Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pelayanan kesehatan telah berkembang menjadi industri jasa dalam masyarakat modern,
dan masyarakat selalu membutuhkan produk dan layanannya. khususnya di bidang jasa industri
farmasi. Untuk membantu pasien mendapatkan obat yang masuk akal, orientasi pelayanan yang
semula berorientasi produk diubah menjadi berorientasi pasien, sehingga menyebabkan
perluasan apotek dan layanan penunjang kesehatan lainnya (Lestari, 2016).
Kegiatan yang berkaitan dengan layanan kefarmasian yang dulunya hanya berkaitan
dengan penanganan obat sebagai suatu komoditas telah diperluas hingga mencakup serangkaian
layanan yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Untuk terlibat dalam
interaksi langsung dengan pasien, profesional farmasi harus meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku mereka sebagai akibat dari perubahan perspektif ini. Memberikan
informasi, mengawasi penggunaan narkoba, dan mengetahui tujuan penggunaan narkoba, yang
diharapkan dan terdokumentasi dengan baik, adalah beberapa contoh dari bentuk keterlibatan ini
(Bertawati, 2013). Kesalahan atau kesalahan pengobatan dapat timbul pada saat proses
pelayanan akibat tidak dilaksanakannya kegiatan pelayanan kefarmasian secara prima
(Permenkes, 2014).
Pelayanan farmakologi adalah pelayanan langsung dan akuntabel yang diberikan kepada
pasien mengenai sediaan farmakologis untuk memberikan hasil yang terukur dan meningkatkan
kualitas hidup pasien (Permenkes, 2016) Pelayanan kefarmasian telah berkembang dari yang
semula hanya terfokus pada pengelolaan obat (drug orientated) menjadi pelayanan komprehensif
yang terdiri atas pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik, dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan tetap berpegang pada standar kefarmasian
(Permenkes, 2016).
Perasaan senang atau tidak puas pasien diartikan sebagai persepsi hasil dibandingkan
dengan harapan (Supranto, 2011). Praktik mengharapkan kesempurnaan dan mengendalikan
keunggulan ini untuk memuaskan harapan klien adalah kualitas layanan (Tjiptono, 2005).
Kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan akan berdampak besar terhadap kepuasan
mereka. Jika pelayanannya sesuai dengan harapan pelanggan, maka mereka akan senang.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004
memuat persyaratan pelayanan kefarmasian yang telah disiapkan oleh pemerintah. Standar
pelayanan ini ditetapkan sebagai hasil perkembangan bidang farmasi sebagai sumber pelayanan
kesehatan masyarakat. Saat ini, pasien yang mencari pelayanan kefarmasian lebih fokus pada
pelayanan kefarmasian dibandingkan obat-obatan. Pelayanan yang diberikan oleh apoteker di
apotek diharapkan dapat dievaluasi oleh pasien sendiri. Pasien yang puas dengan pelayanannya
akan memiliki kecenderungan kuat untuk menggunakan kembali layanan yang disediakan oleh
penyedia layanan tersebut di masa mendatang (Prabandari, 2017).
Layanan resep dan non-resep adalah dua kategori utama penawaran farmakologis di
apotek. Pelayanan resep adalah suatu prosedur yang melibatkan pemberian perintah tertulis resep
obat diberikan kepada apoteker oleh ahli medis, ahli gigi, atau dokter hewan. Layanan
pengobatan sendiri atau layanan bebas adalah layanan yang ditawarkan kepada pasien tanpa
resep dokter (Dianita dan Latifah, 2017).
Menurut penelitian (Pratiwi dkk., 2016) Bukti tidak langsung, ketergantungan, daya
tanggap, empati, dan jaminan hanyalah beberapa komponen kualitas layanan yang berdampak
pada kepuasan klien. Faktor yang paling menentukan dalam menentukan kualitas pelayanan dari
sudut pandang jaminan adalah keterbacaan label obat, sedangkan indikator waktu tunggu
pelayanan dan kesediaan apoteker dalam memberikan konseling, perspektif jaminan dengan
indikator kualitas pelayanan menjadi hal yang membuat konsumen tidak puas dari segi daya
tanggap. kelengkapan dan keterusterangan perbekalan kesehatan. hadirnya ruang terapi khusus
yang berfungsi sebagai penanda (Dianita dan Latifah, 2017).
Kecenderungan pelanggan untuk melakukan pembelian dipengaruhi oleh kepuasan
pelanggan. Faktor terbesar yang menghalangi konsumen kapasitas depo dalam memenuhi
kebutuhan medis pelanggan diukur dari niat mereka untuk membeli obat, namun kepuasan
pelanggan sangat dipengaruhi oleh layanan berdasarkan pernyataan yang diberikan, dipahami
dengan baik, dan pasien. Namun, jika konsumen puas dengan tingkat layanan yang mereka
terima, hal ini akan meningkatkan kemungkinan mereka untuk melakukan pembelian lagi.
Kualitas pelayanan secara tidak langsung mempengaruhi niat pelanggan untuk melakukan
pembelian (Dianita dan Latifah, 2017).
Berdasarkan temuan penelitian Sulo, Instalasi Farmasi Rumah Sakit X Kota Surakarta
menawarkan pelayanan yang berkualitas. Hasil uji gap analysis yang menunjukkan hal ini
ditunjukkan dengan adanya kesenjangan yang cukup besar antara derajat kualitas pelayanan
pasien rawat jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit X Kota Surakarta (perceived service)
dengan apa yang diharapkan (expected service). Pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit X Kota
Surakarta lima ciri mutu pelayanan Tangible, Reliability, Responsiveness, Assurance, dan
Empathy mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kepuasan pasien rawat jalan dengan
tingkat signifikansi 0,000 (Sulo dkk., 2019).
Berdasarkan temuan penelitian Vidiarti pada tahun 2016 di Apotek Daerah Banjnegara,
dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas pelayanan yang meliputi komponen
ketergantungan, daya tanggap, bukti nyata, jaminan, dan empati, serta berapa lama pelanggan
akan tetap menggunakan Apotek Daerah. Banjarnegara. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji
hipotesis yang menunjukkan nilai Fhitung > Ftabel atau 18,740 > 2,256 dan signifikansi 0,000 –
0,05. Mereka mengungkapkan bahwa variabel ketergantungan, daya tanggap, bukti fisik,
jaminan, dan empati mempunyai pengaruh simultan yang signifikan. tentang komitmen Apotek
Area Banjarnegara terhadap pelanggannya (Vidiarti dkk., 2012).
Penelitian Muhammad didasarkan pada temuan penelitian yang dilakukan di RSUD
Sekarwangi, dimana reliabilitas sebesar 71,3%, daya tanggap sebesar 75,1%, jaminan sebesar
72,3%, dan empati sebesar 80,3%, serta skor kepuasan pasien pada dimensi asli sebesar 73,1%.
Rata-rata skor persentase pelayanan kefarmasian di RS Sekarwangi sebesar 74,4% yang
menunjukkan bahwa pasien secara umum merasa puas. Faktor pasien dengan p-value 0,05 yang
menunjukkan hubungan dengan kepuasan pasien antara lain usia, pekerjaan, kategorisasi pasien
(BPJS/Non-BPJS), dan pendidikan terkini. Namun, besarnya kepuasan pasien tidak berhubungan
dengan jenis kelamin pasien sama sekali. Karena nilai p lebih tinggi dari 0,05, kemungkinan
besar kepuasan pasien (Muhammad dkk., 2020).
Pada akhir penyelidikan ini, untuk memberikan masukan kepada apoteker di daerah
tersebut, peneliti ingin menilai tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian di
sejumlah Apotek Kecamatan Pedurungan di Kota Semarang.

