Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir Kepanitraan Klinik Madya di SMFAnestesi
Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura.
Disusun Oleh:
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
KEPANITRAAN KLINIK MADYA SMF ANESTESI DAN REANIMASI
RSUD JAYAPURA
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit baik disertai dengan
atau tanpa kehilangan kesadaran. Ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain
yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk
menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Anestesi menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan.
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani An “tidak, tanpa” dan athesos
“Persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan untuk
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum, dan analgesia regional. Anestesi
umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek otonomik minimal) yang
reversibel akibat pemberian obat-obatan. Jalur masuknya obat ke dalam tubuh untuk
menghasilkan efek anestesi dapat berupa Anestesi inhalasi, anestesi intravena, anestesi
intravaskular, anestesi perrektal adalah sub bagian dari-anestesi umum. Anestesi lokal
(atau mungkin lebih tepat analgesi lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh,
keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi
gabungan
Anestesi regional dapat meliputi spinal, epidural dan caudal. Anestesi spinal juga
disebut sebagai blok subarachnoid (SAB) umumnya digunakan pada operasi tubuh
bagian bawah, seperti ekstremitas bawah, perineum, maupun abdomen bagian bawah.
Anestesia regional dapat dipergunakan sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat
bahwa anestesia regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hypovolemia
Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah
tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestetikum
regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera
reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestetikum yang
digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang
dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu.
Banyaknya manfaat analgesia regional, khususnya analgesia spinal yang sudah lebih
sering digunakan dibandingkan analgesia regional blok sentral yang lain, sehingga tindakan
analgesia spinal cukup sering digunakan pada tindakan pembedahan yang sesuai dengan
indikasi, Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.
Diperkirakan bahwa sekitar 2% wanita hamil menjalani anestesi selama kehamilan,
untuk operasi yang tidak terkait dengan persalinan.Angka ini mungkin jauh lebih tinggi pada
trimester pertama dimana kehamilan mungkin tidak terdeteksi pada saat operasi.Sekitar 42%
dari prosedur terjadi pada trimester pertama, 35% selama trimester kedua dan 23% selama
trimester ketiga. Usus buntu, torsi ovarium dan trauma adalah indikasi yang lebih umum
untuk intervensi bedah.Untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, perlu
pertimbangan mengenai perubahan fisiologis dan farmakologis yang terjadi selama
kehamilan, karena perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua.
Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian yang
cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain. Sedangkan bagian
yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan ekstraseluler dibagi menjadi
plasma darah sebanyak 5% dan cairan interstitial sebanyak 15%. Cairan antarsel khusus
disebut cairan transeluler, seperti cairan serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum,
dan lain-lainnya. Dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit
utama yang berbeda. Elektrolit utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida,
sedangkan elektrolit utama dalam cairan intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan
fosfat. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga
dan mempertahankan fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia.
Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian rupa agar
keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi gangguan
keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh pada yang
lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang berlebih pada
kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss) secara berlebihan oleh
paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi
cairan agar volume cairan tubuh yang hilang, dengan segera dapat digantikan.
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan
pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan per hari,
mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi terapi cairan melalui
intravena adalah salah satu rute terapi yang paling umum dan penting dalam pengobatan
pasien bedah, medis dan sakit kritis.
Sectio Caesarea merupakan suatu prosedur pembedahan yang saat ini umum
dilakukan pada proses persalinan. Secti Caesarea merupakan persalinan buatan dimana janin
dilahirkan memalui insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim dengan syarat dinding
rahim dalam keadaan utuh serberat janin diatas 500 gram. Menurt Mochtar sectio caesarea
adalah suatu cara melahirkna janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui
depan perut untuk melahirkan janin dari dalam rahi. Negara maju yang memiliki prevalensi
tertinggi angka kelahiran dengan Sectio Caesarea. Tindakan operasi sectio caesarea dilakukan
untuk mencegah kematian janin maupun ibu yang dikarenakan bahaya atau komplikasi yang
akan terjadi apabila ibu melahirkan secara pervaginam.
Letak sungsang merupakan keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala
difundus uteri dan bokong berada di bagian bawah kavumuteri. Dikenal beberapa jenis letak
sunsang, yakni presentasi bokong,presentasi bokong kaki sempurna, presentasi bokong kaki
tidak sempurna dan presentasi kaki.
Ketuban Pecah dini atau KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-
tanda persalinan. Menurut Nugroho, ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunyamelahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten). Hal ini
dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm
adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang
terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
Angka kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) yang dilaporkan, bahwa lebih banyak
terjadi pada kehamilan cukup bulan yaitu sekitar 66%, sedangkan pada kehamilan preterm
terjadi sekitar 34%. 6-19% ibu mengalami ketuban pecah dini secara spontan sebelum
persalinan dan 86% ibu yang mengalami ketuban pecah dini menjalani persalinan spontan
dalam waktu24 jam. 2011 jumlah persalinan adalah 379 orang. Jumlah persalinan dengan
KPD sebanyak 11,08 %. Dan pada tahun 2012 jumlah persalinan sebanyak 364 orang. Jumlah
persalinan dengan KPD sebanyak 13,74 %
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum. Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana infeksi ini
dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis yang menyerupai
banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah serta
ditularkan dari ibu ke janin.
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut dapat
ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta. Paradigma lampau
menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan bermanifestasi sebagai sifilis
kongenital yang tidak dapat dihindari. WHO tetap menyatakan bahwa sifilis merupakan
penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting pada masa kehamilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
s
2.1.4. Perubahan Metabolik
Sebagai akibat dari peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama
masa kehamilan ,termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks, maka laju
metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 % selama mendekati
masa akhir dari kehamilan. Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal
tersebut, maka wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan.
Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi untuk aktivitas
otot lebih besar daripada normal.
UBF= UAP-UVP
UVR
UBF = uterine blood flow
UAP = uterine arterial pressure
UVP = uterine venous pressure
UVR = uterine vascular resistance
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut
terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade
simpatis.Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau
durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat
dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran darah.
2.2 Seksio Sesarea
2.2.1. Definisi
Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen
(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi).Definisi ini tidak mencakup
pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan
abdomen.
