Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

HAKIKAT BAHASA DAN PEMBELAJARAN BAHASA

Disusun Oleh :
Kelompok 1

1. Adilla Rahmi Yonanda (A1G022104)


2. Ahmed Syaikhu Tam (A1G022059)
3. Hasna Aisyah (A1G022004)
4. Reza Nur Apeni (A1G022043)
5. Bintang Nadia Efendi (A1G022157)
6. Ria Risatia (A1G022002)
7. Nepi Puspita (A1G022115)

Dosen Pengampu :
Nady febri Ariffiando, M.Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS BENGKULU
2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga makalah dengan berjudul Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa dapat
selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia SD dari Bapak Nady Febri Ariffiando, M.Pd. Selain itu,
penyusunan makalah ini bertujuan menambah wawasan kepada para pembaca tentang
Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa. Kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Nady Febri Ariffiando, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia SD.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan
dengan topik yang diberikan. Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
Tidak ada gading yang tak retak, kami menyadari jika makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik serta saran demi kesempurnaan
dari makalah ini.

Bengkulu, 3 Januari 2024

Penyusun
DAFTR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
1.3. Tujuan Penulisan......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................2
2.1. Hakikat Bahasa.........................................................................................................2
2.2. Fungsi Bahasa...........................................................................................................8
2.3. Sifat Bahasa.............................................................................................................10
2.4. Hakikat Pembelajaran Bahasa..............................................................................15
2.5. Tipe Belajar yang Melibatkan Bahasa.....................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................................18
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................18
3.2 Saran........................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Istilah bahasa tentu bukan merupakan hal yang baru bagi kita. Istilah tersebut setiap saat
selalukita dengar, baca, atau bahkan digunakan untuk berkomunikasi secara lisan maupun
tulisan.Bukan hanya itu, hampir setiap saat dalam kehidupan sehari!hari, kita menggunakan
bahasa atau berbahasa. Begitu seringnya kita menggunakan istilah bahasa atau menggunakan
bahasa maka terkadang kita lupa untuk memahami apa sesungguhnya hakikat dan fungsi
bahasa itu. Agar mahasiswa dapat mengukur sejauh mana pemahaman terhadap materi ini
sebelum memasuki materi berikutnya

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dari makalaah inin adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan hakikat bahasa?
2. Apa saja fungsi dan sifat-sifat dari bahasa?
3. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran bahasa
4. Tipe belajar apa yang melibatkan bahasa?

1.3 Tujuan Penulisan


Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui hakikat bahasa
2. Untuk mengetahui fungsi dan sifat-sifat dari bahasa
3. Untuk mengetahui pembelajaran bahasa
4. Untuk mengetahui tipe belajar yang melibatkan bahasa
1.4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 HAKIKAT BAHASA


