Anda di halaman 1dari 25

MAKALA II

JANUARI 2024

DIVERTIKULITIS

NAMA

dr. Mujirahayu Mutmainna A. Tajrin

Pembimbing :

dr. M. Ihwan Kusuma, Sp.B, Subsp. BD (K)

PESERTA PPDS
ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
RSUP WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR

i
DAFTAR PUSTAKA

SAMPUL.......................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3

2.1. Definisi.......................................................................................3

2.2 Klasifikasi...................................................................................4

2.3 Epidemiologi .............................................................................4

2.4. Etiologi.......................................................................................5

2.5. Patofisiologi...............................................................................6

2.6. Menifestasi klinis.......................................................................7

2.7. Diagnosis....................................................................................8

2.8. Tatalaksana.................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................22

iii
A. Definisi

Divertikula adalah kantung kecil yang menonjol di dinding bagian dalam usus.
Divertikulitis terjadi ketika kantung-kantung tersebut meradang dan terinfeksi.
Kantungkantung ini paling sering berada di usus besar. Divertikulitis merupakan
penyakit pada saluran usus besar berupa luka atau benjolan. Benjolan dan luka ini
dapat mempermudah terbentuknya sel-sel kanker, jika kontak dengan senyawa
karsinogenik. Divertikulitis terjadi bila makanan dan bakteri tertahan di suatu
divertikulim yang menghasilkan infeksi dan inflamasi yang dapat membentuk
drainase danakhirnya menimbulkan perforasi atau pembentukan abses. Menurut
Dr. Johnny Altawil, seorang ahli gastroenterologi di Gastrointestinal Associates di
Knoxville, Tennessee, sakit perut akibat divertikulitis juga bias terasa ringan dan
lunak. Meski terkesan sepele, hal ini justru menandakan bahwa kantung usus
besar (divertikulum) telah pecah dan membentuk abses alias kantong nanah.
Divertikulitis yang ringan dapat diobati dengan istirahat, perubahan diet dan
antibiotik. Sedangkan divertikulitis yang parah atau berulang memerlukan
pembedahan.
Pembentukan divertikula dipengaruhi berbagai faktor seperti gangguan
motilitas kolon, disbiosis bakteri usus, faktor genetik, dan inflamasi. Divertikula
terbentuk ketika mukosa kolon mengalami herniasi pada suatu bagian yang lemah
dari lapisan otot usus akibat peningkatan tekanan intraluminal. Sementara itu,
divertikulitis terjadi akibat peradangan pada divertikula. Keterlibatan infeksi
bakteri pada divertikulitis masih kontroversial, namun diduga bermula dari adanya
fekalit yang menyumbat divertikula, menyebabkan dysbiosis bakteri dan
peradangan mukosa. Bakteri yang lazim ditemukan dari spesimen feses pasien
dengan divertikulitis antara lain E. coli, Bacteroides spp., dan Clostridia spp.
Diagnosis divertikulitis akut dikonfirmasi melalui endoskopi. Namun, endoskopi
harus dilakukan setelah peradangan reda. CT Scan abdomen dapat mendeteksi
adanya divertikulitis abses atau perforasi
Divertikulitis paling umum terjadi pada kolon sigmoid (95%). Hal ini telah

1
diperkirakan bahwa kira-kira 20% pasien dengan diverticulosis mengalami
divertikulitis pada titik yang sama. Divertikulitis paling umum terjadi pada usia
lebih dari 60 tahun. Insidensnya kira-kira 10% pada individudengan usia lebih
dari 80 tahun. Predisposisi congenital dicurigai bila terdapat gangguan pada
individu yang berusia di bawah 40 tahun.

A. Anatomi

Timbulnya diverticulitis disebabkan oleh pembentukan feses yang kecil-


kecil dan keras. Untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras ini perlu tekanan
tinggi pada dinding usus. Akibatnya, lama kelamaan akan timbul luka.
Terbentuknya feses yang kecil dan keras dapat terjadi pada orang yang jarang
makan makanan berserat seperti buah-buahan dan sayuran. Adanya serat makanan
dalam usus besar menyebabkan feses banyak menyerap air sehingga
konsistensinya menjadi lunak dan volumenya besar-bulky. Hal ini menyebabkan
feses enak saja keluar tanpa menimbulkan luka pada dinding usus besar.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dapat berperan


dalam penyakit divertikulitis. Diverticulitis dapat dibawa dari lahir (factor
congenital) yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) dimana seluruh lapisan
usus merupakan dinding divertikel. Tetapi hal ini jarang terjadi, umumnya
ditemukan setelah lahir dan kebanyakan pada usus besar khususnya pada kolon
sigmoid dan kolon desendens. Divertikulum terbentuk bila mukosa dan lapisan
submukosa colon mengalami herniasi sepanjang dinding muskuler akibat tekanan
intraluminal yang tinggi, volume colon yang rendah (isi kurang mengandung
serat) dan penurunan kekuatan otot dalam dinding colon (hipertrofi muskuler
akibat masa fekal yang mengeras). Divertikulum menjadi sumbatan dan kemudian
terinflamasi bila obstruksi terus berlanjut. Inflamasi cenderung melebar kedinding
usus sekitar, mengakibatkan timbulnya kepekaan dan spastisitas kolon. Abses
dapat terjadi, menimbulkan peritonitis, sedangkan erosi pembuluh darah (arterial)
dapat menimbulkan perdarahan.

