Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA DI SD

HAKIKAT BAHASA DAN PEMBELAJARAN BAHASA, SERTA


PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK I

1. UMI MAISAROH 856756191


2. NOVI SARIANI 856756249
3. WULANDARI PUTRI SARI 856756224

TUTOR :
INDAH SULMAYANTI, M.PD

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIT PROGRAM BELAJAR JARAK JAUH PALEMBANG
UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................i
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................2
D. Pembahasan.............................................................................................................2
a. Pengertian Bahasa..............................................................................................2
b. Fungsi Bahasa....................................................................................................5
c. Ragam Bahasa....................................................................................................6
d. Konsep Belajar...................................................................................................8
e. Belajar Bahasa...................................................................................................8
f. Pembelajaran Bahasa.......................................................................................10
g. Pengertian Pemerolehan Bahasa......................................................................14
h. Teori Pemerolehan Bahasa..............................................................................14
i. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak.....................16
j. Strategi Pemerolehan Bahasa..........................................................................17
k. Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa.................................................................19
l. Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua...........................................23
m. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua...................................................................24
E. Kesimpulan............................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................31

i
A. Latar Belakang
Bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan, salah satunya
sebagai alat untuk berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai guru khususnya guru bahasa Indonesia di SD harus dapat
mengajarkan bahasa Indonesia dengan baik pada siswa. Untuk mengajarkan bahasa
Indonesia yang baik tersebut seorang guru harus terlebih dahulu memahami apa itu
bahasa. Untuk memahami lebih mendalam apa itu bahasa, maka dibutuhkan
pembahasan tentang hakikat bahasa dan pembelajaran bahasa.
Pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya di Sekolah Dasar, masih banyak
keluhan mengenai kesulitan siswa dalam belajar bahasa Indonesia. Padahal sebelum
bersekolah atau ketika diluar sekolah siswa-siswi itu telah mengenal dan
menggunakan bahasa Indonesia tanpa kesulitan yang berarti. Sebenarnya cukup
banyak kemungkinan yang menjadi penyebab kekurangberhasilan siswa dalam
belajar bahasa Indonesia di sekolah. Penyebabnya bisa pada anak itu sendiri, persepsi
orang tua tentang pelajaran bahasa Indonesia, atau karena pembelajarannya di
sekolah. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, paling tidak ada tiga persoalan yang
menjadi penyebabnya. Pertama, pembelajaran bahasa terlalu didominasi oleh teori
atau pengetahuan bahasa dan kurang mengaitkannya dengan kehidupan nyata anak
sehingga anak menjadi bosan. Kedua, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan
berbahasa yang telah dimiliki anak sebelum bersekolah tidak diperhatikan. Ketiga,
kebiasaan dan strategi belajar bahasa anak di luar sekolah yang memungkinkannya
menguasai bahasa dengan baik kerap diabaikan. Jika penyebabnya adalah masalah
pembelajaran maka hal yang perlu dipahami dengan baik oleh guru bahasa Indonesia
di SD adalah masalah pemerolehan bahasa anak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian bahasa?
2. Apa sajakah fungsi bahasa?
3. Bagaimana cara mengklasifikasikan ragam bahasa Indonesia?
4. Apa pengertian belajar bahasa?
5. Apa sajakah karakteristik pembelajaran bahasa?
6. Apa hubungan antara hakikat bahasa, belajar bahasa, dan pembelajaran
bahasa?
7. Apa pengertian pemerolehan bahasa?

1
8. Bagaimana cara membedakan pemerolehan bahasa pertama dan bahasa
kedua?
9. Apa saja teori yang mendasari pemerolehan bahasa pertama dan bahasa
kedua?

10. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak?


11. Bagaimana cara mengidentifikasi strategi pemerolehan bahasa anak?

C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan pengertian bahasa;
2. Untuk mengetahui fungsi bahasa;
3. Untuk mengetahui cara melakukan klasifikasi ragam bahasa Indonesia;
4. Untuk menjelaskan pengertian belajar bahasa;
5. Untuk mengetahui karakteristik pembelajaran bahasa;
6. Untuk mengetahui hubungan antara hakikat bahasa, belajar bahasa, dan
pembelajaran bahasa;
7. Untuk menjelaskan pengertian pemerolehan bahasa;
8. Untuk mengetahui cara membedakan pemerolehan bahasa pertama dan
bahasa kedua;
9. Untuk menjelaskan teori yang mendasari pemerolehan bahasa pertama dan
bahasa kedua;
10. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa
anak;
11. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi strategi pemerolehan bahasa anak.

D. Pembahasan
a. Pengertian Bahasa
Beberapa pengertian bahasa yang dirumuskan oleh para ahli:
1. Bahasa adalah sebuah simbol bunyi yang arbiter yang digunakan untuk
komunikasi manusia (Wardhaugh,1972).
2. Bahasa adalah sebuah alat untuk mengomunikasikan gagasan atau
perasaan secara sistematis melalui penggunaan tanda, suara, gerak atau
tanda-tanda yang disepakati, yang memiliki makna yang dipahami
(Webster’s New Collegiate Dictionary,1981).

2
3. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan
oleh para anggota sosial untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan
mengidentifikasi diri (Kentjono, Ed., 1984:2).
4. Bahasa adalah salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara
bersama-sama membentuk budaya manusia (Halliday dan Hasan,1991).
Rumusan definisi bahasa dia tas mencerminkan minat dan sudut pandang
penyusunnya. Ada yang menekankan pada sistem, alat dan juga pada
komunikasi. Namun, apapun rumusan yang telah dibuat, pada dasarnya konsep
bahasa memiliki karakteristik sebagai berikut.

1. Bahasa adalah Sebuah Sistem


Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri dari sejumlah unsur yang saling
terkait dan tertata secara beraturan, serta memiliki makna. Unsur unsur
bahasa diatur seperti pola yang berulang. Kalau salah satu bagian terdeteksi
maka
keseluruhan bagiannya dapat diramalkan. Misalnya menemukan kalimat
Nenek sedang …, kue … dapur, maka dapat diterka bunyi keseluruhan
kalimat itu. Oleh karena itu, sebagai penutur bahasa Indonesia, kita dapat
menerima kalimat (1.a) Bunga itu sangat indah, (2.a) Kebaikan itu abadi,
(3.a) Kematiannya membuat warga kampung berduka; tetapi tidak menerima
kalimat (1.b) Itu indah sangat bunga atau Uit abung ngasat dihan, (2.b)
Membaikan itu abadi, (3.b) Kemampuannya berduka membuat warga
kampung. Mengapa kalimat-kalimat 1.b,2.b,dan 3.b itu tidak berterima?
Sebab tidak sesuai dengan sistem bahasa Indonesia. Pola penataannya tidak
dikenal, maknanya tidak jelas bahkan tidak ada, serta imbuhan dan pilihan
katanya tidak selaras.
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis
artinya bahasa itu dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang
berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Seandainya
bahasa itu tidak sistematik maka bahasa itu akan kacau, tidak bermakna, dan
tidak dapat dipelajari. Sistemis artinya bahasa terdiri dari sejumlah
subsistem, yang satu sama lain saling terkait dan membentuk satu kesatuan
utuh yang bermakna. Bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem
fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika (morfologi, sintaksis,
dan wacana),serta subsistem leksikon (perbendaharaan kata). Ketiga