Sejak zaman dahulu bahasa menjadi hal penting manusia dalam berinteraksi. Manusia
adalah makhluk sosial dengan memiliki hubungan dengan manusia lainnya tentu perlu
kehadiran bahasa. Bahasa tersebut terus digunakan dalam menyampaikan gagasan,
fikiran, dan keinginan dalam kehidupannya. Begitu pentingnya bahasa maka hal ini perlu
diketahui hakikat bahasa itu sendiri. Dengan begitu, kita akan mengetahui seluk beluk
bahasa itu sendiri. Banyak para ahli bahasa mengemukakan pendapatnya tentang hakikat
bahasa itu sendiri. Namun, pendapat tentu sudah melalui studi yang komprehensif,
sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat bahasa itu sendiri. Adapun hakikat
bahasa menurut berbagai para ahli bahasa dapat disimpulkan, yaitu:
1. Bahasa Sebagai Sistem
Bahasa adalah sebuah sistem yang memiliki arti bahwa bahasa terdapat unsur yang
tersusun dan teratur mengikuti pola yang terbentuk dari keseluruhan komponen yang
memiliki makna atau fungsi. Sistem tersebut berhubungan dengan berbagai unsur atau
komponen secara fungsional. Bahasa bukan terbentuk dari pola acak atau tidak beraturan,
melainkan terbentuk dari pola yang berulang dan memiliki hierarki secara tata
kebahasaan. Sehingga bahasa tersebut tetap mengikuti jenjang dari yang terendah sampai
tertinggi. Oleh demikian, bahasa akan sesuai dengan urutan sesuai dalam sistem. Bahasa
yang terdiri dari sistem tunggal tentu ada subsistem lainnya yaitu subsistem fonologi,
morfologi, sintaksis dan semantik. Adapun tingkatan tataran linguistik dan bahasa, yaitu
diurut berdasarkan hal terendah hingga tertinggi seperti tataran fonem, morfem, frase,
klausa, kalimat, dan wacana. Adapun bidang fonologi termasuk pada tataran fonem,
bidang kajian morfologi termasuk dalam tataran morfem dan kata, bidang kajian sintaksis
termasuk dalam tataran frase, klausa dan kalimat, bidang kajian analisis wacana yang
merupakan tataran tertinggi termasuk dalam tataran wacana.
2. Bahasa Sebagai Lambang
Suatu negara tentu memiliki lambang tertentu, seperti Indonesia lambing negara
Indonesia, yaitu Garuda Pancasila yang di dalamnya terdapat lambang bintang bersudut
lima, tali rantai, pohon beringin, kepala banteng, serta kapas dan padi. Hal ini semua
melambangkan tentang makna dari lima sila. Bahkan, bendera Sang Saka Merah Putih
selalu dilambangkan dengan merah yang melambangkan keberanian, sedangkan putih
dilambangkan kesucian. Hal ini menggambarkan dalam kehidupan sehari-hari, sering
menemukan tentang lambang. Secara pengertian yang sama kata lambang itu sebenarnya
sering disamakan dengan kata simbol. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentangseluk
beluk simbol atau berbagai tanda dalam kehidupan manusia seperti halnya bahasa adalah
ilmu semiotika dan semiologi. Ada berbagai tanda yang dibedakan dalam ilmu semiotika
dan semiologi, yaitu lambang (simbol), sinyal (signal), tanda (sign), gerak isyarat
(gesture), gejala (sympton), kode, ikon, dan indeks. Selain itu, ada perbedaan yang
dimaksud dengan tanda dan lambang.
Tanda dalam kajian semiotika dijelaskan sebagai suatu hal yang menandai dan
mewakili pikiran, ide, gagasan, perasaan dan benda secara langsung dan alamiah.
Misalnya, seseorang yang menangis ditandai dengan keluarnya air mata, atau keluarnya
asap tebal keluar dari dalam hutan dapat menandai bahwa ada kebakaran hutan. Lain
halnya dengan tanda, lambang atau simbol sifatnya alamiah atau tidak langsung,
melainkan secara konvensional untuk menandai sesuatu. Misalkan, ketika berjalan ke
suatu tempat dan melihat adanya janur kuning melengkung disebuah gerbang halaman
rumah, maka kita akan tahu bahwa di rumah tersebut sedang atau telah melangsungkan
acara pesta pernikahan. Mengapa demikian? Karena secara konvensional janur kuning
dijadikan tanda adanya pesta pernikahan.
Sejauh ini, untuk memahami sebuah lambang tentu harus mempelajarinya satu
persatu. Sebab orang yang belum mengenal sesuatu yang dilambangkannya, maka orang
tersebut tidak akan mengetahuinya. Seperti halnya janur kuning mungkin bisa saja
sebagai lambang yang digunakan budaya Bali yang bukan menandakan sebuah pesta
pernikahan.Hal ini karena, lambang yang sifanya arbitrer yaitu tidak ada hubungan wajib
dengan yang dilambangkannya.
3. Bahasa itu Sistem Bunyi
Salah satu pengertian bahasa adalah sistem lambang bunyi. Namun, tidak semua
bunyi itu dapat dikatakan bahasa. Karena ada hal yang perlu dibedakan antara bunyi
bahasa dengan bunyi di luar bahasa. Menurut Kridalasana bahwa bunyi itu merupakan
kesan pusat saraf yang bereaksi melalui gendang telinga karena perubahan tekanan udara
(Ahmad & Abdullah, 2012). Bunyi ini berasal dari berbagai sumber gesek atau benturan
pada benda, seperti suara dari binatang dan manusia. Sedangkan, bunyi bahasa bagi
manusia adalah bunyi ujaran atau bahasa pada satuan bunyi yang dihasilkan manusia
melalui alat ucap. Maka dari itu, bunyi yang tidak berasal dari manusia maka tidak
termasuk kedalam bahasa.
Namun,tidak semuanya bunyi yang berasal dari manusia itu bunyi bahasa, seperti
bersin, batuk, dan bunyi orokan saat tidur. Hal ini dikarenakan, bunyi tersebut tidak
memiliki pesan dan tidak ada kesengajaan dari orang tersebut. Jadi bunyi bahasa itu harus
diucapkan yang pada fonetik sebagai “fon” dan fonemik sebagai “fonemik”. Lantas,
bagaimana dengan bahasa tulisan? Bahasa tulisan tidak menghasilkan bunyi bahasa.
Sebenarnya dalam bahasa tulis rekaman berasal dari bahasa lisan yang disampaikan