2
Tubuh yang memiliki banyak bakteri jahat dalam usus juga dapat
menyebabkan divertikulitis. Faktor lain yang dapat meningkatkan risiko
divertikulitis, diantaranya adalah: konsumsi obat-obatan tertentu, seperti
ibuprofen, naproxen, dan steroid, kurang olahraga, kegemukan, merokok,
mengejan saat buang air.

Gambar 1. Divertikula kolon memiliki leher yang sempit yang dapat dengan mudah terhalang oleh
tinja. Obstruksi pada leher menyebabkan serangkaian peristiwa yang dapat mencakup distensi
kantung, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, kompromi pembuluh darah, dan perforasi.

B. Etiologi

Divertikulitis adalah gangguan pencernaan yang lazim terjadi yang


dikaitkan dengan morbiditas dan biaya perawatan kesehatan yang signifikan.
Sekitar 20% pasien dengan divertikulitis yang terjadi mengalami setidaknya 1 kali
kekambuhan. Komplikasi divertikulitis, seperti sepsis abdominalis, lebih kecil
kemungkinannya untuk terjadi pada kejadian berikutnya. Beberapa faktor risiko,
yang banyak di antaranya dapat dimodifikasi, telah diidentifikasi, termasuk
obesitas, pola makan, dan kurangnya aktivitas fisik. Faktor pola makan dan gaya
hidup dapat memengaruhi risiko divertikulitis melalui efeknya pada mikrobioma
usus dan peradangan. Penelitian awal telah menemukan bahwa komposisi dan
fungsi mikrobioma usus berbeda antara individu dengan dan tanpa divertikulitis.

3
Faktor genetik, serta perubahan pada neuromuskulatur kolon, juga dapat
berkontribusi terhadap perkembangan divertikulitis. Strategi pengobatan yang
tidak terlalu agresif dan lebih bernuansa telah dikembangkan. Dua uji coba
multisenter secara acak terhadap pasien dengan divertikulitis tanpa komplikasi
menemukan bahwa antibiotik tidak mempercepat pemulihan atau mencegah
komplikasi selanjutnya. Reseksi bedah elektif tidak lagi direkomendasikan hanya
berdasarkan jumlah kejadian berulang atau usia pasien yang masih muda dan
mungkin tidak diperlukan untuk beberapa pasien dengan divertikulitis yang
dipersulit oleh abses. Percobaan acak terhadap pasien yang stabil secara
hemodinamik yang memerlukan pembedahan segera untuk divertikulitis akut dan
rumit yang tidak membaik dengan antibiotik memberikan bukti untuk mendukung
anastomosis primer.

C. Tanda dan gejala

Gejala divertikulitis dapat muncul secara tiba-tiba atau perlahan dalam


beberapa hari. Gejala umum divertikulitis biasanya ditandai dengan nyeri di sisi
kiri bawah perut. Kondisi ini paling sering memengaruhi usus besar. Gejala umum
divertikulitis, diantaranya termasuk: Sakit perut, demam, mual, muntah,
peningkatan buang air kecil dan sensasi terbakar saat buang air kecil, sembelit,
diare, darah dalam feses atau darah dalam urine, kembung, dan penurunan nafsu
makan.

4
Gambar 2 . (A) Divertikulosis adalah adanya divertikula tanpa adanya peradangan. (B)
Divertikulitis adalah peradangan pada divertikulum.

Gejala divertikulitis tersebut bisa menjadi pertanda bahwa kantung usus


besar sudah pecah dan menumpahkan isinya ke dalam rongga perut. Akibatnya,
kondisi ini dapat memicu abses (kumpulan nanah), fistula (saluran abnormal
sebagai akibat dari peradangan), atau peritonitis (peradangan pada membran
rongga perut).

D. Patologi

Patofisiologi divertikulitis tidak sepenuhnya dipahami. Teori yang sudah lama ada
tetapi belum terbukti menyatakan bahwa divertikulitis diakibatkan oleh obstruksi
dan trauma pada divertikulum yang kemudian diikuti oleh iskemia,
mikroperforasi, dan infeksi. Teori ini menyebabkan kepercayaan yang meluas
bahwa pasien dengan divertikulosis harus menghindari makan kacang-kacangan
dan biji-bijian, dan penggunaan antibiotik secara luas untuk pengobatan
divertikulitis. Namun, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa konsumsi
kacang dan biji-bijian tidak meningkatkan risiko divertikulitis, dan bahwa
antibiotik mungkin tidak mempercepat pemulihan atau meningkatkan hasil.
Temuan ini telah menghasilkan model patogenesis divertikulitis yang melibatkan
peradangan kronis dan perubahan mikrobioma usus.