2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea
Indikasi Absolut
Menurut Norwitz (2008), indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas :
a. Berasal dari ibu
- Induksi persalinan yang gagal
- Disproporsi sefalopelvik
b. Uteroplasenta
- Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)
- Malpresentasi janin
Indikasi Relatif
Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008):
a. riwayat ibu
- bedah sesar elektif berulang
- penyakit ibu
b. uteroplasenta
- riwayat bedah uterus sebelumnya
- presentasi funik pada saat persalinan
c. janin
- malpresentasi janin
- makrosomia
- kelainan janin
Insisi Abdominal
Umumnya digunakan insisi abdomen secara midline vertikal atau
transversal suprapubik. Hanya dalam keadaan tertentu insisi paramedian atau
midtransversum digunakan .
Insisi Abdominal Vertikal
Abdomen biasanya dimasuki melalu insisi vertikal garis tengah yang
rendah meskipun kadang-kadang insisi abdominal transversal dapat digunakan
untuk seksio sesarea klasik.Insisi garis tengah biasanya mengikuti linea nigra
dan memanjang dari umbilikus sampai simfisis pubis.Setelah menginsisi
jaringan subkutan, insisilah rafe garis tengah secara tajam dan masuki
peritoneum parietal dengan diseksi tajam.Umumnya, setelah melakukan insisi
vertikal dilakukan penjahitan pada lapisan peritoneal dengan poliglikolik 00
atau 0.Jaringan fasia ditutup dengan jahitan terputus menggunakan benang
berukuran 0 yang dapat diserap atau tidak dapat diserap.Setelah jaringan
subkutan didekatkan kembali, kulit ditutup.
Insisi Uterus
Pada umumnya insisi pada uterus dibuat pada segmen bawah rahim
secara transversal seperti dinyatakan oleh Kerr pada tahun 1921 atau seperti
yang dinyatakan oleh Kronig pada tahun 1912.Segmen bawah uterus relatif
kurang vaskular dibandingkan korpus uteri, sehingga diharapkan perdarahan
yang terjadi tidak seberat dibandingkan pada seksio sesarea secara klasik. Insisi
lain yaitu insisi klasik, merupakan insisi vertikal pada korpus uteri hingga ke
fundus dan insisi ini jarang digunakan. Insisi pada segmen bawah rahim
mempunyai keuntungan yaitu hanya membutuhkan sedikit pembebasan
kandung kemih dari myometrium.
Menurut (Sagita, 2017) ketuban pecah dini ditandai dengan keluarnya cairan
berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan dapat dinyatakan
pecah dini terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. Cairan keluar melalui
selaput ketuban yang mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai
28 minggu dan setidaknya satu jam sebelum waktu kehamilan yang sebenarnya.
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum persalinan mulai pada
tahapan kehamilan manapun (Arma, dkk 2015).
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau biasa disebut dengan (PROM, Premature
Rupture of Membrane) merupakan suatu kondisi dimana ketuban pecah sebelum
proses persalinan dengan usia gestasi ≥37minggu. Namun jika ketuban pecah pada
usia gestasi <37 minggu disebutketuban pecah dini pada kehamilan premature
(PPROM, PretermPremature Rupture of Membrane) (Tanto, 2014).
KPD dalam keadaan normal akan pecah menjelang proses persalinan yaitu
terjadi pada pembukaan <4 cm (fase laten). Ketuban Pecah Dini dapat terjadi pada
akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktu melahirkan. KPD preterm merupakan
KPD yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah
KPD yangterjadi lebih dari 12 jam sebelum waktu melahirkan (Nugroho, 2012).
Normalnya selaput ketuban akan pecah pada akhir kala 1 atau awal kala
2persalinan. Ketuban juga dapat pecah sampai saat mengedan, sehingga harus
dilakukan amniotomi (memecahkan ketuban) (Norma, 2013).
2.4.2 Epidemiologi
Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 12,9 juta kelahiran (9,6%) di seluruh
dunia adalah prematur. Sekitar 11 juta (85%) dari kelahiran prematur tersebut
terkonsentrasi di Afrika dan Asia. Sekitar 45-50% penyebab dari kelahiran prematur
adalah idiopatik, 30% terkait dengan KPD dan 15-20% dikaitkan dengan indikasi
medis.
Menurut Eastman, insidensi ketuban pecah dini ini berkisar 12 % dari semua
kehamilan normal. Sekitar 70% kasus ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan di
aterm, namun di pusat rujukan, lebih dari 50% kasus dapat terjadi pada kehamilan
preterm.
Angka kejadian KPD di Indonesia sendiri masih cukup tinggi. Data yang
diperoleh dari RSUD Dr. H. Soewondo menyebutkan kejadian KPD pada tahun 2011
sebanyak 445 sedangkan pada tahun 2012 meningkat sebanyak 542 penderita.
2.4.3 Etiologi
b. Hidramnion
e. Kehamilan ganda
Adapun hasil penelitian yang dilakukan (Rahayu and Sari 2017) mengenai
penyebab kejadian ketuban pecah dini pada ibu bersalin bahwa kejadian KPD
mayoritas pada ibu multipara, usia ibu 20-35 tahun, umur kehamilan ≥37 minggu,
pembesaran uterus normal dan letak janin.
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina,
aroma air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, berwarna pucat,
cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena uterus diproduksi sampai kelahiran
mendatang. Tetapi, bila duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu,
demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
capat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Sunarti, 2017).
.
2.4.5 PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya KPD masih belum dapat ditentukan secara pasti. Dalam
kebanyakan kasus, berbagai faktor risiko saling berinteraksi sebagai penyebab KPD,
mesikupun secara garis besar KPD dapat terjadi karena lemahnya selaput ketuban, di
mana terjadi abnormalitas berupa berkurangnya ketebalan kolagen atau terdapatnya
enzim kolagenase dan protease yang menyebabkan depolimerisasi kolagen sehingga
elastisitas dari kolagen berkurang.
