Anda di halaman 1dari 5

B.

Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan


Menurut J. J. Cogan dalam Citizen Education (1998), pendidikan
kewarganegaraan adalah pembelajaran formal dan informal yang
berlangsung di keluarga, organisasi keagamaan, komunitas, media, dll,
dan membantu membentuk warga negara secara keseluruhan. Pendidikan
moral di Indonesia secara tradisional mencakup nilai-nilai sosial,
kebangsaan, dan agama. Pada mulanya pendidikan akhlak berlangsung
melalui pendidikan agama dan budi pekerti, belum ada pendidikan
akhlak yang jelas. Namun seiring berjalannya waktu, hal tersebut
berkembang hingga tidak lagi terintegrasi dengan pendidikan agama dan
karakter. Mata pelajaran kewarganegaraan mulai diperkenalkan pada
tahun 1957. Mata pelajaran kewarganegaraan meliputi muatan pokok
memperoleh kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara. Dari
sudut pandang kesadaran bernegara, pokok bahasan administrasi publik
dan proses hukum juga dipaparkan. Ketiga topik ini hanya mengandung
aspek kognitif.
Pada tahun 1959, arah politik Indonesia berubah. Dengan
keputusan presiden tanggal 5 Juli 1959, UUD 1950 dinyatakan tidak
berlaku dan UUD 1945 dinyatakan tidak berlaku lagi. Kasus ini
mengubah haluan dalam bidang pendidikan. Perubahan arah ini ditandai
dengan diperkenalkannya mata pelajaran kewarganegaraan di SMP dan
SMA yang meliputi sejarah kebangsaan, sejarah deklarasi, UUD 1945,
Pancasila, pidato presiden kenegaraan, dukungan terhadap persatuan dan
kesatuan bangsa. Buku sumber yang digunakan adalah
“Kewarganegaraan Manusia Indonesia Baru” dan “Tujuh Bahan Dasar
Indoktrinasi” yang lebih dikenal dengan singkatan “TUBAPI”. Metode
pengajarannya lebih bersifat indoktrinasi. Tidak ada buku pegangan
siswa untuk mata pelajaran ini.
Pada tahun 1962 istilah PKn digantikan dengan istilah
Kewarganegaraan Nasional. Sahardjo, S.H. yang saat itu menjabat
Menteri Kehakiman. Perubahan ini didasarkan pada tujuan yang ingin
dicapai, yaitu “membangun warga negara yang baik”. Pada tahun 1965
terjadi pemberontakan G 30 S/PKI yang disusul dengan reformasi
organisasi pemerintahan. Pembaharuan perintah ini diakhiri dengan
tonggak resmi ketika Presiden Soekarno menyerahkan komando kepada
Jenderal Soeharto pada tanggal 11 Maret 1966. Tanggal tersebut
kemudian dijadikan tonggak sejarah pemerintahan Orde Baru, antara lain
tekad untuk berbenah dengan konsistensi pelaksanaan Orde Baru. UUD
1945. Perubahan sistem ketatanegaraan/nasional ini kemudian disusul
dengan kebijakan pendidikan yaitu Peraturan Menteri Nomor P dan K.
31 Tahun 1967 yang mengatur bahwa isi pelajaran kewarganegaraan
terdiri atas: Kebijakan di bidang pendidikan ini kemudian diikuti dengan
diterbitkannya kurikulum pada tahun 1968.
Dalam kurikulum ini konsep pendidikan kewarganegaraan yang
secara tidak resmi digantikan dengan kata Kewarganegaraan Nasional,
kembali digantikan dengan pendidikan kewarganegaraan yang lebih
dikenal dengan sebutan Pendidikan Kewarganegaraan. misalnya
singkatan PKN. Saat ini, pendidikan kewarganegaraan tidak lagi
menggunakan metode indoktrinasi dalam pengajarannya. Materi dasar
yang disediakan dalam kurikulum, yang meliputi:
a. Untuk tingkat Sekolah Dasar:
- Pengetahuan Kewargaan Negara
- Sejarah Indonesia
- Ilmu Bumi
b. Untuk tingkat SMP
- Sejarah Kebangsaan
- Kejadian setelah kemedekaan
- UUD 1945
- Pancasila
- Ketetapan-ketetapan MPRS
c. Untuk tingkat SMA
Uraian pasal-pasal dalam UUD 1945 dihubungkan dengan
Tata Negara, Sejarah, Ilmu Bumi dan Ekonomi.
