto dianalisis, data persentase tutupan terumbu karang secara
keseluruhan akan diperoleh dengan menyimpan file ke dalam format Excel.

3.2.2.3 Sebaran Terumbu Karang

Pengolahan data citra satelit menggunakan Personal Computer (PC) atau


laptop dengan perangkat lunak ENVI 5.2. Data citra satelit yang diolah adalah
citra SPOT-7 yang terekam pada 12 Juni lalu 2016 untuk menentukan luas
terumbu karang tahun 2016. Proses klasifikasi citra dilakukan dengan metode
Supervised Classification (Adji, 2014). Langkah-langkah dalam melakukan
analisis citra satelit, yaitu:

1. Pembentukan citra komposit dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan


gambaran umum informasi tentang data yang akan diproses. Komposit
RGB yang digunakan adalah band 4, 2, dan 1.
2. Koreksi geometrik dilakukan untuk mencocokkan koordinat citra dengan
koordinat data koreksi bidang dan radiometrik dilakukan untuk
meningkatkan kualitas visual gambar.
3. Pemotongan gambar untuk membatasi area yang akan dianalisis. Daerah
ini nanti akan diklasifikasikan sebagai habitat terumbu karang.
4. Metode klasifikasi menggunakan Supervised Classification dengan
panduan data lapangan yang memiliki persentase tutupan karang yang
diketahui dan menghasilkan beberapa nilai persentase yang berbeda.

27
5. Data lapangan yang diketahui persentase tutupan karangnya, kemudian
dipilih suatu nilai dominan. Nilai dominan digunakan sebagai area pelatihan
untuk klasifikasi terumbu karang.
6. Hasil klasifikasi kemudian disajikan dalam bentuk peta.
3.2.3 Pengolahan Data

Aplikasi CPCe Version 4.1 (Coral Point Count With Excel extension)
merupakan suatu aplikasi komputer yang dapat digunakan untuk menghitung
luasan dari substrat dasar suatu foto hasil pengamatan yang menggunakan
kamera digital bawah air (Giyanto et al., 2014). Selain dapat digunakan untuk
menghitung persentase tutupan substrat dasar dengan metode point count,
dapat juga digunakan untuk menghitung luasan dari masing-masing tipe substrat
dasar yang akan kita analisis. Adapun langkah-langkah dalam pengolahan data
antara lain :
a. Analisis berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan
komputer dan piranti lunak (software) CPCe. Sebanyak 30 sampel titik acak
dipilih untuk setiap frame foto dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai
dengan kode masing-masing kategori dan biota serta substrat yang berada
pada titik acak tersebut (Gambar 8).

Gambar 6. Proses Pengolahan Analisis Data dengan 30 Titik Sampel di Software


CPCe.(Giyanto, dkk., 2014)
b. Bentuk pertumbuhan yang akan dianalisis setidaknya memuat dua kategori
utama yaitu kelompok “Karang Hidup” dan “Karang Mati”.
c. Berdasarkan hasil proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame
foto, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap
frame.

28
d. Sebagai catatan banyaknya titik acak untuk setiap 1 foto adalah 30 titik
sehingga untuk 1 garis transek yang terdiri dari 50 buah foto maka
banyaknya titik acak 1.500 titik.
e. Nilai tutupan karang hidup untuk satu stasiun penelitian adalah sama dengan
nilai tutupan karang hidup untuk satu garis transek pada stasiun pengamatan
tersebut (bila hanya dilakukan satu transek saja pada setiap stasiun
penelitian).
f. Berdasarkan nilai tutupan karang hidup yang diperoleh, maka dapat
ditentukan status kondisi terumbu karang.

3.3 Analisis Data


3.3.1 Persentase Tutupan Karang
Analisis berdasarkan foto hasil pemotretan dilakukan menggunakan
komputer dan piranti lunak (software) CPCe (Giyanto dkk., 2014). Aplikasi CPCe
Version 4.1 (Coral Point Count With Excel Extension) merupakan suatu aplikasi
komputer yang dapat digunakan untuk menghitung luasan dari substrat dasar
suatu foto hasil pengamatan yang menggunakan kamera digital bawah air.
Selain dapat digunakan untuk menghitung persentase tutupan substrat dasar
dengan metode point count, dapat juga digunakan untuk menghitung luasan dari
masing-masing tipe substrat dasar yang akan kita analisis. Sebanyak 30 sampel
titik acak dipilih untuk setiap frame foto dan untuk setiap titiknya diberi kode
sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota serta substrat yang
berada pada titik acak tersebut.
Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame
foto maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap frame
dihitung berdasarkan rumus (English dkk., 1997) sebagai berikut.