Pada penelitian Ning Li, dkk (China, 2013) menunjukkan hasil kultur bakteri
sekret vagina (+) sebesar 30,2% pada wanita yang mengalami KPD, sedangkan pada
kelompok kontrol sebesar 10,76%. Tingkat infeksi saluran genital secara signifikan
lebih tinggi pada kasus KPD dibandingkan dengan kelompok kontrol, sehingga
infeksi saluran reproduksi dan kejadian KPD sangat terkait.
Kelemahan selaput ketuban dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang
terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu infeksi asenderen oleh bakteri, aktifitas
enzim phospolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin, interleukin
maternal, endotoksin bakteri, dan produksi enzim proteolitik yang menyebabkan
lemahnya selaput ketuban. Sedangkan dilepaskannya radikal bebas dan reaksi
peroksidase dapat merusak selaput ketuban.
Kehamilan kembar dan polihidramnion dapat meningkatkan tekanan
intrauterin. Ketika terdapat juga kelainan selaput ketuban, seperti kehilangan
elastisitas dan pengurangan kolagen, peningkatan tekanan tersebut jugs akan
memperlemah kondisi selaput ketuban janin dan dapat menyebabkan KPD.
Kondisi posisi janin yang abnormal dan Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)
dapat menyebabkan kegagalan kepala janin memasuki pintu masuk panggul. Panggul
yang kosong dapat mengakibatkan tekanan intrauterin yang tidak merata disebabkan
oleh cairan ketuban yang memasuki rongga kosong tersebut sehingga dapat
menyebabkan KPD.
Faktor rendahnya vitamin C dan ion Cu dalam serum juga berpengaruh
terhadap produksi struktur kolagen yang menurun pada kulit ketuban.
Faktor-faktor seperti trauma kelahiran dan kelainan kongenital pada struktur
serviks yang rentan dapat merusak fungsi otot pada serviks. Konsekuensinya adalah
serviks akan melonggar sehingga membuat bagian depan kulit cairan ketuban dapat
dengan mudah mendesak ke dalam, menyebabkan tekanan yang tidak merata pada
kapsul cairan ketuban
2.4.7 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Pasien merasakan adanya cairan yang keluar secara tiba-tiba dari jalan lahir
atau basah pada vagina. Cairan ini berwarna bening dan pada tingkat lanjut dapat
disertai mekonium.
b. Pemeriksaan inspekulo
Terdapat cairan ketuban yang keluar melalui bagian yang bocor menuju
kanalis servikalis atau forniks posterior, pada tingkat lanjut ditemukan cairan amnion
yang keruh dan berbau.
c. Pemeriksaan USG
Ditemukan volume cairan amnion yang berkurang / oligohidramnion, namun
dalam hal ini tidak dapat dibedakan KPD sebagai penyebab oligohidramnion dengan
penyebab lainnya.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang
digunakan adalah adanya Leukositosis maternal (lebih dari 15.000/uL), adanya
peningkatan C-reactive protein cairan ketuban serta amniosentesis untuk mendapatkan
bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang banyak
atau bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).
Tes lakmus (Nitrazine Test) merupakan tes untuk mengetahui pH cairan, di
mana cairan amnion memiliki pH 7,0-7,5 yang secara signifikan lebih basa daripada
cairan vagina dengan pH 4,5-5,5. jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban. Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-7,5.
Namun pada tes ini, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan positif palsu.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah Tes Fern. Untuk melakukan tes,
sampel cairan ditempatkan pada slide kaca dan dibiarkan kering. Pemeriksaan diamati
di bawah mikroskop untuk mencari pola kristalisasi natrium klorida yang berasal dari
cairan ketuban menyerupai bentuk seperti pakis
2.4.8 KOMPLIKASI
a. Prematuritas
Masalah yang berisiko terjadi pada persalinan prematur antara lain
respiratory distress syndrome, neonatal feeding problem, hypothermia,
retinophaty of prematurity, necrotizing enterocolitis, intraventricular
hemorrhage, brain disorder sepsis, anemia, hyperbilirubinemia
b. Prolapse funiculli/ penurunan tali pusat
Pecahnya ketuban dapat terjadi oligohidramnion sehingga tali pusat
tertekan dan terjadi hipoksia. Semakin sedikit volume air ketuban maka janin
semakin dalam keadaan gawat (Tanto, 2014).
c. Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi).
Hal ini dapat mengakibatkan kompresi tali pusat, partus lama,
ensefalopaty, perdarahan intracranial, respiratory distress, renal failure,
cerebral palsy, apgar score rendah, prolapse uteri.
d. Sindrom deformitas janin
Hal ini terjadi akibat oligohidramnion sehingga dapat menyebabkan
hypoplasia paru, deformitas ekstermitas dan pertumbuhan janin terhambat.
e. Morbiditas dan mortalitas perinatal
Kematian neonatal setelah mengalami KPD aterm dikaitkan dengan
infeksi yang terjadi, sedangkan kematian pada KPD preterm banyak
disebabkan oleh sindrom gangguan pernapasan. Pada penelitian Patil, dkk
(India,2014) KPD berkepanjangan meningkatkan risiko infeksi pada neonatal
sekitar 1,3% dan sepsis sebesar 8,7%. Infeksi dapat bermanifestasi sebagai
septikemia, meningitis, pneumonia, sepsis dan konjungtivitis. Insiden
keseluruhan dari kematian perinatal dilaporkan dalam literatur berkisar dari
2,6 hingga 11%.
2.4.9 PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan konservatif
1) Rawat dirumah sakit
2) Beri antibiotik : bila ketuban pecah >6 jam (ampisillin 4x500 mg atau
gentamisin 1x80 mg)
3) Umur kehamilan <32-34 minggu : dirawat selama air ketuban masih keluar
atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
4) Bila usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid untuk memacu
pematangan paru, namun jika masih keluar cairan ketuban, maka usia 35
minggu dilakukan terminasi kehamilan
5) Nilai tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda infeksi intrauterine)
b. Penatalaksanaan aktif
1) Kehamilan >35 minggu : induksi oksitosin, bila gagal lakukan SC
Cara induksi : 1 ampul syntocinon dalam dektrose 5%, dimulai 4 tetes/menit,
tiap ¼ jam dinaikkan 4 tetes sampai maksimum 40 tetes/menit.