3
subsistem itu menghasilkan dunia bunyi dan dunia makna,yang membentuk
sistem bahasa.
2. Bahasa merupakan Sistem Lambang yang Arbiter (Mana Suka) dan
Konvensional
Bahasa merupakan sistem symbol ,baik berupa bunyi atau tulisan yang
dipergunakan dan disepakati oleh suatu kelompok sosial. Ikan adalah suatu
binatang air yang bersirip dan bernapas dengan insang. Dalam pertuturan
hewan itu disimbolkan dengan bunyi/ikan/dan secara tertulis ikan. Dengan
menggunakan simbol tersebut maka interaksi berbahasa antarpenutur lebih
mudah. Ketika seorang anak mengatakan,”Bu,mau ikan!” maka dalam benak
si ibu tergambar apa yang diinginka anak tersebut.
Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki arti. Simbol merupakan sistem
maka untuk memahaminya harus dipelajari. Alasan pertama, karena
penamaan suatu objek atau peristiwa yang sama antara satu masyarakat
bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya tidak sama. Kedua, bahasa terdiri
dari aturan aturan atau kaidah yang disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan
langsung dan wajib antara lambang bahasa dengan objeknya. Hubungan
keduanya bersifat mana suka (arbiter).
Bahasa bersifat konvensional atau kesepakatan, dimana ada beberapa
kata yang bersifat onomatopoe, artinya penamaan suatu objek atau peristiwa
berdasarkan ciri bunyi atau ciri lain yang dimilikinya, seperti cecak atau
gemerincing. Namun kata yang bersifat onomatopoe itu tidak banyak
jumlahnya. Jadi, penamaan sesuatu (benda, sifat atau peristiwa) semata-mata
hanya kesepakatan sosial masyarakat penggunanya.
3. Bahasa Bersifat Produktif
Banyaknya fonem dan pola dasar kalimat dalam bahasa Indonesia begitu
terbatas. Dari keterbatasan tersebut dapat dihasilkan satuan bahasa dalam
jumlah tak terbatas. Ribuan kata dapat dibentuk, kalimat atau wacana dengan
segala variasinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya. Oleh
karena itu, bahasa itu bersifat produktif.
4. Bahasa Memiliki Fungsi dan Variasi
Bahasa tercipta karena kebutuhan manusia dan sebagai upaya untuk
mempertahankan kelangsungan dan eksistensi hidup manusia. Dengan
bahasa kita dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, dan nilai-nilai yang
dianut sehingga dapat dipahami dan juga memahami orang lain. Dengan

4
bahasa manusia dapat saling memahami dan bekerja sama. Dengan
demikian, bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi. Penggunaan
bahasa itu sangat beragam. Perbedaan penggunaan bahasa oleh suatu
kelompok itu disebut variasi atau ragam bahasa. Perbadaan atau ciri khas
dalam berbahasa itu dapat dilihat dari pilihan kata, penataan kalimat,
aksentuasi atau intonasinya. Keseluruhan ciri bahasa orang per orang disebut
idiolek.
b. Fungsi Bahasa
Secara umum bahasa mempunyai fungsi personal dan sosial. Fungsi
personal mengacu pada peranan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan setiap diri manusia sebagai makhluk individu. Adapun
fungsi sosial mengacu pada peranan bahasa sebagai alat komunikasi dan
berinteraksi antar individu atau antar kelompok sosial. Dengan menggunakan
bahasa mereka saling menyapa, mempengaruhi, saling bermusyawarah, dan
bekerja sama.
Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) secara khusus
mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut:
1. Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan
pendapat, sikap atau perasaan pemakainya.
2. Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap
atau pendapat orang lain, seperti bujukan, rayuan, permohonan atau
perintah,
3. Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak
dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau
penghiburan.
4. Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan
informasi, ilmu pengetahuan atau budaya.
5. Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau
memperoleh informasi, seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan
atas sesuatu hal.
6. Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan
menyalurkan rasa estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra.
7. Fungsi Instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan
keinginan atau kebutuhan pemakainya, seperti saya ingin …

5
c. Ragam Bahasa
Seseorang dikatakan mahir berbahasa Indonesia bukan hanya karena
menguasai tata bahasa baku dan perbendaharaan kata yang banyak, tetapi juga
memiliki wawasan dan keterampilan yang memadai dalam penggunaan bahasa
yang sesuai dengan fungsi dan konteksnya. Ragam bahasa adalah variasi
penggunaan bahasa yang disebabkan oleh pemakai dan pemakaian bahasa. Dari
segi pemakai atau penutur bahasa, ragam bahasa dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada (1) daerah asal penutur atau pemakai bahasa, (2) kelompok
sosial, (3) sikap berbahasa. Sementara itu, dari sudut pemakaian bahasa,
klasifikasi ragam bahasa dilakukan berdasarkan (1) bidang atau pokok persoalan
yang diperbincangkan, (2) sarana atau media yang dipakai (3) situasi atau kondisi
pemakai bahasa. Dasar pengklasifikasian ragam bahasa dapat digambarkan
sebagai berikut.

Warna atau ciri berbahasa indonesia dari suatu kelompok masyarakat yang
berasal dari suatu suku atau daerah tertentu menghasilkan suatu ragam bahasa
indonesia yang disebut dengan ragam bahasa daerah atau dialek geografis.
Dari segi kelompok sosial ragam bahasa dapat kita bedakan berdasarkan:
1. kedudukan pemakai bahasa;
2. jenis pekerjaan;
3. pendidikan.
Ragam menjadi tolak ukur dalam pemakaian bahasa yang baik dan benar
yang selaras dengan kaidah-kaidah bahasa dan berbahasa. Dalam fungsinya
sebagai tolak ukur menjadikan ragam bahasa kalangan terpelajar atau
berpendidikan sebagai ragam bahasa standar atau ragam baku (Moeliono, 1989:
149).
Ragam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menurut pemakaiannya, yang
terdiri dari (1) bidang atau pokok persoalan yang dibicarakan, (2) sarana atau
media yang digunakan dalam berbahasa, serta (3) situasi pemakaiannya.