1.2 Rumusan Masalah


Salah satu permasalahan dapat diidentifikasi berdasarkan konteks yang telah diberikan, yaitu
1. Apa pendapat Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang tentang tingkat kepuasan
pasien?
2. Seberapa Baik Pelayanan Apotek di Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang?
3. Sejauh mana kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kefarmasian Apotek Kecamatan
Pedurungan Kota Semarang?

1.3 Batasan Masalah


Karena masalahnya tidak tersebar luas dan sudah teridentifikasi sebelumnya, penting
untuk menetapkan batasan masalah agar tetap fokus pada subjek penyelidikan. Permasalahan
dalam penelitian ini mempunyai keterbatasan sebagai berikut:
1. Periode penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2023.
2. Responden adalah orang dewasa berusia antara 19 dan 59 tahun yang merupakan pasien
Apotek Kecamatan Pedurungan dan pernah merasakan pelayanan kefarmasian.
3. Kuesioner, yang terdiri dari pertanyaan atau pernyataan tertulis yang diminta untuk
ditanggapi oleh pasien dengan skor antara 1 sampai 5, merupakan alat untuk mengukur
kepuasan pasien dan kualitas pelayanan kefarmasian.
4. Tingkat kepuasan pasien terhadap Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang terhadap
kualitas pelayanan kefarmasian apoteker diungkapkan dalam komentarnya.
5. Tingkat mutu pelayanan merupakan suatu cara untuk menentukan apakah bantuan apoteker
kepada pasien sudah mempunyai nilai guna yang diharapkan; dengan kata lain, suatu jasa
dikatakan berkualitas tinggi jika berfungsi atau mempunyai nilai guna yang diharapkan.

1.4 Tujuan Penelitian


Untuk mengukur seberapa puas pasien terhadap seluruh pelayanan kefarmasian di Apotek
Kecamatan Pedurungan.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Kunjungi Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang untuk mengetahui lebih jauh
tentang kepuasan pasien dan kualitas pelayanan kefarmasian.
2. Bagi Apotek
Dengan adanya penelitian ini diharapkan apotek dapat memberikan informasi yang dapat
membantu mereka meningkatkan kualitas pelayanannya dan mendapatkan keuntungan yang
dapat menarik lebih banyak pelanggan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek
2.1.1 Definisi Apotek
Kata "farmasi" berasal dari kata Yunani "apotheca", yang berarti "penyimpanan". Apotek
dikenal sebagai apotek dalam bahasa Belanda, yang merupakan istilah untuk toko tempat obat
resep dicampur dan dijual bersama dengan perbekalan kesehatan lainnya, atau "rumah obat".
Apotek diartikan Apotek adalah tempat dimana apoteker memberikan pelayanan kefarmasian,
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (PP RI, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
terbaru Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek, apotek diartikan sebagai fasilitas pelayanan
kefarmasian tempat apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya melakukan praktik kefarmasian
(Permenkes, 2017). Desain fasilitas kesehatan, misalnya apotek, dapat ditingkatkan dengan
bantuan perbekalan kesehatan yang berkualitas memadai dan disediakan secara luas dengan
harga yang wajar. Apotek harus dijalankan oleh apoteker yang berkualifikasi, berlokasi di area
yang mudah dikenali, dan mencantumkan kata "apotek" pada papan nama luarnya. Agar
masyarakat umum segera mengunjungi apotek untuk membeli obat, termasuk konsultasi dan
konseling (Putra, 2021)
Mereka yang memiliki izin praktek sebagai apoteker bekerja untuk organisasi yang
dikenal sebagai apotek, yang menawarkan layanan farmasi. Apoteker adalah seseorang yang
telah menyelesaikan gelar kefarmasian dan telah mengambil sumpah jabatan apoteker. Apotek
harus fokus pada keselamatan pasien dan menerapkan standar pelayanan kefarmasian dengan
tetap memiliki akses terhadap sumber daya kefarmasian dan informasi terkini. Undang-undang
yang berlaku saat ini memungkinkan apoteker untuk secara langsung dan bertanggung jawab
memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien sehubungan dengan sediaan farmasi (obat,
bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik) untuk memaksimalkan hasil dan meningkatkan
standar keselamatan pasien (Muhlis et al., 2019)
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tujuan
Pendirian Apotek, hal-hal yang benar adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan standar pelayanan kefarmasian terkait obat resep;
2. Memastikan masyarakat dan pasien terlindungi ketika memperoleh pelayanan kefarmasian
dari apotek;
3. Memastikan bahwa staf farmasi yang memberikan layanan kefarmasian beroperasi
berdasarkan jaminan hukum.

