Anda di halaman 1dari 80

LAPORAN KASUS

“PENATALAKSANAAN ANESTESI SUBARACHNOID BLOCK (SAB)DAN TERAPI


CAIRAN PADA TINDAKAN SECTIO CAESAREA DENGAN KETUBAN PECAH
DINI, SIFILIS DAN LETAK KAKI PADA PASIEN WANITA USIA 33 TAHUN”

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepanitraan Klinik Madya di SMFAnestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.

Disusun Oleh:

Chrisvivani A Ruatakurei, S.Ked.


NIM : 2019086016366

Pembimbing:

dr. Diah Widyanti, Sp.An., KIC

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
KEPANITRAAN KLINIK MADYA SMF ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD JAYAPURA
TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

Anstesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan


nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Anestesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.

Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit baik disertai dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran. Ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain
yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk
menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Anestesi menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan.

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani An “tidak, tanpa” dan athesos
“Persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan untuk
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, dan analgesia regional. Anestesi
umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang
reversibel akibat pemberian obat-obatan. Jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk
menghasilkan efek anestesi dapat berupa Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi
intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian dari-anestesi umum. Anestesi lokal
(atau mungkin lebih tepat analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi
gabungan
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh
bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat
bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hypovolemia

Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah
tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestetikum
regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera
reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestetikum yang
digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang
dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu.
Banyaknya manfaat analgesia regional, khususnya analgesia spinal yang sudah lebih
sering digunakan dibandingkan analgesia regional blok sentral yang lain, sehingga tindakan
analgesia spinal cukup sering digunakan pada tindakan pembedahan yang sesuai dengan
indikasi, Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.
Diperkirakan bahwa sekitar 2% wanita hamil menjalani anestesi selama kehamilan,
untuk operasi yang tidak terkait dengan persalinan.Angka ini mungkin jauh lebih tinggi pada
trimester pertama dimana kehamilan mungkin tidak terdeteksi pada saat operasi.Sekitar 42%
dari prosedur terjadi pada trimester pertama, 35% selama trimester kedua dan 23% selama
trimester ketiga. Usus buntu, torsi ovarium dan trauma adalah indikasi yang lebih umum
untuk intervensi bedah.Untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, perlu
pertimbangan mengenai perubahan fisiologis dan farmakologis yang terjadi selama
kehamilan, karena perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua.

Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian yang
cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain. Sedangkan bagian
yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi
plasma darah sebanyak 5% dan cairan interstitial sebanyak 15%. Cairan antarsel khusus
disebut cairan transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum,
dan lain-lainnya. Dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit
utama yang berbeda. Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida,
sedangkan elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan
fosfat. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga
dan mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia.
Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian rupa agar
keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh pada yang
lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang berlebih pada
kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss) secara berlebihan oleh
paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi
cairan agar volume cairan tubuh yang hilang, dengan segera dapat digantikan.
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan
pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari,
mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan melalui
intravena adalah salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam pengobatan
pasien bedah, medis dan sakit kritis.
Sectio Caesarea merupakan suatu prosedur pembedahan yang saat ini umum
dilakukan pada proses persalinan. Secti Caesarea merupakan persalinan buatan dimana janin
dilahirkan memalui insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat dinding
rahim dalam keadaan utuh serberat janin diatas 500 gram. Menurt Mochtar sectio caesarea
adalah suatu cara melahirkna janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui
depan perut untuk melahirkan janin dari dalam rahi. Negara maju yang memiliki prevalensi
tertinggi angka kelahiran dengan Sectio Caesarea. Tindakan operasi sectio caesarea dilakukan
untuk mencegah kematian janin maupun ibu yang dikarenakan bahaya atau komplikasi yang
akan terjadi apabila ibu melahirkan secara pervaginam.

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala
difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavumuteri. Dikenal beberapa jenis letak
sunsang, yakni presentasi bokong,presentasi bokong kaki sempurna, presentasi bokong kaki
tidak sempurna dan presentasi kaki.
Ketuban Pecah dini atau KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-
tanda persalinan. Menurut Nugroho, ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunyamelahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm
adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang
terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
Angka kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) yang dilaporkan, bahwa lebih banyak
terjadi pada kehamilan cukup bulan yaitu sekitar 66%, sedangkan pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34%. 6-19% ibu mengalami ketuban pecah dini secara spontan sebelum
persalinan dan 86% ibu yang mengalami ketuban pecah dini menjalani persalinan spontan
dalam waktu24 jam. 2011 jumlah persalinan adalah 379 orang. Jumlah persalinan dengan
KPD sebanyak 11,08 %. Dan pada tahun 2012 jumlah persalinan sebanyak 364 orang. Jumlah
persalinan dengan KPD sebanyak 13,74 %
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana infeksi ini
dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis yang menyerupai
banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah serta
ditularkan dari ibu ke janin.
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut dapat
ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta. Paradigma lampau
menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan bermanifestasi sebagai sifilis
kongenital yang tidak dapat dihindari. WHO tetap menyatakan bahwa sifilis merupakan
penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting pada masa kehamilan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada
maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan
plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus
memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti
ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan
bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi,
kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal.

2.1.1. Perubahan Fungsi Hematologi


Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai
akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-angiotensin, menyebabkan
terjadinya retensi sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada
masanya, volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah
hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan
terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6
g/dl dan hematokrit 35.5%. Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh
anemia relatif ini, karena tubuh sang ibu memberikan kompensasi dengan cara
meningkatkan curah jantung, peningkatan PaO2, dan pergeseran ke kanan dari
kurva disosiasi oxyhemoglobin.
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang
memberikan keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses
persalinan. Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI
yang mungkin mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi
kemudian pada trimester ketiga.Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan
penurunan dari jumlah platelet sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester
ketiga.Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin saja
terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi.Imunitas sel ditandai
mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi viral.
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadapa beberapa
perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada
awal trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester
kedua dan ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 %
daripada pada wanita yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu
kelima kehamilan dan mencapai tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan,
setelah itu hanya mengalami sedikit peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran,
dan masa post partum.Sekitar 50% peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada
masa minggu kedelapan kehamilan. Meskipun, peningkatan dari cardiac output
dikarenakan adanya peningkatan dari volume sekuncup dan denyut jantung, faktor
paling penting adalah volume sekuncup, dimana meningkat sebanyak 20% sampai
50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil. Perubahan denyut jantung
sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan sekitar 20% yang
terlihat pada minggu keempat kehamilan.Meskipun, angka normal dalam denyut
jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi
penting secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38,
setelah itu dapat menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis.
Penelitian mengenai cardiac output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine
selama minggu terakhir kehamilan, menunjukkan bahwa ada penurunan
dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan ini tidak diobservasi ketika
pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi supine, yang terjadi
pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang mengakibatkan
terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan pucat.
Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi
uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu,
perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus
dilakukan secara rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan.
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam
dada, sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan
deviasi aksis kiri dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada
pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu
yang terbagi-bagi. Suara jantung tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga
terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan asimptomatik.

2.1.3. Perubahan Sistem Respirasi


Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan
oksigenasi ibu dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin
ke ibu. Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam
masa kehamilan.Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan
meningkat. Pada aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan
ventilasi semenit meningkat hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg.
Alkalosis respiratorik dihindari melalui mekanisme kompensasi yaitu penurunan
konsentrasi plasma bikarbonat.Hiperventilasi juga dapat meningkatkan PaO2 secara
perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi efek hiperventilasi dalam
afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen dimana hemoglobin
mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat dari 27 ke 30
mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah jantung
memicu perfusi jaringan.
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan
umumnya diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari
cavum thorax. Mulai bulan ke lima, expiratory reserve volume, residuak volume,dan
functional residual capacity menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun
sebanyak 20 % dibandingkan pada wanita yang tidak hamil. Secara umum,
ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve volume sehingga kapasitas paru total
tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil, penurunan functional residual
capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang mengalami perubahan
pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas, atau skoliosis
dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang
menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat
mengurangi hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual
capacity.Volume residual dan functional residual capacity kembali normal setelah
proses persalinan.

s
2.1.4. Perubahan Metabolik
Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama
masa kehamilan ,termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks, maka laju
metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 % selama mendekati
masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal
tersebut, maka wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan.
Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas
otot lebih besar daripada normal.

2.1.5. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal


Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik
yang kontroversial.Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal
mengalami perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya
aspirasi yang berhubungan dengan anestesi general.
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa
kehamilan.Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu
ketidakmampuan dari sfingter gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron
menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus, dimana sekresi gastrin dari plasenta
menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor tersebut menempatkan wanita yang
akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal.
Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan.Banyak pendapat yang
menyatakan mengenai pengosongan lambung.Beberapa penelitian melaporkan
bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di samping
itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60%
dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah
dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid
dan antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi
terjadinya refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek
fisiologis ini bersamaan dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan
dan penundaan pengosongan lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan
merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil akan terjadinya muntah dan mual.
2.1.6. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa
kehamilan.Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi
general.Namun, konsentrasi alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga
pasca kelahiran. Perubahan kadar hormon maternal dan opioid endogen telah
dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi ketika diberikan dalam dosis
farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada normal pada masa
aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan
dan kelahiran.
Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis
anestesi baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara
neuraxial, wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita
yang tidak hamil untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan.
Minimum local analgesic concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi
obstetrik untuk membandingkan potensi relatif dari anestesi lokal dan MLAC
didefinisikan sebagai median dari konsentrasi analgesik efektif dalam 20 ml volume
untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan. Obstruksi dari vena cava
inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena pleksus epidural
dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir kehamilan
menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2)
penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang
epidural. Dua efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama
anestesi spinal dan epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi
predisposisi dalam insidensi lebih tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.

2.1.7. Perubahan Sistem Muskoloskeletal


Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan
kelahiran dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi
dari simfisis pubis dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan
risiko terjadinya cedera punggung.Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi
nyeri punggung dalam kehamilan.
2.1.8. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan
perawatan untuk fetus yang sehat.Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi
penyebab utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi
parah dapat mengakibatkan kematian fetus.Integrasi dari sirkulasi bergantung pada
aliran darah uterus yang adekuat dan fungsi normal plasenta.
Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan
mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.Aliran darah
melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi
rendah.Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi.Aliran
darah uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi
maksimal selama masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada
tekanan darah maternal dan curah jantung.Hasilnya, faktor yang mempengaruhi
perubahan aliran darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai
darah fetus. Maka uterine blood flow dirumuskan sebagai berikut:

UBF= UAP-UVP
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut
terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade
simpatis.Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau
durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat
dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.
2.2 Seksio Sesarea
2.2.1. Definisi
Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).Definisi ini tidak mencakup
pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan
abdomen.
2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea
Indikasi Absolut
Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas :
a. Berasal dari ibu
- Induksi persalinan yang gagal

- Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)

- Disproporsi sefalopelvik
b. Uteroplasenta
- Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)

- Riwayat ruptur uterus

- Obstruksi jalan lahir (fibroid)

- Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar


c. Janin
- Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan

- Prolaps tali pusat

- Malpresentasi janin

Indikasi Relatif
Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008):
a. riwayat ibu
- bedah sesar elektif berulang
- penyakit ibu
b. uteroplasenta
- riwayat bedah uterus sebelumnya
- presentasi funik pada saat persalinan
c. janin
- malpresentasi janin
- makrosomia
- kelainan janin

Kontraindikasi Seksio Sesarea


kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi piogenik
dinding abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati (kecuali
untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan atau
tenaga yang sesuai.

2.2.3 Teknik Seksio Sesarea

Insisi Abdominal
Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau
transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau
midtransversum digunakan .
Insisi Abdominal Vertikal
Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang
rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan
untuk seksio sesarea klasik.Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra
dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis pubis.Setelah menginsisi
jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah secara tajam dan masuki
peritoneum parietal dengan diseksi tajam.Umumnya, setelah melakukan insisi
vertikal dilakukan penjahitan pada lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00
atau 0.Jaringan fasia ditutup dengan jahitan terputus menggunakan benang
berukuran 0 yang dapat diserap atau tidak dapat diserap.Setelah jaringan
subkutan didekatkan kembali, kulit ditutup.

Insisi Abdominal Transversal


Selain metode insisi abdominal pada linea mediana dikenal juga
metode insisi abdominal transversal. Metode Pfannenstiel, Maylard, dan Joel-
Cohen , merupakan metode seksio sesarea yang menggunakan insisi transversal
pada dinding abdomen. Insisi Pfannenstiel meliputi insisi transversal semi
lengkung (curved) setinggi 2 jari di atas tulang simfisis pubis, muskulus rektus
dipisahkan secara tumpul dan peritoneum parietal diinsisi pada linea mediana.
Insisi Maylard hampir serupa dengan metode Pfannen stiel namun muskulus
rektus dipotong secara transversal menggunakan pisau bedah.Insisi ini menjadi
pilihan ketika dijumpai adanya perlengketan akibat insisi Pfannenstiel pada
operasi sebelumnya. Insisi Joel-Cohen meliputi insisi transversal yang lurus
setinggi 3 cm di atas tulang simfisis dan diperdalam lapis demi lapis secara
tumpul,bila perlu digunakan gunting bukan pisau. Kemudian plica
vesicouterina digunting dan disisihkan, kemudian dibuat insisi pada segmen
bawah uterus di bawah insisi plica yang kemudian dilebarkan secara tumpul
dengan arah horizontal. Insisi Joel-Cohen berhubungan dengan waktu operasi
yang singkat serta berkurangnya febris post operatif.

Insisi Uterus
Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim
secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti
yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912.Segmen bawah uterus relatif
kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan perdarahan
yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio sesarea secara klasik. Insisi
lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga ke
fundus dan insisi ini jarang digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim
mempunyai keuntungan yaitu hanya membutuhkan sedikit pembebasan
kandung kemih dari myometrium.

2.2.4 Komplikasi Seksio Sesarea


a. Kematian Ibu.
Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000, meningkat
sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam.

b. Kesakitan Ibu selama Operasi.


Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea berkisar di atas 11% (kira-
kira 80% minor dan 20% mayor).Komplikasi mayor meliputi trauma pada
kandung kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi korpus uteri,
laserasi melalui ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua arteri
uterina, trauma usus dan trauma pada bayi dengan sekuele.Komplikasi
minor meliputi transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi
minor pada isus dan kesulitan melahirkan.

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi


Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15 % dan sekitar 90% di
antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi saluran kemih,
sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi pada kasus seksio
darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif hanya 5%.Predisposisi
terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban
sebelum operasi, lama persalinan sebelum operasi, anemia dan
obesitas.Komplikasi non infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total
komplikasi) meliputi ileus paralitik, perdarahan intraabdominal, paresis
kandung kemih, trombosis dan gangguan paru.
2.3 Letak Sungsang
2.3.1 Definisi
Letak sungsang adalah letak membujur dengan kepala janin di fundus
uteri(Nuryani, 2021). Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak
memanjang (membujur) dengan kepala berada di fundus dan bokong di bawah kavum
uteri (Sudiman., 2021). Letak sungsang adalah letak membujur atau memanjang dari
janin dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavum uteri,
sebelum atau sesudah masuk kedalam pintu atas panggul (Barret., 2019). Secara
epidemiologis insiden dari kehamilan bokong pada kehamilan cukup bulan yaitu 3-4
% dimana insidennya semakin tinggi pada usia kehamilan yang lebih kecil yaitu 22-
25% pada kehamilan. Secara keseluruhan, presentasi bokong terjadi pada 3-4% dari
persalinan tunggal, tapi memiliki insiden yang lebih tinggi pada persalinan kembar
(25% pada kembar pertama dan 50% pada kembar kedua adalah sungsang).
Pada kehamilan tunggal, presentasi presentasi bokong dimana berat bayi
kurang dari 2500 25 gram, 40% merupakan letak bokong murni, 10% letak bokong
sempurna, dan 50% letak kaki sedangkan pada bayi dengan berat lebih dari 2500
gram, 65% merupakan letak bokong murni, 10% letak bokong sempurna, dan 25%
letak kaki.
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi presentasi bokong menurut Sudiman 2021, adalah :

a. Presentasi bokong murni (Frank Breech) Pada presentasi bokong murni,


kedua paha fleksi dan lutut ekstensi pada permukaan anterior tubuh. Akibat
ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki terangkat ke atas sehingga ujungnya
dapat setinggi bahu atau kepala janin. Dengan demikian, pada pemeriksaan
dalam hanya dapat diraba bokong. Sekitar 60% hingga 65% presentasi bokong
murni lebih sering terjadi pada persalinan aterm.
b. Presentasi bokong kaki sempurna (Complete Breech) Pada presentasi
bokong kaki sempurna, kedua paha maupun kedua lutut fleksi sehingga kedua
kaki berada di samping bokong. Presentasi bokong kaki sempurna sangat
jarang terjadi yaitu sekitar 5%.
c. Presentasi bokong kaki tidak sempurna (Incomplete Breech) Pada presentasi
bokong kaki tidak sempurna, selain bokong bagian terendah juga terdapat kaki
atau lutut. Satu atau kedua pinggul fleksi tak sempurna, di mana ekstremitas
bawah yang terletak paling bawah dapat diraba satu kaki atau kedua kaki.
Terjadi pada 25% hingga 35% presentasi bokong pada bayi prematur
d. Presentasi kaki (Footling Breech) Pada presentasi kaki bagian paling rendah
adalah satu atau dua kaki di mana kedua tungkai ekstensi di bawah level
bokong
2.3.3 Etiologi
Menurut Barret 2019, penyebab terjadinya presentasi bokong adalah:
1. Dari faktor ibu Presentasi bokong disebabkan oleh multiparasitas, plasenta
previa dan panggul sempit
2. Dari faktor janin
a. Hidrosefalus atau anensefalus
b. Gameli
c. Hidramnion atau oligohidramnion
d. Prematuritas
2.3.4 Manifestasi Klinis
a. Pergerakan anak terasa oleh ibu di bagian perut bawah, dibawah pusat dan
ibu sering mengeluh merasa benda keras (kepala) mendesak tulang iga.
b. Merasa kesakitan di area serviks atau rectal
c. Pada primigravida tidak merasakan janin turun sebelum permulaan
kelahiran.
d. Pada palpasi akan teraba bagian keras, bundar dan melenting pada fundus
uteri. Punggung anak dapat diraba pada salah satu sisi perut dan bagianbagian
kecil pada pihak berlawanan. Di atas simpisis teraba bagian yangkurang
bundar dan lunak.
e. Bunyi jantung terdengar pada punggung anak setinggi pusat
f. Pemeriksaan vagina biasanya akan menggambarkan bagian terendah tidak
mengalami engaged dan terasa lembut tanpa garis sutura atau formal

2.4 Ketuban Pecah Dini


2.4.1 DEFINISI

Menurut (Sagita, 2017) ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan
berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan
pecah dini terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Cairan keluar melalui
selaput ketuban yang mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai
28 minggu dan setidaknya satu jam sebelum waktu kehamilan yang sebenarnya.

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum persalinan mulai pada
tahapan kehamilan manapun (Arma, dkk 2015).

Ketuban Pecah Dini (KPD) atau biasa disebut dengan (PROM, Premature
Rupture of Membrane) merupakan suatu kondisi dimana ketuban pecah sebelum
proses persalinan dengan usia gestasi ≥37minggu. Namun jika ketuban pecah pada
usia gestasi <37 minggu disebutketuban pecah dini pada kehamilan premature
(PPROM, PretermPremature Rupture of Membrane) (Tanto, 2014).

Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan keluarnya cairan dari jalanlahir


sebelum proses persalinan. KPD dibedakan menjadi dua yaituketuban pecah
premature (PROM) dan ketuban pecah premature pada preterm (PPROM). Insiden
PROM dapat terjadi pada 6-19% kehamilan sedangkan insiden PPROM tejadi pada
2% kehamilan (Khumaira, 2012).
Ketuban pecah dini merupakan pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda
mulai persalinan dan ditunggu satu jam sebelum terjadi in partu (Manuaba, 2009).

KPD dalam keadaan normal akan pecah menjelang proses persalinan yaitu
terjadi pada pembukaan <4 cm (fase laten). Ketuban Pecah Dini dapat terjadi pada
akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktu melahirkan. KPD preterm merupakan
KPD yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah
KPD yangterjadi lebih dari 12 jam sebelum waktu melahirkan (Nugroho, 2012).

Normalnya selaput ketuban akan pecah pada akhir kala 1 atau awal kala
2persalinan. Ketuban juga dapat pecah sampai saat mengedan, sehingga harus
dilakukan amniotomi (memecahkan ketuban) (Norma, 2013).

KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang


bulan, KPD mempunyai kontribusi besar pada angka kematian bayi yang kurang
bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34minggu sangat komplek hal
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya prematuritas dan RDS (Respiratory Distress
Syndrome) (Sujiyatini,2009).

2.4.2 Epidemiologi

Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 12,9 juta kelahiran (9,6%) di seluruh
dunia adalah prematur. Sekitar 11 juta (85%) dari kelahiran prematur tersebut
terkonsentrasi di Afrika dan Asia. Sekitar 45-50% penyebab dari kelahiran prematur
adalah idiopatik, 30% terkait dengan KPD dan 15-20% dikaitkan dengan indikasi
medis.

Menurut Eastman, insidensi ketuban pecah dini ini berkisar 12 % dari semua
kehamilan normal. Sekitar 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan di
aterm, namun di pusat rujukan, lebih dari 50% kasus dapat terjadi pada kehamilan
preterm.

Angka kejadian KPD di Indonesia sendiri masih cukup tinggi. Data yang
diperoleh dari RSUD Dr. H. Soewondo menyebutkan kejadian KPD pada tahun 2011
sebanyak 445 sedangkan pada tahun 2012 meningkat sebanyak 542 penderita.
2.4.3 Etiologi

Adapun penyebab terjadinya ketuban pecah dini merurut (Manuaba, 2007)


yaitu sebagai berikut:
a. Multipara dan Grandemultipara

b. Hidramnion

c. Kelainan letak: sungsang atau lintang

d. Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)

e. Kehamilan ganda

f. Pendular abdomen (perut gantung)

Adapun hasil penelitian yang dilakukan (Rahayu and Sari 2017) mengenai
penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa kejadian KPD
mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37 minggu,
pembesaran uterus normal dan letak janin.

2.4.4 Tanda Dan Gejala Klinis

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina,
aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, berwarna pucat,
cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena uterus diproduksi sampai kelahiran
mendatang. Tetapi, bila duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu,
demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
capat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sunarti, 2017).
.
2.4.5 PATOFISIOLOGI

Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada daerah


tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini sangat erat
kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena penipisan oleh infeksi
atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput terdapat pada amnion di daerah
lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di daerah lapisan retikuler atau trofoblas
(Mamede dkk, 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertantu terjadi perubahan biokimia
yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan struktur,
jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar pecahnya selaput ketuban
diidentifikasi sebagai suatu zona “restriced zone of exteme altered morphologi
(ZAM)” (Rangaswamy, 2012).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya sebuah
area yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput ketuban di
daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2 – 10% dari keseluruhan permukaan
selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa
area ini ditandai dengan adanya penigkatan MMP-9, peningkatan apoptosis trofoblas,
perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan myofibroblas (Rangaswany dkk,
2012).
Penelitian oleh (Rangaswamy dkk, 2012), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal akan
pecah dengan hanya diperlukan 20 -50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk
robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian mendukung konsep
adanya perbedaan zona selaput ketuban, khususnya zona di sekitar serviks yang
secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya seiring dengan
terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi. Paracervical weak zone
ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban dan berperan sebagai
initial breakpoint (Rangaswamy dkk, 2012).
Penelitian lain oleh (Reti dkk, 2007), menunjukan bahwa selaput ketuban di
daerah supraservikal menunjukan penigkatan aktivitas dari petanda protein apoptosis
yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2. Didapatkan hasil
laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien dengan ketuban pecah
dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan laju apopsis ditemukan paling
tinggi pada daerah sekitar serviks dibandingkan daerah fundus (Reti dkk, 2007).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui jalur
intrinsik maupun ektrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari caspase.
Jalur intrinsik dari apoptosis merupakan jalur yang dominan berperan pada apoptosis
selaput ketuban pada kehamilan aterm. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa terdapat
perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved caspase-3, cleaved caspase-9
pada daerah supraservikal, di mana protein-protein tersebut merupakan protein yang
berperan pada jalur intrinsik. Fas dan ligannya, Fas-L yang menginisiasi apopsis jalur
ekstrinsik juga ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya
tidak berbeda bermakna antara daerah supraservikal dengan distal. Diduga jalur
ekstrinsik tidak berperan banyak pada remodeling selaput ketuban (Retty, 2007)

Degradasi dari jaringan kolagen matriks ektraselular dimediasi ole enzim


matriks metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini dihambat oleh
tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat menjelang persalinan,
terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix MMP dan TIMP, penigkatan
aktivitas kolagenase dan protease, penigkatan tekanan intrauterin (Weiss, 2007).

2.4.6 Faktor Yang Mempengaruhi Ketuban Pecah Dini

Penyebab terjadinya KPD masih belum dapat ditentukan secara pasti. Dalam
kebanyakan kasus, berbagai faktor risiko saling berinteraksi sebagai penyebab KPD,
mesikupun secara garis besar KPD dapat terjadi karena lemahnya selaput ketuban, di
mana terjadi abnormalitas berupa berkurangnya ketebalan kolagen atau terdapatnya
enzim kolagenase dan protease yang menyebabkan depolimerisasi kolagen sehingga
elastisitas dari kolagen berkurang.
Pada penelitian Ning Li, dkk (China, 2013) menunjukkan hasil kultur bakteri
sekret vagina (+) sebesar 30,2% pada wanita yang mengalami KPD, sedangkan pada
kelompok kontrol sebesar 10,76%. Tingkat infeksi saluran genital secara signifikan
lebih tinggi pada kasus KPD dibandingkan dengan kelompok kontrol, sehingga
infeksi saluran reproduksi dan kejadian KPD sangat terkait.
Kelemahan selaput ketuban dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang
terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu infeksi asenderen oleh bakteri, aktifitas
enzim phospolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin, interleukin
maternal, endotoksin bakteri, dan produksi enzim proteolitik yang menyebabkan
lemahnya selaput ketuban. Sedangkan dilepaskannya radikal bebas dan reaksi
peroksidase dapat merusak selaput ketuban.
Kehamilan kembar dan polihidramnion dapat meningkatkan tekanan
intrauterin. Ketika terdapat juga kelainan selaput ketuban, seperti kehilangan
elastisitas dan pengurangan kolagen, peningkatan tekanan tersebut jugs akan
memperlemah kondisi selaput ketuban janin dan dapat menyebabkan KPD.
Kondisi posisi janin yang abnormal dan Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)
dapat menyebabkan kegagalan kepala janin memasuki pintu masuk panggul. Panggul
yang kosong dapat mengakibatkan tekanan intrauterin yang tidak merata disebabkan
oleh cairan ketuban yang memasuki rongga kosong tersebut sehingga dapat
menyebabkan KPD.
Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum juga berpengaruh
terhadap produksi struktur kolagen yang menurun pada kulit ketuban.
Faktor-faktor seperti trauma kelahiran dan kelainan kongenital pada struktur
serviks yang rentan dapat merusak fungsi otot pada serviks. Konsekuensinya adalah
serviks akan melonggar sehingga membuat bagian depan kulit cairan ketuban dapat
dengan mudah mendesak ke dalam, menyebabkan tekanan yang tidak merata pada
kapsul cairan ketuban
2.4.7 DIAGNOSIS

Diagnosis KPD secara tepat sangat penting untuk menentukan penanganan


selanjutnya. Cara-cara yang dipakai untuk menegakkan diagnosis adalah :

a. Anamnesis

Pasien merasakan adanya cairan yang keluar secara tiba-tiba dari jalan lahir
atau basah pada vagina. Cairan ini berwarna bening dan pada tingkat lanjut dapat
disertai mekonium.

b. Pemeriksaan inspekulo

Terdapat cairan ketuban yang keluar melalui bagian yang bocor menuju
kanalis servikalis atau forniks posterior, pada tingkat lanjut ditemukan cairan amnion
yang keruh dan berbau.

c. Pemeriksaan USG
Ditemukan volume cairan amnion yang berkurang / oligohidramnion, namun
dalam hal ini tidak dapat dibedakan KPD sebagai penyebab oligohidramnion dengan
penyebab lainnya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (lebih dari 15.000/uL), adanya
peningkatan C-reactive protein cairan ketuban serta amniosentesis untuk mendapatkan
bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak
atau bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (Nitrazine Test) merupakan tes untuk mengetahui pH cairan, di
mana cairan amnion memiliki pH 7,0-7,5 yang secara signifikan lebih basa daripada
cairan vagina dengan pH 4,5-5,5. jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban. Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5.
Namun pada tes ini, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan positif palsu.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Tes Fern. Untuk melakukan tes,
sampel cairan ditempatkan pada slide kaca dan dibiarkan kering. Pemeriksaan diamati
di bawah mikroskop untuk mencari pola kristalisasi natrium klorida yang berasal dari
cairan ketuban menyerupai bentuk seperti pakis

2.4.8 KOMPLIKASI

2.4.8.1 Komplikasi Maternal

Infeksi sering terjadi pada pasien dengan KPD. Bukti keseluruhan


korioamnionitis berkisar dari 4,2% hingga 10,5%. Diagnosis korioamnionitis secara
klinis ditandai dengan adanya demam 38 ° C dan minimal 2 dari kondisi berikut :
takikardia pada ibu, takikardia pada janin, nyeri tekan uterus, cairan ketuban berbau
busuk, atau darah ibu mengalami leukositosis. Rongga ketuban umumnya steril.
Invasi mikroba dari rongga ketuban mengacu pada hasil kultur mikroorganime cairan
ketuban yang positif, terlepas dari ada atau tidaknya tanda atau gejala klinis infeksi.
Pasien dengan KPD memiliki kejadian solusio plasenta sekitar 6%. Solusio
plasenta biasanya terjadi pada kondisi oligohidroamnion lama dan berat. Data sebuah
analisis retrospektif yang didapatkan dari semua pasien dengan KPD berkepanjangan
menunjukkan risiko terjadinya solusio plasenta selama kehamilan sebesar 4%. Alasan
tingginya insiden solusio plasenta pada pasien dengan KPD adalah penurunan
progresif luas permukaan intrauterin yang menyebabkan terlepasnya plasenta.
Prolaps tali pusat yang dikaitkan dengan keadaan malpresentasi serta
terjadinya partus kering juga merupakan komplikasi maternal yang dapat terjadi pada
KPD.

2.4.8.2 Komplikasi Neonatal

a. Prematuritas
Masalah yang berisiko terjadi pada persalinan prematur antara lain
respiratory distress syndrome, neonatal feeding problem, hypothermia,
retinophaty of prematurity, necrotizing enterocolitis, intraventricular
hemorrhage, brain disorder sepsis, anemia, hyperbilirubinemia
b. Prolapse funiculli/ penurunan tali pusat
Pecahnya ketuban dapat terjadi oligohidramnion sehingga tali pusat
tertekan dan terjadi hipoksia. Semakin sedikit volume air ketuban maka janin
semakin dalam keadaan gawat (Tanto, 2014).
c. Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi).
Hal ini dapat mengakibatkan kompresi tali pusat, partus lama,
ensefalopaty, perdarahan intracranial, respiratory distress, renal failure,
cerebral palsy, apgar score rendah, prolapse uteri.
d. Sindrom deformitas janin
Hal ini terjadi akibat oligohidramnion sehingga dapat menyebabkan
hypoplasia paru, deformitas ekstermitas dan pertumbuhan janin terhambat.
e. Morbiditas dan mortalitas perinatal
Kematian neonatal setelah mengalami KPD aterm dikaitkan dengan
infeksi yang terjadi, sedangkan kematian pada KPD preterm banyak
disebabkan oleh sindrom gangguan pernapasan. Pada penelitian Patil, dkk
(India,2014) KPD berkepanjangan meningkatkan risiko infeksi pada neonatal
sekitar 1,3% dan sepsis sebesar 8,7%. Infeksi dapat bermanifestasi sebagai
septikemia, meningitis, pneumonia, sepsis dan konjungtivitis. Insiden
keseluruhan dari kematian perinatal dilaporkan dalam literatur berkisar dari
2,6 hingga 11%.

Ketika KPD dikelola secara konservatif, sebagian besar pasien


mengalami oligohidramnion derajat ringan hingga berat seiring dengan
kebocoran cairan ketuban yang terus menerus. Sedikitnya cairan ketuban akan
membuat rahim memberikan tekanan terus-menerus kepada janin sehingga
tumbuh kembang janin menjadi abnormal seperti terjadinya kelainan bentuk
tulang.

2.4.9 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yang dilakukan sebagai langkah untuk penilaianawal pada


ibu hamil dan janin yaitu : a) memastikan diagnosis; b)menentukan usia kehamilan; c)
evaluasi infeksi maternal atau janin,pertimbangkan apakah butuh antibiotik atau tidak
terutama jika ketuban pecah sudah lama; d) dalam kondisi inpartu, apakah ada gawat
janin atau tidak (Tanto, 2014).
Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan (Sujiyatini,2009);
(Norma, 2013); (Khumaira, 2012) :
a. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (>37 minggu)
Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudahmatang,
chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janinmerupakan penyebab
meningginya morbiditas dan mortalitas janin.Penatalaksanaan yang dapat dilakukan
dengan pemberian antibiotik profilaksis bertujuan untuk pencegahan terhadap
chorioamnionitis.
Waktu pemberian antibiotik segera setelah diagnosis KPD ditegakkan dengan
pertimbangan :
1) Tujuan profilaksis untuk mencegah infeksi
2) Jika KPD lebih dari 6 jam infeksi akan terjadi
3) Sementara proses persalinan umumnya berlangsung selama 6 jam
4) Beberapa penulis menyarankan untuk dilakukan induksi persalinan segera
atau ditunggu sampai 6-8 jam setelah ketubanpecah dengan alasan pasien akan
inpartu dengan sendirinya.
b. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (<37 minggu)
Infeksi janin pada kehamilan cukup bulan berhubungan langsung dengan lama
pecahnya selaput ketuban atau lamanya periode laten.
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm tanpa ada tanda infeksi yaitu :
1) Penatalaksanaanya bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik
sebagai profilaksis
2) Penderita di rawat dirumah sakit
3) Ditidurkan dalam posisi trendelenberg
4) Tidak dilakukan Vaginal Touche (VT) untuk mencegah infeksi
Tujuan penatalaksanaan konservatif dengan pemberian kortikosteroidialah
agar tercapai pematangan paru untuk menurunkan kejadian RDS (Respiratory
Distress Syndrome), jika selama tindakan konservatif muncul tanda infeksi maka
dilakukan induksi persalinan tanpamemandang umur kehamilan. Jika induksi gagal
maka dilakukantindakan sectio sesarea. Penatalaksanaan konservatif meliputi
pemeriksaan leukosit tiap hari, tanda-tanda vital tiap 4 jam, pantau DJJ, pemberian
antibiotik tiap 6 jam.

Penatalaksanaan KPD menurut (Nugroho, 2012); (Khumaira, 2012); (Tanto, 2014) :

a. Penatalaksanaan konservatif
1) Rawat dirumah sakit
2) Beri antibiotik : bila ketuban pecah >6 jam (ampisillin 4x500 mg atau
gentamisin 1x80 mg)
3) Umur kehamilan <32-34 minggu : dirawat selama air ketuban masih keluar
atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
4) Bila usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid untuk memacu
pematangan paru, namun jika masih keluar cairan ketuban, maka usia 35
minggu dilakukan terminasi kehamilan
5) Nilai tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda infeksi intrauterine)
b. Penatalaksanaan aktif
1) Kehamilan >35 minggu : induksi oksitosin, bila gagal lakukan SC
Cara induksi : 1 ampul syntocinon dalam dektrose 5%, dimulai 4 tetes/menit,
tiap ¼ jam dinaikkan 4 tetes sampai maksimum 40 tetes/menit.
2) Pada keadaan letak lintang dilakukan SC
3) Bila ada tanda infeksi : beri antibiotik dosis tinggi dan akhiri persalinan
2.5 Sifilis Pada Kehamilan
2.5.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten tanpa
manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.
2.5.2 Gejala Klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian
menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar
bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel.
Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan di
sulkus koronal pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi
ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang
terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8
minggu tanpa meninggalkan bekas luka.
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder penyakit
dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin
masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis
sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa
yang terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh
tubuh. Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala,
serta malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala
tersebut dapat mengalami remisi spontan dan menghilang dalam 2 – 6 minggu.
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan
dan pasien akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa
tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis
pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit,
tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis harus
berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala sifilis
tersier.

Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari


penyakit. Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun proses
penyakit dapat berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi
noduloulseratif destruktif yang disebut gumma, osteomielitis, osteitis, kekakuan dan
nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya meningitis, kejang,
penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis.
2.5.3 Diagnosis Klinis
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab,
dan konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum
tidak dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi
menggunakan pemeriksaan lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan
teknik molekuler. Pada individu yang asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk
skrining terhadap infeksi. Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel
untuk diagnosis laboratorium sifilis.
Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan treponemal. Diagnosis
serologi konvensional menggunakan pendekatan dua langkah, yaitu skrining pertama
dengan metode nontreponemal, dan kemudian menggunakan tes konfirmasi yang
menggunakan metode antigen treponema untuk mengkonfirmasi hasil tes skrining
positif. Uji nontreponemal juga dapat digunakan untuk memonitor respon pengobatan.
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang tidak
khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat perivaskuler
yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan endarteritis
obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan dinding pembuluh
darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi obliterasi dan trombosis
pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis sekunder dapat ditemukan
spirochaetes pada sayatan yang diberi pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis
tersier yang berbentuk gumma dapat dijumpai vaskulitis granulomatosa.

2.5.4 Pengobatan Sifilis


Pengobatan sifilis menggunakan penisilin G yang diberikan secara parenteral.
Penisilin merupakan pilihan obat untuk tatalaksana sifilis pada semua stadium.
Preparat yang digunakan seperti benzathine, aqueous procaine, atau aqueous
crystalline. Dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan stadium dan manifestasi
klinis yang muncul dari penyakit. Pengobatan untuk sifilis laten lanjut dan sifilis
tersier memerlukan waktu yang lebih lama, karena organisme penyebab mungkin
membelah secara lambat. Pengobatan yang lebih lama juga dibutuhkan pada individu
dengan sifilis laten yang tidak diketahui secara pasti durasi individu tersebut terinfeksi
sifilis. Pemilihan preparat penisilin yang tepat memegang peranan penting, karena T.
pallidum dapat berada pada area yang sulit diakses oleh beberapa jenis penisilin,
misalnya area sistem saraf pusat dan cairan humour akueus. Kombinasi penisilin
benzathine, procaine dan preparat penisilin oral dianggap tidak tepat digunakan
sebagai pengobatan sifilis.
Pemantauan pengobatan sifilis dilakukan dengan evaluasi klinis dan serologis
pada 6 dan 12 bulan setelah pengobatan. Respon serologi (titer) harus dibandingkan
dengan titer saat pengobatan berlangsung. Individu yang memiliki tanda dan gejala
menetap atau kambuh dan mereka yang setidaknya mengalami empat kali lipat
peningkatan titer tes nontreponemal secara persisten selama lebih dari 2 minggu,
dapat dikategorikan mengalami kegagalan pengobatan atau re-infeksi. Individu-
individu tersebut harus diobati ulang dan re-evaluasi terkait infeksi HIV.

