Anda di halaman 1dari 48

KARYA TULIS ILMIAH

PATOFISIOLOGI

“ SISTEM DIGESTIVE”

Dosen Pengampu: Gama B.K, SKG, MARS

Disusun Oleh:

Najla Dalilah Urfa (20006)

AKADEMI PEREKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN

BHUMI HUSADA JAKARTA

2021
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 4
1.1. Latar Belakang .............................................................................................................................. 4
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 4
1.3. Tujuan ........................................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 5
2.1. Penyakit pada usus ........................................................................................................................ 5
2.1.1. Intususepsi............................................................................................................................. 5
2.1.2. Vascular Disease (Infark Arteri Mesenterica) ....................................................................... 7
2.2. Penyakit pada Sekum dan Apendisitis ........................................................................................ 11
2.2.1. Peritonitis ............................................................................................................................ 11
2.2.2. Adenocarcinoma Caecum ................................................................................................... 14
2.3. Penyakit pada Colon ................................................................................................................... 21
2.3.1. Inflammatory bowel syndrome and Inflammatory bowel disease (IBS and IBD) .............. 21
2.4. Penyakit pada Hati ...................................................................................................................... 31
2.4.1. Perlemakan Hati/Fatty Liver ............................................................................................... 31
2.4.2. Gagal Hati ........................................................................................................................... 35
2.5. Penyakit pada Duktus Choledocus dan Saluran Empedu ........................................................... 37
2.5.1. Cholelithiasis , Choledocholithiasis .................................................................................... 37
2.5.2. Cholangitis .......................................................................................................................... 43
BAB III ....................................................................................................................................................... 47
PENUTUP .................................................................................................................................................. 47
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 48
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas limpah dan rahmat-Nya
sehingga karya tulis ilmiah system digestive ini dapat terselesaikan. Karya tulis ilmiah ini dibuat sebagai
tugas mata kuliah Patofisiologi.
Karya tulis ilmiah ini disusun berdasarkan beberapa literatur yang saya ambil, Selain itu karya
tulis ilmiah ini saya susun dengan agar dapat memberikan manfaat untuk pembaca dalam mempelajari.
Oleh karena itu, saya sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
perbaikan kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutaman mahasiswa
Rekam Medis.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari gangguan fungsi pada organisme yang sakit
meliputi asal penyakit, permulaan perjalanan dan akibat.

Etiologi adalah studi yang mempelajari tentang sebab dan asal muasal dari suatu penyakit
atau gangguan kesehatan. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani aitiologia, yang artinya
“menyebabkan”. Ketika suatu etiologi suatu penyakit tidak dapat ditentukan atau diketahui
secara pasti, penyebab penyakit tersebut disebut idiopatik.

Sistem pencernaan atau digestive system Sistem organ manusia yang bertugas menerima
makanan,kemudian mencernanya menjadi energi dan zat-zat yang berguna bagi tubuh, dan
kemudian mengeluarkan sisa-sisa proses tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa saja penyakit yang ada dalam sistem pencernaan?
2. Apa etiologi dari penyakit sistem pencernaan?
3. Bagaimana patofisiologinya penyakit sistem pencernaan?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami penyakit yang terdapat dalam sistem pencernaan.
2. Memahami penyebab terjadinya gangguan atau penyakit dari sistem pencernaan.
3. Memahami permulaan atau asal dan akibat dari penyakit sistem pencernaan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Penyakit pada usus

2.1.1. Intususepsi
Intususepsi adalah kondisi di mana sebagian usus terlipat dan menyusup ke dalam
bagian usus lainnya, yang mengakibatkan penyumbatan di dalam usus atau obstruksi
usus. Intususepsi umumnya terjadi pada bagian yang menghubungkan usus halus dan
usus besar.
Kondisi ini dapat menyebabkan terhambatnya proses penyaluran makanan,
sirkulasi darah, dan cairan di dalam tubuh. Jika tidak segera ditangani, dapat
mengakibatkan matinya jaringan usus, robeknya dinding usus atau perforasi, hingga
infeksi pada rongga perut atau peritonitis.

a. Etiologi Intususepsi
Penyebab intususepsi pada bayi dan anak-anak masih belum diketahui
secara pasti. Namun, kondisi ini sering dialami oleh anak-anak yang
sedang menderita pilek atau peradangan pada perut dan usus.

Sementara, intususepsi pada orang dewasa umumnya disebabkan oleh


penyakit atau prosedur medis tertentu, seperti:
• Infeksi virus.
• Operasi saluran pencernaan.
• Polip atau tumor usus.
• Pembengkakan pada kelenjar getah bening di perut.
• Penyakit Crohn.

b. Symptom Intususepsi
Instususepsi lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak berusia 3 tahun
ke bawah. Meski demikian, orang dewasa juga dapat mengalaminya.
Gejala utama intususepsi adalah nyeri perut yang hilang timbul. Rasa
nyeri ini biasanya muncul tiap 15-20 menit. Seiring waktu, durasi
serangan akan menjadi lebih lama dan frekuensi kemunculannya lebih
sering.
Gejala intususepsi pada bayi atau anak-anak, umumnya lebih
mudah diketahui. Gejala ini berupa perilaku bayi atau anak yang menjadi
rewel atau menangis sambil meringkuk (menarik lutut ke dada) ketika
mengalami sakit perut akibat intususepsi.
Namun, pada penderita intususepsi yang sudah dewasa, gejalanya cukup
sulit untuk dikenali, karena mirip dengan gejala penyakit lainnya.
Berikut ini adalah gejala-gejala instususepsi yang harus diwaspadai:
• Mual
• Muntah
• Lemas
• Konstipasi
• Nyeri di sekitar perut
• Timbulnya benjolan di perut
• Tinja mengandung darah atau lendir.
Intususepsi termasuk kondisi medis darurat yang harus ditangani
secepatnya. Oleh sebab itu, dianjurkan untuk segera menemui dokter
atau ke rumah sakit jika mengalami gejala-gejalanya.

c. Patofisiologi Intususepsi
Patofisiologi intususepsi adalah ketika terjadi invaginasi bagian
proksimal segmen usus ke dalam bagian distal segmen yang berdekatan.
Seiring dengan terjadinya peristaltik pada usus intususeptum akan
mendorong usus semakin jauh ke arah distal. Hal ini menyebabkan
kompresi pembuluh mesenterika dan limfatik yang menyebabkan
kongesti vena dan edema jaringan, sehingga akan menghasilkan sekresi
lendir dan perdarahan, nekrosis dinding usus, hingga perforasi.

Edema yang terjadi pada intususepsi juga menghasilkan sumbatan


intraluminal usus. Ketika gerakan peristaltik usus terganggu, translokasi
bakteri akan terjadi dan dapat menyebabkan terjadinya sepsis dan
hipovolemia pada pasien.

d. Terapi Intususepsi
Terapi intususepsi pada anak berawal dari terapi operasi segera setelah
diagnosi saat ini reduksi radiologis rutin dilakukan dengan morbiditas
minimal.
Operasi tetap menjadi pilihan pada pasien yang tidak stabil,
ditemukan peritonitis atau perforasi, tidak adaahli radiologi, atau yang
paling sering, jika reduksi enema gagal. Reduksi non-operatif menjadi
pilihan pertama pada anak kecuali jika ditemukan tanda perforasi usus
atau peritonitis.

e. Prognosa
Intususepsi pada bayi yang tidak ditangani akan selalu berakibat fatal.
Angka kekambuhan pasca reduksi intususepsi dengan enema barium
sekitar 10% dan dengan reduksi bedah sekitar 2-5%, tidak pernah terjadi
setelah dilakukan reseksi bedah . Dengan terapi bedah yang adekuat,
reduksi dengan operasi sangat mengurangi angka mortalitas pada kasus
dini.

2.1.2. Vascular Disease (Infark Arteri Mesenterica)


Iskemia arteri mesenterika (MAI) adalah kondisi ketika aliran darah ke usus berkurang.
Biasanya disebabkan oleh sumbatan pada satu atau lebih arteri mesenterika, yaitu arteri
utama yang memasok darah ke usus halus dan usus besar.

Ketika arteri mesenterika menyempit atau tersumbat, maka pasokan oksigen jelas akan
berkurang. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel dan kerusakan permanen pada jaringan
usus. Dampak fatalnya, iskemia arteri mesenterika bisa mengakibatkan kematian.
a. Etiologi Vascular Disease
Semua orang di segala usia dapat mengalami iskemia arteri mesenterika. Akan
tetapi, kondisi ini terjadi paling umum pada orang dewasa yang usianya di atas 60
tahun.
Berikut ini berbagai penyebab iskemia arteri mesenterika, yaitu:
1. Penyakit kardiovaskular
Iskemia arteri mesenterika dapat terjadi akibat penyakit kardiovaskular.
Arteri mesenterika yang mengalirkan darah ke usus merupakan
percabangan dari aorta, yaitu arteri utama jantung.

Lemak yang terbawa oleh darah dapat menempel di dindinggt;pembuluh


darah manapun, termasuk arteri mesenterika. Semakin banyak timbunan
lemaknya, maka aliran darah menjadi tidak lancar dan memicu
aterosklerosis. Akibatnya, risiko penyakit jantung juga akan meningkat.
2. Kolesterol tinggi
Kolesterol tinggi dapat menyebabkan timbunan plak pada pembuluh arteri.
Penumpukan plak ini dapat mempersempit pembuluh darah, sehingga aliran
darah ke usus jadi terhambat.
3. Gumpalan darah
Gumpalan darah adalah sekelompok sel darah yang saling menempel satu
sama lain. Gumpalan darah tersebut dapat menyumbat arteri mesenterika
dan mengurangi aliran darah ke saluran pencernaan.