2.1.2 Tugas Apotek dan Fungsi Apotek


Berikut ini adalah daftar tugas dan kewajiban apotek sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pekerjaan kefarmasian:
1. Sebagai wadah bagi apoteker untuk melaksanakan tugas profesinya setelah diambil sumpah
jabatannya.
2. Apotek berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses kefarmasian seperti penyaluran
obat, perubahan bentuk, pencampuran obat, dan penyaluran.
3. Apotek berfungsi sebagai wadah pendistribusian perbekalan farmasi yang harus
menyebarkan obat yang dibutuhkan masyarakat secara luas dan merata.
4. Untuk memberikan pelayanan informasi, apotek melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Dokter, perawat, bidan, dan tenaga kesehatan lainnya, serta masyarakat umum diberikan
akses terhadap layanan informasi mengenai obat dan produk farmasi lainnya.
b. Pelayanan yang memberikan informasi mengenai mutu, keamanan, dan khasiat obat
serta perbekalan farmasi lainnya (PP RI, 2009).

2.1.3 Tugas dan Tanggung Jawab Tenaga Teknis Kefarmasian


Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Tenaga Teknis Kefarmasian/Asisten Apoteker, Sarjana Farmasi, dan Tenaga Ahli Madya
Kefarmasian yang akan menunjang Apoteker dalam melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian (PP
RI, 2009).
Bagi apoteker yang bergerak di bidang kefarmasian, pemberian pelayanan kefarmasian
secara langsung kepada pasien merupakan suatu bentuk pelayanan dan tanggung jawab (Menkes
RI, 2004). Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan farmakologi
sebagai pelayanan yang bertanggung jawab langsung kepada pasien atas sediaan farmakologis
yang dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang nyata dan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Tenaga Teknis Kefarmasian wajib melaksanakan tugas tertentu di apotek (Kemenkes RI,
2002) yang tercantum di bawah ini:
1. Melayani resep dari dokter sesuai dengan kewajiban dan harapan profesinya masing-masing.
2. Beritahu pasien tentang cara menggunakan atau tidak menggunakan obat.
3. Menjunjung tinggi hak privasi pasien dan menghormati hak pasien untuk merahasiakan
identitas dan informasi medisnya.
4. Mengawasi toko obat.
5. Pelayanan yang memberikan informasi mengenai obat dan produk farmasi.

2.1.4 Evaluasi Mutu di Apotek


Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek diwajibkan melalui Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 untuk menjamin aksesibilitas terhadap sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan perbekalan kesehatan habis pakai yang bermutu, aman, bermanfaat, dan harganya
terjangkau. Untuk menjamin kualitas layanan farmasi yang ditawarkan di sana, evaluasi kualitas
apotek diperlukan. Secara khusus:
1. Mutu manajerial
a. Metode evaluasi
1. Audit
Dengan memantau kinerja penyedia layanan dan membandingkannya dengan tingkat
yang disyaratkan, audit bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan yang diberikan. Audit
adalah suatu teknik untuk mengevaluasi, meningkatkan, dan menilai pelayanan kefarmasian
secara sistematis. Apoteker melakukan audit berdasarkan temuan proses pemantauan dan hasil
pengelolaan. Contohnya termasuk audit keuangan (arus kas, neraca, dan laporan laba rugi), audit
atas sediaan farmasi, alat kesehatan, dan barang medis habis pakai lainnya (stock opname), dan
audit kepatuhan SPO.
2. Review
Tanpa membandingkan dengan tolok ukur, evaluasi adalah peninjauan terhadap
bagaimana pelayanan kefarmasian telah dilaksanakan. Apoteker melakukan peninjauan
berdasarkan temuan pemantauan pengelolaan sediaan farmasi dan seluruh sumber daya yang
dimanfaatkan. Contoh: Penelitian mengenai obat-obatan yang bergerak cepat dan lambat,
termasuk perbandingan harga.
3. Observasi
Berdasarkan hasil observasi keseluruhan proses pengelolaan produk farmasi, dilakukan
observasi oleh apoteker. Contohnya meliputi pemantauan penyimpanan obat, pelaksanaan
transaksi dengan distributor, dan dokumen pemesanan.
b. Indikator Evaluasi Mutu
1. Kepatuhan prosedur terhadap standar
2. Khasiat dan efisiensi
2. Mutu pelayanan farmasi klinik
a. Metode Evaluasi Mutu
1. Audit
Berdasarkan observasi yang dilakukan dalam rangka mengawasi kinerja pelayanan
farmasi klinik, apoteker melakukan audit. Audit pemberian obat pasien yang dilakukan oleh
apoteker dan audit waktu pelayanan adalah dua contohnya.
2. Review
Dengan menggunakan temuan pemantauan layanan farmasi klinis dan semua sumber
daya yang digunakan, apoteker melakukan tinjauan. Melihat kejadian kesalahan farmasi sebagai
contoh.
3. Survei
Survei ini menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data. Apoteker menggunakan
kuesioner atau wawancara langsung untuk memantau hasil kualitas layanan dan melakukan
survei. Contoh: tingkat kepuasan pasien.
4. Observasi
Pengamatan langsung terhadap proses atau kegiatan dengan menggunakan daftar periksa
atau rekaman disebut observasi. Berdasarkan temuan pemantauan proses pelayanan kefarmasian
klinis secara lengkap, dilakukan observasi. Sebagai ilustrasi, pertimbangkan pelacakan
implementasi layanan SPO.
b. Indikator Evalusai Mutu
Berikut ini adalah metrik yang digunakan untuk menilai kualitas layanan:
1. Pelayanan farmasi klinik menargetkan tingkat kesalahan 0 untuk kesalahan resep.
2. Prosedur Operasi Standar (SPO): Prosedur ini membantu menjamin bahwa tingkat
layanan yang diberikan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
3. Biasanya diperlukan waktu 15 hingga 30 menit untuk menyelesaikan sebuah resep.
4. Luaran pelayanan farmasi klinik antara lain memperlambat perkembangan kondisi pasien,
menurunkan atau menghilangkan gejala penyakit, dan menghindari penyakit atau gejala.