2) Pada keadaan letak lintang dilakukan SC
3) Bila ada tanda infeksi : beri antibiotik dosis tinggi dan akhiri persalinan
2.5 Sifilis Pada Kehamilan
2.5.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh
bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama
perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten tanpa
manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.
2.5.2 Gejala Klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian
menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar
bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel.
Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan di
sulkus koronal pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi
ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang
terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8
minggu tanpa meninggalkan bekas luka.
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder penyakit
dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin
masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis
sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa
yang terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh
tubuh. Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala,
serta malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala
tersebut dapat mengalami remisi spontan dan menghilang dalam 2 – 6 minggu.
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat
pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan
dan pasien akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa
tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis
pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit,
tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis harus
berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala sifilis
tersier.
Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, adalah
penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang menjadi ciri tiga
trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua.
Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
b. Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian oksigen
c. Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
d. Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)
2.6.1 Perubahan Respon Anestesi
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi
obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan
menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%8. Selain terjadi penurunan
MAC agen-agen anestesi inhalasi, dosis thiopental yang dibutuhkan juga berkurang
sejak awal kehamilan.
Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang
diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-
vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural
menjadi lebih sempit.
Pada pasien hamil juga dapat terjadi blokade saraf yang lebih luas pada anestesi
spinal atau epidural. Selain itu kehamilan juga meningkatkan respon terhadap blokade
saraf perifer. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf
akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran
reseptor (enhanced diffusion).
Pada kehamilan juga terjadi penurunan konsentrasi albumin sehingga fraksi obat bebas
dalam darah meningkat, akibatnya resiko toksisitas obat selama kehamilan juga
meningkat.
a. Risiko teratogenisitas
Agen-agen anestesi dapat menyebabkan perubahan besar pada ibu hamil
berupa hipoksia dan hipotensi berat sehingga dapat berbahaya bagi fetus. Selain
efek tersebut, saat ini perhatian juga ditujukan pada risiko teratogen dari obat-obat
anestesi.
Teratogenisitas mempunyai pengertian sebagai setiap perubahan post natal
yang signifikan baik dalam fungsi atau bentuk setelah terapi yang diberikan
selama periode prenatal. Perhatian akan adanya efek merugikan agen-agen
anestesi berawal dari efek obat tersebut yang telah diketahui pada sel-sel mamalia.
Efek merugikan tersebut terjadi dalam rentang dosis terapi dan perubahan sel
irreversibel yang terjadi dapat berupa berkurangnya motilitas sel, pemanjangan
waktu sintesis DNA, dan inhibisi pembelahan sel.
b. Prinsip-prinsip teratogenisitas
Terdapat sejumlah faktor penting yang mempengaruhi potensi
teratogenisitas suatu substansi antara lain adalah suseptibilitas spesies, dosis obat,
durasi dan waktu terpapar, dan predisposisi genetik.
Interaksi antara dosis obat dengan waktu pemberian juga sangat penting.
Teratogen dengan dosis kecil dapat menyebabkan malformasi atau kematian pada
embrio yang masih awal, sedangkan dosis yang lebih besar mungkin kurang
berbahaya pada fetus.
Manifestasi teratogenisitas antara lain adalah kematian, abnormalitas
struktur, hambatan pertumbuhan, dan defisiensi fungsional. Kematian akan
menyebabkan abortus, fetal death atau stillbirth pada manusia, tergantung pada
waktu terjadinya, sedangkan pada binatang akan menyebabkan resorbsi fetus.
Abnormalitas struktural dapat menyebabkan kematian jika sangat berat, akan
tetapi kematian juga dapat terjadi tanpa disertai anomali kongenital. Hambatan
pertumbuhan pada saat ini dianggap sebagai salah satu manifestasi dari
teratogenisitas, selain itu kondisi ini juga berhubungan dengan banyak faktor
lainnya seperti insufisiensi plasenta, faktor genetik dan lingkungan. Usia
kehamilan pada saat terpapar sangat menentukan organ atau jaringan target, tipe
defek, dan berat-ringannya kerusakan. Sebagian besar abnormalitas struktural
disebabkan oleh paparan selama periode organogenesis, yaitu kira-kira pada hari
ke 31 sampai 71 setelah hari pertama haid terakhir.
Dalam menentukan kemungkinan teratogenistas agen anestesi perlu
dipertimbangkan dengan tingginya angka kejadian hasil kehamilan yang buruk
yang terjadi secara alami. Robert dan Lowe (1975) memperkirakan bahwa
sebanyak 80% hasil konsepsi manusia mengalami keguguran, bahkan keguguran
tersebut banyak yang terjadi sebelum diketahui ada kehamilan. Diperkirakan
separuh dari abortus dini ini disebabkan oleh abnormalitas kromosom. Insiden
anomali kongenital diantara manusia adalah sebesar 3% dan sebagian besar tidak
diketahui sebabnya. Dari jumlah tersebut yang terpapar obat atau toksin
sebelumnya hanya sebesar 2% sampai 3%.
Obat hipnotis yang digunakan untuk induksi anestesi umum termasuk thiopental,
propofol, amina. Propofol dan thiopental menyebabkan perubahan hemodinamik yang
sebanding pada ibu, dan penilaian Apgar pada bayi baru lahir tidak berbeda secara signifikan
tergantung pada yang mana yang digunakan [2]. Tidak seperti ketamin, setelah itu jumlah
bayi baru lahir secara signifikan lebih tinggi dengan hasil Apgar yang lebih rendah pada satu
dan lima menit bila digunakan untuk anestesi umum, dibandingkan dengan thiopental.
Digunakan secara intravena sebagai co-analgesik untuk operasi caesar di bawah anestesi
spinal, meningkatkan efek obat anestesi lokal, secara signifikan memperpanjang waktu
analgesia pasca operasi yang efektif tanpa efek samping yang signifikan bagi ibu, khas untuk
opioid. Obat opioid yang digunakan dalam kebidanan untuk anestesi umum atau bloker
sentral adalah fentanil, remifentanil, sufentanil dan morfin. Mereka dengan mudah mengatasi
penghalang plasenta, dapat menyebabkan depresi pernapasan pada janin dan mempengaruhi
skor Apgar pada bayi baru lahir, tetapi tampaknya perbedaan ini dibandingkan dengan
analgesia non-opioid tidak signifikan secara klinis .