Gumpalan darah juga dapat meningkatkan risiko stroke jika sudah


menyebar ke otak. Bila Anda menggunakan pil KB atau obat-obatan lain
yang mengandung oksigen, maka Anda berisiko mengalami pembekuan
darah.
4. Penggunaan kokain dan metamfetamin
Kokain dan metamfetamin adalah 2 jenis obat yang bisa memicu iskemia
pada beberapa orang. Pasalnya, kedua obat tersebut dapat menyempitkan
pembuluh darah sehingga aliran darah jadi tidak lancar.
5. Operasi pembuluh darah
Timbulnya jaringan parut adalah salah satu komplikasi setelah operasi yang
paling sering terjadi. Ketika jaringan parut ini tumbuh di pembuluh darah,
maka pembuluh darah akan semakin menyempit dan menghalangi aliran
darah.

b. Symptom Vascular Disease


Iskemia arteri mesenterika terbagi menjadi 2 jenis, yaitu akut dan kronis. Iskemia
yang tergolong akut seringnya muncul tiba-tiba dengan gejala yang parah. Kondisi
ini paling banyak disebabkan oleh gumpalan darah di arteri.
Sementara itu, iskemia kronis muncul secara bertahap dan dalam waktu yang lama.
Sebagian besar iskemia kronis terjadi akibat aterosklerosis.
Berbagai tanda dan gejala iskemia arteri mesenterika yang paling umum adalah:
• Sakit perut
• Perut terasa nyeri saat ditekan
• Diare
• Mual
• Muntah
• Demam
Setiap jenis iskemia arteri mesenterika juga memiliki gejala tambahan yang khas,
yaitu:
• Iskemia akut: Sering buang air besar dan BAB berdarah.
• Iskemia kronis: Sakit perut setelah makan dan penurunan berat badan.

c. Patofisiologi Vascular Disease


Tiga pembuluh darah utama dari saluran pencemaan adalah A.coeliaca,
A.mesenterica superior dan A.mesentericainferior serta cabang--cabangnya.
Sumbatan padaTruncus coeliacus (jarang Mesenterial Infark sekali) dapat
mengakibatkan nekrosis pada hepar, lien, gaster dan pankreas. Terapi memuaskan
masih belum ada. Sumbatan tiba-tiba pada A.mesenterica superior hamper selalu
mengakibatkan nekrosis usus, sedangkan sumbatan pada A.mesenterica inferior
relatif dapat ditoleransi dengan baik bila pembuluh-pembuluh darah disekitarnya
masih baik. Usus membutuhkan O2 yang banyak (80 mL/menit) oleh karena itu
batas toleransi isemik hanya 2-3 jam. Dengan menggunakan electron microscope
sudah dapat dilihat adanya perubahan-perubahan pertama pada mitochondria
setelah terjadi isemik beberapa menit saja. Nekrosis yang mula-mula terjadi pada
lapisan mukosa akan menyebar ke seluruh lapisan dinding usus, akibatnya terjadi
perdarahan dalam mukosa dan ke dalam lumen usus disertai adanya infeksi.
Dengan adanya isemik yang makin parah maka timbul hyperperistaltik usus yang
diikuti dengan timbulnya paralisis. Spasme usus, kehilangan cairan dan ekstensi
usus mempengaruhi sisa vaskularisasi yang masih ada. Dalam 10-12 jam dapat
timbul gambaran yang lengkap dan suatu gangren usus dengan diikuti timbulnya
“wandering peritonitis”, asidosis metabolis, intoksikasi sistemik dan syok
irreversibel.

d. Terapi Vascular Disease


Dokter akan melakukan sejumlah pemeriksaan fisik untuk mendiagnosis iskemia
arteri mesenterika. Pemeriksaan tersebut meliputi:
• USG atau CT scan, untuk melihat gambar pembuluh darah dan usus secara
keseluruhan.
• MRI, untuk melihat struktur dan organ dalam tubuh.
• MRA, yaitu pemeriksana MRI untuk pembuluh darah.
• Arteriogram, menggunakan sinar-X dan pewarna khsusu untuk melihat
bagian dalam pembuluh darah.
Pengobatan iskemia arteri mesenterika disesuaikan dengan jenis iskemia itu sendiri,
apakah tergolong akut atau kronis.
Iskemia arteri mesenterika akut
Penyumbatan akut di usus harus segera diobati untuk mencegah kematian jaringan.
Berikut ini pilihan pengobatannya:
• Pembedahan, untuk menghilangkan bekuan darah, jaringan parut, dan
bagian usus yang sudah mati.
• Obat pengencer darah, untuk mencegah pembekuan darah di kemudian
hari.
• Angioplasti, yaitu prosedur memasukkan stent (tabung jala) untuk
membuka arteri yang menyempit.
Iskemia arteri mesenterika kronis
Kasus iskemia kronis biasanya memerlukan prosedur operasi. Namun bila iskemia
usus berkembang secara perlahan, maka operasi tidak diperlukan.
Dokter mungkin juga akan memberikan obat-obatan tertentu guna mengatasi
iskemia arteri mesenterika, yaitu:
• Antibiotik, bila penyumbatan disebabkan oleh arteri.
• Obat pengencer darah, seperti heparin atau warfarin, untuk mencegah risiko
pembekuan darah di kemudian hari.
• Obat vasodilator, seperti hydralazine, untuk memperlebar pembuluh darah.

e. Prognosa
Prognosis tergantung pada diagnosis yang tepat (kurang dari 12-24 jam dan
sebelum gangrene) dan penyebab yang mendasari:
• trombosis vena: 32% kematian
• emboli arteri: 54% kematian
• trombosis arteri: 77% kematian
• iskemia non-oklusif : 73% kematian.
Dalam kasus diagnosis dan terapi yang cepat, iskemia mesenterika akut dapat
disembuhkan.

2.2. Penyakit pada Sekum dan Apendisitis

2.2.1.Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi
rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya). Suatu bentuk penyakit akut,
dan merupakan kasus bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum,
melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada ruptur appendiks atau
divertikulum kolon, maupun non infeksi, misalnya akibat keluarnya asam lambung
pada perforasi gaster, keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu. Pada
wanita peritonitis sering disebabkan oleh infeksi tuba falopi atau ruptur ovarium.

a. Etiologi Peritonitis
Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan oleh bermacam hal, antara lain:
1. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan
ektopik terganggu.
2. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab
obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
3. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, trauma.
4. Radang, yaitu pada peritonitis.
b. Symptom Peritonitis
Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu tempat
ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan
saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
• Demam
Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat hipotermia
• Mual dan muntah
Timbul akibat adanya kelainan patologis organ visera atau akibat iritasi
peritoneum
• Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului
dengan hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi
hipotensi, penurunan output urin dan syok.
• Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus
• Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi
akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen
ataupun involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
• Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
• Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
• Tidak dapat BAB/buang angin.

c. Patofisiologi Peritonitis
Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi dari organ-
organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa,
kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan obstruksi usus.
Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata. Pada
peritonitis local dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta
mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan
omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi
peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada
keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah.

d. Terapi Peritonitis
Peritonitis adalah suatu kondisi yang mengancam jiwa, yang memerlukan
pengobatan medis sesegera mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra
abdomen adalah:
1. mengkontrol sumber infeksi
2. mengeliminasi bakteri dan toksin
3. mempertahankan fungsi sistem organ
4. mengontrol proses inflamasi
Terapi terbagi menjadi:
o Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan
hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk
mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan keadaan metabolik,
pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis (misalnya insufisiensi
respiratorik atau ginjal), serta terapi terhadap inflamasi yang terjadi.
o Intervensi non-operatif, termasuk di dalamnya drainase abses
percutaneus dan percutaneus and endoscopic stent placement.
o Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk mengatasi
sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ intra-abomen

Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan, pemberian


suplemen, antara lain glutamine, arginine, asam lemak omega-3 dan omega-6,
vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan sebagai tambahan untuk
mempercepat
proses penyembuhan.

e. Prognosa
Tergantung dari umur penderita, penyebab, ketepatan dan keefektifan terapi.
Prognosa baik pada peritonitis lokal dan ringan. Prognosa buruk pada
peritonitis general.

2.2.2.Adenocarcinoma Caecum
Kanker usus mungkin dari jenis adenokarsinoma dan biasanya timbul dari epitel yang
melapisi bagian dalam usus besar yang melapisi usus besar.
Usus besar adalah bagian dari usus besar. Usus besar (di sekum) dimulai di ujung
usus kecil (ileum). Sekum memiliki usus buntu. Awal dari usus besar adalah usus
besar yang menaik. Dimana ini naik untuk memenuhi hati (fleksura hati) ini menjadi
usus besar transversal. Usus besar melintang melewati perut bagian atas sampai
menjadi berdekatan dengan limpa (lentur limpa) dan pada titik ini menjadi usus besar
yang turun. Usus besar pada titik ini turun dari perut ke panggul dan kemudian
menjadi kolon sigmoid (karena melengkung dalam bentuk "S", sigma adalah bahasa
Yunani untuk "S"). Kolon sigmoid berakhir di rektum, yang bertindak sebagai
kantong penyimpanan feses sebelum dikeluarkan melalui anus.
Secara keseluruhan, fungsi usus besar adalah menyerap air dari feses. Ketika
ilium memasukkan isinya ke dalam sekum, mereka menjadi sangat cair dan secara
bertahap mengeras seiring perkembangan isinya di sekitar usus besar.

a. Etiologi Adenocarcinoma Caecum


Kanker usus besar disebabkan oleh perubahan atau mutasi gen pada jaringan
usus besar. Akan tetapi, penyebab mutasi gen tersebut belum diketahui
dengan pasti.