2.2 Pelayanan Kefarmasian


2.2.1 Definisi Pelayanan Kefarmasian
Praktek kefarmasian berkaitan langsung dengan pelayanan kefarmasian kepada
masyarakat, khususnya pelayanan langsung yang bertanggung jawab kepada pasien dengan
tujuan utama meningkatkan derajat kesehatan dan mencapai mutu hidup yang setinggi-tingginya
bagi masyarakat (Meila dkk., n.d.). Pelayanan kefarmasian diberikan secara bertanggung jawab
dan langsung kepada pasien bersamaan dengan sediaan farmasi dengan tujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Cakupan pelayanan kefarmasian yang ditawarkan oleh apotek meliputi
kegiatan pengelolaan yang berkaitan dengan kefarmasian, seperti pengelolaan sediaan farmasi,
peralatan kesehatan, dan perbekalan kesehatan habis pakai. Untuk mendukung operasional
tersebut diperlukan infrastruktur dan sumber daya manusia (Permenkes, 2016).

2.2.2 Pelayanan Farmasi Secara Umum


layanan yang diberikan oleh apotek (Tjandra, 2010) upaya untuk mencapai manfaat
terapeutik terkait pengobatan yang didefinisikan dengan jelas untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien. Hasil pelayanan kefarmasian meliputi:
a. Pemulihan pasien
b. Hilangnya atau berkurangnya gejala
c. Menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit
d. Mengontrol penyakit atau tanda dan gejalanya.
2.2.3 Pelayanan Resep
1. Pelayanan Resep
Layanan resep mengacu pada proses seorang dokter, dokter gigi, atau dokter hewan yang
memberikan permintaan tertulis kepada apoteker untuk mengantarkan dan mendistribusikan obat
kepada pasien.
2. Pelayanan Non Resep
Layanan tanpa resep adalah layanan yang diberikan kepada pasien yang melakukan
pengobatan sendiri, yang sering disebut dengan layanan tanpa resep (Dianita dan Latifah, 2017).

2.3 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


Dalam rangka memberikan pelayanan kefarmasian, tenaga kefarmasian harus mengacu
pada standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73
Tahun 2016. Apotek dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian menggunakan 2 (dua) kegiatan
yaitu: pelayanan farmasi klinik dan kegiatan manajerial seperti pengelolaan kefarmasian.
sediaan, peralatan kesehatan, dan perbekalan kesehatan habis pakai. Prasarana, sarana, dan
sumber daya manusia semuanya dapat menunjang kegiatan pelayanan kefarmasian (Permenkes,
2016).