melalui bahasa tulis. Karena, bahasa lisan yang diucapkan oleh manusia, akan diganti
dengan sitem aksara dalam huruf dan tanda lain.
4. Bahasa itu Bermakna
Salah satu tujuan berbahasa adalah sebagai alat komunikasi. Setiap komunikasi pasti
menyampaikan pesan bermakna yang saling dimengerti satu sama lain. Bahasa itu
merupakan suatu sistem lambang dengan bunyi bahasa dari alat diucapkan manusia
dengan memiliki makna. Artinya makna itu dalam suatu bahasa harus ada. Ketika sebuah
bunyi bahasa tanpa adanya pesan yang bermakna, maka itu tidak termasuk bahasa. Setiap
lambang pasti melambangkan sesuatu yang dilambangkan, baik berupa pengertian,
gagasan, konsep, ide, dan pikiran. Setiap makna akan menunjukkan hal yang sama seperti
bendanya.
Namun ada pula yang memberikan pernyataan bahwa makna itu terletak pada
konsepnya. Karena, tak semua wujud bunyi dalam lambang bahasa berhubungan
langsung pada benda konkret di alam nyata. Misalnya lambang dari bunyi [sapi] atau
[jalan] dapat ditunjukkan dengan benda konkret yang berada di alam nyata. Tetapi,
lambang bunyi [agama] dan [sejahtera] tidak punya benda yang konkret di alam nyata.
Maksudnya adalah lambang bunyi tersebut tidak memiliki rujukan atau referen. Adapun
satuan dari bahasa sepertihalnya morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana
merupakan lambang bunyi bahasa yang bermakna. Namun, memiliki tingkatan yang
berbeda, maka tidak sama jenis maknanya. Misalnya, morfem dan kata termasuk makna
leksikal, sedang makna gramatikal didalamnya mencakup frase, klausa, dan kalimat.
Adapun wacana termasuk pada makna konteks atau makna pragmatik. Bahasa itu harus
brmakna, maka ucapan yang tak bermakna tidak termasuk bahasa. Hal itu karena fungsi
bahasa untuk memberikan pesan, ide, konsep, dan pikiran kepada orang lain.
5. Bahasa itu Arbitrer
Bahasa sebagai arbiter dapat memiliki arti sebagai bentuk sewenang-wenang,
berubah-ubah, mana suka, dan tetap. Arbiter itu lambang bahasa berwujud bunyi tidak
ada hubungan wajib dengan konsep dan pengertian dari lambang itu. Misalkan pada
[sapi] terhadap yang dilambangkan, yaitu “sejenis binatang berkaki empat yang bisa
dimakan dagingnya”. Maka dapat dijelaskan bahwa binatang itu memiliki lambang bunyi
[sapi], bukannya [pisa] atau [apis] atau lambang lainnya.
Bolinger mengatakan apabila lambang dengan yang dilambangkan ada hubungan,
maka seseorang yang kurang mengetahui suatu bahasa tertentu menebak makna sebuah
kata yang didengarkannya. Faktanya, kita belum bisa menebak suatu makna dari kata
yang tidak pernah didengarkannya, sebab bunyi kata itu tidak memberikan “petunjuk”
atau “saran” dalam mengetahui maknanya (Chaer, 2012). Selain itu, apabila lambang
terhadapa pada yang dilambangkan wajib berhubungan, maka lambang pada bahasa
Indonesia berbunyi [sapi], akan juga disebut [sapi] oleh orang Inggris ,bukan [cow].
Bahkan, dimuka bumi tidak akan ada berbagai macam bahasa apabila lambang dengan
yang dilambangkannya wajib berhubungan.
Ada pula pertanyaan, mengapa benda yang memiliki kesamaan terdengar terdapat
perbedaan oleh dua penutur bahasa yang lainnya. Memang sulit menjawabnya. Namun,
mungkin dari bahasa yang bersifat arbitrer dan bahasa bersifat sistem bunyi, sehingga
bahasa-bahasa tersebut dapat berbeda.
6. Bahasa ituKonvensional
Sebuah bahasa walupunmerupakan lambing bunyi bersifat arbiter. Namun,
penggunaan lambang tersebut bersifat konvensional. Artinya setiap masyarakat
menyepakati dan patuh terhadap konvensi dalam suatu lambang yang dipakai untuk
mewakili konsep yang diwakilinya. Seperti halnya binatang yang memiliki kaki empat
dengan dagingnya bisa dimakan menggunakan lambang berbunyi [kuda], maka semua
orang Indonesia wajib mengikutinya. Sebab jika lambang bunyi tidak dipatuhinya, maka
komunikasi menjadi lambat, bahkan tidak dimengerti dengan penutur bahasa yang
lainnya. Bahkan, penutur tersebut sudah keluar dari konvensi yang telah disepakati.
Jadi, bahasa sebagai arbiter terdapat pada hubungan lambang bunyi yang
dilambangkan. Namun, bahasa sebagai konvensional terletak berdasarkan penutur yang
patuh pada penggunaan lambang bunyi sesuai pada yang dilambangkan. Maka dari itu,
jangan pernah mencoba untuk mengubah konvensi tersebut agar tidak terhambat
komunikasinya. Namun, ada juga lambang “yang dibuat” selain dari lambang yang “siap
pakai” untuk menambung konsep yang ada namun belum dilambangkan. Artinya ada
istilah baru yang digunakan untuk mewakili sebuah konsep karena mengikuti
perkembangan bahasa. Walaupun lambang tersebut masih asing digunakan oleh penutur
lainnya. Lambang bunyi tersebut bisa dipakai atau tidak tergantung kebutuhan
penuturnya.
7. Bahasa itu Produktif
Bahasa walaupun memiliki berbagai unsur yang terbatas, namun tetap dikatakan
produktif. Sebab satuan bahasa jumlah yang tidak terbatas. Walaupun secara relatif sesuai
sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Bahasa Indonesia dapat dikatakan produktif terlihat
dari jumlah kalimatyangdibuat.Berdasarkan sumber dari pusat bahasa bahwa kata yang
terdapat di bahasa Indonesia berjumlah kurang lebih 90.000 buah kata. Namun, dengan
jumlah kata tersebut dapat dibuat mungkin jutaan kalimat.
8. Bahasa itu Unik
Ciri khusus bahasa belum tentu dimiliki bahasa lainnya. Maka dari itu, bahasa bersifat
unik memiliki arti bahwa setiap bahasa berciri khas tersendiri. Adapun ciri khas itu dilihat
dari berbagai tinjauan, seperti sistem pembentukan bunyi bahasa, sistem pembentukan
kata, sistem dalam membentuk kalimat atau sistem lainnya. Adapun hal unik yang