Meski penyebabnya tidak diketahui, ada beberapa gaya hidup yang diduga
dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit kanker usus besar,
antara lain:
o Pola makan kurang serat
o Terlalu banyak mengonsumsi daging merah dan lemak
o Merokok
o Mengonsumsi minuman beralkohol
o Jarang berolahraga
Selain itu, ada beberapa kondisi atau penyakit yang juga membuat seseorang
menderita kanker usus besar, yaitu:
o Memiliki orang tua atau saudara kandung yang menderita kanker
usus besar.
o Menderita polip usus.
o Mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
o Menderita diabetes.
o Menderita penyakit radang usus.
o Pernah menjalani radioterapi di bagian perut.
o Menderita kelainan genetik yang disebut familial adenomatous
polyposis (FAP) atau sindrom Lynch.
o Berusia di atas 50 tahun.

b. Symptom Adenocarcinoma Caecum


Gejala kanker usus besar pada stadium awal terkadang tidak terasa, atau
bahkan tidak muncul sama sekali. Walaupun demikian, ada beberapa gejala
yang dapat muncul pada kanker usus besar stadium awal, yaitu:
1. Diare atau sembelit
2. Perut kembung
3. Kram atau sakit perut
4. Perubahan bentuk dan warna tinja
5. BAB berdarah
Jika sudah memasuki stadium lanjut, penderita kanker usus besar dapat
mengalami gejala berupa:
1. Kelelahan
2. Sering merasa BAB tidak tuntas
3. Perubahan pada bentuk tinja yang terjadi lebih dari sebulan
4. Penurunan berat badan drastis
Apabila kanker usus besar sudah menyebar ke bagian tubuh lainnya, dapat
muncul gejala berupa:
1. Sakit kuning (ikterus)
2. Pandangan kabur
3. Pembengkakan pada lengan dan tungkai
4. Sakit kepala
5. Patah tulang
6. Sesak napas

c. Patofisiologi Adenocarcinoma Caecum


Umumnya kanker kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari
polip adenoma. Insiden tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun
umumnya masih terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Pertumbuhan tumor
secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada saat
timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar ke dalam lapisan lebih
dalam dari jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker
kolorektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan
usus, submukosa dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan seperti
hepar, kurvatura mayor, lambung, duodenum, usus halus, pankreas, limpa,
saluran genitourinari dan dinding abdomen juga dapat dikenai oleh
perluasan. Metastase ke kelenjar getah bening regional sering berasal
dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang
jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Way, 1994). Sel-
sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limpatik
atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hepar, paru-paru, otak, tulang
dan ginjal. Awalnya sebagai nodul, kanker usus sering tanpa gejala hingga
tahap lanjut karena pola pertumbuhan lamban, 5 sampai 15 tahun sebelum
muncul gejala (Way, 1994). Manifestasi tergantung pada lokasi, tipe dan
perluasan serta komplikasi. Perdarahan sering sebagai manifestasi yang
membawa pasien datang berobat. Gejala awal yang lain sering terjadi
perubahan kebiasaan buang air besar, diare atau konstipasi. Karekteristik
lanjut adalah nyeri, anoreksia dan kehilangan berat badan. Mungkin dapat
teraba massa di abdomen atau rektum. Biasanya pasien tampak anemis akibat
dari perdarahan. Prognosis kanker kolorektal tergantung pada stadium
penyakit saat terdeteksi dan penanganannya. Sebanyak 75 % pasien kanker
kolorektal mampu bertahan hidup selama 5 tahun. Daya tahan hidup buruk /
lebih rendah pada usia dewasa tua (Hazzard et al., 1994). Komplikasi primer
dihubungkan dengan kanker kolorektal : (1) obstruksi usus diikuti dengan
penyempitan lumen akibat lesi; (2) perforasi dari dinding usus oleh tumor,
diikuti kontaminasi dari rongga peritoneal oleh isi usus; (3) perluasan
langsung tumor ke organorgan yang berdekatan.

d. Terapi Adenocarcinoma Caecum


Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah dijumpai
penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi paliatif untuk
mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan. Tujuan ideal penanganan
kanker adalah eradikasi keganasan dengan preservasi fungsi anatomi dan
fisologi. Kriteria untuk menetukan jenis tindakan adalah letak tumor, jenis
kelamin dan kondisi penderita.
Tindakan untuk kanker rektum :
1. Tumor yang berjarak < 5 cm dari anal verge dilakukan eksisi
abdomino perineal.
2. Tumor yang berjarak 5-10 cm dari anal verge dilakukan low anterior
reseksi.
3. Tumor yang berjarak > 5 cm dari anal verge dilakukan reseksi
anterior standar.
Pada tumor yang kecil dan masih terlokalisir, reseksi sudah mencukupi
untuk kuratif. Pertimbangan untuk melakukan reseksi atau tidak pada kanker
rektum tidak hanya kuratif tetapi juga paliatif seperti elektrokoagulasi dan
eksisi lokal, fulgurasi, endokaviti irradiasi atau braki terapi. Beberapa pilihan
pada penderita berisiko tinggi dapat dilakukan laparoskopi, eksternal beam
radiation, elektrokoagulasi, ablasi laser, eksisi lokal dan stent endoskopi.
Sebelum melakukan tindakan operasi harus terlebih dahulu dinilai keadaan
umum dan toleransi operasi serta ekstensi dan penyebaran tumor. Pada eksisi
radikal rektum harus diusahakan pengangkatan mesorektum dan kelenjar
limfa sekitarnya. Berbagai jenis terapi tersedia untuk pasien kanker
kolorektal. Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah.
Tujuan utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna, baik
bersifat kuratif maupun non kuratif. Beberapa adalah terapi standar dan
beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Terapi standar untuk
kanker rektum yang digunakan antara lain adalah :
1. Pembedahan
Pembedahan pada tumor kolon yang berdekatan dan kelenjar getah
bening yang berdekatan adalah penanganan pilihan untuk kanker
kolorektal. Penanganan pembedahan bervariasi dari pengrusakan
tumor oleh laser photokoagulasi selama endoskopi sampai
pemotongan abdominoperineal (APR = abdominoperineal resection)
dengan kolostomi permanen. Bila memungkinkan spingter ani
dipertahankan dan hindari kolostomi (Way, 1994).
Laser photokoagulasi digunakan sangat kecil, usus diberi sorotan
sinar untuk pemanasan langsung jaringan didalamnya. Panas oleh
laser umumnya dapat digunakan untuk merusak tumor kecil. Juga
digunakan untuk bedah paliatif atau tumor lanjut untuk mengangkat
sumbatan. Laser photokoagulasi dapat dibentuk berupa endoskopik
dan digunakan untuk pasien yang tidak mampu / tidak toleransi
untuk dilakukan bedah mayor. Penanganan bedah lain untuk yang
kecil termasuk pemotongan lokal dan fulguration. Prosedur ini juga
dapat dilakukan selama endoskopi, dengan mengeluarkan jarum
untuk bedah abdomen. Eksisi lokal dapat digunakan untuk
mengangkat pengerasan di rectum berisi tumor kecil, yang
differensiasi baik, lesi polipoid yang mobile / bergerak bebas.
Fulguration atau elektrokoagulasi digunakan untuk mengurangi
ukuran tumor yang besar bagi pasien yang risiko pembedahan jelek.
Prosedur ini umumnya dilakukan anestesi umum dan dapat
dilakukan bertahap (Way, 1994).
Banyak pasien dengan kanker kolorektal dilakukan pemotongan
bedah dari kolon dengan anastomosis dari sisa usus sebagai prosedur
pengobatan. Penyebaran ke kelenjar getah bening regional dibedakan
untuk dipotong bila berisi lesi metastase (Way, 1994). Sering tumor
di bagian asenden, transversum, desenden dan colon sigmoid dapat
dipotong. Kolostomi adalah membuat ostomi di kolon. Dibuat bila
usus tersumbat oleh tumor sebagai penatalaksanaan sementara untuk
mendukung penyembuhan dari anastomosis atau sebagai
pengeluaran feses permanen bila kolon bagian distal dan rektum
diangkat /dibuang. Kolostomi diberi nama berdasarkan: asenden
kolostomi, transversum kolostomi, desenden kolostomi dan sigmoid
kolostomi. Kolostomi sigmoid sering permanen, sebagian dilakukan
untuk kanker rektum. Biasanya dilakukan selama
reseksi/pemotongan abdominoperineal. Prosedur ini meliputi
pengangkatan kolon sigmoid, rektum, dan anus melalui insisi
perineal dan abdominal. Saluran anal ditutup dan stoma dibentuk
dari kolon sigmoid proksimal. Stoma berlokasi di bagian bawah
kuandran kiri abdomen. Bila kolostomi double barrel, dibentuk dua
stoma yang terpisah. Kolon bagian distal tidak diangkat tetapi dibuat
saluran bebas/bypass. Stoma proksimal yang fungsional mengalirkan
feses ke dinding abdomen. Stoma distal berlokasi dekat dengan
stoma proksimal atau di akhir dari bagian tengah insisi. Disebut juga
mucus fistula, stoma distal mengeluarkan mukus dari kolon distal.
Kolostomi double barrel dapat diindikasikan untuk kasus trauma,
tumor atau peradangan, dan dapat sementara atau permanen. Dalam
prosedur emergensi digunakan untuk mengatasi sumbatan usus atau
perforasi. Pada prosedur Hartmann, prosedur kolostomi sementara.
Bagian distal dari kolon ditempatkan di kiri dan dirawat untuk
ditutup kembali. Kolostomi sementara dapat dibentuk bila usus
istirahat atau dibutuhkan penyembuhan, seperti pemotongan tumor
atau peradangan pada usus. Juga dibentuk akibati traumatik injuri
pada kolon, seperti luka tembak. Penyambungan kembali atau
anastomosis dari bagian kolon tidak dilakukan segera karena
kolonisasi bakteri berat dari luka kolon tidak diikuti penyembuhan
sempurna dari anastomosis. Berkisar 3 – 6 bulan kolostomi ditutup
dan dibentuk anastomosis kolon (Harahap, 2004).
2. Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai tambahan dari pengangkatan
bedah dari tumor usus. Bagi kanker rektum yang kecil, intrakavitari,
eksternal atau implantasi radiasi dapat dengan atau tanpa eksisi
bedah dari tumor. Radiasi preoperatif diberikan bagi pasien dengan
tumor besar sampai lengkap pengangkatan. Bila terapi radiasi
megavoltase digunakan, kemungkinan dalam kombinasi dengan
kemoterapi, kanker rektum berkurang ukurannya, sel-sel jaringan
limpatik regional dibunuh dan kekambuhan lamban atau tidak
kambuh sama sekali (Berkow & Fletcher, 1992; way, 1994). Terapi
radiasi megavoltase juga dapat digunakan postoperatif untuk
mengurangi risiko kekambuhan dan untuk mengurangi nyeri. Lesi
yang terfiksir luas tidak diangkat, dapat ditangani dengan
mengurangi pemisah / hambatan dan memperlambat berkembangnya
kanker.
3. Kemoterapi
Agen-agen kemoterapi seperti levamisole oral dan intravenous
fluorouracil (5-FU), juga digunakan postoperatif sebagai terapi
adjuvan untuk kanker kolorektal. Bila dikombinasi dengan terapi
radiasi, kontrol pemberian kemoterapi lokal dan survive bagi pasien
dengan stadium II dan III dengan kanker rektum. Keunggulan bagi
kanker kolon adalah bersih, tetapi kemoterapi dapat digunakan untuk
menolong mengurangi penyebaran ke hepar dan mencegah
kekambuhan.Leucoverin dapat juga diberikan dengan 5-FU untuk
meningkatkan efek anti tumor (Harahap, 2004).
4. Terapi Terkini
Metode pengobatan yang sedang dikembangkan pada dekade
terakhir ini adalah:
a) Target Terapi: memblokade pertumbuhan pembuluh darah ke daerah
tumor.
b) Terapi Gen.
c) Modifikasi biologi dan kemoterapi : thymidy-late synthase dan 5
fluoro urasil.
d) Extra corporal transcutaneus application : ultrasonografi intensitas
tinggi.
e) Imunoterapi : Interleukin Limfokin-2 dan Alpa Interferon.
e. Prognosa
Kanker usus biasanya tidak didiagnosis lebih awal, kecuali jika
ditemukan secara kebetulan, dengan skrining atau kolonoskopi pengawasan
(misalnya untuk kolitis ulserativa ).
Jika kanker usus belum menyerang dinding otot, dapat disembuhkan
dengan operasi. Setelah tumor kanker usus menembus dinding otot dan
masuk ke kelenjar getah bening regional, sekitar 40% pasien akan bertahan
hidup 5 tahun.
Jika tumor kanker usus telah menyebar ke organ lain seperti hati atau
paru-paru, kelangsungan hidup 5 tahun saat ini sekitar 10%. Secara umum,
karena kanker sekum muncul kemudian, prognosis dari karsinoma sekum
sedikit lebih buruk daripada bagian lain dari usus besar.

