Anda di halaman 1dari 8

PEMAHAMAN TENTANG PESERTA DIDIK DAN PEMBELAJARANNYA

OLEH:

INE SINTIA

(ANGGOTA KELOMPOK 2)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI GURU


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
Tugas 1.1 Memberikan Tanggapan terhadap Kasus di Ruang Kelas
Kasus I
Bayangkan jika Anda adalah seorang guru matematika di kelas VII. Saat ini Anda
hendak menyampaikan materi mengenai matematika sosial yakni mencari nilai
rata-rata (mean). Untuk memudahkan peserta didik dalam memahami
pembelajaran, Anda mencoba untuk membuat urutan atau langkah-langkah yang
perlu diikuti oleh peserta didik agar dapat mencari nilai rata-rata pada sebuah
soal. Anda meminta kepada peserta didik untuk mengerjakan soal yang Anda
berikan. Hasilnya, peserta didik mampu mengerjakan dengan benar, sesuai
dengan langkah yang telah Anda siapkan. Beberapa saat kemudian, Anda
meminta kepada peserta didik untuk mengulangi soal yang sama tanpa melihat
urutan pengerjaan soal, dan peserta didik mampu mengerjakannya dengan
benar.
Pertanyaan:
1. Menurut Anda, apa yang membuat peserta didik mampu mengerjakan soal
dengan baik pada percobaan kedua (tanpa melihat urutan/langkah
pengerjaan soal)?
2. Sebagai seorang calon guru, dalam kegiatan belajar yang seperti apa metode
di atas dapat diterapkan? Elaborasi jawaban Anda dengan menyertakan teori
yang berkaitan.

Jawaban:
Dalam mengelaborasi jawaban terhadap kasus satu, pertanyaan 1 dan 2,
kita dapat menggunakan teori belajar behavioristik sebagai kerangka acuan
berpikir. Dalam teori belajar behavioristik, dijelaskan beberapa konsep dasar
tentang belajar bahwa: (a) belajar merupakan hasil dari interkasi stumulus dan
respon; (b) dalam belajar diutamakan proses peniruan dan pengulangan; (c)
belajar menggunakan instruksi-instruksi dari guru sebagai wujud stimulus untuk
menghasilkan respon yang sesuai kehendak guru; (d) dalam belajar, kreativitas
siswa tidak terlalu penting; dan (e) hasil belajar adalah perubahan perilaku yang
sesuai denga kehendak guru. Berangkat dari konsep-konsep di atas, kita dapat
menjawab pertanyaan 1 dan 2 sebagai berikut:
Kemampuan siswa dalam mengerjakan soal yang sama tanpa melihat
instruksi yang diberikan oleh guru seperti pada percobaan pertama disebabkan
oleh konsep yang berisi tentang tata cara atau urutan-urutan langkah kerja
dalam mengerjakan soal telah ditanamkan pada percobaan pertama. Artinya,
tata cara atau urutan-urutan langkah kerja dalam mengerjakan soal tersebut
telah menjadi bagian dari pengetahuan yang terkonstruksi dalam struktur
kognitif siswa. Berbekal pengetahuan tersebut, siswa dalat megerjakan soal yang
sama walaupun tidak lagi dibantu dengan panduan. Dalam teori behavioristik,
aspek kognitif memang tidak menjadi bagian yang dijadikan sebagai bahan
kajian. Akan tetapi, teori ini tidak pernah menolak secara tegas tentang aspek
kognitif yang terdapat dalam diri siswa. Penganut teori behavioristik tetap saja
mengakui adalanya proses kognitif dalam diri siswa tetapi hal tersebut tidak
dapat dikaji karena berada di ruang yang tidak dijangkau dengan panca indra
(tidak dapat diamati). Oleh karena itu, walaupun fokus teori behavioristik adalah
mendorong siswa menghasilkan respon sesuai dengan stimulus yang diberikan,
tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum respon itu ditunjukan olah siswa
terjadi proses-proses kognitif dalam otak siswa, sekurang-kurangnya merekam
dengan baik wujud stimulus yang diberikan oleh guru, sehingga ketika siswa
dihadapkan pada situasi yang sama, siswa tersebut cenderung akan memberikan
respon yang sama pula. Inilah yang terjadi ketika siswa diminta oleh guru untuk
mengerjakan soal yang sama pada percobaan kedua.
Dalam kasus I, kita secara pasti dapat menjabarkan bagaimana kasus
tersebut dilihat dari sudut pandang teori behavioristik. Pertama, urutan atau
langkah-langkah pengerjaan soal yang dibuat oleh guru pada percobaan pertama
disebut instruksi atau stimulus. Kedua, siswa menyelesaikan soal yang diberikan
oleh guru dengan berpedoman pada urutan atau langkah-langkah pengerjaan
soal disebut respon yang didasarkan pada konsep peniruan. Ketiga, kemampuan
siswa dalam mengerjakan soal secara benar disebut hasil belajar. Keempat,
pemberian soal yang sama pada percobaan kedua disebut stimulus yang
menerapkan konsep pengulangan dan latihan. Kelima, siswa menyelesaikan soal
yang diberikan oleh guru tanpa panduan disebut respon yang terkondisi.
Keenam, kemampuan siswa dalam mengerjakan soal secara benar pada
percobaan kedua disebut hasil belajar.
Merujuk pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran
seperti ini yang mengutamakan pemberian instruksi-instruksi sebagai stimulus
utama yang diberikan kepada siswa lebih cocok dilakukan dalam pembelajaran
yang berhubungan dengan pembentukan pengetahuan dan keterampilan yang
bersifat prosedural. Umumnya, model pembelajaran seperti ini diterapkan dalam
bidang keilmuan eksakta yang memiliki kaidah-kaidah prosedural yang ketat.
Dalam model pembelajaran demikian, aspek kreativitas siswa tidak menjadi
perhatian sebagaimana ditekankan dalam teori behaviorsitik.