( jumlah titik kategori tersebut)


Persentase tutupan Kategori = ×100 %
(banyaknya titi acak)

3.3.2 Penilaian Kondisi Terumbu Karang.


Setelah seluruh foto diidentifikasi, maka akan diperoleh nilai tutupan
karang dan selanjutnya ditampilkan hasil analisis foto dengan menggunakan
Microsoft Excel. Penilaian Kondisi terumbu karang berdasarkan persentase
tutupan karang hidup mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.4

29
tahun 2001 tentang kriteria baku kerusakan terumbu karang.Status terumbu
karang dikelompokkan atas 4 kategori sebagai berikut:
a. Baik sekali : 75%-100%
b. Baik : 50%-74,9%
c. Sedang : 25%-49,9%
d. Buruk : 0%-24,9%

3.3.3 Sebaran Terumbu Karang

Citra data satelit yang digunakan adalah Landsat 8.0 Tahun 2023, data
tersebut digunakan untuk mengidentifikasi persebaran terumbu karang spasial
dan mengukur luasan terumbu karang ada pada saat pengambilan data gambar.
Informasi Terumbu karang spasial diperoleh dengan pendekatan penginderaan
jauh. Banyak ekosistem terumbu karang ditemukan di daerah perairan dangkal
yang dapat memudahkan interpretasi dengan spektrum tampak. Spektrum yang
terlihat memiliki panjang gelombang 0,4-0,7 mikrometer dan terdiri dari warna
biru (0,4-0,5 mikrometer), warna hijau (0,5-0,6 mikrometer), dan merah (0,6-0,7
mikrometer). Spektrum tampak dapat ditembus hingga kedalaman 20 m. Lihat
informasi mengenai terumbu karang dan persebaran terumbu karang dapat
diinterpretasikan dari Citra Landsat, dengan pendekatan Algoritma Lyzenga
dapat melihat klasifikasi seperti karang, daerah berpasir, rumput laut, bebatuan,
hingga daerah berlumpur. Studi ini akan menembak pada klasifikasi area
berpasir dan area Tersusun,untuk mendapatkan objektivitas dari
penelitian.dentifikasi persebaran terumbu karang telah dilakukan dengan
menganalisis citra Landsat ETM 8. Gambar Landsat ETM 8 dapat digunakan
untuk bantuan sebaran terumbu karang dengan kombinasi pita terlihat (x) dan
infra merah dekat dan media, yaitu dengan membuat citra konfigurasi RGB band
542 dan 421 melalui algoritma tertentu. Proses analisis disajikan dalam diagram
alir pada Gambar 1. Penggunaan RGB 542 terutama ditujukan untuk melihat
sebaran karang secara keseluruhan sementara RGB 421 digunakan untuk
mengekstrak digit nilai nomor (DN) dalam analisis menggunakan algoritma. Band
ini adalah band yang dapat digunakan untuk tujuan berikut:

 Band 5 : pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan


batuan
 Band 4 : perlakuan material Bimas dan delineasi tanaman air
 Band 2: perbedaan tingkat kesuburan vegetasi

30
 Band 1: tingkat kekeruhan air dan untuk analisis karakteristik penggunaan
lahan dan vegetasi yang khas.

Dari tahap ini diperoleh gambaran baru dari transformasi Lyzenga. Gambar
yang telah mengalami algoritma Lyzenga komposisi warna baru akan muncul, di
mana daratan akan menjadi hitam saat air dangkal dibagi menjadi beberapa
kelas warna, yaitu:

 Warna abu-abu menunjukkan pasir,


 Cyan ke arah hijau dan menunjukkan hijau tua karang,
 Ungu ke biru adalah laut/air.

Klasifikasi citra yang dilakukan adalah klasifikasi diawasi mengacu pada ke


gambar baru yang dihasilkan dari penerapan model Lyzenga.Survei lapangan
dan pengumpulan data sekunder dilakukan untuk memverifikasi hasil klasifikasi
citra. Digitalisasi di layar dilakukan jika lokasi ditemukan terumbu karang yang
tidak teridentifikasi dari gambar tetapi ditemukan di lapangan dan didukung oleh
data sekunder. Di gitalisasi di layar atau interpretasi manual berdasarkan unsur
penafsiran, mengacu pada karakteristik spasial dan karakteristik spektral
gambar. Pendekatan yang dilakukan dalam interpretasi gambar manual dalam
kegiatan ini adalah dengan cara mengidentifikasi identitas dan jenis objek dalam
gambar dengan berdasarkan karakteristik atau atribut objek objek dalam gambar
dengan menggunakan elemen interpretasi terlihat pada gambar. Karakteristik
objek yang digambarkan dalam gambar dapat dikenali oleh menggunakan
delapan unsur interpretasi, yaitu hue atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola,
bayangan,lokasi atau situs, dan asosiasi penampilan objek.

31
DAFTAR PUSTAKA

Arini, D. I. D. (2013). Potensi Terumbu Karang Indonesia; Tantangan dan


Upaya Konservasinya. Info Balai Penelitian Kehutanan, 3(2), 147–172.

Burke LE, Selig, Spalding M. 2002. Reef At Risk In Southeast Asia. World
Resources Institute.

Coremap-CTI, & P2O-LIPI. (2015). Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan


Ekosistem Terkait Lainnya. 45.

English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine


Resource. Asean – Australia Marine Science Project Living Coastal
Resource. Australian Institude of Marine Science. Townsville. 390p

Hadi, T.A., Giyanto., Prayudha, B., Hafizt, M., Budiyanto, A., Suharsono. 2018
Status Terumbu Karang Indonesia 2018. Jakarta Utara : Pusat Penelitian
Oseanografi-LIPI

Hazrul., R. D. Palupi dan R. Ketjulan. 2016. Identifikasi Penyakit Karang (Scleractinia)


di Perairan Pulau Saponda Laut, Sulawesi Tenggara. Sapa Laut 1(2) :32-41. ISSN
2503-0396.

Hendrarto, B. Sulardiono, B. 2014. Analisis Densitas Teripang (Holothurians)


Berdasarkan Jenis Tutupan Karang Di Perairan Karimun Jawa, Jawa
Tengah. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Hidup, M. N. L. (2001). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4


Tahun 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.

Mellawati, J., Susiati, H. SBS, Y. 2012. Pemetaan Awal Terumbu Karang di


Ekosistem Pantai Sekitar Calon Tapak PLTN Bangka Selatan. Prosiding
Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir. Badan Tenaga Nuklir
Nasional. Jakarta

Nybakken, J. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Ahli Bahasa, H.


Muhammad Eidman et al. Cetakan ke 2. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama. 445 hlm.

Najmi N, Boer M, Yulianda F. 2016. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di


Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pesisir Timur Pulau Weh. Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis 2(8):781-790.

Octavina C, Asri ZH, Purnawan S, Ulfah M. 2018. Coral Bleaching Percentage


InKrrung Raya Waters, Aceh Besar. Internasional Journal of Science: Basic
and Applied (IJSBAR) 40(2): 116-123.

Rizal S, Pratomo A, dan Irawan H. 2018. Tingkat Tutupan Ekosistem Terumbu


Karang Di Perairan Pulau Terkulai. Jurnal Ilmu Kelautan Dan Perikanan.

Rizal A,Dkk. 2022. Sebaran Dan Kondisi Terumbu Karang Di Kepulauan


Kagean. Jurnal Pusat Riset dan SDM Kelautan Dan Perikanan,KKp.

32
Rumkorem OLY, Kurnia R, Yulianda F. 2019. Asosiasi Antara Tutupan
Komunitas Karang Dengan Komunitas Ikan Terumbu Karang Di Pesisir
Timur Pulau

Souter DW, Linden O. 2000. The Health And Future Of Coral Reef System.
Ocean And Coastal Management 43: 657-688.
Suryono, Wibowo E, Ario N, Taufik N, Nuraini RAT. 2018. Kondisi Terumbu
Karang Di Perairan Pantai Empu Rancak, Mlonggo, Kabupaten Jepara.
Jurnal Kelautan Tropis 21(1):49-54.

Suharsono. 2008. Jenis-Jenis Karang Indonesia. Jakarta: LIPI Press

Suharsono. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. Jakarta :


COREMAP CTI LIPI

Supriharyono. 2017. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah


Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Siringoringo RM, Hadi TA. 2013. Kondisi Dan Distribusi Karang Batu (Scleractinia
corals) Di Perairan Bangka. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 5(12):
273-285.

Sirait, M. 2011. Sebaran Terumbu Karang Provinsi Gorontalo.http://www.


ittc.co.id/artikel/index.php?id_tulisan=12. (9 November 2011)

Yusuf, S., dkk. 2015. Kondisi Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait di
Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Universitas Hasanuddin dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Coremap CTI. 49 halaman.

Wahyudin Y. 2011. Karakteristik Sumberdaya Pesisir Dan Laut Kawasan Teluk


Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Bonorowo Wetlands.
1(3).

33

Anda mungkin juga menyukai