1. Peradangan kronik

Beberapa penelitian telah mengaitkan divertikulitis dengan kondisi


peradangan kronis. Bukti yang paling meyakinkan meskipun tidak
langsung, adalah bahwa banyak faktor risiko divertikulitis yang
berhubungan dengan peradangan kronis dan sistemik. Sebagai contoh,
obesitas, ketidakaktifan fisik, dan diet Barat adalah faktor risiko untuk
penyakit lain yang diyakini disebabkan oleh peradangan kronis, termasuk
penyakit kardiovaskular dan diabetes - faktor risiko ini meningkatkan

5
kadar biomarker peradangan. Peningkatan ekspresi matriks
metaloprotease dan histamin, yang terkait dengan peradangan usus, juga
telah dikaitkan dengan divertikulitis. Peradangan mukosa usus yang
diamati pada pasien dengan kolitis segmental yang terkait dengan
penyakit divertikular memiliki tumpang tindih morfologis dan klinis
dengan IBD. Temuan dari sebuah studi seri kasus menunjukkan bahwa
pasien dengan divertikulosis, terutama mereka yang memiliki gejala
perut atau SUDD, memiliki peradangan mikroskopis. Namun, kolitis
segmental yang terkait dengan penyakit divertikular dan SUDD
merupakan manifestasi penyakit divertikular yang terpisah dan, dalam
sebuah penelitian terhadap lebih dari 600 orang yang menjalani
pemeriksaan kolonoskopi, setelah disesuaikan dengan faktor perancu
yang potensial, tidak terdapat hubungan antara divertikulosis dengan
tingkat penanda kekebalan atau sitokin yang terlibat dalam IBD dan IBS.
Selain itu, tidak ada hubungan antara divertikulosis dan IBS dan tidak
ada perbedaan penanda inflamasi mukosa antara pasien divertikulosis
dengan dan tanpa abdomen.

2. Mikrobioma yang Berubah

Perubahan dalam mikrobiota usus terlibat dalam patogenesis banyak


gangguan usus. Faktor pola makan dan gaya hidup dapat menyebabkan
perubahan dalam mikrobioma usus yang menyebabkan peradangan
mukosa dan divertikulitis. Beberapa bukti mendukung peran mikrobiota
usus dalam divertikulitis. Divertikulitis akut melibatkan perforasi mikro
atau makro dengan translokasi bakteri komensal melintasi sawar mukosa
usus besar, yang kadang-kadang mengakibatkan infeksi yang nyata,
termasuk pembentukan abses dan peritonitis. Pengobatan standar untuk
divertikulitis adalah antibiotik. Perbedaan di seluruh dunia dalam
prevalensi penyakit divertikulitis mencerminkan perbedaan geografis
dalam komposisi mikroba usus. Faktor risiko diet dan gaya hidup untuk
divertikulitis memengaruhi mikrobioma usus. Sebagai contoh, obesitas

6
dan pola diet Barat dikaitkan dengan penurunan keragaman mikroba di
usus dan perubahan komposisi mikrobioma serta fungsinya. Di sisi lain,
pola makan tinggi serat meningkatkan keanekaragaman dan kekayaan
mikrobioma usus. Serat makanan adalah sumber energi penting bagi
mikroba usus, yang memetabolisme karbohidrat kompleks menjadi asam
lemak rantai pendek (SCFA). SCFA meningkatkan produksi lendir dan
peptida antimikroba serta memediasi homeostasis kekebalan tubuh,
fungsi penghalang usus, dan tingkat proliferasi sel yang tepat.

3. Genetik

Dua penelitian besar di Skandinavia yang kembar atau penelitian


keluarga memberikan bukti bahwa faktor genetik mempengaruhi risiko
divertikular penyakit. Dalam studi ini, kemungkinan mengembangkan
penyakit divertikular divertikular jika saudara kembarnya menderita
penyakit ini secara signifikan lebih tinggi di antara kembar monozigot
daripada kembar dizigot dan lebih tinggi pada saudara yang tidak kembar
daripada populasi umum. Pemodelan statistik memperkirakan bahwa
faktor genetik menyumbang 40% - 50% dari risiko penyakit
divertikular.95,96 Penelitian-penelitian ini tidak dapat dengan jelas
membedakan divertikulitis dengan divertikulosis. Namun, hasilnya
serupa karena analisisnya terbatas pada divertikulitis yang rumit.

7
Gambar 3. Usulan patofisiologi divertikulitis kolon akut. Divertikulitis dihipotesiskan
muncul dari interaksi kompleks antara faktor pola makan dan gaya hidup, obat-obatan,
genetika, dan mikrobioma usus. Perubahan komposisi mikrobioma usus (misalnya, asam
lemak rantai pendek, SCFA, produsen, meningkatkan patogen invasif) dan fungsi (I SCFA,
asam empedu yang berubah) mengakibatkan kerusakan pada sawar mukosa dan fungsi
kekebalan tubuh yang mengarah ke kaskade inflamasi dan inflamasi mukosa.