Kasus II
Rina adalah seorang guru di kelas 1 SD. Sebagian besar peserta didiknya belum
bisa berhitung dengan lancar. Rina sedang memikirkan cara yang sesuai untuk
membantu setiap peserta didik menyelesaikan tantang belajarnya.
Pertanyaan:
1. Menurut Anda, apa yang dapat Rina lakukan untuk membantu peserta
didiknya sesuai dengan tahapan perkembangan usia?
2. Mengapa Anda menyarankan hal tersebut? Elaborasi jawaban Anda dengan
menyertakan teori yang berkaitan.

Jawab:
Dalam memecahkan kasus dua dan menjawab pertanyaan 1 dan 2, kita
dapat merujuk pada teori perkembangan. Salah satu intisari dari teori ini
menekankan bahwa siswa dibelajarkan berdasarkan tingkat perkembangannya
sesuai dengan periodisasi yang teratur dilihat dari aspek usia siswa tersebut.
Artinya, konten dan bagaimana konten itu diajarkan oleh guru haruslah
disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa untuk menjaga keseimbangan
antara input yang diberikan dengan kemampuan otak mengolah input tersebut.
Salah satu objek kajian dalam teori perkembangan adalah perkembangan kognitif
siswa. Jean Piaget telah membagi tahapan perkembangan kognitif menjadi empat
bagian, yakni: (1) tahap sensori motorik (0 – 2 tahun); (2) tahap praoperasional (2
– 7 tahun); (3) tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun); dan tahap operasional
formal (11 – 15 tahun). Dalam kaitannya dengan kasus yang diilustrasikan pada
soal, siswa guru Rina berada pada tahap operasional konrit dengan asumsi bahwa
siswa kelas 1 SD umumnya berusia 7 tahun. Dengan mengacu pada uraian di atas,
maka dapat dirumuskan langkah-langkah pembelajaran yang dapat digunakan
oleh Ibu Rina dalam membelajarakan siswanya sebagai implikasi dari teori
perkembangan pada tahap operasional konkrit sebagai berikut:
1. Tingkatkan intensitas latihan behitung yang dilakukan oleh siswa, disertai
dengan penggunaan alat peraga berupa benda-benda konkrit sebagai
pengganti simbol matematika.
2. Biasakan siswa untuk berlatih konsep mengurutkan hierarki secara meningkat
atau menurun. Misalnya mengurutkan kelompok-kelompok benda dari yang
berjumlah sedikit hingga yang lebih banyak atau sebaliknya.
3. Mendeasin konsep latihan berhitung menggunakan aktivitas yang paling
disenangi oleh siswa atau biasa dikenal dengan istilah belajar sambal bermain.
Misalnya, mengunakan nyanyian angka. Menggunakan lagu akan menjadi
salah satu cara belajar berhitung cepat bagi anak karena biasanya mereka
akan lebih mudah menghafal lirik nyanyian. Contohnya lagunya seperti
“balonku ada 5”
4. Konten materi berhitung yang dipelajari siswa harus kontekstual dengan
kehidupan mereka. Dengan kata lain, contoh-contoh yang diberikan harus
berhubungan secara langsung dengan kehidupan siswa sehari-hari. Misalnya,
menghitung jumlah teman yang ada di kelasnya.
5. Membiasakan anak belajar berhitung menggunaan aplikasi permainan (game)
online dan sejenisnya.
6. Menggunakan alat bantu hitung, seperti sempoa,kalkulator ataupun alat
berhitung yang terdapat di gadget.