Remifentanil adalah opioid short-acting untuk induksi dan pemeliharaan anestesi dan
diberikan sebagai infus kontinu. Ini dapat menyebabkan depresi pernapasan jangka pendek
pada bayi baru lahir yang membutuhkan stimulasi taktil, dan bahkan ventilasi masker jangka
pendek, sementara itu memberikan stabilitas hemodinamik yang sangat baik bagi ibu dan
dapat mengurangi pemulihan selama operasi Caesar. Dexmedetomidine dengan dosis 5 g
diberikan suba rachnoid bersama-sama dengan bupivacaine untuk operasi caesar
meningkatkan efek anestesi bupivacaine, memperpanjang durasi blokade sensorik dan
analgesia, dan mengurangi kebutuhan analgesik lain.
Opioid lipofilik digunakan sebagai adjuvan pada blokade sentral. Fentanil dengan
dosis 25 g dan sufentanil dengan dosis 5 g dalam kombinasi dengan bupivakain hiperbarik
yang digunakan untuk anestesi spinal operasi caesar ditandai dengan efektivitas yang
sebanding, aman untuk ibu dan janin, sedangkan efek analgesik sufentanil berlangsung lebih
lama Sufentanil tidak memiliki efek negatif pada janin karena mengikat alpha1-glikoprotein
pada dosis di bawah 30 g.
Berdasarkan Jenis Anestesi, anestesi yang dapat digunakan pada ibu hamil seperti
berikut :
a. Keuntungan :
Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin
dapat dicegah/dikurangi
Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam
persalinan.
Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi
umum)
Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia
regional sudah siap.
b. Kerugian
Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction
Headache/ PDPH)
Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun,
sehingga kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.
c. Kontraindikasi
Pasien menolak
Insufisiensi utero-plasenta
Syok hipovolemik
Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu
tubuh.
3. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
1) Mallampati I: palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynx, tonsilla
palatina dan tonsilla pharyngeal
2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior
3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula
4) Mallampati IV: palatum durum saja
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung.
5. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi.
6. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
- Premedikasi Anastesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun
tujuan dari premedikasi antara lain:
1. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
2. Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam.
3. Membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam.
4. Memberikan analgesia, misal pethidin.
5. Mencegah muntah, misal : domperidol, metoklopropamid.
6. Memperlancar induksi, misal : pethidin.
7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin.
8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.
9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin
- Penatalaksanaan
1. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obat–obat narkotik, anestesi
umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktor-
faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
Naiknya konsumsi oksigen
Airway closure
Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
- Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan paska operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room
yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar
merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan demikian pasien paska operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan
perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan
pembedahan.Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
1. Kerusakan Fisik
Pembuluh darah
Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibaat intubasi trachea
oleh orang yang tidak berpengalaman kerusakn gigi geligi akan menjadi lebih
serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses
paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebakan
epistaksis yang tidak menyenangkan.dan kadang – kadang sonnde dapat
membentuk saluran dibawah mukosa hidung, intubasi hidung sering
memfraktura concha. Kerusakan pada struktur tonsila dan laring ( terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penaganan mulut posterior struktur
yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
Saraf superfisialis
2. Pernapasan
3. Kardiovaskuler
4. Hati
5. Suhu Tubuh
Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan keberhasilamn
penanganan pasien kritis. Dalam langkah – langkah resusitasu, langkah D (“drug and Fluid
treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah penting yang dilakukan secara
stimulan dengan langkah – langkah lainnya. Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life
saving” pada psien yang menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena
muntah dan syok hipovolemik . dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan
terpenuhi.
2.9.1 Jenis Cairan dan Indikasinya
Secara garis besar , cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid
dan koloid.
1. Cairan Kristaloid
Isotonis
Ketika kristaloid berisi sam dengan elektrolit plasma, ia
memilki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “ isotonik” ( Iso ,
sama., Tonik : Konsentrasi). Ketika memberikan Kristaloid isotonis,
tidak terjadi perpindahn yang signifikan antara cairan di dalam
intravaskular dan sel. Dengan demikia, hampir tidak ada atau minimal
osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah, mudah
didapat, mudah penyimpanan, bebas reaksi dapat segra dipakai untuk
mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan vikositas darah, dan
dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek sampiny yang perlu
diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada
jumlah pemberian yang besa. Contoh larutan kristaloid isotonis seperti
Ringer laktat, Normal saline (NaCl 0,9%), dan Dextrose 5 % dan ¼
NS.
Hipertonis
Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari
plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai ‘ hipotonik”( hipo;
rendah, tonik; konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan
akan dengan cepat berpindah dari intravaskular ke sel. Contoh larutan
kristaloid hipotonis seperti, Dekstrose 5 % dalam air, ½ normal saline.
2. cairan Koloid
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. M. M
Alamat : Abepura
3.2 Anamesa
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien didiagnosis dengan
G3P2A0 Gravida 41- 42 minggu + Janin presentasi kaki tunggal hidup + Sifilis +
KPD dan dilakukan tindakan Sectio caesarea pada 28 Oktober 2022
3.2.7
1. Riwayat Kehamilan G3P3A0
No. Jenis Penolong BB Jenis Usia Hidup/Mati
Persalina Kelamin
n
1. Normal Bidan 4000g Laki – Laki 13 Hidup
2. Normal Bidan 2800g Laki – Laki 4 Hidup
3. Hamil ini - - - -
2. Riwayat Pernikahan
Usia Pernikahan: 14 tahun (sudah menikah sah)
3. Riwayat Menstruasi
Menarche :15 tahun
Siklus Haid : 28 hari ( Teratur)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Nadi : 70 x /m
Respirasi : 20 x/m
SpO2 : 99 %
STATUS GENERALIS
Paru
Inspeksi : Gerak Dinding dada simetris, retraksi dinding
dada (-), jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus Dekstra = Sinistra
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas Vesikuler (+/+) , rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Thoraks : Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat, thrill(-)
Palpasi : Iktus Cordis teraba pada ICS V midline
Clavicula Sinistra
Perkusi : Pekak ( Batas Jantung Normal)
Auskultasi : Bunyi jantung I – II reguler , murmur (-),
gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Tampak Cembung , jejas (-)
Palpasi : Supel (+) ,
Hepar / Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bising usus (+) , 2 – 4 x /menit
Ekstremitas : Akral : hangat, kering dan merah , CRT < 2”
Edema (-), Ulkus (-), fraktur (-) , kekuatan otot superior et
inferior : 5
STATUS OBSTETRI
Palpasi Leopold I
Leopold II
Leopold III
Leopold IV
DJJ
HIS
TBBJ
VT
Advice :
Pasien PS ASA II
Pasien PS ASA II
B1 :
Breathing:
Inspeks Gerakdinding dada simetris, retraksi sela
:
i iga (-), frekuensi napas: 20-22 kali/menit
Palpasi : Vocal fremitus dextra = sinistra.