dimiliki bahasa Indonesia yaitu penekanan kata yang bersifat sintaksi, bukan bersifat
morfemis. Artinya adalah kata dalam sebuah kalimat diberikan tekanan, sehingga kata
tersebut tetap dan tidak ada perubahan.
Namun yang berubah makna keseluruhan kalimat. Selai nitu,hal unik yang dimiliki
pada tiap-tiap bahasa,seperti bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak,
bahasa Inggris, bahasaArab, ataupun bahasa lainnya. Namun, apabila keunikan terjadi
pada satu rumpun bahasa itu termasuk ciri darirumpun bahasa tersebut bukan termasuk
dalam keunikan bahasa.
9. Bahasa itu Universal
Bahasa yang bersifat unik, tentu terdapat suatu ciri khas yang bersifat universal.
Artinya setiap bahasa di dunia mempunyai ciri khas yang sama di dunia. Ciri universal
tersebut adalah unsur bahasa yang paling umum, sehingga unsur tersebut dapat dikaitkan
dengan bahasa lainnya, baik ciri atau sifat bahasa. Paling umum ciri suatu bahasa bersifat
universal yaitu bahasa terdapat bunyi bahasa, yaitu vokal dan konsonan. Misalnya, bahasa
Indonesia terdiri dari 6 buah vokal, dan ditambah lagi dengan 22 buah konsonan. Bahasa
Inggris terdiri dari 16 buah vokal (termasuk diftong) dan ditambah lagi dengan 24 buah
konsonan. Adapun pada bahasa Arab terdiri dari 3 buah vokal dan 28 buah konsonan.
Selain itu, sifat bahasa yang universal dapat dilihat dari satuan bahasa yang bermakna,
seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
10. Bahasa itu Bervariasi
Sekolompok orang berada pada masyarakat tentu menggunakan bahasa. Lantas
siapakah yang berada dalam satu masyarakat tersebut? Tentu yang masuk dalam
masyarkat bahasa tersebut ialah mereka yang menganggap memiliki bahasa sama. Seperti
masyarakat bahasa Indonesia ialah orang yang menggunakan dan merasa bahasa
Indonesia dimiliki sebagaialat komunikasi setiaphari. Masyarakat Madura merasa bahasa
Madura dimiliki dan digunakan oleh orang Madura, begitu juga pada masyarakat bahasa
yang lainnya.
Pada umumnya, suatu bahasa dalam anggota masyarakat terdiri dari dari orang yang
berlatarbelakang budaya dan berbeda status sosial. Ada masyarakat bahasa yang
berpendidikan ada yang tidak berpendidikan. Ada yang berpendidikan rendah ada yang
berpendidikan tinggi. Ada yang berada di desa ada di kota. Ada yang dewasa ada yang
masih anak-anak. Bahkan, ada berbagai profesi dalam masyarakat bahasa seperti petani,
nelayan, dokter, dosen, pegawai, dan yang lainnya. Maka dari itu, berdasarkan latar
belakang dan lingkungan yang berbeda-beda maka terdapat ragam dalam suatu bahasa.
Adapun variasi bahasa yang dapat diketahui adalah idiolek, dialek, dan ragam bahasa.
Idiolek merupakan variasi dari suatu bahasa yang bersifat perorangan. Artinya seseorang
memiliki ciri khas tertentu. Misalnya setiap karya seseorng memiliki ciri khas tersendiri
karena termasuk dalam idiolek. Dialek merupakan variasi dalam suatu bahasa yang
berguna dalam kelompok masyarakat pada tempat atau waktu tertentu.
11. Bahasa itu Dinamis
Bahasa itu disebut dinamis artinya salah satu hal yang akan tidak pernah lepas dari
kehidupan manusia. Bahkan setiap kegiatan dan gerak manusia maka bahasa akan terus
digunakan oleh manusia. Sebagai manusia yang memiliki berbagai budaya dan juga
bermasyarakat, maka aktivitas manusia akan tetap menggunakan bahasa. Maka dari itu,
bahasa merupakan aspek terpenting bagi manusia.Maka dari itu, keterkaitan dan
keterikatan bahasa dengan manusia akan terus ada. Sedangkan kehidapan masyarakat
manusia dalam berinteraksi terus berkembang dan bervariasi secara dinamis. Maka tentu
bahasa akan terus berubah secara dinamis mengikuti perkembangan manusia.Adapun
perubahan yang paling banyak tejadi pada bidang leksikon dan semantik. Berbagai kata
baru bermunculan sebagai akibat adanya budaya dan ilmu yang berubah. Bahkan
perkembangan teknologi dan media sosial bisa memengaruhi bahasa untuk
mengikutikedinamisan tersebut. Sehingga, istilah-istilah baru tak dapat dibendung.
12. Bahasa itu Manusiawi
Berbagai macam pertanyaan tentang bahasa dan binatang. Apakah binatang memiliki
bahasa? Mungkin dahuli, kita pernah membaca sejarah tentang nabi Sulaiman As yang
dapat berbicara dengan binatang. Dengan begitu binatang memiliki bahasa. Bahkan
beberapa hewan yang berbicara seperti manusia.Berdasarkan pengertian bahasa yang
telah diuraikan di atas bahwa bahasa suatu sistem lambang bunyi yang berasal dari
ucapan manusia yang bersifat produktif, bermakna, dan arbiter.
Maka dengan demikian, binatang tidak memiliki bahasa.Berkaitan dengan bahasa
binatang telah banyak pakar bahasa melakukan penelitian yang menyimpulkan bahwa
satuan pada komunikasi binatang hany bersifat tetap tanpa ada perubahan. Alat
komunikasi yang digunakan binatang tidak dapat menyampaikan konsep dan ide baru,
melainkan hanya digunakan secara alamiah. Namun, hanya untuk kebutuhan hidup dan
biologis saja.
13. Bahasa itu Identitas suatu Kelompok Sosial
Manusia yang memiliki kebudayaan tentu memiliki ciri-ciriter sendiri. Maka dari itu,
ciri-ciri yang sangat menonjol dan pembeda yaitu bahasa. Melalui bahasa, maka pada
setiap kelompok sosial pasti merasa dirinya berbeda dengan kelompok yang lain.Pada
kelompok tertentu, orang akan memiliki anggapan bahwa bahasa itu suatu identitas sosial
yang penting daripada bahasa sebagai sistem. Misalnya, bahasa Indonesia akan
menggambarkan perilaku orang Indonesia, bahasa Madura akan menggambarkan dan
menjadi identitas bagi orang Madura, dan begitulah seterusnya.

2.2 FUNGSI BAHASA

Dari penjelasan tentang pengertian bahasa tersebut, secara umum bahasa memiliki
fungsi personal dan sosial. Fungsi personal mengacu pada peranan bahasa sebagai alat
untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan setiap diri manusia sebagai makhluk
individu. Dengan bahasa, manusia menyatakan keinginan, cita-cita, kesetujuan dan
ketidaksetujuan, serta rasa suka dan tidak suka. Adapun fungsi sosial mengacu pada
peranan bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antarindividu atau
antarkelompok sosial. Dengan menggunakan bahasa mereka saling menyapa, saling
mempengaruhi, saling bermusyawarah, dan bekerja sama. Halliday (1975, dalam
Tompkins dan Hoskisson, 1995) secara khusus mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa
sebagai berikut.

1. Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat, pikiran,


sikap atau perasaan pemakainya.

2. Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau


pikiran/pendapat orang lain, seperti bujukan, rayuan, permohonan atau perintah. 3. Fungsi
interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan
sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan.

4. Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi, ilmu


pengetahuan atau budaya.

5. Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi,
seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal.

6. Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan rasa
estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra.

7. Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau


kebutuhan pemakainya, seperti saya ingin ….

Dalam praktiknya, fungsi-fungsi tersebut jarang berdiri sendiri. Antara satu fungsi
dengan fungsi lain saling terkait dan saling mendukung. Dengan demikian, suatu tindak
berbahasa dapat mengandung lebih dari satu fungsi.

Banyak ahli yang memberikan definisi tentang fungsi bahasa. Dengan demikian,
banyak pula definisi yang dapat kita ketahui. Untuk itu mari kita lihat definisi-definisi
berikut ini.

1. Aristoteles (2004: 58) menyatakan bahasa adalah alat untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaan manusia.

2. Karl Raemind Popper mengemukakan 4 fungsi bahasa.

a) Fungsi ekspresif yaitu; fungsi untuk mengungkapkan atau menyatakan diri.


b) Fungsi sinyal yaitu; fungsi mereaksi, menjawab, atau memberi tanggapan.
c) Fungsi deskriptif yaitu; fungsi yang mencakup kedua fungsi di atas, hanya caranya
memberi gambaran atau mendeskripsikan secara rinci apa-apa yang akan
disampaikan.
d) Fungsi argumentatif yaitu; fungsi bahasa dalam memberikan alasan atau argumen.

3. Karl Buhler, seorang sarjana Jerman membedakan 3 fungsi bahasa.


a) Appel yaitu fungsi memerintah.
b) Ausdruch yaitu fungsi untuk mengungkapkan suasana hati.
c) Darstellung yaitu fungsi yang mengacu objek tertentu yang berada di luar diri
penutur.

2.3. SIFAT-SIFAT BAHASA

Bahasa juga digunakan untuk memberi nama atau istilah terhadap sesuatu, pemberian
nama atau istilah ini tidak didasari oleh hubungan sebab akibat. Artinya, pemberian nama
terhadap suatu benda misalnya dilakukan secara makna suka oleh pengguna bahasa. Sikap
makna suka atau sekehendak hati ini menjadi dasar berkembangnya bahasa. Dengan
demikian, bahasa dikatakan memiliki sifat manasuka atau disebut dengan istilah arbitrer.
Uraian di atas menunjukkan bahwa bahasa memiliki sifat-sifat sebagai berikut.

1. Bahasa itu bersifat indah.

2. Bahasa itu bersifat manusiawi.

3. Bahasa itu bersifat produktif.

4. Bahasa itu bersifat dinamis.

5. Bahasa itu bersifat variatif.

6. Bahasa itu bersifat konvensional.

7. Bahasa itu bersifat arbitrer.

2.4 HAKIKAT PEMBELAJARAN BAHASA

a. Konsep Belajar
Belajar layaknya sebuah proses membangun gedung. Anak-anak secara terusmenerus
membangun makna baru (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) berdasarkan apa
yang telah mereka kuasai sebelumnya (pengetahuan, sikap, dan keterampilan). Kalau
diibaratkan, dalam belajar sesuatu, misalkan bahasa, anak atau peserta didik (sebagai
pengguna bahasa) adalah orang yang membangun, makna adalah apa yang mereka
bangun, dan apa yang mereka miliki atau kuasai sebelumnya adalah material atau
bahan bangunan yang mereka gunakan untuk membangun. Belajar adalah sebuah
proses penambahan bagian demi bagian informasi baru terhadap apa yang telah
mereka ketahui dan kuasai sebelumnya.
Pengetahuan dibangun siswa melalui keterlibatan mereka secara aktif dalam belajar
atau apa yang Anda kenal dengan istilah John Dewey ’belajar sambil berbuat (learning by
doing). Contoh, siswa belajar menyimak melalui kegiatan menyimak, belajar berbicara
melalui kegiatan berbicara, belajar membaca melalui kegiatan membaca, belajar menulis
melalui kegiatan menulis, dan siswa belajar sastra melalui kegiatan bersastra. Lalu,
apakah teori menyimak, berbicara, membaca, menulis, sastra, dan kebahasaan tidak perlu
diajarkan? Siswa memang perlu memiliki wawasan teoretis. Tetapi, untuk siswa SD teori
itu diajarkan secara terpadu melalui kegiatan belajar bahasa yang sesuai dalam konteks
yang bermakna. Tidak perlu penyajian teori itu diberikan secara khusus. Jadi,
keberhasilan pembelajaran tidak terletak pada seberapa banyak materi atau informasi
yang disampaikan guru kepada siswa. Kita semua tahu bahwa tidak semua hal yang
disampaikan guru diperhatikan dan dipelajari siswa. Mengapa? Sebab, belum tentu siswa
memerlukannya atau, boleh jadi materi itu diperlukan, tetapi siswa mengabaikannya
karena penyajiannya tidak menarik atau membosankan. Siswa diposisikan hanya sebagai
penerima informasi dari gurunya melalui ceramah dari awal hingga akhir pelajaran.
Padahal, ukuran utama keberhasilan pembelajaran terletak pada seberapa jauh guru dapat
melibatkan siswa secara aktif dalam belajar (Tyler, 1949; Reece dan Walker, 1997;
Kemp, 1985; serta Glover dan Law, 2002).
Siswa belajar dengan menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman (dengan
kegiatan langsung atau tidak langsung), pengamatan (melihat contoh atau model), dan
bahasa. Dengan cara-cara itu, siswa belajar melalui kehidupan mereka dengan menggali
dan menemukan sesuatu yang baru secara aktif. Ini berarti, kegiatan belajar berlangsung
melalui apa yang dilakukan secara aktif oleh siswa. Sesibuk apa pun yang dilakukan guru
jika anak tidak belajar maka sebenarnya pembelajaran tidak pernah terjadi. Oleh karena
itu, tugas guru dalam pembelajaran adalah melakukan berbagai upaya agar siswa
termotivasi dan terlibat secara aktif dalam belajar.
Proses belajar terjadi ketika siswa dapat menghubungkan apa yang telah mereka
ketahui dengan apa yang mereka temukan melalui pengalaman belajar yang dilaluinya.
Pengalaman belajar itu terjadi melalui interaksi yang bermakna antara siswa dengan
siswa, guru, bahan pelajaran, dan lingkungan belajarnya. Ini berarti siswa belajar ketika
mereka didukung oleh orang lain (dalam hal ini guru), yang memiliki pengetahuan
tentang sesuatu yang mereka tidak ketahui dalam kegiatan belajar yang sukar sehingga
mereka terbantu untuk dapat belajar secara lebih mandiri. Lalu, apa implikasinya bagi
guru dalam pembelajaran?
Pertama karena siswa belajar berdasarkan apa yang telah dipahami atau dikuasai
sebelumnya maka guru hendaknya mengupayakan agar pembelajaran bertolak dari apa
yang telah diketahui siswa. Ketika kita akan mengajarkan menulis surat, misalnya ajaklah
siswa untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya tentang surat dan cara membuat
surat. Akan lebih baik apabila kepada siswa pun diberikan contoh-contoh surat yang
sesuai. Mengapa upaya itu perlu dilakukan? Apabila tidak dilakukan maka pelajaran yang
disajikan dapat saja terlalu sukar atau mungkin terlalu mudah bagi siswa. Apabila
pengetahuan yang dipelajari itu terlalu asing atau sulit maka siswa akan kesukaran untuk
mencernanya karena tidak dapat menghubungkannya dengan apa yang telah ia ketahui
sebelumnya. Jika kesulitan itu tidak terpecahkan maka anak akan menghindar atau malas
mempelajari pengetahuan baru itu. Sebaliknya, apabila pengetahuan baru itu terlalu
mudah maka anak akan merasa jenuh dan tidak merasa berguna untuk mempelajarinya.
Dengan kata lain, guru harus pandai-pandai memilih substansi yang akan dipelajari
siswa sehingga tidak terlalu mudah atau terlalu sukar. Untuk dapat melakukan hal itu,
guru perlu memahami lebih dulu pengetahuan, sikap atau keterampilan yang telah
dimiliki siswa (prior atau background knowledge) yang terkait dengan sesuatu yang akan
dipelajarinya. Caranya, dapat melalui pre-test, apersepsi atau pertanyaanpertanyaan yang
dilontarkan guru kepada siswa di awal pembelajaran. Kalau memang sesuatu yang akan
diajarkan itu sudah dipahami siswa dengan baik, untuk apa kita mengajarkannya.
Mubazir! Begitu pula, kalau materi itu terlalu sulit, kita harus menyederhanakannya.
Sebab apabila tidak, siswa tidak akan dapat belajar dengan baik.
Kedua karena belajar dilakukan secara aktif oleh siswa melalui kegiatan atau
pengalaman belajar yang dilaluinya maka siswalah yang berperan sebagai pusat
pembelajaran. Bukan guru. Guru perlu melakukan, seperti memilih, merancang, dan
mengorganisasikan kegiatan/pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Menarik,
artinya kegiatan belajar itu dapat dilakukan dan menantang sehingga siswa tidak merasa
terbebani. Ketika belajar membaca, misalnya siswa tidak hanya belajar melulu melalui
membaca wacana yang ada di buku teks (biasanya sangat terbatas), lalu diikuti dengan
menjawab pertanyaan tentang isi wacana tersebut. Tetapi juga, siswa dilibatkan untuk
membaca berbagai bacaan (baik yang bersumber dari buku, majalah anak-anak atau
internet), saling berbagi dengan temannya apa yang ia baca, membuat tanggapan atas
bacaan atau membuat tulisan/karangan yang sejenis dengan yang ia baca. Bermakna
artinya kegiatan belajar itu sesuai dengan kebutuhan anak dan tujuan pembelajaran.
Ketiga, dalam belajar siswa perlu berinteraksi dengan yang lain serta dukungan guru
dan temannya maka guru perlu merancang kegiatan belajar bukan hanya dalam bentuk
klasikal atau individual, tetapi juga dalam bentuk kelompok. Bahkan dapat pula guru
melibatkan sumber lain dalam pembelajaran, misalnya orang tua murid yang memiliki
keahlian atau profesi tertentu atau mengajak siswa untuk mewawancarai petani, pedagang
atau tukang becak.
Dari uraian tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku siswa melalui latihan dan pengalaman yang dilakukannya secara aktif. Hasil belajar
berupa pengetahuan, sikap atau keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang
telah dipahami dan dikuasainya. Dalam pembelajaran tugas guru adalah menjadikan
siswa belajar melalui penciptaan strategi dan lingkungan belajar yang menarik dan
bermakna. Begitulah sekilas uraian tentang konsep belajar. Bagaimana, jelas? Kalau
masih bingung, cobalah ulangi dengan cara membaca secara perlahan dan
mendiskusikannya dengan teman-teman guru.
Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitasnya,
yaitu keluarga, teman, media radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa
yang dikatakan oleh anggota komunitasnya dan sekaligus menyampaikan ide serta
perasaan dengan yang lain melalui bahasa yang digunakan. Memang luar biasa, dalam
waktu tiga sampai empat tahun, anak-anak telah menguasai sistem yang kompleks dari
bahasa ibunya. Bahkan, mereka dapat memahami kalimat-kalimat yang belum pernah
didengar sebelumnya, dan menghasilkan kalimat-kalimat yang belum pernah terucap
sebelumnya. Lalu, bagaimana mereka belajar bahasa sehingga hasilnya begitu luar biasa?
Anak-anak itu belajar dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban,
apalagi diajari secara khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut.
1. Semua Komponen, Sistem, dan Keterampilan Bahasa Dipelajari secara terpadu
ketika anak belajar berbicara, dia sekaligus belajar menyimak. pada saat itu pula,
tanpa disadari, mereka pun mempelajari dan menguasai komponen dan aturan bahasa,
seperti bunyi bahasa berikut sistem fonologinya, satuan bahasa (seperti frase, kalimat,
wacana, intonasi) berikut sistem gramatika, kosa kata dan sistem penggunaannya,
serta pragmatik yang memungkinkan mereka dapat memilih dan menggunakan ragam
bahasa yang sesuai dengan fungsi dan tujuan berbahasa.
2. Belajar Bahasa Dilakukan secara Alami dan Langsung dalam Konteks yang Otentik.
Anak-anak belajar bahasa tanpa terlebih dulu belajar teori bahasa, melainkan melalui
pengalaman langsung dalam kegiatan berbahasa (immersion). Coba tanya diri Anda
sendiri. Apakah Anda mengajari balita Anda dengan teori bahasa ketika mereka
belajar bahasa? Apakah Anda mengajari mereka dengan teori apa dan bagaimana
berbicara dan menyimak atau apa komponen dan sistem bahasa? Pasti jawabnya,
tidak. Lagi pula kalau Anda ajari pun, mereka tak akan mengerti. Komponen, sistem,
dan keterampilan berbahasa yang dikuasai anak tidak berasal dari teori yang dipelajari
secara khusus. Mereka memahaminya berdasarkan simpulan sendiri yang secara tidak
sadar dilakukannya berdasarkan pengalaman bahasa yang dilaluinya. Mereka belajar
bahasa secara langsung dalam kegiatan berbahasa dan interaksi dengan keluarga,
pengasuh, teman bermain, dan lingkungannya dalam konteks nyata, alami, dan tidak
dibuat-buat (otentik). Komunitas di mana anak tumbuh dan berkembang memberikan
inspirasi, masukan, dan model dalam belajar bahasa. Oleh karena itu, keadaan
komunitas yang mengitari anak, akan mempengaruhi pula corak berbahasa yang
dikuasai dan dihasilkan anak. Jika masukan dan model berbahasa yang diperoleh anak
kaya dan bagus maka akan tinggi dan bagus pula bahasa yang dikuasai anak. Begitu
pula, sebaliknya. Coba Anda perhatikan, bagaimana perbedaan bahasa anak-anak
balita yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga terdidik dan agamais, dan anak-
anak yang dibesarkan di lingkungan pasar atau jalanan!
3. Belajar Bahasa Dilakukan secara Bertahap, Sesuai dengan Kebutuhannya Anak
belajar bahasa secara bertahap. Tahapan itu terjadi seiring dengan kebutuhan anak
dalam berkomunikasi serta pertumbuhan fisik, intelektual, dan sosial mereka. Jika
masukan bahasa yang mereka terima tidak sesuai dengan kebutuhan mereka atau
ternyata terlalu sulit maka mereka akan mengabaikannya. Mereka belajar bahasa dari
yang sederhana menuju yang rumit, dari yang dekat menuju yang jauh, dan konkret
menuju yang abstrak. Mana yang lebih dahulu anak kuasai dari kata berikut?
a. Susu.
b. Rumah.
c. Mama.
d. Mandi.
Ya, tentu Anda setuju bahwa anak akan menguasai kata (a) baru kata lainnya.
4. Belajar Bahasa dilakukan melalui Strategi Uji Coba (Trial-Error) dan Strategi
Lainnya. Mencontoh adalah salah satu cara yang dilakukan anak dalam belajar
bahasa. Namun demikian, perilaku mencontoh yang dilakukan anak tidak, seperti
halnya beo yang mengikuti apa saja yang ’diajarkan’ orang kepadanya. Anak meniru
atau mencontoh perilaku berbahasa yang disediakan lingkungannya secara kreatif. Ia
mengolah dan menerapkannya secara langsung dalam berbahasa melalui strategi uji-
coba. Kalau ternyata unjuk berbahasa yang dia lakukan ternyata mendapat respons
yang baik maka ia akan melanjutkannya dengan kreasi-kreasi berbahasa lainnya.
Sebaliknya, apabila anak merasa apa yang disampaikannya tidak pas maka ia akan
menghentikan dan memperbaikinya. Oleh karena itu, kesalahan dalam belajar bahasa
harus disikap secara wajar, sebagai bagian penting dari belajar bahasa itu sendiri. Cara
belajar bahasa anak itu yang kerap luput dari pengamatan kita selaku orang dewasa
kerap membuat kita terkaget-kaget karena anak ternyata dapat memahami dan
menghasilkan tuturan baru, yang tidak pernah didengar dan diucapkan sebelumnya.

2.5 TIPE BELAJAR YANG MELIBATKAN BAHASA

Saudara, Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe
belajar yang melibatkan bahasa.
1. Belajar Bahasa

Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan kemampuan


berbahasa atau kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang digunakannya.
Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk menyampaikan pesan,
baik secara lisan (melalui berbicara) maupun tertulis (melalui menulis), serta (2)
kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima pesan, baik yang disampaikan
secara lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca).
Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu tentu saja melibatkan penguasaan kaidah
bahasa serta pragmatik. Kemampuan pragmatik merupakan kesanggupan pengguna
bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, sesuai
dengan kebutuhan, tujuan, dan konteks berbahasa itu sendiri.

2. Belajar melalui Bahasa


Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap, keterampilan.
Dalam konteks ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempelajari sesuatu, seperti
Matematika, IPA, Sejarah, dan Kewarganegaraan.

3. Belajar tentang Bahasa

Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang terdapat pada suatu
bahasa, seperti sejarah, sistem bahasa, kaidah berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.

Lalu, dari ketiga tipe belajar bahasa tersebut, mana yang dipelajari di SD? Belajar
bahasa Indonesia untuk siswa SD pada dasarnya bertujuan untuk mengasah dan
membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi atau kemampuan menerapkan
bahasa Indonesia dengan tepat untuk berbagai tujuan dan dalam konteks yang berbeda.
Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia berfokus pada penguasaan berbahasa
(Tipe 1: belajar bahasa), untuk dapat diterapkan bagi berbagai keperluan dalam bermacam
situasi, seperti belajar, berpikir, berekspresi, bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi
(Tipe 2: belajar melalui bahasa). Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik maka
siswa perlu menguasai kaidah bahasa dengan baik pula (Tipe 3: belajar tentang bahasa).
Dalam konteks ini, penguasaan kaidah bahasa bukan tujuan, melainkan hanyalah sebagai
alat agar kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.

Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi secara
bersamaan dalam belajar bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa yang terkait
dengan penggunaan dan konteksnya, ia pun belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus
belajar menggunakan bahasa untuk mempelajari berbagai mata pelajaran. Oleh karena itu,
mengapa pembelajaran bahasa seyogianya dilakukan secara terpadu, baik antaraspek
dalam bahasa itu sendiri (kebahasaan, kesastraan, dan keterampilan berbahasa) atau
antarbahasa dengan mata pelajaran lainnya.

Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka wujud kemampuan itu
lazimnya diklasifikasikan menjadi empat macam.

1. Kemampuan Menyimak atau Mendengarkan


Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara lisan
oleh orang lain. Kendatipun tercantum dalam kurikulum, kemampuan menyimak
ini kurang mendapat perhatian guru untuk dilatihkan. Mengapa? Guru biasanya
menganggap keterampilan ini mudah dipelajari sehingga tidak begitu
dipentingkan dalam pembelajaran. Tentu saja pendapat itu keliru! Menyimak itu
banyak macamnya. Bukan hanya mendengarkan percakapan, tetapi juga berita,
ceramah, cerita, penjelasan, dan sebagainya. Siswa mendengarkan beragam
simakan dengan tujuan yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta
memperoleh, merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons informasi.
Tujuan menyimak yang berbeda tentu saja menuntut strategi menyimak yang
berlainan pula.
2. Kemampuan Berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain. Pesan di
sini adalah pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian, dan sebagainya. Seperti
halnya menyimak, banyak pihak yang kurang mengangap penting keterampilan
berbicara. Mereka beranggapan bahwa berbicara itu mudah dan dapat dipelajari di
mana saja dan dengan siapa saja. Lagi-lagi anggapan ini keliru. Sekadar berbicara
dengan teman atau keluarga mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi, berbicara secara
sistematis dengan sikap yang sesuai dan bahasa Indonesia yang tepat dalam
berbagai situasi tentu tidak mudah. Berbicara juga bermacam-macam berinteraksi
dengan sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya,
menceritakan, melaporkan, dan menghibur. Tujuan berbicara yang berbeda, tentu
saja menuntut strategi berbicara yang tidak sama. Mungkinkah keterampilan itu
dapat dimiliki siswa tanpa dilatihkan?
3. Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara
tertulis oleh pihak lain. Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan pemahaman
simbol-simbol tertulis, tetapi juga memahami pesan atau makna yang disampaikan
oleh penulis.
4. Kemampuan Menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis. Kemampuan
ini bukan hanya berkaitan dengan kemahiran siswa menyusun dan menuliskan
simbol-simbol tertulis, tetapi juga mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan
perasaannya secara jelas dan sistematis sehingga dapat dipahami oleh orang yang
menerimanya, seperti yang dia maksudkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dra. Fitriya Akhyar, M. (2017). Keterampilan Berbahasan Indonesia di Sekolah dasar.


Yogyakarta: Textium.

Drs. Soclhan, T., & dkk. (2007). Pendidikan Bahasa Indonesia di SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.

Latifah, N., & Munajah, R. (2021). Pembelajaran Bahasa Indonesia. Universitas Trilogi.

Mulyani, Y. (2019). Bahasa Indonesia. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.

Pramukti, E. (2019). Mozaik Penilaian Pembelajaran Bahasa dan Apresiasi Sastra Indonesia
di SD. Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka.

Susanto, A., & dkk. (2018). Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD. Tanggerang
Selatan: Universitas Terbuka.

Yunus, M. (2021). Modul 1 Hakikat Bahasa dan Pembelajaran Bahasa. Jakarta: PPGDK.

Alek, dkk, 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.

Aminuddin, 2014. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Arifin, E. Zainal, dkk, 2012. Penyuntingan Naskah. Tangerang: PT. Pustaka Mandiri.

Arifin, E. Zaenal dan Tasai Amran, 2008. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: PT. Nunggal Cipta.
Kosasih, E. (2008). Apresiasi Sastra Indonesia . In N. Edumedi, Apresiasi Sastra Indonesia.
Jakarta: Penerbit Nobel Edumedia.

Anda mungkin juga menyukai