2.4 Kepuasan Pelanggan


2.4.1 Definisi Kepuasan Pelanggan
Ketika ekspektasi seseorang dibandingkan dengan seberapa baik kinerja suatu produk (atau
hasil), mereka mengekspresikan kepuasan mereka, yang bisa berupa kegembiraan atau
kekecewaan (Kotler, 2009). Ketika seseorang menerima pengobatan atau merasakannya secara
langsung, maka dikatakan puas sebagai pasien. Model SERVQUAL (Service Quality) yang
melakukan survei evaluasi kepuasan pelanggan secara menyeluruh terhadap jasa di bidang
barang dan jasa yang mengutamakan karakteristik layanan adalah salah satu model yang sering
digunakan untuk mengukur kesenangan klien. Lima faktor kualitas layanan responsif,
ketergantungan, jaminan, empati, dan nyata digunakan untuk menguji kebahagiaan klien. Bagian
di bawah ini memberikan penjelasan bagaimana Analisis Kepuasan Pelanggan dapat digunakan
untuk menentukan Kepuasan Pasien.
Menurut (Kotler, 2009) ada sembilan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan, antara lain:
1. Konsistensi dan keandalan (reliability)
2. Waktu tanggap (ketepatan waktu, kesiapsiagaan, dan kesiapan)
3. Kompetensi (pengetahuan dan keterampilan)
4. Aksesibilitas (kemudahan pendekatan dan kontak)
5. Komunikasi (menjaga koneksi berdasarkan pemahaman dan mendengarkan)
6. Kredibilitas (nilai kesetiaan dan kejujuran)
7. Memberikan perlindungan dari risiko, bahaya, dan ketidakpastian
8. Understanding (berusaha memahami keluhan dan keinginan klien)
9. Tangible (rasa bentuk yang dapat disentuh)
Konsumen biasanya mempertimbangkan kualitas atau kriteria berikut ketika menilai
layanan yang tidak berwujud, bervariasi, tidak tergantikan, dan mudah rusak:
1. Bukti nyata (fisik), seperti ketersediaan personel, sumber daya, dan infrastruktur
komunikasi. Infrastruktur fisik dan ketergantungan rumah sakit terhadap lingkungan
sekitarnya memberikan bukti yang tidak dapat disangkal mengenai kualitas layanan yang
ditawarkan oleh penyedia layanan. Fasilitas fisik termasuk di dalamnya. Contohnya
gedung, gudang, alat kesehatan, teknologi, dan pakaian personel
2. Kemampuan untuk memberikan layanan yang dijanjikan tepat waktu, akurat, dan
memuaskan disebut keandalan. Kemampuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan
yang dijanjikan secara tepat waktu dan dapat dipercaya. Harapan pelanggan terhadap
kinerja mencakup ketepatan waktu, memberikan kualitas layanan yang sama kepada
setiap pasien tanpa membuat kesalahan, memberikan respons yang simpatik, dan sangat
akurat.
3. Kapasitas respons, didefinisikan sebagai kapasitas staf dan karyawan untuk membantu
klien dan menawarkan layanan responsif, atau kapasitas kebijakan untuk membantu,
menawarkan layanan yang cepat dan sesuai kepada klien, dan berkomunikasi dengan
jelas. Pelanggan akan menganggap layanan Anda buruk jika Anda membiarkan mereka
menunggu tanpa alasan yang jelas
4. Jaminan atas keahlian, kompetensi, dan keandalan staf, bebas dari risiko atau
ketidakpastian. Hal ini melibatkan sejumlah elemen, seperti kesopanan, komunikasi,
kredibilitas, keamanan, dan keahlian
5. Empati, yang meliputi keramahan, komunikasi efektif, memberikan perhatian individu,
dan memahami tuntutan klien (Tjiptono, 2015). Dengan berupaya memahami keinginan
pasien, memberikan perhatian yang nyata dan personal kepada pelanggan. Dimana suatu
bisnis atau rumah sakit diharuskan memiliki pengetahuan dan keahlian konsumen yang
spesifik, serta memberikan waktu operasi yang nyaman bagi pasien.
Kepuasan pengguna terhadap pelayanan kesehatan merupakan reaksi terhadap seberapa
baik tingkat ketertarikan atau harapan (expectation) mereka terpenuhi baik sebelum maupun
sesudah menerima pelayanan. Kesenjangan antara seberapa baik kinerja organisasi layanan
kesehatan dan apa yang diharapkan oleh klien (pasien atau kelompok masyarakat) dapat
digunakan untuk mengukur kepuasan pengguna. Dari justifikasi tersebut maka dikembangkan
definisi kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan sebagai berikut:
Satisfaction = f (performance-expectation). Metode ini menghasilkan tiga kemungkinan hasil
yang sama:
a. Apabila kinerja suatu institusi pelayanan kesehatan tidak sesuai dengan ekspektasi
kliennya (pasien dan keluarganya), maka kinerja institusi tersebut akan dipandang negatif
karena tidak memenuhi harapan klien sebelum menerima layanan. Akibatnya, pelanggan
tidak puas dengan layanan yang mereka terima.
b. Kinerja dengan Ekspektasi menyatakan bahwa pelanggan suatu pelayanan kesehatan
akan memperoleh kinerja yang baik jika kinerja institusi sesuai dengan harapannya. Hal
ini menunjukkan bahwa layanan tersebut sesuai dengan apa yang diharapkan
pelanggannya. Hasilnya, pelanggan akan senang dengan layanan yang mereka terima.
c. Karena kinerja melebihi harapan pengguna, pasien akan memperoleh layanan kesehatan
yang melebihi apa yang mereka perkirakan. Oleh karena itu, kepuasan pelanggan
terhadap layanan kesehatan yang mereka terima sangat tinggi. Pemulihan atau pemulihan
tubuh pasien ke fungsi normal atau kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari di
rumah, di sekolah, di tempat kerja, dan lain sebagainya merupakan harapan atau
kepentingan utama pasien dan keluarganya dalam bidang pelayanan kesehatan
(Muninjaya, 2014).
Ketika membandingkan hasil yang dirasakan dengan hasil yang diharapkan, kepuasan
pasien ditandai dengan perasaan bahagia atau kecewa. Kebahagiaan pelanggan dapat dievaluasi
setelah membeli dan menerima suatu barang atau jasa, dan kemudian membandingkannya
dengan apa yang diharapkan (Supranto, 2011).
Menurut (Muninjaya, 2014) menyatakan bahwa jawaban pasien terhadap terpenuhi atau
tidaknya harapannya sebelum dan sesudah mendapatkan pelayanan disebut dengan tingkat
kepuasan. Kesenjangan antara harapan pasien dan pekerjaan yang dilakukan oleh institusi
layanan kesehatan dapat digunakan untuk menyimpulkan kepuasan pengguna.

2.4.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan


Menurut Budiastuti dalam (Widoningsih, 2008) Variabel berikut mempengaruhi
kepuasan pasien:
1. Kualitas produk dan jasa
Pasien akan senang jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa produk atau layanan yang
mereka peroleh memiliki kualitas yang tinggi. Kebenaran mengenai kualitas produk atau layanan
dan komunikasi perusahaan keduanya berdampak pada persepsi pasien terhadap kualitas
tersebut.
2. Mutu pelayanan
Kualitas Pelayanan Pelanggan yang puas adalah pelanggan yang telah menerima
pelayanan yang memuaskan atau telah menerima apa yang diharapkannya.
3. Faktor emosional
Pasien memiliki perasaan positif terhadap apotek karena dianggap sebagai "apotek paling
terkenal dan terlengkap".
4. Harga
Semakin banyak pasien yang memiliki ekspektasi lebih tinggi ketika biaya obatnya lebih
tinggi. Pasien menerima nilai lebih besar dari apotek yang menawarkan produk yang sama
dengan biaya lebih rendah.
5. Biaya
Jika layanan tidak memerlukan biaya tambahan atau membutuhkan waktu ekstra untuk
mendapatkannya, pasien akan lebih bahagia dengan layanan tersebut.
Ada empat kategori elemen yang mempengaruhi kepuasan konsumen, antara lain:
1. Faktor pribadi atau karakteristik individu yaitu :
a. Usia
Seiring bertambahnya usia seseorang, keinginannya terhadap produk dan jasa semakin
meningkat. Berbeda dengan permintaan akan layanan pencegahan, misalnya, kebutuhan
akan pengobatan meningkat seiring bertambahnya usia.

b. Jenis Kelamin
Perempuan memerlukan lebih banyak perawatan medis karena mereka lebih besar
kemungkinannya untuk jatuh sakit dibandingkan laki-laki (Trisnantoro, 2006).
c. Tingkat Pendidikan
Kesadaran untuk menggunakan layanan kesehatan nampaknya meningkat seiring
dengan semakin tingginya pendidikan (Trisnantoro, 2006).
d. Pekerjaan
Posisi ekonomi memiliki dampak yang signifikan terhadap pekerjaan saat memilih
layanan kesehatan.
e. Kondisi Ekonomi
Pilihan layanan medis dipengaruhi oleh perekonomian.
f. Faktor Sosial
Keputusan seseorang terhadap pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh interaksinya
dengan orang lain, baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung.
g. Faktor Psikologis
Variabel psikologis motivasi, persepsi, pembelajaran, sikap, dan keyakinan
mempunyai pengaruh terhadap keputusan seseorang dalam melakukan pembelian.
h. Faktor Budaya
Agar penyedia layanan memahami peran pasien, mereka harus menyadari pengaruh
budaya yang dimiliki setiap pasien dan yang mempengaruhi perilaku pasien (Abdullah,
2012).