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskult Suaranafasvesikuler (+/+), suararhonki
asi : (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: terabahangat, kering, warna:
merahmuda, Capillary Refill Time< 2”
Perfusi :
B2 : Nadi: 89x/m, reguler, kuat angkat, terisi
penuh
Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Batas atas : ICS II lineaparasternalis
sinistra
Pinggang : ICS III lineaparasternalis
sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial
linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea
parasternalis dextra
Bunyi jantung I-II, regular, murmur(-),
Auskultasi :
gallop (-)
Compos Mentis, GCS:E4V5M6 = 15,
Riwayat kejang (-),riwayatpingsan (-),
B3 : : Nyeri kepala (-), pandangankabur (-),
Kesadaran
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)
Inspeks
: Tampak cembung
i
Supel (+),hepar dan lien
Palpasi :
B5 : tidakterabamembesar.
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskult
: Bising usus (+), 2-4 kali/menit
asi
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary Refill
B6 : Time< 2”, Edema (-), fraktur (-), ulkus (-),
kekuatanotot di ekstremitas superior et inferior: 5
LaporanAnestesi
Ahli Anestesiologi : dr. Albinus Y Cobis, Sp. An., M.Kes
Ahli Bedah : dr. Daniel H Usmany, Sp.OG
JenisPembedahan : Sectio Caesarea
Lama Operasi : 12.50 -13.30 WIT
Lama Anestesi : 12.30- 13.40 WIT
JenisAnestesi : SAB ( Spinal Arachnoid Block)
Anestesidengan : Bupivakain HCL 0,5%
Pasien duduk tegak di meja operasi dan
kepala menunduk, dilakukan disinfeksi di
daerah lumbal dengan betadine lalu
- Dexametazone10 mg(iv)
- Ranitidin50 mg (iv)
Medikasi Durante Operasi :
- Ondansentron 4 mg (iv)
- Asamtraneksamat 1 gr (iv)
- Paracetamol 1 gr (iv)
3.9 LaporanOperasi
Nama Pasien Ny. MM
Umur 30 tahun
Nomor DM 495339
Nama Ahli Bedah dr. Daniel H Usmany, Sp.OG
Nama Perawat Br. Fahmi
Nama Ahli Anestesi dr. Albinus Y. Cobis, Sp.An., M.Kes
Jenis Anestesi Spinal Arachnoid Block
G3P2A0 Gravida 41- 42 minggu + Janin
Diagnosis Pre Operatif
presentasi kaki tunggal hidup + Sifilis + KPD
P3A0 Partus Maturus dengan Sc a/ i letak kaki
Diagnosis Post Operatif
+ Sifilis + KPD
Tanggal Operasi 28-10-2022
Jam mulai operasi 12.50 WIT
Jam selesai operasi 13.30WIT
Lama operasi berlangsung ± 40 menit
Laporan Operasi:
1. Pasien posisi supine
2. Aseptik antiseptic dimejaoperasi
3. Persempitdenganduksteril
4. Insisi pfannenstiel
5. Insisi Semilunar pada SBR
6. Lahirkan anak (12.56) jenis kelamin : laki – laki BB : 3000 gram PB :
51 cm AS : 6/8
7. Plasenta Lahir lengkap 13.00 WIT
8. Dinding uterus ditutup lahpis demi lapis
9. Kontrol Pendarahan
10. Dinding Abdomen di tutup lapis demi lapis
11. OperasiSelesai
Intruksi Post Operasi
1. Awasi keadaan umum, tanda vital dan perdarahan dan kontraksi uterus
2. IVFD RL 1000 cc/24 jam + oxytocyn 20 IU
3. IVFD D 5 ½ Ns 1000 cc 20 tpm
4. Inj. Antrain / 8 jam
5. Inj. Ranitidine / 12 jam
6. Inj Paracetamol / 6 jam
7. Boleh makan dan minum
8. Cek keadaan umum
9. Mobilisasi
10. GV Luka
3.1 TerapiCairan
Kristaloid2 – 4 x EBL :
2 – 4 x 1000cc =2000 cc s/d 4000 cc
Koloid 1 x EBL :
1 x 1000 = 1000 cc
KebutuhanElektrolit :
Natrium: 2-4 mEq/kgBB/hari
= 150-300 mEq/24 jam
= 18,75-37,5 mEq/8 jam
Kalium :1-3 mEq/kgBB/hari
=75-225mEq/24 jam
= 9,375-28,125mEq/8 jam
Kalori : 25-30 mg/kgBB/hari
= 1875-2250 kkal/24 jam
= 234,375-281,25kkal/8 jam
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, Seorang pasien perempuan dengan usia 30 Tahun menjalani operasi
Sectio Caesarea dengan jenis anestesi regional anestesi subarachnoid block (SAB).
Berdasarkan pemeriksaan preoperative serta konsultasi ke bagian terkait, pasien dalam kasus
ini dikategorikan dalam PS ASA II (pasien dengan penyakit sistemik ringan, aktivitas rutin
tidak terbatas), sesuai dengan klasifikasi penilaian status fisik menurut The American Society
of Anesthesiologist.