2.3. Penyakit pada Colon

2.3.1. Inflammatory bowel syndrome and Inflammatory bowel disease (IBS and IBD)
Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan gangguan saluran pencernaan menahun
yang biasanya menyerang usus besar. Penyakit ini ditandai dengan keluhan nyeri perut,
diare dan/ atau sembelit.

IBS umumnya terjadi pada orang bekerja pada usia 20–45 tahun. Setidaknya satu
dari sepuluh pekerja pernah mengalaminya. Perempuan lebih sering terkena
dibandingkan laki-laki.
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan
melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan. Dua tipe mayor
daripada penyakit ini adalah Ulcerative Colitis (UC) dan Crohn Disease (CD). Seperti
namanya, UC terbatas pada kolon, sedangkan CD mencakup semua segmen daripada
traktus gastrointestinal dari mulut sampai anus.

a. Etiologi IBS dan IBD


Irritable bowel syndrome (IBS) terjadi akibat kontraksi berlebihan dari
usus besar. Namun penyebab kontraksi berlebihan ini belum diketahui pasti
hingga kini. Diduga salah satu penyebabnya adalah rasa cemas dan stres yang
berlebihan. Rasa cemas dan stres mempengaruhi gerakan usus dan
menyebabkan usus menjadi lebih sensitif terhadap rasa nyeri.
Etiologi IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis (ratio
abnormal daripada agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang
merugikan), fungsi barier mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba
yang terganggu.
Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi respon
imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum dapat
diidentifikasi), respon imun terhadap antigen intraluminal (contohnya protein
dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada respon imun yang
appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula respon yang inappropriate
pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel epitel intestinal (contohnya
perubahan fungsi barrier). Menurut studi prospektif E3N, ditemukan bahwa
makan makanan dengan protein hewani yang tinggi (daging atau ikan)
berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadi IBD. Penderita IBD
mungkin memiliki predisposisi genetik terhadap penyakit ini. Beberapa
penelitian menemukan kromosom 16 (gen IBD1), yang akhirnya
menyebabkan teridentifikasinya gen NOD2 (yang saat ini disebut CARD15)
merupakan gen pertama yang secara jelas beruhubugan dengan IBD
(merupakan gen yang dicurigai berhubungan terhadap CD). Ada juga
penelitian yang menemukan kromosom 5 (5q31) dan 6 (6p21 dan 19p)
sebagai gen yang dicurigai ada hubungannya dengan IBD. Kesimpulannya,
dari semua gen-gen yang berpotensial ini, mereka dikatakan bukan penyebab
(kausatif) daripada IBD, namun gen-gen ini mendukung untuk terjadinya IBD
(permisif). Resiko berkembangnya UC meningkat pada orang-orang yang
tidak merokok, namun bukan berarti dengan merokok dapat menimbulkan
perbaikan gejala terhadap penyakit UC. Sebaliknya, untuk CD insiden lebih
tinggi ditemukan pada perokok daripada populasi umum, dan pasien-pasien
dengan CD yang tetap melanjutkan merokok akan lebih sedikit responnya
terhadap terapi.

b. Symptom IBS dan IBD


Gejala utama Irritable bowel syndrome (IBS) adalah sakit perut. Perut seperti
mengalami kram. Umumnya keluhan sakit perut ini terjadi dalam kondisi
stress, dan sakit perut makin hebat bila penderitanya makan. Hal yang khas
pada penderita IBS, sakit perut akan hilang begitu penderitanya buang air
besar. Selain itu, gejala lain dari IBS adalah:

o Diare (terutama terjadi di pagi hari setelah makan)


o Sembelit
o Perut terasa begah
o Sering sendawa

Gejala radang usus bervariasi, tergantung pada lokasi peradangan pada


saluran pencernaan. Gejala tersebut meliputi:

a. Nyeri perut atau kram perut


b. Perut kembung
c. Diare
d. Selera makan berkurang
e. Berat badan turun
f. BAB berdarah (hematochezia)

Selain di usus, peradangan juga dapat timbul di luar sistem pencernaan,


seperti di mata, kulit, atau sendi (artritis). Khusus pada penderita Crohn’s
disease, di area kelamin dapat muncul sariawan atau luka.

BAB berdarah akibat radang usus juga dapat menimbulkan anemia atau
kurang darah, yang menimbulkan keluhan mudah lelah dan pucat.

c. Patofisiologi IBS dan IBD


1. Perubahan motilitas usus
Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus
halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan
makanan dapat merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus
halus selama puasa ditemukan pada pasien IBS. Juga dilaporkan adanya
respon kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi lemak.
2. Hipersensitivitas visceral
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada
viscus dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap
iskemia, distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri.
Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih
bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk ambang
nyeri yang rendahpada pasien IBS.
3. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat
rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan
pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini.
4. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di saluran
gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel otot polos.
Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan
peristaltik dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung.
Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada kelainan
fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene–related peptide,
acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase–activating
polypeptide, nitric oxide, and vasoactive intestinal peptide. Neurotransmitter
ini menyediakan hubungan tidak hanya antara kontraktilitas usus dan
sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf usus dan sistem saraf
pusat. Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi,
motilitas dan keadaan sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari
sejumlah reseptor yang tersebar luas pada saraf usus dan eferen sensoris. Sel
enterosit mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan
interstitial melaui aksi dari reuptake serotonin transporter (SERT). Sehingga
merubah kandungan dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan
pada ekspresi SERT/ aktivitas dapat berperanan pada fungsi sensimotor
pada IBS. Peningkatan pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin,
histamin, dan protease menstimulasi system saraf enterik; mediator yang
dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas, sekresi serta hiperalgesia
sistem gastrointestinal.
5. Infeksi dan inflamasi
Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS
memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum.
Adanya episode enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan
yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada mikroflora bakteri dapat
berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat rendah. Inflamasi
dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan mengaktivasi
sistem sensori visceral. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan
pada perubahan fisiologi dan hipersensitivitas gastrointestinal yang
mendasari IBS.
6. Faktor genetic
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi:
pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar
monozigot jika dibandingkan dengan dizigot. Adanya polimorpisme gen
yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF
_1) dan SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi
berinteraksi palingdengan faktor lingkungan. Sampai saat ini belum ada
model konsep tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus dari IBS.

Jalur akhir umum daripada patofisiologi IBD adalah inflamasi pada


mukosa traktus intestinal menyebabkan ulserasi, edema, perdarahan,
kemudian hilangnya air dan elektrolit. Banyak mediator inflamasi yang
telah diidentifikasi pada IBD, dimana mediatormediator ini memiliki
peranan penting pada patologi dan karakteristik klinik penyakit ini. Sitokin
yang dikeluarkan oleh makrofag karena respon daripada berbagai
rangsangan antigenik, berikatan dengan reseptor-reseptor yang berbeda,
kemudian menghasilkan efekefek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin
juga akan mendiferensiasikan limfosit menjadi berbagai tipe sel T. Sel T
helper tipe 1 (TH-1) berhubungan dengan CD, sedangkan TH-2
berhubungan dengan UC. Respon imun inilah yang akan merusak mukosa
intestinal dan menyebab proses inflamasi yang kronis.