Kasus III

Made adalah seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah negeri wilayah
Bali. Ia mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia. Ia hendak mengajarkan
materi teks deskripsi pada peserta didiknya. Pada buku cetak yang menjadi
panduannya saat mengajar, terdapat beberapa contoh teks deskripsi
menceritakan tentang bangunan-bangunan pencakar langit yang ada di Ibu Kota.
Dengan memperhatikan latar belakang setiap peserta didiknya, Made pun
mencoba untuk memberikan contoh berbeda. Ia memberikan contoh teks
deskripsi tentang pantai dan makanan khas di Bali.

Pertanyaan:
1. Menurut Anda, apakah pertimbangan dan keputusan Made sudah sesuai?
Mengapa demikian?
2. Prinsip apa yang Made gunakan dalam kasus tersebut? Elaborasi jawaban
Anda dengan menyertakan teori yang berkaitan.
Jawab:

Pertimbangan dan keputusan Made sebagai guru untuk mencoba


memberikan contoh teks deskripsi tentang pantai dan makanan khas Bali sudah
tepat. Sebagai seorang pendidik tentunya sangat penting dalam memahami
bagaimana situasi dan kondisi peserta didik. Hal ini tentunya lebih memudahkan
guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Sebagai seorang guru yang
mengajar di kawasan Bali, tentunya peserta didik sudah tidak asing dengan pantai
dan makanan khas Bali. Sehingga ketika membuat teks deskripsi akan lebih
mudah dipahami dan dimengerti. Sebab proses pembelajaran akan lebih efektif
ketika seorang pendidik memberikan sebuah contoh yang sering mereka lihat
secara langsung, dibanding memberikan sebuah contoh yang belum pernah
mereka jumpai sebelumnya. Dengan demikian akan lebih memudahkan guru
dalam menyampaikan materi pelajaran dan siswa pun dapat memahami materi
pelajaran dengan baik, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan secara
efektif.
Dalam konteks di atas, Made menggunakan prinisp pembelajaran
kontekstual, yakni pembelajaran yang menekankan pada kaitan antara materi
yang dipelajari dengan kondisi di kehidupan nyata yang bisa dilihat dan dianalisis
oleh peserta didik. Jika dikaitkan dengan teori belajar, maka praktik pembelajaran
Made merujuk bentuk aplikasi dari teori belajar sosial-kognitif menekankan pada
pentingnya proses mengamati, mencontoh, dan meniru perilaku, sikap, atau
reaksi emosional orang lain dalam proses belajar. Dalam menerapkan teori
belajar kognitif, seorang guru perlu fokus pada proses berpikir peserta didik dan
memberikan strategi yang tepat berdasarkan fungsi kognitif mereka. Seperti pada
contoh kasus di atas, Made memberikan sebuah contoh pantai dan makanan
khas Bali sebagai contoh materi pembelajaran teks deskripsi. Hal ini
menunjukkan Made sebagai guru memberikan sebuah contoh tepat yang ada di
sekitar siswa untuk melakukan pengamatan. Kemudian siswa membuat teks
deskripsi pantai dan makanan khas Bali secara mandiri. Hal ini tentunya menjadi
strategi yang tepat dalam proses pembelajaran berdasarkan fungsi kognitif
siswanya.
Teori belajar sosial-kognitif menjelaskan bahwa perilaku, kognitif dan
lingkungan saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran. Faktor
lingkungan mempengaruhi perilaku dan sebaliknya, faktor lingkungan
mempengaruhi perilaku dan sebaliknya, serta faktor lingkungan mempengaruhi
kognitif dan sebaliknya. Dalam menerapkan teori belajar kognitif, seorang guru
perlu fokus pada proses berpikir peserta didik dan memberikan strategi yang
tepat berdasarkan fungsi kognitif peserta didik. Melibatkan peserta didik dalam
berbagai kegiatan, seperti memberikan waktu bagi peserta didik untuk bertanya,
kesempatan untuk membuat kesalahan dan memperbaikinya berdasarkan hasil
pengamatan, serta merefleksikkan diri agar dapar membantu peserta didik dalam
memahami proses.

Anda mungkin juga menyukai