Pada tahun 1973, oleh Badan Pengembangan Pendidikan (BP3)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bidang Pendidikan
Kewargaan Negara, telah ditetapkan 8 tujuan kurikuler, yang
meliputi bidang:
- Hak dan kewajiban warga Negara
- Hubungan luar negeri/pengetahuan internasional
- Persatuan dan kesatuan bangsa
- Pemerintahan demokrasi Indonesia
- Keadilan negara bagi seluruh rakyat Indonesia
- Pembangunan negara ekonomi
- Pendidikan kependudukan
- Keamanan dan ketertiban masyarakat
Meskipun materi inti dan tujuan kurikulum telah ditentukan, tidak
ada buku pegangan resmi untuk siswa atau guru yang disiapkan pada
saat itu. Jika tidak ada pedoman resmi dari pemerintah, maka setiap
sekolah/guru akan mempunyai kebijakan tersendiri mengenai buku ini.
Oleh karena itu, dapat dimengerti jika pada saat itu beredar berbagai
artikel pendidikan kewarganegaraan di semua jenjang atau jenjang
pendidikan untuk memenuhi kebutuhan lapangan. Perlu ada catatan
penting dalam PKN, yakni tidak terlihat sisi afektifnya. Pendidikan
kewarganegaraan ternyata hanya berfokus pada aspek kognitif saja.
Selain itu, mahasiswa juga belum paham mengenai pembentukan moral
Pancasila, sehingga PKN ini tidak dapat menyampaikan amanah/pesan
pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Keadaan ini, ditambah dengan
banyaknya buku pedoman bagi siswa, pedoman bagi guru yang berbeda-
beda, serta pengembangan materi oleh guru yang sangat berwarna
pengetahuan dan pola pikirnya, menghasilkan hasil yang beragam, baik
dari aspek kognitif maupun afektif.
Era baru telah dimulai di bidang ketatanegaraan. Hasil pemilu MPR
menghasilkan Ketetapan GBHN No. VI/MPR 1973 yang mewajibkan
adanya PMP pada semua jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-
kanak sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Pada akhir tahun 1975, Kelompok Kurikulum Nasional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyusun kurikulum bidang
PMP dan kurikulum sekolah dasar, menengah, dan menengah atas. Pada
tahun 1978, MPR setelah pemilu kedua baru-baru ini berhasil
mengeluarkan Ketetapan No. II/MPR/1978 yang memuat pedoman
penghayatan dan pengamalan Pancasila atau Ekaprasetia Pancakarsa.
Peraturan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan secara sederhana,
jelas dan mudah dipahami tentang nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila (selanjutnya disebut 36 Nilai P4) sehingga dapat dijadikan
sebagai penunjuk arah dan pedoman kehidupan bermasyarakat. dan di
masyarakat. kehidupan bernegara setiap warga negara Indonesia.
Terbitnya peraturan MPR sangat penting bagi PMP karena semakin
memperjelas arah PMP.
Dalam Kurikulum 1975 ada beberapa mata pelajaran yang
ditetapkan sebagai materi PMP, yang ditambah atau diperkaya dengan
materi Peraturan MPR No. II/MPR/1978. Namun, masih belum ada buku
pelajaran untuk siswa. Untuk mencegah guru/peminat penulisan buku
mengembangkan materi serba guna, maka sejak tahun 1978 telah ditulis
buku paket PMP untuk SD, SMP, dan SMA. Kegiatan ini berpuncak
pada terbitnya Buku Paket PMP pada tahun 1980 dan kemudian
digunakan di sekolah-sekolah mulai dari SD hingga SMA. Pada tahun
1982, Buku Paket PMP direvisi dengan banyak masukan dari
masyarakat, tokoh agama, pendidik, dan intelektual. Akhirnya setelah
diperbaiki, dicetak ulang dan disetujui penggunaannya berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137/C/Kep/R/83,
sekaligus buku PMP cetakan lama dihilangkan.
Selain itu, otoritas tertinggi negara pun bisa mempublikasikan
produknya, termasuk Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN
hasil pemilu ketiga pasca Orde Baru. Ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam GBHN ini, yaitu:
 Pendidikan Moral Pancasila masih tetap diberikan di sekolah-
sekolah.