6
Ragam bahasa menurut keberadaan media atau sarana yang digunakan
terbagi atas ragam lisan dan ragam tulis. Ragam bahasa lisan digunakan dalam
situasi sesungguhnya, baik secara tatap muka atau menggunakan media. Ragam
itu hadir secara langsung, utuh dan lengkap dengan unsur-unsur nonverbal.
Tindakan berbahasa, baik pembicara maupun penyimak ,cenderung bersifat
spontan. Sebaliknya ragam bahasa tulis hadir secara visual. Penulis memiliki
waktu yang cukup untuk mempersiapkan dan menyempurnakan tulisannya,
sementara pembaca pun memiliki waktu yang leluasa untuk memahami dan
mencerna tulisan itu. Namun, antara pembicara dan penyimak dibatasi oleh jarak
dan waktu maka ketidakjelasan atau kekeliruan berbahasa tidak serta merta dapat
diperbaiki secara langsung. Dalam berbahasa secara lisan, Tindakan berbahasa
tidak hanya dilakukan secara verbal (bahasa), tetapi juga dibantu oleh unsur
nonverbal, seperti ekspresi, Gerakan dan intonasi, serta konteks berbahasa.
Kondisi berbahasa yang seperti itu tentu saja akan memudahkan pembicara dan
mitra bicara untuk saling memahami dan merespons apa yang disampaikan
secara cepat. Maka dalam bahasa lisan fungsi gramatis subjek, predikat, objek
atau keterangan apabila diasumsikan telah dimengerti oleh mitra bicara tidak
perlu dimunculkan. Lain halnya dengan ragam bahasa tulis, tidak ada gerak,
mimik, dan intonasi yang dapat memperjelas pesan penulis. Ciri pembeda
antarkedua ragam itu lebih bersifat rentangan (continuum).
Ragam bahasa berdasarkan situasi penggunaanya dibagi menjadi dua yaitu
ragam resmi dan tak resmi. Ragam bahasa resmi digunakan dalam situasi formal,
seperti pidato kenegaraan, karya ilmiah, surat dinas dan dokumen pemerintah
atau organisasi. Ciri yang paling menonjol dari ragam resmi adalah penggunaan
gaya atau langgam berbahasa yang menunjukkan hubungan formal dan berjarak.
Sementara itu ragam tak resmi digunakan dalam situasi berbahasa santai dan
akrab. Misalnya, percakapan antara penjual dan pembeli ,anggota keluarga,
teman sejawat, surat pribadi dan acara rekreatif atau hiburan.
Dalam memahami masalah ragam bahasa, ada tiga hal yang perlu
diperhatikan. Pertama batas antarragam itu dalam kenyataan berbahasa tidaklah
setegas dan sejelas, seperti yang diuraikan. Pembedaan secara ekstrem
antarragam bahasa lebih dimaksudkan untuk memudahkan anda memahami
karakteristik dari ragam bahasa. Kedua, dalam suatu peristiwa bahasa hampir
tidak pernah seorang pemakai bahasa hanya menggunakan satu ragam bahasa.
Dengan kata lain, suatu tindak berbahasa dapat dilabeli dengan berbagai ragam

7
tergantung dari sudut mana melihatnya. Ketiga, tak ada satu ragam pun yang
lebih baik atau lebih buruk.
d. Konsep Belajar
Belajar adalah sebuah proses penambahan bagian demi bagian informasi
baru terhadap apa yang telah anak ketahui dan kuasai sebelumnya. Ukuran utama
keberhasilan pembelajaran terletak pada seberapa jauh guru dapat melibatkan
siswa secara aktif dalam belajar (Tyler, 1949; Reece dan Walker, 1997; Kemp,
1985; Glover dan Law, 2002). Siswa belajar dengan menggunakan tiga cara,
yaitu melalui pengalaman (dengan kegiatan langsung atau tidak langsung),
pengamatan (melihat contoh atau model), dan bahasa. Proses belajar terjadi
ketika siswa dapat menghubungkan apa yang telah mereka ketahui dengan apa
yang mereka temukan melalui pengalaman belajar yang dilaluinya. Pengalaman
belajar itu terjadi melalui interaksi yang bermakna antara siswa dengan siswa,
guru, bahan pelajaran, dan lingkungan belajarnya. Ini berarti siswa belajar ketika
mereka didukung oleh orang lain (guru) ,yang memiliki pengetahuan tentang
sesuatu yang mereka tidak ketahui dalam kegiatan belajar yang sukar sehingga
mereka terbantu untuk dapat belajar lebih mandiri.
Implikasi proses belajar bagi guru dalam pembelajaran yaitu, pertama
karena siswa belajar berdasarkan apa yang telah mereka pahami atau dikuasai
sebelumnya maka guru hendaknya mengupayakan agar pembelajaran bertolak
dari apa yang telah diketahui siswa. Kedua karena belajar dilakukan secara aktif
oleh siswa melalui kegiatan atau pengalaman belajar yang dilaluinya maka
siswalah yang berperan sebagai pusat pembelajaran. Ketiga dalam belajar siswa
perlu berinteraksi dengan yang lain serta dukungan guru dan temannya maka
guru perlu merancang kegiatan belajar bukan hanya dalam bentuk klasikal atau
individual, tetapi juga dalam bentuk kelompok.
Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa melalui latihan dan pengalaman
yang dilakukan secara aktif. Hasil belajar berupa pengetahuan, sikap atau
keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami dan
dikuasainya. Dalam pembelajaran tugas guru adalah menjadikan siswa belajar
melalui penciptaan strategi dan lingkungan belajar yang menarik dan bermakna.
e. Belajar Bahasa
Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitas,
yaitu keluarga, teman, media radio atau televisi dan lingkungannya. Anak
memahami apa yang dikatakan oleh anggota komunitasnya dan sekaligus

8
menyampaikan ide serta perasaan dengan yang lain melalui bahasa yang
digunakan. Anak belajar dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban,
apalagi diajari secara khusus. Anak belajar bahasa melalui pola berikut.
1. Semua Komponen, Sistem, dan Keterampilan Bahasa Dipelajari
secara Terpadu
Ketika anak belajar berbicara, dia sekaligus belajar menyimak. Pada saat
itu pula, tanpa disadari, mereka pun mempelajari dan menguasai komponen
dan aturan bahasa, seperti bunyi bahasa berikut sistem fonologinya, satuan
bahasa (seperti frase, kalimat, wacana, intonasi) berikut sistem gramatika,
kosa kata dan sistem penggunaannya, serta pragmatik yang memungkinkan
mereka dapat memilih dan menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan
fungsi dan tujuan berbahasa.
2. Belajar Bahasa Dilakukan secara Alami dan Langsung dalam
Konteks yang Otentik
Anak-anak belajar bahasa tanpa terlebih dulu belajar teori bahasa,
melainkan melalui pengalaman langsung dalam kegiatan berbahasa
(immersion). Komponen, sistem, dan keterampilan berbahasa yang dikuasai
anak tidak berasal dari teori yang dipelajari secara khusus. Anak
memahaminya berdasarkan simpulan sendiri yang secara tidak sadar
dilakukannya berdasarkan pengalaman bahasa yang dilaluinya. Anak belajar
bahasa secara langsung dalam kegiatan berbahasa dan interaksi dengan
keluarga, pengasuh, teman bermain, dan lingkungannya dalam konteks
nyata, alami, dan tidak dibuat-buat (otentik).
3. Belajar Bahasa Dilakukan secara Bertahap, Sesuai dengan
Kebutuhannya
Anak belajar bahasa secara bertahap. Tahapan itu terjadi seiring dengan
kebutuhan anak dalam berkomunikasi serta pertumbuhan fisik, intelektual,
dan sosial mereka. Jika masukan bahasa yang mereka terima tidak sesuai
dengan kebutuhan mereka atau ternyata terlalu sulit maka mereka akan
mengabaikannya. Mereka belajar bahasa dari yang sederhana menuju yang
rumit, dari yang dekat menuju yang jauh, dan konkret menuju yang abstrak.
4. Belajar Bahasa Dilakukan melalui Strategi Uji Coba (Trial-Error)
dan Strategi Lainnya
Mencontoh adalah salah satu cara yang dilakukan anak dalam belajar
bahasa. Namun demikian, perilaku mencontoh yang dilakukan anak tidak,

