(Uji Zat Kimia Berbahaya Pada Makanan dan Uji pH Pada Makanan)
Oleh :
Menyetujui, Praktikan
Dosen Pengampu
Christin Angelica
Lina Yunita, S. SI., M.K.M
NIM. 2102010001
NIK. 21.5.533
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang dalam saya panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena
rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan praktikum ini yang
disusun untuk memenuhi tugas Keamanan Pangan yang berjudul “Praktikum
Keamanan Pangan (Uji Zat Kimia Berbahaya Pada Makanandan Uji pH pada
Makananan), Jurusan Gizi, Fakultas Kesehatan, Universitas Bumigora. Dalam
penyusunan laporan ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi.
Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
selalu memberikan dorongan dalam menyelesaikan laporan ini. Semoga laporan
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun laporan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, kritik
konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan untuk penyempurnaan laporan
selanjutnya. Terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
ACARA 6 UJI ZAT KIMIA BERBAHAYA PADA MAKANAN
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam Peraturan BPOM nomor 22 tahun 2011 tentang tata cara penerapan
produksi pangan olahan yang baik. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari
sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Pangan Olahan adalah makanan dan/atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan (BPOM RI, 2022). Sehingga,
dapat disimpulkan bahwa makanan adalah hasil proses dari setiap pangan yang
telah diolah maupun belum diolah namun telah layak konsumsi bagi manusia
demi memenuhi kebutuhan atau asupan makan di setiap harinya.
Indonesia merupakan salah satu negara Asia Tenggara yang memiliki
kualitas pangan yang masih rendah. Hal ini berkaitan dengan penerapan hygiene
dan sanitasi pada proses pengolahan makanan oleh penjamah makanan (Oxfam
Internasional, 2014). Beberapa tahun lalu telah viral mengenai maraknya para
pedagang kaki lima yang menggunakan boraks pada bakso serta formalin pada
tahu dagangannya dan penjual kaki lima ini sering berjualan diarea sekolah tempat
dimana anak-anak senang membeli jajanan tersebut. Menurut Adinugroho dalam
(Utomoa & Kholifah, 2018) menyebutkan bahwa boraks atau biasa yang disebut
asam borat, memiliki nama lain, sodium tetraborate biasa digunakan untuk
antiseptik dan zat pembersih selain itu digunakan juga sebagai bahan baku
pembuatan detergen, pengawet kayu, antiseptik kayu, pengontrol kecoak (hama),
pembasmi semut dan lainnya. Sedangkan, formalin adalah senyawa formaldehid
dalam air dengan konsentrasi rata-rata 37% dan methanol 15% dan sisanya adalah
air. Penggunaan formalin antara lain sebagai pembunuh kuman sehingga
digunakan sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal, pembasmi lalat
1
dan serangga lainnya, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan
bahan peledak.
Dari penjelasan diatas dapat terlihat bahwa kedua bahan tersebut bukanlah
pengawet makanan. Namun, kedua bahan ini sering digunakan oleh beberapa
orang untuk dijadikan sebagai pengawet makanan. Boraks dan formalin sering
disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah,
pisang molen, siomay, lontong, ketupat, pangsit, dsb. Selain bertujuan untuk
mengawetkan, boraks dan formalin juga dapat membuat tekstur makanan menjadi
lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan, utuh, tidak rusak, menekan
biaya produksi, praktis dan efektif mengawetkan makanan.
Oleh karena itu berdasarkan hasil uraian diatas penulis ingin mengetahui
terkait makanan yang akan diuji yaitu bakso, mie kuning, tahu dan sosis yang
dibeli dari para pedagang disekitar wilayah Mataram untuk mengetahui adakah
ditemukan boraks atau formalin pada makanan tersebut sehingga dapat membantu
dalam menentukan apakah makanan tersebut layak dikonsumsi atau tidak.
1.2 Tujuan
2
Adapun tujuan dari praktikum ini ialah untuk membuktikan adanya
kandungan boraks atau formalin pada produk pangan yang akan diuji.
3
daging. Selain itu ada Mie. Mie adalah produk makanan yang dibuat dari tepung
gandum atau tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang
lain dan bahan tambahan makanan yang diijinkan, berbentuk khas mie dan siap
dihidangkan setelah dimasak. selain mie dan bakso, terdapat tahu goreng dan juga
sosis. Tahu adalah Kata tahu berasal dari china teo-hu, teu-hu atau tokwa, kata “
tao” atau “teu” berarti kacang. Untuk membuat tahu menggunakan kacang kedelai
(kuning, putih), sedangkan ”hu” atau ”kwa” artinya rusak atau hancur menjadi
bubur, jadi tahu adalah makanan yang dibuat pakan salah satu bahan olahan dari
kedelai yang dihancurkan menjadi bubur. Dan yang terakhir ialah sosis. Sosis
adalah makanan olahan dari daging khususnya daging sapi dan daging ayam yang
dijadikan sebagai salah satu pangan sumber protein Pembuatan sosis bertujuan
untuk mengawetkan daging segar yang tidak dikonsumsi dengan segera
(Mudzkirah, 2016).
2.3 Boraks
Boraks adalah senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B), Boraks
merupakan anti septik dan pembunuh kuman. Bahan ini banyak digunakan
sebagai bahan anti jamur, pengawet kayu, dan antiseptik pada kosmetik. Asam
borat atau boraks ( boric acid ) merupakan zat pengawet berbahaya yang tidak
diizinkan digunakan sebagai campuran bahan makanan. Boraks adalah senyawa
kimia dengan rumus Na2B4O7 10H2O berbentuk kristal putih, tidak berbau dan
stabil pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks berubah menjadi natrium
hidroksida dan asam borat.
2.3 Formalin
Formalin adalah cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau yang
menusuk, uapnya merangsang selaput lender hidung dan tenggorokan dan rasa
terbakar. Menurut Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus
BrotoKardono, sebetulnya berbentuk padat dengan sebutan formaldehida atau
dalam istilah asingnya ditulis formaldehyde. Bila zat ini sudah bercampur dengan
air barulah disebut formalin yang memiliki rumus kimia CH2O.Bahan formalin
yang banyak ditemukan di pasar umumnya mempunyai konsentrasi 37%-40%.
4
BAB 3 PELAKSANAAN PRAKTIKUM
5
b) Uji Formalin
1. Sediakan sampel yang akan diuji yaitu bakso, tahu, mie dan sosis
2. Bakso dihaluskan kemudian ditimbang masing-masing sebanyak 5g r
selanjutnya disimpan dicawan petri yang berbeda
3. Sampel dilarutkan dengan 10 ml aquades selanjutnya disaring.
4. Masing-masing filtrat dimasukkan kedalam tabung reaksi yang
sudah diberilabel kemudian ditetesi dengan KMnO4 0,1 N
5. Amati dan tunggu sampai bereaksi selama 1 jam.
6. Jika warna ungu violet segera memudar/hilang berarti sampel
mangandungformalin yang bersifat mereduksi KMnO4.
6
BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil dari uji boraks dan formalin pada tahu terlihat bahwa
terdapat adanya kandungan formalin pada tahu namun pada uji boraks tidak
menunjukkan adanya kandungan boraks pada tahu. Lalu, pada bakso
menunjukkan hasil yang negatif pada kedua uji tersebut. Selanjutnya ialah mie
basah. Pada mie basah menunjukkan hasil yang mengejutkan yaitu terdapat
adanya boraks dan juga formalin didalamnya. Dan terakhir adalah sosis. didalam
sosis menunjukkan tidak ada kandungan boraks dan formalin didalamnya.
7
Pada dasarnya boraks dan formalin bukanlah salah satu bahan tambahan
pangan yang legal menurut BPOM. Hal ini dikarenakan boraks dan formalin
adalah bahan pengawet yang seharusnya tidak boleh digunakan dalam prosesn
pengolahan pangan. Namun, melihat hasil uji boraks dan uji formalin kepada
beberapa makanan tersebut menunjukkan bahwa diwilayah Mataram beberapa
pedagang masih saja menggunakan bahan tersebut sebagai bahan tambahan
pangan yang memiliki tujuan secara umum yaitu memberikan tekstur yang kenyal
serta warna yang tidak pucat terutama pada mie serta tahu agar terlihat bersih atau
putih. Menurut Edi 2011 dalam (Mudzkirah, 2016) pada dasarnya Keamanan
pangan merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan
makanan untuk dikonsumsi. Ketidakamanan suatu pangan itu umumnya
disebabkan oleh adanya bahan tambahan yang tidak semestinya dalam pangan
tersebut. Adanya bahan tambahan yang dilarang khususnya pengawet di dalam
makanan dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Penggunaan pengawet
khususnya formalin dalam bahan makanan tidak diizinkan karena bersifat
mutagenik dan karsinogenik. Formalin dalam tubuh akan bereaksi secara kimia
dengan zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebakan perubahan
fungsi sel/jaringan. Selain itu, formalin dapat membunuh ataupun merusak sel-sel
yang ada pada jaringan tubuh sehingga pertumbuhan jaringan tidak teratur.
Pertumbuhan atau pembelahan sel yang rusak dan tidak teratur menyebabkan
rusaknya struktur jaringan tubuh dan menyebabkan kanker. Formalin yang
seharusnya dipergunakan sebagai pengawet mayat atau pengawet di bidang
industri ternyata disalahgunakan oleh produsen di bidang industri makanan.
Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak
terdaftar dan tidak perlu mendapat izin dari Balai Besar Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) setempat. Alasan pedagang menambahkan formalin ke dalam
makanan adalah karena kepentingan ekonomi. Alasan ekonomi di sini berarti agar
pedagang tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis
terjual dalam sehari. Selain itu, kurangnya informasi tentang bahaya formalin,
rendahnya tingkat kesadaran kesehatan masyarakat, serta harga formalin yang
sangat murah dan mudahnya diperoleh merupakan faktor-faktor penyebab
penyalahgunaan formalin sebagai pengawet dalam makanan.
8
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasiil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa masih
banyak para pelaku usaha jajanan keliling seperti pedagang kaki lima di wilayah
Mataram masih menggunakan bahan tambahan pangan yang tidak legal yaitu
boraks dan formalin sebagai cara agar pedagang kaki lima tidak merugi karena
hasil dari makanan yang mereka buat menjadi lebih tahan lama dan teksturnya
menjadi lebih kenyal sehingga menarik bagi para konsumen yang tidak
mengetahui hal tersebut.
5.2 Saran
Perlu adanya upaya dari pihak atau instansi terkait mengenai hal ini seperti
razia makanan secara mendadak tanpa diketahui para pelaku usaha sehingga
memudahkan kita dalam mengetahui pihak atau oknum yang tidak bertanggung
jawab menggunakan bahan-bahan tersebut sehingga dapat terdeteksi secara dini.
9
Lampiran
Formalin & Boraks Mortar & Alu Tabung reaksi & Rak
10
Proses Pencampuran
dengan Larutan
Kunyit 100%
11
ACARA 7 UJI pH MAKANAN
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
12
Dalam uji pH kali ini peneliti menggunakan beberapa bahan uji yaitu susu
basi dan segar, yogurt basi dan segar, santan basi dan segar serta minyak goreng
baru dan bekas. Berdasarkan uraian sebelumnya, pH menjadi salah satu standar
dalam mengetahui kualitas dari suatu produk pangan maka dengan adanya
diadakan uji pH ini peneliti dapat melihat perbedaan antara pH bahan uji yang
memiliki kualitas bagus atau tidak berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui pH pada setiap
makanan yang ingin diuji.
13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji pH
pH merupakan ukuran keasaman atau kebasaan suatu larutan. Nilai pH
memiliki rentang 0 – 14. Suatu larutan bersifat asam memiliki pH kurang dari 7,
larutan bersifat netral memiliki pH 7 dan larutan bersifat basa memiliki pH lebih
dari 7. Setiap larutan memiliki nilai pH nya masing-masing, misalnya jus lemon
yang bersifat asam memiliki nilai pH 2, larutan sabun yang bersifat basa memiliki
nilai pH 12, dan air yang bersifat netral memiliki nilai pH 7 (Basuki, 2021).
Pengukuran pH adalah salah satu pengukuran yang sangat penting dan
sering dilakukan dalam berbagai bidang, seperti industri, kesehatan, makanan,
pertanian, dan juga lingkungan. Hasil pengukuran pH dijadikan sebagai salah satu
parameter dalam menilai kualitas produk atau air sesuai dengan persyaratan yang
telah ditetapkan. Kesalahan dalam pengukuran pH dapat mengakibatkan
kesalahan dalam pengambilan keputusan serta pengulangan pengukuran yang
membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga, dan biaya. Pengukuran pH biasa
dilakukan menggunakan alat pH meter yang terdiri dari elektroda gelas, elektroda
pembanding dan voltmeter. Kalibrasi pH meter diperlukan untuk menjaga hasil
pengukuran pH akurat dan tertelusur ke sistem Satuan Internasional (SI)
(Hindayani et al., 2022).
2.2 Yogurt
Yogurt merupakan salah satu produk hasil fermentasi susu yang paling tua
dan cukup populer di seluruh dunia. Bentuknya mirip bubur atau es krim tetapi
dengan rasa agak asam. Selain dibuat dari susu segar, yogurt juga dapat dibuat
dari susu skim (susu tanpa lemak) yang dilarutkan dalam air dengan perbandingan
tertentu bergantung pada kekentalan produk yang diinginkan. Selain dari susu
hewani, belakangan ini yogurt juga dapat dibuat dari campuran susu skim dengan
susu nabati (susu kacang-kacangan). Yogurt dikenal memiliki peranan penting
bagi kesehatan tubuh, di antaranya bermanfaat bagi penderita lactose intolerance
yang merupakan gejala malabsorbsi laktosa yang banyak dialami oleh penduduk,
khususnya anak-anak, di beberapa negara Asia dan Afrika. Yogurt juga mampu
menurunkan kolesterol darah, menjaga kesehatan lambung dan mencegah kanker
14
saluran pencernaan. Berbagai peranan tersebut terutama karena adanya bakteri
yang digunakan dalam proses fermentasi yogurt (Fatmawati et al., 2013).
2.3 Minyak
Pemberlakukan SNI Minyak Goreng Secara Wajib tersebut ditujukan untuk tiga
pos tarif, yaitu :
2.4 Santan
Santan merupakan cairan berwarna putih yang diekstrak dari daging
kelapa parut dengan cara pengepresan mekanis, dengan atau tanpa penambahan
sejumlah air. Santan kelapa mempunyai kadar air 86,41%, kadar lemak 10,22%,
kadar protein 1,96% dan kadar karbohidrat 1,08% yang dikategorikan sebagai
emulsi minyak dalam air. Lemak pada santan kelapa merupakan lemak dengan
kelompok asam lemak jenuh rantai medium (medium chain saturated fatty acids),
15
yaitu asam laurat (C12:0) yang merupakan asam lemak utama dalam lemak kelapa
serta asam kaprat (C10:0), asam lemak lain dalam lemak kelapa (Ariningsih et al.,
2021)
16
BAB 3 PELAKSANAAN PRAKTIKUM
6) Kertas label
17
BAB 4 HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Kertas Indikator
No Bahan Uji pH meter
Universal
1. Susu cair segar 6 6.54
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan pada uji pH pada tiap bahan uji terlihat bahwa
semuanya masuk dalam kategori asam yaitu pH < 7.pada susu cair segar pada kertas
indikator menunjukkan pH 6 dan pada pH meter 6.54. memperlihatkan tidak adanya
perbedaan yang cukup jauh antara pengukuran ph meter dan kertas indikator
universal. Lalu, pada susu cair basi menunjukkan pH 6 pada kertas indikator
universal dan pada pH meter menunjukkan 5.95. terlihat pada susu cair basi lebih
asam daripada susu cair segar. Selanjutnya, pada minyak goreng baru menunjukkan
pH 5 pada kertas indikator dan pH meter 5.49. Pada minyak goreng bekas memiliki
nilai pH yang sama berdasarkan uji menggunakan kertas indikator, namun pada pH
meter menunjukkan pH sekitar 5.11. Pada yogurt segar pengukuran pH menggunakan
18
kertas indikator universal menunjukkan pH 4 sedangkan pada pH meter menunjukkan
angka 4.22. lalu, pada yogurt basi pun berada pada angka yang sama yaitu 4 pada
pengukuran menggunakan kertas indikator dan pada pH meter menunjukkan angka
pH 4.23. Terakhir ialah santan basi dan santan segar. Pada santan segar menunjukkan
pH 6 pada kertas indikator dan pada pH meter menunjukkan pH 5.99 dan pada santan
basi terlihat lebih asam yaitu 5 pada kertas indikator dan pada pH meter menunjukkan
angka 4.96.
Jika dilihat berdasarkan hasil pengamatan ini terlihat bahwa adanya perbedaan
dari segi hasil. Pada kertas indikator menunjukkan hasil dengan nilai yang bulat
sedangkan pada pH meter menunjukkan nilai yang lebih akurat karena secara digital
akan menunjukkan nilai ketepatan yaitu 0.01, sehingga hasilnya pun cukup akurat
jika menggunakan pH meter. Selain itu jika melihat hasil uji pH pada susu terlihat
bahwa susu masuk dalam kategori bahan uji yang bersifat asam. Apabila didiamkan
dalam suhu ruang dalam jangka waktu tertentu maka hal ini akan membentuk bakteri
pembusukan yaitu bakteri asam laktat pada susu yang akan mengubah laktosa
menjadi asam laktat. Sehingga semakin lama susu ditinggalkan pada suhu ruang
maka akan semakin terasa asam. Selanjutnya pada minyak. Untuk mengetahui
kualitas minyak ada beberapa macam pengujian secara kimia. Uji ini berdasar pada
penetapan bagian tertentu dari komponen kimia minyak, antara lain penetapan
bilangan peroksida, bilangan penyabunan, bilangan iod, dan bilangan asam. Asam
lemak bebas dalam minyak sawit atau minyak kelapa ditetapkan kadarnya
menggunakan titrasi dengan menggunakan pereaksi basa yaitu KOH atau NaOH.
Apabila dalam proses perhitungan bilangan asam didapatkan hasil tinggi, maka ini
menunjukkan tingginya kadar asam lemak bebas dalam minyak tersebut. Trigliserida
yang terkandung di dalam sudah banyak yang terurai menjadi asam lemak bebasnya
akibat reaksi hidrolisa. Hal ini bisa terjadi pada proses pemanasan minyak pada suhu
tinggi dan berulang-ulang (Suroso, 2013). Jika melihat dari hasil uji pH menunjukkan
sifat asam dari minyak tersebut. Dan pada minyak bekas atau minyak yang telah
dipakai beberapa kali menunjukkan kadar keasaman yang lebih rendah dari minyak
19
baru. Ini membuktikan peryataan sebelumnya bahwa pemanasan minyak beberapa
kali menyebabkan tingginya asam lemak bebas yg terurai akibat pemanasan pada
suhu tinggi dan berulang.
Kemudian pada yogurt yang merupakan salah satu produk olahan dari susu.
Sama halnya dengan susu cair segar sebelumnya, nilai pH yan rendah itu disebabkan
oleh adanya peningkatan asam laktat pada yogurt tersebut (Laksito et al., 2020).
Selain itu, menurut (Fatmawati et al., 2013) menurunnya nilai pH pada yogurt setelah
disimpan selama 14 hari, menunjukkan bertambahnya kadar asam pada yogurt, hal ini
diakibatkan oleh adalah penambahan starter Lactobacillus bulgaricus dan
Streptococcus thermophillus yang merupakan bakteri asam laktat. Hal inilah yang
memungkinkan yogurt semakin lama semakin asam karena adanya peran bakteri
tersebut.
Selanjutnya, pada santan. Baik santan baru maupun santan basi menunjukkan
pH asam. Menurut (Ariningsih et al., 2021) pada dasarnya kadar santan yang bermutu
baik adalah memiliki nilai pH yang netral. Apabila berada pada nilai pH yang tidak
netral yaitu asam maka santan tersebut terindikasi adanya kontaminasi dari mikroba.
Menurut Kailaku, 2012 pun menyatakan bahwa nilai pH pada sampel santan kemasan
yang beredar di pasaran cenderung dibawah syarat mutu pH pada Codex stan.
Rendahnya pH tersebut dapat diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme yang
tumbuh cepat pada lingkungan yang sesuai dimana mikroorganisme tersebut
mengubah karbohidrat dan turunannya menjadi alkohol dan karbondioksida sehingga
memicu produksi asam (Ariningsih et al., 2021).
20
BAB 5 KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari uji pH dapat disimpulkan bahwa susu, santan, minyak
dan yogurt adalah produk yang bersifat asam. Ini disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu krakteristik dari bahan tersebut serta kualitas dari produk tersebut yang
dipengaruhi oleh suhu dan lingkungan yang mempengaruhi kadar pH dari bahan uji
tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pada susu, santan serta yogurt ada peran bakteri
yang menyebabkan sifat asam pada ketiga bahan uji tersebut. Sedangkan pada
minyak terdapat peran dari proses kimiawi yaitu reaksi hidrolisis dari trigliserida
yang menyebabkan terurainya trigliserida menjadi asam lemak bebas yang
disebabkan oleh suhu yang tinggi serta pemanasan secara berulang yang dilakukan
pada minyak tersebut sehingga memungkinkan kadar bilangan asam yang tinggi pada
minyak.
5.2 Saran
Pada minyak perlu adanya uji bilangan asam untuk menguji secara akurat nilai
keasaman dari minyak sehingga hasil yang didapat pun lebih akurat.
21
Lampiran
Yogurt segar (pH Meter) Yogurt basi (pH Meter) Santan segar
(pH Meter)
Santan Basi (pH Meter) Susu basi (pH Meter) Susu segar (pH Meter)
22
DAFTAR PUSTAKA
Ariningsih, S., Hasrini, R. F., & Khoiriyah, A. (2021). Analisis Produk Santan Untuk
Pengembangan Standar Nasional Produk Santan Indonesia. Pertemuan Dan
Presentasi Ilmiah Standardisasi, 2020, 231–238.
https://doi.org/10.31153/ppis.2020.86
BPOM RI. (2022). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 22 Tahun
2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izn Penerapan Cara Produksi Pangan
Olahan Yang Baik. 11, 1–16.
Fatmawati, U., Prasetyo, F. I., Supia, M., & Utami, A. N. (2013). Karakteristik
Yogurt Yang Terbuat Dari BerbagaiJenis Susu Dengan Pembuatan Kultur
Campura Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Jurnal
Bioedukasi, 6(2), 1–9.
Hardinata, W., Karimuna, L., & Asyik, N. (2022). ANALISIS KUALITATIF DAN
KUANTITATIF KANDUNGAN FORMALIN PADA PRODUK TERASI
(Shrimp Paste) YANG DIPERDAGANGKAN DI PASAR SENTRAL KOTA
DAN PASAR SENTRAL WUA-WUA. In Jurnal Sains dan Teknologi Pangan
(Vol. 6, Issue 6). https://doi.org/10.33772/jstp.v6i6.22854
Laksito, D., Wijaya, R., & Nurfitriani, R. A. (2020). Kadar Laktosa, Gula Reduksi,
dan Nilai pH Yoghurt dengan Penambahan Bekatul Selama 15 Hari
Penyimpanan Refrigerasi. Jurnal Ilmu Peternakan Terapan, 3(2), 38–43.
https://doi.org/10.25047/jipt.v3i2.1914
23
BORAKS DAN FORMALIN PADA MAKANAN JAJANAN DI KANTIN UIN
ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN 2016. In UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
ALAUDDIN MAKASSAR. file:///Users/andreataquez/Downloads/guia-plan-de-
mejora-
institucional.pdf%0Ahttp://salud.tabasco.gob.mx/content/revista%0Ahttp://www
.revistaalad.com/pdfs/Guias_ALAD_11_Nov_2013.pdf%0Ahttp://dx.doi.org/10.
15446/revfacmed.v66n3.60060.%0Ahttp://www.cenetec.
Partana, C. F., & Wiyarsi, A. (2009). Mari Belajar Kimia 2 : Untuk SMA XI IPA.
Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
SNI. (2012). SNI 7709_2012 Minyak Goreng Sawit, SNI Wajib dan Wajib Kemasan -
Lingkar Mutu Indonesia.
Suroso, A. S. (2013). Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari Bilangan
Peroksida , Bilangan Asam dan Kadar Air. Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol
3(2), 77–88.
Utomoa, D., & Kholifah, S. (2018). Uji Boraks Dan Formalin Pada Jajanan Disekitar
Universitas Yudharta Pasuruan. In TEKNOLOGI PANGAN: Media Informasi
dan Komunikasi Ilmiah Teknologi Pertanian (Vol. 9, Issue 1).
https://doi.org/10.35891/tp.v9i1.933
24