2.5.5 Patogenesis Sifilis Pada kehamilan


Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana
pada sifilis kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental
dari Treponema pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan
paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder. Pasien
dengan penyakit sifilis yang tidak diobati tampaknya dapat pulih, namun dapat
mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua tahun. Oleh karena itu,
seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan kedua dari
periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati.
Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali kontak
seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara sistemik, treponema
menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil yang terinfeksi
treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah onset
infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini
pada minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil terinfeksi sifilis yang berada pada
stadium laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus.

2.5.6 Manifestasi Klinis Sifilis Pada kehamilan


Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi
sifilis secara umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan
sifilis masih berada dalam tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan
berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:
1. Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90
hari (rata-rata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai
berdiameter 0,5-1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang
menghasilkan chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit
memanjang, dengan tepi yang mengeras sebanyak 1-2 cm).
2. Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang
disertai beberapa perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise,
radang tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun
mukosa. Pada tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui
sistem hematogen dan limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada darah,
kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis
sekunder memiliki kelainan pada cairan serebrospinal, dengan adanya
peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang
hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien
sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul
erupsi makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas,
termasuk telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar,
dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang
halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada
bagian telapak tangan dan kaki.
3. Tersier
Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan
oleh manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf
pusat (SSP), ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh darah
besar. Interval waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari
penyakit ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum
penggunaan antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak
diobati akan berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis
merupakan komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign
syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi
yang tidak diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis
sifilis asimtomatik, ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis
simptomatik. Perkembangan selanjutnya dapat menuju sifilis meningovaskular
(biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer) atau terus berkembang menjadi
paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia
(31%), and kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala
umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan mood
selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan gangguan perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi
granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan
terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa
dan viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat
berupa nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter.

2.5.7 Dampak Infeksi Siflis Pada Kehamilan


Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama
kehamilan akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam kondisi
ini akan menghasilkan kelahiran prematur atau kematian perinatal. Sifilis laten dini
pada kehamilan yang tidak diterapi dapat menyebabkan angka prematuritas atau
kematian perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen janin yang lahir dari ibu dengan sifilis
lanjut yang tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital, dan angka
kematian perinatal meningkat hingga sepuluh kali lipat.
Kendati sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua
tahun terinfeksi, wanita dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius
terhadap janin yang dikandungnya hingga beberapa tahun lamanya. Sejumlah
penelitian terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang tidak
mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat
terapi selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan
angka rerata usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu. Penelitian lain
menunjukkan adanya insiden kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita
penderita sifilis yang mendapat terapi selama masa kehamilan. Bukti presumtif
adanya sifilis kongenital tampak pada 15 (26%) kasus dari 57 wanita yang diterapi
(tidak selalu adekuat) yang ditemukan pada usia kehamilan 24 minggu dan pada 41
(60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat terapi pada trimester ketiga.
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel
mengenai adverse pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan
kematian janin, kematian neonatus, kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah
merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan
pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan terapi

2.6 Anestesi Pada Obstetri


Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang
akan digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah
seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan intubasi,
kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi terletang (supine)
dapat menyebabkan hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan
mengalami hipoksia/asfiksia.
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi lahir
dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N 2O/O2 namun analgesi sering tidak
memadai serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional (spinal atau epidural)
dengan teknik yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun
sering menimbulkan mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar,
serta timbul sakit kepala pasca bedah.Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi
ibu yang takut, serba terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang
ditimbulkan kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering mengalami
kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.

Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, adalah
penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang menjadi ciri tiga
trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua.
Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
b. Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian oksigen
c. Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
d. Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)
2.6.1 Perubahan Respon Anestesi
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi
obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan
menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%8. Selain terjadi penurunan
MAC agen-agen anestesi inhalasi, dosis thiopental yang dibutuhkan juga berkurang
sejak awal kehamilan.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang
diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-
vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural
menjadi lebih sempit.
Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas pada anestesi
spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan respon terhadap blokade
saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf
akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran
reseptor (enhanced diffusion).

Konsentrasi cholinesterase plasma menurun sampai sebesar 25% sejak awal


kehamilan sampai tujuh hari post partum. Namun jarang terjadi blokade
neuromuskuler yang berkepanjangan karena volume plasma yang besar mengakibatkan
distribusi obat yang merata sehingga mengurangi efek dari penurunan hidrolisis obat.
Meskipun demikian dosis suksinilkolin sebaiknya dikontrol dengan hati-hati pada
pasien hamil dan ahli anestesi harus memonitor blokade neuromuskuler dengan
stimulator saraf untuk memastikan reverse/pemulihan yang adekuat sebelum ekstubasi.

Pada kehamilan juga terjadi penurunan konsentrasi albumin sehingga fraksi obat bebas
dalam darah meningkat, akibatnya resiko toksisitas obat selama kehamilan juga
meningkat.

2.6.2 Pertimbangan Pada Fetus

a. Risiko teratogenisitas
Agen-agen anestesi dapat menyebabkan perubahan besar pada ibu hamil
berupa hipoksia dan hipotensi berat sehingga dapat berbahaya bagi fetus. Selain
efek tersebut, saat ini perhatian juga ditujukan pada risiko teratogen dari obat-obat
anestesi.
Teratogenisitas mempunyai pengertian sebagai setiap perubahan post natal
yang signifikan baik dalam fungsi atau bentuk setelah terapi yang diberikan
selama periode prenatal. Perhatian akan adanya efek merugikan agen-agen
anestesi berawal dari efek obat tersebut yang telah diketahui pada sel-sel mamalia.
Efek merugikan tersebut terjadi dalam rentang dosis terapi dan perubahan sel
irreversibel yang terjadi dapat berupa berkurangnya motilitas sel, pemanjangan
waktu sintesis DNA, dan inhibisi pembelahan sel.

b. Prinsip-prinsip teratogenisitas
Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi
teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies, dosis obat,
durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.
Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat penting.
Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi atau kematian pada
embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang lebih besar mungkin kurang
berbahaya pada fetus.
Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian, abnormalitas
struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi fungsional. Kematian akan
menyebabkan abortus, fetal death atau stillbirth pada manusia, tergantung pada
waktu terjadinya, sedangkan pada binatang akan menyebabkan resorbsi fetus.
Abnormalitas struktural dapat menyebabkan kematian jika sangat berat, akan
tetapi kematian juga dapat terjadi tanpa disertai anomali kongenital. Hambatan
pertumbuhan pada saat ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari
teratogenisitas, selain itu kondisi ini juga berhubungan dengan banyak faktor
lainnya seperti insufisiensi plasenta, faktor genetik dan lingkungan. Usia
kehamilan pada saat terpapar sangat menentukan organ atau jaringan target, tipe
defek, dan berat-ringannya kerusakan. Sebagian besar abnormalitas struktural
disebabkan oleh paparan selama periode organogenesis, yaitu kira-kira pada hari
ke 31 sampai 71 setelah hari pertama haid terakhir.
Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi perlu
dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil kehamilan yang buruk
yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe (1975) memperkirakan bahwa
sebanyak 80% hasil konsepsi manusia mengalami keguguran, bahkan keguguran
tersebut banyak yang terjadi sebelum diketahui ada kehamilan. Diperkirakan
separuh dari abortus dini ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Insiden
anomali kongenital diantara manusia adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak
diketahui sebabnya. Dari jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin
sebelumnya hanya sebesar 2% sampai 3%.

c. Teratogenisitas dalam periode perioperatif


Anestesia dan pembedahan dapat menyebabkan perubahan pada fisiologi ibu
sehingga mengakibatkan hipoksia, hiperkapnea, stress, abnormalitas temperatur
dan metabolisme karbohidrat. Kondisi-kondisi tersebut dapat bersifat teratogen itu
sendiri atau mereka dapat meningkatkan teratogenisitas agen-agen lainnya.
Hipoglikemia berat, hipoksia dan hiperkarbia yang lama dapat menyebabkan
anomali kongenital pada binatang dalam percobaan laboratorium,tetapi bukti
tersebut masih kurang kuat untuk mendukung teratogenisitas pada manusia setelah
mengalami kondisi tersebut dalam waktu singkat.
Ibu hamil yang mengalami hipoksemia kronis dapat menyebabkan bayi yang
dilahirkan mempunyai berat lahir rendah tetapi tidak ditemukan defek kongenital.
Radiasi pengion juga merupakan teratogen pada manusia, efek kelainan yang
muncul berhubungan erat dengan besar dosis yang diterima oleh ibu hamil.
Kelainan yang muncul mulai dari meningkatnya risiko kanker pada anak sampai
pada anomali kongenital atau kematian janin. Data pada binatang dan manusia
menunjukkan bahwa paparan radiasi sebesar 5 sampai 10 rad tidak akan
meningkatkan insiden anomali major atau restriksi pertumbuhan. Besar dosis
radiasi yang diterima oleh fetus pada foto polos thorak diperkirakan sebesar 8
milirad dan pada barium enema sebesar 800 milirad.

d. Teratogenisitas obat obat anestetik


Teratogenisitas tidak berkaitan dengan pemakaian obat-obat induksi yang
biasa digunakan, (seperti : barbiturat, ketamin, dan benzodiazepin) bila obat
tersebut diberikan dalam dosis klinis selama anestesia. Selain itu tidak ditemukan
bukti yang mendukung tentang teratogenisitas opioid pada manusia, bukti yang
ada menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan insiden anomali kongenital
diantara ibu hamil yang menggunakan morfin atau methadon selama kehamilan.
Data penelitian pada manusia menunjukkan adanya peningkatan
teratogenisitas pada pemberian tranquilizer. Dalam sebuah review, dilaporkan
bahwa insiden anomali kongenital berat sebesar 11% sampai 12% bila ibu hamil
mengkonsumsi meprobamat atau klordiazepoksid selama kehamilan dibandingkan
dengan insiden sebesar 4,6% bila ibu mengkonsumsi ansiolitik lainnya dan 2,6%
bila ibu tidak minum obat. Tetapi peneliti lain tidak mendapatkan adanya efek
merugikan berdasarkan penelitiannya dengan meprobamat atau klordiazepoksid
intrauterin.
Terapi benzodiazepin menjadi kontroversial setelah beberapa penelitian
melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam oleh ibu hamil selama
trimester pertama kehamilan dengan bayi yang menderita palatoschizis, dengan
atau tanpa labioschizis. Safra dan Oakley (1975) melakukan penelitian terhadap
278 ibu yang bayinya menderita malformasi berat; mereka mencatat bahwa pada
ibu yang mengkonsumsi diazepam mempunyai risiko empat kali lebih besar
bayinya menderita cleft mulut dibandingkan kelainan lainnya. Kedua peneliti
tersebut berkesimpulan bahwa risiko terjadi labioschizis sebesar 0,4% sedangkan
risiko palatoschizis sebesar 0,2%.
Penelitian juga melaporkan adanya hubungan antara konsumsi diazepam oleh ibu
hamil dengan kelainan cleft mulut. Seperti penelitian retrospektif pada 854 wanita
yang mengkonsumsi diazepam pada trimester pertama kehamilan, gagal
menunjukkan adanya peningkatan risiko akibat terapi dengan benzodiazepin.
Walaupun konsensus para ahli anestesi menyebutkan bahwa diazepam tidak
terbukti teratogen pada manusia, namun sebaiknya perlu dipertimbangkan rasio
untung ruginya sebelum memberikan obat ini untuk terapi jangka lama selama
trimester pertama kehamilan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
pemberian benzodiazepin (seperti midazolam) dosis tunggal selama tindakan
anestesi akan membahayakan fetus.

e. Teratogenisitas obat anestesi local


Prokain, lidokain dan bupivakain dapat menyebabkan efek sitotoksik yang
reversibel pada kultur fibroblast hamster.9 Akan tetapi, tidak ada bukti yang
mendukung adanya teratogenisitas morfologi atau behavioral akibat pemberian
lidokain pada tikus, dan juga tidak ada bukti yang mendukung adanya
teratogenisitas akibat penggunaan anestetik lokal pada manusia.
Penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil dapat menyebabkan outcome
kehamilan yang buruk, yaitu berupa abnormalitas perilaku neonatus, dan pada
beberapa penelitian disebutkan adanya peningkatan insiden defek kongenital pada
saluran genitourinaria dan gastrointestinal. Risiko yang paling besar pada fetus
akibat penyalahgunaan kokain oleh ibu hamil adalah tingginya insiden solusio
plasenta.
f. Teratogenisitas obat pelumpuh otot
Penelitian tentang teratogenisitas obat-obat pelumpuh otot dengan cara
standar secara in vivo pada binatang mengalami kesulitan dengan adanya depresi
respirasi dan kebutuhan akan ventilasi mekanis. Fujinaga dkk (1992)
menggunakan sistem kultur embrio tikus untuk menyelidiki toksisitas reproduktif
d-tubocurarine, pancuronium, atrakurium dan vecuronium dosis tinggi. Walaupun
toksisitas tersebut muncul dengan adanya penurunan panjang crown-rump
(kepala-pantat), berkurangnya jumlah pasangan somit, dan abnormalitas
morfologi, efek tersebut hanya terjadi pada konsentrasi plasma ibu sebesar 30 kali
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang ditemukan dalam praktek klinis. Obat-
obat ini mempunyai batas keamanan yang lebar jika diberikan pada ibu selama
fase organogenesis karena kadar obat dalam plasma fetus hanya sebesar 10%
sampai 20% dari konsentrasi dalam plasma ibu.Apakah obat ini bila diberikan
pada kehamilan yang telah lanjut dapat menyebabkan bahaya masih belum
diketahui dengan pasti.
Terdapat banyak wanita yang mendapat obat pelumpuh otot selama beberapa
hari pada saat hamil tua namun tidak ditemukan adanya efek merugikan pada
bayinya.

g. Teratogenisitas obat anestesi inhalasi


Penelitian epidemiologis yang dilakukan mulai tahun 1960 sampai tahun
1970 menunjukkan adanya bahaya reproduktif (seperti aborsi spontan, anomali
kongenital) pada pekerja dalam kamar operasi atau bedah mulut. Bahaya tersebut
disebabkan karena paparan agen-agen anestesi, terutama dengan gas nitro oksida.
Pada tahun 1980 an Cohen dkk melaporkan adanya peningkatan kejadian
abortus spontan sebesar dua kali lipat diantara perawat kamar operasi dokter gigi
yang terpapar. Insiden defek bayi yang dilahirkan oleh perawat kamar operasi
dokter gigi yang terpapar juga mengalami sedikit peningkatan dibandingkan
dengan perawat yang tidak terpapar. Akan tetapi, validitas hasil penelitian ini
masih diragukan; karena insiden anomali diantara dokter gigi yang tidak terpapar
sama dengan perawat kamar operasi yang terpapar. Secara keseluruhan
peningkatan risiko anomali kongenital akibat paparan kronis dengan gas nitro
oksida tidak didukung oleh data epidemologis yang ada.
Akhir-akhir ini dilaporkan adanya penurunan fertilitas diantara perawat
wanita yang bekerja dalam ruangan dokter gigi yang tercemar oleh gas nitro
oksida selama lebih dari 5 jam perminggu. Akan tetapi, karena kelompok yang
terkena efek hanya terdiri dari 19 orang maka sulit untuk diambil kesimpulan
berdasarkan data tersebut.
Penelitian terbaru tidak mampu membuktikan adanya hubungan antara
pekerjaan dalam kamar operasi dengan meningkatnya risiko reproduktif. Outcome
kehamilan baik pada perawat kamar operasi yang terpapar dan tidak terpapar
adalah sama.
Teratologi Behavioral
Telah diketahui sebelumnya bahwa beberapa agen anestesi dapat
menyebabkan abnormalitas tingkah laku tanpa disertai perubahan morfologi yang
nyata. Sistem saraf pusat (SSP) sangat sensitif terhadap berbagai pengaruh selama
periode myelinisasi, yang pada manusia terjadi pada bulan ke empat kehamilan
sampai dua bulan post natal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan
halotan selama periode intrauterin dalam waktu singkat dapat mempengaruhi cara
belajar selama post natal dan dapat menyebabkan degenerasi SSP dan penurunan
berat otak tikus. Sistem saraf pusat tikus sangat rentan terhadap efek hatothan selama
periode trimester kedua. Pemberian obat (seperti barbiturat, meperidin dan
promethazin) secara sistemik selama periode prenatal juga dapat menyebabkan
perubahan tingkah laku pada binatang, sedangkan pemberian lidokain tidak
menimbulkan efek apapun.
Jevtovic-Todorovic dkk(2003) menyebutkan bahwa agen-agen anestesi yang
dipakai belakangan ini bekerja melalui dua mekanisme utama yaitu potensiasi
reseptor asam gamma-aminobutirat (GABA) dan antagonistik reseptor N-metil-D-
aspartat (NMDA). Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan obat yang
bekerja melalui kedua mekanisme tersebut dapat menginduksi apoptosis neuronal
yang luas pada otak tikus yang sedang berkembang bila diberikan pada periode
synaptogenesis (yaitu periode growth-spurt otak). Jevtovic-Todorovic dkkjuga
mengamati bahwa pemberian obat anestesi general “cocktail” (midazolam, isofluran
dan nitro oksida) pada bayi tikus usia 7 hari dengan dosis yang cukup untuk
mempertahankan anestesi umum selama 6 jam akan menyebabkan neurodegenerasi
apoptosis luas pada otak yang berkembang, defisit fungsi sinaptik hipokampus dan
gangguan memori/belajar yang permanen. Mereka menyimpulkan bahwa defisit
tersebut terlalu ringan sehingga sulit dideteksi, tetapi akan menetap sampai dewasa.
Akan tetapi, implikasi pada fetus manusia akibat pemberian anestesi general masih
belum diketahui.

2.7 Penatalaksanaan Anestesi Pada Obstetri


Anestesi pada wanita hamil, terlepas dari durasi kehamilan, selalu merupakan
tantangan besar bagi ahli anestesi dan membutuhkan kerjasama multidisiplin yang erat. Hal
ini terkait dengan risiko terukur bagi ibu dan janin yang timbul dari prosedur yang
diterapkan. Personil yang berkualifikasi dan peralatan khusus, serta kemampuan untuk
melakukan berbagai jenis anestesi dan pengetahuan yang lancar tentang efek obat yang
digunakan memungkinkan untuk memprediksi dan secara efektif mencegah kemungkinan
komplikasi.
Lokasi patologi yang membutuhkan perawatan bedah pada wanita hamil menentukan
pilihan teknik anestesi yang mungkin. Konsultasi anestesi harus dilakukan lebih awal dan
memungkinkan penjelasan rinci tentang prosedur, optimalisasi kondisi umum, menugaskan
spesialis yang diperlukan dan tes laboratorium atau pencitraan tambahan. Teknik anestesi
yang diusulkan harus dipilih dengan mempertimbangkan indikasi dan kontraindikasi dan
harus seaman mungkin untuk ibu dan janin.
Efek obat-obatan pada sel-sel yang membelah dengan cepat pada trimester pertama
kehamilan dapat bersifat teratogenik dan menyebabkan gangguan organogenesis yang parah,
termasuk kelainan kongenital berat pada janin, termasuk keguguran. Kami tidak memiliki uji
acak yang menilai efek teratogenik obat anestesi pada janin, tetapi tampaknya dosis obat
anestesi yang digunakan secara rutin untuk berbagai teknik anestesi aman. Hal ini
dikonfirmasi oleh analisis bahan yang dikumpulkan dalam Studi Nasional Pencegahan Cacat
Lahir di Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa anestesi umum atau regional untuk
wanita hamil untuk prosedur dermatologis, gigi atau ginekologi, terutama di daerah serviks,
terlepas dari durasi kehamilan, tidak terkait dengan terjadinya malformasi kongenital .

Obat hipnotis yang digunakan untuk induksi anestesi umum termasuk thiopental,
propofol, amina. Propofol dan thiopental menyebabkan perubahan hemodinamik yang
sebanding pada ibu, dan penilaian Apgar pada bayi baru lahir tidak berbeda secara signifikan
tergantung pada yang mana yang digunakan [2]. Tidak seperti ketamin, setelah itu jumlah
bayi baru lahir secara signifikan lebih tinggi dengan hasil Apgar yang lebih rendah pada satu
dan lima menit bila digunakan untuk anestesi umum, dibandingkan dengan thiopental.
Digunakan secara intravena sebagai co-analgesik untuk operasi caesar di bawah anestesi
spinal, meningkatkan efek obat anestesi lokal, secara signifikan memperpanjang waktu
analgesia pasca operasi yang efektif tanpa efek samping yang signifikan bagi ibu, khas untuk
opioid. Obat opioid yang digunakan dalam kebidanan untuk anestesi umum atau bloker
sentral adalah fentanil, remifentanil, sufentanil dan morfin. Mereka dengan mudah mengatasi
penghalang plasenta, dapat menyebabkan depresi pernapasan pada janin dan mempengaruhi
skor Apgar pada bayi baru lahir, tetapi tampaknya perbedaan ini dibandingkan dengan
analgesia non-opioid tidak signifikan secara klinis .

Remifentanil adalah opioid short-acting untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dan
diberikan sebagai infus kontinu. Ini dapat menyebabkan depresi pernapasan jangka pendek
pada bayi baru lahir yang membutuhkan stimulasi taktil, dan bahkan ventilasi masker jangka
pendek, sementara itu memberikan stabilitas hemodinamik yang sangat baik bagi ibu dan
dapat mengurangi pemulihan selama operasi Caesar. Dexmedetomidine dengan dosis 5 g
diberikan suba rachnoid bersama-sama dengan bupivacaine untuk operasi caesar
meningkatkan efek anestesi bupivacaine, memperpanjang durasi blokade sensorik dan
analgesia, dan mengurangi kebutuhan analgesik lain.

Opioid lipofilik digunakan sebagai adjuvan pada blokade sentral. Fentanil dengan
dosis 25 g dan sufentanil dengan dosis 5 g dalam kombinasi dengan bupivakain hiperbarik
yang digunakan untuk anestesi spinal operasi caesar ditandai dengan efektivitas yang
sebanding, aman untuk ibu dan janin, sedangkan efek analgesik sufentanil berlangsung lebih
lama Sufentanil tidak memiliki efek negatif pada janin karena mengikat alpha1-glikoprotein
pada dosis di bawah 30 g.
Berdasarkan Jenis Anestesi, anestesi yang dapat digunakan pada ibu hamil seperti
berikut :

2.7.1 Anestesi Regional


Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls
nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara.Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional.Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891.Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal.Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural.Indikasi penggunaan
anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat
lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Teknik Anestesi yang direkomendasikan oleh American College of
Obstetricians and Gynocologist and American Society of Anestesiologist (ASA)
untuk section secarrea adalah Regional Anestesi (Spinal Anestesi) karena lebih
sedikit mendepresi janin sedangkan teknik general anestesi baik secara inhalasi
maupun intravena tetap dipersiapkan untuk bila regional anestesi mengalami
kesulitan ataupun kegagalan anestesi ataupun operasi section secarea berlangsung
lebih lama dari yang direncanakan
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki. Anestesi
ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain
hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain,
atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung,
kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti :
penjahitan kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan
untuk melakukan anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara
yang sudah maju, kebanyakan kasus persalinannya memerlukan tindakan
anastesia lumbal, sakral, atau kaudal.
Anastesia lumbal : Sering digunakanpersalinan pervaginam.
Anastesia Spinal :Sering digunakan untuk persalinan per abdominam/sectio
cesarea.

a. Keuntungan :
 Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin
dapat dicegah/dikurangi
 Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
 Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi
umum)
 Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia
regional sudah siap.

b. Kerugian
 Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
 Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
 Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction
Headache/ PDPH)
 Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.

c. Kontraindikasi
 Pasien menolak
 Insufisiensi utero-plasenta
 Syok hipovolemik
 Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi

Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:


-Pra Anestesi
Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan
pembedahan.Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah
elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat
waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah:
1. Informed consent kepada pasien dan keluarga terkait tindakan anastesia yang
akan dilakukan
2. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
3. Merencanakan dan memilih tehnik serta obat–obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
4. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American Society
of Anesthesiology).
ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faal, biokimiawi, dan psikiatris.Angka mortalitas 2%.
ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian/
live style terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi
organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan operasi
hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi
maupun tanpa operasi.Angka mortalitas 98%.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E

Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi:


Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/ pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dll.
5. Riwayat anestesi dan operasi yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan
anestesi, komplikasi dan perawatan intensif paska bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah.
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
9. Makanan yang terakhir dimakan

Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynx, tonsilla
palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
- Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
4. Memberikan analgesia, misal pethidin.
5. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin

Premedikasi diberikan berdasarkan atas keadaan psikis dan fisiologis pasien


yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu mempertimbangkan
umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat
anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat
tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi,
macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai
obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.
2. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam.
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil.
7. H2 reseptor antagonis, misal simetidine

- Prosedur Anastesi Spinal


Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital.Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien
dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut
beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramater- subarachnoid.
Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang subarachnoid
tersebut.Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik Pin prick test,
menggunakan jarum halus atau kapas.Daerah pungsi ditutup dengan kasa dan
plester, kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi.

Pembagian tingkat anestesi spinal:


1. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah
dan segmen sakrum.
2. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus/
Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
3. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
4. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah
thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
5. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.

- Obat Anastesi Spnial


1. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih kuat
dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi
daerah luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000.
derajat relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase
pengikatannya sebesar 82-96%.Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi
menjadi pipekoloksilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam
keadaan utuh , sebagian kecil sebagai PPX, dan sisanya metabolit-metabolit
lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk kehamilan, sama dengan mepivakain
dapat digunakan selama kehamilan dengan kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua
anestetika lokal, bupivakain adalah yang paling sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37 oC adalah 1,003-
1,008. Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS disebut
isobarik sedangkan yang lebih berat dari CSS adalah hiperbarik. Anestesi
lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yang diperoleh dengan
mencampur anestesi lokal dengan dekstrosa

- Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor-
faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
 Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
 Naiknya konsumsi oksigen
 Airway closure
 Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
 Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
 Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
 Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan

- Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan demikian pasien paska operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan.Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.

Bromage Scoring System


Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor ≤ 2 boleh pindah ke ruang perawatan

2.7.2 Anestesi Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio
cesarea.
a. Indikasi
 Gawat janin
 Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
 Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah
b. Keuntungan
 Induksi cepat
 Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
 Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.
c. Kerugian
 Risiko aspirasi pada ibu lebih besar
 Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat
 Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan
asidosis pada janin.
 Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas
dan morbiditas maternal.
d. Teknik
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit
sebelum operasi, observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus
digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien
diminta melakukan pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap,
dilakukan rapid-sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB
atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5 mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa
endotrakeal dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin
diinjeksikan melalui infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0%
sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5% halotan, sampai janin dilahirkan,
untuk mencegah ibu bangun.
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut
dapat menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2
mg methergin IM/ dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans
(N2O/narkotik/relaksan), atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang
kuat juga dapat digunakan dengan konsentrasi rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar

2.8 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi

Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidal diduga


walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Secara umum
komplikasi anestesi yang sring dijumpai antara lain :

1. Kerusakan Fisik

Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi antara


lain : pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisailis.

Pembuluh darah

Keasalahan teknik dapat menyebakan memar, eksavasai obat yang


dapat menyebabkan ulserasi kulit diatasnya, infeksi lokal, thromboflebitis
serta kerusakan struktur berdekatan, terutama asrteri dan vena. Beberapa
berapa obat yang mencakup benzodiazepin dan propanidid menyebakan
tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin menyebakan
thromboflebitis dan infeksi.

Intubasi

Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibaat intubasi trachea
oleh orang yang tidak berpengalaman kerusakn gigi geligi akan menjadi lebih
serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses
paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebakan
epistaksis yang tidak menyenangkan.dan kadang – kadang sonnde dapat
membentuk saluran dibawah mukosa hidung, intubasi hidung sering
memfraktura concha. Kerusakan pada struktur tonsila dan laring ( terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penaganan mulut posterior struktur
yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.

Saraf superfisialis

Tekanan langsunh terus merus akan merusak saraf, seperti poplitea


lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebakan “foot drop”,
fasilais sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabakan paralisis otot
wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondilus medialis, yang meyebakan
paralisis dan kehilangna sensasi dalam tangan serta nervus radialis sewaktu ia
mengelilingi humerus posterior, yang menyebakan “wrist drop”. Pleksus
Brachialis dapat dirusaj dengan meregangnya si atas caput humeri, jika lengan
diabduksiatau rotasi eksternal terlau jauh.

2. Pernapasan

Kompliksi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia


yang tidak terdeteksi, ateletsis, bronkhitis, bronkopnemonia, pneumonia
lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi dan superinfeksi.

Gagal pernapasna terutama merupakan fenoma psca bedah, biasanya


kombinsi kejadian. Kelemahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak
adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan
ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri bergabung untuk
menimbulkan gagal nafas restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian
narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.

3. Kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain hipotensi,


hipertensi, aritmia jantung, Hipotensi didefiniskan sebagi tekanan darah sistol
kurang dari 70 mmHg atau turun dari 25 % dari nilai sebelumnya. Hipotensi
dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan oleh perdarahan,
overdosis obat anestika, penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard,
aritmia, jhipertensi dan reaksi hipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot
dan reaksi transfusi.

4. Hati

Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh Halotan.


Insidens virus hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebh
lazim, yang diperkirakan sekitar 100 – 400 per sejuta pada satu watu. Anestesi
halotan berulang dalam interval 6 minggu mungkin harus dihindari.

5. Suhu Tubuh

Akibat venodilatasi perifer yang teta ditimbulkan anestesi menyebakan


penuruan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama, terutama dengan
pernapasan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebakan
pengembalian kesadaran tertunda, pernpasan dan perfusi perifer tidak adekuat.
Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen meningkat
sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah.

2.9 Terapi cairan

Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilamn
penanganan pasien kritis. Dalam langkah – langkah resusitasu, langkah D (“drug and Fluid
treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara
stimulan dengan langkah – langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life
saving” pada psien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena
muntah dan syok hipovolemik . dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan
terpenuhi.
2.9.1 Jenis Cairan dan Indikasinya

Secara garis besar , cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid
dan koloid.

1. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).


Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidakterbatas
dalam ruang intravaskuler adalah 20 – 30 menit. Beberapa peneliti
merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid
isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi
imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi
intravena prehospital. Ada 3 jenis tonisitas kristaloid , yaitu:

 Isotonis
Ketika kristaloid berisi sam dengan elektrolit plasma, ia
memilki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “ isotonik” ( Iso ,
sama., Tonik : Konsentrasi). Ketika memberikan Kristaloid isotonis,
tidak terjadi perpindahn yang signifikan antara cairan di dalam
intravaskular dan sel. Dengan demikia, hampir tidak ada atau minimal
osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah
didapat, mudah penyimpanan, bebas reaksi dapat segra dipakai untuk
mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan vikositas darah, dan
dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek sampiny yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada
jumlah pemberian yang besa. Contoh larutan kristaloid isotonis seperti
Ringer laktat, Normal saline (NaCl 0,9%), dan Dextrose 5 % dan ¼
NS.
 Hipertonis

Jika kristaloid bersisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, lebih


terkonsentrasi maka disebut sebagai “Hipertonik” (hiper : tinggi, tonik;
konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan
cairan tersebut akan mensrik ciran dari sel ke ruang intravaskular. Efek
larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah jantung. Efek
samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipenatremia
dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis seperti
Dekstrose 5 % dalam ½ NS, Dekstrose % dalam NS, Saline 3%, saline
5 % dan Dekstrose 5 % dalam Ringer Laktat.

 Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari
plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai ‘ hipotonik”( hipo;
rendah, tonik; konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan
akan dengan cepat berpindah dari intravaskular ke sel. Contoh larutan
kristaloid hipotonis seperti, Dekstrose 5 % dalam air, ½ normal saline.

2. cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul


tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung
bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk
resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hemorrhagik sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita
dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya
pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan
sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang
merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar dan operasi. Kerugian
dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan
reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross
match. Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
a. Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5% dan 25%).
Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%)
juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain albumin,aktivator
Prekalikrein (Hageman’s factorfragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan
sering menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
a. Koloid sintetik
 Dextran
 Hydroxylethyl Starch (HES)
 Gelatin
Berdasarkan penggunaannya, cairan intravena dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu:
1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV
cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka
dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan
elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa
signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau
masalah redistribusi internal yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan
perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk
memenuhi insensible losses (500-1000 ml), mempertahankan status normal tubuh
kompartemen cairan dan memungkinkan ekskresi ginjal dari produk-produk limbah
(500-1500 ml). Jenis cairan rumatan yang dapat digunakan seperti NaCl 0,9%,
glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan
yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau
glukosa salin.
2. Cairan Pengganti
Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik
untuk menutupi penggantian dari defisit cairan atau kehilangan cairan atau elektrolit
serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung, sehingga
harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang optimal. Cairan dan elektrolit
intravena pengganti dibutuhkan untuk menangani defisit yang ada atau kehilangan
yang tidak normal yang sedang berlangsung, biasanya dari saluran pencernaan
(ileostomy, fistula, drainase nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing
(saat pemulihan dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk
penggantian harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan
elektrolit seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan
terjaga. Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit,
kehilangan yang sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau
permasalahan kompleks lainnya. Periksa kehilangan cairan yang sedang berlangsung
dan perkirakan jumlahnya dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan cairan
melalui nasogastric tube, diare, kehilangan darah yang berlangsung. Periksa
redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa pembengkakan, sepsis
berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan pemeliharaan rutin,
mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain.
3. Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap gangguan
keseimbangan elektrolit.
4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak
mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi
parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral
parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian
nutrisi parenteral yaitu berupa:
 Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokutanateus, atresia
intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
 Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat, status
preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri
mesenterika, diare berulang.
 Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-
obstruksi dan skleroderma.
 Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan makan,
muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis gravidarum.
2.9.2 Terapi Cairan Perioperatif

Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau


defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah
seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan. National
Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa pasien
dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperatif dengan jumlah tidak
adekuat mengalami peningkatan angka mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien
yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang adekuat.
1. Terapi cairan prabedah
Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori
yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah untuk
mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan, untuk koreksi defisit puasa atau
dehidrasi diberikan cairan kristaloid, perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan
koloid atau transfusi.
2. Terapi cairan selama operasi
Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi kehilangan
cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang hilang
melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian
cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga volum intravaskular
(normovolemia) sehingga risiko terjadinya anemia dapat diatasi. Namun jika terjadi
anemia berat pada pasien dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Untuk
menentukan jumlah transfusi yang akan diberikan dapat ditentukan dari hematokrit
dan dengan menghitung estimated blood volume. Hal yang terpenting juga
berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur operasi yang akan pasien jalani.
Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan beberapa cara diantaranya
menghitung estimated blood volume yakni volume darah (65ml/kg untuk wanita
dewasa, 75 ml/kg untuk pria dewasa) dikalikan dengan berat badan pasien.Jumlah
perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan jumlah darah yang tertampung di
dalam botol penampung atau tabung suction, tambahan berat kasa yang digunakan (1
gram=1 ml darah), ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang
terukur ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain
penutup lapangan operasi).
3. Terapi cairan pasca bedah
Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah yang
dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan
nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah adalah:
a. Dewasa
 Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan
pemeliharaan
 Apabila pasien puasa dan diperkirakan <3 hari maka diberikan cairan nutrisi dasar
yang mengandung air, elektrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial.
 Apabila diperkirakan puasa >3 hari maka bisa diberikan cairan nutrisi yang sama
dan pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak
 Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk segera
diberikan nutrisi parenteral total.
b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya
berbeda, misalnya dilihat dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan lain-
lain.
c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia, penatalaksanaannya
disesuaikan dengan etiologinya.

2.9.3 Teknik Pemberian

Secara umum telah disepakati, bahwa pemberian terapi cairan dilakukan


melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi tertutup
atau terbuka.

1. Kanula Vena Perifer

Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah ekstremitas


atas berikutnya dilanjutkan pada vena ekstremitas bawah. Hindari vena di
daerah kepala karena sangat tidak terfiksasi sehingga mudah terjadi hematom.
Pada bayi baru lahir vena umbilikalis bisa dilakukan untuk kanulsi terutam
dalam keadaaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena perifer ini adalah
untuk :

 Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Aapabila lebih dari 3


hari harus pindah vena dan set infus harus diganti.
 Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk mengganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
 Terapi obat lain secra intravena yang diberikan yang diberikan secra
kontinyu atu berulang.

2. Kanulasi Vena Sentral


Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya untuk nutris
parenteral total, kanulsi dilakukan melaui vena subclavicula atau vena
jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melaui vena –
vena diatas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka. Tujuan dari kanulasi
vena sentral ini adalah :

 Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama untuk


cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk
mencegah iritasi pada vena.
 Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, kardiovaskular, vena
perifer sulit diindentifikasi.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Indentitas Pasien

Nama : Ny. M. M

TTL/Umur : 14-05-1990 ( 33 tahun)

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Abepura

Ruangan Rawat Inap : Ruang Bedah Wanita (RBW)

Tanggal Operasi : 28 Oktober 2022

3.2 Anamesa

3.2.1 Keluhan Utama

Keluar air – air dari jalan lahir

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke IGD ponek dengan keluhan keluar
air – air dari jalan lahir sejak pukul 08.00 SMRS. Mules – mules yang
dirasakan semakin sering dan bertambah kuat(+). Pasien Riwayat darah tinggi
sejak tahun 2017 setelah melahirkan anak kedua. Pasein mengakui tensi
meningkat apabila mengonsumsi daging. Sejak saat itu pasien sudah
mengontrol pola mana dengan tidaka makan daging lagi.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien didiagnosis dengan
G3P2A0 Gravida 41- 42 minggu + Janin presentasi kaki tunggal hidup + Sifilis +
KPD dan dilakukan tindakan Sectio caesarea pada 28 Oktober 2022

Riwayat Kejang : Disangkal

Riwayat Asma : Disangkal

Riwayat Hipertensi : (+) Sejak tahun 2017

Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal

Riwayat Penyakit kardiovaskuler : Disangkal

Riwayat Operasi sebelumnya :-


Riwayat Anestesi : -

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Diabetes Mellitus : Disangkal

Riwayat Asma : Disangkal

Riwayat Jantung : Disangkal

Riwayat Hipertensi : Disangkal

3.2.5 Riwayat Obat yang diminum : -

3.2.6 Riwayat Alergi


Riwayat Alergi Makanan : Disangkal

Riwayat Alergi Minuman : Disangkal

Riwayat Alergi Obat : Disangkal

3.2.7
1. Riwayat Kehamilan G3P3A0
No. Jenis Penolong BB Jenis Usia Hidup/Mati
Persalina Kelamin
n
1. Normal Bidan 4000g Laki – Laki 13 Hidup
2. Normal Bidan 2800g Laki – Laki 4 Hidup
3. Hamil ini - - - -

2. Riwayat Pernikahan
Usia Pernikahan: 14 tahun (sudah menikah sah)

3. Riwayat Menstruasi
Menarche :15 tahun
Siklus Haid : 28 hari ( Teratur)
3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda – Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 70 x /m

Respirasi : 20 x/m

Suhu badan : 36, 7

SpO2 : 99 %

Status Gizi : Tinggi Badan : 165 cm


Berat Badan : 75 kg

Indeks Masa Tubuh : 26, 67

STATUS GENERALIS

Kepala : Mata : Konjungtiva anemis (-/-), slera ikterik (-/-)


Pupil bulat, isokor D=S 3mm/ 3mm
Refleks Cahaya (+/+)
: Hidung : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
: Telinga : Deformitas (-), sekret (-), perdarahan (-)
: Mulut : Oral candidiasis (-), lidah kotor (-), faring
hiperemis (-) , Tonsil (T1 = T1), karies (-),
mallampati skor I
Leher : Pembesaran KGB (-) JVP normal

Paru
Inspeksi : Gerak Dinding dada simetris, retraksi dinding
dada (-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus Dekstra = Sinistra
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas Vesikuler (+/+) , rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Thoraks : Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat, thrill(-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V midline
Clavicula Sinistra
Perkusi : Pekak ( Batas Jantung Normal)
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler , murmur (-),
gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Tampak Cembung , jejas (-)
Palpasi : Supel (+) ,
Hepar / Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) , 2 – 4 x /menit
Ekstremitas : Akral : hangat, kering dan merah , CRT < 2”
Edema (-), Ulkus (-), fraktur (-) , kekuatan otot superior et
inferior : 5

STATUS OBSTETRI

Palpasi Leopold I
Leopold II
Leopold III
Leopold IV
DJJ
HIS
TBBJ
VT

Status Anestesi Pre Operasi

B1 Airway : bebas, spontan , Mallampati score I, gigi tanggal (-).


Breathing : thorax simetris, ikut gerak nafas, RR: 20 x/m , palpasi:
Vocal Fremitus D= S, perkusi : sonor, suara nafas vesikular +/+ ,
rhonki -/- , wheezing -/-
B2 Perfusi : hangat, kering, merah. Cappilarry Refill Time < 2 detik, BJ I-
II murni reguler , murmur (-), gallop (-), nadi : 70 x/m TD : 120/ 80
mmHg
B3 Kesadaran : Compos Mentis , GCS E4V5M6, riwayat kejang (-),
riwayat pingsan (-), Pupil Isokor, refleks Cahaya +/+
B4 BAK (+) , Terpasang DC
B5 Simetris, datar, BU 4- 5 x/ menit : hepar/ lien : tidak teraba , Nyeri
Ketok CVA (-)
B6 Akral Hangat (+) , CRT < 2” edema (-), Fraktur (-), deformitas(-)

3.4 Pemeriksaan Penunjang ( Laboratorium 28/10/2022)

Jenis Hasil Nilai Rujukan Satuan


Pemeriksaan
(Hematologi
Rutin)
HB 11,7 10,9-13,6 g/Dl
(Hemoglobin)
RBC (Eritrosit) 3,70 4,11-5,55 10^6/mm
HCT 33,0 35,2-46,7 %
(Hematokrit)
PLT (Trombosit) 208 216-451 10^3/mm3
WBC (Leukosit) 6,48 4,79 – 11,34 10^3/mm3
PT 11,6 10.2-12.1 Detik
APTT 32,3 24.8-34.4 Detik
PCR Swab Negatif

3.5 Konsultasi Terkait

Konsultasi Bagian Anestesi

Advice :

Pasien PS ASA II

Informed Consent dan SIA

Pasien Puasa 8 jam

Jam 06.00 Pre Op RL 20 Tpm makro dengan abocath 18 G

Siap darah WB 2 bag

3.6 Pemeriksaan PS ASA / Status Anestesi

Pasien PS ASA II

Penyakit sistemik ringan sampai sedang

3.7 Persiapan Operasi


Hari/Tanggal : 28- 10-2022
PersiapanOperasi : Informed consent (+), SIO (+), puasa (+)
Makan/
: 8 jam sebelumoperasi
MinumTerakhir
BB/TB : 75kg/165cm
Tekanan darah: 110/84 mmHg, Nadi: 89x/m, reguler,
TTV di Ruang
: kuat angkat, terisi penuh; respirasi: 20-22x/ menit;
Operasi
suhu badan:35,8 oC
SpO2 : 99%
DiagnosaPraBedah G3P2A0 Gravida 41- 42 minggu + Janin presentasi
:
kaki tunggal hidup + Sifilis + KPD
Airway:
Jalan napas bebas, bernapas spontan,
Look :
Mallampati Score: 1
Terasahembusannafaspasien di pipi
Feel :
pemeriksa.
Terdengarhembusan napas pasien,
Listen : Pasienbicaraspontan.

B1 :
Breathing:
Inspeks Gerakdinding dada simetris, retraksi sela
:
i iga (-), frekuensi napas: 20-22 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskult Suaranafasvesikuler (+/+), suararhonki
asi : (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: terabahangat, kering, warna:
merahmuda, Capillary Refill Time< 2”
Perfusi :
B2 : Nadi: 89x/m, reguler, kuat angkat, terisi
penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Batas atas : ICS II lineaparasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III lineaparasternalis
sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial
linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea
parasternalis dextra
Bunyi jantung I-II, regular, murmur(-),
Auskultasi :
gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-),riwayatpingsan (-),
B3 : : Nyeri kepala (-), pandangankabur (-),
Kesadaran
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)

B4 : Terpasangkateter, produksiurin (+) warnakuning.

Inspeks
: Tampak cembung
i
Supel (+),hepar dan lien
Palpasi :
B5 : tidakterabamembesar.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskult
: Bising usus (+), 2-4 kali/menit
asi
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill
B6 : Time< 2”, Edema (-), fraktur (-), ulkus (-),
kekuatanotot di ekstremitas superior et inferior: 5

3.8 Laporan Durante Operasi

LaporanAnestesi
Ahli Anestesiologi : dr. Albinus Y Cobis, Sp. An., M.Kes
Ahli Bedah : dr. Daniel H Usmany, Sp.OG
JenisPembedahan : Sectio Caesarea
Lama Operasi : 12.50 -13.30 WIT
Lama Anestesi : 12.30- 13.40 WIT
JenisAnestesi : SAB ( Spinal Arachnoid Block)
Anestesidengan : Bupivakain HCL 0,5%
Pasien duduk tegak di meja operasi dan
kepala menunduk, dilakukan disinfeksi di
daerah lumbal dengan betadine lalu

Teknik Anestesi : alcohol, identifikasi vertebra lumbal 3-4,


kemudian dilakukan blok subarachnoid
(injeksi bupivakain HCl 0,5% 10mg),
kemudian pasien dibaringkan.

Nafas Spontan dengan oksigenasi 2 -3


Pernafasan :
lpm
Posisi : Supine
Pada tangan kiri terpasang IV Line
Infus : Abocath No.18 dengan cairan Ringer
Laktat
(-)
PenyulitPembedahan :

Obat yang digunakan


Efedrin
Premedikasi :

Induksi dan Maintenance : Bupivacain HCL 0, 5 %

- Dexametazone10 mg(iv)
- Ranitidin50 mg (iv)
Medikasi Durante Operasi :
- Ondansentron 4 mg (iv)
- Asamtraneksamat 1 gr (iv)
- Paracetamol 1 gr (iv)

Tanda-tanda vital pada : Perfusi: dingin, kering, merah,


CRT<2”. Tekanandarah: 110/77
akhirpembedahan mmHg, Nadi: 94x/mnt, Respirasi: 22
x/mnt, SpO2 : 99%

Observasi Durante Operasi

Jam Tekanan Darah Nadi

12.20 106/84 mmHg 89 x/m

12.20 100/63 mmHg 84 x/m

12.30 110/70 mmHg 82 x/m

12.40 110/64 mmHg 88 x/m

13.50 105/68 mmHg 89 x/m

13.10 114/63 mmHg 83 x/m

13.20 100/78 mmHg 87 x/m

13.30 113/68 mmHg 90 x/m

13.40 117/74 mmHg 93 x/m

3.9 LaporanOperasi
Nama Pasien Ny. MM
Umur 30 tahun
Nomor DM 495339
Nama Ahli Bedah dr. Daniel H Usmany, Sp.OG
Nama Perawat Br. Fahmi
Nama Ahli Anestesi dr. Albinus Y. Cobis, Sp.An., M.Kes
Jenis Anestesi Spinal Arachnoid Block
G3P2A0 Gravida 41- 42 minggu + Janin
Diagnosis Pre Operatif
presentasi kaki tunggal hidup + Sifilis + KPD
P3A0 Partus Maturus dengan Sc a/ i letak kaki
Diagnosis Post Operatif
+ Sifilis + KPD
Tanggal Operasi 28-10-2022
Jam mulai operasi 12.50 WIT
Jam selesai operasi 13.30WIT
Lama operasi berlangsung ± 40 menit
Laporan Operasi:
1. Pasien posisi supine
2. Aseptik antiseptic dimejaoperasi
3. Persempitdenganduksteril
4. Insisi pfannenstiel
5. Insisi Semilunar pada SBR
6. Lahirkan anak (12.56) jenis kelamin : laki – laki BB : 3000 gram PB :
51 cm AS : 6/8
7. Plasenta Lahir lengkap 13.00 WIT
8. Dinding uterus ditutup lahpis demi lapis
9. Kontrol Pendarahan
10. Dinding Abdomen di tutup lapis demi lapis
11. OperasiSelesai
Intruksi Post Operasi
1. Awasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan dan kontraksi uterus
2. IVFD RL 1000 cc/24 jam + oxytocyn 20 IU
3. IVFD D 5 ½ Ns 1000 cc 20 tpm
4. Inj. Antrain / 8 jam
5. Inj. Ranitidine / 12 jam
6. Inj Paracetamol / 6 jam
7. Boleh makan dan minum
8. Cek keadaan umum
9. Mobilisasi
10. GV Luka
3.1 TerapiCairan

Cairan yang Dibutuhkan Aktual


Pre Operasi Pre Operasi
Pre Operasi
- Kebutuhan cairan harian 40-50 cc/kgBB/hari Input : RL ±500 cc
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 Output: Urine : 100 cc
jam
75 kg x 40 - 50 cc = 3000 cc – 3.750 cc/hari
Kebutuhan cairan per Jam:
3.000 cc – 3.750cc: 24 =125cc –
156,25cc/jam
2. Replacement
Pengganti puasa 8 jam
8 jam x kebutuhan cairan per jam
8 x 125 – 156, 25 cc/jam = 1000cc – 1250cc
Kebutuhancairanselamaoperasi 40 menit Durante Operasi
Durante
1. Maintenance
Operasi
Kebutuhan cairan per Jam 125 -156,25cc/ Total Input :750 cc
Jam  RL 250 cc
40  Gelofusal 500 cc
Untuk 40menit = 125 – 156,25 cc/jam
60
= 83,33 – 104.16
Total Output :
Urin : 100cc
2. Replacement
Perdarahan : 200
EBV = 65 cc x BB = 65 x 75 kg
= 4875cc
EBL =
10% x 2.210= 487,5cc
20% x 2.210=975 cc
30% x 2.210 = 1462,5 cc

Kristaloid2 – 4 x EBL :
2 – 4 x 1000cc =2000 cc s/d 4000 cc
Koloid 1 x EBL :
1 x 1000 = 1000 cc

3. Pergantian kehilangan cairan karena


penguapan selama operasi
Operasi kecil : 4-6 ml x BB
Operasi sedang : 6 - 8 ml x BB
Operasi besar : 8 - 10 ml x BB
BB x jenis operasi sedang =
6-8cc x 75 kg= 450-600cc/jam
7,5 – 10 cc / menit
Lama operasi (40 menit)
Selama40menitoperasi, cairan yang hilang:
40 x 7,5-10 cc = 300-400 cc dlm 40 menit
Total kebutuhan cairan durante operatif :
Maintenance + Replacement + Penguapan
= (125 – 156, 25 cc) + (83,3 –104, 16cc) +
(300- 400cc)
= 508,3 – 660,41 cc
POST OPERASI Post Operasi
Kebutuhan Cairan Harian: Input :
1. Maintenance Volume cairan:
Kebutuhancairan x BB /24 jam IVFD RL 1000 cc/24 jam + oxytocyn 20
40-50cc x 75 kg= 3000-3.750 cc/24jam IU
125– 156,25 cc/jam
IVFD D 5 ½ Ns 1000 cc 20 tpm
Total input : 2000 / 24 jam
2. Replacement
Kebutuhancairan post operasiselama 8
Output :
jam = 125 – 156,25 cc/jamx 8 jam =
Urin : 700 cc
1000 – 1250cc

KebutuhanElektrolit :
 Natrium: 2-4 mEq/kgBB/hari
= 150-300 mEq/24 jam
= 18,75-37,5 mEq/8 jam
 Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari
=75-225mEq/24 jam
= 9,375-28,125mEq/8 jam
 Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari
= 1875-2250 kkal/24 jam
= 234,375-281,25kkal/8 jam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, Seorang pasien perempuan dengan usia 30 Tahun menjalani operasi
Sectio Caesarea dengan jenis anestesi regional anestesi subarachnoid block (SAB).
Berdasarkan pemeriksaan preoperative serta konsultasi ke bagian terkait, pasien dalam kasus
ini dikategorikan dalam PS ASA II (pasien dengan penyakit sistemik ringan, aktivitas rutin
tidak terbatas), sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society
of Anesthesiologist.
4.1 Apakah Penatalaksanaan Anestesi pada pasien ini sudah tepat?

Penatalaksanaan anestesi pada pasien dalam kasus ini adalah dengan anestesi
block subarachnoid. Hal ini sesuai dengan salah satu indikasi anestesi blok
subarachnoid yang digunakan pada operasi di daerah perineal (anal, rectum bagian
bawah, vaginal, dan urologi). Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena
relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan
kemampuan mencegah respon stress lebih sempurna. Pasien dianestesi spinal dengan
Bupivacain 0,5% 4 mg pada posisi duduk antara vertebra L3–L4. Anestesi spinal
dihasilkan apabila disuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di
daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau L4 - L5.Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis.Hal ini dikarenakan pada
batas atas adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan adanya
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Bupivakain merupakan anestesi lokal isobarik yang bekerja dengan cara
berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influks natrium kedalam inti
sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Hal ini dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki
selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf
nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.Pemilihan jenis
anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat karena pengaruh sistemik minimal,
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress.
Setelah induksi, beberapa obat anestesi juga diberikan untuk rumatan anestesi
diantaranya Sedacum, yang memberikan efek sedasi namun tidak menekan pernapasan,
serta Fentanil, sebagai opioid diberikan dengan tujuan untuk memberikan analgesia
yang cukup pada pasien dan aman diberikan pada orang tua. Pasien juga diberikan
ranitidin dan ondansentron.Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2
(AH2).Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara
selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi
volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan penurunan volume
cairan lambung. Ondansentron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara
selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.Pada
pasien tidak ditemukan mual dan muntah. merupakan golongan obat antihistamin
reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2
secara selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansentron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah.Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah.

4.2 Apa Critical Point pada Pasien ini ?

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing system organ dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Problem Actual Potensial Antisipasi
List
B1 Airway bebas, malampati Sumbatan jalan napas Pengguanaan tampon,
score :II , gigi palsu (-), akibat aspirasi darah, ETT, O2 nasal atau
thoraks simetris, ikut obstruksi oleh gigi masker sesuai saturasi
gerak napas, RR: 20 x/m, yang dicabut, dan O2, chin lift, suction bila
perkusi: sonor, suara ‘jatuhnya’pangkal perlu
napas vesikuler +/+, lidah.
ronkhi-/-, wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, Hipovolemik, Resusitasi cairan,
merah. Capilarry Refill Overload, monitoring vital sign
Time < 2 detik, Bradikardia,
TD :120/700 mmHg, BJ: hipotensi, hipertensi,
I-II murni regular, perdarahan
konjungtiva anemis -/-

B3 Kesadaran Compos Penurunan kesadaran, Observasi kesadaran


Mentis,riwayat kejang peningkatan TIK (GCS), tanda-tanda TTIK
(-), riwayat pingsan (-) akibat obat anestesi.
B4 Miksi (+) normal, Retensi urin Rehidrasi, Monitoring
defekasi (+) normal produksi urin
B5 Perut tampak cembung, Risiko refluks Pemberian Ranitidin dan
nyeri tekan (-), BU (+) gastroesofageal saat ondansentron
normal, hepar dan lien operasi.
tidak teraba membesar
B6 Akral hangat (+), edema Posisikan pasien dengan
(-), fraktur (-), kontraktur tepat
(-), hemiplegia (-)

4. 3 Apakah pemberian terapi dan resusitasi cairan Pre-Operatif pada pasien ini
sudah tepat ?
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri merupakan
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus kristaloid atau koloid secara intravena.
Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.
Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu
Ringer Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 8 jam sebesar 1000cc – 1250cc aktualnya
input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.

4.4 Apakah terapi dan resusitasi cairan Durante Operatif pada pasien ini sudah
tepat ?
- Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi.

- Total kebutuhan cairan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan maintenance


durante operasi pada kasus ini adalah berjumlah 83cc – 104,16 pada kasus
diberikan 750 cc dan bisa mencukupi kebutuhan replacement pasien dengan berat
badan 75 kg dan dengan lama operasi 40 menit

4.5 Bagaimana Penatalaksanaan Anestesi Pada Kehamilan dengan Sifilis ?

Gawat janin disebut juga Green Code menunjukkan suatu keadaan bahaya
yang secara serius mengancam kesehatan janin. Ada beberapa kemungkinan penyebab
gawat janin, namun biasanya gawat janin terjadi karena beberapa mekanisme yang
bereksinambungan. Faktor yang dapat menyebebkan gawat janin adalah faktor ibu,
faktor uteroplasental, dan faktor janin. Faktor ibu salah satunya adalah infesksi berat
seperti malaria, sifilis, TBC, HIV.

Manajemen Anestesi pada Green Code :


Anestesi obstetri berbeda dari anestesi bedah lainnya karena waktu untuk
persiapan operasi dan anestesi dapat diubah dari beberapa jam hingga hanya
beberapa menit untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi yang belum
lahir. Manejemen anestesi sendiri untuk kasus obstetri ada beberapa macam
tahapan yaitu :

1. Persiapan Preoperatif
Pilihan teknik anestesi harus sesuai dengan situasi klinis. Jika waktu
adalah faktor pembatas, diperlukan anestesi general karena teknik ini
menawarkan waktu induksi yang lebih cepat (Dongare dan Nataraj, 2018).
Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan anestesi general adalah aspirasi
isi lambung dan kesulitan saat intubasi trakea. Kematian yang terkait dengan
anestesi umum umumnya terkait dengan masalah jalan nafas, seperti
ketidakmampuan untuk intubasi, ketidakmampuan untuk ventilasi, atau
aspirasi pneumonitis. Anestesi regional adalah metode yang disukai untuk
operasi caesar pada wanita sehat, namun anestesi general masih diperlukan
dalam kasus-kasus tertentu. Kematian berhubungan dengan anestesi regional
umumnya terkait dengan penyebaran blockade dermatomal yang berlebihan
atau lokal toksisitas anestesi (Morgan dan Mikhail, 2013).
Evaluasi pra-anestesi untuk operasi caesar darurat harus dengan
assessment yang cepat untuk menentukan risiko jalan napas sulit, perdarahan
obstetrik dan risiko aspirasi. Investigasi pra operasi yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, blood grouping dan cross matching dan jika
benar-benar diperlukan fungsi ginjal, tes fungsi hati dan profil koagulasi (Lie
dan Mok, 2017).
Semua pasien yang akan melakukan operasi caesar perlu dipersiapkan
untuk anestesi umum dan tindakan untuk mencegah perdarahan. Persiapan pra
operasi termasuk resusitasi dalam rahim janin yang diantaranya adalah
menghentikan oksitosin, pasien posisi tidur miring ke kiri, pemberian oksigen,
pemberian cairan kristaloid, vasopresor intravena jika tekanan darah menurun,
obat tokolitik seperti terbutaline 250mcg (s.c), pemberian profilaksis aspirasi
asam, persiapan jalan nafas yang sulit, mengamankan akses intravena (harus
memiliki 2 akses IV), persiapan pencegahan perdarahan dan pemantauan
invasif jika diperlukan. Natrium sitrat oral, ranitidine, dan metoclopramide IV
dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi asam (Smith dkk, 2011).

2. Anestesi Regional

Pada anestesi regional, pasien harus menerima bolus kristaloid intravena yang
tepat yaitu Ringer laktat (biasanya 1000-1500 mL) atau koloid (biasanya 250-500
mL) pada saat blokade saraf. Bolus semacam itu tidak akan konsisten mencegah
hipotensi tetapi sebenarnya dapat menghilangkan hipovolemia yang sudah ada
sebelumnya. Setelah injeksia nestesi lokal, fenilefrin dapat dititrasi untuk
mempertahankan tekanan darah. Pemberian efedrin (5-10 mg) mungkin diperlukan
pada pasien hipotensi dengan berkurangnya detak jantung. Keuntungan dari anestesi
regional meliputi :
a. Kurang paparan neonatal terhadap obat-obatan yang berpotensi depresan,

b. Penurunan risiko aspirasi paru ibu,

c. Ibu yang terjaga saat kelahiran anaknya.


Bila dibandingkan dengan teknik epidural, anestesi spinal memiliki onset lebih
cepat dan dapat diprediksi; dapat menghasilkan blok yang lebih baik; dan tidak
memiliki potensi toksisitas obat sistemik yang serius karena dosis anestesi lokal yang
lebih kecil. Terlepas dari teknik regional yang dipilih, seseorang harus siap untuk
memberikan anestesi umum kapan saja selama prosedur (Morgan dan Mikhail, 2013).

3. Anestesi Umum
Anestesi umum juga memfasilitasi manajemen jika terjadi komplikasi
hemoragik parah. Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru, potensi
ketidakmampuan untuk intubasi atau ventilasi pasien, dan depresi janin yang
diinduksi obat. Akan tetapi, teknik anestesi saat ini membatasi dosis agen intravena
sehingga depresi janin biasanya tidak bermakna secara klinis dengan anestesi umum
ketika kelahiran terjadi dalam 10 menit induksi anestesi. Terlepas dari jenis anestesi,
neonatus yang dilahirkan lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memiliki skor Apgar
dan nilai pH yang lebih rendah (Morgan dan Mikhail, 2013). Masalah utama dengan
anestesi umum untuk persalinan sesar adalah timbulnya kesadaran ibu yang terkait
dengan penggunaan dosis kecil dan anestesi konsentrasi rendah dengan tujuan
meminimalkan efek pada neonatal. Aspirasi paru dari isi lambung dan kegagalan
intubasi endotrakeal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu terkait
dengan anestesi umum. Semua pasien harus menerima profilaksis terhadap
pneumonia aspirasi dengan 30 mL natrium sitrat 30-45 menit sebelum induksi. Pasien
dengan faktor risiko tambahan yang memengaruhi aspirasi juga harus menerima
ranitidine intravena, 50 mg, atau metoclopramide, 10 mg, atau keduanya, 1-2 jam
sebelum induksi; faktor-faktor tersebut termasuk obesitas morbid, gejala
gastroesophageal reflux, jalan napas sulit, atau bedah persalinan tanpa periode puasa
elektif (Morgan dan Mikhail, 2013).
Antisipasi dari intubasi endotrakeal yang sulit dapat membantu mengurangi
kejadian kegagalan intubasi. Pemeriksaan leher, mandibula, gigi, dan orofaring
membantu memprediksi pasien mana yang mungkin mengalami masalah. Prediktor
yang berguna untuk intubasi sulit meliputi klasifikasi Mallampati, leher pendek,
mandibula yang menyusut, gigi seri rahang atas yang menonjol, dan riwayat intubasi
sulit. Insiden intubasi yang gagal pada pasien hamil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien bedah yang tidak hamil mungkin karena edema jalan napas, gigi penuh,
atau payudara besar yang dapat menghalangi pegangan laringoskop pada pasien
dengan leher pendek. Posisi kepala dan leher yang tepat dapat memfasilitasi intubasi
endotrakeal pada pasien obesitas.
Teknik yang Disarankan untuk Seksi Caesar yaitu sebagai berikut (Morgan
dan Mikhail, 2013) :

1. Pasien ditempatkan terlentang dengan irisan di pinggul kanan bawah untuk


perpindahan rahim kiri.

2. Denitrogenasi dilakukan dengan oksigen 100% selama 3-5 menit.

3. Pasien disiapkan dan dibungkus untuk operasi.

4. Ketika dokter bedah siap, induksi urutan cepat dengan tekanan krikoid dilakukan
menggunakan propofol, 2 mg / kg, atau ketamin, 1-2 mg / kg, dan suksinilkolin, 1,5 mg / kg.
Ketamin digunakan sebagai pengganti propofol pada pasien hipovolemik. Agen-agen lain,
termasuk methohexital dan etomidate, memberikan sedikit manfaat pada pasien.

5. Dengan beberapa pengecualian, operasi dimulai hanya setelah penempatan yang


tepat dari endotrakeal tube terkonfirmasi. Hiperventilasi berlebihan (PaCO2 <25 mm Hg)
harus dihindari karena dapat mengurangi aliran darah uterus dan telah dikaitkan dengan
asidosis janin.

6. Lima puluh persen nitro oksida dalam oksigen dengan hingga 0,75 MAC dari zat
volatil konsentrasi rendah (misalnya, 1% sevoflurane, 0,75% isoflurane, atau 3%
desflurane) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis volatil yang rendah
membantu memastikan amnesia tetapi umumnya tidak cukup untuk menyebabkan
relaksasi uterus yang berlebihan atau mencegah kontraksi uterus setelah oksitosin.
Relaksan otot dengan durasi sedang (atracurium, cisatracurium, atau rocuronium)
digunakan untuk relaksasi, tetapi dapat menyebabkan blokade neuromuskuler yang
berkepanjangan pada pasien yang menerima magnesium sulfat.
7. Setelah neonatus dan plasenta lahir, 20–80 unit oksitosin ditambahkan ke cairan
intravena, dan ditambahkan 20 unit untuk cairan berikutnya.

8. Jika rahim tidak berkontraksi dengan mudah, opioid harus diberikan, dan agen
terhalogenasi harus dihentikan. Methylergonovine (Methergine), 0,2 mg intramuskular atau
dalam 100 mL salin normal sebagai infus intravena lambatjuga dapat diberikan tetapi dapat
meningkatkan tekanan darah arteri.

9. Pada akhir operasi, relaksan otot sepenuhnya terbalik, pasien diekstubasi.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan


cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau
daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel.
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai subarachnoid block (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh
bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat
bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Dalam kasus ini
menggunakan jenis anestesi Regional Anestesi (RA)-Subarachoid Block (SAB), dengan
menggunkan Bupivacaine 0,5 %. Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalan
Bupivacaine 0,5%. Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi.
Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).Definisi ini tidak mencakup pengeluaran
janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen.

Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan


kepala difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavumuteri. Dikenal
beberapa jenis letak sunsang, yakni presentasi bokong,presentasi bokong kaki
sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki

Ketuban Pecah dini atau KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada
tanda-tanda persalinan

Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut
dapat ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta.
Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan
bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. WHO tetap
menyatakan bahwa sifilis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting
pada masa kehamilan.

5.2 Saran

Perhatikan Tanda – Tanda Vital Sebelum dilakukan anestesi, ketika diberikan


obat - obat anestesi, melihat kembali perhitungan dan kebtuhan cairan pasien agar
dapat tercukupi

Anda mungkin juga menyukai