Dosen STIKES Muhammadiyah Gombong Dalam memahami hakikat manusia menurut perspektif Islam, haruslah dilihat dari sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran. Dalam Al Quran diuraikan bagaimana Allah telah menciptakan manusia dari materi dan ruh, melewati beberapa fase penciptaan sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Shad, 38: 71-72 : “(Ingatlah)ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.” Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiaannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu bersujud kepadanya”. 1. Ins, Insan dan Unas. Kata “insan” diambil dari asal kata “uns” yang mempunyai arti jinak, tidak liar, senang hati, tampak atau terlihat, seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia di dalam sebaik- baiknya bentuk”. (At Tiin,95:4). 2. Basyar Kata ini berasal dari makna kulit luar yang terdapat dilihat dengan kata kasar, bersifat indah dan cantik. Dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia dan gembira bagi siapa yang melihatnya. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang yang cenderung mempengaruhi perilaku dan kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual, yang kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi di pasar. Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka mengatasi kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku. Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu beribadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia. Allah swt berfirman: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak- anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan (kendaraan), binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” [QS. Ali Imran: 14] Islam memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan keinginan dalam motif aktifitas ekonomi. Kebutuhan didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Sementara keinginan didefinisikan sebagai kemauan manusia atas segala hal. Kebutuhan harus lebih diutamakan daripada keinginan 1. Dharuriyat Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak Merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok, yakni : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta Kebuthan dharuriyat mencakup: Agama (din) Kehidupan (nafs) Pendidikan („aql) Keturunan (nasl), dan Harta (mal) Pengabaian terhadap kelima unsur tersebut akan menimbulkan kerusakan di dunia dan akhirat. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqh Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan kesulitan itu. Adanya hukum rukhsah (keringinan) adalah sebagai contoh dari kepedulian Syari’at Islam terhadap kebutuhan ini Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan tersier yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak. Dalam istilah kebutuhan (need) bearti hasrat untuk memenuhi kebutuhan, keinginan adalah hasrat terhadap pemuas spesifik untuk terpenuhinya kebutuhan itu. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer (basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuh-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya. Pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami. Adapun prefernsi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan manusia memiliki pola sebagai berikut. Konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi pahala yang dicapai. Demikian sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, maka semakin rendah pahala yang dicapainya. Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas- prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dalam pemenuhannya Syari’ah islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa etika ini antara lain keadilan, kebersihan, kesederhanaan, halalan tayyiban, dan keseimbangan Kebutuhan atau keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan. Dalam Al-Qur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfa’at atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita lebih mengutamakna kebutuhan ketimbang keinginan Dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan menjalankan tugas kita sebagai hamba Allah, yaitu beribadah kepada-Nya secara maksimal.