Bahan Ruang Kolaborasi
Bahan Ruang Kolaborasi
KASUS I
Seorang anak mengalami kesulitan untuk bergaul bersama teman-temannya dan cenderung lebih suka
menyendiri. Di kelas, ia memilih untuk duduk dibangu paling belakang pojok. Ketika ada siswa lain yang
mendekat, sebetulnya ia tidak menolak, hanya saja tidak ada interaksi yang terjalin dengan baik bersama
dengan si teman yang mendekat. Guru-guru sudah berupaya untuk melibatkan anak tersebut dalam
interaksi selama pembelajaran, namun tidak pernah membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Si
anak masih tetap suka menyendiri seperti kebiasaanya.
Saat dilakukan homevisit, diketahui bahwa anak ini tinggal bersama dengan Kakek dan Neneknya,
sementara Ibu dan Ayahnya sudah bercerai. Ayahnya menikah lagi dan memiliki keluarga baru,
sedangkan Ibunya bekerja sebagai TKW di luar negeri selama bertahun-tahun. Meski demikian,
kebutuhan si anak belum juga tercukupi dengan baik sehingga ia seringkali kekurangan.
KASUS II
Seorang anak tunarungu dan tunawicara dapat berkembang menjadi atlet bola voli tingkat Provinsi.
Dengan kebutuhan istimewanya, dia bisa membawa nama harum keluarga dan sekolahnya. Ia tidak
pernah minder meskipun sekolah di sekolah inklusi, yang mana tidak semua siswanya memiliki
kebutuhan istimewa seperti dirinya. Ia tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, dan hanya beberapa
matapelajaran yang bisa ia lewati dengan nilai ketuntasan minimum. Ia masuk ke sekolah tersebut
menggunakan piagam penghargaan dan sertifikat lomba bola voli yang dikoleksinya sejak kecil. Namun
ia bisa berteman dengan banyak orang dan bahkan memperoleh banyak sekali dukungan. Setiap ia lomba,
sekolah selalu membuatkannya poster berisi seruan semangat. Teman-temannya juga menyemangati
dengan cara mereka masing-masing.
Keluarganya sejak awal menolak menyebutnya anak dengan ketunaan, tetapi memilih untuk mengabaikan
itu semua dan mulai mengeksporasi kemampuannya. Dimulai dari hal sederhana hingga bertemulah
dengan bakat voli yang dimilikinya. Ibunya kekeh memasukkan sang anak ke klub bola voli meskipun
harus banyak biaya yang dikeluarkan. Selain itu, sang Ibu juga rutin membawanya diskusi dengan
psikolog dan dokter tumbuh kembang.
KASUS III
Segerombolan siswa kelas VII SMP sedang saling menunggu rekannya untuk melakukan aksi tawuran.
Mereka direkrut oleh kakak tingkatnya menjadi anak buah baru dalam aksi tawuran yang sering terjadi.
Tawuran kebanyakan terjadi dengan sekolah lain yang juga sama-sama memiliki gerombolan tertentu.
Guru sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya tawuran, bahkan sejak awal
mereka masuk ke SMP. Orangtua pun sudah banyak berpesan kepada anaknya masing-masing, dan sudah
mendapatkan pengarahan dari pihak sekolah. Namun ternyata pengaruh teman sekelompok jauh lebih
kuat dibandingkan dengan upaya pencegahan yang dilakukan sehingga mereka tetap terlibat aksi tawuran.
Padahal sudah banyak contoh yang bisa disaksikan, bahwa tawuran bisa berakibat banyak hal, misalnya
luka, ditangkap oleh Satpol PP, dikeluarkan dari sekolah, dan lain sebagainya. Tetapi hal tersebut tidak
membuat jera seluruh siswa.
Dari kondisi tersebut, mohon diskusikan dalam kelompok.
1. Bagaimana perkembangan peserta didik dilihat dari teori perkembangan? Berhasil atau tidak?
Mengapa?
2. Mohon analisis, faktor apa yang membuat peserta didik memiliki pengalaman seperti tersebut?
3. Dalam proses sebagai guru BK, apa yang bisa direncanakan untuk mengendalikan kondisi
tersebut supaya tidak/ bisa terjadi di sekolah?
1. Jika ditinjau dari keadaan peserta didik, yang termasuk keadaan anak berkebutuhan khusus
(ABK) karena mengidap tuan rungu dan wicara.
Perlu diingat bahwa interaksi antara faktor-faktor ini bersifat kompleks dan unik
untuk setiap individu. Kombinasi dukungan dari keluarga, teman, sekolah, bakat
alami, dan keinginan pribadi merupakan elemen-elemen yang bersatu untuk
membentuk pengalaman positif dan perkembangan peserta didik dalam cerita
tersebut.
3. Dalam proses sebagai guru BK, apa yang bisa direncanakan untuk mengendalikan kondisi
tersebut supaya tidak/ bisa terjadi di sekolah
Sebagai guru Bimbingan Konseling (BK), Anda memiliki peran penting dalam
membantu mengendalikan dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi
semua peserta didik, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus. Berikut
beberapa strategi yang dapat Anda rencanakan untuk menciptakan lingkungan
inklusif dan mendukung: