Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manajemen penyakit menular pada dasarnya merupakan upaya tata laksana pengendalian

penyakit dengan cara mengintegrasikan penemuan kasus secara proaktif, tepat dan tuntas yang

dilakukan sebagai upaya pengendalian beberapa faktor risiko penyakit untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta harus di laksanakan secara simultan, paripurna,

terencana, dan terintegrasi pada sebuah wilayah tertentu (Achmadi, 2014).

Tuberkulosis paru sebagai salah stau golongan penyakit menular masih menjadi masalah

kesehatan global. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TBC dimana sebagian

besar penderita TBC adalah usia produktif (15-55 tahun). Hal ini menyebabkan kesehatan yang

buruk di antara jutaan orang setiap tahun dan menjadi penyebab utama kedua kematian dari

penyakit menular diseluruh dunia setelah HIV/AIDS (Silitonga et al., 2020)

Prevalensi angka kejadian TBC cukup tinggi mulai dari luar hingga dalam negeri. Secara

global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per

100.000 penduduk di dunia. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia,

China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di

Kawasan Asia Tenggara sebanyak (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya

dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika (WHO, 2017 dalam (Tika & Cahyati, 2019).

Indonesia sebagai negara tropis merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular.

Oleh karena itu, manajemen pemberantasan penyakit menular di setiap wilayah kabupaten/kota

harus menggunakan “paket” pendekatan strategi, contohnya melakukan pencarian dan


pengobatan secara intensif terhadap penderita. Untuk beberapa penyakit menular yang

memerlukan pengobatan jangka panjang seperti halnya TBC ini, harus ada jaminan ketersediaan

obat dan kepatuhan meminum obat (Achmadi, 2014).

Sejauh ini terapi tuberkulosis masih mengalami banyak permasalahan dalam pengobatan,

dikarenakan masa pengobatannya membutuhkan waktu yang lama minimal 6 bulan, hal tersebut

menyebabkan penderita tuberkulosis merasa jenuh dengan program pengobatan sehingga

memutuskan untuk berhenti meminum obat. Akibatnya, kasus tuberkulosis di indonesia terus

meningkat dari tahun ke tahun (Widyanto & Triwibowo, 2013).

Jumlah kasus baru tuberkulosis di Indonesia sebanyak 420.994 pada tahun 2017 (data

per 17 Mei 2018). Berdasarkan survei prevalensi tuberkulosis pada laki- laki 3 kali lebih tinggi

dibandingkan pada perempuan. Hal ini kemungkinan karena laki-laki lebih mudah terpapar pada

faktor risiko TBC misalnya merokok, asap kendaraan bermotor, bekerja di kawasan industri yang

rentan menghirup polusi udara yang kotor dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat

(Kemenkes RI, 2018).

Angka penderita penyakit tuberkulosis di Garut, Jawa Barat masih tinggi dan terus

meningkat setiap tahunnya. Khusus di Garut, kondisi rumah yang sempit dan terbuat dari bilik

bambu tanpa sirkulasi udara yang baik, dan adanya penyakit bawaan lainnya juga turut menjadi

faktor penyebab tuberkulosis di Garut meningkat. Dinas Kesehatan Kabupaten Garut mencatat,

pada 2019 lalu ada 17.700 warga terduga TB dari sekitar 2,6 juta penduduk Garut dan 4.788

diantaranya terduga TB yang terdiagnosa dan diobati. Penyebab angka penderita TBC masih

tinggi sampai saat ini karena belum ada kesadaran masyarakat terhadap penyakit yang masih

rendah. Kemudian banyak penderita tuberkulosis yang tidak menjalani keseluruhan terapi

penyembuhan (Dinkes Garut, 2019).


Tuberkulosis paru ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus yang

menyebabkan sulit bernafas, sehingga klien merasa sesak nafas. Bakteri mycobacterium

tuberculosis ini akan menginvasi saluran nafas atas yang menyebabkan adanya inflamasi pada

bagian bronkus, sehingga mengalami penumpukan secret yang sulit dikeluarkan. Hal tersebut

membuat kebersihan jalan nafas menjadi masalah utama penderita TBC. Beberapa pasien TB

mungkin mempunyai cara yang baik dalam mengontrol kebersihan jalan nafas, namun penderita

lain belum tentu tahu cara mengontrol masalah tersebut. Pasien yang belum bias mengeluarkan

sputumnya secara mandiri menyebabkan resiko mengalami ekserbasi akut dan menyebabkan

jalan napas terganggu yang memicu masalah bersihan jalan nafas tidak efektif (Setiawan, 2018).

Oleh karena itu, salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan sputum

pada penderita TBC adalah dengan teknik tarik nafas dalam dan batuk efektif. Teknik napas

dalam dan batuk efektif merupakan teknik batuk untuk menekan inspirasi secara maksimal lalu

diikuti ekspirasi yang diulang selama tiga kali yang bertujuan untuk merangsang terbukanya

system kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru yang

kemudian lakukan batuk dengan kuat, sehingga sputum yang berada di jalan nafas dapat keluar

(Febriyani et al., 2021)

Menurut riset yang dilakukan Hasaini (2018) masalah keperawatan yang sering muncul

pada pasien TB Paru adalah bersihan jalan nafas tidak efektif. Masalah ini merupakan keaadaan

individu tidak mampu mengeluarkan sekresi atau obstruksi dari saluran nafas untuk

mempertahankan kepatenan jalan nafas. Hal ini dikarenakan batuk dan nafas dalam dengan cara

yang benar dapat menghemat energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak

secara maksimal. Oleh karena itu selain terapi farmakologi penting sekali kita melakukan

pengelolaan khusus dengan latihan nafas dalam dan batuk efektif dalam melaksanakan asuhan
keperawatan setiap hari untuk membantu pengeluaran sekret dari jalan nafas (Hasaini, 2018).

Penelitian tersebut ada hubungan dengan hasil penelitian yang dilakukan Tahir et al

(2019) mengungkapkan bahwa indikator dari kepatenan jalan napas adalah respirasi normal,

irama napas teratur, tidak ada suara napas tambahan, serta pasien mampu mengeluarkan sputum

dari jalan napas. Kepatenan jalan napas dapat dicapai melalui tindakan fisoterapi dada dan batuk

efektif karena tindakan ini dapat memanajemen secret di saluran napas untuk meningkatkan

fungsi respirasi. Hal ini ditunjang dengan teori yang menyebutkan bahwa dengan dilakukan

batuk efektif akan membantu proses pengeluaran sekret yang menumpuk pada jalan nafas

sehingga tidak ada lagi perlengketan pada jalan nafas (Tahir et al., 2019).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus tentang “Analisis

Asuhan Keperawatan Tuberkulosis Pada Tn.R Dengan Batuk Efektif Sebagai Manajemen

Bersihan Jalan Nafas Di Puskesmas Garawangsa”.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan Tuberkulosis pada Tn.R dengan Batuk

Efektif sebagai manajemen bersihan jalan nafas di Puskesmas Garawangsa.

1.2.2 Tujuan Khusus

1) Melakukan pengkajian pada pasien TB Paru di Puskesmas Garawangsa

2) Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien TB Paru di Puskesmas Garawangsa

3) Menyusun intervensi keperawatan pada pasien TB Paru di Puskesmas Garawangsa

4) Melaksanakan implementasi keperawatan pada pasien TB Paru di Puskesmas

Garawangsa
5) Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien TB Paru di Puskesmas Garawangsa

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Manfaat Teoritis

(1) Studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti

selanjutnya dalam melakukan studi kasus di berbagai rumah sakit yang ada di Indonesia

(2) Memberikan pengetahuan dari berbagai sudut pandang penelitian lain, terkait

keberhasilan penerapan teknik Batuk Efektif dalam Memanajemen Bersihan Jalan Nafas

pada pasien Tuberkulosis Paru

1.3.2 Manfaat Praktis

(1) Bagi Perawat

Studi kasus ini diharapkan dapat berguna bagi perawat dalam melakukan pelayanan

kesehatan sebagai acuan dasar untuk memberikan asuhan keperawatan dengan teknik

batuk efektif sebagai manajemen bersihan jalan nafas pada pasien tuberkulosis

(2) Bagi Rumah Sakit

Rumah Sakit dapat menggunakan hasil studi kasus ini sebagai sumber informasi dalam

memberikan tindakan asuhan keperawatan pada pasien tuberkulosis agar dapat sedikitnya

membantu menekan angka kejadian tuberkulosis di Indonesia setiap tahunnya agar tidak

mengalami peningkatan orang yang terpapar mycobacterium tuberculosis

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada karya ilmiah akhir ini disusun menggunakan metode

deskriptif dengan pendekatan studi kasus dimana penulis melakukan analisis asuhan keperawatan

pada pasien tuberkulosis paru untuk menerapkan intervensi yang sesuai berdasarkan Evidence
Based Practice (EBP). Pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan data primer dan

sekunder diamana data diperoleh berdasarkan anamnesa pada klien dan keluarga serta dari

status/rekam medis klien selama sakit.

Adapun susunan penulisan dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut : BAB I

Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat, dan sistematika

penulisan.

BAB II Tinjauan Teoritis, terdiri dari konsep dasar tuberkulosis, teknik batuk efektif dan

manajemen bersihan jalan nafas.

BAB III Tinjauan Kasus dan Pembahasan meliputi proses asuhan keperawatan yang berisi:

laporan askep pada kasus yang diambil, dan disajikan sesuai dengan sistematika dokumentasi

proses keperawatan, terdiri dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, evaluasi

keperawatan dan catatan perkembangan. Evidence Based Practice terkait intervensi minimal dari

5 jurnal (3 nasional dan 2 internasional).

BAB IV Kesimpulan dan Saran, bab ini berisikan kesimpulan dari pelaksanaan asuhan

keperawatan dan saran atau rekomendasi yang operasional

Anda mungkin juga menyukai