9
seperti halnya beo yang mengikuti apa saja yang ’diajarkan’ orang
kepadanya. Anak meniru atau mencontoh perilaku berbahasa yang
disediakan lingkungannya secara kreatif. Ia mengolah dan menerapkannya
secara langsung dalam berbahasa melalui strategi uji-coba. Kalau ternyata
unjuk berbahasa yang dia lakukan ternyata mendapat respons yang baik
maka ia akan melanjutkannya dengan kreasi-kreasi berbahasa lainnya.
Sebaliknya, apabila anak merasa apa yang disampaikannya tidak pas maka ia
akan menghentikan dan memperbaikinya. Oleh karena itu, kesalahan dalam
belajar bahasa harus disikapi secara wajar, sebagai bagian penting dari
belajar bahasa itu sendiri.
Anak belajar bahasa bukan demi bahasa itu sendiri. Ia belajar bahasa
tidak untuk mengetahui apa itu fonem, morfem, kalimat atau makna. Anak
belajar bahasa karena ia memerlukan untuk keberlangsungan hidupnya. Ia
ingin apa yang disampaikan dapat dipahami orang lain. Ketika ia lapar, haus,
sedih, takut atau sakit, misalnya ia akan memberikan berbagai tanda atau
mengungkapkannya dengan berbagai cara supaya dapat dimengerti dan
direspons. Anak juga belajar bahasa karena ia perlu memahami apa yang
disampaikan orang lain. Dengan kata lain, anak belajar bahasa karena ia
berkeinginan untuk dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan tentang diri
dan dunianya, sekaligus juga untuk dapat berinteraksi dengan
lingkungannya. Ia belajar bahasa bukan demi bahasa itu sendiri, melainkan
karena fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang memiliki peran personal
dan sosial.
f. Pembelajaran Bahasa
Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe
belajar yang melibatkan bahasa, yaitu:
1. Belajar Bahasa
Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan
kemampuan berbahasa atau kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang
digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan
untuk menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun
tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan,
dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan
menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca). Secara implisit,
kemampuan-kemampuan itu tentu saja melibatkan penguasaan kaidah

10
bahasa serta pragmatik. Kemampuan pragmatik merupakan kesanggupan
pengguna bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang
berbedabeda, sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan konteks berbahasa itu
sendiri.
2. Belajar melalui Bahasa
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap,
keterampilan. Dalam konteks ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk
mempelajari sesuatu, seperti Matematika, IPA, Sejarah, dan
Kewarganegaraan.
3. Belajar tentang Bahasa
Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang
terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahasa, kaidah berbahasa,
dan produk bahasa seperti sastra. Belajar bahasa Indonesia untuk siswa SD
pada dasarnya bertujuan untuk mengasah dan membekali mereka dengan
kemampuan berkomunikasi atau kemampuan menerapkan bahasa Indonesia
dengan tepat untuk berbagai tujuan dan dalam konteks yang berbeda.
Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia berfokus pada penguasaan
berbahasa (Tipe 1: belajar bahasa), untuk dapat diterapkan bagi berbagai
keperluan dalam bermacam situasi, seperti belajar, berpikir, berekspresi,
bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi (Tipe 2: belajar melalui bahasa).
Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik maka siswa perlu menguasai
kaidah bahasa dengan baik pula (Tipe 3: belajar tentang bahasa). Dalam
konteks ini, penguasaan kaidah bahasa bukan tujuan, melainkan hanyalah
sebagai alat agar kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.
Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya
terjadi secara bersamaan dalam belajar bahasa. Ketika siswa belajar
kemampuan berbahasa yang terkait dengan penggunaan dan konteksnya, ia
pun belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan
bahasa untuk mempelajari berbagai mata pelajaran. Oleh karena itu,
mengapa pembelajaran bahasa seyogianya dilakukan secara terpadu, baik
antaraspek dalam bahasa itu sendiri (kebahasaan, kesastraan, dan
keterampilan berbahasa) atau antarbahasa dengan mata pelajaran lainnya.
Kemampuan berbahasa diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:

11
1. Kemampuan Menyimak atau Mendengarkan
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan
secara lisan oleh orang lain. Menyimak itu banyak macamnya. Bukan
hanya mendengarkan percakapan, tetapi juga berita, ceramah, cerita,
penjelasan, dan sebagainya. Siswa mendengarkan beragam simakan
dengan tujuan yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta
memperoleh, merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons
informasi.
2. Kemampuan Berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang
lain. Pesan di sini adalah pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian,
dan sebagainya.
3. Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang
disampaikan secara tertulis oleh pihak lain. Kemampuan ini tidak hanya
berkaitan dengan pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga
memahami pesan atau makna yang disampaikan oleh penulis.
4. Kemampuan Menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis.
Kemampuan ini bukan hanya berkaitan dengan kemahiran siswa
menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga
mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaannya secara jelas
dan sistematis sehingga dapat dipahami oleh orang yang menerimanya,
seperti yang dia maksudkan.
Pemilahan keempat kemampuan berbahasa itu menyiratkan bahwa
masing-masing keterampilan itu terkesan berdiri sendiri. Sebenarnya, tidak.
Kenyataan menunjukkan bahwa suatu aktivitas berbahasa melibatkan lebih
dari satu jenis kegiatan berbahasa. Ketika anak berbicara dengan temannya
maka sebetulnya ia pun menyimak respons lawan bicaranya. Sewaktu anak
membaca, sebenarnya tanpa disadari ia pun melakukan kegiatan menulis,
apakah mencatat hal-hal yang dianggap penting atau belajar bagaimana
penulis menata tulisannya. Bahkan dalam pembelajaran bahasa, keempat
kegiatan berbahasa itu dapat dilakukan bersamaan.
Dari penelitiannya, Walter Loban (1976, dalam Tompkins dan Hoskisson,
1995) menyimpulkan adanya hubungan antarketerampilan berbahasa siswa