d. Terapi IBS dan IBD


Penatalaksanaan IBS meliputi
modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi farmakologi. Ketiga bentuk
pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam memberikan obatobatan
mempunyai efek samping dan yang juga akan memperburuk kondisi
psikis pasien.Target terapi IBS adalah mengurangi gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien.
1. Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada
IBS predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS dengan
predominan diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe konstipasi
peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air yang
meningkat disertai aktivitas olah raga rutin. Selanjutnya menghindari
makanan dan minuman yang dicurigai sebagai pencetus, jika
menghilang setelah menghindari makanan tersebut coba lagi setelah
3bulan secara bertahap.
Oligosakarida yang difermentasi, disakarida, monosakarida dan
poliol (FODMAPs) diduga menyebabkan efek osmotik yang memicu
distensi lumen.
2. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan gejala
psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal. Intervensi psikologis
ini meliputi edukasi (penerangan tentang perjalanan penyakitnya),
relaksasi, hypnotherapy, terapi psikodinamik atau interpersonal dan
cognitive behavioural therapy serta obat-obat psikofarmaka.
Terapi fisik seperti masa sedan akupuntur pada beberapa
penelitian dapat mengurangi gejala dan tanda emosional.
3. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk
menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri
abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare dan antiansietas.
Obat-obatan ini biasanya diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodik
yang memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut
setelah makan. Obat-obat yang sudah beredar di Indonesia antara
lain mebeverine 3x135 mg, hyocine butylbromide 3x10 mg,
chlordiazepoksid 5 mg, klidinium 2,5 mg 3x1 tablet dan alverine
3x30 mg.Untuk IBS konstipasi, tegaserod suatu 5-HT4 reseptor
antagonis bekerja meningkatkan akselerasi usus halus dan
meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod biasanya diberikan
dengan dosis 2 x 6 mg selama 10-12 minggu.Untuk IBS tipe diare
beberapa obat juga dapat diberikan antara lain loperamid dengan
dosis 2-16 mg per hari. Antibiotik jangka pendek direkomendasikan
untuk mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibiotic non
absorbent seperti rifaksimin, mengatasi sensasi tidak nyaman
abdomen, namun penggunaannya dapat menyebabkan relaps yang
tinggi.
Beberapa obat yang pernah diteliti seperti naloxone (antagonis
reseptor mu), fedotozine (kappa opioid antagonis), clonidine (alpha-2
agonist), neomycin, colpermin (peppermint oil), chinese herbal
medicine, lactobacillus plantarum dan beidelliticmontmorillonite.
Tinjauan sistematik dan metaanalisisefikasi TCA (tricyclic
antidepressant) dan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) pada
terapi IBS hasilnya efektif mengatasi gejala IBS.
Pemberian probiotik juga merupakan salah satu terapi pada IBS,
namun mekanisme belum sepenuhnya diketahui. Salah satu hipotesis
menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri masuk
kecelah intersel dan melakukan invasi, produksi substansi
antimikroba dapat mencegah invasi, perubahan mikroflora intestinal
dapat berdampak pada fungsi motoric dan sekretorik intestinal dan
menjadi signal epitel intestinal yang berfungsi memodulasi imunitas
luminal dan respon inflamasi.

Penatalaksanaan IBD dapat dengan terapi obat-obatan,


pembedahan, maupun kombinasi keduanya (lebih sering kombinasi).
Pendekatan terapi farmakologi pada pasien IBD yaitu terapi
berdasarkan gejala dan pendekatan secara step-wise dengan obat-
obatan sampai respon yang diharapkan tercapai.
1. Terapi simtomatis
Karena biasanya pasien IBD memiliki gejala seperti diare,
spasme atau nyeri, ketidaknyamanan epigastrium, maka diberikan
obat-obatan seperti antidiare, antispasmodic, pereda asam lambung,
dan lain-lain.
Loperamide dan kombinasi antara diphenoxylate dan atropine
berguna untuk penyakit yang ringan dengan tujuan mengurangi
pergerakan usus dan urgensi rektum.
Cholestyramine mengikat garam empedu sehingga berguna
untuk mengurangi diare pada pasien dengan CD yang sudah direseksi
ileumnya. Terapi antikholinergik dicyclomide dapat membantu
mengurangi spasme intestinal.
Obat-obatan ini bukan tanpa komplikasi, dan harus hati-hati
penggunaannya. Antidiare dan antikholinergik harus dihindari untuk
penyakit akut yang parah, karena obat-obat ini dapat mencetuskan
terjadinya megakolon toksik. Hindari juga penggunaan narkotik
dalam waktu jangka panjang untuk penatalaksanaan nyerinya.
Suplemen zat besi perlu ditambahkan jika terdapat perdarahan rektum
yang signifikan.
2. Terapi Step-Wise
Pendekatan secara step-wise digunakan dengan cara memakai
obat yang paling ringan (atau sementara) terlebih dahulu, jika obat itu
gagal, obat-obatan pada tahap berikutnya yang digunakan.
• Step I Aminosalisilat
Aminosalisilat digunakan untuk menangani perluasan IBD
dan mempertahankan remisi. Tidak ada aminosalisilat yang
dibuktikan memiliki efikasi yang lebih baik untuk pengobatan
UC maupun CD dibandingkan terapi lainnya. Terapi dengan obat
ini lebih efektif pada pasien dengan UC dibandingkan CD,
namun dapat mencegah rekurensi pada pasien CD yang sudah
ditangani dengan pembedahan.
• Step IA Antibiotik
Metronidazole dan ciprofloxacin merupakan antibiotik
tersering yang digunakan pada pasien IBD. Pada beberapa
penelitian, terapi antituberkulosis, makrolid, fluoroquinolone dan
rifaximin (monoterapi maupun kombinasi) dapat menginduksi
remisi pada CD maupun UC yang aktif.biasanya pasien dengan
UC menggunakan antibiotik untuk perioperatif, sedangkan pada
CD antibiotik digunakan pada berbagai indikasi, paling sering
adalah penyakit perianal. Bisa juga untuk fistula, masa
inflamatorik pada abdomen, dan ileitis.
Antibiotik ini banyak memiliki berbagai efek samping yang
potensial seperti mual, diare,
anoreksia, infeksi monolial (candida), dan neuropati perifer.1,2
• Step II Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan agen anti inflamasi yang
bekerja dengan cepat dan indikasinya untuk IBD yaitu pada
penyakit dengan perluasan akut saja, tidak untuk
mempertahankan remisi. Penggunaan kortikosteroid dibatasi
oleh karena berbagai efek sampingnya, terutama pada
penggunaan jangka panjang. Komplikasi potensial dari
penggunaan kortikosteroid antara lain abnormalitas
keseimbangan cairan dan elektrolit, osteoporosis, nekrosis
aseptik, ulkus peptikum, katarak, disfungsi neurologi dan
endokrin, komplikasi infeksius, dan gangguan psikiatri
(termasuk psikosis).
Rute administrasi kortikosteroid yaitu:
o Intravena, contohnya methylprednisolone,
hydrocortisone. Biasanya digunakan untuk pasien
dengan sakit yang parah dengan dosis awal biasanya 40
mg setiap 6 jam untuk methylprednisolone, atau 100 mg
tiap 8 jam untuk hidrokortison, kemudian dosis
selanjutnya di-tappering.
o Oral, contohnya prednisone, prednisolone, budesonide,
deksametason. Dosisnya bervariasi, yang sering adalah
prednisone 10-40 mg per hari untuk perluasan IBD
sedang. Budesonide merupakan kortikosteroid sintetik
yang digunakan untuk CD dengan keterlibatan pada
ileum maupun ileoceccum. Preparat ini tidak efektif
untuk UC.
o Topikal (enema, supositoria, preparat foam) Preparat ini
digunakan pada pasien dengan penyakit pada kolon
distal, untuk penyakit yang aktif, dan sedikit peranannya
untuk mempertahankan remisi. Preparat ini efektif untuk
IBD ringan sampai sedang dengan keterlibatan pada
kolon distal. Cortenema, Cortifoam, dan suposituria
Anusol-HC digunakan untuk penyakit pada bagian distal
seperti proctitis dan proctosigmoiditis.
• Step III Immune modifier
6-MP dan azathioprine digunakan pada pasien IBD dengan
remisi yang sulit dipertahankan hanya dengan aminosalisilat
saja. Terapi ini bekerja dengan menyebabkan reduksi jumlah
limfosit sehingga onsetnya menjadi lebih lambat (dua sampai
tiga bulan). Preparat ini digunakan paling sering untuk
pasien dengan penyakit yang refraktorius, terapi primer
untuk fistula, dan mempertahankan remisi.sebelum memulai
terapi ini, pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
genotip atau fenotip thiopurine methyltransferase (TPMT)
karena resiko terjadinya leukopenia yang parah
(menyebabkan komplikasi sepsis), juga diperlukan
monitoring terhadap parameter darah setiap bulannya, dan
tes fungsi hati juga perlu secara intermiten.
• Step IV Terapi eksperimental
Terapi eksperimental yang digunakan pasien dengan CD
yaitu methotrexate, thalidomide, dan IL-11. Sedangkan untuk UC
yang digunakan cyclosporine A, nicotine patch, butyrate enema,
dan heparin. Terapi oksigen hiperbarik dapat juga membantu
terapi IBD yang tidak responsive dengan terapi lain.
3. Intervensi Pembedahan
Pendekatan dengan terapi pembedahan pada IBD bervariasi
tergantung pada penyakitnya. Yang terpenting, UC merupakan
penyakit yang dapat disembuhkan dengan pembedahan karena
terbatas pada kolon. Sedangkan CD yang dapat melibatkan seluruh
segmen saluran pencernaan dari mulut sampai anus, pembedahan
dengan reseksi bukan merupakan terapi yang kuratif. Perlu diingat
juga, intervensi pembedahan yang berlebihan dapat menyebabkan
crippling short bowel syndrome.

e. Prognosa
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala
pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50%
kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang
menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan dan penyakit
imflamasi.
UC dan CD memiliki angka mortalitas yang hampir sama. Walaupun
mortalitas UC menurun dalam 40-50 tahun terakhir ini, namun kebanyakan
studi menyatakan bahwa adanya peningkatan mortalitas yang berhubungan
dengan IBD. Penyebab tersering kematian pada pasien IBD adalah penyakit
primer, yang diikuti dengan keganasan, penyakit tromboemboli, peritonitis
dengan sepsis, dan komplikasi pembedahan. Pasien dengan IBD akan lebih
mudah menuju ke arah keganasan. Pasien dengan CD memiliki angka yang
lebih tinggi untuk terjadinya keganasan pada usus halus. Pasien dengan
pancolitis, khususnya UC, akan beresiko lebih tinggi berkembang menjadi
malignansi kolon setelah 8-10 tahun. Standar terkini untuk screening adalah
mendeteksi dengan colonoscopy dalam interval 2 tahun saat pasien mengidap
penyakit tersebut. Morbiditas jangka panjang dapat terjadi akibat dari
komplikasi terapi obat-obatan, khususnya penggunaan steroid jangka panjang.