4.1 Apakah Penatalaksanaan Anestesi pada pasien ini sudah tepat?
Penatalaksanaan anestesi pada pasien dalam kasus ini adalah dengan anestesi
block subarachnoid. Hal ini sesuai dengan salah satu indikasi anestesi blok
subarachnoid yang digunakan pada operasi di daerah perineal (anal, rectum bagian
bawah, vaginal, dan urologi). Anestesi blok subaraknoid banyak digunakan karena
relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan
kemampuan mencegah respon stress lebih sempurna. Pasien dianestesi spinal dengan
Bupivacain 0,5% 4 mg pada posisi duduk antara vertebra L3–L4. Anestesi spinal
dihasilkan apabila disuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subaraknoid di
daerah antara vertebra L2 - L3 atau L3 - L4 atau L4 - L5.Jarum spinal hanya dapat
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis.Hal ini dikarenakan pada
batas atas adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan adanya
penyatuan vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi.
Bupivakain merupakan anestesi lokal isobarik yang bekerja dengan cara
berikatan secara intraselular dengan natrium dan memblok influks natrium kedalam inti
sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Hal ini dikarenakan serabut saraf yang
menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki
selubung mielin, maka bupivakain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf
nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang
mempunyai selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.Pemilihan jenis
anestesi pada pasien ini dianggap sudah tepat karena pengaruh sistemik minimal,
menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respon stress.
Setelah induksi, beberapa obat anestesi juga diberikan untuk rumatan anestesi
diantaranya Sedacum, yang memberikan efek sedasi namun tidak menekan pernapasan,
serta Fentanil, sebagai opioid diberikan dengan tujuan untuk memberikan analgesia
yang cukup pada pasien dan aman diberikan pada orang tua. Pasien juga diberikan
ranitidin dan ondansentron.Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2
(AH2).Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara
selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi
volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan penurunan volume
cairan lambung. Ondansentron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara
selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah.Pada
pasien tidak ditemukan mual dan muntah. merupakan golongan obat antihistamin
reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2
secara selektif sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dari sel parietal sejalan dengan penurunan
volume cairan lambung. Ondansentron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah.Pada pasien tidak ditemukan mual dan muntah.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam tatalaksana
anestesi pada kasus ini. Critical point pada masing-masing system organ dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Problem Actual Potensial Antisipasi
List
B1 Airway bebas, malampati Sumbatan jalan napas Pengguanaan tampon,
score :II , gigi palsu (-), akibat aspirasi darah, ETT, O2 nasal atau
thoraks simetris, ikut obstruksi oleh gigi masker sesuai saturasi
gerak napas, RR: 20 x/m, yang dicabut, dan O2, chin lift, suction bila
perkusi: sonor, suara ‘jatuhnya’pangkal perlu
napas vesikuler +/+, lidah.
ronkhi-/-, wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, Hipovolemik, Resusitasi cairan,
merah. Capilarry Refill Overload, monitoring vital sign
Time < 2 detik, Bradikardia,
TD :120/700 mmHg, BJ: hipotensi, hipertensi,
I-II murni regular, perdarahan
konjungtiva anemis -/-
4. 3 Apakah pemberian terapi dan resusitasi cairan Pre-Operatif pada pasien ini
sudah tepat ?
Selain penentuan pemilihan anestesi pada pasien ini, juga dipertimbangkan
mengenai terapi cairan selama masa perioperative. Terapi cairan sendiri merupakan
tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis
dengan cairan infus kristaloid atau koloid secara intravena.
Kebutuhan cairan pre-operatif bertujuan untuk menggantikan kehilangan cairan
selama puasa dan untuk memenuhi kebutuhan maintenance-nya.
Selama preoperatif pasien diberikan cairan isotonik golongan Kristaloid yaitu
Ringer Laktat yang merupakan cairan resusitasi dan cairan rumatan dan juga gangguan
keseimbangan elektrolit. Cairan ini di distribusikan ke intraseluler. Kebutuhan cairan
preoperatif pasien sebagai pengganti puasa 8 jam sebesar 1000cc – 1250cc aktualnya
input cairan yang diberikan sebelum tindakan operasi sebanyak 500cc. Pada kasus ini
kebutuhan cairan pasien selama preoperatif belum cukup terpenuhi.
4.4 Apakah terapi dan resusitasi cairan Durante Operatif pada pasien ini sudah
tepat ?
- Resusitasi cairan durante operatif bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
maintenance cairan menurut jenis operasi dan lama waktunya serta kebutuhan
replacement cairan yang hilang selama operatif dan perdarahan berdasarkan total
estimasi kehilangan darah selama operasi.
Gawat janin disebut juga Green Code menunjukkan suatu keadaan bahaya
yang secara serius mengancam kesehatan janin. Ada beberapa kemungkinan penyebab
gawat janin, namun biasanya gawat janin terjadi karena beberapa mekanisme yang
bereksinambungan. Faktor yang dapat menyebebkan gawat janin adalah faktor ibu,
faktor uteroplasental, dan faktor janin. Faktor ibu salah satunya adalah infesksi berat
seperti malaria, sifilis, TBC, HIV.
1. Persiapan Preoperatif
Pilihan teknik anestesi harus sesuai dengan situasi klinis. Jika waktu
adalah faktor pembatas, diperlukan anestesi general karena teknik ini
menawarkan waktu induksi yang lebih cepat (Dongare dan Nataraj, 2018).
Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan anestesi general adalah aspirasi
isi lambung dan kesulitan saat intubasi trakea. Kematian yang terkait dengan
anestesi umum umumnya terkait dengan masalah jalan nafas, seperti
ketidakmampuan untuk intubasi, ketidakmampuan untuk ventilasi, atau
aspirasi pneumonitis. Anestesi regional adalah metode yang disukai untuk
operasi caesar pada wanita sehat, namun anestesi general masih diperlukan
dalam kasus-kasus tertentu. Kematian berhubungan dengan anestesi regional
umumnya terkait dengan penyebaran blockade dermatomal yang berlebihan
atau lokal toksisitas anestesi (Morgan dan Mikhail, 2013).
Evaluasi pra-anestesi untuk operasi caesar darurat harus dengan
assessment yang cepat untuk menentukan risiko jalan napas sulit, perdarahan
obstetrik dan risiko aspirasi. Investigasi pra operasi yang diperlukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, blood grouping dan cross matching dan jika
benar-benar diperlukan fungsi ginjal, tes fungsi hati dan profil koagulasi (Lie
dan Mok, 2017).