Sebuah studi asosiasi seluruh genom di Islandia dan Denmark


mengidentifikasi varian dalam gen (ARHGAP15, COLQ, dan
FAM155A) yang terkait dengan penyakit divertikular. Varian pada
FAM155A terkait secara khusus dengan divertikulitis. Varian dalam
ARHGAP15 dikaitkan dengan fungsi fagosit dan peradangan. Maguire et
al98 menggunakan UK Biobank untuk melakukan studi asosiasi genom
retrospektif terhadap 28.000 pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
penyakit divertikular. Para penulis mengidentifikasi 42 lokus risiko, 8 di
antaranya direplikasi dalam kelompok terpisah. Kandidat lokus risiko
mengandung gen yang mengatur imunitas, matriks ekstraseluler, adhesi
sel, transportasi membran, dan motilitas usus. Hubungan yang
sebelumnya diidentifikasi dengan ARGAP15, COLQ, dan FAM155A
dikonfirmasi dalam penelitian ini. Dua penelitian kecil pada pasien
dengan divertikulitis yang memerlukan pembedahan menemukan
hubungan dengan beberapa polimorfisme nukleotida tunggal pada gen

8
TNFSF15. Varian dalam gen ini, yang mengkode sitokin dalam keluarga
nekrosis tumor, telah dikaitkan dengan bentuk IBD yang parah. Sebuah
penelitian terhadap 5 anggota keluarga dengan divertikulitis onset dini
mengidentifikasi polimorfisme nukleotida tunggal yang langka pada
subunit laminin beta 4 (LAMB4). Laminin adalah bagian dari matriks
ekstraseluler dan terlibat dalam pengembangan sistem saraf enterik.

4. Perubahan pada Neuromuskulatur Kolon

Zona tekanan tinggi yang terlokalisasi di dalam usus besar pada


awalnya diyakini dapat menyebabkan pembentukan divertikula di titik-
titik lemah pada otot-otot usus besar. Hal ini mungkin menjelaskan
pengamatan bahwa divertikulosis paling sering terjadi pada sigmoid, di
mana kolon kurang dapat dideteksi, dibandingkan kolon proksimal dan
rektum. Selain itu, divertikula tidak ditemukan di rektum, yang berfungsi
sebagai reservoir, dan sangat distensiabel, dan di mana tenia coli
berkobar untuk menciptakan lapisan tambahan melingkar ke dinding
usus. Perubahan pada sistem saraf enterik, jaringan ikat, otot polos, dan
motilitas kolon diyakini berkontribusi terhadap perkembangan
divertikulosis dan gejala fungsional dalam pengaturan divertikulosis.102
Hal ini kurang jelas apakah kelainan neuromotorik ini terlibat dalam
perkembangan divertikulitis.

9
Gambar 4. Pasien dengan penyakit stadium 1 memiliki abses perikolik atau mesenterika
yang kecil dan terbatas, sedangkan pasien dengan penyakit stadium 2 memiliki abses yang
lebih besar, sering kali terbatas pada panggul. Penyakit stadium 3, atau divertikulitis
perforasi, muncul ketika abses peridivertikular telah pecah dan menyebabkan peritonitis
bernanah. Pecahnya divertikulum yang tidak meradang dan tidak terhalang ke dalam rongga
peritoneum bebas dengan kontaminasi tinja, yang disebut ruptur bebas, menandakan
penyakit stadium 4 dan memiliki risiko tertinggi untuk hasil yang merugikan.

Divertikulosis yang timbul pada awal terjadi pada pasien dengan


gangguan jaringan ikat, yang mendukung peran cacat jaringan ikat dalam
pembentukan divertikulosis. Perubahan komposisi dan kandungan
kolagen serta metabolisme jaringan ikat telah diidentifikasi pada usus
besar pasien divertikulosis. Berkurangnya jumlah sel ganglionik dan
neuron, serta ketidakseimbangan faktor neurotropik dan neuropeptida
seperti serotonin dan asetil kolin, juga ditemukan pada pasien dengan
penyakit divertikulosis. Pergantian ini dapat menyebabkan gejala pada
pasien divertikulosis. Studi motilitas pada pasien divertikulosis, secara
umum, menemukan peningkatan indeks motilitas dan aktivitas
pendorong. Tidak jelas apakah perubahan neuromuskuler ini mendahului
pembentukan divertikulosis atau divertikulitis, dan oleh karena itu
berkontribusi pada perkembangan penyakit, atau merupakan hasil dari
proses yang terjadi setelah pembentukan divertikulosis.