2.4. Penyakit pada Hati

2.4.1. Perlemakan Hati/Fatty Liver


Perlemakan hati atau hepatic steatosis adalah penumpukan lemak yang berlebih
pada organ hati. Penumpukan abnormal tersebut biasanya terjadi pada Kondisi ini
dapat menimbulkan gangguan pada fungsi hati yang seharusnya memproses makanan
dan minuman, serta menyaring zat berbahaya dari darah. Jika dibiarkan tanpa
pengobatan, dapat memicu peradangan hati yang menimbulkan jaringan parut
(fibrosis), bahkan dapat mengarah pada kondisi sirosis, yaitu terbentuknya jaringan
parut luas yang merusak struktur hati dan mengganggu fungsi hati.
a. Etiologi Fatty Liver
Perlemakan hati terjadi saat tubuh memproduksi lebih banyak lemak
sementara proses pemecahannya di hati tidak cukup cepat, sehingga lemak
tertimbun dalam jaringan hati. Perlemakan hati dapat digolongkan menurut
penyebabnya, dan yang paling banyak terjadi adalah karena konsumsi
minuman beralkohol yang berlebihan. Akibatnya, hati tidak bisa memecah
alkohol.

Selain alkohol, perlemakan hati juga dapat disebabkan oleh kondisi lain yang
tidak terkait dengan konsumsi alkohol. Penyebab timbunan lemak dalam
jaringan hati yang tidak berhubungan dengan alkohol ini tidak dapat
diketahui, namun diduga diakibatkan oleh gen tertentu dalam tubuh.

Beberapa kondisi lain yang juga dapat memicu terjadinya perlemakan hati
tidak terkait alkohol, di antaranya:
1. Efek samping obat-obatan, misalnya kortikosteroid, estrogen sintetik,
methotrexate, dan tamoxifen.
2. Zat racun (toksin).
3. Memiliki kondisi medis tertentu, seperti kadar gula darah tinggi
(hiperglikemia), diabetes tipe 2, hipertensi, atau hepatitis C.
4. Malnutrisi.
5. Berat badan yang turun secara drastis.
6. Memiliki berat badan berlebih.
7. Resisten terhadap insulin.
8. Memiliki kadar kolesterol dan trigliserida tinggi.
Perlemakan hati tidak terkait alkohol dapat terbagi menjadi perlemakan
hati sederhana di mana lemak dalam hati tidak mengalami peradangan, dan
steatohepatitis nonalkohol di mana hati mengalami peradangan yang dapat
menyebabkan kerusakan sel hati. Peradangan ini dapat menyebabkan fibrosis,
sirosis, atau kanker hati yang membahayakan.
b. Symptom Fatty Liver
Seseorang dinyatakan mengalami perlemakan hati saat berat organ hati lebih
banyak 5-10 persen dari berat hati normal. Umumnya perlemakan hati tidak
menimbulkan gejala. Namun, sebagian penderita bisa merasa tidak nyaman
pada perut atau kelelahan. Organ hati juga terlihat membesar, meski hal ini
hanya bisa terlihat saat dokter melakukan pemeriksaan fisik.
Gejala yang lebih jelas muncul saat hati mulai mengalami peradangan.
Kondisi tersebut ditunjukkan dengan:
1. Hilang nafsu makan
2. Berat badan berkurang
3. Tubuh terasa lelah dan lemah
4. Bingung
Saat peradangan berkembang menjadi sirosis, maka gejala yang dapat dialami
penderita adalah:
1. Kulit dan mata berwarna kekuningan
2. Asites
3. Cenderung lebih mudah berdarah
4. Merasa bingung
5. Telapak tangan berwarna merah
6. Ginekomastia
7. Pembuluh darah membesar di bawah permukaan kulit
Sementara itu, perlemakan hati yang terjadi saat hamil merupakan komplikasi
kehamilan yang membahayakan. Gejala biasanya muncul pada trimester
ketiga, berupa rasa mual dan muntah yang terus menerus, nyeri pada perut
bagian atas, kulit kuning, dan tubuh lesu.

c. Patofisiologi Fatty Liver


Patofisiologi fatty liver atau perlemakan hati berbeda tergantung jenisnya.
Alcoholic liver disease (ALD) terjadi akibat akumulasi lemak dalam hepatosit
karena konsumsi alkohol kronik. Sementara, nonalcoholic fatty liver disease
(NAFLD) diduga terjadi melalui mekanisme “dua pukulan”.
d. Terapi Fatty Liver
Penanganan yang utama dalam perlemakan hati adalah mengendalikan atau
menangani penyebab penyakit ini. Untuk tujuan tersebut, dokter biasanya
akan menyarankan penderita untuk:
1. Berhenti atau membatasi konsumsi minuman beralkohol. Dengan
tidak mengonsumsi minuman beralkohol setidaknya selama 6
minggu, maka lemak dalam hati dapat berkurang.
2. Menurunkan berat badan.
3. Mengendalikan kadar gula darah dan kolesterol.
4. Berolahraga secara rutin.
5. Mengonsumsi makanan sehat, seperti gandum, sayuran, dan buah-
buahan.
6. Membatasi konsumsi makanan berkadar kalori tinggi, seperti nasi,
jagung, roti, dan kentang.
7. Mengonsumsi ayam dan ikan sebagai pengganti daging merah.
8. Menghindari minuman berkadar gula tinggi, terutama minuman
kemasan.
Untuk penyakit hati tidak terkait alkohol, dokter dapat membantu dengan
memberi vitamin E dan pioglitazone (obat untuk menangani diabetes).
Namun, penggunaan obat tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Jika perlemakan hati disebabkan oleh suatu penyakit, maka kondisi yang
mendasarinya harus ditangani terlebih dahulu. Perkembangan perlemakan hati
terkait alkohol semakin cepat menjadi sirosis jika penderita tidak
menghentikan kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol. Sementara
untuk perlemakan hati tidak terkait alkohol, kecenderungan penyakit tersebut
menjadi sirosis lebih besar jika penderita sudah dinyatakan mengalami
steatohepatitis. Jika sudah menjadi sirosis, maka kemungkinan terjadinya
gagal hati akan lebih besar. Saat perlemakan hati sudah menjadi sirosis atau
gagal hati, pilihan penanganan yang bisa dilakukan adalah transplantasi hati.
e. Prognosa
Prognosis fatty liver tergantung pada tingkat kerusakan hepar yang dialami
pasien. Fatty liver sendiri mencakup berbagai kondisi patologi, mulai dari
steatosis sederhana, sirosis hati, hingga karsinoma hepatoseluler.
Komplikasi:
Alcoholic liver disease (ALD) disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis
seperti pada pasien alcohol use disorder. Dilaporkan bahwa 20-40% pecandu
alkohol akan mengalami fibrosis hepar, sekitar 10-20% akan berkembang
menjadi sirosis, kemudian 1-2% dari sirosis tersebut akan terdiagnosis
karsinoma hepatoselular.

2.4.2. Gagal Hati


Gagal hati adalah kondisi ketika sebagian besar organ hati mengalami kerusakan,
sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kondisi ini bisa terjadi
bertahap dalam waktu bertahun-tahun, atau terjadi seketika. Gagal hati harus segera
ditangani karena berisiko menyebabkan kematian.
Organ hati memiliki sejumlah fungsi penting, antara lain membuang racun dari
dalam tubuh, membantu proses penggumpalan darah, serta membantu tubuh melawan
infeksi. Seseorang akan berada dalam kondisi serius, apabila sejumlah fungsi tersebut
tidak berjalan normal atau terganggu.
Gagal hati umumnya ditandai dengan mata dan kulit yang menguning, serta perut
yang membengkak karena penimbunan cairan. Penyebab gagal hati sangat beragam,
namun penyebab paling sering adalah infeksi virus hepatitis, konsumsi minuman
beralkohol berlebihan, dan overdosis obat paracetamol.

a. Etiologi Gagal Hati


Gagal hati disebabkan oleh kerusakan pada sel-sel di organ hati. Kerusakan
tersebut bisa terjadi seketika, atau berkembang dalam jangka panjang.
Sejumlah faktor yang bisa menyebabkan gagal hati adalah:
• Sirosis.
• Infeksi virus, terutama hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C,
hepatitis E.
• Kanker, baik yang bermula di hati, maupun kanker yang
bermula dari bagian tubuh lain kemudian menyebar ke hati.
• Penggunaan obat paracetamol yang berlebihan.
• Konsumsi obat antiinflamasi nonsteroid, antikejang, dan
obat herbal.
• Kecanduan alkohol.
• Penyalahgunaan NAPZA.
• Paparan racun, misalnya zat karbon tetraklorida.
• Sistem kekebalan tubuh yang menyerang tubuh sendiri
(hepatitis autoimun).
• Penyakit pembuluh darah di hati, seperti sindrom Budd-
Chiari.
• Gangguan metabolik, misalnya penyakit Wilson.
• Reaksi tubuh atas infeksi berat (sepsis).
• Penyakit lainnya, misalnya penyumbatan pembuluh darah di
hati, penumpukan zat besi dalam tubuh, intoleransi fruktosa,
sindrom Reye, dan galaktosemia.

b. Symptom Gagal Hati


Gejala awal gagal hati cenderung ringan dan mirip dengan gejala pada
kondisi lain, yaitu sakit perut bagian atas, diare, lelah, mual, dan hilang
selera makan. Bila kondisi organ hati makin memburuk, gejala yang lebih
serius akan muncul. Gejala pada gagal hati tingkat lanjut tersebut meliputi:
• Mudah mengalami memar dan perdarahan
• Kulit dan mata menguning
• Penumpukan cairan di perut
• Muntah darah atau BAB berdarah (berwarna hitam)
• Kesadaran berkabut dan bicara kacau
• Tidak sadarkan diri
c. Patofisisologi Gagal Hati
Patofisiologi gagal hati akut yakni terjadinya nekrosis dan apoptosis yang
menyebabkan aktivasi kaskade dan semakin meningkatnya komponen stress
oksidatif sehingga kematian hepatosit makin meningkat. Peristiwa yang
hampir sama terjadi pada gagal hati acute on chronic dimana terjadi
penurunan motilitas usus, peningkatan pH gaster, penurunan konsentrasi
asam empedu menyebabkan pertumbuhan bakteri abnormal yang disebut
disbiosis. Disbiosis ini berperan dalam mengaktifkan sitokin inflamasi dan
menyebabkan kegagalan multiorgan yang terjadi.

d. Terapi Gagal Hati


Penatalaksanaan kegawatdaruratan gagal hati sangat penting mengingat
angka kematian yang tinggi secara global. Terapi suportif dan manajemen
komplikasi serta pengobatan sesuai etiologi menentukan prognosis.

e. Prognosa
Prognosis gagal hati tergantung pada tingkat kerusakan hati yang terjadi dan
kegagalan multiorgan yang terlibat. Penatalaksanaan komplikasi harus
diupayakan untuk mencegah kerusakan multiorgan yang lebih parah.