2.4.3 Pengukuran Kepuasan Pasien


Perasaan seseorang setelah memperoleh pelayanan atau mengalaminya sendiri disebut
dengan kepuasan pasien. Model SERVQUAL (Service Quality) yang mengutamakan komponen
pelayanan dalam survei evaluasi kepuasan pelanggan secara menyeluruh untuk jasa di bidang
barang dan jasa, adalah salah satu contoh model yang sering digunakan untuk mengukur
kebahagiaan pelanggan. Analisis kepuasan pelanggan didasarkan pada lima aspek kualitas
layanan: daya tanggap, ketergantungan, jaminan, empati, dan hasil nyata (Yuniar dan Handayani,
2016). Apotek harus mengevaluasi kualitas pelayanan farmasi mereka untuk memastikan bahwa
mereka memiliki standar yang tinggi. Teknik untuk mengukur kepuasan antara lain (Tjiptono,
2019) :
1. Sistem Keluhan dan Saran
Setiap penyedia layanan yang berfokus pada pelanggan diharuskan memberikan
kesempatan sebanyak mungkin kepada klien untuk menyuarakan saran, komentar, pendapat, dan
kekhawatiran mereka. Kotak saran yang diletakkan pada posisi terlihat dapat menjadi media
yang digunakan.
2. Ghost Shopping
Untuk menentukan manfaat dan kelemahan layanan, strategi ini melibatkan
mempekerjakan banyak orang (pembeli hantu) untuk berpura-pura menjadi pelanggan atau
pasien. Pembeli hantu juga mungkin melihat bagaimana masalah ditangani.
3. Lost Customer Analysis
Pelanggan yang berhenti membeli darinya dan berpindah vendor akan dihubungi oleh
penyedia layanan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh keadaan yang menyebabkan
kejadian tersebut. Penyedia layanan dapat memanfaatkan informasi ini untuk mengembangkan
kebijakan masa depan yang akan meningkatkan loyalitas dan kebahagiaan klien.
4. Survei Kepuasan Pelanggan
Secara umum, metode survei, termasuk wawancara telepon dan tatap muka, digunakan di
sebagian besar penelitian mengenai kepuasan pelanggan. keuntungan menilai kepuasan
pelanggan sesuai dengan (Gerson, 2004) adalah :
1. Orang mungkin merasa sukses dan berprestasi sebagai hasil pengukuran, yang menghasilkan
layanan pelanggan yang unggul.
2. Pengukuran kinerja dapat menjadi landasan untuk menetapkan standar dan pencapaian yang
harus dipenuhi, membimbing penyedia layanan menuju keadaan yang lebih baik dan
meningkatkan kepuasan pelanggan.
3. Mengukur kinerja penyedia layanan yang memberikan layanan memberikan umpan balik
kepada penyedia layanan, terutama ketika pelanggan melakukannya.
4. Pengukuran dapat memberikan informasi kepada penyedia layanan untuk meningkatkan
kebahagiaan dan kualitas klien.
5. Mengukur hasil dapat menginspirasi karyawan untuk bekerja lebih banyak dan
menghasilkan lebih banyak.

2.5 Kualitas Pelayanan


2.5.1 Definisi Kualitas Pelayanan
Kualitas layanan mempunyai dampak besar terhadap seberapa sering masyarakat
menggunakan layanan kesehatan. Selain kesembuhan fisik dari penyakit, penilaian pelayanan
yang bermutu juga mempertimbangkan sikap, pengetahuan, dan kemampuan petugas yang
memberikan pelayanan, serta komunikasi, informasi, sopan santun, kecepatan, daya tanggap, dan
ketersediaan tenaga kesehatan. lingkungan fisik dan fasilitas yang tepat (Biyanda, 2017).
Menurut (Sunyoto, 2012) Ia menegaskan bahwa ukuran nilai guna yang diharapkan dari
suatu barang atau jasa adalah kualitas layanan yang diberikan. Dengan kata lain, sesuatu
dikatakan berkualitas tinggi jika memenuhi tujuan yang dimaksudkan atau berfungsi sesuai
harapan. Kesimpulannya, kualitas layanan dapat didefinisikan sebagai penyajian produk atau
layanan yang sesuai dengan standar perusahaan serta upaya untuk memberikan produk dan
layanan yang memuaskan atau bahkan melampaui harapan klien dengan tetap menjunjung
standar perusahaan.
Istilah "ServQual" mengacu pada lima karakteristik kualitas layanan yang dapat digunakan
untuk mengukur kepuasan pasien atau pelanggan. Keandalan, daya tanggap, kepastian, empati,
dan keterwujudan termasuk di antara lima dimensi tersebut (Daulay, 2015).