Klasifikasi Hinchey dari divertikulitis yang rumit (Diadaptasi dari Hinchey et al.24)

10
Klinis klasifikasi divertikulitis dari Asosiasi Eropa untuk Ahli Bedah Endoskopi (diadaptasi dari
Kohler et al.25)

E. Diagnosis

Evaluasi awal pasien dengan dugaan divertikulitis akut harus dimulai


dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, dan, pada beberapa
kasus yang jelas-jelas merupakan penyakit yang berulang, diagnosis dapat
ditegakkan tanpa pemeriksaan pencitraan lebih lanjut. Ketika diagnosis
dipertanyakan, atau pasien memiliki gejala yang parah dan kemungkinan
divertikulitis yang rumit, pencitraan aksial computed tomography (CT) harus
dilakukan. CT dapat membedakan divertikulitis dari kondisi lain, termasuk
penyakit iritasi usus besar, gastroenteritis, atau penyakit ginekologi. Meskipun
adanya peradangan sigmoid dan divertikulosis dapat diidentifikasi dengan
pencitraan CT, peradangan sekunder akibat divertikulitis versus kanker usus
besar atau etiologi lain tidak dapat dibedakan dengan andal dengan pencitraan,
sehingga semua pasien dengan episode pertama kali harus ditindaklanjuti
dengan kolonoskopi untuk mengesampingkan keganasan. Kolonoskopi harus
dilakukan dengan cara ditunda (empat sampai enam minggu) untuk
meminimalkan risiko perforasi akibat overdistensi.

11
Gambar 5. Flegmon pada seorang perempuan berusia 38 tahun dengan
divertikulitis. A. USG endovaginal menunjukkan penebalan difus dan edema pada rektum
dan mukosa kolon sigmoid (*) dan dinding otot (panah). B. Divertikulum dengan
penebalan dinding, kandungan hiperekoik (fecalith) dan jaringan lemak edema di
sekitarnya menunjukkan divertikulitis. C. CT dengan kontras aksial dari pasien yang sama
menunjukkan multiple divertikulum dengan edema dinding pada kolon sigmoid distal
(panah) dan lemak perikolonik yang terdampar (tanda panah) yang mewakili divertikulitis.
D. Gambar CT yang ditingkatkan kontras aksial pada tingkat superior menunjukkan
phlegmon dengan tampilan hiperattenuasi (panah) dibandingkan dengan lemak panggul
yang berdekatan

Gambar | Algoritme investigasi dan pengobatan untuk pasien yang datang dengan dugaan
divertikulitis akut berdasarkan pedoman saat ini.

12
Selain digunakan untuk tujuan diagnostik, CT scan dapat
mengelompokkan pasien berdasarkan tingkat keparahan penyakit dan
mengidentifikasi pasien dengan komplikasi divertikulitis, seperti abses,
penyempitan atau pneumoperitoneum. Divertikulitis ringan biasanya dikaitkan
dengan penebalan dinding usus besar dan perubahan inflamasi peri-kolon
seperti penumpukan lemak. Pada kasus divertikulitis yang rumit, klasifikasi
Hinchey yang umum digunakan dapat diterapkan. Mereka yang menderita
penyakit tipe I hanya memiliki abses para-kolon yang terlokalisasi, tipe II
mencakup penyakit dengan abses yang jauh atau pelvis, dan tipe III dan IV
masing-masing memiliki peritonitis purulen dan fekal. Sistem klasifikasi
tambahan dari Asosiasi Ahli Bedah Endoskopi Eropa hanya didasarkan pada
klinis, bukan radiografi, dengan tiga tingkatan penyakit mulai dari gejala dan
tidak rumit (tingkat I) hingga berulang tanpa komplikasi (tingkat II) hingga
penyakit yang rumit (tingkat III), yang dapat mencakup perdarahan, abses,
phlegmon, perforasi, peritonitis, penyempitan, fistula, atau penyumbatan.

Gambar 6. Kolonoskopi yang menunjukkan peradangan peridivertikular (panah tipis) dan


menunjukkan beberapa gumpalan darah di dalam divertikula (panah tebal)

F. Terapi

13
Antibiotik, modifikasi pola makan, dan pengendalian nyeri telah menjadi andalan
pengobatan untuk pasien dengan divertikulitis tanpa komplikasi; reseksi bedah
telah menjadi landasan untuk pengobatan divertikulitis yang rumit dan kambuh.
Namun, intervensi ini sebagian besar didasarkan pada dogma dan pendapat ahli
daripada data. Rekomendasi bedah tradisional sangat meyakinkan, tetapi pada
akhirnya tidak didukung oleh bukti. Meskipun data yang lebih baru dan kemajuan
teknologi telah mengurangi risiko melalui pengobatan yang tidak terlalu invasif,
pedoman klinis menjadi lebih sulit untuk didefinisikan karena kebutuhan akan
pengobatan individual. Konsep bahwa divertikulitis adalah penyakit inflamasi dan
juga penyakit yang berhubungan dengan infeksi telah memicu minat terhadap
paradigma pengobatan medis dan bedah yang baru. Secara umum, telah terjadi
pergeseran ke arah manajemen medis dan bedah yang tidak terlalu agresif.