Semua pasien yang akan melakukan operasi caesar perlu dipersiapkan
untuk anestesi umum dan tindakan untuk mencegah perdarahan. Persiapan pra
operasi termasuk resusitasi dalam rahim janin yang diantaranya adalah
menghentikan oksitosin, pasien posisi tidur miring ke kiri, pemberian oksigen,
pemberian cairan kristaloid, vasopresor intravena jika tekanan darah menurun,
obat tokolitik seperti terbutaline 250mcg (s.c), pemberian profilaksis aspirasi
asam, persiapan jalan nafas yang sulit, mengamankan akses intravena (harus
memiliki 2 akses IV), persiapan pencegahan perdarahan dan pemantauan
invasif jika diperlukan. Natrium sitrat oral, ranitidine, dan metoclopramide IV
dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi asam (Smith dkk, 2011).
2. Anestesi Regional
Pada anestesi regional, pasien harus menerima bolus kristaloid intravena yang
tepat yaitu Ringer laktat (biasanya 1000-1500 mL) atau koloid (biasanya 250-500
mL) pada saat blokade saraf. Bolus semacam itu tidak akan konsisten mencegah
hipotensi tetapi sebenarnya dapat menghilangkan hipovolemia yang sudah ada
sebelumnya. Setelah injeksia nestesi lokal, fenilefrin dapat dititrasi untuk
mempertahankan tekanan darah. Pemberian efedrin (5-10 mg) mungkin diperlukan
pada pasien hipotensi dengan berkurangnya detak jantung. Keuntungan dari anestesi
regional meliputi :
a. Kurang paparan neonatal terhadap obat-obatan yang berpotensi depresan,
3. Anestesi Umum
Anestesi umum juga memfasilitasi manajemen jika terjadi komplikasi
hemoragik parah. Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru, potensi
ketidakmampuan untuk intubasi atau ventilasi pasien, dan depresi janin yang
diinduksi obat. Akan tetapi, teknik anestesi saat ini membatasi dosis agen intravena
sehingga depresi janin biasanya tidak bermakna secara klinis dengan anestesi umum
ketika kelahiran terjadi dalam 10 menit induksi anestesi. Terlepas dari jenis anestesi,
neonatus yang dilahirkan lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memiliki skor Apgar
dan nilai pH yang lebih rendah (Morgan dan Mikhail, 2013). Masalah utama dengan
anestesi umum untuk persalinan sesar adalah timbulnya kesadaran ibu yang terkait
dengan penggunaan dosis kecil dan anestesi konsentrasi rendah dengan tujuan
meminimalkan efek pada neonatal. Aspirasi paru dari isi lambung dan kegagalan
intubasi endotrakeal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu terkait
dengan anestesi umum. Semua pasien harus menerima profilaksis terhadap
pneumonia aspirasi dengan 30 mL natrium sitrat 30-45 menit sebelum induksi. Pasien
dengan faktor risiko tambahan yang memengaruhi aspirasi juga harus menerima
ranitidine intravena, 50 mg, atau metoclopramide, 10 mg, atau keduanya, 1-2 jam
sebelum induksi; faktor-faktor tersebut termasuk obesitas morbid, gejala
gastroesophageal reflux, jalan napas sulit, atau bedah persalinan tanpa periode puasa
elektif (Morgan dan Mikhail, 2013).
Antisipasi dari intubasi endotrakeal yang sulit dapat membantu mengurangi
kejadian kegagalan intubasi. Pemeriksaan leher, mandibula, gigi, dan orofaring
membantu memprediksi pasien mana yang mungkin mengalami masalah. Prediktor
yang berguna untuk intubasi sulit meliputi klasifikasi Mallampati, leher pendek,
mandibula yang menyusut, gigi seri rahang atas yang menonjol, dan riwayat intubasi
sulit. Insiden intubasi yang gagal pada pasien hamil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien bedah yang tidak hamil mungkin karena edema jalan napas, gigi penuh,
atau payudara besar yang dapat menghalangi pegangan laringoskop pada pasien
dengan leher pendek. Posisi kepala dan leher yang tepat dapat memfasilitasi intubasi
endotrakeal pada pasien obesitas.
Teknik yang Disarankan untuk Seksi Caesar yaitu sebagai berikut (Morgan
dan Mikhail, 2013) :
4. Ketika dokter bedah siap, induksi urutan cepat dengan tekanan krikoid dilakukan
menggunakan propofol, 2 mg / kg, atau ketamin, 1-2 mg / kg, dan suksinilkolin, 1,5 mg / kg.
Ketamin digunakan sebagai pengganti propofol pada pasien hipovolemik. Agen-agen lain,
termasuk methohexital dan etomidate, memberikan sedikit manfaat pada pasien.
6. Lima puluh persen nitro oksida dalam oksigen dengan hingga 0,75 MAC dari zat
volatil konsentrasi rendah (misalnya, 1% sevoflurane, 0,75% isoflurane, atau 3%
desflurane) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis volatil yang rendah
membantu memastikan amnesia tetapi umumnya tidak cukup untuk menyebabkan
relaksasi uterus yang berlebihan atau mencegah kontraksi uterus setelah oksitosin.
Relaksan otot dengan durasi sedang (atracurium, cisatracurium, atau rocuronium)
digunakan untuk relaksasi, tetapi dapat menyebabkan blokade neuromuskuler yang
berkepanjangan pada pasien yang menerima magnesium sulfat.
7. Setelah neonatus dan plasenta lahir, 20–80 unit oksitosin ditambahkan ke cairan
intravena, dan ditambahkan 20 unit untuk cairan berikutnya.
8. Jika rahim tidak berkontraksi dengan mudah, opioid harus diberikan, dan agen
terhalogenasi harus dihentikan. Methylergonovine (Methergine), 0,2 mg intramuskular atau
dalam 100 mL salin normal sebagai infus intravena lambatjuga dapat diberikan tetapi dapat
meningkatkan tekanan darah arteri.
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ketuban Pecah dini atau KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada
tanda-tanda persalinan
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut
dapat ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta.
Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan
bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. WHO tetap
menyatakan bahwa sifilis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting
pada masa kehamilan.
5.2 Saran