2.5.2 Dimensi Kualitas Pelayanan


Menurut Lupiyoadi (2001) Untuk menilai kualitas suatu layanan, ada lima kriteria yang
dipertimbangkan:
1. Kehandalan (reliability)
Dapat diandalkan adalah mampu memberikan barang dan jasa sesuai janji, akurat dan
konsisten. Standar kinerja mencakup tepat waktu, menawarkan layanan sempurna kepada setiap
klien, dan memiliki sikap penuh kasih. Kinerja harus memenuhi atau melampaui harapan
pelanggan. Peningkatan keandalan layanan dalam hal waktu tunggu untuk peracikan obat jadi
dan obat campuran diperlukan untuk meningkatkan kepuasan pasien.
2. Ketanggapan (responsiveness)
Tujuan keandalan adalah untuk membantu klien dan menawarkan layanan cepat
(Tjiptono, 2006). Aspek ini diperhitungkan ketika mengevaluasi kesediaan profesional kesehatan
untuk mengikuti protokol dan memenuhi harapan klien serta kapasitas mereka untuk membantu
klien.
3. Jaminan (assurance)
Jaminan adalah kapasitas anggota staf untuk membangun kepercayaan klien terhadap
bisnis melalui keahlian, kesopanan, dan kompetensi. Komunikasi, keamanan, kredibilitas,
keahlian, dan kesopanan adalah beberapa komponen yang membentuk hal ini.
4. Empati (empathy)
Empati, yang mencakup sikap mudah didekati, memiliki jalur komunikasi yang jelas,
memberikan perhatian penuh kepada klien, dan memahami tuntutan mereka (Tjiptono, 2006).
Standar ini berkaitan dengan seberapa besar kepedulian dan pertimbangan yang diberikan
personel kepada setiap pengguna jasa (Lupiyoadi, 2006).

5. Bukti Fisik (tangible)


Bukti fisik, terkadang dikenal sebagai bukti nyata, adalah cara bisnis membuktikan
kepada pihak ketiga bahwa bukti tersebut benar-benar ada. Infrastruktur fisik dan ketergantungan
bisnis terhadap lingkungan sekitarnya merupakan tanda kualitas layanan yang ditawarkan oleh
penyedia layanan. bukti nyata, seperti infrastruktur fisik, peralatan, personel, dan saluran
komunikasi (Tjiptono, 2006). Pengguna jasa mengevaluasi mutu pelayanan kesehatan yang
diterimanya dengan memanfaatkan indranya (mata, pendengaran, dan pengecapan), seperti ruang
tunggu pasien yang bersih dan nyaman dengan kursi, lantai keramik, TV, dan semua
perlengkapan kantor yang diperlukan, serta staf yang mengenakan seragam rapi dan menarik
(Muninjaya, 2014).

2.6 Kuesioner
Kuesioner digunakan dalam proses pengumpulan data penelitian ini sebagai cara untuk
mengumpulkan informasi di lapangan. Kuesioner adalah alat untuk mengumpulkan data yang
melibatkan meminta partisipan menjawab serangkaian pertanyaan atau memberikan umpan balik
tertulis (Sugiyono, 2010).
Kuesioner yang telah divalidasi dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian karena
keakuratan dan kelengkapan instrumen penelitian harus memenuhi kriteria tertentu. Dua puluh
responden non-subjek digunakan untuk uji validasi kuesioner untuk memastikan bahwa temuan
pengukuran memiliki distribusi normal. Hal ini didasarkan pada anggapan ilmiah bahwa uji coba
instrumen harus melibatkan minimal 20 responden karena diperkirakan dengan 20 responden
maka data akan terdistribusi hampir teratur (Machfoedz, 2007).
Uji reliabilitas dan validitas kuesioner telah dilakukan. Validitas merupakan metrik yang
menunjukkan bahwa alat tersebut benar-benar mengukur apa yang diukur. Indikator seberapa
andal suatu alat ukur disebut reliabilitas. Dengan kata lain, jika pengukuran dilakukan berulang
kali atau lebih pada perlakuan yang sama, maka temuannya tidak akan berubah. Nilai
probabilitas korelasi [sig.(2-tailed)] tingkat signifikansi () 0,05 dan nilai Cronbach's Alpha > 0,6
masing-masing merupakan indikator validitas dan reliabilitas suatu instrumen (Suparyanto,
2010).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif yang berfokus pada deskripsi
fenomena sosial dengan menggunakan data empiris. Penelitian ini mengambil pendekatan
kuantitatif, atau yang melibatkan pengumpulan dan pemeriksaan data. Jika tujuannya untuk
menggambarkan atau menjelaskan suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam bentuk
angka, maka diterapkan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif (Sugiyono,
2013). Purposive sampling adalah metode yang digunakan, dan melibatkan pemilihan sampel
dari populasi sesuai dengan preferensi peneliti (seperti tujuan atau kesulitan penelitian) (Sari
dkk., 2022). Lima apotek di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang digunakan untuk penelitian
ini; masing-masing akan mampu menampung 20 responden. Apotek Jampi Sae, Apotek K-24
Tlogosari, Apotek Monginsidi, Apotek Kauman, dan Apotek Pedurungan merupakan apotek
yang akan dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel.

3.2 Objek dan Subjek Penelitian


3.2.1 Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien yang membeli obat di Apotek Kecamatan Pedurungan
Kota Semarang pada bulan September hingga Oktober 2023.

3.2.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah pasien yang membeli obat dan memperoleh pelayanan
kefarmasian di Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang periode Agustus-November
2023.

3.3 Sampel dan Teknik Sampling


3.3.1 Sampel Penelitian
Populasi pasien yang berada di Apotek Kecamatan Pedurungan Kota Semarang tidak
diketahui atau tidak terbatas, prosedur perhitungan ukuran sampel dengan tingkat kepercayaan
95% digunakan untuk menentukan jumlah sampel dalam penyelidikan ini (Lemeshow dkk.,
1991).