Gambar 7. Pendekatan Operasi Tiga Tahap untuk Divertikulitis. Selama operasi pertama,
segmen kolon yang sakit dikeringkan, dan ostomi pengalihan (biasanya kolostomi
melintang) dibuat secara proksimal. Tahap pertama ini memungkinkan pengalihan tinja dan
drainase infeksi. Selama operasi kedua, usus besar yang sakit direseksi, dan anastomosis
primer segmen kolon dilakukan. Ostomi dibalik selama operasi ketiga dan terakhir untuk
membangun kembali kontinuitas usus. Prosedur tiga tahap ini jarang dilakukan dan harus

14
dipertimbangkan hanya pada situasi kritis di mana reseksi tidak dapat dilakukan dengan
aman.

Pendekatan tradisional untuk manajemen bedah divertikulitis rumit yang


muncul adalah prosedur yang dijelaskan oleh Henri Hartmann, di mana kolektomi
sigmoid terbuka dilakukan dengan kolostomi akhir, meninggalkan tunggul
rektum. Namun, bahkan dalam keadaan darurat, penelitian terbaru menunjukkan
bahwa prosedur standar Hartmann mungkin tidak selalu diperlukan. Sebagai
contoh, Myers dkk. mengevaluasi 100 pasien yang membutuhkan operasi darurat
untuk pneumoperitoneum dan peritonitis (Hinchey III atau IV). Dari jumlah
tersebut, hanya empat pasien yang menjalani prosedur Hartmann tradisional,
sedangkan 92 pasien menjalani lavage dan drainase peritoneum laparoskopi
terencana. Angka kematian operasi secara keseluruhan rendah yaitu 3%. Dengan
masa tindak lanjut antara 12 dan 84 bulan, hanya dua dari 100 pasien yang dirawat
kembali dengan divertikulitis berulang, dan tidak ada pasien yang memerlukan
intervensi ulang untuk komplikasi atau kolostomi berikutnya. Namun, tidak
semua seri melaporkan hasil yang optimis dengan lavage laparoskopi. Sebuah uji
coba acak multisenter dari 21 pusat di Skandinavia membandingkan lavage
laparoskopi dengan reseksi primer untuk divertikulitis akut yang berlubang.

a. Perawatan konservatif

Simple divertikulitis yang memerlukan perawatan di rumah sakit


biasanya diobati dengan rehidrasi, pereda gejala, dan antibiotik intravena.
Sebagian besar pasien dengan penyakit yang tidak rumit merespons
pengobatan medis dengan baik dan umumnya mengalami perbaikan yang
signifikan pada nyeri perut, suhu dan penanda inflamasi dalam waktu dua
hari setelah dimulainya pengobatan antibiotik. Jika hal ini tidak terjadi
atau terdapat kekhawatiran klinis, CT ulangan dianjurkan dan intervensi
operasi atau drainase perkutan dipertimbangkan.

Perlu dicatat pada tahap ini, meskipun penggunaan antibiotik


spektrum luas pada divertikulitis akut tanpa komplikasi didukung oleh

15
pedoman, namun tidak ada bukti nyata yang mewajibkan penggunaan
antibiotik secara rutin pada divertikulitis S tanpa komplikasi ringan dan di
beberapa negara Eropa, penggunaan antibiotik tidak dilakukan secara
rutin.

Bukti berkualitas tinggi mengenai jenis antibiotik yang paling efektif


juga masih kurang. Namun bakteri anaerob (biasanya bakteroides,
clostridium, fusobacterium, dan peptostreptococcus) adalah organisme
yang paling sering dibiakkan dengan aerob gram negatif, terutama
Escherichia coli, dan gram positif fakultatif, seperti streptokokus, juga
sering ditumbuhkan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap bakteri Gram
negatif dan anaerob sangat dianjurkan.

Jika antibiotik kombinasi dipilih, Metronidazole memberikan


perlindungan anaerob yang sangat baik dengan risiko infeksi clostridium
difficile yang lebih kecil daripada alternatif lainnya. Namun, penggunaan
agen tunggal mungkin lebih hemat biaya. Protokol lokal cenderung
mempengaruhi pemilihan tetapi pasien dapat dengan aman beralih dari
terapi intravena ke terapi oral ketika mereka dapat mentoleransi diet dan
obat-obatan oral karena antibiotik intravena tidak dirasa jauh lebih unggul.
Tujuh hingga sepuluh hari terapi antibiotik adalah periode pengobatan
yang dapat diterima, namun bukti-bukti muncul untuk mendukung
program yang lebih pendek.

16
Gambar 3. Algoritme manajemen untuk divertikulitis akut. Evaluasi dan pendekatan
pengobatan tergantung pada tingkat keparahan presentasi, adanya komplikasi (peritonitis, abses),
dan kondisi komorbiditas.

b. Operasi Elektif

Dalam pernyataan posisi terbaru dari Asosiasi Koloproktologi


Britania Raya dan Irlandia (ASCPGBI), disimpulkan bahwa sebagian
besar pasien, baik muda maupun tua, yang datang dengan divertikulitis
akut dapat ditangani dengan pendekatan medis yang konservatif dalam
jangka panjang. Rekomendasi umum sebelumnya untuk reseksi elektif,
misalnya setelah dua episode divertikulitis akut, ditentang dalam
pernyataan ini dan diusulkan agar keputusan mengenai reseksi elektif
harus dibuat secara individual. Praktik tradisional untuk menunggu selama
4-6 minggu setelah serangan divertikulitis sebelum melakukan operasi
elektif tidak dipermasalahkan.