12
dan keterampilan berbahasa dengan belajar. Pertama, siswa dengan
kemampuan berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang kurang efektif
cenderung kurang efektif pula kemampuan berbahasa tulisnya (membaca
dan menulis). Kedua, terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan
berbahasa siswa dengan kemampuan akademik yang diperolehnya.
Paradigma atau cara pembelajaran bahasa di sekolah dasar, yaitu:
1. Imersi, yaitu pembelajaran bahasa dilakukan dengan ’menerjunkan’
siswa secara langsung dalam kegiatan berbahasa yang dipelajarinya.
Contoh, ketika siswa belajar mengarang, terjunkanlah langsung dalam
kegiatan mengarang. Berikan ia pengalaman bagaimana, seperti apa
mengarang itu dengan memintanya menulis sebuah karangan dengan
topik tertentu. Jika siswa kesulitan, berikan ia model atau contoh
karangan yang sesuai. Selanjutnya, guru memandu untuk menggali ’teori’
mengarang itu berdasarkan pengalaman siswa. Jika ada yang kurang
maka guru melengkapinya.
2. Pengerjaan (employment), yaitu pembelajaran bahasa dilakukan
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam
berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional, dan otentik.
Bermakna artinya kegiatan berbahasa yang dilakukan siswa dapat
menghasilkan wawasan, sikap atau keterampilan baru yang secara
bertahap dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Fungsional
artinya aktivitas berbahasa yang dilakukan siswa memiliki tujuan yang
jelas dalam berkomunikasi. Maksudnya, mengarah pada salah satu atau
lebih dari tujuh fungsi bahasa (Lihat KB 1). Otentik artinya aktivitas
berbahasa siswa terjadi dalam konteks yang jelas, yang memang lazim
digunakan dalam kenyataan berbahasa di luar kelas. Ini berarti, apabila
siswa harus membuat satu kalimat atau wacana, siswa harus dapat
membayangkan untuk apa dan dalam situasi berbahasa apa ia membuat
kalimat atau wacana tersebut. Dengan paradigma ini diharapkan tidak
terjadi lagi adanya tugas atau kegiatan siswa yang asal-asalan atau hanya
sekadar rekaan, yang tidak pernah ada dalam kegiatan berbahasa sehari-
hari.
3. Demonstrasi, yaitu siswa belajar bahasa melalui demonstrasi dengan
pemodelan dan dukungan yang disediakan guru. Model atau contoh
merupakan upaya pembelajaran yang dapat menjadikan sesuatu (konsep,

13
sikap, keterampilan) yang abstrak, rumit atau sulit menjadi konkret,
sederhana atau mudah karena gambaran yang ditampilkannya. Model itu
dapat berupa manusia (guru atau sumber lain) atau sesuatu yang lain.
4. Tanggung jawab (responsibility), yaitu pembelajaran bahasa yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktivitas berbahasa
yang akan dilakukannya. Upaya ini akan bermanfaat bagi siswa untuk (1)
menyalurkan minat dan keinginannya dalam belajar bahasa, dan (2)
menjadikan siswa lebih percaya diri dan bertanggung jawab atas tugas
atau kegiatan yang dipilih dan dilakukannya.
5. Uji coba (trial-error), yaitu pembelajaran bahasa yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari perspektif atau
sudut pandang siswa. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya,
kesalahan dalam belajar bahasa merupakan bagian dari proses belajar
bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, siswa akan lebih percaya diri dalam
belajar apabila ia mengerti bahwa gurunya tidak hanya menekankan pada
ketepatan, tetapi memberinya kesempatan untuk memperbaiki atau
menyempurnakan hasil kerjanya melalui uji-coba yang dilakukan siswa.
6. Pengharapan (expectation), artinya siswa akan berupaya untuk sukses
atau berhasil dalam belajar jika dia merasa bahwa gurunya mengharapkan
dia menjadi sukses. Sikap pembelajaran ini akan ditunjukkan guru
melalui perilakunya yang mau memperhatikan, mengerti, dan membantu
kesulitan siswa; mendorong atau membesarkan hatinya apabila siswa
melakukan kesalahan disertai dengan pemberian masukan, serta
memberikannya penguatan apabila siswa melakukan hal yang benar.
Berdasarkan paradigma pembelajaran bahasa tersebut, guru dapat
mengembangkan strategi pembelajaran bahasa Indonesia. Apa pun strategi
pembelajaran yang digunakan guru tidak menjadi masalah selama sesuai
dengan tujuan pembelajaran, karakteristik belajar dan belajar bahasa, serta
paradigma pembelajaran bahasa.
g. Pengertian Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan
kemampuan berbahasa secara alamiah. Proses pemerolehan bahasa memiliki
karakteristik berikut:
1. Berjalan secara spontan, tanpa sadar dan tanpa beban.

14
2. Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui
pembelajaran formal.
3. Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun
dipahami orang lain.
4. Berlangsung secara terus menerus dalam konteks berbahasa yang nyata
dan bermakna.
5. Diperoleh secara lisan melalui tindak berbahasa
menyimak/mendengarkan dan berbicara.
Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama
kemampuan reseptif yaitu kemampuan menyerap, menerima dan memahami
tuturan orang lain. Kedua kemampuan produktif, yaitu kemampuan
menghasilkan tuturan, untuk mengekspresikan diri atau menanggapi rangsang
bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Ketika anak melakukan kegiatan
berbahasa secara langsung, secara perlahan dan tentu saja tanpa disadari, telah
terbangun unsur dan kaidah bahasa (kosakata, struktur, dan makna) dan kaidah
berbahasa.
Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan
dikuasai oleh seorang anak. Bahasa pertama itu bisa hanya satu bahasa atau dua
bahasa yang dikuasai anak secara bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua
adalah bahasa yang dikuasai anak setelah menguasai bahasa pertama. Dalam
menguasai dua bahasa atau lebih, anak dapat melakukannya secara serempak
atau berurut. Pemerolehan serempak dua bahasa (simultaneous bilingual
acquisition) terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (dua
bahasa) atau multilingual (lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari,
dan menggunakan kedua bahasa tersebut sama baiknya secara bersamaan.
Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual acquisition) terjadi
apabila penguasaan anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang waktu
yang berjauhan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi
karena beberapa hal berikut:
1. Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.
2. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing
pihak tidak menguasai bahasa pasangannya dengan baik.
3. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi
berikut.

15
1) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi kesehariannya.
2) Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut
menggunakan bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluarga
tersebut (mungkin keluarga pendatang).
3) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan
bahasa yang digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena
pertimbangan praktis, keluarga tersebut memutuskan untuk
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
h. Teori Pemerolehan Bahasa
Ada tiga pandangan yang mengungkapkan proses pemerolehan bahasa
pertama, yaitu:
1. Pandangan Nativistis
Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi
dengan kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Bukan
lingkungan yang membuat anak mampu berbahasa. Juga bukan karena
meniru orang lain karena banyak juga ungkapan kreatif yang dimunculkan
anak ketika berbahasa, yang belum pernah dicontohkan sebelumnya. Jadi,
kalau bukan karena kemampuan bawaan, mustahil anak dapat mempelajari
dan menguasai suatu bahasa yang komponen dan aturannya begitu rumit
hanya dalam waktu yang begitu singkat. Hanya dalam waktu sekitar empat
tahun anak telah dapat berbahasa dengan rapi dan komunikatif. Selama
belajar bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara genetis
telah terprogram menjadi terbuka dan berkembang.
Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan
bahasa’ (language acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak.
Piranti itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip
dan ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.
Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak
memberikan masukan kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh
LAD dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah
pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, kemudian
tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai
dengan pola ujar orang dewasa (Chomsky dalam Santrock, 1994; Cahyono,
1995).