2.5. Penyakit pada Duktus Choledocus dan Saluran Empedu

2.5.1. Cholelithiasis , Choledocholithiasis


Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan Kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan
membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran empedu.
Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan
kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa berupa batu kolesterol,
batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.
Lokasi batu empedu bisa bermacam – macam yakni di kandung empedu, duktus
sistikus, duktus koledokus, ampula vateri, di dalam hati. Kandung empedu merupakan
kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk kesaluran empedu yang
kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua
saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus
kanan dan kiri yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada
banyak orang,duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampula
dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter oddi.
Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan
suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Pada umumnya
komposisi utama batu adalah kolesterol. Letak batu di saluran empedu yaitu di : saluran
empedu utama atau di duktus choledochus (choledocholithiasis), di saluran sistikus
(sistikolitiasis) jarang sekali ditemukan dan biasanya bersamaan dengan batu di dalam
kandung empedu, dan di saluran empedu intrahepatal (intrahepatolitiasis) atau
hepatolitiasis.

a. Etiologi Cholelithiasis, Choledocholithiasis


Batu empedu diduga muncul akibat endapan kolesterol dan bilirubin yang
menumpuk di dalam kantung empedu. Penumpukan terjadi ketika cairan
empedu tidak mampu melarutkan kolesterol dan bilirubin berlebih yang
dihasilkan hati.
Beberapa faktor juga dapat memengaruhi seseorang terkena batu
empedu, seperti faktor usia, jenis kelamin, keturunan, pola makan tidak sehat,
diet yang terlalu ketat, dan kondisi medis tertentu.
Batu primer (biasanya berpigmen) dapat terbentuk di saluran empedu.
Batu sekunder (biasanya kolesterol) terbentuk di kantong empedu, dan
kemudian bermigrasi ke saluran empedu. Batu yang terlupakan tidak
ditemukan selama kolesistektomi. Batu rekuren terbentuk di saluran lebih dari
3 tahun setelah operasi. Di negara maju, lebih dari 85% batu choledoch adalah
sekunder; cholelithiasis juga didiagnosis pada pasien ini. Pada saat yang
sama, 10% pasien memiliki gejala kolelitik yang berhubungan dengan batu
choledoch. Setelah kolesistektomi, batu pigmen coklat dapat terbentuk karena
stagnasi empedu (misalnya, striktur pasca operasi) dan infeksi. Ada korelasi
langsung antara pembentukan kalkulus pigmen duktus dengan peningkatan
waktu setelah kolesistektomi.
Penyebab obstruksi bilier (kecuali batu dan tumor):
• Kerusakan saluran selama operasi (paling sering)
• Jaringan parut akibat pankreatitis kronis
• Obstruksi duktus sebagai akibat kompresi eksternal oleh kista
duktus empedu (koledokokel) atau pseudokista pankreas (jarang)
• Striktur ekstrahepatik atau intrahepatik akibat kolangitis sklerosis
primer
• Kolangiopati atau kolangitis yang disebabkan oleh AIDS;
kolangiografi langsung dapat menunjukkan gambaran yang mirip
dengan kolangitis sklerosis primer atau stenosis papiler;
kemungkinan penyebab infeksi, kemungkinan besar infeksi
sitomegalovirus, Cryptosporidium atau Microsporidia
• Clonorchis sinensis dapat menyebabkan penyakit kuning obstruktif
dengan peradangan saluran intrahepatik, stasis proksimal,
pembentukan kalkulus dan kolangitis (di Asia Tenggara)
• Migrasi Ascaris lumbricoides ke saluran empedu umum (jarang)

b. Symptom Cholelithiasis, Choledocholithiasis


Sebagian besar kasus batu empedu (cholelithiasis) tidak memiliki gejala yang
khas. Penyakit ini baru diketahui setelah ukuran batu empedu cukup besar
sehingga menyumbat saluran kantong empedu dan saluran pencernaan
lainnya. Secara umum, gejala cholelithiasis adalah:
1. Nyeri mendadak pada perut kanan atas secara terus menerus;
2. Sakit perut pada bagian tengah tepatnya bawah tulang dada;
3. Nyeri punggung antara tulang bahu;
4. Nyeri di bahu kanan;
5. Demam;
6. BAB berwarna putih atau pucat;
7. Mual dan muntah.
Gejala nyeri ini dapat berlangsung sementara ataupun berjam-jam dan muncul
setelah mengonsumsi makanan berkadar lemak tinggi.

Batu saluran empedu dapat bermigrasi ke duodenum tanpa gejala. Kolik


bilier berkembang jika terjadi pelanggaran kemajuan dan obstruksi parsial.
Perolehan yang lebih lengkap menyebabkan dilatasi koledochus, penyakit
kuning dan, pada akhirnya, perkembangan infeksi bakteri (kolangitis). Batu
yang menghalangi papilla faterov dapat menyebabkan pankreatitis batu
empedu. Pada beberapa pasien (biasanya orang tua), obstruksi bilier dengan
batu dapat terjadi tanpa gejala sebelumnya.
Kolangitis akut pada lesi obstruktif pada saluran empedu dimulai oleh
mikroflora duodenum. Meskipun mayoritas (85%) kasus disebabkan oleh
konkresi saluran empedu, obstruksi saluran empedu dapat disebabkan oleh
tumor atau penyebab lainnya. Mikroflora terutama diwakili oleh
mikroorganisme Gram-negatif (misalnya, Escherichia coli Klebsiella
Enterobacter); lebih jarang, mikroorganisme gram positif (misalnya,
Enterococcus) dan mikroflora anaerob campuran (misalnya, Bacteroides
Clostridia). Gejalanya meliputi sakit perut, sakit kuning, demam, dan
kedinginan (Charcot triad). Pada palpasi, nyeri di perut, hati membesar dan
nyeri (abses sering terbentuk) ditentukan. Kebingungan dan hipotensi adalah
manifestasi dari pengabaian proses, dan kematian sekitar 50%.

c. Patofisiologi Cholelithiasis, Choledocholithiasis


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan
batu campuran. Lebih dari 90 % batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran ( batu yang mengandung
20-50% kolesterol). 10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung <20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung
empedu yang tidak sempurna dan kosentrasi kalsium dalam
kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu,
lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila
empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi
berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan
membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam
kandung empedu, kemudian lama kelamaan tersebut bertambah ukuran,
beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor motilitas kandung empedu
dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu campuran.

Empedu yang dibuat di hati dan disimpan di kantong empedu dapat


menyebabkan pembentukan batu empedu. Pada beberapa pasien dengan batu
empedu, batu tersebut akan berpindah dari kantong empedu ke saluran kistik
dan kemudian ke saluran empedu umum. Sebagian besar kasus
choledocholithiasis disebabkan oleh batu empedu yang mengalir dari kantong
empedu ke CBD. Koledocholitiasis primer yang merupakan pembentukan
batu di dalam saluran empedu komunis, terlihat lebih jarang.
Koledocholitiasis primer terjadi pada keadaan stasis empedu, yang
menghasilkan pembentukan batu intraduktal. Ukuran saluran empedu
meningkat seiring bertambahnya usia. Orang dewasa yang lebih tua dengan
saluran empedu yang melebar dan divertikula bilier berisiko mengalami
pembentukan batu saluran empedu primer. Sumber koledocholitiasis yang
kurang umum termasuk sindrom Mirizzi yang rumit atau hepatolitiasis. Aliran
empedu terhalang oleh batu di dalam saluran empedu yang menyebabkan
ikterus obstruktif dan mungkin hepatitis. Empedu yang mandek juga dapat
menyebabkan bactibilia dan kolangitis asenden. Kolangitis dan sepsis lebih
sering terjadi pada pasien dengan koledocholitiasis daripada sumber obstruksi
saluran empedu lainnya karena biofilm bakteri biasanya menutupi batu
saluran empedu yang umum. Duktus pankreas bergabung dengan saluran
empedu umum di dekat duodenum, dan oleh karena itu, pankreas juga dapat
meradang oleh penyumbatan enzim pankreas. Ini disebut pankreatitis batu
empedu. Kolangitis dan sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan
koledocholitiasis daripada sumber obstruksi saluran empedu lainnya karena
biofilm bakteri biasanya menutupi batu saluran empedu yang umum. Duktus
pankreas bergabung dengan saluran empedu umum di dekat duodenum, dan
oleh karena itu, pankreas juga dapat meradang oleh penyumbatan enzim
pankreas. Ini disebut pankreatitis batu empedu. Kolangitis dan sepsis lebih
sering terjadi pada pasien dengan koledocholitiasis daripada sumber obstruksi
saluran empedu lainnya karena biofilm bakteri biasanya menutupi batu
saluran empedu yang umum. Duktus pankreas bergabung dengan saluran
empedu umum di dekat duodenum, dan oleh karena itu, pankreas juga dapat
meradang oleh penyumbatan enzim pankreas. Ini disebut pankreatitis batu
empedu.