17
Pembedahan dalam keadaan elektif dapat dilakukan dengan teknik
terbuka atau laparoskopi dengan uji coba acak baru-baru ini yang
mengidentifikasi penurunan morbiditas mayor sebesar 27%, disertai
dengan rasa sakit yang lebih sedikit, peningkatan kualitas hidup, dan rawat
inap yang lebih singkat dengan biaya waktu operasi yang lebih lama
dengan pendekatan laparoskopi. Di pusat-pusat ahli, tingkat konversi
serendah 2,8% dan rata-rata rawat inap di rumah sakit selama 4 hari dapat
dicapai dan laporan kasus individual reseksi menggunakan akses port
laparoskopi tunggal juga telah muncul. Namun, jika reseksi laparoskopi
dipertimbangkan, saat ini direkomendasikan bahwa pasien harus dirawat
setelah sembuh total dari episode peradangan akut karena ada bukti yang
menunjukkan bahwa komplikasi yang lebih rendah dan tingkat konversi
dapat dicapai.

Prinsip-prinsip untuk kedua pendekatan ini sama. Anastomosis


kolorektal merupakan prediktor tingkat kekambuhan yang lebih rendah
setelah reseksi sigmoid elektif untuk divertikulitis tanpa komplikasi. Oleh
karena itu, disarankan agar margin reseksi distal diambil ke rektum
dibandingkan dengan sigmoid distal dan fleksor limpa dimobilisasi
sepenuhnya untuk memfasilitasi hal ini", namun pada kasus kolon kiri
yang panjang dan berlebihan, hal ini mungkin tidak diperlukan. Batas
reseksi proksimal kurang jelas tetapi harus dilakukan pada usus yang
lunak. Seringkali ureter dapat diidentifikasi secara intraoperatif, namun,
mungkin terdapat kasus divertikulitis yang rumit di mana tingkat dan
derajat perubahan inflamasi memerlukan penggunaan stent ureter yang
dipasang sebelum operasi untuk membantu identifikasi dan menghindari
cedera.

c. Pembedahan darurat untuk divertikulitis yang rumit

Indikasi untuk intervensi bedah darurat pada divertikulitis akut


meliputi adanya peritonitis umum, perforasi viseral yang tidak terkendali,

18
sepsis berat yang tidak terkendali, abses yang tidak dapat dikeringkan atau
tidak dapat diakses, obstruksi usus, serta tidak adanya perbaikan atau
kemunduran klinis dengan manajemen medis awal. Secara historis,
divertikulitis perforasi diobati dengan prosedur tiga tahap yang terdiri dari
pengalihan tinja dengan stoma, reseksi segmen usus yang sakit, diikuti
dengan pengangkatan stoma dan pemulihan kontinuitas usus.

Ini kemudian bergeser menjadi melakukan prosedur Hartmann yang


meliputi reseksi primer dari segmen yang sakit dan kolostomi akhir diikuti
dengan pembalikan kolostomi pada operasi kedua". Dalam kasus ini,
rekonstruksi umumnya melibatkan laparotomi kedua karena meskipun
rekonstruksi laparoskopi efektif, namun jarang dilakukan. Akibatnya,
pembalikan sering kali ditunda secara permanen.

Pada kasus tertentu, pilihan terapi yang ideal untuk perforasi kolon
adalah prosedur satu tahap dengan reseksi yang diikuti dengan
anastomosis primer, yang menambahkan manfaat sebagai pengobatan
definitif dengan menghindari morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan stoma dan pembalikannya. Ileostomi pelindung setelah reseksi dan
anastomosis primer dipandang sebagai langkah tambahan yang valid pada
pasien yang berisiko tinggi mengalami kebocoran anastomosis
(imunosupresi, American Society of Anaesthesiologists (ASA) grade IV,
peritonitis fekal), tetapi prosedur Hartmann juga dapat dipilih.

Khususnya pada kasus-kasus di mana terdapat penyempitan yang


menyebabkan obstruksi dan pemuatan feses yang signifikan, reseksi yang
dikombinasikan dengan lavage kolon di atas meja dan anastomosis primer
dapat digunakan. Teknik ini juga telah dijelaskan untuk memfasilitasi
anastomosis primer pada kasus perforasi. Namun pada pasien tertentu
dengan obstruksi yang bergantung pada kelangsungan hidup kolon
proksimal, kolektomi subtotal dengan anastomosis ileorektal mungkin
diperlukan 2 dan karena obstruksi usus halus juga dapat terjadi, terutama

19
jika terdapat abses divertikular yang besar, hal ini juga memerlukan
penanganan lebih lanjut.