16
2. Pandangan Behavioristis
Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan
yang diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya
sebagai penerima pasif. Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh
kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta
peniruan yang dilakukan anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.
3. Pandangan Kognitif
Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa
anak ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta
memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa
anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan secara aktif dengan
lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif untuk terlibat
dengan lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara
optimal.
i. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak, yaitu:
1. Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah
otak (sistem syaraf), alat dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah
satu, apalagi ketiganya, akan menghambat kemampuan berbahasa anak.
Kemampuan berbahasa anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap atau
tunawicara maka kemampuan berbahasa mereka pasti berbeda dengan anak
yang ketiga perangkat biologisnya sehat dan normal.
Dalam proses berbahasa, seorang anak dikendalikan oleh sistem syaraf
pusat pusat yang berada diotak. Pada wilayah sebelah kiri terdapat wilayah
Broca yang mempengaruhi dan mengontrol produksi bahasa, seperti
berbicara. Sementara pada belahan otak kanan terdapat wilayah wernicke
yang mempengaruhi dan mengendalikan penerimaan atau pemahaman
bahasa,seperti menyimak. Diantara kedua bagian otak tersebut terdapat
wilayah motor suplementer yang berfungsi mengendalikan unsur fisik
penghasil ujaran. Berdasarkan tugas ketiga bagian otak tersebut, bahasa
didengarkan dan dipahami melalui wilayah Wernicke. Isyarat bahasa itu,
kemudian disalurkan ke wilayah Broca untuk mempersiapkan produksi
berbahasa sebagai tanggapan atas apa yang didengar dan dipahaminya.

17
Selanjutnya, isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor
supplementer, seperti alat ucap untuk menghasilkan bahasa secara fisik.
2. Faktor Lingkungan Sosial
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki
kemampuan bawaan dan kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berbahasanya, seorang anak
memerlukan lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa,
memberikan rangsangan, dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji
coba berbahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara,
kerabat, keluarga, teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya
sumber, mendukung, dan aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan
membuat pemerolehan bahasa anak semakin beraneka dan cepat.
Sebaliknya, lingkungan yang miskin dengan aktivitas berbahasa, terlalu
banyak menekan dengan melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan
rendah dalam berinteraksi, akan menjadikan pemerolehan bahasa anak pun
tidak beragam, miskin, dan lambat. Dukungan dan keterlibatan sosial begitu
penting bagi anak dalam belajar bahasa. Inilah yang disebut dengan ’Sistem
Pendukung Pemerolehan Bahasa’ atau Language Acquisition Support System
atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam
belajar pemeroleh bahasa adalah sebagai berikut:
1) Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang
dewasa terhadap bayi atau balita melalui penyederhanaan kata atau
kalimat, dengan penggunaan tempo yang lebih lambat dan nada yang
lebih lembut. Cara bahasa ini memiliki peran penting untuk dapat
menangkap perhatian dan memelihara komunikasi dengan anak.
2) Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak
dengan cara yang berbeda, untuk membantu anak belajar bahasa.
3) Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang
disampaikan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap, tidak jelas
atau tidak sesuai dengan maksud.
4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang
disampaikan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.

18
5) Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda
dengan nama yang sesuai.
6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan
respons positif atas perilaku berbahasa anak.
7) Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model
berbahasa yang ditunjukkan orang dewasa kepada anak.
3. Faktor Inteligensi
Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar,
termasuk memecahkan suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak
dapat diamati langsung, kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan
pemerolehan bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat pencapaiannya
cenderung lebih cepat, lebih kaya, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya,
daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh inteligensi
terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.
4. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri.
Anak belajar bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis,
seperti lapar, haus, sakit, serta perhatian dan kasih sayang. Inilah yang
disebut dengan motivasi intrinsik, yang berasal dari diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk
membuatnya kian bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan
motivasi belajar bahasa yang tinggi akan kian memicu proses belajar bahasa
anak. Pemicuan motivasi itu, di antaranya dengan cara merespons dengan
bijak pertanyaan dan komentar anak, memperbaiki tindak berbahasa anak
secara halus dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila anak
melakukan suatu kesalahan.
j. Strategi Pemerolehan Bahasa
Ada beberapa strategi yang dilakukan anak tanpa sadar dalam belajar suatu
bahasa, yaitu:
1. Mengingat
Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar
bahasa atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak,
dicatat dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, menyerap, mencium,
mendengar, dan melihat sesuatu, memori anak merekamnya.

19
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan
tentang bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada
sesuatu yang dia dengar atau alami. Ingatan itu akan semakin kuat apabila
penyebutan akan benda atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan
cara ini anak akan mengingat bunyi, kombinasi bunyi atau kata, tentang
sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengungkapkannya. Hanya saja,
ketika diungkapkan bunyinya tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya tidak pas,
strukturnya terbalik atau hanya suku kata awal atau akhir yang terucapkan.
Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan kelengkapan fisik berbahasa
anak masih sedang berkembang. Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-
anak biasanya dibantu oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh, dan
konteks.
2. Meniru
Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan
di sini bisa berarti mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada
dasarnya, peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa pengulangan
yang persis sama atas apa saja yang didengarnya. Hal ini karena dalam
belajar bahasa, seorang anak tidak sekadar menangkap kata-kata.
Ada dua penyebab tutran anak cenderung berubah. Penyebab pertama,
berkaitan dengan perkembangan otak dan alat ucap, penguasaan kaidah
bahasa, serta adanya masukan bahasa dari sumber lain. Dengan demikian,
anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah dikuasainya saja.
Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di satu sisi,
anak secara bertahap dapat memahami dan menggunakan tuturan yang lebih
rumit. Di sisi lain, secara bersamaan anak pun membangun suatu sistem
bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi tuturan dalam
bentuk dan jumlah yang tak terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang
melakukan uji coba atau eksperimen dalam berbahasa. Percobaan ini terus
berlangsung hingga kemampuan berbahasanya berpindah pada kemampuan
yang lebih kompleks.
Anak juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa
secara alami. Dengan demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat
dinamis dan kreatif. Karena strategi peniruan itu pula maka orang yang
menjadi model (memberikan contoh dan masukan) berbahasa akan sangat
mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya baik

20
maka anak pun akan mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun.
Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang
baik itulah yang akan dipelajari dan digunakan anak.
3. Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya
adalah mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata.
Anak menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang
lain, maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan
sekaligus memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang
diperolehnya, secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang
kewajaran dan ketepatan perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang
sama juga si anak mendapat masukan dari tindak berbahasa yang dilakukan
mitra berbicaranya.
4. Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan
kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan
sebagai orang dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-
dagangan; ibu, bapak atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai
dokter, perawat atau pasien; atau sebagai guru dan murid dalam bermain
sekolah-sekolahan. Tanpa disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus
mereka berlatih berbicara dan menyimak.
5. Penyederhanaan
Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya,
perkembangan kemampuan anak yang bertahap yang membuat tuturan yang
digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau dua kata mewakili
satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau
reduksi. Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun sederhana,
kita sebagai orang dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks
terjadinya perilaku berbahasa anak.
k. Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa
Tahap-tahap perkembangan kemampuan bahasa anak, yaitu:
1. Tahap pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin
mendekati bunyi vokal atau konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-
bunyi tersebut belumlah mengacu pada kata atau kalimat dengan makna