d. Terapi Cholelithiasis, Choledocholithiasis


Tatalaksana umun kolelitiasis tergantung oleh adanya gejala atau tidak.Nyeri
yang bersifat kolik dan episodik merupakan indikasi pengobatan kolelitiasis.
Kolesistektomi dilakukan pada keadaan tertentu, seperti pencegahan
terjadinya kanker kandung empedu, batu berukuran >3 cm, simptomatik, atau
penderita dengan diabetes melitus.
Tatalaksana nutrisi yang dapat dilakukan sebelum pembedahan adalah
diet rendah lemak untuk mengontrol gejala kolelitiasis.Asupan nutrisi
biasanya menurun akibat gangguan pencernaan lemak dan peningkatan
gas.Saat terjadi serangan akut, sebaiknya tidak memberikan nutrisi melalui
oral agar kandung empedu menjadi tidak aktif. Nutrisi dapat diberikan melalui
parenteral dengan komposisi yang rendah lemak. Komposisi lemak yang
dianjurkan adalah <30% dari kalori total dengan komposisi protein sedang.
Pemberian makanan dilakukan secara small frequent feeding untuk
meningkatkan asupan pasien. Suplementasi vitamin larut lemak dapat
diberikan, yaitu vitamin A, D, E, dan K akibat gangguan absorpsi lemak.
Setelah menjalani kolesistektomi, nutrisi dapat diberikan seperti asupan
biasa, dengan komposisi seimbang sesuai toleransi pasien. Kolesistektomi
menyebabkan empedu akan disekresikan oleh hati secara langsung ke saluran
cerna, sehingga dapat menimbulkan gejala gangguan gaster, mual, muntah,
kembung, atau diare. Gejala tersebut timbul akibat perubahan aliran empedu
karena fungsi penerima kandung empedu telah diangkat. Tetapi, seiring
dengan perjalanan waktu akan terjadi adaptasiyaitu duktus biliaris berdilatasi
membentuk “kantong buatan” menyerupai kandung empedu untuk
menampung empedu yang dihasilkan oleh hati. Peningkatan asupan serat
perlu dilakukan untuk meningkatkan massa feces dan menormalkan waktu
transit, sehingga menurunkan gejala diare. Nutrisi lain yang dianjurkan adalah
makanan rendah lemak, produk susu, ikan, ayam, buah, dan sereal. Small
frequent feeding tetap dianjurkan pada pasien yang menjalani kolesistektomi
sehingga kimus dapat tercampur dengan empedu.
e. Prognosa
Data menunjukkan bahwa hanya 50% pasien batu empedu yang mengalami
gejala. Angka kematian setelah kolesistektomi laparoskopi elektif kurang dari
1%. Namun, kolesistektomi darurat dikaitkan dengan angka kematian yang
tinggi. Masalah lain termasuk batu di saluran empedu setelah operasi, hernia
insisional, dan cedera pada saluran empedu. Beberapa persen pasien
mengalami nyeri pasca kolesistektomi.
Prognosis choledocholithiasis tergantung pada adanya komplikasi dan
tingkat keparahannya. Sekitar 45% pasien dengan koledocholitiasis tetap
asimtomatik. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak layak untuk
menjalani operasi, hanya 55% yang mengalami berbagai tingkat komplikasi.
Kurang dari 20% pasien mengalami kekambuhan gejala bahkan setelah
menjalani prosedur terapeutik. Jika pengobatan dimulai pada waktu yang
tepat, prognosisnya dianggap menguntungkan dalam keadaan umum.

2.5.2. Cholangitis
Cholangitis adalah kondisi di mana terjadinya peradangan pada saluran empedu, yaitu
saluran yang mengedarkan cairan empedu dari hati ke usus dan kandung empedu.
Peradangan tersebut dapat menyebabkan pembengkakan yang akhirnya mengganggu
sistem peredaran cairan empedu, cairan yang dibutuhkan tubuh untuk membantu proses
pencernaan. Sistem peredaran cairan empedu yang terganggu dapat menimbulkan gejala
berupa demam, mual-mual, dan nyeri pada perut.

Penanganan cholangitis akan lebih baik dilakukan dengan segera. Cholangitis yang
diabaikan dan tidak mendapatkan penanganan secara tepat dapat menimbulkan
komplikasi, seperti gagal ginjal bahkan kematian.

a. Etiologi Cholangitis
Peradangan saluran empedu yang dialami penderita cholangitis dapat disebabkan
oleh banyak faktor, namun yang paling sering adalah infeksi bakteri.
Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan cholangitis meliputi:
• Gumpalan darah.
• Tumor.
• Infeksi parasit.
• Pembengkakan pada pankreas.
• Efek samping prosedur medis, seperti endoskopi.
• Infeksi dari darah (bakteremia).
• Seseorang akan berisiko lebih tinggi menderita cholangitis jika berusia di
atas 55 tahun atau memiliki riwayat batu empedu.

b. Symptom Cholangitis
Gejala yang dapat dirasakan pasien cholangitis adalah nyeri pada perut. Nyeri itu
sendiri memiliki karakter dan dapat muncul di lokasi yang berbeda-beda. Nyeri
yang timbul biasanya akan terasa seperti kram atau tertusuk.
Selain nyeri, penderita cholangitis juga dapat merasakan gejala lain, seperti:
• Demam.
• Mual.
• Muntah.
• Jaundice (penyakit kuning).

c. Patofisiologi Cholangitis
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier.
Kolangitis terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai
oleh bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh
batu common bile duct (CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke sistem bilier melalui
vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum. Oleh karena
itu akan terjadi infeksi secara ascenden menuju duktus hepatikus, yang pada
akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui batas
250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang berakibat
terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatica dan limfatik perihepatik,
sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-40%).
Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah
kolangitis supuratif. Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis,
yaitu:
1. Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering
disebabkan oleh batu CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea
/kelenjar getah bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi,
edema mukosa CBD, atau hepatitis.
2. Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya
disebabkan oleh obstruksi parsial.
3. Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak terdapat obstruksi
total sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4. Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan
normal pada sistem bilier yaitu melebihi 250mm H20 sehingga terjadi
bakterimia akibat reflluk cairan empedu yang disertaidengan influx
bakteri ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
5. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi
yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya
didahului oleh gagal ginjal yang disebabkan oleh sindroma hepatorenal,
abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah
terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

d. Terapi Cholangitis
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus diberikan segera setelah
akses vena didapatkan untuk koreksi kekurangan volume/dehidrasi dan
menormalkan tekanan darah. Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian
antibiotik dan drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu tidaknya
pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan,
teruma jika kolangitis akut ringan yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien
dengan batu intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis ringan sampai
sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum, akan tetapi pada kolangitis berat
sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit).

e. Prognosa
Terlepas dari etiologi, kolangitis adalah kondisi hati-empedu yang mengancam
jiwa. Sistem penilaian berdasarkan empat parameter, termasuk demam, hiper
bilirubinemia, dilatasi saluran empedu dan adanya batu saluran empedu, telah
diusulkan untuk memprediksi tingkat keparahan kolangitis.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sistem pencernaan atau digestive system Sistem organ manusia yang bertugas menerima
makanan,kemudian mencernanya menjadi energi dan zat-zat yang berguna bagi tubuh, dan
kemudian mengeluarkan sisa-sisa proses tersebut.
Intususepsi adalah kondisi di mana sebagian usus terlipat dan menyusup ke dalam bagian
usus lainnya, yang mengakibatkan penyumbatan di dalam usus atau obstruksi usus. Intususepsi
umumnya lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak berusia 3 tahun ke bawah. Meski
demikian, orang dewasa juga dapat mengalaminya.
Iskemia arteri mesenterika (MAI) adalah kondisi ketika aliran darah ke usus berkurang.
Biasanya disebabkan oleh sumbatan pada satu atau lebih arteri mesenterika, yaitu arteri utama
yang memasok darah ke usus halus dan usus besar.

Kanker usus besar disebabkan oleh perubahan atau mutasi gen pada jaringan usus besar.
Akan tetapi, penyebab mutasi gen tersebut belum diketahui dengan pasti.

Irritable bowel syndrome (IBS) merupakan gangguan saluran pencernaan menahun yang
biasanya menyerang usus besar. Penyakit ini ditandai dengan keluhan nyeri perut, diare dan/ atau
sembelit. Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan penyakit idiopatik, yang diperkirakan
melibatkan reaksi imun dalam tubuh terhadap saluran pencernaan.
Perlemakan hati disebabkan oleh 2 faktor yaitu alcoholic dan non-alcoholic.
Penyebab gagal hati sangat beragam, namun penyebab paling sering adalah infeksi virus
hepatitis, konsumsi minuman beralkohol berlebihan, dan overdosis obat paracetamol.
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan Kristal di dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Choledocholithiasis adalah adanya batu dalam saluran
empedu dan merupakan suatu kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi.
kolangitis adalah kondisi hati-empedu yang mengancam jiwa. Sistem penilaian berdasarkan
empat parameter, termasuk demam, hiper bilirubinemia, dilatasi saluran empedu dan adanya batu
saluran empedu, telah diusulkan untuk memprediksi tingkat keparahan kolangitis.
DAFTAR PUSTAKA
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/PERITONITIS-DAN-ILUES.pdf

https://www.webmd.com/cancer/what-is-adenocarcinoma

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/30539/29406

Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome (IBS). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

The National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Colorectal cancer: the
diagnosis and management of colorectal cancer. NICE, 2011; p.1-185

Rowe WA. Inflammatory Bowel Disease. Available at: http://emedicine.medscape.com. Last


update: June 30, 2011. Accessed at: July 30, 2011.

https://www.alodokter.com/perlemakan-hati
https://docplayer.info/67580279-Bab-i-pendahuluan-intususepsi-merupakan-salah-satu-penyebab-
tersering-dari-obstruksi-usus-dan.html
https://media.neliti.com/media/publications/147693-ID-mesenterial-infark.pdf
https://www.alomedika.com/penyakit/bedah-umum/intususepsi
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5719198/
https://dokumen.tips/documents/choledocholithiasis-55c8057acc56e.html

Anda mungkin juga menyukai