Penggunaan stent kolon endoskopi sebagai pengobatan obstruksi


akut usus besar sekunder akibat kanker kolon telah didokumentasikan
dengan baik dalam literatur, baik sebagai prosedur definitif maupun
sebagai jembatan menuju pembedahan dan secara efektif dapat
mendekompresi usus besar yang tersumbat pada 90% kasus. Namun
penggunaan stent pada penyakit jinak kurang terdokumentasi dengan baik,
dengan penggunaan stent terutama sebagai jembatan menuju pembedahan
dan karena dikaitkan dengan insiden komplikasi yang lebih tinggi pada
penyakit divertikular akut, maka belum dapat direkomendasikan.

d. Pembedahan laparoskopi dalam keadaan darurat

Ada sejumlah laporan terbaru mengenai lavage laparoskopi dengan atau


tanpa penempatan saluran intra-abdomen untuk pasien dengan
divertikulitis akut dan perforasi, dengan keuntungan yang dilaporkan
termasuk penghindaran reseksi akut dan kemungkinan stoma. Bukti yang
telah dihasilkan sejauh ini untuk mendukung kasus ini sangat menjanjikan.

Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini terhadap lavage laparoskopi untuk


divertikulitis kolon berlubang mengidentifikasi dua studi kohort
prospektif, sembilan seri kasus retrospektif dan dua laporan kasus dengan
231 pasien dan sebagian besar pasien (77% mengalami peritonitis purulen
Hinchey grade III. Lavage peritoneal laparoskopi berhasil mengendalikan
sepsis abdomen dan sistemik pada 95,7% pasien, mortalitas 1,7%,
morbiditas 10,4% dan hanya empat (1,7%) pasien yang menerima
kolostomi.

Dalam seri terbesar dalam literatur hingga saat ini, Myers dkk melaporkan
100 pasien dengan divertikulitis perforasi dan peritonitis umum. Delapan
pasien dengan penyakit Hinchey IV memerlukan konversi ke prosedur

20
terbuka, dengan angka kematian secara keseluruhan adalah 4% dan tingkat
kekambuhan hanya 2% selama periode waktu rata-rata 36 bulan.

e. Terapi Perkutan

Penanganan yang tepat untuk abses divertikular masih menjadi


perdebatan. Namun menurut American Society of Colon and Rectal
Surgeons (ASCRS), drainase perkutan yang dipandu secara radiologis
biasanya merupakan penanganan yang paling tepat untuk pasien dengan
abses divertikular yang besar, karena dapat menghindari perlunya
pembedahan darurat dan kemungkinan kolostomi.

Ketika diameter abses lebih dari 5 cm, drainase dengan panduan CT


perkutan, yang dikombinasikan dengan antibiotik, merupakan pengobatan
standar dan menawarkan perbaikan gejala yang cepat pada lebih dari 90%
kasus, meskipun dengan tingkat kekambuhan yang tinggi pada kasus yang
lebih parah dan kemungkinan pembedahan yang lebih tinggi pada kasus-
kasus yang melibatkan panggul.

Secara praktis, abses divertikular yang berdiameter kurang dari 3 cm


biasanya tidak dapat dikeringkan dengan baik, karena diameter kuncir
sebagian besar kateter drainase memiliki dimensi yang sama. Juga untuk
abses yang lebih kecil, terutama yang berdiameter kurang dari 2 cm
biasanya dapat disembuhkan dengan penggunaan antibiotik intravena
saja34. Namun, jika drainase dipasang, disarankan agar sebelum drainase
dilepas, resolusi abses harus dipastikan dan potensi fistula usus
disingkirkan dengan studi kontras lebih lanjut.

Terakhir, penyakit divertikular pada usus besar juga merupakan


penyebab yang relatif umum dari perdarahan saluran cerna bagian bawah
yang akut dan merupakan diagnosis pada 23% kasus. Hal ini biasanya

21
dapat diatasi dengan manajemen konservatif, tetapi jika perdarahan yang
terjadi cukup banyak, angiografi dan intervensi endovaskular dapat
membantu, dan pembedahan sangat jarang diperlukan untuk indikasi ini.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Lisa L. Epidemiology, Pathophysiology, and Treatment of Diverticulitis .
AGA Institute. 2019 March:1–7.
2. Wilkins T., Embry K, George R,. Diagnosis and Management of Acute
Diverticulitis. The Journal American Family Physician . 2013 May ;volume
87, Number 9
3. Onur M, Akpinar E, Karaosmanoglu A, Isayev C, R. Karcaaltincaba M.
Diverticulitis: a comprehensive review with usual and unusual
complications . The Springer Journal Publication. 2017 Aug ;19-27.
4. O'Neill S., Ross P., McGarry P., Yalamarthin S. Latest diagnosis and
management of diverticulitis. British Journal of Medical Practitionersl.
2011 December ;4(4):a443.
5. Danny O., Jacobs M, T, Diverticulitis. The New England Journal of
Medicine. 2007 Nov 23;4(1):7.
6. Tonia M, Young-Fadok, Diverticulitis. The new england journal of
medicine. 2018 Oct. 379;17

23

Anda mungkin juga menyukai