21
tertentu. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut
tahap pralinguistik.
Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
a. Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi
refleksif untuk menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau
ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi vegetatif yang berkaitan dengan
aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin, sendawa, telanan (ketika makan),
dan tegukan (ketika menyusu atau minum).
b. Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan
bunyibunyi vokal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan.
Bunyi itu biasanya muncul sebagai respons terhadap senyum atau
ucapan orang tuanya.
c. Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak
utuh dengan rentang waktu yang lebih lama. Bunyi mirip vokal dan
konsonannya lebih bervariasi. Konsonan nasal /m/ dan /n/ sudah mulai
muncul.
d. Pada umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh. Celotehannya berupa
reduplikasi atau pengulangan konsonan dan vokal yang sama, seperti
/ba-ba-ba/, /ma-ma-ma/, dan /da-da-da/. Vokal yang muncul adalah
vokal dasar /a/ dengan konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, n/, dan
alveolar /t, d/. Selanjutnya, celotehan reduplikasi tersebut berubah lebih
bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju vokal /u/ dan /i/. Konsonan
frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai muncul. (McNeil, 1970; Crystal,
2987; Stark dalam Dardjowidjojo, 1995).
2. Tahap Satu-Kata atau Holofrasis
Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini,
anak menggunakan satu kata yang bermakna mewakili keseluruhan ide yang
disampaikannya. Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili satu
frasa, kalimat atau wacana. Karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis.
Kata-kata yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dikenal dan
dikuasainya. Kata-kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan keseharian
di lingkungan anak. Kata-kata itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin
anak, pemanggilan orang-orang sekitar, dan benda atau objek yang dekat
dengan anak.

22
3. Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada
tahap ini kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring
dengan kematangan otak dan alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai
menggunakan dua kata: papa ikut, mamah main, mau bobo, dan sebagainya.
Hanya kata-kata pokok yang diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja
(dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan atau kata
penghubung.
4. Tahap telegrafis
Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk
kalimat-kalimat pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah
pada jumlah kata yang dihasilkan anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang
sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase ini, anak belum
menggunakan kata tugas dalam bertutur. Oleh karena itu, perkembangan
bahasa anak pada fase ini disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan
bertambahnya usia dan perkembangan otak dan perangkat biologis lainnya
maka kemampuan anak pun (kaidah bahasa dan kaidah berbahasa) akan
semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang dewasa.
l. Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua
Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak
melalui belajar secara formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang
dilakukan. Secara umum, tipe perolehan B2 dapat dibedakan menjadi
pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah
(Lihat Subyakto-Nababan, 1992). Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan
melalui aktivitas pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau les.
Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari bersifat formal atau baku. Sementara
itu, pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan secara spontan. Dengan demikian
seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan juga beberapa bahasa
kedua.
Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian
mempraktikkan dalam situasi riel, dan keintensifan dalam berkomunikasi dengan
B2. Memang penting belajar kosakata dan kaidah bahasa dengan menggunakan
berbagai sumber. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah faktor individu pembelajar
B2, dalam hal ini keberanian menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi
dengan penutur asli atau pengguna B2. Tidak malu, tidak takut salah, dan tidak

23
perlu khawatir ditertawakan kalau unjuk berbahasanya kurang pas. Semakin
berani dalam berbahasa dan semakin intensif dalam berinteraksi, biasanya
semakin cepat B2 tersebut dikuasai.
m. Teori Pemerolehan Bahasa Kedua
Menurut Ellis (1986) ada tujuh teorel tentang pemerolehan bahasa kedua,
yaitu:
1. Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan
baru. Dalam pemerolehan B2, akulturasi dipandang penting karena bahasa
sebagai ungkapan budaya serta berhubungan dengan saling menilai antara
masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak
psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya bahasa sasaran (B2). Jarak
sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota masyarakat
yang harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara itu,
jarak psikologis adalah pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi
pembelajar.
Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2
adalah:
1) kesamaan derajat sosial;
2) timbulnya keinginan asimilasi;
3) saling terlibatnya antardua kelompok;
4) kelompok belajar B2 kecil dan tidak kohesif;
5) kesesuaian budaya;
6) saling memiliki sikap positif;
7) lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 dan B2.
Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya
lebih bersifat afektif, meliputi kejutan bahasa, guncangan budaya, motivasi,
dan batas-batas keakuan (Eliis, 1986; Cahyono, 1995; Ardiana dan Sodiq,
2000)
2. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan
B2 dalam berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor
berikut akan mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar
dalam mempelajari B2:

24
1) Anggapan pembelajar B2 bahwa dirinya merupakan bagian dari
masyarakat B2.
2) Tidak memandang rendah kelompok masyarakat B2.
3) Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.
4) Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1
dengan B2.
5) Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya
dengan kelompok sosial lainnya.
3. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan
makna bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui
kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat mengembangkan kaidah
gramatika dan penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah
prinsip utama berikut:
1) Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan
sintaksis.
2) Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna
yang disepakati bersama penutur nonasli.
3) Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang
disepakati dan masukan mempengaruhi kecepatan dan urutan
pemerolehan B2.
Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat
memberikan data terbaik bagi pembelajar untuk dapat diolah oleh otak.
Melalui data tersebut disusunlah suatu model masukan yang pantas dan
terkait.
4. Model Monitor
Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model
Monitor memiliki lima hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan
B2:
1) Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
Penguasaan B2 dilakukan melalui pemerolehan dan belajar.
Pemerolehan berlangsung tanpa sadar akibat keterlibatan pembelajar B2
dalam komunikasi langsung yang menekankan pada makna. Sementara
itu, belajar B2 dilakukan secara sadar dalam situasi yang relatif formal.
Pengetahuan yang diperoleh digunakan untuk memulai pemahaman dan

25
pengucapan tuturan, sedangkan pengetahuan yang dipelajari digunakan
monitor.
2) Hipotesis urutan alamiah
Proses penguasaan B2 (terutama pada orang dewasa) cenderung lebih
dulu menguasai aspek tata bahasa daripada yang lainnya. Dalam
berkomunikasi, pembelajar B2 akan menggunakan urutan baku.
3) Hipotesis monitor
Monitor merupakan piranti yang digunakan oleh pembelajar untuk
menyunting tampilan bahasanya berdasarkan penetahuan yang telah
dipelajari dan memodifikasi ujaran yang dihasilkan berdasarkan
pengetahuan yang diperolehnya. Proses monitor ini dapat berlangsung
sebelum dan setelah tuturan berlangsung. Monitor akan digunakan
apabila cukup waktu, berfokus pada bentuk dan bukan makna, serta
penutur memiliki pengetahuan tentang kaidah B2.
4) Hipotesis masukan
Hipotesis ini terdiri dari prinsip-prinsip berikut.
1) Masukan terjadi pada proses pemerolehan, bukan pada
pembelajaran.
2) Pemerolehan akan terjadi apabila pembelajar memahami masukan
bahasa yang setingkat lebih tinggi dari tingkat pemahaman bahasa
pembelajar saat itu (i + 1). Apabila masukan beberapa tingkat di atas
pemahaman pembelajar maka pembelajar tidak akan terpicu untuk
belajar, bahkan bisa jadi frustasi. Masukan yang dapat dipahami
pembelajar merupakan masukan yang tepat, yang memungkinkannya
dapat berkomunikasi dengan baik.
3) Kemampuan memproduksi tuturan terjadi secara langsung, tidak
melalui pembelajaran.
5) Hipotesis saringan afektif
Saringan afektif akan menentukan seberapa banyak masukan yang
dapat diserap oleh pembelajar. Sikap yang terbuka akan membuat
saringan atau filter akan membuka lebih lebar sehingga masukan pun
akan lebih maksimal. Faktor-faktor yang menentukan penerimaan
masukan adalah motivasi, rasa percaya diri, dan tingkat kecemasan.