 Munculnya unsur baru dalam Pendidikan Pancasila, yaitu:
a. Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila.
b. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa
Kurikulum 1975 sepertinya harus direvisi. Hasil evaluasi
menunjukkan adanya kelemahan pada konsistensi ruang lingkup dan
kedalaman materi yang menyebabkan kandungan substansi, pada
keselarasan vertikal rangkaian substansi, dan pada kesesuaian materi
dengan perkembangan baru. Sehubungan dengan hal tersebut,
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1984
tentang Penyempurnaan Kurikulum Sekolah Dasar dan Menengah dan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0209/U/1984
tentang Penyempurnaan Kurikulum kurikulum sekolah menengah lahir.
Salah satu ciri kurikulum itu, yang selanjutnya disebut Kurikulum
1984, adalah penerapan fleksibilitas program. Khususnya pada bidang
studi PMP, perlu adanya penambahan pada bidangnya. Meskipun
kurikulum (1975) memahami PMP sebagai pendidikan moral, fokusnya
tetap pada pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi reorientasi pada
kurikulum (1984), lebih menitikberatkan pada ranah moral (afektif) dan
memberikan perhatian integral pada ranah lain yaitu pengetahuan
(kognitif) dan aktivitas (psikomotor).
Pada tanggal 25 Februari 1993 diterbitkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tentang Kurikulum
Dasar Pendidikan sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1989. Kurikulum tersebut mulai berlaku secara bertahap pada
tahun 1994/ 1995. selama tahun ajaran. Oleh karena itu, pada tahun
1994 kurikulum tersebut menjadi Kurikulum Nasional atau Kurikulum
'94.
Pada tahun 1994, nama Pendidikan Moral Pancasila diganti
dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sama
dengan kurikulum sebelumnya, mata pelajaran ini memadukan konsep
Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Kewarganegaraan
Nasional (PKN). Kata Pendidikan Moral Pancasila diubah menjadi
Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan
Kewarganegaraan Nasional diubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan. Kemudian digabung menjadi pendidikan Pancasila
dan kewarganegaraan.” Pendidikan Pancasila mempunyai makna yang
lebih luas dan lengkap dibandingkan dengan pendidikan akhlak
Pancasila, karena Pancasila tidak hanya mempunyai dimensi moral
saja, tetapi juga mencakup konsep, nilai, moral dan norma. Oleh karena
itu, perubahan ini sangat tepat. Materi kelas PPKn tidak jauh berbeda
dengan materi kelas PMP. Selain itu, pada tahun 1999 ditambahkan
materi PPKn tambahan (pelengkap) sesuai dengan perubahan
kehidupan ketatanegaraan pasca reformasi. Materi P-4 tidak lagi resmi
digunakan dalam Suplemen Kurikulum (1999), karena peraturan MPR
tentang P-4 dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan MPR Nomor 1.
XVIII/MPR/1998. Pada tahun 2000, ketika masa reformasi dimulai di
Indonesia, perubahan juga terjadi di bidang pendidikan. Kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) lahir dari kebutuhan bahwa ilmu yang
diperoleh di sekolah harus mampu menunjang keterampilan yang terus
berkembang. Tahun ini mata pelajaran tersebut berganti nama menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Pada tahun 2004, pendidikan dasar kewarganegaraan dimasukkan
ke dalam IPS, sehingga menjadi PKPS (pendidikan kewarganegaraan
dan pendidikan pengetahuan sosial), sedangkan di SMP dan SMA
menjadi mata pelajaran tersendiri. Kurikulum berbasis
kewarganegaraan tampaknya telah mengarah pada tiga komponen
kewarganegaraan yang berkualitas seperti yang diusulkan oleh Pusat
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Standar Nasional
Kewarganegaraan dan Pemerintahan tahun 1999. Ketiga komponen
tersebut adalah keterampilan kewarganegaraan (citizenship),
keterampilan kewarganegaraan (citizenship), dan keterampilan
kewarganegaraan (citizenship).
Pada tahun 2006 terjadi perubahan kurikulum dari KBK menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam kurikulum ini,
kewarganegaraan sekolah dasar tidak lagi diintegrasikan ke dalam IPS,
tetapi merupakan pendidikan kewarganegaraan tersendiri. Demikian
pula, kewarganegaraan menjadi mata pelajaran mandiri baik di tingkat
sekolah dasar maupun sekolah menengah atas.

Anda mungkin juga menyukai