2
Z 1−a/2 P(1−P)
n= 2
d
2
1 , 96 .0 ,50 (1−0 , 50)
n=
0 , 12
3,8416 . 0 , 25
n=
0 , 01
¿ 96,04 responden (100 responden)
Keterangan :
n = jumlah sampel
P = jika proporsinya tidak diketahui, maka 50% (0,50) digunakan sebagai proporsi yang
diharapkan dalam populasi.
d = 10% (0,10) adalah derajat divergensi dari populasi yang direncanakan
Z1-α/2 = Perkiraan sampel, jika persentase populasi pada derajat deviasi 10% tidak diketahui,
adalah 96 responden karena nilai Z pada tingkat signifikansi atau keyakinan tertentu biasanya
95% = 1,96.
Perhitungan ini menghasilkan total 100 responden, atau jumlah sampel yang dibutuhkan
untuk melengkapi kuesioner. Berdasarkan informasi Pengurus Cabang Ikatan Apoteker
Indonesia Kota Semarang, terdapat empat puluh (40) apotek di wilayah Kecamatan Pedurungan.
Dengan demikian, 100 responden dibagi berdasarkan jumlah apotek yang memberikan izin, atau
5 (lima) apotek, dan diambil 20 sampel di masing-masing apotek tersebut. responden.

3.3.2 Teknik Sampling


Purposive sampling adalah metode sampel yang digunakan. Pengambilan sampel
purposif didasarkan pada penilaian peneliti sendiri berdasarkan ciri-ciri atau ciri-ciri populasi
yang telah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2018).

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
Berikut adalah persyaratan inklusi studi ini:
1. Orang-orang dalam rentang usia 19 hingga 59 tahun
2. Dapat membaca, menulis, dan berkomunikasi secara efektif
3. Pasien yang berminat dan bersedia berpartisipasi sebagai subjek penelitian
4. Pasien yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi survei

3.4.2 Kriteria Eksklusi


Berikut ini adalah kriteria eksklusi penelitian:
1. Pelanggan yang dirujuk oleh petugas apotek
2. Pasien yang memberikan kuesioner yang tidak komprehensif

3.5 Alat dan Bahan


Kuesioner adalah instrumen dan sumber daya utama yang digunakan dalam penyelidikan.
Apotek Kecamatan Peudurungan Kota Semarang menggunakan kuesioner sebagai ukuran untuk
mengukur seberapa puas pelanggannya terhadap kualitas pelayanan farmasinya.

3.6 Teknik Pengumpulan Data


Kuesioner adalah alat pengumpulan data utama yang digunakan dalam penyelidikan ini.
Memberikan serangkaian pertanyaan tertulis kepada responden dan meminta mereka menjawab
pertanyaan tersebut dikenal sebagai metode pengumpulan data "kuesioner". Untuk memudahkan
responden dalam menjawab setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner jika belum memahami
pertanyaan yang diajukan, maka peneliti menyampaikan kuesioner kepada responden pada saat
mereka mengikuti penelitian (Novita, 2020)
Berdasarkan kategorisasinya, setiap pernyataan diberi skor. Variabel penelitian diukur
menggunakan 5 poin skala likert (Sugiyono, 2013). Uji validitas dan reliabilitas dilakukan
terhadap kuesioner yang akan digunakan dalam penelitian ini, yang diadaptasi dari penelitian
dengan nama yang sama yang telah dipublikasikan.

Tabel 3.1 Kisi-kisi Kuesioner


Indikator Nomor Pertanyaan Jumlah Pertanyaan
Ketanggapan 1 1
petugas

Keramahan petugas 2 1

Kejelasan petugas 3 1
memberikan
informasi
Kecepatan 4 1
pelayanan

Kelengkapan 5 1
obat/alat kesehatan

Kenyamanan ruang 6 1
tunggu

Kebersihan ruang 7 1
tunggu

Ketersediaan 8 1
brosur/leaflet/poste
r
sebagai informasi

3.7 Langkah Penelitian


1. Persiapan
a. Identifikasi populasi
b. Hitung berapa banyak sampel yang memenuhi persyaratan untuk dimasukkan

2. Tahap pelaksanaan
a. Memelihara izin farmasi dan pendidikan
b. Para peneliti sendiri membagikan kuesioner yang telah dirancang sebelumnya di apotek
c. Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan data olahan yang telah dikumpulkan
d. Menulis laporan yang menguraikan temuan penelitian dan diskusi
3.8 Skema Kerja Penelitian

Pengumpulan literatur studi

Proposal

Pengurusan perizinan penelitian

Pengumpulan data

Kualitas pelayanan Kepuasan Pasien


kefarmasian

Pengolahan data

Analisis data penelitian

Gambar 3.1 Skema Kerja Penelitian


3.9 Analisis Data
Analisis data merupakan suatu langkah dalam pengujian data yang hasilnya dijadikan
bukti yang cukup untuk membuat suatu temuan penelitian (Indrianto dan Supomo, 2002).
Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien di apotek pada penelitian ini, data dari
responden dikumpulkan, diolah, dan diberi skor dengan menggunakan skala likert (Bertawati,
2013). Sikap, pandangan, dan persepsi seseorang atau kelompok terhadap fenomena sosial
diukur dengan menggunakan skala Likert (Sugiyono, 2013). Penelitian ini menggunakan
kuesioner untuk mengukur kepuasan pasien terhadap pelayanan kefarmasian. Data yang
terkumpul ditabulasi menjadi skor, dihitung jumlah skor setiap pertanyaan dari setiap
subvariabel, dan terakhir dihasilkan persentasenya. Skala Likert digunakan untuk memberikan
skor pada setiap respon kuesioner.
Tanggapannya mendapat penilaian sangat gembira =5
Tandai untuk respons yang memuaskan =4
Responnya mendapat nilai cukup baik =3
Nilai untuk respons tidak mencukupi. =2
Skor untuk tanggapan yang tidak memuaskan =1

Persentase skor masing-masing responden = nilai skor keseluruhan (40) adalah jumlah total
maksimal 100%. Informasi yang dikumpulkan dari penilaian tanggapan masing-masing
responden terhadap survei kemudian dipisahkan ke dalam kategori berikut:

1. Sangat puas : 80% - 100%


2. Puas : 60% - 79%
3. Cukup : 40% - 59%
4. Kurang puas : 20% - 39%
Tidak puas : 1% - 19%

Anda mungkin juga menyukai