26
5. Model Kompetensi Variabel
Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan
mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya.
Produk penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa
(wacana) dari yang tidak terencana sampai yang terencana. Produk yang
tidak direncanakan adalah wujud penggunaan bahasa yang penyampaiannya
bersifat spontan, tanpa persiapan, dan tidak melalui pemikiran yang matang.
Penggunaan bahasa ini terjadi dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa,
percakapan.
Model kompetensi variabel menyampaikan prinsip-prinsip berikut:
1) Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-
kaidah bahasa antara (interlangue). Secara otomatis, penyimpan ini
akan aktif apabila dirangsang, didorong, dan dipicu untuk berlatih
menerapkan B2.
2) Pembelajar memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa.
Kemampuan itu berbentuk:
a. proses wacana primer, yang berperan memunculkan wacana
yang tidak direncanakan dan dihasilkan berdasarkan pada
pengetahuan otomatis yang tidak teranalisis pembelajar, misalnya
penyederhanaan semantik;
b. proses wacana sekunder, yang berfungsi menghasilkan wacana
yang direncanakan berdasarkan pada pengetahuan yang
teranalisis pembelajar, misalnya memonitor dan menyunting
bahasa yang digunakan;
c. proses kognitif, yang membangun struktur konseptual pokok
suatu pesan yang disampaikan, pembandingan struktur tersebut
dengan kerangka acuan yang digunakan pasangan berbahasa,
serta pengurangan unsur bahasa yang berlebihan dan unsur
leksikalnya tidak tersedia.
3) Tampilan B2 merupakan variabel yang dihasilkan melalui proses
primer dalam wacana yang tidak terencana atau proses sekunder
dalam wacana yang direncanakan.
4) Perkembangan pemerolehan B2 terjadi sebagai akibat:
a. pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan
pembelajar dalam berbagai tipe wacana;

27
b. pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk
tidak teranalisis dan tidak otomatis atau teranalisis sehingga dapat
digunakan untuk wacana yang tidak direncanakan.
6. Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah
bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Contoh
gramatika universal, umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang
berpola subjek-predikat. Gramatika inti bersifat tak bermarkah, artinya
sesuai dengan kecenderungan bahasa. Dalam pembelajaran B2 jika
pembelajar menemukan kaidah B2 yang bermarkah, pembelajar tersebut
tergoda untuk kembali ke kaidah B1, terutama apabila B1 itu memiliki
kaidah universal yang sama.
Hipotesis ini menyatakan bahwa terdapat kesemestaan bahasa yang
menentukan proses pemerolehan B2, yaitu:
a. Kesemestaan bahasa membantu mengatasi hambatan yang berpotensi
muncul dalam bahasa antara (interlangue).
b. Pembelajar akan merasa lebih mudah memperoleh pola-pola yang
sesuai dengan kesemestaan bahasa daripada yang tidak sesuai.
Kaidah-kaidah bahasa yang sesuai cenderung dipelajari lebih dahulu
daripada yang tidak sesuai.
c. Apabila B1 menerapkan kesemestaan bahasa maka B1 cenderung
akan membantu perkembangan penguasaan bahasa antara melalui
transfer.
7. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi
syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle)
dan belahan otak kiri (daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2.
Belahan otak kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi
untuk merekam dan memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan
otak kiri berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi
pemrosesan secara sintaktik dan semantik, serta pengendali aktivitas
berbicara dan menulis. Dalam kaitannya dengan pemerolehan B2, fokus teori
ini berkenaan dengan perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada
kesiapan sempurna untuk belajar bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah
terkuasai bertahun-tahun hingga usia dewasa menjadi unsur kompetensi

28
yang otomatis dan memfosil atau menetap secara permanen), ujaran terpola,
dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan
memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan
untuk berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana dalam system syaraf tersebut
yang dilibatkan.

E. Kesimpulan
Bahasa adalah sistem lambang yang bermakna, arbiter, konvensional, dan
produktif yang dipergunakan oleh setiap individu dan anggota sosial untuk
berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri. Secara umum, bahasa
memiliki fungsi personal dan sosial. Secara khusus, bahasa memiliki fungsi
instrumental, personal, regulator, heuristik, imajinatif, interaksional, dan
informatif. Dalam penggunaannya, bahasa memiliki wujud bervariasi. Variasi
atau ragam bahasa dapat dikelompokkan berdasarkan pemakai dan
pemakaiannya.
Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara tetap melalui
pengalaman, pengamatan, dan bahasa yang dilakukannya secara aktif. Hasil
belajar atau perubahan tingkah laku itu berkaitan dengan pengetahuan, sikap
atau keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami
atau dikuasai sebelumnya. Ada tiga tipe belajar yang melibatkan bahasa yaitu
belajar bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa. Ketiganya
dipelajari anak secara bersamaan. Tugas guru yang berkaitan dengan belajar
bahasa di sekolah adalah memilih strategi belajar yang dapat mendorong
siswa agar dapat menguasai kemampuan berbahasa layaknya orang dewasa.
Pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa yang
diperoleh secara alami, informal, dan melalui kegiatan berbahasa langsung.
Bahasa yang pertama kali diperoleh anak disebut bahasa pertama.
Keberhasilan anak dalam mempelajari dan menguasai bahasa pertama
dipengaruhi oleh berbagai faktor dengan strategi tertentu. Kemampuan anak
dalam berbahasa bertahap, tidak sekaligus. Tahap-tahap perkembangan bahasa
anak terdiri dari fase pralinguistik, fase holofrastik, dan fase telegrafis.

29
Pemerolehan bahasa kedua (B2) adalah bahasa yang dipelajari dan
dikuasai anak setelah menguasai satu bahasa. Dalam konteks anak Indonesia,
yang menyandang status B2 itu dapat bahasa daerah, bahasa Indonesia atau
bahasa asing. Tergantung pada bahasa mana yang pertama dikuasai anak lebih
dahulu. Belajar B2 dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu terpimpin
(melalui pembelajaran khusus), alamiah (melalui kegiatan langsung berbahasa
dalam suasana nyata), atau terpimpin dan alamiah.

30
DAFTAR PUSTAKA

Solchan, T.W., dkk. (2022). Pendidikan Bahas Indonesia di SD. Tangerang Selatan:
Universitas Terbuka.

31

Anda mungkin juga menyukai